Kakao merupakan salah satu hasil perkebunan yang memiliki posisi cukup baik dalam
perdagangan dunia. Kakao juga sebagai salah satu komoditi perkebunan yang banyak diminati
oleh konsumen, sehingga nilai ekonomisnya meningkat. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
adalah tanaman perkebunan yang umumnya tumbuh di daerah tropis. Bagian dari buah kakao
yang dimanfaatkan berupa biji, yang nantinya diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan
bubuk coklat, biasa digunakan sebagai minuman penyegar dan makanan ringan.
Adapun Secara botani kakao diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae (Sterculiaceae)
Genus : Theobroma
Spesies : T. cacao
Kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan sampai saat ini masih
merupakan kendala dalam program penanganan limbah di tingkat petani. Masalah
ini di antaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, maupun keterbatasan
areal pembuangan. Di samping itu limbah pertanian dan perkebunan belum
banyak dimanfaatkan walaupun dalam beberapa kondisi memiliki potensi sebagai
bahan pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos, sehingga perlu
dilakukan pengamatan dalam mendukung program pemanfaatan limbah potensial
terutama limbah potensial yang dihasilkan oleh tanaman kakao yaitu limbah kulit
kakao. Kita sendiri banyak mengenal tanaman kakao sebagai tanaman yang dapat
menghasilkan cokelat. Tapi siapa sangka bahwa selain bijinya yang dapat diproses
menjadi cokelat ternyata kulit dari buah kakao dan pulp kakao yang selama ini menjadi limbah
dari industri cokelat juga mempunyai nilai jual yang tinggi
Kulit buah kakao (shel fod husk) dan pulp kakao adalah merupakan limbah agroindustri
yang dihasilkan tanaman kakao. Berdasarkan penelitian, kulit kakao atau biasa
kita sebut kulit cokelat mempunyai kandungan gizi yaitu 22% protein, 39%
lemak, bahan kering (BK) 88%, protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,15,
dan TDN 50,8%, metabolisme energi (K.kal) 2,1, pH 6,8. Dari penjelasan tentang
kandungan gizi dapat disimpulkan bahwa kulit kakao ini memiliki kandungan gizi
yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi limbah yang bernilai jual tinggi..
Maka pada makalah ini kita dapat membahas tentang pendayagunaan limbah kulit
kakao untuk menjadi pupuk serta pakan ternak alternative yang dapat
meningkatkan produktivitas hewan ternak.
Kulit kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternative. Selama ini para peternak sapi,
kambing atau unggas sering
mengandalkan pakan yang berasal dari rerumputan atau sayuran untuk pakan
ternaknya sehari-hari. Dengan pakan yang standar tersebut produktivitas dari
hewan ternak tidak dapat maksimal Dan lagi kendala yang sering dialami oleh
para petani sendiri adalah terbatasnya pakan tersebut. Perluasan areal untuk
penanaman rumput sebagai pakan ternak sangat sulit, karena alih fungsi lahan
yang sangat tinggi. Dan pada musim kemarau tanaman rumput terganggu
pertumbuhannya, sehingga pakan rumput yang tersedia kurang baik dari
segi kuantitas maupun kualitas. Bahkan di daerah-daerah tertentu rumput pakan
ternak akan kering dan mati sehingga menimbulkan krisis pakan rumput.
Mengingat sempitnya lahan penggembalaan dan kendala ketersediaan tanaman
pakan pada musim kemarau, maka usaha pemanfaatan sisa hasil (limbah)
pertanian untuk pakan perlu dipadukan dengan bahan lain yang sampai saat ini
belum biasa digunakan sebagai pakan yang dapat meningkatkan produktivitas
hewan ternak tersebut.
Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai pakan
ternak dapat diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk tepung setelah
diolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit buah kakao segar yang
dikeringkan dengan sinar matahari kemudian digiling dan dihaluskan selanjutnya
dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ternak kambing, bahwa penggunaan
kulit buah kakao dapat digunakan sebagai bahan campuran ransum sebanyak 15%
dari total ransum.
Sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit buah kakao
perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit
dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan kadar protein dari 6-8% menjadi 12-
15%.. Kulit buah kakao setelah fermentasi mengandung protein kasar 17,21%;
serat kasar 12,45%; lemak 1,9%, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
campuran konsentrat pakan ternak. Pemberian kulit buah kakao yang telah
diproses pada ternak kambing dapat meningkatkan berat badan kambing sebesar
50 gram sampai 150 gram per ekor per hari.
Proses pengolahan kulit buah kakao menjadi pakan ternak ada dua cara, yaitu:
1. Proses Pengolahan Kulit Buah Kakao dengan Fermentasi
Dengan proses fermentasi, nilai gizi limbah kulit buah kakao dapat
ditingkatkan, sehingga layak untuk pakan penguat kambing maupun sapi, bahkan
untuk ransum ayam. Salah satu fermentor yang cocok untuk limbah kulit buah
kakao adalah Aspergillus niger. Proses fermentasi limbah kakao menyebabkan
meningkatnya kandungan protein, hal ini dibuktikan dengan hasil proximate
analysis, yang menunjukan perubahan kandungan protein kasar (CP) dari 12,22%
pada kakao mentah (sebelum difermentasi) menjadi 16,12% setelah mengalami
fermentasi. Sedangkan kandungan serat kasar (CF) menurun akibat fermentai,
yakni dari 6,42% menjadi 4,15%. Manfaat fermentasi dengan teknologi ini adalah:
a. Meningkatkan kandungan protein.
b. Menurunkan kandungan serat kasar.
c. Menurunkan kandungan tanin (zat penghambat pencernaan).
Proses Pengolahan Kulit Buah Kakao Tanpa Fermentasi
Mengumpulkan limbah kulit buah kakao dari hasil panen lalu dicincang.
Kemudian dijemur pada sinar matahari sampai kering yang ditandai dengan cara
mudah dipatahkan atau mudah hancur kalau diremas. Setelah kering ditumbuk
dengan menggunakan lesung atau alat penumbuk lainnya, kemudian dilakukan
pengayakan. Untuk meningkatkan mutu pakan ternak, maka tepung kulit buah
kakao dapat dicampur dengan bekatul dan jagung giling masing-masing 15%,
35%, dan 30%. Ini artinya bahwa ransum tersebut terdiri atas 15% tepung kulit
buah kakao, 35% bekatul dan 30% jagung giling.
Penggunaan Hasil Olahan Limbah Kulit Buah Kakao untuk Pakan Ternak adalah:
1. Pada awal pemberian, biasanya ternak tidak langsung mau memakannya.
Karena itu berikanlah pada saat ternak lapar dan bila perlu ditambah sedikit garam
atau gula untuk merangsang nafsu makan.
2. Tepung limbah hasil fermentasi bisa langsung diberikan kepada ternak, atau
disimpan.
3. Penyimpanan harus dengan wadah yang bersih dan kering. Untuk ternak
ruminansia (sapi, kambing) limbah kakao olahan bisa dijadikan pakan penguat,
untuk mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produksi susu. Bisa diberikan
sebagai pengganti dedak, yakni sebanyak 0,7-1,0% dari berat hidup ternak.
4. Pada ayam buras petelur pemberian limbah kakao sebagai pengganti dedak
hingga 36% dari total ransum dapat meningkatkan produksi telur.
5. Pada ternak kambing menunjukkan bahwa ternak nampak sehat, warna bulu
mengkilat dan pertambahan berat badan ternak dapat mencapai antara 50-150 gram
per ekor per hari.
Selain itu kulit kakao juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk
organic. Pembuatan pupuk yang terbuat dari kulit kakao sendiri tidak jauh berbeda
dengan pembuatan pupuk kompos lain. Kulit kakao yang ada, dikumpulkan dalam
satu lubang tanah, lalu dicampur dedaunan, batang pisang dan jerami yang
kemudian ditimbun selama kurang lebih 60 hari. Agar hasilnya maksimal,
timbunan tersebut tidak boleh dibuka selama proses berlangsung, selain itu bisa
ditambahkan mikro organisme pengurai atau cacing tanah agar bisa mempercepat
penggemburan. Setelah itu, lubang bisa digali dan kulit kakao akan berubah
menjadi gembur. Lalu, pupuk kompos yang sudah jadi, diangkat dari lubang.
