Anda di halaman 1dari 16

BAB 1 PENDAHULUAN

Kakao merupakan salah satu hasil perkebunan yang memiliki posisi cukup baik dalam
perdagangan dunia. Kakao juga sebagai salah satu komoditi perkebunan yang banyak diminati
oleh konsumen, sehingga nilai ekonomisnya meningkat. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
adalah tanaman perkebunan yang umumnya tumbuh di daerah tropis. Bagian dari buah kakao
yang dimanfaatkan berupa biji, yang nantinya diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan
bubuk coklat, biasa digunakan sebagai minuman penyegar dan makanan ringan.
Adapun Secara botani kakao diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae (Sterculiaceae)
Genus : Theobroma
Spesies : T. cacao
Kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan sampai saat ini masih
merupakan kendala dalam program penanganan limbah di tingkat petani. Masalah
ini di antaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, maupun keterbatasan
areal pembuangan. Di samping itu limbah pertanian dan perkebunan belum
banyak dimanfaatkan walaupun dalam beberapa kondisi memiliki potensi sebagai
bahan pakan ternak maupun bahan baku pembuatan kompos, sehingga perlu
dilakukan pengamatan dalam mendukung program pemanfaatan limbah potensial
terutama limbah potensial yang dihasilkan oleh tanaman kakao yaitu limbah kulit
kakao. Kita sendiri banyak mengenal tanaman kakao sebagai tanaman yang dapat
menghasilkan cokelat. Tapi siapa sangka bahwa selain bijinya yang dapat diproses
menjadi cokelat ternyata kulit dari buah kakao dan pulp kakao yang selama ini menjadi limbah
dari industri cokelat juga mempunyai nilai jual yang tinggi
Kulit buah kakao (shel fod husk) dan pulp kakao adalah merupakan limbah agroindustri
yang dihasilkan tanaman kakao. Berdasarkan penelitian, kulit kakao atau biasa
kita sebut kulit cokelat mempunyai kandungan gizi yaitu 22% protein, 39%
lemak, bahan kering (BK) 88%, protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,15,
dan TDN 50,8%, metabolisme energi (K.kal) 2,1, pH 6,8. Dari penjelasan tentang
kandungan gizi dapat disimpulkan bahwa kulit kakao ini memiliki kandungan gizi
yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi limbah yang bernilai jual tinggi..
Maka pada makalah ini kita dapat membahas tentang pendayagunaan limbah kulit
kakao untuk menjadi pupuk serta pakan ternak alternative yang dapat
meningkatkan produktivitas hewan ternak.
Kulit kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternative. Selama ini para peternak sapi,
kambing atau unggas sering
mengandalkan pakan yang berasal dari rerumputan atau sayuran untuk pakan
ternaknya sehari-hari. Dengan pakan yang standar tersebut produktivitas dari
hewan ternak tidak dapat maksimal Dan lagi kendala yang sering dialami oleh
para petani sendiri adalah terbatasnya pakan tersebut. Perluasan areal untuk
penanaman rumput sebagai pakan ternak sangat sulit, karena alih fungsi lahan
yang sangat tinggi. Dan pada musim kemarau tanaman rumput terganggu
pertumbuhannya, sehingga pakan rumput yang tersedia kurang baik dari
segi kuantitas maupun kualitas. Bahkan di daerah-daerah tertentu rumput pakan
ternak akan kering dan mati sehingga menimbulkan krisis pakan rumput.
Mengingat sempitnya lahan penggembalaan dan kendala ketersediaan tanaman
pakan pada musim kemarau, maka usaha pemanfaatan sisa hasil (limbah)
pertanian untuk pakan perlu dipadukan dengan bahan lain yang sampai saat ini
belum biasa digunakan sebagai pakan yang dapat meningkatkan produktivitas
hewan ternak tersebut.
Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai pakan
ternak dapat diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk tepung setelah
diolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit buah kakao segar yang
dikeringkan dengan sinar matahari kemudian digiling dan dihaluskan selanjutnya
dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada ternak kambing, bahwa penggunaan
kulit buah kakao dapat digunakan sebagai bahan campuran ransum sebanyak 15%
dari total ransum.
Sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit buah kakao
perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit
dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan kadar protein dari 6-8% menjadi 12-
15%.. Kulit buah kakao setelah fermentasi mengandung protein kasar 17,21%;
serat kasar 12,45%; lemak 1,9%, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
campuran konsentrat pakan ternak. Pemberian kulit buah kakao yang telah
diproses pada ternak kambing dapat meningkatkan berat badan kambing sebesar
50 gram sampai 150 gram per ekor per hari.
Proses pengolahan kulit buah kakao menjadi pakan ternak ada dua cara, yaitu:
1. Proses Pengolahan Kulit Buah Kakao dengan Fermentasi
Dengan proses fermentasi, nilai gizi limbah kulit buah kakao dapat
ditingkatkan, sehingga layak untuk pakan penguat kambing maupun sapi, bahkan
untuk ransum ayam. Salah satu fermentor yang cocok untuk limbah kulit buah
kakao adalah Aspergillus niger. Proses fermentasi limbah kakao menyebabkan
meningkatnya kandungan protein, hal ini dibuktikan dengan hasil proximate
analysis, yang menunjukan perubahan kandungan protein kasar (CP) dari 12,22%
pada kakao mentah (sebelum difermentasi) menjadi 16,12% setelah mengalami
fermentasi. Sedangkan kandungan serat kasar (CF) menurun akibat fermentai,
yakni dari 6,42% menjadi 4,15%. Manfaat fermentasi dengan teknologi ini adalah:
