Anda di halaman 1dari 19

SIFILIS

DEFINISI
Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh Treponema palidum; bersifat
kronik dansistemik. pada perjalanannya, sifilis dapat menyerang hampir
semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit dan dapat ditularkan
dari ibu ke janin. Sifilis sering disebut sebagai Lues Raja Singa.

ETIOLOGI
Treponema pallidum
Spirochaeta pallida

Oleh Schaudinn & Hoffman (1905) dengan mikroskop lapangan gelap


Bentuk Spiral: Panjang: 6 -15 , Lebar: 0,25 , lilitan: 9 24
Gerak maju & mundur
Berotasi undulasi sisi ke sisi

Mati pada kekeringan, panas, antiseptik ringan, hidup beberapa lama di luar tubuh
Sifilis dapat ditularkan melalui kontak seksual maupun transplasenta dari ibu ke
janinnya karenaTreponema pallidum dapat menembus sawar plasenta. Sifilis tidak
ditularkan melalui dudukan toilet,kolam renang, air mandi maupun pakaian.

KLASIFIKASI/GRADE
Menurut WHO secara epidemiologik dibagi menjadi:
a.Stadium dini menular (1 tahun sejak infeksi)
1)Sifilis stadium I
2)Sifilis stadiumII
3)Sifilis stadium rekuren
4)Sifilis stadium laten dini
b.Stadium lanjut tidak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi)
1)Sifilis stadium laten lanjut
2)Sifilis stadium III

PATOGENESIS
Stadium Dini
Treponema masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi/selaput lendir. Berkembangbiak,
membentuk infiltrat yang terdiri dari sel limfosit dan sel plasma. Pada daerah
perivaskular terutama pembuluhdarah kecil, akan dikelilingi oleh treponema
pallidum Periarteritis ( yaitu proliferasi sel adventitia dan adanya cuffing) Bila timbul
endarteritis ( pembengkakan dan proliferasi sel endotel yang mengakibatkan penyempitan
lumen) akan mengakibatkan perubahan hipertrofik dari endotelium yang akan
mengakibatkan timbulnya obliterasi kuman. Akibatdari kehilangan perdarahan
akan timbul erosi yang pada pemeriksaan klinis tampak sebagai sifilis stadium
I.
Sebelum nampak gejala sifilis stadium I, kuman telah mencapai kelenjar limfe regional
melalui p e n y e b a r a n s e c a r a l i m f o g e n d a n s e c a r a h e m a t o g e n k e s e m u a
j a r i n g a n d i b a d a n d a n m e m b i a k . Multiplikasi ini diikuti reaksi jaringan
sebagai sifilis stadium II, yang terjadi 6 -8 minggu sesudahsifilis stadium I. Sifilis
stadium I dan II perlahan akan mengalami regresi dan menghilang.
Pada stadium laten tidak nampak adanya gejala, namun infeksi masih aktif karena pada
ibu yangmenderita sifilis pada stadium ini dapat melahirkan bayi dengan sifilis
kongenital.B i l a p r o s e s i m u n i t a s g a g a l p a d a t e m p a t b e k a s s i f i l i s
s t a d i u m I T r e p o n e m a p a l l i d u m a k a n membiak kembali dan menimbulkan lesi
rekuren, reaksi tersebut menular dan dapat timbul berulang-ulang.
Stadium Lanjut
Stadium laten pada sifilis dapat berlangsung selama bertahun -
tahun, hal ini dikarenakanTreponema berada dalam keadaan
d o r m a n . A p a b i l a t e r j a d i p e r u b a h a n k e s e i m b a n g a n a n t a r a Treponema
dan jaringan maka dapat muncul sifilis stadium II berbentuk guma yang hal
tersebut belum pasti diketahui sebabnya, namun trauma merupakan salah satu faktor
predisposisi. Pada guma u m u m n y a t i d a k d i t e m u k a n T r e p o n e m a p a l l i d u m ,
r e a k s i n y a h e b a t d a n b e r s i f a t d e s t r u k t i f s e r t a berlangsung bertahun-
tahun.Treponema dapat mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf
dalam waktu dini, namun kerusakan yang terjadi secara perlahan -lahan
sehingga memerlukan waktu bertahun -tahun untuk dapat menimbulkan gejala
klinis.

Treponema pallidum tampaknya memiliki suatu jalur siklooksigenase yang utuh dan mampu
membentuk prostaglandin E2-nya sendiri. Zat autokoid ini merupapkan imunomodulator
yang ampuh. Telah dikemukakan pendapat bahwa prostagladin E2 menghambat pemrosesan
imun dini dengan cara merangsang factor penting untuk eksaserbasi infeksi menuju ke
stadium klinik berikutnya.

Setelah secara spesifik menambatkan diri pada sejumlah besar jaringan, Treponema pallidum
mengeluarkan hialuronidase yang mengubah asam hialuronat di dalam matriks untuk
mempermudah penyebarannya. Untuk dapat memasuki pembuluh darah limfe, bakteri
Treponema harus merusak membrane basal yang utuh di sekitar pembuluh, kemudian
berjalan di antara sel endotel untuk memasuki lumen

Manifestasi klinik yang paling menonjol pada infeksi sifilis adalah terkenanya daerah
perivascular di sekitar arteriol dan kapiler. Periarteritis ( yaitu proliferasi sel adventitia dan
adanya cuffing) endarteritis ( adalah pembengkakan dan proliferasi sel endotel yang
mengakibatkan penyempitan lumen),

FAKTOR RISIKO
Menyerang bermacam usia, bila diurutkan antara 20-39 tahun, 15-19 tahun, 40-49
tahun.
Pria lebih banyak di bandingkan dengan wanita dengan perbandingan 6:1.
Sifilis mengenai semua bangasa/ras
Faktor pengetahuan, karena kurangnya pengetahuan tentang bahaya penyakit,
mendorong oranguntuk melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Ekonomi yang kurang juga cenderung berpengaruh
Sifilis dapat ditularkan dari ibu ke janin.

