Anda di halaman 1dari 9

Perbandingan Ephedrin dan Phenylephrine Intravena, Untuk Pencegahan

Hipotensi Post Spinal Anestesi pada Operasi Elektif dari Perut Bagian
Bawah

Abstrak

Latar Belakang: Dalam penelitian double-blinded case control randomized, kami


meneliti efek efedrin atau phenylephrine intravena pada pencegahan hipotensi
paska anestesi spinal pada operasi abdomen bawah. Sampel dan Metode: Seratus
tiga puluh lima pasien dengan status fisis American Society of Anesthesiologists
(ASA) I atau II untuk operasi abdomen bawah dengan anestesi spinal dibagi tiga
kelompok acak (masing-masing 45 pasien). Menurut kelompok yang
dialokasikan, pasien menerima efedrin 2,5 mg (kelompok E), phenylephrine
(kelompok P) 25 mcg sebagai vasopressor atau normal saline sebagai plasebo
(kelompok S) segera setelah anestesi spinal. Parameter hemodinamik, dan
komplikasi dicatat. Hasil: Demografi pasien sama di semua kelompok. Rata-rata
tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan MAP serta denyut jantung
serupa sepanjang waktu untuk kelompok E dan P (P> 0,05). Kejadian hipertensi
reaktif lebih banyak terjadi pada kelompok E dibandingkan kelompok P dan
plasebo (P <0,05). Kejadian mual dan muntah secara signifikan lebih rendah pada
kelompok E dan P dibandingkan dengan plasebo (P <0,05). Kesimpulan:
Meskipun penurunan rata-rata tekanan darah sistol dan diastol secara signifikan
lebih sedikit pada kelompok E dan P dibandingkan dengan plasebo namun kami
tidak menemukan perbedaan signifikan dalam penggunaan efedrin atau
phenylephrin untuk pencegahan hipotensi paska anestesi spinal pada operasi perut
bagian bawah yang elektif. Infus vasopressors memberi manfaat untuk
menurunkan kejadian mual dan muntah.

Pendahuluan

Saat ini anestesi spinal banyak digunakan untuk operasi perut bagian
bawah.[1,21] Namun anestesi jenis ini sering disertai dengan hipotensi, yang dapat

1
didefinisikan absolut sebagai tekanan darah sistolik yang kurang dari 90 atau 100
mmHg atau relatif sama dengan persentase dari (jatuhnya TD sampai 20% dari
nilai normal).[1] Tingkat keparahan hipotensi ini tergantung pada tinggi blok,
posisi pasien, dan status volume intravaskuler pasien.[1] Kemungkinan munculnya
komplikasi yang paling serius seperti hipotensi postspinal adalah keterbatasan
terbesar dari teknik ini.[2,3] Kejadian hipotensi bisa terjadi 70% sampai 80% bila
profilaksis farmakologis tidak digunakan.[4-6] Beberapa obat dan metode telah
digunakan untuk mencegah atau mengurangi komplikasi serius ini namun sampai
saat ini, tidak ada satu pun obat atau metode yang benar-benar mencegah
hipotensi tanpa menimbulkan efek samping.[7,8] Vasopressor yang digunakan saat
ini berbeda-beda dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda pula.9,10]

Sampel dan Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian uji coba dengan randomized double-blind,


yang telah disetujui oleh Komite Penelitian Fakultas Kedokteran, Isfahan
University of Medical Science pada tahun 2012.

Sebelum dilakukan penelitian ini, semua pasien diminta menandatangani


informed consent yang diinformasikan. Penelitian ini dilakukan pada 135 pasien,
dibagi menjadi tiga kelompok dengan masing-masing 45 pasien.

Pasien yang diambil adalah pasien yang berusia 18-65 tahun, dengan status
fisis ASA I-II (ASA I: Pasien sehat dan normal, ASA II: Pasien dengan penyakit
sistemik ringan, tidak ada batasan fungsional) dan merupakan kandidat untuk
operasi perut bagian bawah dengan menggunakan anestesi spinal.

