Anda di halaman 1dari 8

POSISI PRONE

Deskripsi dan Penempatan Pasien


Variasi dari posisi prone :
1. Prone horisontal,
2. Prone dengan kepala yang dielevasikan ( posisi concorde ),
3. Prone sea lion,
4. Prone thoracica,
5. Prone jackknife
6. Prone duduk.
Posisi paling umum adalah pasien dengan kepala tertelungkup dimana :
Ditempatkan penyanggah di antara bahu dan pada krista iliaka, supaya pergerakan abdomen
dan ekspansi dada bebas. Hal ini untuk mengurangi kompresi abdomen dan memperbaiki
fungsi pernapasan dan stabilitas kardiovaskuler.
Bantalan busa atau jelly donut dapat digunakan untuk memproteksi mata dan telinga.
Pasien-pasien pediatrik, kain operasi yang digulung dengan kuat sehingga membentuk
bantalan yang berbentuk silinder bebas kerutan untuk menyanggah torso, pembebasan
abdomen dari permukaan meja operasi serta menstabilisasi pasien.
Pada pasien-pasien yang lebih besar atau prosedur pembedahan khusus, Wilson, Relton-
Hall dan Andrew menggunakan prosedur kerangka.

Gambar. Gulungan kain dapat ditempatkan di atas panggul dan kaki bagian bawah pada anak
kecil yang ditempatkan pada posisi prone agar tidak mengganggu pergerakan torakoabdominal
dan meminimalkan penekanan pada pergelangan kaki
Gambar. Kerangka Relton-Hall merupakan kerangka dengan empat sadel untuk memudahkan
kontrol derajat lordosis lumbal dengan variasi posisi sadel.

Evaluasi Preanestesi
Jika posisi prone dibutuhkan, maka harus diperhatikan beberapa kondisi pada pasien seperti:
Riwayat trauma leher, artritis cervical, atau riwayat operasi vertebra cervical sebelumnya
harus dicatat serta perkiraan pergerakan dari kepala dan leher harus dinilai.
Sindrom pediatrik tertentu ( misalnya sindrom Down dan Morquio-Brailsford ) dihubungkan
dengan anomali cervical rib dan pada pasien-pasien yang beresiko untuk terjadinya trauma
medula spinalis. Stabilitas dari vertebra servikalis harus dinilai dan semua kekurangan harus
dicatat pada penilaian preoperasi. Adanya anomalicervical rib harus dikesampingkan, sebab
hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma pleksus brakhialis pada saat lengan
terabduksi selama pembedahan.
Adanya obesitas harus dicatat sebab ukuran dada dapat mempengaruhi landasan
pengangkatan, mencegah terjadinya kompresi serta menjaga kestabilan posisi.
Semua pergerakan ekstremitas harus diperiksa.siku, lengan, dan kaki harus bisa difleksikan
serta lengan harus dapat terangkat sampai atas kepala tanpa menyebabkan cedera apapun.

