Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), jumlah penderita

tuberkulosis di dunia sekitar 20 juta orang dengan angka kematian

sebanyak tiga juta orang per tahun yang mana merupakan 25 % dari

kematian yang dapat dicegah apabila tuberkulosis dapat ditanggulangi

dengan baik (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Di

negara berkembang kematian ini merupakan 25 % dari kematian penyakit

yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan sekitar 19 juta (95 %)

penderita tuberkulosis berada di negara-negara berkembang (WHO,

2010).

Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan kasus

tuberkulosis terbesar ke empat di dunia. Data tahun 2012 menunjukkan

penderita tuberkulosis ditemukan dan diobati 262.600 orang (target 45 %)

dari 583.000 penderita (target 70 %). Tuberkulosis kembali muncul

sebagai penyebab kematian utama di Indonesia setelah penyakit jantung

dan saluran pernafasan. Pada tahun 2013 meningkat menjadi 342.900

orang (58 %) dari 593.000 penderita (target 70 %) dan pada tahun 2011

menurun menjadi 321.300 orang (target 56 %) dari 577.000 penderita

(target 70 %) (Aditarna. TY, 2012) dalam (Taufan, 2013).

1
Berdasarkan perkiraan WHO, bila cakupan dapat mencapai

minimal 70% dengan angka kesembuhan 85% dan dipertahankan hingga

tahun 2013 maka dapat menurunkan insiden TB sampai 50%, (Depkes

RI, 2013). Angka kesembuhan dibawah 70% dapat mengakibatkan

masalah TB dan reistensi obat akan meningkat. Penderita TB paru BTA

positif yang tidak sembuh dapat menimbulkan resisten terhadap obat anti

tuberkulosis (OAT) terutama resistensi sekunder yang dikarenakan

pengobatan yang tidak lengkap atau tidak teratur. Pada tahun 1998

kesembuhan di Indonesia dilaporkan sudah mencapai 87% namun

cakupan penemuan penderita/Case Detection Rate (CDR) mencapai

kurang lebih 10% (kurang dari 70%), (Aditama, 2012).

Penderita tuberkulosis Paru di Sulawesi Tenggara pada tahun

2014 sekitar 2.231 orang dengan angka CDR (47.8 %), kemudian

meningkat menjadi 2.312 orang dengan CDR (50.8 %) pada tahun 2015

dan meningkat kembali menjadi 2.677 orang dengan CDR (50.4 %) pada

tahun 2016, Untuk Kota Kendari pada tahun 2012 sekitar 743 orang

dengan angka CDR (46,7%) kemudian meningkat menjadi 810 orang

dengan CDR (52,9%) pada tahun 2013 dan meningkat kembali menjadi

759 orang dengan CDR (46,7%) pada tahun 2014 (Dinas Kesehatan

Provinsi Sulawesi Tenggara 2015).

Di Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan, jumlah

penderita tuberkulosis paru tahun 2014 sebanyak 18 orang dari 45.880

2
jiwa dengan CDR (56%), kemudian meningkat menjadi 20 orang dari

47.961 jiwa dengan CDR (56%) pada tahun 2015 meningkat kembali

menjadi 30 orang dari 53.765 jiwa dengan CDR (59%) (Pukesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatani, 2016).

Tingkat kesembuhan di Sulawesi Tenggara sebesar 79% dan

meningkat menjadi 81% pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 menurun

kembali menjadi 76%. Angka-angka tersebut masih jauh lebih rendah

dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan yaitu 85% (Profil Dinas

Kesehatan Sulawesi Tenggara, 2015).

Tingkat kesembuhan di Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan tahun 2014 sebesar 68.8%, menurun menjadi 66.5% pada tahun

2015 dan pada tahun 2016 menurun kembali menjadi 58.8%. Angka-

angka tersebut masih jauh dari target yang telah ditetapkan yaitu 85.8%

(Profil Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan, 2016).

