Anda di halaman 1dari 41

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 49 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Sitiluhur 1/2 Gembong, Pati, Jawa Tengah
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Dirawat di ruang : Gading
Tanggal masuk RS : 26 Mei 2017

II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada keluarga pasien pada tanggal 7
Juni 2017, di ruang Gading.
1. Keluhan Utama : Kelemahan ekstremitas kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan pusing berputar, mual dan muntah. Sebelumnya
pasien tidak pernah merasakan kelemahan dan lemas pada kedua lengan dan kedua
tungkai pasien dan bicara pun tidak pelo. Kemudian pasien pergi ke IGD RSUD
RAA Soewondo untuk dirawat inap di RSUD RAA Soewondo. Selama di berikan
obat oleh spesialis saraf dan di rawat inap keadaan pasien membaik.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami seperti ini sebelumnya. Pasien memiliki riwayat darah
tinggi sudah lebih dari 2 tahun. Riwayat diabetes, hiperkolesterol dan asam urat
disangkal. Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya dan tidak pernah
menjalani operasi.

4. Riwayat trauma :
Pasien tidak pernah jatuh sebelumnya.

1
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi, diabetes dalam keluarga disangkal.

6. Riwayat kebiasaan :
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok. Pekerjaan pasien adalah ibu ru-
mah tangga..

7. Riwayat obat-obatan :
Riwayat alergi disangkal. Pasien minum obat hipertensi namun tidak rutin.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 7 Juni 2017, di Ruang Gading
A. Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Status Gizi : cukup
Tanda Vital
- Suhu Tubuh : 36,7 oC
- Tekanan Darah : 180/110 mmHg
- Nadi : 89 x/menit, regular, isi cukup
- Laju Napas : 26x/menit, regular
B. Status Internus
- Kepala/leher : normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: pembesaran KGB -/-
: pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Refleks cahaya +/+
: Konjungtiva anemis -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung : deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: septum nasi di tengah
- Mulut/faring : mukosa hiperemis (-)
tonsil dan uvula sulit dinilai
- Thorax

2
o Paru
Inspeksi : bentuk dada normal dan simetris
: gerak napas tertinggal (-)
Palpasi : tactile fremitus simetris, sama kuat
: ekspansi normal
Perkusi : bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : vesikuler, wheezing -/-, ronki basah halus -/-
o Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 2 jari, 1 cm lateral dari MCLS, thrill (-)
Perkusi : pekak, batas jantung normal
Auskultasi : S1/S2 normal, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
o Inspeksi : cembung, bekas luka (-)
o Auskultasi : bising usus normal, bruits (-)
o Perkusi : timpani
o Palpasi : nyeri tekan epigastrik (-)
: hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Ekstremitas : akral hangat
: deformitas (-), edema (-)
: CRT <2 detik

C. Status Neurologis
1. Fungsi Luhur
- Kesadaran
o Kualitatif : kompos mentis
o Kuantitatif : E4M6V5
- Orientasi : baik
- Daya ingat
o Baru : baik
o Lama : baik
- Gerakan abnormal : tidak ditemukan
- Gangguan berbahasa

3
o Afasia motorik :-
o Afasia sensorik :-
o Akalkuli :-
2. Koordinasi dan Keseimbangan
- Tes stepping gait : tidak dilakukan
- Tes tunjuk hidung : tidak dilakukan
- Tes pastpointing test : tidak dilakukan
- Tes konfrontasi vertikal : tidak dilakukan
- Tes konfrontasi horizontal : tidak dilakukan
- Tes Romberg : tidak dilakukan

3. Saraf Otonom
- Miksi : normal
- Defekasi : normal
- Sekresi keringat : normal

4. Nervi Cranialis
Nervus Kranialis Kanan Kiri
N. I (Olfactorius)
Daya Penghidu normosmia normosmia
N. II (Opticus)
a. Daya penglihatan baik baik
b. Lapang pandang normal normal
c. Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III (Oculomotorius)
a. Ptosis (-) (-)
b. Gerak mata keatas (+) (+)
c. Gerak mata kebawah (+) (+)
d. Gerak mata media (+) (+)
e. Ukuran pupil 3 mm 3 mm
f. Bentuk pupil Bulat, reguler Bulat, reguler
g. Refleks cahaya langsung (+) (+)
h. Strabismus divergen (-) (-)

4
i. Diplopia (-) (-)
N. IV (Trochlearis)
a. Gerak mata lateral bawah (+) (+)
b. Strabismus konvergen (-) (-)
c. Diplopia (-) (-)
N. V (Trigeminus)
a. Menggigit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Membuka mulut (+) (+)
c. Sensibilitas (+) (+)
d. Refleks kornea (+) (+)
d. Refleks bersin Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. Refleks masseter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. Refleks zigomatikus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. VI (Abducens)
a. Pergerakan mata (ke lateral) (+) (+)
b. Strabismus konvergen (-) (-)
c. Diplopia (-) (-)
N. VII (Facialis)
a. Kerutan kulit dahi Turun dbn
b. Mengerutkan dahi Turun dbn
c. Mengangkat alis Turun dbn
d. Menutup mata Turun dbn
e. Sulcus nasolabialis Turun dbn
f. Meringis Turun dbn
g. Tik fasial Tidak dilakukan Tidak dilakukan
h. Lakrimasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
i. Daya kecap 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. VIII (Vestibulocochlearis)
a. Mendengarkan suara berbisik Sulit dinilai Sulit dinilai
b. Mendengarkan detik arloji Sulit dinilai Sulit dinilai
c. Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
d. Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