Pada saat masuk ke ruang operasi, semua pasien dipasangi infus ukuran 18 G,
pasien memiliki satu catatan tekanan darah dan detak jantung (HR), sementara
berbaring pada posisi telentang sebelum dilakukan blok pada tulang belakang.

Pemantauan yang dilakukan adalah pemantauan standar berupa pengukuran


tekanan darah non-invasif, pemasangan elektrokardiografi, dan oksimetri.

2
Peserta secara acak dibagi ke dalam salah satu dari tiga kelompok (45 pasien
pada masing-masing kelompok) dengan menggunakan amplop tertutup yang
berisi kode pengacakan berbasis komputer.

Besar sampel yang diperkirakan berdasarkan perhitungan, setidaknya ada 42


pasien per kelompok yang diperlukan untuk mencapai target 80% untuk
mendeteksi perbedaan dengan persentase 20% antara kelompok. Kami merekrut
45 pasien per kelompok untuk mengkompensasi keadaaan ekslusi yang dapat
terjadi. Pasien dieksklusi dari penelitian jika ada perubahan dalam rencana
anestesi dan juga rencana bedah yang diperlukan.

Salah satu peneliti yang tidak terkait dengan pengumpulan data, pemantauan,
atau pelaksanaan anestesi, menyiapkan efedrin (2,5 mg/mL), atau phenylephrine
(25 mcg/mL), atau plasebo pada spoit 2 mL per angka pengacakan. Setiap pasien
diberikan preload dengan 10 mL/kg kristaloid (Ringer Lactate) sebelum induksi
anestesi spinal. Pasien menerima Ringer Lactate dengan kecepatan 10 mL/kg/jam
selama prosedur berlangsung.

Blok subarachnoid dilakukan pada semua pasien dalam posisi duduk. Setelah
persiapan dan infiltrasi kulit dengan 2% Lidocaine, jarum Quincke 23 G yang
dimasukkan ke intervertebra L3-L4 dan setelah cairan serebrospinal didapatkan, 3
mL bupivakain hiperbarik 0,5% (15 mg) disuntikkan secara intratekal. Pasien pun
segera berbalik tidur terlentang.

Segera setelah blok subarachnoid, pasien di bolus dengan 1 mL obat penelitian


(efedrin=2,5 mg, phenylephrine 25 mcg serta plasebo) dan selanjutnya dibolus 5
mg dosis efedrin jika tekanan darah turun 10% di bawah baseline dan diulang
sesuai kebutuhan.

Tinggi blok dinilai dengan melihat respons terhadap sensasi dingin dengan
menggunakan alkohol swab dan juga hilangnya sensasi menggunakan pinprick
test secara bilateral setiap 3 menit sampai blok maksimum tercapai. Pembedahan
dimulai segera setelah tingkat blok sensoric mencapai T8.

3
Oksigen 8L/menit diberikan melalui simple mask selama operasi berlangsung.
Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, MAP, dan HR diukur dengan
interval 5 menit yang dimulai segera setelah injeksi spinal sampai 30 menit,
kemudian pada menit ke 15 setelahnya sampai akhir operasi.

Bradicardia (HR kurang dari 60 kali/menit) jika disertai dengan hipotensi


dapat diobati dengan atropin 0,5 mg IV. Rencana cadangan untuk mengantisipasi
beberapa kejadian kritis.

Data yang harus dicatat oleh anestesi yang melakukan anestesi spinal antara
lain, mual dan muntah dinilai pada skala 0-2 (0 = tidak ada, 1 = mual tanpa
muntah, 2 = muntah). Skor mual dan muntah dicatat maksimal selama operasi dan
juga pada jam ke 2, 6, dan 24 post operasi. Pada akhir operasi, dosis total
vasopressor harus dicatat.

