Anda di halaman 1dari 3

Pemerintah Tak Kenakan PPN 10 Persen pada Produk Gula Petani

Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan


Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) sepakat untuk
tidak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen pada
produk gulapetani.

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan


Nasional (DPN) APTRI, Soemitro Samadikoen, usai bertemu Direktur Jenderal Pajak, Ken
Dwijugiasteadi, di Kantor Pusat DJP.

"Intinya beliau setuju akan dibuat peraturan pemerintah, diusulkan agar gula tani bukan barang terutang
pajak. Jadi tidak dikenakan PPN," ujar dia di Jakarta, Kamis (13/7/2017).

Menurut Soemitro, kesepakatan ini nantinya akan dituangkan ke dalam surat yang akan dikeluarkan oleh
DJP pada pekan depan. Namun dia belum bisa memastikan bentuk payung hukum dari kesepakatan
tersebut.

"Jadi akan ada surat minggu depan. Selama ini sebagai awalan itu penegakan kepada seluruh pedagang
dan seluruh stakeholder bahwa omzet petani yang di bawah Rp 4,8 miliar itu tidak kena PPN karena
bukan PKP (pengusaha kena pajak). Tapi ke depan kami tegaskan dalam minggu depan Dirjen Pajak
sampaikan ke kita akan diterbitkan surat," jelas dia.

Dengan adanya surat tersebut, kata Soemitro, seluruh produk gula yang dihasilkan oleh petani di dalam
negeri tidak akan dikenakan PPN.

"DJP akan menegaskan gula petani bukan barang yang terutang pajak, jadi tidak terkena PPN. Ini sesuai
dengan keinginan kita, sehingga sampai di mana pun juga gula tadi tidak terutang," tandas dia.

Berikut kesimpulan hasil rapat Direktur Jenderal Pajak dengan APTRI:

1. Atas penyerahan gula oleh petani tebu beromset di bawah Rp 4,8 miliar per tahun tidak terutang PPN
karena petani tersebut tidak dikategorikan (dikukuhkan) sebagai Pengusaha Kena Pajak. Selanjutnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pedagang tidak dapat membebankan
PPN yang terutang kepada petani.

2. DJP akan mengusulkan kebijakan penetapan gula petani sebagai barang kebutuhan pokok, yang
ditetapkan sebagai bukan barang kena pajak, sehingga atas penyerahannya tidak dikenakan PPN. Hal ini
sejalan dengan Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan
Pokok dan Barang Penting, yang menetapkan gula termasuk kelompok barang kebutuhan pokok hasil
industri dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pengujian UU PPN Nomor
42 Tahun 2009.
Menko Darmin Beberkan Transformasi Ekonomi RI

Menko Darmin Nasution mengklaim dalam, perjalanan ekonomi Indonesia telah


mulai berbalik arah menguat pasca krisis ekonomi. Foto/Ilustrasi

JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution menerangkan,


perjalanan ekonomi Indonesia yang menurutnya mulai berbalik arah menguat pasca krisis ekonomi pada
1998-1999 dan 2013-2014, lalu. Ia menambahkan untuk mencapai kondisi ekonomi saat ini dibutuhkan
perjuangan, meski ia mengaku hingga saat ini pertumbuhan ekonomi RI belum begitu baik.

"Sebetulnya sedikit banyak, telah berhasil dibalikkan arahnya dari periode 2013-2014 yang mulai
melambat. Coba dibalikkan dengan berbagai kebijakan yang berani dan penting dan itu sedikit banyak
berhasil," ujar Darmin dalam Seminar Menuju Indonesia menuju Ekonomi Berkeadilan di Museum
Kebangkita Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2017).

Demi membalikkan situasi tersebut, terang dia banyak langkah yang sudah diambil. Menko Darmin
menceritakan, pemerintah di bidang anggaran memulai dengan melakukan transformasi yang sangat
penting dimana subsidi dialihkan menjadi pengeluaran untuk infrastruktur, pendidikan serta bantuan
sosial.

"Mungkin semua belum menyadari dengan baik, tentu pemerintah sudah menjalankan. Dan itu adalah
awal dari upaya pertama, mencoba mendorong ketertinggalan yang sudah cukup jauh dalam
pembangunan infrastruktur," paparnya.