5
f. Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. IX (Glossopharyngeus)
a. Arkus faring Simetris Simetris
b. Uvula Di tengah Di tengah
c. Daya kecap 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
d. Refleks muntah (-) (-)
e. Sengau (-) (-)
f. Tersedak (-) (-)
N. X (Vagus)
a. Arkus faring Simetris Simetris
c. Daya kecap 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
d. Bersuara (+) (+)
e. Menelan (+) (+)
N. XI
a. Memalingkan muka (-) (-)
b. Sikap bahu Turun dbn
c. Mengangkat bahu (-) (+)
d. Trofi otot bahu (+) (+)
N. XII (Hypoglossus)
a. Sikap lidah Kearah Kiri Kearah Kiri
b. Menjulurkan lidah Kearah Kanan Kearah Kanan
c. Artikulasi Normal Normal
d. Tremor lidah Normal Normal
e. Trofi otot lidah Normal Normal
f. Fasikulasi lidah Normal Normal

ANGGOTA GERAK
Kanan Kiri
ATAS
Sistem Motorik :
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 3 5
Tonus Normotonus Normotonus

6
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas + +
Nyeri + +
Refleks fisiologik :
Bisep + +
Trisep + +
Radius + +
Refleks patologis :
Hoffman (+) (-)
Tromner (+) (-)

ANGGOTA GERAK
Kanan Kiri
BAWAH
Sistem Motorik :
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 4 5
Tonus Normotonus Normotonus
Trofi Normotrofi Normotrofi
Klonus - -
Sensibilitas + +
Nyeri + +
Refleks fisiologik :
Patella + +
Achilles + +
Refleks patologis :
Babinski (+) (-)
Chaddock (+) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Mendel Bechterew (-) (-)
Rossolimo (-) (-)

7
Gonda (-) (-)
Klonus patella (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

RANGSANG MENIN-
Kanan Kiri
GEAL
Kaku Kuduk -
Kernig sign - -
Brudzinski I - -
Brudzinski II - -
Brudzinski III - -

RANGSANG RADIKULER Kanan Kiri


Tes Laseque - -
Tes Kernig - -
Tes Patrick - -
Tes Kontra Patrick - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 26 Mei 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

HEMATOLOGI
Leukosit H 12.1 10^3/uL 3.6 11.0
Eritrosit 4.57 10^6/uL 4.2 5.4
Hemoglobin 13.1 g/dL 11.7 15.5
Hematokrit 38.8 % 35 -47
MCV 84.9 fL 80 100
MCH 28.7 pg 26 34
MCHC 33.8 % 32 36
Trombosit 283 10^3/uL 150 400

8
RDW-CV 13.7 % 11.5 14.5
RDW-SD 41.6 fL 35 47
PDW 11.0 fL 9.0 13.0
MPV 9.5 fL 6.8 10.0
P-LCR 21.6 %
HITUNG JENIS
Netrofil H 80.20 % 50.0 70.0
Limfosit L 15.30 % 25.0 40.0
Monosit 2.70 % 2.0 8.0
Eosinofil L 1.60 % 24
Basofil 0.20 % 01
KIMIA KLINIK
Glukosa ACC H 177 mg/dL 70 160
Ureum 20.8 mg/dL 10 50
Creatinin 0.69 mg/dL 0.60 1.20

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 27 Mei 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Glukosa Puasa 98 mg/dL 70 100
SGOT 17.4 U/L <31
SGPT 19.9 U/L <34
Cholesterol Total H 380 mg/dL <200
Trigeliserida 97 mg/dL 0 150
Uric Acid 6.1 mg/dL 2.4 7.0

9
CT Scan Kepala tanpa kontras

Kesan : Pendarahan pada serebelum kanan (volume = 2,9 cc)Infark pada parakornu anterior ventrikel
lateral kiri dan paraventrikel lateral kanan

V. RESUME
Ny. S, 49 tahun, pusing berputar, mual dan muntah. Sebelumnya pasien tidak pernah
merasakan kelemahan dan lemas pada kedua lengan dan kedua tungkai pasien dan bicara pun
tidak pelo. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSUD RAA Soewondo untuk dirawat inap di
RSUD RAA Soewondo. Riwayat Trauma (-), riwayat HT (+)
Pada status generalis didapatkan TD pasien 180/110 mmHg, Nadi 96 x/menit, RR
27 x/menit, pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kesadaran stupor, GCS 15. Kekuatan
latralisasi kanan. Refleks patologis Hoffman Tromner (+/-), Babinski (+/-).
Pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras terdapat pendarahan pada serebelum kanan (vol-
ume = 2,9 cc) dan infark pada parakornu anterior ventrikel lateral kiri dan paraventrikel lateral kanan.

VI. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Klinis : Hemiparesis dextra, Parese N.VII dan XII & Vertigo
b. Diagnosa Topis : Infark pada parakornu anterior ventrikel lateral kiri dan par-
aventrikel lateral kanan serebelum

10
c. Diagnosa etiologi : Pendarahan & Infark dextra dan sinistra

VII. DIAGNOSIS KERJA


Stroke Hemoragik
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Stroke Iskemik
IX. TATALAKSANA
- Inf. Asering 20 tpm
- Inj. Piracetam 4 x 3 g
- Inj. Citicolin 2 x 250 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
- Amlodipin 5 mg 1 0 0
- Betahistin 6 mg 2 x 1 tab

X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia

11
PENDAHULUAN

Meningkatnya usia harapan hidup yang didorong oleh keberhasilan pembangunan


nasional dan modernisasi serta globalisasi di Indonesia akan cenderung meningkatkan resiko
terjadinya penyakit vascular (penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer).
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal
kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar
15,9% (umur 45-55 tahun), 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23.5% (umur >65 tahun). Kejadian
stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk dimana 1,6% tidak berubah dan 4,3% semakin
memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan profil usia produktif dan
usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia di atas 65 tahun sebesar
33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi menimbulkan
masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari.
Di satu sisi, modernisasi meningkatkan risiko stroke karena perubahan pola hidup,
sedangkan di sisi lain meningkatkan usian harapan hidup juga akan meingkatkan risiko
terjadinya stroke karena bertambahnya jumlah penduduk usia lanjut.
Prinsip dasar diagnosis stroke telah diketahui dengan jelas. Namun, penulusuran factor
risiko belum menjadi pedoman standar dalam pencegahan stroke selanjutnya. Oleh karena itu,
penelusuran faktor risiko pada pasien rawat dengan stroke harus diperhatikan. Setiap pasien
stroke yang pulang dari perawatan perlu diinformasikan mengenai faktor risiko yang dimiliki,
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan awal terhadap faktor risiko terhadap kerabat dekat
pasien.

