Anda di halaman 1dari 15

Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahlln 2006 ISSN 0852 - 2979

STUDI TEKNIK PENDINGIN UNTUK INSTALASI DEKONTAMINASI ELEKTROLITIK


BERMEDIA TOR Ag2+

Ratiko
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, BATAN

ABSTRAK
STUD! TEKNIK PENDINGIN UNTUK INSTALASI DEKONT AMI NASI
ELEKTROLITIK BERMEDIATOR Ag2+. Oalam Penelitian ini dikaji beberapa konsep
sistem pending in yang diperlukan Instalasi Oekontaminasi Elektrolitik bermediator Ag2+.
Sistem pendingin diperlukan Instalasi Oekontaminasi Elektrolitik bermediator Ag2+
karena temperatur anolyte mempengaruhi efisiensi kerja instalasi. Pada suhu tertentu
akan dicapai efisiensi kerja instalasi yang optimal. Oari perkembangan teknologi
pendingin terkini, sistem Refrigerasi Absorpsi dan sistem Kompresi Uap merupakan
sistem refrigerasi yang lebih menguntungkan untuk Instalasi Oekontaminasi
Elektrolitik.

ABSTRACT
STUDY OF COOLING SYSTEM FOR THE ELECTROLYTIC
DECONTAMINATION PLANT WITH Ag2+ MEDIATOR. Some cooling concepts for the
electrolytic decontamination plant with Ag2+ mediator have been investigated. Cooling
system is needed, due to the fact that temperature of the anolyte solution creates a
change of the plant efficiency. The optimally efficiency will be reached in the certain
temperature. In the actual refrigeration technology, absorption refrigeration and
compression refrigeration system are favorable for the electrolytic decontamination
plant with Ag2+mediator.

PENDAHULUAN

Industri nuklir yang memproses bahan uranium, plutonium, americium beserta


turunanya menghasilkan limbah terkontaminasi alfa yang membahayakan manusia
serta makhluk hidup lainnya. Salah satu cara pengelolaan limbah radioaktif
terkontaminasi alfa adalah dengan mendekontaminasi limbah tersebut dengan teknik
dekontaminasi elektrolitik hingga mencapai batas yang diperbolehkan untuk dibuang
ke lingkungan atau didaur ulang.
Teknik Oekontaminasi Elektrolitik yang telah diaplikasikan untuk pengelolaan
limbah radioaktif ada dua metode, yaitu: metode elektroplising dan metode
elektrodisposisi. Oalam metode elektropolising limbah radioaktif dioksidasi secara
langsung. Limbah langsung diberlakukan sebagai salah satu elktroda. Metode ini
efektif hanya untuk limbah metal.
Oalam metode elektrodisposisi limbah radioaktif dioksidasi secara tidak
langsung, yaitu dengan menggunakan mediator seperti Cesium, Cobalt dan Perak
yang dapat dielektroregenerasi menjadi Ce4+, Co3+, Ag2+sebagai katalisator. Metode ini

196
Hasi/ Penelitian dan Kegiatan PTLR Talwn 2006 ISSN 0852 - 2979

efektif untuk mendekontaminasi limbah metal dan juga non metal.


Karena memiliki potensal oksidasi paling tinggi, Ag2+ memiliki hasil yang lebih efektif

dibanding mediator Cesium dan Cobalt.


Metode dekontaminasi elektrolitik dengan elektoregenerasi dan mediator Ag2+

mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut: peralatannya kompak dan dapat


diinstal didalam glove box, pengopersaiannya mudah, kondisi operasi pad a temperatur
dan tekanan udara rendah, material radioaktif berada dalam kondisi cair.

Untuk mendapatkan efisiensi dekontaminasi yang optimal, teknik


dekontaminasi elktrolitik dengan elektoregenerasi dan mediator Ag2+ memerlukan
temperatur operasi tertentu. Untuk itu diperlukan Sistem pengatur temperatur untuk
mendapatkan efisiensi yang optimal. Dalam penelitian ini dikaji beberapa konsep teknik
pendingin untuk instalasi dekontaminasi elektrolitik dengan mediator Ag2+ untuk
mendapatkan gambaran dan landasan pemilihan beberapa parameter yang bisa
diaplikasikan.