a. Meningkatkan kandungan protein.
b. Menurunkan kandungan serat kasar.
c. Menurunkan kandungan tanin (zat penghambat pencernaan).
Proses Pengolahan Kulit Buah Kakao Tanpa Fermentasi
Mengumpulkan limbah kulit buah kakao dari hasil panen lalu dicincang.
Kemudian dijemur pada sinar matahari sampai kering yang ditandai dengan cara
mudah dipatahkan atau mudah hancur kalau diremas. Setelah kering ditumbuk
dengan menggunakan lesung atau alat penumbuk lainnya, kemudian dilakukan
pengayakan. Untuk meningkatkan mutu pakan ternak, maka tepung kulit buah
kakao dapat dicampur dengan bekatul dan jagung giling masing-masing 15%,
35%, dan 30%. Ini artinya bahwa ransum tersebut terdiri atas 15% tepung kulit
buah kakao, 35% bekatul dan 30% jagung giling.
Penggunaan Hasil Olahan Limbah Kulit Buah Kakao untuk Pakan Ternak adalah:
1. Pada awal pemberian, biasanya ternak tidak langsung mau memakannya.
Karena itu berikanlah pada saat ternak lapar dan bila perlu ditambah sedikit garam
atau gula untuk merangsang nafsu makan.
2. Tepung limbah hasil fermentasi bisa langsung diberikan kepada ternak, atau
disimpan.
3. Penyimpanan harus dengan wadah yang bersih dan kering. Untuk ternak
ruminansia (sapi, kambing) limbah kakao olahan bisa dijadikan pakan penguat,
untuk mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produksi susu. Bisa diberikan
sebagai pengganti dedak, yakni sebanyak 0,7-1,0% dari berat hidup ternak.
4. Pada ayam buras petelur pemberian limbah kakao sebagai pengganti dedak
hingga 36% dari total ransum dapat meningkatkan produksi telur.
5. Pada ternak kambing menunjukkan bahwa ternak nampak sehat, warna bulu
mengkilat dan pertambahan berat badan ternak dapat mencapai antara 50-150 gram
per ekor per hari.
Selain itu kulit kakao juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk
organic. Pembuatan pupuk yang terbuat dari kulit kakao sendiri tidak jauh berbeda
dengan pembuatan pupuk kompos lain. Kulit kakao yang ada, dikumpulkan dalam
satu lubang tanah, lalu dicampur dedaunan, batang pisang dan jerami yang
kemudian ditimbun selama kurang lebih 60 hari. Agar hasilnya maksimal,
timbunan tersebut tidak boleh dibuka selama proses berlangsung, selain itu bisa
ditambahkan mikro organisme pengurai atau cacing tanah agar bisa mempercepat
penggemburan. Setelah itu, lubang bisa digali dan kulit kakao akan berubah
menjadi gembur. Lalu, pupuk kompos yang sudah jadi, diangkat dari lubang.
Selanjutnya pupuk kompos yang kasar disaring supaya menghasilkan pupuk
kompos yang halus, maka pupuk siap digunakan. Secara ekonomi pupuk dari
bahan dasar kulit kakao bisa menghemat biaya hingga 50 persen, sehingga petani
tidak susah lagi dengan kelangkaan pupuk yang sering terjadi belakangan ini.
karena unsur hara yang ada di dalam pupuk yang terbuat dari kakao telah
mencukupi. Agar unsur hara pupuk kompos dari kulit kakao mencukupi bisa
ditambahkan dengan pupuk ZA dan NSP. Selain menghemat biaya, pupuk dari
kulit kakao tersebut sangat ramah lingkungan karena tidak mengandung zat asam
berlebih, sehingga tidak membuat struktur tanah menjadi keras.
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk organik yang berasal dari
pemanfaatan limbah kulit kakao yang terlebih dahulu dikomposkan dengan
menggunakan aktivator EM-4. produsinya pada tahun 1999 adalah 5.890 ton, data
estimasi tahun 2002 adalah 5.002 ton sedangkan, produksi kakao Indonesia tahun
1999 adalah 367.475 ton dan estimasi tahun 2002 adalah 433.415 ton. Banyaknya
produksi ini mengakibatkan kulit kakao sebagai limbah perkebunan meningkat.
limbah kulit buah kakao yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan menjadi
masalah jika tidak ditangani dengan baik. Produksi limbah padat ini mencapai
sekitar 60% dari total produksi buah.
Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman
dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai
bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang
sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak
sekitar 86%, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7%. Kompos kulit buah
kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C-organik 33,71%; P2O5 0,186%; K2O
5,5%;CaO 0,23%; dan MgO 0,59%.
Pengomposan
kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal makhluk
hidup seperti dedaunan, tanaman, kotoran hewan dan sampah. Proses pembuata
kompos dapat dipercepat dengan bantuan manusia. Pupuk dengan C/N ratio yang
tinggi kurang baik diberikan, karena proses peruraian selanjutnya akan terjadi di
dalam tanah dan CO2 yang dihasilkan akan berpengaruh kurang baik terhadap
pertumbuhan.
Faktor-faktor Keberhasilan dalam Pengomposan
Menurut Isroi (2007) ada beberapa hal yang mempengaruhi pengomposan antara
lain :
1. Nisbah C/N
Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga
40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N
untuk sintesis protein. Pada nisbah C/N di antara 30-40 mikroba mendapatkan
cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nisbah C/N terlalu
tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi
berjalan lambat.
2. Tekstur bahan baku
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area
yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan
proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran bahan baku juga
menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas
permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut,
dengan ukuran bahan baku yang ideal 2x2cm