Guna menyembuhkan TBC paru dibutuhkan pengobatan jangka

panjang untuk mencapai kesembuhan, karena pengobatan membutuhkan

jangka waktu yang panjang menyebabkan pasien tidak patuh dalam

menjalani pengobatan. Banyak pasien yang teratur minum obat dan

minum sesuai dengan dosis obat yang telah ditentukan, namun

sayangnya tidak tepat pada waktunya sehingga hal ini dapat

menyebabkan munculnya efek samping obat yang dapat mengganggu

keteraturan pengobatan pasien. Apabila efek samping dari obat ini

3
dibiarkan maka kemungkinan pasien akan malas minum obat dan

akhirnya gagal dalam pengobatan. Kepatuhan dan keteraturan pasien

minum obat dipengaruhi oleh dukungan keluarga, tenaga kesehatan,

pengawas minum obat (PMO), dan ketersediaan obat anti TB (OAT)

(Nursiwati, 2009).

Keteraturan minum obat bagi pasien sangat dituntut dalam

menjalani pengobatan jangka panjang ini. Dengan upaya patuh serta

teratur dalam minum obat diharapkan kemampuan bakteri dalam tubuh

dapat berkurang dan mati (Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis, 2002). Menurut Hiswani (2005), apabila pengobatan

terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh

kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga

membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya.

Untuk menjamin keteraturan minum obat, diperlukan seorang

Pengawas Minum Obat (PMO), dimana peran petugas PMO tersebut

akan melakukan pengawasan langsung terhadap penderita (Depkes RI,

2012). Menurut Rachmadi (2012), peran Pengawas Minum obat (PMO)

dapat kurang efektif dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang

pengobatan TB Paru pada Pengawas Minum Obat (PMO) dimana hal

tersebut akan mengakibatkan tidak tuntasnya pengobatan TB Paru dan

kebosanan pada penderita dalam mengkonsumsi OAT (obat anti

tuberkulosis) karena pengobatan TB paru memerlukan waktu yang relatif

4
lama.

Menurut Tahan P. Hutapea (2005) dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan

keteraturan minum OAT penderita TB Paru. Hasil analisisnya

menunjukkan bahwa dukungan keluarga merupakan yang paling besar

pengaruhnya terhadap peningkatan keteraturan minum OAT penderita TB

Paru. Hasil penelitian lain (Akbar, 2008) menyatakan bahwa peran

keluarga dalam pengobatan TB mempunyai andil yang besar dalam

menentukan keberhasilan maupun kegagalan pengobatan penderita TB

paru. Selain itu, ketersediaan OAT menentukan pasien TB yang

ditemukan dapat diobati, untuk itu agar kegiatan tetap berjalan, maka

perlu dilakukan analisa terhadap stok dan ketersediaan OAT yang ada di

unit pelayanan (Tim Logistik TB, 2011).

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang berhubungan

dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2016.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah penelitian

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah peran Pengawas Minum Obat (PMO) berhubungan dengan

5
kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Kelurahan Baruga Kabupasten Konawe?

2. Apakah keteraturan minum OAT berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan?

3. Apakah dukungan keluarga berhubungan dengan kepatuhan berobat

penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe Selatan?

4. Apakah ketersediaan Obat Anti tuberkulosis (OAT) berhubungan

dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara peran Pengawas Minum

Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis

paru di wilayah kerja Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan .

6
b. Untuk mengetahui hubungan antara keteraturan minum OAT

dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah

kerja Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan .

c. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan

kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan .

d. Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan OAT dengan

kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan

ilmu kesehatan masyarakat, khususnya manajemen pencegahan

dan pemberantasan penyakit menular.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pustaka atau

informasi tambahan bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk

mengkaji masalah yang relevan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan untuk mengkaji sekaligus

menentukan solusi terbaik untuk meningkatkan kesembuhan

7
penderita tuberkulosis paru.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi PMO

dalam meningkatkan kesembuhan penderita tuberkulosis dengan

cara meningkatkan perannya.

c. Memberikan masukan pada masyarakat terutama penderita

tuberkulosis untuk lebih menyadari akan pentingnya keteraturan

minum obat.

d. Bagi Dinas Kesehatan Kota Kendari, hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan

mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan angka

kesembuhan penderita tuberkulosis paru.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kepatuhan Berobat

Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka

menuruti, disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004),

adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan

pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan

ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh

apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat

mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Menurut Sacket (Ester,

2000), kepatuhan penderita adalah sejauh mana perilaku penderita

sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan

meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau

memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita.

Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah

sakit merupakan akibat dari ketidaktahuan penderita terhadap aturan

pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam

berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita.

Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis

petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan

9
yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah

pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah

penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor

penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin,

pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat

digolongkan menjadi 4 (empat) bagian yaitu :

1. Pemahaman tentang instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham

tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester,

2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah

bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang

diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh

kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang

lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan

intruksi yang harus diingat oleh penderita. Pendekatan praktis untuk

meningkatkan kepatuhan penderita ditemukan oleh DiNicola dan

DiMatteo (Ester, 2000), yaitu :

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-

hal lain.

10
c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang

harus diingat, maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka

berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis)

dan hal hal yang perlu ditekankan.

2. Kualitas interaksi.

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan

penderita merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat

kepatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan

penderita adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik

pada penderita setelah memperoleh informasi tentang diagnosis.

Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa

penyebabnya dan apa yang mereka lakukan dengan kondisi seperti

itu.

3. Isolasi sosial dan keluarga.

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga

menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai

perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

11
4. Keyakinan, sikap, kepribadian

Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara

pengukuran- pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka

menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara

orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang- orang yang tidak

patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,

sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih

lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian

pada dirinya sendiri.

Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri

kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan

seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program

pengobatan. Menurut Schwart & Griffin (Bart, 1994), faktor yang

berhubungan dengan ketidaktaatan, secara sejarah, riset tentang

ketaatan penderita didasarkan atas pandangan tradisional mengenai

penderita sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh.

Penderita yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan

masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk

mengidentifikasi kelompok-kelompok penderita yang tidak patuh

berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis

kelamin. Pendidikan penderita dapat meningkatkan kepatuhan,

sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang

12
aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh penderita secara

mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak

taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru

menekankan faktor situasional dan penderita sebagai peserta yang

aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan

sebagai suatu usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya,

bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai

kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :

1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih

rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang

segera dirasakan atau risiko yang jelas), sarana mengenai gaya hidup

umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks,

pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat

untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka

pendek adalah sekitar 78% untuk kesakitan kronis dengan cara

pengobatan jangka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara penderita dan dokter.

Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter

memengaruhi tingkat ketidaktaatan misalnya, informasi dengan

13
pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan

emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang

diberikan (Bart, 1994).

3. Variabel-variabel sosial

Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah

dipelajari. Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima

penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari

seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti

nasihat medis, daripada penderita yang kurang mendapat dukungan

sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat

penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh

normatif pada penderita, yang mugkin mengakibatkan efek yang

memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan

ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika serikat, kaum wanita, kaum

kulit putih, dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart,

1994).

B. Tinjaun tentang Penyuluhan Kesehatan

Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan

karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan

14
perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam

penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan

dengan menyampaikan pesan penting sacara langsung ataupun

menggunakan media.

Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung

per orangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan

pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek,

penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan

sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat

menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga

terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan

bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau

masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat

tentang TB Paru dari suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan

memalukan menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa

disembuhkan. Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap

berhasil bila penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat

pengobatan sebelumnya, penderita datang berobat secara teratur sesuai

jadwal pengobatan, anggota keluarga penderita dapat menjaga dan

melindungi kesehatannya.

15
C. Tinjauan tentang Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin

keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

1. Persyaratan PMO

Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah:

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati

oleh pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien

2. Siapa yang Bisa Jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di

Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain.

Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat

berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh

masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

16
3. Tugas Seorang PMO

Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO adalah:

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.

b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke UPK

D. Tinjauan tentang Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak

hanya menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari

seseorang ke orang lain. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh

seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882.

Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37C,

yang memang kebet ulan sesuai dengan t ubuh manusia ( Adit ama ,

1994).

17
1. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan

terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu

yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita

ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.

Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin

menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang

terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara

dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

2. Risiko Penularan

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan

dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan

kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru

dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan

dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi

penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di

Indonesia bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar

1%, berarti 10 (sepuluh) orang di antara 1000 penduduk terinfeksi

18
setiap tahun. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan

menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB

akan menjadi sakit TB. Faktor yang memengaruhi kemungkinan

seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang

rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV

merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB

menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem

daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi

infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang

bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan

kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah

penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB

Paru di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2007).