12
STROKE HEMORAGIK

I. DEFINISI
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah gangguan fungsional otak
yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global, berlangsung
lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak. Stroke hemoragik adalah stroke yang diakibatkan oleh perdarahan arteri otak
didalam jaringan otak (intracerebral hemorrhage) dan/atau perdarahan arteri diantara lapisan
pembungkus otak, piamater dan arachnoidea.

II. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan intraserebral menyumbang 10-15% dari semua stroke pada populasi Barat
dan didefinisikan sebagai non-traumatik, onset mendadak sakit kepala parah, perubahan
tingkat kesadaran, atau defisit neurologis fokal terkait dengan terkumpulnya darah bersifat
fokal dalam parenkim otak pada neuroimaging atau otopsi yang bukan karena trauma atau
konversi hemoragik dari infark serebral.
Insiden ICH didefinisikan sebagai persentase populasi mengalami ICH pertama dalam
jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Ketika meninjau studi kejadian ICH penting untuk
mempertimbangkan kriteria dimanfaatkan, sebagai penyidik dapat menyertakan atau
mengecualikan perdarahan yang berhubungan dengan malformasi vaskular, antikoagulan, agen
trombolitik, atau obat-obatan terlarang. Perbandingan tingkat insiden yang komplikasi lanjut
oleh perbedaan metodologi dalam kasus, tingkat pencitraan, variasi dalam struktur populasi,
dan berbagai usia dilaporkan.
Mengingat keterbatasan, tingkat insiden dari ICH di belahan bumi Barat selama
era CT telah rata-rata berkisar antara 10 sampai 30 kasus per 100 000 orang. tingkat insiden
perdarahan intraserebral lebih tinggi di Asia Timur, di mana ICH secara historis menyumbang
persentase lebih besar dari semua stroke dibandingkan populasi Barat. Keseimbangan ini dapat
berubah karena tingkat penurunan ICH di Timur.
Insiden ICH menurun antara tahun 1950-an dan 1980-an. Studi tren kejadian di tahun-
tahun berikutnya telah menghasilkan hasil yang beragam. Ada kecenderungan penurunan in-
siden ICH di Oxfordshire, Inggris antara tahun 1981 dan 2006. Insiden perdarahan intraserebral
juga menurun selama tahun 1990-an di beberapa kota di China. Namun, penurunan yang serupa
belum terlihat di penelitian lain. Stabilisasi kejadian ICH dalam dua dekade terakhir setidaknya

13
sebagian disebabkan deteksi dan klasifikasi yang tepat dari perdarahan kecil dengan
neuroimaging yang modern.
Risiko ICH tampaknya sedikit lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita,
didorong oleh kelebihan perdarahan dalam [11,25,26]. Di kulit hitam Amerika Serikat dan
Hispanik memiliki tingkat signifikan lebih tinggi dari ICH dibandingkan kulit putih [11,27].
Antara orang kulit hitam dan Hispanik, kelebihan risiko ICH yang paling terkenal di muda dan

orang setengah baya (Tabel 1.1).


Lokasi dominan ICH dalam otak bervariasi dalam populasi yang berbeda (Tabel 1.2).
Di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, dalam otak (berasal perdarahan dalam materi putih
periventrikular, berekor inti, kapsul putamen internal pria puta, globus pallidus, atau thalamus)
ICH adalah yang paling umum, diikuti oleh perdarahan lobar yang berasal dari materi abu-abu
atau materi putih subkortikal. Dalam sebuah studi berbasis populasi yang besar di Jepang,
namun, lobar perdarahan hanya menyumbang 15% dari ICH.
Dalam kebanyakan populasi, perdarahan serebelum menyumbang sekitar 10% dari ICH
dan batang otak pendarahan 5-10% dari ICH (Tabel 1.2). Di Amerika Serikat, kelebihan risiko
terbesar dari ICH di kulit hitam dan Hispanik dibandingkan dengan kulit putih terjadi pada
cerebral dan batang otak lokasi dalam (Tabel 1.1).

14
III. ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK
Secara anatomis, pembuluh darah serebral terdiri dari dua sistem yaitu sistem karotis dan
sistem vertebrobasiler. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler
vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna. Pembagian daerah otak yang
diperdarahi pembuluh darah serebral :

Anterior circulation (sistem karotis)

Anterior choroidal Hippocampus, globus pallidus, lower internal capsule

Anterior cerebral Medial frontal dan parietal cortex cerebri and


subjacent white matter, anterior corpus callosum

Middle cerebral Lateral frontal, parietal, occipital, and temporal cor-


tex and subjacent white matter

Lenticulostriate branches Caudate nucleus, putamen, upper internal capsule

Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)

Posterior inferior cerebellar basilar Medulla, lower cerebellum

Anterior inferior cerebellar Lower and mid pons, mid cerebellum

Superior cerebellar Upper pons, lower midbrain, upper cerebellum

Posterior cerebellar Medial occipital and temporal cortex and subjacent


white matter, posterior corpus callosum, upper mid-
brain

Thalamoperforate branches Thalamus

15
Thalamogeniculate branches Thalamus

IV.

Anterior circulation (sistem karotis)

Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala
disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau agnosia. Selain itu dapat juga timbul
hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang.
Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)
Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala
disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks (jatuh tiba-tiba tanpa penurunan
kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan saraf otak, ataxia, defisit sistem
sensorimotorik kontralateral (hemiparese alternans). Selain itu dapat juga timbul hemiparese,
gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang tetapi tidak spesifik untuk stroke yang
disebabkan sistem vertebrobasiler.