ANAMNESA, GEJALA KLINIS, dan PEMERIKSAAN FISIK


Sifilis Stadium I
Masa tunas 2-4 minggu. Treponema masuk ke dalam selaput lendir/ kulit yang
mengalami lesisecara langsung, lalu berkembang biak, dan menyebar secara limfogen
dan hematogen.
Timbul suatu ulkus yang disebut ulkus durum yang mempunyai sifat khusus :
1.Tidak nyeri
2.Sekitar ulkus teraba keras
3.Dasar ulkus bersih dan berwarna merah
4 . S o l i t e r
Lokasi ulkus pada pria biasannya terdapat pada preputium, sulkus
koronarius, batang penis &skrotum. Pada wanita di labium mayora dan minora,
klitoris, serviks. Ulkus juga dapat terdapat padaekstra genital misalnya pada anus,
rektum, bibir,mulut, lidah, tonsil, jari, dan payudara.
Sifilis stad. I setelah 1 minggu umumnya ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening ingunalis medialis yangsoliter, indolen, tidak lunak, besarnya lentikular,
tidak supuratif dan tidak terdapat periadenitis.

Sifilis Stadium II
Sifilis stad. II timbul 6-8 minggu sejak sifilis stad. I (2/3 kasus masih disertai sifilis stad.
I)Sifilis stadium II dapat disertai gejala konstitusi, berupa anoreksia, penurunan berat
badan, malaise,nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, atralgia.Lesi pada stadium II
menular, gejala untuk membedakan antara stadium II dan penyakit kulit lainadalah lesi
kulit pada sifilis stadium II umumnya tidak gatal, disertai limafenitis generalisata dan
padalesi dini disertai kelainan kulit pada tangan dan kaki.

Bentuk lesi pada sifilis stadium II


.1 . L e s i p a d a k u l i t a
a. R o s e o l a
b. P a p u l

A. Treponema pallidum
1. Klasifikasi
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Spirochaetes
Class : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetales
Familia : Treponemataceae
Genus : Treponema
Spesies : Treponema pallidum

2. Morfologi dan pewarnaan


Treponema pallidum berbentuk spiral yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 m
dan panjang 5-15 m. Lengkung spiralnya secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan
jarak 1 m. Treponema pallidum bergerak aktif, berotasi dengan cepat disekitar
endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis
panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme
tersebut kadang-kadang membentuk lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke
posisi semula (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Treponema pallidum sukar diwarnai, untuk melihat morfologi bakteri ini, dapat
digunakan pewarnaan khusus seperti :
Pewarnaan Fontana
Tribondeau yang menggunakan perak nitrat, sebab bakteri ini dapat mereduksir perak nitrat.
Pewarnaan Levaditi (silver impregnation)
Digunakan unutk mewarnai bakteri yang berada di dalam jaringan,
Pewarnaan Negatif
Menggunakan tinta cina (indian ink)
Pewarnaan Giemsa
Dengan mikroskop lapang pandang gelap (dark field microscope), dapat dilihat
morfologi Treponema pallidum dalam keadaan hidup, disamping dapat dilihat
pergerakannya. Bakteri ini juga dapat dilihat atau diidentifikasi dengan menggunakan teknik
imuunofluoressens.
Treponema pallidum tidak membentuk spora, dan pada spesies yang patogen
didapatkan adanya struktur seperti kapsul yang tidak didapatkan pada spesies yang non
patogen (Tim Mikrobiologi, 2003).

3. Biakan
Treponema pallidum memperbanyak diri dengan cara membelah diri secara
transversal di dalam tubuh hospes maupun pada hewan coba.
Treponema pallidum yang patogen tidak dapat dibiakkan pada media buatan atau
pada perbenihan jaringan ataupun embryonated egg walaupun diinkubasikan pada suasana
anaerob.
Treponema pallidum yang patogen hanya dapat dibiakkan pada testis kelinci dengan
waktu pembelahan (generation time) sekitar 30 jam (Tim Mikrobiologi, 2003).
Treponema pallidum yang non-patogen dapat dibiakan secara anaerob in vitro.
(Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
4. Sifat pertumbuhan
Treponema pallidum adalah bakteri mikroaerofilik, bakteri ini paling baik hidup
dalam lingkungan dengan kadar oksigen 1-4 %. Strain Reiter saprofitik tumbuh pada medium
yang mengandung 11 asam amino, vitamin, garam, mineral, dan albumin serum.
Pada cairan suspense yang cocok dan adanya substansi pereduksi, Treponema
pallidum dapat tetap bergerak selama 3-6 hari pada suhu 25C. Pada darah lengkap atau
plasma yang disimpan pada suhu 4C, dapat bertahan hidup selama minimal 24 jam. Hal ini
penting untuk transfusi darah (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007 dan Dr. Bambang
Suryono, 1995).

5. Daya tahan
Apabila Treponema pallidum tersebut kontak dengan oksigen, akan segera mati.
Treponema pallidum dengan mudah dapat dimatikan dengan pemberian saponin, aquadest,
sabun, salep yang mengandung Hg, dan antibiotika. Bahkan bakteri yang dibiakan pada testis
kelinci dengan mudah dapat dimatikan dengan cara pemanasan. Oleh karena itu, pengobatan
terhadap penderita sifils pernah dilakukan dengan cara diberi penyakit lain yang dapat
menimbulkan panas tinggi misalnya penyakit malaria, atau dengan aliran listrik frekuensi
tinggi. Kenapa kejam , sumber dari ??
Bakteri tersebut akan mati dalam waktu 3-4 hari bila berada dalam darah yang
disimpan dalam almari es. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya
penularan terhadap penyakit ini melalui darah (misalnya karena transfusi), darah dimasukkan
terlebih dahulu ke dalam almari es selama 4 hari. Jadi, penularan sifilis lewat darah dapat
terjadi hanya pada darah segar (fresh blood)
(Tim Mikrobiologi, 2003).