3. Gejala Klinis TB Paru

Gejala utama penderita TB Paru adalah batuk berdahak selama

2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan

yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan

lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang

enak badan, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat

dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,

bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat

19
prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap

orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala

tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)

penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

4. Tipe Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB

Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :

a. Kasus baru adalah penderita TB Paru yang belum pernah diobati

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu

bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali

dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB Paru

yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih,

kemudian kembali berobat dengan BTA posit if.

d. Kasus setelah gagal (Failure) adalah penderita TB Paru yang hasil

pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif

pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

20
e. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita TB Paru yang

dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB ke UPK lain untuk

melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di

atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita

TB Paru dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah

selesai pengobatan ulangan.

5. Pemeriksaan Dahak

Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga

spesimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) dahak secara mikroskopis

langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan

murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.

Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program

penanggulangan TB Paru adalah :

a. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi.

b. Menilai kemajuan pengobatan.

c. Menentukan tingkat penularan.

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan

dilakukan .

21
a. Akhir tahap intensif.

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif

kategori 2.

b. Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif

dengan kategori 2.

c. Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada

penderita BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum

akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positf dengan kategori 2.

6. Prinsip Pengobatan

Tujuan dari pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan

penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan

menurunkan tingkat penularan. Obat yang diberikan dalam bentuk

kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat

selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten)

dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan

sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila

22
paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka

waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi

kuman kebal obat (Depkes RI, 2002). yaitu : Menurut Depkes RI

(2007), pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap

a. Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan

secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular

dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA

positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap

lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan. Menurut Depkes RI (2002),

paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan

tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk

penderita dalam satu masa pengobatan. Program Nasional

23
Penaggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT :

a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan

setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan

tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R),

diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat

ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif, TB Paru

BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat, dan TBC Ekstra paru

berat.

b. Kategori 2 (2HRZE/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2

bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z),

Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK.

Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE

yang diberikan tiga kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa

suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan

obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), gagal

(failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after

default).

24
c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari

selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri

dari HR selama 4 bulan yang diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Obat ini diberikan pada penderita baru BTA negatif dan rontgen

positif sakit ringan serta penderita Ekstra paru ringan yaitu TBC

kelenjar limfe (limfademitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC

kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar

adrenal. 4. OAT Sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif

pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau

penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan

(HRZE) setiap hari selama satu bulan.

E. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional

yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di

Indonesia pada tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS

(1965-1994) angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh

program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka

kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA

positif yang ditemukan. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan

25
pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi

keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak

datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 2002).

Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB

yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha

menemukan/ mendiagnosis penderita secara baik dan akurat melalui

pemeriksaan mikroskopis. Selanjutnya, setiap penderita harus diawasi

(observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang

pengawas. Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment)

dalam sistem pengelolaan, pemberian regimen OAT yang adekuat yakni

melalui pengobatan jangka pendek (Shortcourse) sesuai dengan

klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994).

Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk

mencapai angka kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah kematian,

mencegah putus berobat dan kambuhnya penyakit serta mencegah

resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut Multiple Drug Resistance

/ MDR (Crofton, 2002).

26
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Kesembuhan penyakit Tuberculosis sangat tergantung pada

bagaimana penderita mengikuti pengobatan secara teratur baik dosis

maupun waktu minum obat. Ada beberapa hal yang mempengaruhi

seorang penderita agar berobat secara teratur, antara lain adalah

pengetahuan penderita tentang Tuberculosis, keteraturan berobat,

adanya dukungan keluarga dan orang-orang terdekat termasuk

masyarakat sekitarnya, serta Pengawas Minum Obat yang bekerja sesuai

tugas dan perannya, selain itu ketersediaan OAT juga memegang

peranan penting dalam mencapai tingkat kesembuhan Tuberculosis Paru.

Dalam penelitian ini akan diamati bagaimana Peran PMO,

keteraturan berobat, dukungan keluarga serta ketersediaan OAT yang

dihubungkan dengan tingkat kesembuhan penderita tuberculosis. Untuk

lebih jelasnya dapat di lihat bagan 3.1 kerangka konsep pada halaman

berikutnya.