KARAKTERISTIK REAKSI 01 INSTALASI OEKONTAMINASI ELEKTROLITIK


BERMEOIATOR Ag2+

Teknik elektrokimia didasarkan pada perpindahan elektron yang dikendalikan


oleh perbedaan potensial listrik. Pada elektrode positif (anode) terjadi reaksi oksidasi
dan pada elektrode negatif (katode) terjadi reaksi reduksi.
Sebagaimana disinggung diatas, teknik elektrokimia yang dipakai di instalasi
dekontaminasi elektrolitik bermediator Ag2+ adalah metode oksidasi secara tidak

langsung. Pad a oksidasi elektrokimia dengan media perak dan pengembannya asam
nitrat, Ag2+ akan dibangkitkan oleh reaksi elekrolisis di anode melalui reaksi

perpindahan elektron sebagai berikut:

Ag+ ~ Ag2+ + e- (anode) (1 )


2H+ + N03- + e- ~ N02 + H20 (katode) (2)

4W + N03- + 3e- ~ NOx + 2H20 (katode) (3)


Pad a dekontaminasi elektrokimia, Ag2+ di dalam anolyte akan mengoksidasi limbah
radioaktif yang akan didekontaminasi. Misalnya, PU02 akan dioksidasi oleh Ag2+
menjadi Pu2+ ion yang larut.
PU022+
2 Ag2+ ++Ag+
PU02+
PuO/+ 2 e-(anode)
2e-
~Aq+
~
2 Ag+ (5)
(4)
(6)
(7)

197
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahlln 2006 ISSN 0852 - 2979

Oari contoh reaksi diatas bisa dikatakan, bahwa dengan semakin besar kwantitas
terbentuknya Ag2+ akan semakin besar hasil dekontaminasi limbah radioaktif.
Selain bergantung pada faktor besar arus listrik dari 2 elektrode, desain alat,

kecepatan kontak Ag2+ ke elektrode dan konsentrasi larutan yang terdapat pada anode
dan katode, kecepatan terjadinya Ag2+juga bergantung pada temperatur.
Oari hasil penelitian didapatkan bahwa, kecepatan pembangkitan Ag2+ justru akan
semakin bertambah dengan turunnya temperatur. Padahal dari persamaan:
k= Ae-EaJRT (8)
didapatkan bahwa kecepatan reaksi akan semakin bertambah dengan bertambahnya
temperatur. Namun bersamaan dengan reaksi pembentukan Ag2+ terjadi pula reaksi
antara Ag2+ dengan air membentuk kembali Ag+:

4 Ag2+ + 2 H20 ~ 4 Ag+ + O2 + 4 H+ (9)


Oari penelitian didapatkan bahwa pengaruh kenaikan temperatur terhadap
reaksi antara Ag2+ dengan air (membentuk kembali Ag+) lebih kuat dibandingkan
dengan pengaruhnya terhadap reaksi pembentukan Ag2+. Sehingga dengan penurunan
temperatur akan didapatkan kenaikan kecepatan reaksi pembentukan Ag2+, yang
berarti akan semakin besar kwantitas limbah yang bisa didekontaminasi.
Oi sisi lain kenaikan temperatur akan meningkatkan faktor dekontaminasi, oleh karena
itu dalam prakteknya perlu dipilih temperatur optimal, yang menghasilkan efisiensi
dekontaminasi yang maksimal. Untuk keperluan pemilihan temperatur optimal tersebut
tentunya diperlukan sistem pengatur suhu (Teknik Pending in).

SISTEM PENDINGIN UNTUK INSTALASI DEKONTAMINASI ELEKTROLITIK

BERMEDIA TOR Ag2+


Beberapa kemungkinan Konsep Pendingin/Refrigerasi yang saat ini banyak
diaplikasikan atau potensial untuk diaplikasikan:

Sistem Refrigerasi Konvensional (Kompresi Uap)

Saat ini mesin refrigerasi yang paling banyak digunakan di dunia adalah dari
jenis siklus kompresi uap. Mesiri refrigerasi siklus kompresi uap memiliki fleksibilitas
penggunaan, yakni bisa berfungsi sebagai mesin pendingin (AC) ataupun
pemanas/pompa kalor (heat pump) dengan mengubah arah aliran refrigerannya. Mesin
refrigerasi jenis ini juga berukuran cukup kompak, sehingga tidak memerlukan ruang
yang besar.
Mesin refrigerasi kompresi uap terdiri atas em pat komponen utama, yakni
kompresor, kondensor, katup ekspansi, dan evaporator. Kondensor dan evaporator

198
ISSN 0852 - 2979
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahlln 2006

sesungguhnya merupakan penukar kalor (heat exchanger) yang berfungsi


mempertukarkan kalor diantara dua fluida, yakni antara refrigerant dengan fluida luar
(bisa berupa air ataupun udara). Skema mesin refrigerasi ini dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini.