6. Struktur
a. Struktur Umum
Struktur bakteri Treponema pallidum identic dengan struktur Treponema secara
umum, hanya kandungannya lebih jelas diketahui. Susunan Treponema pallidum (bobot
kering) kira-kira adalah 70% protein, 20% lipid, dan 5% karbohidrat. Kandungan lipidnya
relative tinggi untuk bakteri. Dari lipid total, 68% adalah fosfolipid (terutama fosfatidilkolin,
sfingomielin, serta kardiolipin) dan 32% merupakan lipid netral (terutama kolesterol)
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
b. Struktur Antigen
Treponema pallidum mempunyai hialuronidase yang memecah asam hialuronat
dalam sustansi dasar jaringan dan kemungkinan meningkatkan sifat invasif bakteri tersebut.
Profil protein Treponema pallidum tidak dapat dibedakan, lebih dari 100 antigen protein telah
diketahui. Endoflagel terdiri dari tiga protein inti yang homolog dengan protein flagelin
bakteri lain, serta protein selubung yang tidak berhubungan. Kardiolipin adalah komponen
penting dari antigen Treponema pallidum (Jawetz, Melnick dan Adelberg, 2007).
Dari hasil penelitian Nelson dan Mayer pada tahun 1949, diketahui bahwa di dalam
darah penderita sifilis terdapat adanya suatu jenis antibody yang dapat menghentikan
pergerakan (mobilisasi) bakteri Treponema pallidum. Selanjutnya, antibody ini digunakan
sebgai bahan pada tes diagnostic terhadap penyakit sifilis, yaitu tes TPI (Treponema pallidum
Immobilization test). Pada tes TPI, dijumpai adanya reaksi silang antara spesies Treponema
pathogen yang lain, tetapi tidak dijumpai adanya reaksi silang dengan spesies yang saprofit.
Portonoy dan magnuson pada tahun 1955 menemukan antigen yang lebih spesifik
dan antigen ini merangsang pembentukan antibody yang disebut Treponema pallidum
complement fixing antibody (TPCF-Ab), yang diduga merupakan suatu aglutinin dan dapat
memberikan tes positif pada permulaan penyakit.
Apabila serum penderita sifilis dipisahkan secara elektroforesis, akan didapatkan :
Ab reaginik yang tampak pada gama globulin fraksi lambat,
TPI-Ab yang didapatkan pada gama globulin fraksi cepat, dan
TPCF-Ab yang distribusinya lebih dari satu fraksi, diduga terdiri atas beberapa macam
antibody aglutini.
Selain antibody-antibodi di atas, masih didapatkan antibody lain yang disebut
Fluorescent Treponemal Antibody (FTA)
(Tim Mikrobiologi, 2003).

7. Patogenesis
Manusia merupakan hospes alami satu satunya bagi Treponema pallidum dan
infeksi terjadi melalui kontak seksual. Organisme ini menembus selaput mukosa atau
memasuki kulit yang mempunyai luka kecil. Setelah berada di dalam hospes, organisme
tersebut terlokalisasi pada temp;at masuknya dan mulai memperbanyak diri.
Treponema pallidum segera memasuki aliran darah dan pembuluh limfe, kemudian
tersebar ke jaringan lainnya. Dengan demikian, sejak awal sifilis merupakan penyakit yang
menyerang seluruh bagian tubuh. Jaringan yang menjadi sasaran meliputi kelenjar limfe,
kulit, selaput mukosa, hati, limfe, ginjal, jantung, tulang, laring, lesi awal biasanya terdapat
pada labia, dinding vagina, atau pada servik; sedangkan pada pria, lesi awal terdapat pada
batang penis atau glans penis. Lesi primer dapat pula terjadi pada bibir, lidah, tonsil, atau
daerah kulit lainnya.
. PENTING
Selain melambatkan diri, Treponema pallidum memiliki setidaknya 3 faktor firulensi
yang secara parsial menetralkan respons imun. Zat glikosaminoglikan yang serupa dengan
asam hialuronat bekerja sebagai factor antikomplemen. Polisakarida berantai lurus panjang
ini melapisi permukaan luar organisme. Mungkin zat tersebut merupakan sejenis bahan
kapsul yang dibentuk oleh organisme, atau mungkin pula zat itu hanya merupakan lapisan
pasif glikosaminoglikan yang berasal dari hospes. Darimanapun asalnya, zat tersebut
mengganggu daya bunuh bakteri Treponema melalui jalur komplemen klasik (tergantung
antibody). Glikosaminoglikan dan asam sialat agaknya memungkinkan organisme ini
menyebar di dalam aliran darah, walaupun terdapat efek merugikan dari komplemen
kompplemen tersebut.
Treponema pallidum tampaknya memiliki suatu jalur siklooksigenase yang utuh dan
mampu membentuk prostaglandin E2-nya sendiri. Zat autokoid ini merupapkan
imunomodulator yang ampuh. Telah dikemukakan pendapat bahwa prostagladin E2
menghambat pemrosesan imun dini dengan cara merangsang factor penting untuk eksaserbasi
infeksi menuju ke stadium klinik berikutnya. ??
Dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah T.pallidum menembus selaput
mukosa yang utuh atau masuk melalui kulit yang mengalami abrasi, bakteri ini memasuki
pembuluh limfe dan aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Hampir semua organ
tubuh dapat diserang, termasuk susunan saraf pusat.
Dosis infeksius bervariasi antarpenderita, tetapi pada kelinci, inoculum yang hanya
mengandung empat Spirochaeta dapat menimbulkan infeksi. Organisme ini membelah setiap
30 -33 jam. Lesi klinik muncul bila tercapai kadar sekitar 107 organisme per gram jaringan,
dan masa inkubasinya berbanding lurus dengan jumlah inoculum (Sylvia Y. Muliawan,
2008).