16
.

IV. SISTEM SARAF MOTORIK

Perjalanan saraf motorik terbagi dua yaitu sistem piramidalis dan ekstrapiramidalis :
1. Sistem Piramidalis :
Pusat sistem motorik terletak di gyrus presentralis (area broadman 4)
ditempat ini terdapat Motor Homonculus, serabut saraf kemudian berjalan
melalui traktus piramidalis ,yang dibentuk oleh neuron sel Batz yang terdapat
pada lapisan kelima gyrus presentralis, berjalan konvergen ke kaudal ke
kapsula interna menempati 2/3 krus posterior. Kemudian berjalan ke
pedunculus oblongata dan medulaspinalis. Pada kornu anterior medula
spinalis sebagian serabut saraf 85% berjalan ke kontralateral (disebut traktus
kortikospinal lateral), persilangan ini disebut decussatio pyramidalis,
sedangkan serabut yang lain 15% tidak menyilang berakhir di kornu anterior
homolateral (disebut traktus kortikospinal anterior).

17
2. Sistem Ekstrapiramidalis
Terdiri dari korteks, ganglia basalis, midbrain. Gangllia basalis terdiri dari
globus palidus, putamen, nukleus kaudatus, substansia nigra, nukleus
subthalamikus, nukleus rubra. Putamen dan nukleus kaudatus disebut striatum.

SISTEM SARAF SENSORIS


Sistem saraf sensoris memiliki dua jalur berdasarkan lokasi penerimaan rangsang :

18
1. Sensibilitas permukaan
Rangsang diterima di reseptor kemudian serabut saraf berjalan ke ganglion
spinale, kemudian melalui radix posterior ke kornu posterior, ditempat ini
berganti neuran kemudian menyilang linea mediana menjadi traktus
spinothalamikus, kemudian ke atas ke thalamus. Pada thalamus serabut saraf
yang berasal dari badan bagian bawah berjalan lebih lateral sedangkan badan
bawah lebih medial, kemudian berganti neuron kembali dan berakhir di gyrus
sentralis posterior.
2. Sensibilitas dalam
Serabut saraf bejalan mulai dari reseptor ke ganglion spinale lalu ke radix
posterior, di sini serabut membagi dua menjadi funicullus gracilis ,untuk
daerah sakralis, lumbalis dan thorakalis bawah, dan funiculus cuneatus , untuk
bagian thorakal atas dan sevikalis. Serabut secara berurutan ini menuju
nukleus goll dan nukleus burdach sebelumnya berganti neuron. Kemudian
bersilang membentuk lemniscuss medialis menuju ke thalamus berganti
neuron dan berakhir di di gyrus sentralis posterior.

V. KLASIFIKASI
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke Iskemik :

19
Trombosis serebri
Emboli serebri
Hipoperfusi sistemik
b. Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subaraknoid
2. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
c. Stroke in evolution / Progressing Stroke
d. Completed stroke
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebro-basiler
VI. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko stroke terdiri dari :
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a. Usia
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setiap penamba-
han usia tiga tahun akan meningkatkan risiko stroke sebesar 11 20
%. Orang yang berusia > 65 tahun memiliki risiko stroke sebesar 71
%, sedangkat usia 65 45 tahun memiliki risiko 25 %, dan 4 % terjadi
pada orang berusia < 45 tahun.
b. Jenis Kelamin
Insiden stroke 1.25 kali lebih besar pada laki laki dibanding per-
empuan.
c. Ras / Bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke daripada orang kulit
putih.
d. Hereditas
Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota
keluarga pernah mengalami stroke pada usia < 65 tahun, meningkat-
kan risiko stroke

20
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi
meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Makin
tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena ter-
jadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga memu-
dahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan otak. Sebanyak 70% dari
orang yang terserang stroke mempunyai TD tinggi.
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak
sekuat hipertensi. Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya
aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga
berpengaruh terhadap terjadinya stroke. risiko terjadinya stroke pada
penderita diabetes mellitus 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak
menderita diabetes mellitus.
c. Penyakit Jantung
Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibri-
lasi atrium/atrial fibrillation (AF), karena memudahkan terjadinya
penggumpalan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat
pembuluh darah di otak. Di samping itu juga penyakit jantung koroner,
kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, pasca operasi jantung juga
memperbesar risiko stroke. Fibrilasi atrium yang tidak diobati mening-
katkan risiko stroke 4 7 kali.
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
Sekitar 1 dari seratus orang dewasa akan mengalami paling sedikit 1
kali serangan iskemik sesaat (TIA) seumur hidup mereka. Jika diobati
dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini kemudian akan men-
galami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar
1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.
Risiko TIA untuk terkena stroke 35-60% dalam waktu lima tahun.
e. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabe-
tes melitus. Obesitas meningkatkan risiko stroke 15%. Obesitas dapat

21
meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan aterosklerosis yang
semuanya akan meningkatkan kemungkinan serangan stroke.
f. Hiperkolesterolemia
Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung meningkatkan faktor
risiko, tingginya kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah dan
juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kolesterol yang tinggi
terutama Low Density Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di da-
lam pembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di
jantung maupun di otak. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl mening-
katkan risiko stroke 1,31 - 2,9 kali.
g. Merokok
Kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 4 kali.
Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri di seluruh
tubuh (termasuk yang ada di otak dan jantung), sehingga merokok
mendorong terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan
menyebabkan darah mudah menggumpal.
h. Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme
tubuh, sehingga terjadi dislipidemia, diabetes melitus, mempengaruhi
berat badan dan tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf
otak dan lain lain. Konsumsi alkohol berlebihan meningkatkan risiko
terkena stroke 2-3 kali.
i. Stres
Hampir setiap orang pernah mengalami stres. Stres psiokososial dapat
menyebabkan depresi. Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko
lain (misalnya, aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi)
dapat memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena
stroke sebesar 2 kali.
j. Penyalahgunaan Obat
Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis suntikan
akan mempermudah terjadinya stroke, akibat dari infeksi dan kerusa-
kan dinding pembuluh darah otak. Zat narkoba itu sendiri akan
mempengaruhi metabolisme tubuh, sehingga mudah terserang stroke.

