Hipotensi Post Spinal Anestesi pada Operasi Elektif dari Perut Bagian
Bawah
Abstrak
Pendahuluan
Saat ini anestesi spinal banyak digunakan untuk operasi perut bagian
bawah.[1,21] Namun anestesi jenis ini sering disertai dengan hipotensi, yang dapat
1
didefinisikan absolut sebagai tekanan darah sistolik yang kurang dari 90 atau 100
mmHg atau relatif sama dengan persentase dari (jatuhnya TD sampai 20% dari
nilai normal).[1] Tingkat keparahan hipotensi ini tergantung pada tinggi blok,
posisi pasien, dan status volume intravaskuler pasien.[1] Kemungkinan munculnya
komplikasi yang paling serius seperti hipotensi postspinal adalah keterbatasan
terbesar dari teknik ini.[2,3] Kejadian hipotensi bisa terjadi 70% sampai 80% bila
profilaksis farmakologis tidak digunakan.[4-6] Beberapa obat dan metode telah
digunakan untuk mencegah atau mengurangi komplikasi serius ini namun sampai
saat ini, tidak ada satu pun obat atau metode yang benar-benar mencegah
hipotensi tanpa menimbulkan efek samping.[7,8] Vasopressor yang digunakan saat
ini berbeda-beda dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda pula.9,10]
Pasien yang diambil adalah pasien yang berusia 18-65 tahun, dengan status
fisis ASA I-II (ASA I: Pasien sehat dan normal, ASA II: Pasien dengan penyakit
sistemik ringan, tidak ada batasan fungsional) dan merupakan kandidat untuk
operasi perut bagian bawah dengan menggunakan anestesi spinal.
Pada saat masuk ke ruang operasi, semua pasien dipasangi infus ukuran 18 G,
pasien memiliki satu catatan tekanan darah dan detak jantung (HR), sementara
berbaring pada posisi telentang sebelum dilakukan blok pada tulang belakang.
2
Peserta secara acak dibagi ke dalam salah satu dari tiga kelompok (45 pasien
pada masing-masing kelompok) dengan menggunakan amplop tertutup yang
berisi kode pengacakan berbasis komputer.
Salah satu peneliti yang tidak terkait dengan pengumpulan data, pemantauan,
atau pelaksanaan anestesi, menyiapkan efedrin (2,5 mg/mL), atau phenylephrine
(25 mcg/mL), atau plasebo pada spoit 2 mL per angka pengacakan. Setiap pasien
diberikan preload dengan 10 mL/kg kristaloid (Ringer Lactate) sebelum induksi
anestesi spinal. Pasien menerima Ringer Lactate dengan kecepatan 10 mL/kg/jam
selama prosedur berlangsung.
Blok subarachnoid dilakukan pada semua pasien dalam posisi duduk. Setelah
persiapan dan infiltrasi kulit dengan 2% Lidocaine, jarum Quincke 23 G yang
dimasukkan ke intervertebra L3-L4 dan setelah cairan serebrospinal didapatkan, 3
mL bupivakain hiperbarik 0,5% (15 mg) disuntikkan secara intratekal. Pasien pun
segera berbalik tidur terlentang.
Tinggi blok dinilai dengan melihat respons terhadap sensasi dingin dengan
menggunakan alkohol swab dan juga hilangnya sensasi menggunakan pinprick
test secara bilateral setiap 3 menit sampai blok maksimum tercapai. Pembedahan
dimulai segera setelah tingkat blok sensoric mencapai T8.
3
Oksigen 8L/menit diberikan melalui simple mask selama operasi berlangsung.
Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, MAP, dan HR diukur dengan
interval 5 menit yang dimulai segera setelah injeksi spinal sampai 30 menit,
kemudian pada menit ke 15 setelahnya sampai akhir operasi.
Data yang harus dicatat oleh anestesi yang melakukan anestesi spinal antara
lain, mual dan muntah dinilai pada skala 0-2 (0 = tidak ada, 1 = mual tanpa
muntah, 2 = muntah). Skor mual dan muntah dicatat maksimal selama operasi dan
juga pada jam ke 2, 6, dan 24 post operasi. Pada akhir operasi, dosis total
vasopressor harus dicatat.
Hasil utama penelitian ini yaitu tentang kejadian hipotensi. Hasil sekunder
meliputi perubahan tekanan darah dan HR, kejadian bradikardia (HR <60 bpm),
waktu terjadinya hipotensi setelah dilakukan spinal, jumlah efedrin yang
diberikan, mual, dan muntah.
Jika tingkat keparahan mual, yang dikeluhkan oleh pasien, dinilai oleh
perawat anestesi yang tidak mengetahui penelitian selama diruangan operasi dan
juga di ruang pemulihan (RP) dengan 100 mm Visual Analog Scale (VAS) dan
didefinisikan parah jika melebihi 30 mm. Pada kasus muntah atau mual berat,
selama operasi atau di RP, diberikan metoklopramid (0,15 mg/kgBB, IV).
Tekanan darah sistolik, diastolik, HR dan saturasi O2 pasien dicatat saat masuk ke
ruang operasi (baseline), serta segera setelah anestesi (ditampilkan pada waktu 0),
setiap 5-30 menit, kemudian setiap 15 menit sampai 60 menit dan kemudian pada
jam ke 2, 6, dan 24 setelah injeksi spinal. Interval waktu antara injeksi spinal dan
terjadinya hipotensi, prolong dari hipotensi, dan jumlah pemberian efedrin yang
diberikan harus dicatat.