8. Patologi
Secara patologik, ciri khas chancre pada stadium primer adalah infiltrasi hebat yang
terdiri atas sel plasma dengan sebaran histiosit, penebalan poliferatif fibroplastik pada
pembuluh darah kecil, dan akhirnya endarteritis obliterans, yang selalu ada dan hampir
bersifat diagnostic.
Endarteritis obliterans yang terdiri atas penebalan proliferative fibroblastic dan
endothelial pada vasa vasorum dan pembuluh darah kecil meerupakan petanda histopatologik
sifilis kardiovaskular dan neurosifilis meningovaskular. Perubahan patologik ini ditemukan
pada semua stadium sifilis. Pada chancre primer dapat pula terlihat leukosit
polimorfonuklear dan makrofag yang sedang memakan treponema. Hyperkeratosis (
gambar ? ) seringkali ditemukan pada lesi kulit sifilis sekunder dan khususnya nyata pada
kondilomata.
Sifilis merupakan penyakit granulomatosa menahun yang ditandai dengan
terbentuknya guma ( gambar ? ) yang terdiri atas begian nekrotik dan sentral koagulatif serta
endarteritis obliterans pada pembuluh darah kecil. Hal ini terdapat di mana saja pada bagian
tubuh (Sylvia Y. Muliawan, 2008).

9. Manifestasi klinik
Sifilis merupakan penyakit sistemik kompleks dengan berbagai manifestasi klinik
yang disebabkan oleh Treponema pallidum. penyakit ini paling sering ditularkan melalui
kontak seksual, dan berbeda dengan penyakit infeksi lainnya. Sifilis jarang didiagnosa
dengan mengisolasi dan mengenali organisme penyebabnya. Diagnose ditegakkan dengan
metode yang kurang peka, yaitu pemeriksaan mikroskop lapangan gelap direct, dan
berdasarrkan temuan klinik serologic, dan epidemiologic.
Manifestasi klinik sifilis bersifat kompleks dan sangat difus ??, serta periode
timbulnya masing masing stadium sangat berbeda beda. Pada saat jumlah bakteri
Treponema meningkat, timbul manifestasi klinik dan apabila jumlahnya berkurang sebagai
akibat respon hospes yang efektif, maka terjadi periode asimtomatic. Manifestasi klinik yang
paling menonjol pada infeksi sifilis adalah terkenanya daerah perivascular di sekitar arteriol
dan kapiler. Periarteritis ( yaitu proliferasi sel adventitia dan adanya cuffing) endarteritis (
adalah pembengkakan dan proliferasi sel endotel yang mengakibatkan penyempitan lumen),
dan infiltrasi limfosit serta sel plasma merupakan ciri khas histopatologi sifilis. Treponema
pallidum tampaknya tidak menghasilkan toksin, dan ada pendappat yang menyatakan bahwa
setidaknya sebagian dari gambaran histopatologi diakibattkan oleh aktivasi pertahanan tubuh
hospes.
Pada sekitar 30% kasus, infeksi sifilis dini sembuh total secara spontan tanpa
pengobatan. Pada 30% kasus lainnya, infeksi yang tidak diobati menjadi laten (diketahui
dengan uji serologic yang positif). Pada sisa kasus, penyakit berlajut ke stadium tersier, yang
ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa (guma) pada kulit, tulang, dan hati;
perubahan degeratif pada susunan saraf pusat (sisilis meningovaskuler, paresis, tabes); atau
lesi kardiovaskuler (aortitis, aneurisma aorta, insufiensi katup aorta). Pada semua lesi tersier,
jarang ditemukan bakteri Treponema, dan reaksi tubuh yang berlebihan harus dianggap akibat
hipersensitivitas terhadap organisme tersebut. Akan tetapi, pada sifilis stadium lanjut,
sesekali dapat ditemukan bakteri Treponema di dalam mata atau susunan saraf pusat. Sifilis
lanjut mengacu pada penyakit tersier yang secara klinik nyata atau tidak nyata, yang timbul
pada sepertiga penderita yang tidak diobati. Sebagian besar lesi tersebut mengenai vasa
vasorum aorta dan/atau arteri pada susunan saraf pusat; sisanya terutama terdiri atas guma.
Kulit, hati, tulang, dan limpa merupakan lokasi guma yang paling sering. Pembagian sifilis
berdasarkan manifestasi klinik :
Masa inkubasi yang berlangsung sekitar 3 minggu;
Stadium primer yang ditandai oleh lesi kulit yang tidak nyeri (chancre) yang terkait dengan
limfadenopati regional dak bacteremia dini;
Stadium bacteremia sekunder atau stadium diseminata yang disertai lesi mukokutan dan
limfadenopati umum;
Masa infeksi subklinis (sifilis laten) yang hanya terdeteksi dengan uji serologik; dan
Pada sejumlah kecil penderita, stadium lanjut atau tersier yang ditandai oleh penyakit yang
progresif dan dapat mengenai hampis setiap organ tubuh, teutama aorta asendens dan/atau
susunan saraf pusat.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).