22
VII. PATOFISIOLOGI DAN GEJALA KLINIS
Patofisiologi terjadinya stroke hemoragik dan gejala klinisnya berupa :
1. Patofisiologi berdasarkan penyebabnya :
a. Pendarahan Intraserebral
Merupakan 10% dari seluruh kasus yang ada. Perdarahan in-
traserebri ditandai oleh adaya perdarahan ke dalam parenkim otak aki-
bat pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh
darah superficial dan berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang
di bagian distalnya berupa anyaman kapiler.
Atherosklerosis yang terjadi dengan meningkatnya usia dan
adanya hipertensi kronik, maka sepanjang arteri penetrans ini terjadi
aneurisma kecil kecil (mikroaneurisma) dengan diameter sekitar 1
mm disebut aneurismas Charcot-Bouchard. Pada suatu saat aneurisma
ini dapat pecah oleh tekanan darah yang meningkat sehingga terjadilah
perdarahan ke dalam parenkim otak. Darah ini mendorong struktur
otak dan merembes ke sekitarnya bahkan dapat masuk ke dalam ven-
trikel atau ke ruangan subaraknoid yang akan bercampur dengan cairan
serebrospinal dan merangsang meningens.
Onset perdarahan intraserebri sangat mendadak, seringkali ter-
jadi saat beraktivitas dan disertai nyeri kepala berat, muntah dan
penurunan kesadaran, kadang-kadang juga disertai kejang. Distribusi
umur biasanya pada usia pertengahan sampai tua dan lebih sering
dijumpai pada laki-laki. Hipertensi memegang peranan penting sebagai
penyebab lemahnya dinding pembuluh darah dan pembentukan
mikroaneurisma. Pada pasien nonhipertensi usia lanjut, penyebab
utama terjadinya perdarahan intraserebri adalah amiloid angiopathy.
Penyebab lainnya dapat berupa aneurisma, AVM, angiopati kavernosa,
diskrasia darah, terapi antikoagulan, kokain, amfetamin, alkohol dan
tumor otak. Dari hasil anamnesa tidak dijumpai riwayat TIA.
Lokasi perdarahan umumnya terletak pada daerah ganglia ba-
salis, pons, serebelum dan thalamus. Perdarahan pada ganglia basalis
sering meluas hingga mengenai kapsula interna dan kadang-kadang
rupture ke dalam ventrikel lateral lalu menyebar melalui system ven-

23
trikuler ke dalam rongga subarachnoid. Adanya Perluasan intra-
ventrikuler sering berakibat fatal. Perdarahan pada lobus hemisfer ser-
ebri atau serebelum biasanya terbatas dalam parenkim otak.
Apabila pasien dengan perdarahan intraserebri dapat bertahan
hidup, adanya darah dan jaringan nekrotik otak akan dibersihkan oleh
fagosit. Jaringan otak yang telah rusak sebagian digantikan pleh jarin-
gan ikat, lia dan pembuluh darah baru, yang meninggalkan rongga
kecil yang terisi cairan.
Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran hematoma.
Karakteristiknya berupa sakit kepala, muntah-muntah dan kadang-
kadang kejang pada saat permulaan. Kesadaran dapat terganggu pada
keadaan awal dan menjadi jelas dalam waktu 24-48 jam pertama bila
volume darah lebih dari 50 cc. Karena jaringan otak terdorong, maka
timbul gejala defisit neurologik yang cepat menjadi berat dalam
beberapa jam.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan CSS seperti air cucian daging
(xanthocrome) pada pungsi lumbal dan adanya perdarahan (hiperdens)
pada CT Scan.
b. Pendarahan Subarachnoid
Ditandai dengan perdarahan yang masuk ke dalam rongga suba-
rachnoid. Onsetnya sangat mendadak dan disertai nyeri kepala hebat,
penurunan kesadaran dan muntah. Distribusi umur penderita ini
umumnya terjadi pada usia muda dan lebih banyak pada wanita.
Pada 10-15% kasus penyebabnya tidak diketahui, Umumnya aki-
bat rupture aneurisma, kadang-kadang juga karena pecahnya malfor-
masi arterivenosa, dan terapi antikoagulan. Aneurisma biasanya ber-
lokasi di sirkulus Willisi dan percabangannya. Bila aneurisma pecah,
darah segera mengisi ruang subarakhnoid atau merembes ke dalam pa-
renkim otak yang letaknya berdekatan.
Gejala klinis perdarahan subarachnoid berupa sakit kepala kro-
nik akibat penekanan aneurisma yang besar terhadap organ sekitar, aki-
bat pecahnya aneurisma mendadak dirasakan sakit kepala hebat, mun-
tah dan penurunan kesadaran. Biasanya ditemukan rangsang meningen
positif berupa kaku kuduk akibat darah dalam likuor dan Kernigs sign,

24
Perdarahan subhialoid pada funduskopi, CSS gross hemorrhagic pada
pungsi lumbal dan CT scan menunjukkan adanya darah dalam rongga
subarachnoid. Komplikasi berupa vasospasme dapat terjadi > 48 jam
setelah onset dengan akibat terjadinya infark otak dan deficit neurolo-
gik fokal. Perdarahan ulang kadang-kadang terjadi dalam beberapa
mingu setelah kejadian pertama. Angka kematian cukup tinggi 30-70%
dan tergantung beratnya penyakit pada saat pertama kali muncul.