3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob).
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang
akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel dalam tumpukan kompos. Porositas
dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-
rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan menambah oksigen untuk
proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen
akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban
(Moisture content) memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolismemikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
5. Mikrooranisme
Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik
tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk
metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan
mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila
kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang,
akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik
yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungannya langsung antara
peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan
semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses
dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan
kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60o C menunjukkan aktivitas
pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60o C akan membunuh
sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan
hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman
dan benih-benih gulma.
7. Reaksi kemasaman (pH)
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum
untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak
umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri, sebagai
contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan
penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa
yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal
pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya
terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan
oleh mikroba selama proses pengomposan.
9. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi
kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah
beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami
imobilisasi selama proses pengomposan

Salah satu alternative lain teknologi pengolahan limbah kakao adalah dengan
memanfaatkan pulp kakao sebagai Salah satu produk hasil samping yang dapat dihasilkan dari
cairan lender biji kakao untuk pembuatan nata cacao. Produk tersebut hampir sama dengan nata de
coco yang bahannya berasal dari air kelapa. Dengan proses fermentasi yang serupa yaitu pemanfaatan
bakteri acetobacter xylinum, cairan lender biji kakao dapat menghasilkan nata. Raktor yang berpengaruh
pada pembuatan nata meliputi sumber gula, suhu fermentasi, tingkat keasaman medium, lama
fermentasi dan aktivitas bakterinya. Gula merupakan salah satu nutrisi yang sangat diperlukan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sampai pada konsentrasi tertentu
penambahan gula akan meningkatkan pertumbuhan bakteri acetobter xylinum sehingga pembentukan
nata dari hasil perombaan gula menjadi semakin tinggi. Untuk memperoleh hasil nata de cacao yang
lebih putih, dalam pembuatannya harus dilakukan pengenceran limbah cair biji kakao. Hal ini
disebabkan cairan biji kakao mengandung yang langsung diambil dari pabrik pengolahan biji kakao
masih mengandung kotoran-kotoran dan masih berwarna kuning cokelat. Adapun tujuan pengenceran
media (limbah cair biji kakao) adalah untuk memucatkan warna kuning cokelat dari limbah cair biji kakao
agar nata yang dihasilkan lebih putih.