10. Bentuk klinis


Penularan sifilis pada manusia terjadi secara kontak langsung yaitu melalui hubungan
kelamin (sexual intercourse). Bakteri Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh hospes
dengan menembus lapisanmukosa yang utuh (intact), atau melalui lesi pada kulit. Pada
infeksi sifilis ini, sekitar 95% lesi didapatkan pada genitalia, sedangkan 5% selebihnya bisa
didapatkan ektragenital, misalnya pada bibir atau papilla mammae.
Waktu infeksi penyakit ini 10-90 hari, rata-rata 3 minggu. Setelah masuk ke dalam
tubuh, bakteri berkembang biak pada tempat dimana bakteri masuk (portal of entry),
kemudian menyebar ke dalam kelenjar getah beningregionla dan selanjutnya memasuki
perdedaran darah serta menyebar ke seluruh tubuh. Selang beberapa waktu, pada kulit,
dijumpai adanya
yang disebut ulcus durum atau hard cnancre (Hunterian chancre) yan gmempunyai
tanda-tanda :
Tidak nyeri,
Dasarnya keras,
Merupakan lesi tunggal,
Permukaannya bersih,
Tepi meninggi,
Didapatkan sel-sel radang seperti limfosit dan sel plasma, dan
Warnanya kemerahan.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
a. Sifilis primer (Lues I)
Lokalisasi dari lesi primer didapatkan pada daerah genitalia; pada laki-laki
didapatkan disekitar corona glandis dan urethra, sedang pada wanita lesi primer ini
didapatkan pada labia, perineum, dinding vagina atau pada serviks uteri. Di sekitar lesi
primer akan didapatkan pembesaran kelenjar limfe regional yang tidak nyeri.
Kelainan klinis pada lues I berupa ulkus durum. Adanya bakteri Treponema pallidum
pada sifilis primer ini dapat diperlihatkan pada bahan pemeriksaan dari penderita yang belum
diberi pengobatan. Bakteri dapat ditemuakan pada lesi local dalam waktu 6-24 jam. Semasa
waktu inkubasi dan satu hari setelah timbulnya lesi primer, antibody masih belum terbentuk
dan adanya antibody baru dapat dideteksi 30 hari setelah timbulnya lesi primer. Lesi primer
pada lues I ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 10-40 hari tanpa diberi pengobatan.
(Tim Mikrobiologi, 2003).

b. Sifilis sekunder (Lues II)


Sifilis sekunder timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah lesi primer sembuh, rata-
rata sekitar 3 bulan.
Kelainan yang timbul pada kulit dan mukosa berupa lesi-lesi yang sangat infeksius,
dengan ciri-ciri :
Rash makulo popular di seluruh tubuh, terutama pada tempat-tempat yang basah seperti :
aksila mulut, genitalia, dan anus. Pada tempat-tempat yang lembab tersebut juga timbul
kelainan yang disebut condylomata lata;
Gejala-gejala lain yang timbul dapat berupa febris, sakit kepala, sakit pada tenggorokan,
limfadenopathi umum, dan mungkin pula disertai kelainan pada ginjal, arthritis dan athralgia.
Lesi sekunder akan hilang dalm waktu 3-12 bulan kemudian timbul dan menghilang
berulang-ulang selama sekitar 4-5 tahun. Tes serologis pada sifilis sekunder memberikan
hasil positif.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
c. Sifilis tersier (Lues III)
Sekitar 3-10 tahun setelah sifilis sekunder, pada penderita akan ditemukan adanya
lesi granulomatous yang disebut gumma. Kelainan ini sifatnya local daan ditemukan pada
kulit, tulang, dan hepar. Terbentuknya gumma ini kemungkinan sebagai akibat dari reaksi
hipersensitif tipe lambat terhadap bakteri Treponema, walaupun mekanismenya yang jelas
belum diketahui.
Lues III disebut juga late latent syphilis. Lues III memberikan hasil positif sekita 60-
70% terhadap tes-tes serologis terhaadap sifilis. Hasil tes serologis terhadap cairan spinal
dapet positif, meskipun untuk serum memberikan hasil yang negative.
Manifestasi klinis dari sifilis tersier antara lain, berupa :
Sifilis kardiovaskuler,
Neurosifilis,
Sifilis kongenital.

Sifilis kardiovaskuler
Umumnya, 10-40 tahun setelah sifilis primer pada penderita yang tidak diberi
pengobatan akan timbul sifilis kardiovaskuler. Dalam hal ini, biasanya yang terserang adalah
pembuluh-pembuluh darah besar pada jantung, misalnya aorta. Akibat keradangan yang
terjadi, menyebabkan aneurisma pada aorta atau kelainan klep dari aorta, sehingga akan
terjadi insufficiency jantung.
Neurosifilis
Setelah terjadinya lesi primer, sekitar sepertiga dari penderita sifilis akan mengalami
keradangan pada susunan saraf pusat. Namun demikian, hanya separuh dari penderita yang
mengalami keradangan pada susunan saraf pusat tersebut yang mengalami neurosifilis, yaitu
terutama pada penderita-penderita yang tidak diobati.
Waktu timbulnya neurosifilis ini, berkisar 5 tahun setelah terjadinya sifilis primer.
Manifestasi klinisnya antara lain berupa :
Tabes dorsalis,
Dementia paralytica,
Amyotropic lateralis,
Seizures,
Optic atrophy, dan
Gumma pada medulla spinalis.
PAHAMI ARTINYA

Sifilis kongenital
Bentuk klinis yang lain dari penyakit sifilis adalah sifilis kongenital. Sifilis
kongenital ini timbul karena bakteri Treponema pallidum dapat menmbus plasenta dan akan
menyebabkan bacteremia pada fetus (Tim Mikrobiologi, 2003).
Seorang wanita hamil dengan sifilis dapat menularkan Treponema pallidum ke
fetusnya melalui plasenta dimulai pada minggu ke-10 sampai minggu ke-15 usia kehamilan.
Beberapa fetus yang terinfeksi meninggal dunia dan menimbulkan keguguran, yang lainnya
masih dapat lahir aterm (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007). TIPE PENULARAN
TRANSPLASENTA
Angka kematian dari sifilis kongenital berkisar sekitar 25% dan kesembuhan yang
disertai kelainan kongenital sekitar 40%.
Keguguran kandungan (abortus) oleh karena sifilis kongenital biasanya terjadi pada
trimester ke-16 kehamilan karena, pada saat itu, lapisan Langerhans khorion mengalami
atropi. Selain menyebabkan abortus, penyakit ini juga merupakan penyebab tersering dari
bayi lahir mati (still birth). Bila infeksinya terjadi pada trimester terakhir kehamilan, bayi
yang lahir akan disertai kelainan- kelainan. Kelainan-kelainan tersebut dapat langsung
terlihat, berupa lesi pada kulit atau selaput lender atau berupa gejala kuning (jaundice),
hepato-splenomegali, dan anemia hemolitik. Namun demikian, ada kelainan yang baru
terlihat setelah anak agaak besar, berupa :
Trias dari Huthchinson, yaitu : kelainana gigi, keratitis interstitialis, dan gangguan pada N.VIII
(nerve deafness),
Saddle nose,
Kelainan pada tulang tibia (sabre shin), dan
Mulberry molar (Tim Mikrobiologi, 2003).