Hasil utama penelitian ini yaitu tentang kejadian hipotensi. Hasil sekunder
meliputi perubahan tekanan darah dan HR, kejadian bradikardia (HR <60 bpm),
waktu terjadinya hipotensi setelah dilakukan spinal, jumlah efedrin yang
diberikan, mual, dan muntah.

Jika tingkat keparahan mual, yang dikeluhkan oleh pasien, dinilai oleh
perawat anestesi yang tidak mengetahui penelitian selama diruangan operasi dan
juga di ruang pemulihan (RP) dengan 100 mm Visual Analog Scale (VAS) dan
didefinisikan parah jika melebihi 30 mm. Pada kasus muntah atau mual berat,
selama operasi atau di RP, diberikan metoklopramid (0,15 mg/kgBB, IV).
Tekanan darah sistolik, diastolik, HR dan saturasi O2 pasien dicatat saat masuk ke
ruang operasi (baseline), serta segera setelah anestesi (ditampilkan pada waktu 0),
setiap 5-30 menit, kemudian setiap 15 menit sampai 60 menit dan kemudian pada
jam ke 2, 6, dan 24 setelah injeksi spinal. Interval waktu antara injeksi spinal dan
terjadinya hipotensi, prolong dari hipotensi, dan jumlah pemberian efedrin yang
diberikan harus dicatat.

Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software SPSS (versi 20).


Data disajikan dalam bentuk mean SD. Analisis rata-rata turunnya tekanan

4
darah sistolik pada masing-masing kelompok dilakukan dengan uji t independent
sample. Data demografi (mean SD) dibandingkan antara tiga kelompok dengan
uji varians one-way (ANOVA). Hasil pengukuran dibandingkan dengan number
needed to treat (NNT), proporsi, dan uji Chi-square juga dibutuhkan. Untuk
semua karakteristik kuantitatif digunakan tingkat kepercayaan dengan interval
95%.

Hasil

Sebanyak 135 pasien dipilih untuk penelitian ini dan secara acak dibagi
menjadi tiga kelompok masing-masing 45 pasien. Flowchart dari pasien yang
acak ditampilkan pada [Gambar 1].

Ketiga kelompok itu sebanding dengan jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi
badan, tipe operasi dan waktu, dan ketinggian blok [Tabel 1].

Takikardia yang signifikan secara statistik terlihat pada kelompok Ephedrin


daripada dua kelompok lainnya (P <0,05) [Tabel 2]. Pada kelompok plasebo,
pasien mengalami lebih banyak mual dan muntah dan signifikan secara statistik (P
<0,05) [Tabel 2].

Perbedaan yang diamati pada baseline dari tekanan darah yaitu tekanan darah
sistolik, diastolik, dan MAP di antara tiga kelompok secara statistik tidak
signifikan [Tabel 3]. Bradikardia lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima
phenylephryn daripada mereka yang menerima efedrin atau plasebo (p) [Tabel 2].
Perbedaan denyut jantung rata-rata, tekanan darah sistolik, diastolik, dan MAP
dibandingkan antara dua kelompok (E dan P) segera setelah anestesi spinal, pada
menit ke 5, 10, 15, 45, 60 dan juga jam ke 2, 6, dan 24 post operasi secara statistik
tidak signifikan (P> 0,05) [Gambar 2].

Secara keseluruhan, 11/43 (25,58%) pasien pada kelompok E dan 9/42


(21,42%) pasien pada kelompok P, dan 20/44 (45,45%) pada kelompok plasebo
memiliki satu atau lebih episode hipotensi dan memerlukan satu atau lebih bolus
vasopressor [Tabel 4]. Jumlah dosis penyelamatan yang dibutuhkan pada

5
kelompok plasebo lebih banyak daripada dua kelompok lainnya dan secara
statistik signifikan (P <0,05: signifikan).