Nata de coco merupakan fermentasi dari limbah pulp biji cokelat yang
berbentuk padat seperti agar-agar, kenyal seperti kolang-kaling dan berwarna putih
transparan. Kandungan gizi nata sangat rendah karena tidak mengandung zat gizi
yang essensial sehingga sesuai untuk diet, penanggulangan penyakit gizi lebih,
tekanan darah tinggi, kardiovaskuler dan diabetes melitus (Karim, 2001). Nata
dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum.

Pulp kakao merupakan lapisan berlendir (pulp) yang menyelimuti keping biji.
Pada pengolahan kakao yang dimanfaatkan bijinya. Sedangkan lapisan lendir
dibuang. Pulp merupakan senyawa yang sebagian terdiri atas air dan komponen
gizi yang lain seperti sukrosa dan glukosa.

bab 2

Prosedur Kerja Pembuatan Kompos Limbah Kulit Kakao


Metode pelaksanaan
Pembuatan Pakan Ternak Dengan Menggunakan Kakao

1. Pengolahan Tanpa fermentasi

a. Mengumpulkan limbah kulit kakao yang didapat dari industri cokelat.


b. Mengeringkan limbah yang telah terkumpul tadi dengan bantuan sinar matahari.
c. menumbuk limbah kulit kakao yang sudah kering hingga limbah tersebut halus.
d. mengayak limbah kulit kakao yang sudah halus .
e. dicampurkan bahan limbah tersebut kedalam dedak atau bekatul, jagung dan lain-
lain. Kemudian bahan yang telah dicampur tadi telah siap untuk menjadi pakan
ternak.

2. Pengolahan Dengan fermentasi

a. Mengumpulkan limbah kulit kakao yang didapatkan dari industri cokelat


b. mencincang limbah tersebut dicincang lalu membasahinya larutan Aspergillus Niger
yang kemudian ditutup dengan karung goni atau plastik. Sebelum digunakan
Aspergillus niger sebaiknya di larutkan dengan air steril tanpa kaporit. Seperti
mata air atau air sumur yang bersih, bisa menggunakan air hujan atau sungai
tetapi harus dimasak lebih dahulu, kemudian didinginkan. Setelah itu limbah yang
telah terfermentasi kemudian dikeringkan selama kurang lebih 2-3 hari hingga
bahan kering. Kemudian limbah yang telah kering digiling dengan menggunakan
mesin penggiling hingga bahan halus dan menjadi tepung limbah.tepung tersebut
yang telah siap sebagai pakan ternak. Manfaat pengolahan limbah kulit kakao
dengan fermentasi menggunakan Aspergillus Niger yang mengubah limbah kulit
kakao tadi menjadi tepung lebih baik daripada tanpa menggunakan proses
fermentasi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya nilai nutrisi limbah dengan
kandungan protein , turunnya kandungan serat kasar dan turunnya kandungan
tanin (zat penghambat pencernaan) dengan menggunakan fermentor tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa Aspergillus Niger mampu meningkatkan nilai gizi limbah
kakao sebagai bahan pakan ternak. sehingga sangat layak menjadi pakan
alternative untuk hewan ternak.

Pembuatan pupuk kompos dengan limbah kulit kakao

1. Mengumpulkan bahan baku limbah kulit kakao


2. Menjemur bahan baku limbah kulit kakao, dengan tujuan untuk mengurangi
kadar air yang tersimpan dalam kulit kakao
3. Memperkecil ukuran bahan (limbah kulit kakao). Untuk memperkecil ukuran
bahan dapat dilakukan dengan parang atau mesin pencacah, tujuan dari
memperkecil ukuran bahan baku adalah untuk memperluas permukaan, sehingga
proses dekomposisi bisa berjalan lebih cepat
4. Menyiapkan aktivator pengomposan. memanfaatkan organisme dapat mempercepat proses
pengomposan. Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan misalnya cacing tanah. Proses
pengomposannya disebut vermikompos dan kompos yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing.
Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba, baik bakeri, aktinomicetes, maupuan
kapang/cendawan. misalnya : Promi, OrgaDec, SuperDec, ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, dll.
kemudian larutkan ke dalam air dengan campuran 125ml EM-
4 dilarutkan dengan 10 liter air.
5. Pemasangan kotak/plastik wadah pengomposan, kotak dapat terbuat dari papan
dengan ukuran panjang 2m dan lebar 2m.
6. Memasukkan bahan ke dalam cetakan selapis demi selapis. Tinggi setiap
lapisan 20 cm, kemudian siram tiap lapisan dengan larutan aktivator dan air
sebanyak 250 ml. lalu bahan tersebut diinjak-injak agar memadat sambil disiram
dengan aktivator pengomposan.
7. Setelah kotak penuh, buka kotak dan tutup tumpukan kulit buah kakao dengan
plastik.
8. Lalu ikat tumpukan tersebut dengan tali, usahakan jangan ada celah tempat
udara masuk.
9. Masa Inkubasi pengomposan terjadi selam selama 1,5 sampai 2 bulan, setiap 10
hari sekali dilakukan kegiatan pengamatan.