Pada infeksi kongenital, anak akan membuat antibody IgM antitreponema (Jawetz,
Melnick, dan Adelberg, 2007).

11. Specimen
Specimen yang digunakan dapat berasal dari cairan jaringan yang diambil dari lesi
superfisial dini untuk memperlihatkan adanya bakteri Spirochaeta, sedangkan serum
digunakan untuk uji serologik. Kadang dapat diperlihatkan adanya Spirochaeta dari bahan
biopsi. Dari bahan tersebut yang paling umum dilakukan adalah denggan pewarnaan perak
(Levaditi), tetapi penampakan bakteri mungkin dapat dikacaukan dengan jaringan elastis.
Oleh karena itu, pewarnaan immunofluoresensi atau imunoperoksidase yang spesifik pada
specimen patologi yang tidak dibekukan lebih disukai dibandingkan dengan pewarnaan perak
(Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007 dan Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).

12. Diagnose laboratorium


Diagnosa penyakit sifilis secara pasti dipersulit karena Treponema pallidum belum
dapat dibiakan secara in vitro. Manifestasi klinik, demonstrasi bakteri Treponema pada bahan
lesi, dan reaksi serologi digunakan untuk mendiagnosis. Pada sebagian besar kasus,
manifestasi klinik sudah cukup khas. Bila manifestasi tersebut mencakup lesi eksufdatif,
harus dapat ditemukan bakteri Treponema di dalam bahan lesi. Mikroskopis lapangan gelap
digunakan untuk memvisualisasikan organisme motil dan nonmotil.
( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).

TES SEROLOGI UNTUK SIFILIS


(Serologic Test for Syphilis / STS)
Uji serologic dalam diagnosis, terutama pada kasus dengan mnaifestasi klinik yang
membingungkan atau bila tidak terdapat bahan eksudat. Sela bertahun-tahun telah
dikembangkan berbagai uji selorogik, yang terbagi dalam dua kelompok umu, yaitu :
1. Uji nontreponemal
Mengukur kadar antibodi Wassermann, yang timbul sebagai respon terhadap kardiolipin,
kemungkinan berasal dari jaringan hospes.
2. Uji treponemal
Mengukur kadar antibody yang timbul sebagai respon terhadap komponen antigenic
Treponema pallidum. Uji antobodi spesifik kemungkinannya tinggi apabila ada infeksi
treponemal pada saat ini maupun pada waktu lampau.
( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).

Uji nontreponemal
Tes nontreponemal merupakan tes pertama yang dikerjakan untuk menegakkan diagnosis
secara serologis atau disebut original test. Tes ini mula-mula dikerjakan oleh Wassermann.
Tujuan tes nontreponemal untuk mencari adanya antibody reagenik yang ada pada penderita (
Tim Mikrobiologi, 2003).
a. Uji fiksasi komplemen (complement fixation, CF)
Uji ini antara lain meliputi uji Wassermann-Kolmer, yang merupakan uji fiksasi
komplemen berdasarkan fakta bahwa serum yang mengandung reagen mampu memfiksasi
komplemen bila terdapat antigen kardiolipin. Harus dipastikan bahwa serum tersebut tidak
bersifat antikomplemen (artinya, tidak merusak komplemen tanpa adanya antigen) ( Sylvia Y.
Muliawan, 2008 ).

b. Uji flokulasi
Uji ini berdasarkan fakta bahwa pertikel antigen lipid (kardiolipin yang berasal dari
jantung sapi) akan tetap terdispersi dalam serum normal, tetapi akan membentuk gumpalan
yang tampak bila berikatan dengan reagin. Hasil uji akan tampak dalam beberapa menit saja,
terutama bila suspensinya dikocok. Uji tersebut cocok untuk diotomatisasikan dan digunakan
pada survey, karena biayanya ringan. Uji VDRL atau RPR yang positif akan kembali
negative dalam 6-18 bulan setelah pengobatan sifilis yang efektif ( Sylvia Y. Muliawan, 2008
).
Tes flokulasi yang lain selain VDRL dan RPR, adalah tes dari Hinton, Kleine, Mazini,
dan tes dari Kahn.
Kerugian dari tes nontreponemal adalah dijumpai adanya reaksi positif palsu, misalnya
karena adanya penyakit-panyakit : malaria, lepra, demam bolak-balik, demam tifoid, campak,
cacar, dan lain-lain (Tim Mikrobiologi, 2003)
Uji treponemal
a. Treponema pallidum Immobilization test / TPI
Dasar dari tes ini bahwa terdapat antibody pada penderita yang mempunyai kemampuan
untuk menghentikan pergerakan dari bakteri treponema yang masih hidup. Sebagai antigen,
digunakan bakteri Treponema pallidum yang masih hidup (diambil dari lesi penderita atau
bakteri yang dibiakkan pada testis kelinci) (Tim Mikrobiologi, 2003).
Uji ini memperlihatkan imobilisasi Treponema pallidum oleh antibody spesifik pada
serum penderita setelah minggu ke-2 infeksi. Pengenceran serum dilakukan dengan cara
dicampur dengan komplemen dan Treponema pallidum yang bergerak aktif, yang diekstraksi
dari chancre testis seekor kelinci, kemudian campuran tersebut diamati di bawah mikroskop.
Bila terdapat antibody spesifik, Spirochaeta tidak bergerak aktif lagi (pada serum normal
bakteri ini tetap bergerak aktif). Uji ini membutuhkan bakteri Treponema hidup yang berasal
dari hewan yang terinfeksi dan hal ini sulit untuk dilaksanakan, masa kini jarang dilakukan
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
Tes ini sangat mahal dan sukar, juga memberikan hasil yang positif terhadap penyakit-
penyakit yang non-veneral seperti: yaws, bejel, dan pinta (Tim Mikrobiologi, 2003).