Katup We

ekspansi
Kompresor

Gambar 1 Skema mesin refrigerasi siklus kompresi uap

Sedangkan diagram tekanan-entalpi yang menjelaskan proses pada mesin


refrigerasi siklus kompresi uap bisa dilihat pada Gambar 2.

Tekanan

Entalpi

Gambar 2 Diagram Tekanan-Entalpi pad a proses refrigerasi siklus kompresi uap

Pad a proses 1-2, kompresor menaikkan tekanan uap refrigerant. Kenaikan


tekanan ini diikuti dengan kenaikan temperatur uap refrigerant. Pada tingkat keadaan
(TK) 2, uap refrigerant berada pada kondisi uap super-panas. Pada proses 2-3, uap
refrigerant memasuki kondensor dan mendapatkan pendinginan dari kondensor.
Pendinginan ini terjadi akibat pertukaran panas antara uap refrigerant dengan fluida
luar (misalnya udara lingkungan ataupun air pendingin). Refrigerant keluar dari

kondensor pada TK 3 dalam kondisi cair jenuh, atau bisa juga pada kondisi cair sub-
dingin. Refrigerant kemudian memasuki katup ekspansi. Katup ekspansi ini pada

prinsipnya berupa penyempitan daerah aliran yang berakibat pad a penurunan tekanan

199
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahun 2006 ISSN 0852 - 2979

fluida secara drastis. Idealnya, refrigerant melalui katup ekspansi (proses 3-4) secara
iso-entalpi (isentalpl). Pada TK 4, refrigerant berada dalam kondisi campuran cair dan
uap. Karena refrigerant berada pada tekanan jenuhnya (tekanan penguapan). maka
dia akan mengalami penguapan; hukum alam menyatakan bahwa penguapan
membutuhkan energi, terjadilah penyerapan energi termal dari luar evaporator yang
menyebabkan efek pendinginan oleh mesin refrigerasi.

Sistem Refrigerasi Absorpsi

Untuk menggantikan fungsi kompresor (yang memerlukan energi terbesar


dalam kompenen sistem kompresi uap) seperti yang digunakan di dalam siklus
kompresi uap, digunakan tiga komponen di dalam siklus absorpsi; yakni absorber,
pompa, dan generator. Sehingga bila dibandingkan dengan sistem refrigerasi
konvensional, energi mekanik yang diperlukan oleh refrigerasi absorpsi sangat keci!.
Diagram refrigerasi absorpsi efek tunggal dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini:

Qc

rethgera n

Gambar 3 Diagram siklus refrigerasi absorpsi efek tunggal

Pada Gambar 3, QA adalah perpindahan panas dari absorber, WPump kerja


yang diperlukan pompa, QG adalah perpindahan panas yang diperlukan oleh
generator, Qc adalah perpindahan panas dari kondenser, dan QE adalah panas yang
diserap oleh evaporator. Penukar kalor yang terdapat di dalam siklus absorpsi
berfungsi untuk meningkatkan temperatur larutan sebelum memasuki generator,
sehingga bisa menghemat energi.
Seperti halnya siklus refrigerasi kompresi uap, efek pendinginan pada siklus
absorpsi juga terjadi pada sisi evaporator. Untuk menggantikan kompresor seperti
yang digunakan di dalam siklus kompresi uap, digunakan tiga komponen di dalam
siklus absorpsi; yakni absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi untuk

200
ISSN 0852 - 2979
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahun 2006

menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur menjadi


larutan. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksotermik (mengeluarkan panas),
maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber. Tanpa dilakukannya
proses pembuangan panas, maka kelarutan (solubility) uap refrigeran ke dalam
absorben akan rendah. Selanjutnya, larutan tersebut dipompa ke generator.
Dalam perjalanan menuju generator, larutan dilewatkan di dalam penukar kalor untuk
meningkatkan temperatur (preheating). Daya pompa yang diperlukan sangat kecil,
sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya diabaikan. Di
dalam generator, larutan dipanaskan hingga terjadi pemisahan refrigeran dari larutan.
Selanjutnya, uap refrigeran tersebut akan memasuki kondensor. Proses selanjutnya
tidak berbeda dengan siklus kompresi uap, yakni kondensasi, penuruan tekanan
(melalui mekanisme penghambat aliran - flow restrictor), dan evaporasi.