27
B. Kerangka Fikir

Ketersediaan
OAT

PMO
Kesembuhan
Keteraturan Penderita
Berobat Tuberculosis
Dukungan
Keluarga

Pengetahuan

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Variabel yang dimatching

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent :

a. Peran PMO

b. Dukungan keluarga

c. Ketersediaan OAT

2. Variabel Mediator/ perantara: Keteraturan berobat

3. Variabel Dependent : Kesembuhan penderita Tuberculosis

28
D. Defenisi Operasional dan Kriteria Obyektif

1. Penderita Tuberculosis Paru adalah orang yang menderita

Tuberculosis Paru yang telah mengikuti program 6 bulan pengobatan

tapi tidak sembuh dengan hasil pemeriksaan laboratorium dinyatakan

masih BTA Positif.

2. Peran PMO adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh

target (kualitas, kuantitas dan waktu) yang telah dicapai oleh PMO

berdasarkan 10 tugas atau peran PMO.

Kriteria obyektif :

a. Efektif : apabila petugas PMO menjalankan 10 tugas

PMO.

b. Kurang efektif : apabila petugas PMO menjalankan < 10 tugas

PMO

3. Keteraturan berobat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kepatuhan penderita tuberculosis paru dalam mematuhi ketentuan dan

lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan.

Kriteria obyektif :

a. Teratur : apabila responden menjalankan pengobatan

intensif setiap hari selama 2 bulan dan fase

lanjutan 3x seminggu selama 4 bulan

b. Tidak teratur : apabila responden tidak menjalankan

pengobatan

29
intensif setiap hari selama 2 bulan dan fase

lanjutan 3x seminggu selama 4 bulan.

4. Dukungan keluarga yang dimaksud adalah dorongan atau motivasi

keluarga baik bapak, ibu, saudara, isteri, suami kepada penderita

untuk berobat secara teratur hingga waktu dari program pengobatan

selama 6 bulan habis. Alat ukur dengan menggunakan Kuesioner

dengan format jawaban dikotomi berskala Guttman ratio dikotomi (dua

tingkatan) yaitu ya dan tidak. Dengan jumlah pertanyaan 10 nomor

pada kuisioner. Nilai 1 jika responden menjawab ya, dan nilai 0 jika

responden menjawab tidak.

Kriteria Obyektif :

a. Cukup, apabila responden memperoleh skor 50%

b. Kurang, apabila responden memperoleh skor < 50%

5. Ketersediaan OAT adalah stok OAT yang telah disediakan oleh

Puskesmas Kec. Uepai Kab. Konawe.

Kriteria Ojektif:

a. Cukup, apabila stok OAT kategori I tersedia untuk 15 bulan

kedepan dan untuk kategori OAT II 10 bulan kedepan.

b. Kurang, apabila stok OAT kategori I tidak mencukupi sampai 15

bulan kedepan dan kategori OAT II tidak mencukupi sampai 10

bulan kedepan.

30
6. Kesembuhan penderita adalah status kesembuhan responden setelah

menjalani pengobatan 6 bulan dan kemudian dilakukan pemeriksaan

laboratorium dan dinyatakan BTA Negatif.

Kriteria Obyektif :

a. Sembuh : apabila penderita telah menjalani pengobatan

selama 6 bulan dan hasil pemeriksaan dahak

akhir pengobatan di laboratorium dinyatakan

BTA Negatif

b. Tidak sembuh : apabila penderita telah menjalani pengobatan

selama 6 bulan dan hasil pemeriksaan dahak

akhir pengobatan di laboratorium dinyatakan

BTA Positif

E. Hipotesis Penelitian

1. Peran PMO

Ho : Peran PMO tidak berhubungan dengan kepatuhan berobat

penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

Ha : Peran PMO berhubungan dengan kepatuhan berobat

penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

2. Keteraturan berobat

31
Ho : Keteraturan berobat tidak berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

Ha : Keteraturan berobat berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

3. Dukungan keluarga

Ho : Dukungan keluarga tidak berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

Ha : Dukungan keluarga berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

4. Ketersediaan OAT

Ho : Ketersediaan OAT tidak berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

Ha : Ketersediaan OAT berhubungan dengan kepatuhan berobat

penderita tuberculosis paru pada taraf kepercayaan

95%(=0,05).