b. Reiter Complement Fixation Test


Selain tes serologi diatas, dikenal pula tes serologis lain yang disebut Reiter Protein
Complement Fixation. Pada tes serologi ini, dipakai antigen yang berasal dari ekstrak dari
treponema yang avirulen yang disebut galur Reiter, yang dapat dibiakkan secara in vitro.
Kelemahan dari tes ini antara lain :
Pada stadium lanjut dari penyakit sifilis, justru sering memberikan hasil yang negatif;
Terjadi reaksi silang dengan bakteri treponema yang merupakan flora normal pada mulut
(T.microdentium dan T.macrodentium).
(Tim Mikrobiologi, 2003)

c. Fluorescent Antibody Technique (FAT)


Diagnosis terhadap infeksi oleh Treponema pallidum juga dapat dilakukan dengan
teknik imunofluoresens. Untuk cara ini, dipakai antigen dari bakteri treponema galur Nichol.
Cara imunofluoresens ini digunakan untuk diagnosis sifilis kongenital, dan untuk
menegakkan diagnosis terhadap late syphilis. Dalam hal ini, antibody yang diperiksa dilabel
dengan anti-human gamma globulin dan zat fluoresenin-isothiosianat kemudian dilihat di
bawah mikroskop fluoresens. Tes ini sangat sensitive dan hasilnya dapat dipercaya.
Sensitivitas dari tes ini adalah 85% pada sifilis stadium I, 100% stadium II, dan 98% pada
stadium III (Tim Mikrobiologi, 2003).
Uji ini menggunakan imunofluoresensi indirect ( Treponema pallidum yang dimatikan
+ serum penderita + anti-gammaglobilin manusia yang berlabel ), dan menunjukkan
spesifisitas dan sensitifitas yang sangat baik untuk antibody sifilitik, bila serum penderita
telah diabsorbsi oleh Spirochaeta galur Reiter yang disonifikasi sebelum dilakukan uji FTA
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
FAT adalah tes yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak
direkomendasikan untuk tes uji saring (screening). Tes ini digunakan untuk konfirmasi tes
nontreponemal yang positif dan untuk diagnose sifilis stadium lambat dimana tes
nontreponemal sering memberikan hasil negatif palsu (Tim Mikrobiologi, 2003).

d. Treponema pallidum hemaglutination (TPHA) test


Treponema diabsorbsikan pada permukaan sel darah merah. Jika dicampur dengan
serum yang mengandung antibody antitreponemal, sel-sel tersebut akan menggumpal. Tes ini
mirip dengan FTA dalam hal sensitivitas, tetapi memberikan hasil positif lebih lambat dari
perjalanan infeksinya (Tim Mikrobiologi, 2003).

Reaksi positif palsu (Biological false positif / BFP )


Hasil reaksi positif palsu akut atau sementara pada uji reaginik nontreponemal mungkin
terjadi bila terdapat rangsangan imunologik yang kuat (contohnya pada infeksi akut yang
dissebabkan oleh bakteri, pneumonia, hepatitis, penyakit-penyakit virus yang memberikan
rash kulit, atau pada vaksinasi). Hasil pemeriksaan yang tetap positif selama berbulan-bulan
terjadi pada orang yang mengalami ketergantungan obat (narkotika) pada penyakit autoimun
atau penyakit jaringan ikat (kolagen), khususnya lupus eritematosus sistemik, juga pada usia
lanjut (sampai 10% orang berusia di atas 70 tahun) atau pada keadaan
hipergamaglobulinemia. Sedangkan pemeriksaan yang memberikan hasil positif palsu pada
uji reginik nontreponemal cenderung berkaitan dengan factor serum lainnya yang seringkali
berhubungan dengan penyakit autoimun, misalnya antibody antinuclear, antitiroid, atau
antimitokondria, factor rheumatoid, dan krioglobulin (cryoglobulin).
Pemeriksaan yang memberikan hasil positif palsu pada uji reginik nontreponemal
biasanya dapat diverifikasi dan adanya sifilis dapat disingkirkan dengan cara mendapatkan
hasil negative pada uji antibodi treponemal spesifik (misalnya dengan FTA-abs, TPHA).
Sayangnya, kadang-kadang penyakit yang sama dapat memperlihatkan reaksi silang yang
artinya memberikan hasil positif palsu pada ujii reaginik nontreponemal, dapat pula
memberikan hasil positif palsu pada uji reaginik nontreponemal, dapat pula memberikan hasil
uji FTA-abs yang positif atau positif meragukan (borderline positive). Demikian pula FTA-
abs dapat memberikan hasil positif ketika hasil pemeriksaan VDRL menunjukkan negative.
Penyakit Spirochaeta lainnya seperti demam relaps (disebabkan oleh Borrelia sp) atau
framboesia, pinta, leptospirosis, rat-bite fever (Spirillum minor) juga akan menghasilkan uji
nontreponemal atau uji treponemal yang positif. Borrelia burgdorferi (penyakit Lyme)
memberikan reaksi reaginik nontreponemal (VDRL) yang positif (Sylvia Y. Muliawan,
2008).