Sistem Refrigerasi Adsorpsi Padatan


Efek pendinginan pada siklus solid adsorption menggunakan prinsip yang
sama dengan sistem refrigerasi lainnya: bahwa proses evaporasi memerlukan suplai
energi (menyerap energi). Proses adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari cairan
dan pengakumulasiannya pada permukaan sebuah zat padat. Zat yang menguap dari
fasa cair disebut sebagai adsorbat, sedangkan zat padat yang menyerap adsorbat
disebut sebagai adsorben. Molekul-molekul yang diserap oleh adsorben bisa
dilepaskan kembali dengan cara memanaskan adsorben; dengan demikian proses ini
bersifat reversibel. Terdapat dua macam adsorben, yakni hydrophilic seperti gel silika,
zeolit dan alumina aktif atau alumina berpori; dan hydrophobic seperti karbon aktif,
polimer dan silikat (Sumathy dkk., 2003). Adsorben hydrophilic memiliki kemampuan
ikat yang tinggi dengan zat yang bersifat polar (seperti air), sedangkan adsorben
hydrophobic dengan zat yang bersifat non-polar (seperti minyak).

1~1P

c B D

1
T

Gambar 4 Diagram Clapeyron untuk siklus adsorpsi ideal

201
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR ralll/n 2006 ISSN 0852 - 2979

Siklus adsorpsi dasar bisa dilihat pada Gambar 4. Siklus ideal dimulai dari titik
A: adsorben berada pada temperatur rendah, TA' dan tekanan rendah, PE (tekanan
evaporasi). A - B menunjukkan pemanasan adsorben bersamaan dengan adsorbat.
Pada saat ini, wadah adsorben (kolektor) dihubungkan dengan kondensor. Pemanasan
lanjut pada adsorben dari B ke 0 menyebabkan sebagian adsorbat mengalami
desorpsi dan selanjutnya uapnya terkondensasi di kondensor (titik C). Pada saat
adsorben mencapai temperatur maksimum, To, proses desorpsi berhenti. Selanjutnya
cairan adsorbat dikirimkan ke evaporator dari C ke E; kemudian kolektor ditutup dan
mending in. Penurunan temperatur dari 0 ke F menyebabkan penurunan tekanan dari
Pc ke PE. Setelah kolektor dihubungkan dengan evaporator; evaporasi dan adsorpsi
terjadi pada saat adsorben didinginkan dari temperatur F ke A. Efek pendinginan
muncul pada saat terjadinya evaporasi adsorbat.

Sistem Refrigerasi Efek Magnetokalorik


Efek magnetokalorik, yang merupakan sifat intrinsik seluruh material
magnetik, menyebabkan material yang bersifat magnetik akan membuang panas dan
tingkat entropi magnetiknya turun pada saat dikenai medan magnet secara isotermal.
Efek yang berkebalikan akan terjadi manakala medan magnet dihilangkan. Dengan
demikian, efek magnetokalorik ini bisa digunakan untuk mendinginkan suatu zat.
Prinsip ini telah digunakan dalam refrigerasi kriogenik sejak tahun 1930-an (Yu dkk.,
2003). Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology)
yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap. Efisiensi
refrigerasi magnetik bisa mencapai 30 - 60% terhadap siklus Carnot, sedangkan siklus
kompresi uap hanya mencapai 5 - 10% terhadap siklus Carnot (Yu dkk., 2003). Oleh
karena itu, refrigerasi magnetik diperkirakan memiliki potensi yang bagus di masa
mendatang.
Siklus dasar refrigerasi magnetik adalah siklus Carnot magnetik, siklus Stirling
magnetik, siklus Ericcson magnetik, dan siklus Brayton magnetik. Mekanisme kerja
siklus refrigerasi magnetik, misalnya siklus Ericcson magnetik, dijelaskan di bawah ini.

202
ISSN 0852 - 2979
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahzln 2006

s A

Gambar 5 Diagram siklus Ericcson magnetik. S:Entropi, T:Temperatur

Proses magnetisasi isothermal (A-B). Pada saat terjadi kenaikan medan magnet
(dari Ho ke H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator
untuk menjaga refrigeran dalam keadaan isotermal. Note: yang dimaksud dengan
refrigeran adalah material magnetik itu sendiri.
Proses pendinginan pada medan-konstan (B-C). Pada keadaan medan magnet
konstan (H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator.
Proses demagnetisasi isotermal (C-D). Pada saat medan magnet diturunkan (dari
H1 ke Ho), panas diserap dari fluida regenerator ke refrigeran magnetik untuk
menjaga kondisi isotermal pada refrigeran.
Proses pemanasan pada medan-konstan (D-A). Temperatur akhir refrigeran
magnetik kembali ke kondisi semula (A).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa Parameter Positif dan Negatif Sistem Refrigerasi


Setiap Sistem Refrigerasi yang diuraikan sekilas diatas (Bab 3), tentunya
memiliki kelebihan namun juga kekurangan bila diadakan komparasi antara sistem
yang satu dengan yang lain.