Pengamatan proses pengomposan


Agar proses pengomposan dapat berjalan dengan baik, perlu dilakukan
pengamatan secara teratur. Pengamatan dapat dilakukan seminggu sekali hingga
kompos siap digunakan .Pengamatan dilakukan secara fisik dan kimia dengan
menggunakan peralatan yang sederhana. Pengamatan secara fisik meliputi:
a. Suhu kompos
Buka plastik penutup kompos dan raba tumpukan kompos hingga bagian dalam.
Seharusnya dalam waktu satu dua hari setelah pembuatan kompos, suhu akan
meningkat dengan cepat. peningkatan suhu dapat mencapai 70o C dan dapat
berlangsung beberapa minggu, pengukuran suhu kompos dapat menggunakan alat
termometer.
b. Kelembaban
Periksa juga kadar air/kelembaban kompos hingga bagian dalam kompos.
Kompos yang baik akan terasa lembab namun tidak terlalu basah, kelembaban
yang idel pada waktu proses dakomposisi adalah 60%.
c. Penyusutan
Sejalan dengan proses penguraian bahan organik menjadi kompos akan terjadi
penyusutan volume kompos. Penyusutan volume ini dapat mencapi setengah
(50%) dari volume semula. Apabila selama proses pengomposan tidak terjadi
penyusutan volume, kemungkinan proses pengomposan tidak berjalan dengan
baik.
d. Perubahan warna bahan baku
di Amati pula perubahan warna yang terjadi pada bahan baku kompos. Biasanya
warna berubah menjadi coklat kehitam-hitaman. Seringkali jamur juga ditemukan
tumbuh subur di atas tumpukan kompos.
Sedangkan pengamatan secara kimia meliputi dua kegiatan pengamatan
yaitu:
a. Pengukuran pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum
untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5, pengamatan ini dapat
menggunakan kertas lakmus.
b. Pengukuran nisbah C/N
Salah satu kriteria kematangan kompos adalah nisbah C/N. Analisa ini hanya bisa
dilakukan di laboratorium. Kompos yang telah cukup matang memiliki nisbah
C/N<20. Apabila nisbah C/N lebih tinggi, maka kompos belum cukup matang dan
perlu waktu dekomposisi yang lebih lama lagi.
Cara Menentukan kematangan kompos
untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji di
laboratorium ataupun pengamatan sederhana di lapangan. Berikut ini disampaikan
beberapa cara sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos :
1. Penyusutan bahan baku
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan
kompos.Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan
tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 2040%. Apabila
penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum
selesai dan kompos belum matang.
2. Warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman. Apabila
kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya
berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses pengomposan pada
permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna putih.
3. Struktur bahan baku
Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos
mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas akan mudah
hancur.
4. Bau
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan bau bahan bakunya sudah
berubah, meskipun kompos dari sampah kota. Apabila kompos tercium bau yang
tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerob dan menghasilkan senyawa-
senyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Dan apabila kompos
masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih belum matang.
5. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan.
Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50o C, berarti proses pengomposan
masih berlangsung aktif dan kompos belum cukup matang.
Pengemasan kompos
Kompos yang sudah matang segera dikemas, kompos tersebut dikemas dengan
karung dengan berat 25 kg tiap karung, setelah pengemasan selesai kompos siap
untuk dijual atau langsung diaplikasikan pada tanaman
Pengelolaan limbah kulit kakao sebagai pupuk organik memiliki banyak
manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek sebagai berikut :

Pembuatan natade coco dari limbah pulp kakao

Tahapan pembuatan starter:

1. Timbang bahan yang sudah disiapkan.


2. Siapkan larutan pertama berupa air kelapa yang telah diendapkan dan disaring, ambil
1.060 ml air kelapa. Panaskan sampai mendidih.
3. Tambahkan asam asetat glacial 25% dan 100 gr glukosa. Aduk hingga gula larut.
4. Buat larutan kedua berupa larutan urea yang dimasukkan dalam 60 ml air kelapa,
kemudian panaskan hingga mendidih
5. Tuang larutan kedua dengan larutan pertama yang telah disiapkan.
6. Pindahkan dalam botol starter dan tutup dengan kapas steril dan tunggu sampai dingin
7. Tambahkan 10% biakan, agar biakan tumbuh miring pada permukaan gunakan aquades
steril sebanyak 10 ml.
8. Letakkan botol kedalam rak inkubasi selama 6-8 hari sampai terbentuk lapisan putih pada
media.

Tahapan pembuatan nata de cacao adalah:

1. Pulp cacao diiris tipis kemudian dicuci sampai bersih.


2. Bahan dimasukkan ke dalam blander kemudian ditambahkan air dengan perbandingan
1:15.
3. Setelah diblender bahan disaring untuk memisahkan ampasnya dengan sari buah.
4. Sari buah ditambahkan sukrosa 75%, amonium sulfat 0,5%, asam asetat hingga pH
mencapai 3,7.
5. Dilakukan pemanasan terhadap medium fermentasi pada suhu 100oC selama 30 menit,
kemudian didinginkan.
6. Setelah dingin ditambahkan starter nata kemudian dituang dalam nampan.
7. Medium diinkubasi selama 14 hari, kemudian dilakukan pemanenan nata.
8. Lembaran nata yang terbentuk dicuci dan dipotong kecil-kecil, kemudian direbus sampai
mendidih (suhu 30oC).
9. Air rebusan nata diganti dengan air yang baru dan direndam selama semalam. Hal ini
dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai aroma asamnya hilang.
10. Nata direbus dalam larutan gula 25 % selama 20 menit dan direndam selama semalam.
Setelah itu baru dikemas
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Secara umum limbah dari produksi tanaman kakao terdiri atas dua macam
yaitu limbah cair dan padat.

2. Limbah padat yang berasal dari kulit sisa kakao dapat dimanfaatkan menjadi
pakan ternak dan pupuk organik.

3. Dalam proses produksi tanaman kakao memiliki hasil samping berupa limbah
cairan yaitu pulp (lender) biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai nata de cacao
dan sirup.

4. Bentuk pengelolaan limbah dengan memanfaatkan kembali limbah dengan


mengaplikasikan sebagai pupuk organik.

5. Pengolaan limbah dilakukan dengan baik, agar tidak menimbulkan adanya


bahan berbahaya dan beracun di lingkungan masyarakat sekitar.

Saran
Pemanfaatan limbah kulit kakao sebagai pakan ternak dan pupuk organik
perlu dilakukan dalam skala luas sehingga dapat meningkatkan nilai guna limbah
tersebut dan dapat bermanfaat bagi masyarakat maupun petani
DAFTAR PUSTAKA
Agus, J. 2010. Teknologi Pembuatan Pakan Ternak dari Limbah Kulit Kakao .
Jurnal Litbang Vol. 2 No.1.
Arsyad, M. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Pajak Ekspor dan Subsidi Harga
Pupuk terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia Pasca Putaran
Uruguay. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 8, No. 1.
Dwi, P. dan B. Arsana . 2006. Kambing Peranakan Ettawah, Penghasil Susu
Sebagai Sumber Pertumbuhan Baru Sub Sektor Peternakan di
Indonesia. Makalah Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan- Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Fauzan. 1999. Petunjuk Pemupukan. Jakarta : Redaksi Agromedia.
Suhardi. 1978. Dasar Dasar Bercocok Tanam. Yogyakarta : Kanisius.
Sulistiyani, D. P. Warsito,. dan D. Suwandi 2006. Kesesuaian Lahan untuk
Tanaman Kakao di Lahan Perkebunan Karet. Jurnal Dinamika Pertanian
Vol. 21 No. 2.
Wahyuni, S. dan N. Sugama. 2008. Hasil Pengkajian Pemanfaatan Limbah
Perkebunan (Kakao dan kopi) untuk Pakan Ternak. Kerjasama BPTP Bali
dengan Bappeda Prop. Bali

Anda mungkin juga menyukai