Pembahasan

Respon fisiologis yang paling penting pada anestesi spinal melibatkan sistem
kardiovaskular dan tingkat kejadian hipotensi selama anestesi spinal adalah 70%-
80%.[1-6]

Dalam penelitian ini, semua pasien yang dibandingkan dan dibagi tiga
kelompok mempunyai karakteristik yang sama dari usia, jenis kelamin, berat
badan, tinggi badan, durasi operasi, dan status ASA. Perbedaan yang diamati
adalah baseline, yaitu, denyut nadi, tekanan darah sistolik, diastolik, dan tekanan
arterial rata-rata di antara tiga kelompok secara statistik tidak signifikan.

Dalam penelitian ini, kejadian bradikardia lebih tinggi pada pasien yang
menerima phenylephrin dibandingkan mereka yang menerima efedrin atau
plasebo (p). Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan darah dengan
menggunakan -agonis dapat menyebabkan bradikardia reaktif (baroreseptor
refleks). Namun, ini responsif terhadap penggunaan atropin tanpa konsekuensi
yang merugikan. Atropin dibutuhkan oleh 6 dari 42 pasien pada kelompok P
sedangkan pada kelompok E hanya 3 dari 43 pasien. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada HR maksimum antara kelompok E dan P dibandingkan dengan
kelompok plasebo.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari peneliti lain di mana mereka
melaporkan kejadian bradikardia lebih tinggi pada pasien yang menerima
phenylephrin dibandingkan dengan pasien yang menerima efedrin untuk
pencegahan hipotensi selama anestesi spinal untuk operasi section caesarean.[10-12]

Kami mengkonfirmasi bahwa dalam penelitian ini tidak ada perbedaan yang
bermakna antara efedrin dan phenylephrine dalam manfaat untuk pencegahan
hipotensi setelah anestesi spinal pada pasien yang menjalani operasi perut bagian
bawah pada kisaran dosis yang telah diteliti [Tabel 4].

6
Chandrakala dkk. membandingkan efektivitas dan efek samping vasopressor,
efedrin, dan phenylephrin, yang diberikan untuk pengelolaan hipotensi selama
sectio caesarean dengan anestesi spinal dan mereka tidak menemukan perbedaan
yang signifikan, serupa dengan temuan kami. Namun, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa phenylephrine adalah vasopressor yang lebih sesuai dan
dipertimbangkan untuk keselamatan ibu.[13]

Studi kami tidak sesuai dengan penelitian para peneliti yang sebelumnya yang
mempelajari tentang efedrin dan phenylephrine untuk pencegahan hipotensi
selama anestesi spinal untuk section caesarean dan efeknya pada janin. Mereka
menyimpulkan bahwa efedrin lebih efektif dibandingkan phenylephrine dalam
pencegahan hipotensi.[14-17] Ini mungkin karena lebih banyak dosis phenylephrine
yang digunakan dalam penelitian mereka dibandingkan dengan penelitian ini dan
mereka hanya meneliti tentang sectio caesarean, yang memerlukan manajemen
berbeda dari penelitian kami.

Kesimpulan

Pencegahan dan pengelolaan hipotensi selama anestesi spinal masih menjadi


kontroversi. Meskipun preloading cairan sering digunakan dalam upaya untuk
mencegah hipotensi pasca spinal, vasopressor sering dibutuhkan dan terbukti
efektif dalam membatasi komplikasi ini daripada pengobatan lainnya. Ada banyak
bukti yang menunjukkan bahwa phenylephrine sama baiknya dengan efedrin
untuk mempertahankan tekanan darah dan penggunaan obat ini lebih bebas.
Dibutuhkan penelitian tentang dose-response untuk menemukan penggunaan
dosis yang potensial untuk kedua vasopresor ini. Diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui terapi optimal untuk pencegahan hipotensi selama
anestesi spinal, terutama pada pasien yang berisiko tinggi.