Sistem Refrigerasi Efek Magnetokalorik:


Beberapa peneliti mengeksplorasi kemungkinan penggunaan refrigerasi
magnetik sebagai pengganti sistem refrigerasi konvensional. Pada 1976, di Lewis
Research Center of American National Aeronautics and Space Administration, Brown
menggunakan logam tanah jarang (rare-earth metal) gadolinium (Gd) sebagai
refrigeran magnetik untuk refrigerasi pada temperatur ruang (Yu dkk., 2003). Dengan
menambahkan berbagai variasi silika dan germanium ke latis (lattice) kristal

203
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahlln 2006 ISSN 0852 - 2979

gadolinium, Vitalij Peeharsky dan Karl Gsehneidner dari the Ames Laboratory di Iowa
State University menemukan jenis material baru yang bisa mendinginkan dua hingga
enam kali lebih banyak dalam siklus magnetik tunggal, yang berarti bahwa mesin
refrigerasi ini bisa menggunakan medan magnet yang lebih lemah atau material yang
lebih keeil (Glanz,1998). Dengan memadukan refrigeran magnetik GdSGe2Si2 dan
sejumlah kecil besi, Provenzano dkk. (2004) melaporkan bahwa mereka bisa
mengurangi kehilangan histerisis (yang menyebabkan refrigeran magnetik kurang
efisien) hingga 90%. Selain menggunakan paduan berbasiskan gadolinium, Tegus dkk.
(2002) menggunakan refrigeran magnetik berbasiskan logam transisi, MnFePo.4s,Aso.ss,
untuk refrigerasi pada temperatur ruang dengan hasil refrigerasi yang seeara signifikan
lebih besar dibandingkan dengan GdSGe2Si2.
Namun demikian, seeara umum sa at ini pengembangan refrigerasi magnetik
pada temperatur ruang masih be/um matang. Yu dkk. (2003) menekankan bahwa
kesulitan utama dalam pengembangan refrigerasi magnetik adalah:
1. Diperlukannya material magnetik dengan efek magnetokalorik yang besar
2. Diperlukannya medan magnet yang kuat
3. Diperlukannya sifat regenerasi dan perpindahan panas yang istimewa.

Sistem Refrigerasi Adsorpsi Padatan:

Beberapa peneliti telah menyelidiki aplikasi siklus adsorpsi di berbagai bidang,


seperti pengkondisian udara di dalam kabin masinis (Lu dkk., 2004; Wang dkk.,
2006a), refrigerator tenaga surya untuk gedung (Lemmini dan Errougani, 2005),
pendingin air (Liu dkk., 2005), dan pembuat es (ice maker) untuk kapal nelayan (Wang
dkk., 2006b).
Namun dibandingkan dengan siklus kompresi uap, prestasi siklus adsorpsi
jauh lebih keeil. Sumathy dkk. (2003) menjelaskan beberapa modifikasi yang perlu
dilakukan pad a siklus adsorpsi untuk meningkatkan prestasi siklus terse but. COP
tertinggi siklus adsorpsi yang didata oleh Sumathy dkk. (2003) adalah 1,06.

Sistem Refrigerasi Absorpsi:


Dua keuntungan utama penggunaan siklus absorpsi adalah: (1) Siklus ini tidak
menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan

global, dan (2) Siklus ini bisa menggunakan panas buangan, sehingga sangat coeok
digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan
panas/termal. Siklus kombinasi ini sangat berpotensi menghemat energi. Sistem
pemanas dan pendingin di Shinjuku, Jepang, diklaim oleh operatornya (Tokyo Gas)

204
Hasi/ Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahlln 2006 ISSN 0852 - 2979

bisa menghasilkan penghematan energi pendinginan sebesar 20% (Tokyo Gas, 2002).
Performansi sistem ini bisa didefiniskan dengan cara yang sama seperti halnya dalam
siklus kompresi uap, yakni:

QE
(10)
COP
. = Q(,- + hr.r1'lImp

Namun karena daya pompa siklus ini umumnya sangat kecil dibandingkan
dengan komponen yang lain, maka WPump seringkali dihilangkan dari Persamaan (10).
Dalam aplikasinya, performa (COP) siklus absorpsi masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan siklus kompresi uap. Dalam artikel reviewnya, Shrikhirin (2001)
menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi siklus
absorpsi.
Holmberg dan Berntsson (1990) menerangkan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi
oleh fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yakni:
1. Perbedaan titik didih antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama (boiling
elevation) haruslah sebesar mungkin.
2. Refrigeran perlu memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi
di dalam absorben untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan
generator persatuan kapasitas pendinginan.
3. Memiliki sifat-sifat transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan koefisien
difusi, yang baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa
yang juga baik.
4. Baik refrigeran dan absorbennya harus bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan
murah.

Kriteria lain untuk fluida kerja sistem absorpsi serupa dengan kriteria untuk
refrigeran siklus kompresi uap, seperti stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak
mudah terbakar, dan tidak mudah meledak. Hingga saat ini, fluida kerja yang paling
banyak digunakan di dalam sistem refrigerasi absorpsi adalah Air/NH3 dan LiBr/Air
(Srikhirin dkk., 2001).
Dua keuntungan utama penggunaan sistem Absorpsi:
tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan
pemanasan global.

205
Hasi/ Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahun 2006 ISSN 0852 - 2979

Sistem ini bisa menggunakan panas matahari dan panas buangan, sehingga cocok
digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan
panas/termal.
Beberapa catatan penting untuk sistem Absorpsi adalah:
Biaya investasi yang diperlukan relativ lebih besar dibanding Sistem Kompresi Uap
Oimensi (masa dan luas) Instalasi Sistem Absorpsi lebih besar dibanding Sistem
Kompresi Uap.

Sistem Refrigerasi Kompresi Uap:

Pada mesin refrigerasi siklus kompresi uap, fungsi kondensor dan evaporator
bisa dibalik dengan mengubah arah aliran refrigerant. Oengan demikian, mesin ini bisa
berfungsi sebagai pendingin di musim panas dan pemanas (heat pump) di musim
dingin. Prestasi AC dapat dinyatakan dengan:

(\ ])

COP (tak bersatuan) singkatan dari Coefficient of Performance, QE

adalah perpindahan panas pada evaporator, dan We adalah kerja kompresor.


Persamaan (11) menyatakan prestasi AC pada satu saat tertentu. Prestasi AC dalam
kurun waktu yang lama, misalnya selama musim panas, dinyatakan dalam SEER
(Seasonal Energy Efficiency Ratio). SEER memiliki bentuk yang sama dengan
Persamaan (11), hanya berbeda pada satuan SEER, yakni Btu.hlWatt. Kelemahan
utama Sistem ini adalah bahwa Refrigeran (fluida utama di mesin Pendingin)
menimbulkan masalah lingkungan, yaitu lobang ozon dan pemanasan global. Sifat
merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode 1930
hingga 1990, yakni CFCs (Chloro Fluoro Carbons), dikemukakan oleh Molina dan
Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh
Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi
secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan
zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol
Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua refrigeran utama yang dijadwalkan untuk
dihapuskan masing-masing pada tahun 1996 dan 2030 untuk negara-negara maju
(United Nation Environment Programme, 2000). Sedangkan untuk negara-negara
berkembang, kedua refrigeran utama tersebut masing-masing dijadwalkan untuk
dihapus (phased-out) pada tahun 2010 (CFCs) dan 2040 (HCFCs, Hydro Chloro Fluoro

206
/SSN 0852 - 2979
Hasi/ Pene/ilian dan Kegiatan PTLR Tahlln 2006

Carbons) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan
pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs /Hydro Fluoro Carbons,
(United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005).
Powell (2002) menerangkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran
pengganti, yakni:
1. Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak
digantikannya, utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang
diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan refrigeran
lama yang ber-klorin.
2. Tidak mudah terbakar.
3. Tidak beracun.
4. Bisa bercampur (miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin
refrigerasi.
5. Setiap refrigeran CFC hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah
lingkungan.
Setelah periode CFCs, R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak
digunakan di dalam mesin refrigerasi dan pengkondisian udara. Saat ini beberapa
perusahaan pembuat mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22
dalam produk-prod uk mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis
HCFCs lainnya, dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju),
namun beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif,
misalnya Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin
refrigerasi baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan
penggunaan HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999
(Kruse,2000).
Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat
refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan refrigeran
lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon.
Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun terakhir,
penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini meyakini akan
terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak secara jelas
merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab pulihnya lapisan
ozon. Powell (2002) menyebutkan bahwa adanya kerjasama yang sangat baik antara
produser refrigeran dan perusahaan pengguna refrigeran telah memungkinkan
terjadinya transisi mulus dari era penggunaan CFCs secara besar-besaran di 1986