Derajat pendarahan subaraknoid berdasarkan Hunt dan Hess :


Derajat 0 : Tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur
Derajat 1 : Sakit kepala ringan
Derajat 2 : Sakit kepala berat dengan tanda rangsang me-
ningeal dan kemungkinan adanya defisit saraf kranial
Derajat 3 : Kesadaran menurun dengan defisit fokal neuro-
logi ringan

25
Derajat 4 : Stupor, hemiparesis sedang sampai berat, awal
deserebrasi
Derajat 5 : Koma dalam, deserebrasi

2. Patofisiologi berdasarkan lokasi lesi vaskuler


a. Anterior circulation (sistem karotis)
Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda
dan gejala disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau
agnosia. Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan
hemisensoris, dan gangguan lapang pandang.
b. Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)
Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda
dan gejala disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks (jatuh
tiba-tiba tanpa penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah,
gangguan saraf otak, ataxia, defisit sistem sensorimotorik kontralateral
(hemiparese alternans). Selain itu dapat juga timbul hemiparese,
gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang tetapi tidak
spesifik untuk stroke yang disebabkan sistem vertebrobasiler.

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis stroke hemoragik dapat ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Dari anamnesa didapatkan gejala pada pasien biasanya bervariasi tergantung dari
area otak yang terkena dan seberapa luasnya perdarahan. Stroke hemoragik
biasanya menunjukkan gejala peningkatan tekanan intrakranial dibandingkan
daripada tipe lain dari stroke.
Pokok manifestasi dari stroke ini adalah hemiparese, hemiparestesia, afasia,
disartria, & hemianopsia. Hemiparese yang ringan dapat dirasakan oleh penderita

26
sebagai gangguan gerakan tangkas. Hemiparestesia hampir selamanya
dikemukakan secara jelas.
a. Pada Insufisiensi karotis biasanya didapatkan keluhan berupa :
Tidak bisa menggerakkan separuh atau sebagian dari anggota
tubuhnya
Rasa kesemutan di sebagian tubuh
Gangguan bicara (afasia) bila lesi pada daerah hemisfer
dominan
Kebutaan (amaurosis fugaks)
Kesulitan bicara (disartria)
b. Pada insufisiensi vertebrobasiler dapat ditemukan keluhan berupa:
Penglihatan ganda (diplopia)
Mata sulit untuk membuka (ptosis) akibat parese otot otot
ekstraokular
Pusing seperti berputar (vertigo)
Kesulitan untuk berbicara atau pelo (disartria)
Kesulitan untuk menelan (disfagia)
Kelumpuhan sebelah atau bahkan seluruh badan (hemiparese
atau tetraparese)
Tidak merasakan anggota tubuhnya atau rasa baal
(hemianestesia) baik unilateral maupun bilateral

27
Klasifikasi stroke berdasarkan Siriraj Stroke Score (SSS) :
SSS = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) - (0,1 X
tekanan darah diastole) - (3 x atheroma) - 12
Scoring :
Kesadaran :
Sadar = 0; Mengantuk, stupor = 1; Semikoma, koma = 2
Muntah :
Tidak = 0; Ya = 1
Sakit kepala :
Tidak = 0; Ya = 1
Tanda tanda atheroma :
Tidak ada = 0; Satu atau lebih tanda atheroma = 1 (Diabetes
mellitus, angina, claudicatio intermitten).
Interpretasi hasil score :
> 1 : Stroke hemoragik
< -1 : Stroke non-hemoragik
-1 s/d 1 : Diagnosa tidak pasti, lihat hasil CT scan

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal dilakukan pemeriksaan status generalis pasien, kemudian
status neurologisnya.
Defisit neurologis yang sudah jelas mudah dikenal terutama hemiparesis yang
jelas. Selain itu terdapat pula tanda tanda pengiring hemiparese yang dinamakan
gangguan Upper Motor Neuron (UMN) ialah:
a. Tonus otot pada lesi yang lumpuh meninggi
b. Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh
c. Refleks patologis positif pada sisi yang lumpuh
Mengenal manifestasi stroke yang sangat ringan adalah lebih penting daripada
mengenal hemiparese yang sudah jelas. Manifestasi stroke yang paling ringan
sering berupa gangguan ketangkasan gerak maka dari itu urutan pemeriksaan
susunan motorik sebagai berikut:

28
a. Pemeriksaan ketangkasan Gerak
b. Penilaian tenaga otot otot
c. Penilaian refleks tendon
d. Penilaian refleks patologis, seperti:
Refleks Babinsky
Refleks Oppenheim
Refleks Gordon
Refleks Schaefer
Refleks Gonda
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, hitung jenis,
trombosit, masa perdarahan, masa pembekuan, Laju Endap
Darah (LED)
Fungsi Ginjal (ureum, kreatinin)
Fungsi hati (SGOT/SGPT)
Urine Lengkap
Elektrolit (Na, K, Cl) dan AGD (Analisa Gas Darah)
Asam Urat
Kholesterol, Trigliserid
b. CT scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk
membedakan stroke infark dengan stroke perdarahan.
Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum
adalah didapatkan gambaran hipodense sedangkan pada stroke
perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif).
d. Pemeriksaan Angiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem
karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan,
oklusi atau aneurisma pada pembuluh darah.

29
e. Pemeriksan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstrakranial ,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.
f. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan atau MRI.
Pada stroke PIS didaptkan gambaran LCS seperti cucian daging atau
berwarna kekuningan. Pada PSA didapatkan LCS yang gross hemorragik.
Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).

IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan stroke hemoragik adalah sebagai berikut :
Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang
B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Terapi medik pada PIS akut:
a. Terapi hemostatik
Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat haemostasis
yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap pengobatan faktor
VIII replacement dan juga bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi
yang normal.
Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.

30
Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-significant,
tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation
Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frozen
plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.
Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent co-
agulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih cepat dibandingkan
FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan gin-
jal.
Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90g/kg pada pasien PIS yang memakai warfa-
rin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus tetap
diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya hanya
beberapa jam.
Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight heparin
diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau adanya
gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi
platelet, atau keduanya.
Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat
dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap kontrover-
sial.
Tidak dioperasi bila:
Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal.
Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan intraser-
ebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving.
Dioperasi bila:
Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis atau kom-
presi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus secepatnya
dibedah.
PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma cav-
ernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi strukturnya
terjangkau.