7
Gambar 1.

Jumlah Sampel (n=135)

Dipilih secara acak

Kelompok Ephedrin Kelompok Phenylephrin Kelompok Plasebo


(n=45) (n=45) (n=45)

Gagal di Follow-Up (2) Gagal di Follow-Up (3) Gagal di Follow-Up (1)

Perubahan rencana operasi (1) Perubahan rencana operasi (1) Perubahan rencana operasi

Perubahan rencana anestesi (1) Perubahan rencana anestesi (2)

Sampel total = 43 Sampel total = 42 Sampel total = 44

Tabel 1 : Karakteristik Pasien dan Variabel Intraoperatif dari 3 Kelompok


Ephedrine Phenylephrine Placebo P value
Variabel
(N=43) (N=42) (N=44)
Usia (th) 52.168.54 49.2410.12 54.537.58 0.15
Berat badan (kg) 72.429.65 68.7612.78 75.5411.20 0.11
Tinggi badan (kg) 1728.55 16814.66 170.6611.09 0.08
Batas sensoric tertinggi T7 (T5-T9) T7 (T5-T9) T7 (T5-T9) 1
(median, range)
Lama anestesi 7912.55 76.7514.65 74.6811.33 0.32
Lama operasi 659.06 58.6712.98 63.459.43 0.6
Jumlah cairan selama 1750155 1820143 1690186 0.11
anestesi
Jumlah dosis tambahan 12.63.24 (mg) 10.574.27 (mg) 18.346.2 (mg) 0.13
vasopressor
Jumlah tambahan
2 (1-3) 2 (1-4) 3 (1-5) 0.81
vasopressor
Nilai dinyatakan dalam Mean SD atau median (range), kecuali tinggi anestesi. Data
dibandingkan antara tiga kelompok dengan uji one-way ANOVA. P <0,05, signifikan secara
statistik

8
Tabel 2 : Efek samping pada ketiga kelompok uji
Efek samping E (n=43) (%) P (n=43) (%) S (n=43) (%) P value
Takikardi 21 (48.83) 9 (21.42) 6 (13.63) < 0.001*
Bradikardi 3 (6.97) 6 (14.38) 1 (2.27) 0.38
Hipertensi 6 (13.95) 2 (4.76) 0 (0) 0.46
Mual 9 (20.93) 7 (16.66) 17 (38.63) < 0.001*
*Nilai P yang signifikan menurut hasil penelitian ini, distribusi frekuensi
takikardia dan mual berbeda antara 3 kelompok (P <0,001), namun kejadian
bradikardia dan hipertensi tidak berbeda secara statistik (P0.05)

Tabel 3 : Perbandingan baseline dari denyut jantung, tekanan darah sistolik,


diastolic dan MAP
Karakteristik E Mean SD P SD S SD P value
Denyut jantung 87.3214.55 91.2616.45 90.129.68 0.472*
Tekanan darah 135.3818.12 128.8722.09 130.7511.54 0.875*
sistolik
Tekanan darah 75.448.35 71.957.22 69.958.65 0.465*
diastolic
Mean Blood 95.528.57 90.028.57 89.6610.05 0.387*
Pressire
*Berdasarkan uji one-way ANOVA mean SD dari denyut jantung, tekanan darah
sistolik, diastolic dan MAP secara statistic tidak signifikan (P>0,05)

Tabel 4 : Kejadian hipotensi


Tidak Lebih dari
Kelompok Sekali 2 Kali 3 Kali
Pernah 3 kali
E (n=43) 32 (74.4) 5 (11.6) 2 (4.7) 3 (7) 1 (2.3)
P (n=42) 33 (78.6) 4 (9.5) 3 (7.1) 2 (4.7) 0 (0)
12 1 (2.3)
S (n=44) 24 (54.5)
(27.3)
4 (9.1) 3 (6.8)

Berdasarkan uji one-way ANOVA mean SD dari denyut jantung,


tekanan darah sistolik, diastolic dan MAP secara statistic tidak
signifikan (P>0,05)

Anda mungkin juga menyukai