207
Hasil Pene/ilian dan Kegialan PTLR Tahun 2006 ISSN 0852 - 2979

hingga penghapusan dan penggantiannya dengan R134a di tahun 1996. Banyak


kalangan menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian
internasional di bidang lingkungan yang paling berhasil diterapkan.
Saat ini, HCFCs (yang pada dasarnya merupakan pengganti transisional untuk CFCs)
telah memiliki 2 kandidat pengganti, yakni R410A (campuran dengan sifat mendekati
zeotrop) dan R407C (campuran azeotrop) (Kruse, 2000). Hidrokarbon Propana (R290)
juga berpotensi menjadi pengganti R22 (Kruse, 2000). R407C merupakan campuran
antara R32/125/132a dengan komposisi 23/25/52, sedangkan R410A adalah
campuran R32/125 dengan komposisi 50/50 (ASHRAE, 2005). Saat ini, beberapa
perusahaan terkemuka di bidang refrigerasi dan pengkonsian udara telah
menggunakan R410A dalam produk mereka.
Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka
secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain refrigeran
alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen refrigeran yang
mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak ozon dan tidak
menimbulkan pemanasan global (ASHRAE. 2006). Beberapa refrigeran alami yang
sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3), hidrokarbon (HC).
karbondioksida (C02), air. dan udara (Riffat dkk., 1997). Kata "alami" menekankan
keberadaan zat-zat terse but yang berasal dari sumber biologis atapun geologis;
meskipun saat ini beberapa produk refrigeran alami masih didapatkan dari sumber
daya alam yang tidak terbarukan, misalnya hidrokarbon yang didapatkan dari oi/-

cracking, serta amonia dan CO2 yang didapatkan dari gas alam (Powell, 2002).
Penggunaan karbondioksida, air, dan udara pada refrigerator komersial masih
memerlukan riset yang mendalam, sedangkan penggunaan amonia dan hidrokarbon.
meskipun sudah cukup banyak dilakukan, masih memiliki peluang riset yang cukup
banyak (Riffat dkk., 1997). Amonia bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar,
sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang sangat mudah terbakar; oleh karena
itu refrigeran tersebut secara umum sulit digunakan pada sistem ekspansi langsung.
Sistem refrigerasi tak-Iangsung bisa digunakan untuk mengatasi kelemahan kedua
refrigeran terse but. Beberapa peneliti berusaha menekan tingkat keterbakaran
refrigeran hidrokarbon dengan cara mencampurkannya bersama refrigeran lain yang
tak mudah terbakar (Pasek dkk., 2006; Sekhar dkk., 2004; Dlugogorsky dkk., 2002).
Granryd (2001) menekankan bahwa pada dasarnya sudah tersedia teknologi untuk
meningkatkan keamanan pada sistem refrigerasi yang menggunakan refrigeran
hidrokarbon, namun cara yang ekonomis untuk membuat sistem tersebut aman dan

208
ISSN 0852 - 2979
Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahun 2006

terbukti dapat digunakan dalam skala luas masih perlu dikembangkan lebih lanjut.