13. Pengobatan
Penisilin dengan konsentrasi 0,003 unit/ml mempunyai aktifitas treponemisidal yang
jelas, dan penisilin adalah pengobatan pilihannya. Sifilis dengan durasi kurang dari 1 tahun
diobati dengan injeksi tunggal benzatin penisilin G secara intramuscular. Pada sifilis stadium
lebih yang lebih lanjut/ laten, benzatin penisilin G secara intramuscular diberikan 3 kali
dengan interval 1 minggu. Pada neurosifilis, juga diberikan pengobatan yang sama, tetapi
dosis tinggi penisilin intravena kadang satu minggu. Pada neurosifilis, juga diberikan
pengobatan yang sama, tetapi dosis tinggi penisilin intravena kadang direkomendasikan.
Antibiotic lainnya, misalnya, tetrasiklin atau eritromisin, kadang kadang dapat diberikan.
Pengobatan gonorhoe diduga dapat menyembuhkan sifilis yang sedang berada dalam masa
inkubasi. Tidak lanjut jangka panjang juga diperlukan. Pada neurosifilis, treponema kadang
kadang dapat bertahan terhadap pengobatan tersebut. Kekambuhan neurologic yang parah
pada sifilis yang sudah diobati terjadi pada penderita acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS) yang etrinfeksi oleh HIV dan T pallidum. Reaksi khas Jarisch-Herxheimer dapat
muncul dalam beberapa jam setelah dimulainya pengobatan. Hal ini terjadi pelepasan produk
toksin dari spiroketa yang hamper mati atau telah mati (Jawetz, Melnick, dan Adelberg,
2007).
Pada pemberian pengobatan dengan logam berat atau penisilin sebagai penderita
menunjukkan adanya reaksi Jarish-Herxheimer dengan tanda tanda:
Penderita mengalami febris, suhu badan 38oC atau lebih, sakit kepala, malaise.
Reaksi ini seiring dijumpai pada sifilis primer atau penyakit pada stadium dini dan
terjadinya dalam waktu 2 12 jam setelah terjadinya pengobatan. Terjadinya reaksi ini
diduga akibat banyaknya bakteri yang mati setelah pemberian obat (Tim Mikrobiologi,
2003).

14. Follow-up dan pengobatan ulang


Semua penderita sifilis dini dan sifilis kongenita harus menjalani uji nontreponemal
kuantitatif serial pada bulan ke-3, ke-6, dan ke-12. Semua penderita sifilis sekunder atau
sifilis yang lamanya di atas 1 tahun, juga harus menjalani ulangan uji nontreponemal
kuantitatif 24 bulan setelah pengobatan. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga wajib
dilakukan pada semua penderita, khususnya bila mereka diobati dengan benzatin penisilin.
Semua penderita dengan neurosifils yang terdokumentasi, harus diikuti secara cermat dengan
uji serologic dan pemeriksaan cairan serebrospinal selama sedikitnya 5 tahun, kecuali
parameter tersebut menjadi normal, termasuk produksi local antibody pada cairan
serebrospinal.
Pengobatan ulang harus dipertimbangkan bila :
a) Tanda dan gejala klinik sifilis menetap atau kambuh,
b) Terdapat kenaikan kadar titer uji nontreponemal, dan
c) Bila uji RPR tetap positif selama 12 bulan pada sifilis promer, 24 bulan pada sifilis sekunder,
dan 5 tahun pada sifilis lanjut.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).

15. Imunitas
Seseorang dengan sifilis atau framboesia aktif dan laten tampaknnya resisten terhadap
superinfeksi dengan Treponema pallidum. Akan tetapi, bila sifilis atau framboesia stadium
dini diobati secara adekuat dan infeksinya dapat dihilangkan, individu tersebut kembali
menjadi rentan sepenuhnya. Berbagai respons imun biasanya gagal untuk membasmi infeksi
atau menghentikan perjalanan penyakitnya.
( TAHUN ? )Magnuson dan teman-teman berhasil membuktikan pada sukarelawan
bahwa timbul imunitas tehadap reinfeksi. Akan tetapi, imunitas yang timbul tampaknya tidak
bersifat mutlak karena akan menjadi solid bila infeksinya semalin lama tidak diobati.
Antibody humoral hanya bersifat protektif untuk sebagian kasus, karena infeksi eksperimrntal
dapat ditimbulkan pada manusia dan kelinci meskipun terdapat antibody tersebut.
Orang yang terinfeksi HIV yang mengalami disregulasi dan penurunan status imunitas
selular secara progresif cenderung mengalami penyakit yang lebih berat. Demikian pula,
orang yang malnutrisi dan juga mempunyai deficit fungsi imunitas selular cenderung
mengalami penyakit sifilis yang lebih berat (Sylvia Y. Muliawan, 2008).

16. Pencegahan dan pengendalian


Sifilis ditularkan melalui pajanan seksual, kecuali sifilis kongenital dan pajanan
okupasional yang jarang terhadap petugs kesehatan. Reinfeksi pada orang yang sudah diobati
bisa terjadi. Oarng yang terinfeksi tetap dapat menularkan selama 3-5 tahun selama sifilis
dini. Sifilis stadium lanjut, dengan durasi lebih dari 5 tahun, biasanya tidak menular
(Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Akibatnya, ukuran untuk pengendalian tergantung pada :
a) Pengobatan segera dan adekuat pada semua kasus yang ditemukan;
b) Monitoring terhadap sumber infeksi dan kontak sehingga mereka dapat diobati;
c) Penyuluhan atau edukasi penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, termasuk
kegunaan kondom dan hygiene seks;
d) Profilaksis pada saat kontak;
e) Uji penapisan pada semua individu yang terinfeksi HIV dan wanita hamil merupakan bagian
dari program kesehatan masyarakat;
f) Pengobatan pasangan seks dan secara epidemik.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
Beberapa penyakit menular seksual dapat ditularkan secara bersamaan. Oleh sebab
itu, perlu dipikirkan kemungkinan sifilis pada setiap orang yang terkena penyakit menular
seksual (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007)

Anda mungkin juga menyukai