Fisiologi Posisi Prone


Dalam keadaan normal yang sadar, pergerakan diafragma meningkatkan tekanan
intraabdominal namun menurunkan tekanan intratorakal. Gradiasi tekanan ini memfasilitasi
aliran darah balik vena melalui jantung. Pembatasn dari pergerakan diafragma atau pun
tekanan ventilasi positif yang intermiten mempersulit aliran balik vena sehingga
konsekuensinya mempengaruhi cardiac output.
Aliran balik vena yang berkurang ini dapat menyebabkan kompresi vena kava inferior dan
vena femoralis akibat penempatan sokongan yang tidak tepat maupun akibat dari pngaruh
gravitasi. Pada saat vena-vena ini terkompresi atau ekspansi abdominal terbatas, aliran darah
dari bagian distal tubuh akan menuju pleksus vena perivertebra ( vena-vena Batson ). Vena-
vena ini tidak mempunyai katup sehingga terjadilah sistem tekanan yang sangat rendah.
Akibatnya terjadinya pengisian pada pleksus vena vertebra selama operasi spinal, sehingga
dapat meningkatkan kehilangan darah.
Hubungan antara tipe-tipe posisi prone dan tekanan vena kava inferior telah didiskusikan
baru-baru ini. Pengurangan signifikan sekitar 50% dati tekanan vena kava inferior rata-rata
timbul pada pasien dengan posisi kerangka Relton-Hall, jika dibandingkan dengan
posisi prone dengan penyangga konvensional. Hubungan antara peningkatan tekanan vena
sentral ( CVP ) dan kehilangan jumlah darah yang besar intraoperatif telah diteliti; namun
peneliti tidak menemukan adanya kejadian yang mendukung hipotesa bahwa CVP berguna
untuk menntukan posisi prone yang ideal pada pasien-pasien dengan laminektomi lumbal.
Pasien-pasien yang diberikan anetesi halotan dan pelumpuh otot yang diposisikan
pada prone datar, tidak menunjukkan adanya perubahan bermakna dari variabel hemodinamik. Namun
kenaikan dari posisi kerangka menyebabkan reduksi signifikan dari cardiac output ( 20% )
dan stroke volume dengan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Penurunan cardiac
outputdipercaya sebagai penyebab kedua terjadinya penurunan venous return. Penelitian efek
kardiovaskuler dari empat posisi prone yang berbeda ini ( pasien dengan bantalan, matras
yang dapat dievakuasi, kerangka Relton-Hall, posisi dada-lutut/prone duduk ) ditemukan
bahwa penggunaan bantal ( 1 buah di bawah thoraks, dan yang lain di bawah pelvis )
kurang impairment pada knee-chest position atau pada kerangka Relton-Hall.

Komplikasi Posisi Prone


Jalan napas sebaiknya diamankan sebelum merubah posisi. Resiko yang harus dihadapi ketika
posisi pasien diubah dari posisi supine ke prone adalah terjadinya ekstubasi yang tidak
diinginkan.
Kabel monitor sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak tersangkut.
Diskoneksi merupakan cara yang paling aman dan menghindari komplikasi.
Akses intravaskuler, seperti kateter arteri dan vena sentral yang invasif , harus diperhatikan
sebaik-baiknya sebelum dan selama merubah posisi untuk mencegah dislokasi dari kateter
yang tidak diinginkan.
Lengan pasien sebaiknya ditempatkan disepanjang badan selama perubahan posisi, di sebelah
kiri pada posisi ini atau di abduksikan pada posisi akhir.
Mayoritas kontak kulit pada lutut, krista iliaka, dan pergelangan tangan dapat beresiko
mengalami nekrosis jika pasien berada pada posisi ini dalam jangka waktu yang lama. Sebuah
bantal atau penyanggah yang lembut dapat diletakkan dibawah area ini.
Pada pasien perempuan, perhatian khusus diberikan pada payudara, dan khususnya pada
puting susu untuk mencegah kerusakan dan nyeri akibat kompresi post operatif.
Mata sebaiknya diplester dengan erat diberi saline atau salep mata untuk mencegah abrasi
kornea. Abrasi kornea dapat timbul segera setelah pulih dari anestesi dengan nyeri yang hebat
pada mata.. Iskemia retina yang dapat menuju pada kebutaan dapat terjadi.
Pada beberapa tahun terakhir, penyebab kehilangan penglihatan postoperatif yang paling
sering dilaporkan adalah ischemic optic neuropathy ( ION ). Hal ini biasanya berhubungan
dengan hipotensi dan anemia. Emboli lemak atau udara merupakan faktor etiologi yang
potensial. Pada populasi yang lebih tua, faktor resiko arteriosklerotik seperti hipertensi,
diabetes, dan merokok merupakan faktor resiko yang penting. Tekanan perfusi pada diskus
nervus optikus ditentukan oleh perbedaan tekanan perfusi antara arteri siliaris posterior dan
tekanan intra okular ( IOP ). Faktor yang menurunkan tekanan arteri siliaris posterior, seperti
hipotensi sistemik yang berkepanjangan atau adanya peningkatan IOP, akan menurunkan
tekanan perfusi dan meningkatkan resiko ION. Posisi supine yang berkepanjangan dengan
kepala yang dependent, posisi down tilt dapat dihubungkan dengan penurunan aliran vena
yang meningkatkan statis lokal capillary bed. Sebagai hasil dari peningkatan CVP atau
obstruksi vena, IOP akan meningkat yang disertai dengan penurunan yang sejalan pada aliran
darah koroidal, yang dapat memicu terjadinya ION. Penempatan kepala yang sesuai dapat
meminimalkan resiko terjadinya komplikasi pada mata.
Berat kepala sebaiknya disanggah oleh dahi dan arkus zigomatikus, dimana mata dan hidung
pasien sebaiknya diposisikan tidak jauh dari konka. Kepala sebaiknya berada pada posisi
netral untuk menghindari rotasi pada leher. Tumpuan berat yang langsung pada wajah atau
dahi dapat menyebabkan leher menjadi hiperekstensi dan menyebabkan nyeri myofascial pada
masa post operatif.
Makroglossia adalah komplikasi yang jarang dan pernah ditemukan setelah operasi fossa
posterior dengan posisi prone. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh kongesti vaskuler akibat
fleksi leher yang ekstrim.
Cedera saraf pada pasien pediatri terjadi pada 1% dari semua klaim pasien pediatri.
Cedera saraf perifer berjumlah 16% dari seluruh klaim pada anestesi