Komparasi Sistem Pendingin untuk Instalasi Dekontaminasi Elektrolitik


bermediator Ag2+
Oari 4 Sistem Refrigerasi diatas, sistem Refrigerasi Magnetokalorik dan sistem
Refrigerasi Adsorpsi Padatan memiliki kekurangan yang cukup signifikan. Sistem
Refrigerasi Adsorpsi Padatan dan juga sistem Refrigerasi Magnetokalorik memiliki
COP yang relatif jauh lebih kecil dibanding Sistem Kompresi Uap. Kekurangan lain
yang dimiliki kedua Sistem ini adalah biaya investasi yang lebih tinggi, proses belum
bisa kontinyu dan masih terbatas kapasitasnya (belum mampu mendinginkan dengan
daya besar). Sistem Refrigerasi Absorpsi memang memiliki COP yang lebih kecil
dibanding Sistem Kompresi Uap, namun bila user memiliki panas buang sisa (seperti
panas buang dari pembangkit listrik, atau panas buang dari proses industri lainnya),
maka biaya operasional untuk operasi Refrigerasi Absorpsi akan jadi sangat murah.
Energi utama yang diperlukan Refrigerasi Absorpsi adalah energi pemanas untuk
GeneratorlDesorber (OG). OG tersebut bisa dipenuhi beberapa persen (atau bahkan
100 persen) dengan energi panas buangan sisa yang dimiliki user. Energi ntuk
memompa refrigeran (WPump) relatif sangat kecil (atau bahkan bisa diabaikan dalam
perhitungan) bila dibandingkan dengan OG. (Iihat Persamaan (10). Untuk suatu daerah
yang minim pasokan energi listrik, maka Sistem Refrigerasi Absorpsi lebih unggul
dibanding Sistem Kompresi Uap. Sistem Absorpsi tidak memiliki masalah untuk
diaplikasikan dalam kapasitas (daya) besar, bahkan semakin besar daya semakin kecil
periode payback (balik modal). Namun, dilihat dari biaya Investasi, Sistem Refrigerasi
Absorpsi memang lebih besar (1,5 - 2 kali) dibanding Sistem Kompresi Uap. Sistem
Konvesional (Kompresi Uap) yang memang saat ini merupakan sistem pendingin yang
paling banyak dipakai didunia, jelas memiliki beberapa kelebihan: biaya investasi yang
paling murah dibanding sistem lainnya, memiliki COP yang paling tinggi, memerlukan
dimensi yang lebih kecil untuk kapasitas daya yang sama.
Kelemahan sistem ini adalah refrigerannya memiliki efek negatif bagi
lingkungan (Iubang ozon dan pemanasan global). Namun sebagaimana disinggung
diatas (Bab 4.1.4) telah dilakukan beberapa perbaikan untuk mengurangi (atau bahkan
berusaha menghilangkan) kelemahan tersebut.

KESIMPULAN
Beberapa rekomendasi untuk sistem Pendingin di Instalasi Oekontaminasi Elektrolitik
bermediator Ag2+:

209
HasH Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahun 2006 ISSN 0852 - 2979

Sistem Refrigerasi Magnetokalorik dan Adsorpsi Padatan tidak direkomendasikan


untuk diaplikasikan. Kedua sistem ini memiliki COP yang relatif jauh lebih kecil
dibanding Sistem Kompresi Uap. Kekurangan lain yang dimiliki kedua Sistem ini
adalah biaya investasi yang lebih tinggi, proses belum bisa kontinyu dan masih
terbatas kapasitasnya (belum mampu mendinginkan dengan daya besar).
Sistem Konvensional (Kompresi Uap) masih merupakan pilihan menguntungkan
untuk diaplikasikan. Sistem ini memiliki COP yang relatif paling tinggi, biaya
investasi paling rendah, dan dimensi instalasi yang paling kecil (berukuran lebih
kompak). Berkenaan dengan efek negatif terhadap lingkung an, tentunya perlu
dipilih refrigeran yang ramah lingkungan.
Sistem Refrigerasi Absorpsi juga merupakan alternatif pilihan, bahkan memiliki
memiliki potensi lebih menguntungkan dibanding Sistem Kompresi Uap. Energi
utama (QG) untuk operasi sistem ini bisa diambil dari panas buangan dari PLTN.
Setelah berlalu waktu payback dari biaya investasi (apalagi untuk daya besar,
payback semakin pendek) sistem ini menjadi lebih ekonomis dibanding sistem
kompresi uap.
Dengan beberapa varia bel dari instalasi dekontaminasi elektrolitik (kapasitas
Instalasi Dekontaminasi, lokasi instalasi tersebut yang berhubungan dengan
kemungkinan pengambilan panas buang, dll), bisa dikalkulasi apakah Sistem
Kompresi Uap atau Sistem Absorpsi yang lebih menguntungkan untuk diinstal.

DAFTAR PUSTAKA

1. YULI SETYO INDARTONO, Perkembangan Terkini Teknologi


Refrigerasi/Pengkondisian Udara, Artikellptek 2006
2. SONNTAG, RICHARD E., Fundamentals of Thermodynamic, 1998
3. RAFFERTY, KEVIN D., Absorption Refrigeration, Geo Heat Center, Klamath Falls,
USA

4. MULYONO DARYOKO, Kecepatan Pembangkitan Ag+2 sebagai langkah pada


Dekontaminasi Elektrokimia, Hasil Penelitian PTLR
5. SUWARDIYONO, Studi Teknik Dekontaminasi Elektrolitik untuk Limbah Padat
Terkontaminasi Alpha, Hasil Penelitian PTLR

210

Anda mungkin juga menyukai