32
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan

pendekatan Case Control Study yaitu suatu pendekatan penelitian dimana

variabel dependen dan variabel independen diukur pada waktu lampau

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan di laksanakan pada bulan Desember 2016 di

Wilayah Kerja Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita

tuberkulosis paru baik yang sembuh maupun yang tidak sembuh

setelah mengikuti program pengobatan 6 bulan yang tercatat pada

buku register pengobatan Puskesmas di Wilayah Kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan tahun 2016 yakni sebanyak

30 penderita.

33
2. Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang dipilih dengan cara

tertentu hingga dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 1993).

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan teknik

quota sampling. Yaitu memilih sampel dengan jumlah yang sama baik

sampel kasus maupun kontrol.

Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah penderita

baik penderita TBC paru yang dinyatakan hasil pemeriksaan BTA

positif maupun penderita TBC paru yang telah dinyatakan sembuh

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi untuk sampel kasus

1) Penderita TBC paru yang telah dinyatakan sembuh setelah

berobat selama 6 bulan dengan hasil BTA negatif

2) Umur 18-75 tahun

3) Dapat membaca dan menulis

4) Bersedia menjadi responden secara tertulis

b. Kriteria inklusi untuk kontrol/ pembanding

1) Penderita TBC paru yang telah berobat selama 6 bulan tapi

dinyatakan tidak sembuh dengan hasil pemeriksaan BTA

masih positif.

2) Umur 18-75 tahun

34
3) Dapat membaca dan menulis

4) Bersedia menjadi responden secara tertulis

c. Kriteria eksklusi

1) Penderita bukan atau pernah menderita TBC paru yang belum

berobat selama 6 bulan dengan hasil pemeriksaan BTA negatif.

2) Umur pasien kurang dari 18 tahun atau lebih 75 tahun

3) Tidak bisa membaca atau menulis

4) Pasien yang menderita penyakit komplikasi dari TBC paru

5) Pindah alamat.

Untuk mengukur besar ukuran sampel pada studi kasus kontrol yang

perlu diketahui adalah estimasi proporsi orang yang sembuh dengan

faktor resiko di kelompok studi/kasus (pi), dan estimasi orang yang

sembuh tanpa faktor risiko di kelompok kontrol (po) serta perkiraan

Odds ratio (OR) .(Chandra, 2006).

Rumus yang dipakai adalah :


=
(1 + )( 1)

= ( + ): 2

35
2( + )2 (1 )
=
( )2

Keterangan

N : perkiraan besar sampel

Pi : proporsi penderita yang sembuh dengan faktor resiko

Po : proporsi penderita yang sembuh tanpa faktor resiko

P : proporsi rata-rata

Z : nilai Z pada derajat kepercayaan tertentu

Z : nilai Z pada kekuatan uji tertentu

Pada penelitian ini diperkirakan odd ratio-nya 2, sedang derajat

() kemaknaanya = 0,05 dan () = 0,05. Z = 1,96 dan Z=1,65 dan

Po = 0,7. Dan P=1,52 Untuk Pi = 0,82 dengan demikian estimasi

besarnya ukuran sampel yang diperlukan sebagai sumber data pada

taraf kepercayaan 95% adalah :

2(1,96 + 1,65)2 1,52 (1 1,52)


= = 20,59 = 21
(0,7 0,82)2

Jadi estimasi besar sampel kasus = 21 dan sampel kontrol=21

36
D. Pengumpulan Data

1. Sumber data

a. Data Primer

Data tentang peran PMO, keteraturan minum OAT, dukungan

keluarga serta ketersediaan obat diperoleh melalui penderita

atau keluarga penderita dan petugas PMO. Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan

b. Data sekunder

Data tentang penderita tuberkulosis paru, jumlah penderita yang

sembuh dan tidak sembuh pada tahun 2013s dan yang

diperoleh dari laporan tuberkulosis paru Puskesmas Kecamatan

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang

digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dan

laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui

(Arikunto,1998) Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuesioner yang diajukan secara tertulis kepada responden

untuk mengumpulkan data yang diperlukan oleh peneliti.