4
darah sistolik pada masing-masing kelompok dilakukan dengan uji t independent
sample. Data demografi (mean SD) dibandingkan antara tiga kelompok dengan
uji varians one-way (ANOVA). Hasil pengukuran dibandingkan dengan number
needed to treat (NNT), proporsi, dan uji Chi-square juga dibutuhkan. Untuk
semua karakteristik kuantitatif digunakan tingkat kepercayaan dengan interval
95%.
Hasil
Sebanyak 135 pasien dipilih untuk penelitian ini dan secara acak dibagi
menjadi tiga kelompok masing-masing 45 pasien. Flowchart dari pasien yang
acak ditampilkan pada [Gambar 1].
Ketiga kelompok itu sebanding dengan jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi
badan, tipe operasi dan waktu, dan ketinggian blok [Tabel 1].
Perbedaan yang diamati pada baseline dari tekanan darah yaitu tekanan darah
sistolik, diastolik, dan MAP di antara tiga kelompok secara statistik tidak
signifikan [Tabel 3]. Bradikardia lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima
phenylephryn daripada mereka yang menerima efedrin atau plasebo (p) [Tabel 2].
Perbedaan denyut jantung rata-rata, tekanan darah sistolik, diastolik, dan MAP
dibandingkan antara dua kelompok (E dan P) segera setelah anestesi spinal, pada
menit ke 5, 10, 15, 45, 60 dan juga jam ke 2, 6, dan 24 post operasi secara statistik
tidak signifikan (P> 0,05) [Gambar 2].
5
kelompok plasebo lebih banyak daripada dua kelompok lainnya dan secara
statistik signifikan (P <0,05: signifikan).
Pembahasan
Respon fisiologis yang paling penting pada anestesi spinal melibatkan sistem
kardiovaskular dan tingkat kejadian hipotensi selama anestesi spinal adalah 70%-
80%.[1-6]
Dalam penelitian ini, semua pasien yang dibandingkan dan dibagi tiga
kelompok mempunyai karakteristik yang sama dari usia, jenis kelamin, berat
badan, tinggi badan, durasi operasi, dan status ASA. Perbedaan yang diamati
adalah baseline, yaitu, denyut nadi, tekanan darah sistolik, diastolik, dan tekanan
arterial rata-rata di antara tiga kelompok secara statistik tidak signifikan.
Dalam penelitian ini, kejadian bradikardia lebih tinggi pada pasien yang
menerima phenylephrin dibandingkan mereka yang menerima efedrin atau
plasebo (p). Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan darah dengan
menggunakan -agonis dapat menyebabkan bradikardia reaktif (baroreseptor
refleks). Namun, ini responsif terhadap penggunaan atropin tanpa konsekuensi
yang merugikan. Atropin dibutuhkan oleh 6 dari 42 pasien pada kelompok P
sedangkan pada kelompok E hanya 3 dari 43 pasien. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada HR maksimum antara kelompok E dan P dibandingkan dengan
kelompok plasebo.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari peneliti lain di mana mereka
melaporkan kejadian bradikardia lebih tinggi pada pasien yang menerima
phenylephrin dibandingkan dengan pasien yang menerima efedrin untuk
pencegahan hipotensi selama anestesi spinal untuk operasi section caesarean.[10-12]
Kami mengkonfirmasi bahwa dalam penelitian ini tidak ada perbedaan yang
bermakna antara efedrin dan phenylephrine dalam manfaat untuk pencegahan
hipotensi setelah anestesi spinal pada pasien yang menjalani operasi perut bagian
bawah pada kisaran dosis yang telah diteliti [Tabel 4].
6
Chandrakala dkk. membandingkan efektivitas dan efek samping vasopressor,
efedrin, dan phenylephrin, yang diberikan untuk pengelolaan hipotensi selama
sectio caesarean dengan anestesi spinal dan mereka tidak menemukan perbedaan
yang signifikan, serupa dengan temuan kami. Namun, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa phenylephrine adalah vasopressor yang lebih sesuai dan
dipertimbangkan untuk keselamatan ibu.[13]
Studi kami tidak sesuai dengan penelitian para peneliti yang sebelumnya yang
mempelajari tentang efedrin dan phenylephrine untuk pencegahan hipotensi
selama anestesi spinal untuk section caesarean dan efeknya pada janin. Mereka
menyimpulkan bahwa efedrin lebih efektif dibandingkan phenylephrine dalam
pencegahan hipotensi.[14-17] Ini mungkin karena lebih banyak dosis phenylephrine
yang digunakan dalam penelitian mereka dibandingkan dengan penelitian ini dan
mereka hanya meneliti tentang sectio caesarean, yang memerlukan manajemen
berbeda dari penelitian kami.
Kesimpulan
7
Gambar 1.
Perubahan rencana operasi (1) Perubahan rencana operasi (1) Perubahan rencana operasi
8
Tabel 2 : Efek samping pada ketiga kelompok uji
Efek samping E (n=43) (%) P (n=43) (%) S (n=43) (%) P value
Takikardi 21 (48.83) 9 (21.42) 6 (13.63) < 0.001*
Bradikardi 3 (6.97) 6 (14.38) 1 (2.27) 0.38
Hipertensi 6 (13.95) 2 (4.76) 0 (0) 0.46
Mual 9 (20.93) 7 (16.66) 17 (38.63) < 0.001*
*Nilai P yang signifikan menurut hasil penelitian ini, distribusi frekuensi
takikardia dan mual berbeda antara 3 kelompok (P <0,001), namun kejadian
bradikardia dan hipertensi tidak berbeda secara statistik (P0.05)