31
Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang memburuk.
Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan
perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.
Waktu terbaik masih kontroversial, disarankan 4-96 jam setelah kejadian. Dari
8 trial didapatkan hasil baik bila dioperasi kurang dari 8 jam setelah kejadian.
<4 jam meningkatkan resiko rebleeding.

B. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan ling-
kungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan
neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif: 1
Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat
darurat.
Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang
adekuat.
Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian
status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA 1


a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua
hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada
keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya
vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.

32
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture


a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah
rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, ban-
yak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda
dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade
yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain,
operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khu-
sus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan
ulang.
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara
oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memper-
baiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya
yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu hypervo-
lemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan cerebral perfusion
pressure sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme.
Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak
dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien
yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
Pencegahan vasospasme:
Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.

33
Jaga keseimbangan cairan.
Delayed vasospasm:
Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14
mmHg.
Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
Berikan Dobutamine 2-15 g/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai
adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-
12 g/hari.
6. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik
(TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tin-
dakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari
90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai
mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan
memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang
mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl
hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak
melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.1
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg
dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan
hiponatremi.1

34
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin
timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran
yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan
kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.1
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100
mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.1
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang
tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai
faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri
serebri media.
9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya
kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal ven-
trikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer
atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan 1
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah
trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
Asetaminofen -1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
Tylanol dengan kodein.
Hindari asetosal.
Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.

35
Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
Propofol 3-10 mg/kg/jam.
Cegah terjadinya stress ulcer dengan memberikan:
Antagonis H2
Antasida
Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
Semax
Semax merupakan heptapeptida, sintetik analog dari fragmen ACTH yang
bekerja sebagai kompetitif antagonis aksi melanocortin reseptor full antagonist alfa-melanosit-
stimulating hormon. SEMAX dapat digunakan untuk terapi stroke, TIA, gangguan memory
dan cognitive, ulkus peptik, penyakit saraf penglihatan dan meningkatkan sistem imun. Semax
adalah obat yang diproduksi sebagian besar di Russia dan Ukraine untuk kondisi luas tetapi
dominan untuk nootropic, neuroprotektif, neurogenik/neurorestoratif.

Pharmacokinetics
Diserap oleh mukosa membran kavitas nasal, dengan diserap 60-70 persen dari substansi aktif.
Semax dengan cepat didistribusi ke semua organ dan jaringan, menembus sawar darah otak.
Ketika diinjeksi ke darah, Semax dengan cepat mengalami degradasi dan diekskresi di urin.

Penggunaan SEMAX IN BRAIN STROKE


Stroke
50 150 mcg/kg BB
Stroke Ringan:
Day 1 : 3 mg - 1 vial = 60 drops bolus, dalam 6 jam.
Maintenance : 4 x 6 drops/ hari (3 pada setiap nostril)
Stroke Sedang:
Day 1 : 3- 6 mg - 1 sampai 2 vial = 60 - 120 drops bolus, dalam 6 - 12 jam.
dapat dilanjutkan hingga hari ke-3.
Maintenance : 4 x 6 drops/ hari (3 pada tiap nostril)
Stroke Berat:
Day 1 : 6-12 mg - 2 sampai 3 vial = 120- 180 drops bolus, dalam 6 - 12 jam.
dapat dilanjutkan hingga hari ke-3.
Maintenance : 4 x 6 drops/ hari (3 pada tiap nostril)

Kontraindikasi
Semax nasal drops 0.1%
Hypersensitivitas terhadap obat;
Kehamilan;
Laktasi;
Psikosis akut;

36
Gangguan kepanikan;
Riwayat kejang;
Anak-anak berusia kurang dari 5 tahun
Semax nasal drops 1%
Hypersensitivity terhadap obat;
Kehamilan;
Laktasi;
Psikosis akut;
Gangguan kepanikan;
Riwayat Kejang

Efek Samping: Penggunaan yang diperlama memungkinkan terjadi iritasi berat pada mukosa
hidung.

X. KOMPLIKASI
Komplikasi neurologik :
Edema otak (herniasi otak)
Merupakan komplikasi yan penting stok akibat infark maupun karena perdarahan. Pada

kasus infark, edema terjadi secara vasogenik dan sitoksik, pada intra dan extraseluler.

1. Herniasi Subfalcine

Definisi: gyrus cingulai mengalami herniasi ke bawah falks cerebri.


Etiologi: lesi supratentorial lateral
Gambaran klinis:
Biasanya asymptomatic, lakukan observasi ketat secara klinis atau
radiologis.
Waspadai terjadinya herniasi transtentorial, yang akan beresiko
menekan arteri serebri anterior.
Herniasi Tentorial Central (Axial)

37
Definisi: Pergeseran otak (diencephalon dan mesencephalon) ke
kaudal melalui incisura trans tentorial

Etiologi: lesi supratentorial midline, pembengkakan cerebral yang


difus, herniasi uncal tahap lanjut.