Pemerintah, menurut Darmin juga menyadari bahwa Indonesia sudah sangat ketinggalan dan terlambat.
Namun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ungkapnya kemudian punya keteguhan sikap dan
keberanian untuk memulai dengan konversi subsidi, yang kemudian mengundang para investor
melakukan investasi di bidang infrastruktur.

Selanjuta dia menerangkan yang dilakukan yakni mencoba merumuskan beberapa sektor walaupun tidak
selalu bisa disimpulkan dan dirumuskan dengan singkat, tapi terlihat pemerintahan ini mendorong lagi
sektor-sektor yang sebetulnya merupakan pondasi dari transformasi ekonomi, yaitu industri manufaktur,
pariwisata, dan perikanan.

"Ketiga, pemerintah melihat hal ini hanya bisa difasilitasi, jika dilakukan regulasi, debirokratisasi
sehingga Indonesia bisa semakin terbuka dan menarik. Serta kompetitif, untuk tujuan investasi baik dari
dalam maupun luar negeri," pungkasnya.
Pemerintah kaji wajibkan Premium kembali ada di tiap SPBU

SPBU Abdul Muis. 2014 merdeka.com/muhammad lutfhi


rahman
Merdeka.com - Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) akan merevisi aturan terkait
kewajiban adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium untuk disediakan di setiap Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) seluruh Indonesia. Tujuan dari revisi ini dalam menyukseskan
program BBM satu harga.

"Nah revisinya sedang disiapkan, sudah hampir selesai," kata Direktur Jenderal Migas Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IGN Wiratmaja Puja seperti dikutip Antara di Komplek DPR,
Senayan, Jakarta, Kamis (13/7).

Revisi tersebut terkait dengan Perpres 191 Tahun 2014 untuk penugasan penyediaan dan pendistribusian
Jenis BBM Tertentu kepada Badan Usaha. Jika aturan tersebut direvisi untuk memenuhi program BBM
satu harga, maka penugasan Premium di tiap SPBU harus tersedia di seluruh kawasan Indonesia.

Sebelumnya, PT Pertamina menjelaskan hilangnya Premium di 800 Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum (SPBU) dari total 4.106 SPBU di kawasan Jawa, Madura dan Bali.

Direktur Pemasaran Pertamina M Iskandar menjelaskan tidak adanya sekitar 20 persen premium di total
SPBU disebabkan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 (Perpres 191/2014) yang telah
menggolongkan premium di Jawa, Madura dan Bali sebagai 'bahan bakar umum', layaknya pertamax
seris.

Artinya Pertamina tidak memiliki kewajiban untuk menyediakannya di SPBU wilayah tersebut. Premium
merupakan penugasan, dan penugasan tersebut adalah Premium di luar Jawa, Madura dan Bali.

"Di luar kawasan Jamali (Jawa, Madura dan Bali) ada 2.194 SPBU, sebanyak 294 SPBU di antaranya
memang belum ada premium," ungkap Iskandar.

Selain itu, rekomendasi dari konsumen pun menjelaskan, bagi yang sudah pakai Pertalite rata-rata tidak
bakal kembali ke Premium. "Pertalite ternyata tarikannya dirasa lebih kencang dan juga lebih hemat
konsumsinya dari Premium," ucapnya.

Berdasarkan data, peningkatan Pertamax itu tinggi, sebanyak 32 persen. Menurutnya juga sempat lesu,
SPBU penjualan dex hanya 50 liter, setelah habis tidak ada penambahan lagi.
"Ini memang akan kami 'support' konsumsi untuk angkutan umum sekitar 7 persen, 92 persen untuk
komersial, 80 persen untuk mobil pribadi," jelasnya. Dalam diskusi tersebut, Komisi VII sempat
mempertanyakan kenapa banyak SPBU yang tidak lagi menyediakan Premium.

Padahal Premium merupakan BBM yang disubsidi dan ada penugasan dari pemerintah kepada Pertamina,
sehingga Pertamina menjelaskan beberapa alasan terkait.

Anda mungkin juga menyukai