Selanjutnya pupuk kompos yang kasar disaring supaya menghasilkan pupuk
kompos yang halus, maka pupuk siap digunakan. Secara ekonomi pupuk dari
bahan dasar kulit kakao bisa menghemat biaya hingga 50 persen, sehingga petani
tidak susah lagi dengan kelangkaan pupuk yang sering terjadi belakangan ini.
karena unsur hara yang ada di dalam pupuk yang terbuat dari kakao telah
mencukupi. Agar unsur hara pupuk kompos dari kulit kakao mencukupi bisa
ditambahkan dengan pupuk ZA dan NSP. Selain menghemat biaya, pupuk dari
kulit kakao tersebut sangat ramah lingkungan karena tidak mengandung zat asam
berlebih, sehingga tidak membuat struktur tanah menjadi keras.
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk organik yang berasal dari
pemanfaatan limbah kulit kakao yang terlebih dahulu dikomposkan dengan
menggunakan aktivator EM-4. produsinya pada tahun 1999 adalah 5.890 ton, data
estimasi tahun 2002 adalah 5.002 ton sedangkan, produksi kakao Indonesia tahun
1999 adalah 367.475 ton dan estimasi tahun 2002 adalah 433.415 ton. Banyaknya
produksi ini mengakibatkan kulit kakao sebagai limbah perkebunan meningkat.
limbah kulit buah kakao yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan menjadi
masalah jika tidak ditangani dengan baik. Produksi limbah padat ini mencapai
sekitar 60% dari total produksi buah.
Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman
dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai
bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang
sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak
sekitar 86%, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7%. Kompos kulit buah
kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C-organik 33,71%; P2O5 0,186%; K2O
5,5%;CaO 0,23%; dan MgO 0,59%.
Pengomposan
kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal makhluk
hidup seperti dedaunan, tanaman, kotoran hewan dan sampah. Proses pembuata
kompos dapat dipercepat dengan bantuan manusia. Pupuk dengan C/N ratio yang
tinggi kurang baik diberikan, karena proses peruraian selanjutnya akan terjadi di
dalam tanah dan CO2 yang dihasilkan akan berpengaruh kurang baik terhadap
pertumbuhan.
Faktor-faktor Keberhasilan dalam Pengomposan
Menurut Isroi (2007) ada beberapa hal yang mempengaruhi pengomposan antara
lain :
1. Nisbah C/N
Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga
40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N
untuk sintesis protein. Pada nisbah C/N di antara 30-40 mikroba mendapatkan
cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nisbah C/N terlalu
tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi
berjalan lambat.
2. Tekstur bahan baku
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area
yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan
proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran bahan baku juga
menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas
permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut,
dengan ukuran bahan baku yang ideal 2x2cm
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob).
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang
akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel dalam tumpukan kompos. Porositas
dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-
rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan menambah oksigen untuk
proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen
akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban
(Moisture content) memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolismemikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
5. Mikrooranisme
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik
tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk
metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan
mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila
kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang,
akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik
yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungannya langsung antara
peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan
semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses
dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan
kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60o C menunjukkan aktivitas
pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60o C akan membunuh
sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan
hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman
dan benih-benih gulma.
7. Reaksi kemasaman (pH)
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum
untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak
umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri, sebagai
contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan
penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa
yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal
pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya
terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan
oleh mikroba selama proses pengomposan.
9. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi
kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah
beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami
imobilisasi selama proses pengomposan
Salah satu alternative lain teknologi pengolahan limbah kakao adalah dengan
memanfaatkan pulp kakao sebagai Salah satu produk hasil samping yang dapat dihasilkan dari
cairan lender biji kakao untuk pembuatan nata cacao. Produk tersebut hampir sama dengan nata de
coco yang bahannya berasal dari air kelapa. Dengan proses fermentasi yang serupa yaitu pemanfaatan
bakteri acetobacter xylinum, cairan lender biji kakao dapat menghasilkan nata. Raktor yang berpengaruh
pada pembuatan nata meliputi sumber gula, suhu fermentasi, tingkat keasaman medium, lama
fermentasi dan aktivitas bakterinya. Gula merupakan salah satu nutrisi yang sangat diperlukan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sampai pada konsentrasi tertentu
penambahan gula akan meningkatkan pertumbuhan bakteri acetobter xylinum sehingga pembentukan
nata dari hasil perombaan gula menjadi semakin tinggi. Untuk memperoleh hasil nata de cacao yang
lebih putih, dalam pembuatannya harus dilakukan pengenceran limbah cair biji kakao. Hal ini
disebabkan cairan biji kakao mengandung yang langsung diambil dari pabrik pengolahan biji kakao
masih mengandung kotoran-kotoran dan masih berwarna kuning cokelat. Adapun tujuan pengenceran
media (limbah cair biji kakao) adalah untuk memucatkan warna kuning cokelat dari limbah cair biji kakao
agar nata yang dihasilkan lebih putih.
Nata de coco merupakan fermentasi dari limbah pulp biji cokelat yang
berbentuk padat seperti agar-agar, kenyal seperti kolang-kaling dan berwarna putih
transparan. Kandungan gizi nata sangat rendah karena tidak mengandung zat gizi
yang essensial sehingga sesuai untuk diet, penanggulangan penyakit gizi lebih,
tekanan darah tinggi, kardiovaskuler dan diabetes melitus (Karim, 2001). Nata
dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum.
Pulp kakao merupakan lapisan berlendir (pulp) yang menyelimuti keping biji.
Pada pengolahan kakao yang dimanfaatkan bijinya. Sedangkan lapisan lendir
dibuang. Pulp merupakan senyawa yang sebagian terdiri atas air dan komponen
gizi yang lain seperti sukrosa dan glukosa.
bab 2
2. Limbah padat yang berasal dari kulit sisa kakao dapat dimanfaatkan menjadi
pakan ternak dan pupuk organik.
3. Dalam proses produksi tanaman kakao memiliki hasil samping berupa limbah
cairan yaitu pulp (lender) biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai nata de cacao
dan sirup.
Saran
Pemanfaatan limbah kulit kakao sebagai pakan ternak dan pupuk organik
perlu dilakukan dalam skala luas sehingga dapat meningkatkan nilai guna limbah
tersebut dan dapat bermanfaat bagi masyarakat maupun petani
DAFTAR PUSTAKA
Agus, J. 2010. Teknologi Pembuatan Pakan Ternak dari Limbah Kulit Kakao .
Jurnal Litbang Vol. 2 No.1.
Arsyad, M. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Pajak Ekspor dan Subsidi Harga
Pupuk terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia Pasca Putaran
Uruguay. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 8, No. 1.
Dwi, P. dan B. Arsana . 2006. Kambing Peranakan Ettawah, Penghasil Susu
Sebagai Sumber Pertumbuhan Baru Sub Sektor Peternakan di
Indonesia. Makalah Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan- Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Fauzan. 1999. Petunjuk Pemupukan. Jakarta : Redaksi Agromedia.
Suhardi. 1978. Dasar Dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta : Kanisius.
Sulistiyani, D. P. Warsito,. dan D. Suwandi 2006. Kesesuaian Lahan untuk
Tanaman Kakao di Lahan Perkebunan Karet. Jurnal Dinamika Pertanian
Vol. 21 No. 2.
Wahyuni, S. dan N. Sugama. 2008. Hasil Pengkajian Pemanfaatan Limbah
Perkebunan (Kakao dan kopi) untuk Pakan Ternak. Kerjasama BPTP Bali
dengan Bappeda Prop. Bali