37
3. Tehnik Pengambilan Data

Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan

menggunakan kuesioner tentang peran PMO, ketaraturan berobat,

dan dukungan keluarga yang kemudian kuesioner tersebut akan

diisi oleh responden yang bersedia untuk diteliti.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan November 2014

setelah sebelumnya mendapat izin dari pihak UPTD Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan untuk mengadakan

penelitian. Langkah pertama pengumpulan data adalah menyeleksi

calon responden dengan berpedoman pada kriteri inklusi.

Setelah mendapatkan responden yang dikehendaki maka

langkah selanjutnya peneliti meminta persetujuan dari responden

penelitian (klien) dengan memberikan surat persetujuan dan

meminta tanda tangan responden apabila bersedia untuk diteliti.

Setalah mendapat persetujuan kemudian responden diberikan

kuesioner dan menjelaskan cara pengisiannya.

Selama pengisian kuesioner peneliti mendampingi

responden dan juga membantu dalam pengisian kuesioner apabila

responden kurang memahaminya sehingga data yang diharapkan

dapat terkumpul dengan lengkap dan akurat.

38
E. Pengolahan Data

1. Pengelompokan data (editing)

Bertujuan untuk meneliti kembali jawaban yang telah ada agar

lengkap. langkah ini dikerjakan di lapangan supaya bila masih

terdapat kekurangan atau ketidaksesuaian dapat segera dilengkapi

dan disempurnakan.

2. Pemberian Kode (coding)

Memberikan kode angka pada atribut variabel untuk memudahkan

analisis data.

3. Pemberian skore (scoring)

Penilaian data dengan memberikan skore, hal ini dilakukan untuk

pertanyaan pengetahuan responden.

4. Pembuatan Tabel (tabulating)

Pembuatan label bertujuan untuk dalam penilaian hasil jawaban

responden dengan tabel distribusi frekuensi.

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan

program komputer kemudian disajikan dalam bentuk tabular maupun

tekstular.

39
F. Analisis Data

Setelah data terkumpul dilakukan uji analisis statistik sebagai berikut:

a. Analisis Univariat

Dilakukan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel

dalam bentuk Variabel distribusi frekuensi dan pesentase dengan

menggunakan rumus :

f
X xK
n

Keterangan :

X = persentase hasil yang dicapai

f = frekuensi Variabel yang dicapai

n = jumlah sampel yang diteliti

K = konstanta (100%)

(Chandra. B. (2008)

Tabel 1

Distribusi Frekuensi

No Variabel Penelitian Frekuensi (f) Persen (X)

1 Kriteria Objektif 1 A b

2 Kriteria Objektif 2 C d

Total a+c b+d

40
Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap Variabel (Notoatmotdjo, 2007).

Analisis univariat adalah analisis satu varibel tertentu yang akan

mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan responden dari

semua variabel.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan

Variabel dependen dengan Variabel independen dengan

menggunakan rumus Chi- Square:

( )
=
( + )( + )( + )( + )

Keterangan :

X2 = Chi- Square

N = jumlah sampel

(Sutrisno Hadi ; 2004)

Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan pada tabel

kontingensi 2x2 di bawah ini :

41
Tabel 2

Table Kontingensi 2x2

Variabel Variabel Dependen


Jumlah
Independen Positif Negatif

Positif A b a+b

Negatif C d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Setelah itu nilai x2 hitung dibandingkan dengan nilai x2

tabel pada taraf signifikan 95% ( = 0.05) dengan tingkat

kepercayaan 95% pengambilan keputusan dilakukan sebagai

berikut

1) Jika x2 hitung > x2 tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima,

yang berarti ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen

2) Jika x2 hitung < x2 tabel maka H0 diterima dan Ha ditolak,

yang berarti tidak ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen

Jika Ha diterima kemudian dilanjutkan uji keeratan hubungan

dilakukan dengan koefisien kontigensi

X2
C =
N + X2

42
Keterangan :

C = Koefisien Kontigensi

X2 = Chi- Square

N = Jumlah Sampel

Syarat penggunaan uji keeratan hubungan jika Ha diterima

0,801 1,000 = hubungan sangat kuat

0,601 0,800 = hubungan kuat

0,401 0,600 = hubungan cukup kuat

0,201 0,400 = hubungan lemah

0,001 0,200 = hubungan sangat lemah (Sugiono 2006)

43

Anda mungkin juga menyukai