Gambaran klinis:
Deteriorasi mulai dari rostral ke caudal ( kegagalan diencephalon
sampai medulla oblongata secara berurutan).
Penurunan tingkat kesadaran ( penekanan mesencephalon).
Gangguan pergerakan bola mata gangguan gerakan ke atas (sunset
eyes)
Perdarahan batang otak akibat robekan vasa perforantes arteri
basilaris.
Diabetes insipidus (akibat penarikan tangkai hipofisis dan
hypothalamus) tanda stadium akhir.
3. Herniasi Tentorial Lateral

Definisi: uncus lobus temporalis dan hipokampus bergeser ke medial


ke arah tepi tentorial dan batang otak.
Etiologi: lasi supratentorial lateral (seringkali akibat hematoma post
trauma yang meluas secara cepat).
Gambaran klinis:
Dilatasi pupil ipsilateral, refleks negatif (tanda paling awal, dan paling
terpercaya), kelumpuhan gerak bola mata (penekanan pada N III)
Penurunan tingkat kesadaran (penekanan mesencephalon)
Hemiplegia kontralateral.
Beberapa kasus Kernohans notch: kompresi pedunculus serebri
(mesencephali) kontralateral karena pergeseran otak -> hemiplegia
ipsilateral (bisa mengakibatkan kesalahan menentuan letak lesi).
Bila berlanjut, gangguan batang otak sebagai disfungsi rostro-kaudal
dari pons dan medulla oblongata seperti pada herniasi sentral.

Koma karena Lesi Supratentorial.


Ada 3 jenis proses lesi :

Gangguan bilateral difus (kortikal dan substansia alba).

Lesi destruktive sub-kortikal.

Lesi destruktive oleh massa pada hemisferium serebri.

Sindrom herniasi sentral dari rostro-kaudal.

38
Tanda Klinik :

Fase Diensefalik

Fase Midbrain-PonsAtas

Fase Pontin Bagian Bawah-Medulla Atas

Fase Diensefalik : penurunan kesadaran, pernafasan Cheyne-Stokes, pupil


midriasis dan hemiparese kontralateral.

Fase Midbrain-Pons Atas: pernafasan takipneu, oftalmoplegia intranuklear,


gangguan reflek okulo-vestibuler dan postur deserebrasi.

Fase Pontin Bgn Bawah-Medulla Atas : pernafasan cepat dan dangkal


(hiperventilasi), oftalmoplegia intranuklear dan tidak ada reflek okulo-
vestibuler.

4. Herniasi Tonsil

Definisi: tonsil cerebelli herniasi melalui foramen magnum (disebut juga


herniasi foramen magnum)
Etiologi: lesi infra tentorial, atau terjadi setelah adanya herniasi tentorial central
Gambaran klinis:
Kompresi pusat kardiovaskuler dan respirasi di medulla oblongata (fatal)
Dapat diakibatkan oleh LP (lumbar punction) pada pasien dengan SOL
(space occupying lesion) (umumnya di fossa posterior basis cranii)
5. Herniasi Upward
Definisi: heniasi vermis cerebelli melalui incisura tentorii, dan menekan
mesencephalon.
Etiologi: massa yang besar di fossa posterior basis cranii sehingga
menyebabkan herniasi serebellum ke arah rostral, sering kali setelah VP
(ventriculo-peritoneal) shunting
Gambaran klinis:
Kompresi arteri cerebelli superior -> infark cerebelli
Kompresi aqueductus cerebri (mesencephali) -> hydrocephalus
Koma karena lesi subtentorial
Lesi pada fosa posterior (Kompresi batang otak/dekstruksi batang otak)
penyebab koma
Tekanan langsung pada tegmentum pons dan midbrain menyebabkan
iskemik dan edema pada daerah ARAS.
Vasospasme (terutama pada PSA)
Spasme sering terjadi pada pembuluh darah arteri yang dikelilingi oleh sejumlah besar
darah subarachnoid. Vasospasme ini timbul sebagai akibat langsung dari darah atau sebagian
produk darah, seperti hematin atau produk keping darah, pada dinding adventitia dari pembu-

39
luh darah arteri. Gejala vasospasme berupa penurunan kesadaran (misalnya bingung, disorien-
tasi, drowsiness) dan defisit neurologis fokal tergantung pada daerah yang terkena. Gejala-
gejala berfluktuatif dan dapat menghilang dalam beberapa hari atau secara gradual menjadi
lebih berat.
Hidrosefalus
Jika sejumlah besar darah, sebagai akibat ruptur pembuluh darah, merembes ke dalam
sistem ventrikel atau membanjiri ruang subarachnoid bagaian basal, darah tersebut akan me-
masuki foramen Luschka dan Magendie. Dimana pasien akan mengalami penurunan kesadaran
hingga pingsan sebagai akibat dari hidrosefalus akut. Hidrosefalus sub akut dapat terjadi akibat
blokade jalur cairan serebrospinal oleh darah setelah 2 hingga 4 minggu. Keadaan ini biasanya
didahului oleh nyeri kepala, penurunan kesadaran dan inkontinen.
Higroma
Terjadinya pengumpulan darah intrasecerbral di suatu tempat akibat kelainan osmotik.

Komplikasi non-neurologik (Akibat proses di otak) :


Tekanan darah meninggi
Peninggian tekanan darah pada fase akut merupakan respon fisiologis terhadap iskemia
otak, dan tekanan darah akan turun kembali setelah fungsi otak membaik kembali.

XI. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada jenis stroke dan sindrom klinis stroke. Kemungkinan hidup
setelah menderita stroke bergantung pada lokasi, ukuran, patologi lesi, ukuran, patologi lesi,
serta usia pasien dan penyakit yang menyertai sebelum stroke. Stroke hemoragik memiliki
prognosis buruk. Pada 30 hari pertama risiko meninggal 50%, sedangkan pada stroke iskemik

hanya 10%.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Michael Schuenke et al. Atlas of Anatomy Head Neck and Neuroanatomy. Edisi : 2.
Stuttgart. Thieme. 2016. Germany

2. H Richard Winn et al. Youmans Neurological Surgery. Edisi : 6. Philadelphia. Elsevier


Saunders. 2011. USA

3. Saleem I. Abdulrauf et al. Principle of Neurological Surgery. Edisi : 3. Philadelphia.


Elsevier Saunders. 2012. USA

4. Allan H. Ropper et al. Adams and Victors Principles Of Neurology. Edisi : 10.
Chicago. McGraw Hill. 2014. USA

5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guidelines Stroke. 2004

41

Anda mungkin juga menyukai