PRIMARY SURVEY

Skenario

Seorang pasien laki-laki 54 tahun dating dengan keluhan kaki baal dan mengaku telah jatuh dari
ketinggian 3 meter. Lakukan primary dan secondary survey pada pasien tersebut.

Primary Survey

Airway

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan
mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas

Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain adanya snoring atau
gurgling, stridor atau suara napas tidak normal, agitasi (hipoksia), penggunaan otot bantu
pernafasan / paradoxical chest movements, sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab
obstruksi seperti muntahan, perdarahan, gigi lepas atau hilang, gigi palsu, trauma wajah.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi yaitu
Chin lift/jaw thrust, lakukan suction (jika tersedia), oropharyngeal airway/nasopharyngeal
airway, Laryngeal Mask Airway, lakukan intubasi
Breathing
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
Circulation
Cek arteri karotis
Lakukan Kontrol perdarahan jika terdapat yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
Melakukan pemeriksaan tekanan darah
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Inspeksi kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang
digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus
verbal.

Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien, namun segera diselimuti
untuk mencegah terjadinya hipotermia
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

SECONDARY SURVEY
History
Allergies
Medication ( riwayat penggunaan antikoagulan, insulin, dan pengobatan kardiovaskuler)
Previous Medical/ surgical history (riwayat pengobatan/ riwayat operasi sebelumnya)
Last meal (riwayat terakhir kali makan)
Environment ( keadaan lingkungan di sekitar kejadian)

Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam.
(50 cc x 55 kg) : 4 = 687,5 cc

b. Kebutuhan cairan selama operasi besar 3 jam


Kebutuhan cairan dasar manusia dewasa adalah 50cc/kgBB/24 jam
Kebutuhan cairan dasar perjam = (50cc x 55kg) :24 = 114,5 cc
Kebutuhan cairan selama operasi besar = 8cc x 55 kg = 440 cc
1 jam pertama

Kebutuhan dasar + rehidrasi puasa + kebutuhan cairan selama operasi

114,5 cc + (50% x 687,5 cc) + 440 cc= 898,25 cc

1 jam kedua

Kebutuhan dasar + rehidrasi puasa + kebutuhan cairan selama operasi

114,5 cc + (25% x 687,5 cc) + 440 cc= 726,375 cc

1 jam ketiga

Kebutuhan dasar + rehidrasi puasa + kebutuhan cairan selama operasi

114,5 cc + (25% x 687,5cc) + 440 cc= 726,375 cc

c. Perdarahan = 900 cc
EBV = 75 cc x 55 kg = 4125 cc

Jadi kehilangan darah = 900/4125 x 100% = 21,8 %

Karena kehilangan darah 15-30 % dilakukan penggantian cairan dengan menggunakan


kristaloid.

Anda mungkin juga menyukai