Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengawasan dan penatalaksanaan terapi oksigenasi sangat diperlukan pada
kasus pasien dengan tirah baring lama. Tirah baring lama dapat menjadi suatu
keharusan bagi pasien-pasien yang memerlukan penanganan khusus seperti
pasien dengan stroke, pasien dengan penurunan kesadaran yang dirawat di
ICU, maupun pasien yang menggunakan alat bantu napas seperti ventilator.
Menurut WHO pada tahun 2004 terdapat 13-20 juta orang setiap tahunnya
terpasang ventilator. Di 16 ICU Rumah Sakit di negara-negara Asia termasuk
Indonesia terdapat 1285 pasien sepsis yang menggunakan ventilator dengan
rata-rata lama penggunaan ventilator 3-10 hari dan 575 pasien diantaranya
meninggal dunia (WHO, 2004). Pasien kritis terpasang ventilator dengan
masa rawat yang lama akan menimbulkan banyak masalah kesehatan yang
muncul diantaranya dampak komplikasi jangka panjang dan jangka pendek,
munculnya pneumonia, kelemahan, nyeri akut, immobilisasi/bed rest
hingga masalah semua fungsi organ tubuh karena pengaruh infeksi yang
didapat saat dirawat di rumah sakit dan dapat mempengaruhi morbiditas,
mortalitas, biaya, dan kualitas hidup (Syifa, 2014).
Pasien dengan pemberian terapi oksigenasi dalam waktu yang lama dan
terbatas pada tempat tidur membutuhkan perawatan total. Di samping itu
pasien kritis diberikan sedasi atau obat penenang yang dapat menurunkan
kesadaran pasien dan mengakibatkan penurunan kemampuan secara aktif
untuk merubah posisi sehingga mengalami tekanan yang lama. Selain itu,
dampak yang merugikan karena pada posisi imobilisasi konsumsi oksigen
akan meningkat. Posisi terlentang yang diberikan secara terus menerus
berdasarkan penelitian di ICU Amerika dapat menurunkan sirkulasi darah
dari ekstremitas bawah yang seharusnya banyak menuju dada. Pada tiga hari
pertama bedrest, volume plasma berkurang 8%- 10% pada minggu keempat
bedrest pasien mengalami kehilangan volume plasma 15%- 20%. Secara
normal kulit tidak dapat mentolelir tekanan yang lama, oleh karena itu pasien

1
yang imobilisasi dan yang bedrest memiliki resiko terbesar terhadap
kerusakan kulit dan keterlambatan penyembuhan luka. Selain itu penurunan
volume plasma mengakibatkan terjadi peningkatan beban jantung,
peningkatan masa istirahat dari denyut jantung, dan penurunan curah
jantung (Sjamsuhidajat, 2010).
Pasien dengan pemberian terapi oksigenasi berada dalam suatu posisi
dalam jangka waktu lama baik posisi duduk maupun berbaring dengan
pergerakan yang terbatas maka akan mengakibatkan pasien beresiko
mengalami dekubitus. Karena tidak mampu mengubah posisi untuk
menghilangkan tekanan (Syifa, 2014). Tekanan eksternal secara konstan
selama 2 jam atau lebih akan menghasilkan perubahan yang irreversibel
dalam jaringan. Kejadian dekubitus hampir seluruhnya terdapat di area
perawatan. Kejadian dekubitus di seluruh dunia di Intensive Care Unit (ICU)
berkisar dari 1%-56%. Di Indonesia, kejadian dekubitus pada pasien yang
dirawat di ruangan ICU mencapai 33% (Doris, 2007). Angka ini sangat tinggi
bila dibandingkan dengan insiden dekubitus di Asia Tenggara yang berkisar
2.1-31.3%. Di RSUD Moewardi didapatkan 38,18% pasien mengalami
dekubitus (Setiyajati, 2011).
Adanya dekubitus menyebabkan peningkatan kejadian infeksi, sepsis,
prosedur bedah tambahan, peningkatan biaya rumah sakit, lama perawatan di
rumah sakit, rasa sakit yang berlebihan dan penderitaan. Bagi beberapa
pasien, dekubitus menyebabkan peningkatan nyeri, penurunan kualitas hidup,
infeksi, dan peningkatan morbiditas bahkan mortalitas. Dekubitus
menimbulkan sebuah ancaman dalam pelayanan kesehatan karena insidennya
semakin hari semakin meningkat (Syifa, 2014).
Pengaturan posisi merupakan salah satu bentuk intervensi yang sangat
tidak asing dan ditetapkan dalam rangka pencegahan dekubitus khususnya
pada pasien-pasien dengan imobilisasi. Intervensi berupa mobilisasi tiap dua
jam sudah disarankan di berbagai rumah sakit guna meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan pemberian terapi oksigenasi.
Oleh karena itu American Association of Critical Care Nurses (AACN)
memperkenalkan intervensi mobilisasi progresif yang terdiri dari 5 level:

2
Head of Bed (HBO), latihan Range of Motion (ROM) pasif dan aktif, terapi
lanjutan rotasi lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan gravitasi, posisi
duduk, posisi kaki menggantung, berdiri dan berjalan. Continus Lateral
Rotation Therapy (CLRT) dan Head Of Bed (HOB), yaitu memposisikan
pasien setengah duduk 30 derajat dan miring kanan dan kiri 30 derajat (WHO,
2004).
Mobilisasi progresif yang diberikan kepada pasien diharapkan dapat
mengurangi resiko dekubitus dan menimbulkan respon hemodinamik yang
baik. Pada Posisi duduk tegak kinerja paru-paru baik dalam proses distribusi
ventilasi serta perfusi akan membaik selama diberikan mobilisasi. Proses
sirkulasi darah juga dipengaruhi oleh posisi tubuh dan perubahan gravitasi
tubuh. Sehingga perfusi, difusi, distribusi aliran darah dan oksigen dapat
mengalir ke seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, 2010).
Ketidakstabilan hemodinamik dapat menjadi hambatan dilakukannya
mobilisasi. Pada 103 pasien gagal nafas yang terpasang ventilator dilakukan
mobilisasi dini duduk di tempat tidur, duduk di kursi hingga bergerak dan
berpindah tempat. Efek samping yang ditimbulkan adanya perubahan saturasi
oksigen kurang dari 80% (Syifa, 2014). Penelitian Ozyurek et all telah
dilakukan 37 sesi mobilisasi terhadap 31 pasien kritis yang mengalami
obesitas menunjukan peningkatan SpO2 dari 98% menjadi 99% setelah
dilakukan mobilisasi dan Respirasi 23x/mnt menjadi 25x/menit (WHO,
2004).
Pasien yang imobilisasi dan yang bedrest memiliki resiko terbesar
terhadap kerusakan kulit, karena secara normal kulit tidak dapat mentolelir
tekanan yang lama. Berdasarkan latar belakang di atas penulis mencoba
mengetahui hubungan pemberian terapi oksigenasi pada pasien dengan itrah
baring lama (Sjamsuhidajat, 2010)

3
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan ini adalah
1. Mengetahui hubungan terapi oksigen pada pasien dengan tirah baring

lama.

2. Mengetahui resiko dekubitus serta perubahan saturasi oksigen pada

pasien dengan terapi oksigen dan tirah baring lama.

C. Manfaat Penulisan
1. Hasil penulisan ini diharapkan menjadi referensi untuk perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, mengenai pemberian terapi oksigen pada
pasien dengan tirah baring lama.
2. Penulisan ini dapat memberikan dukungan terhadap intervensi yang dapat
di terapkan pada pelaksanaaan pemberian terapi oksigen pada pasien
dengan tirah baring lama. Dalam upaya pencegahan kejadian dekubitus
dan menjaga nilai saturasi oksigen.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TERAPI OKSIGEN
Kebutuhan fisiologis oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia
yang digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh, untuk
mempertahankan hidupnya, dan untuk aktivitas berbagai organ atau sel.
Apabila lebih dari 4 menit orang tidak mendapatkan oksigen maka akan
berakibat pada kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki dan biasanya
pasien akan meninggal. Terapi oksigen dapat didefinisikan sebagai tindakan
memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran pernapasan
dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. Terapi oksigen adalah
pemberian oksigen pada konsentrasi yang lebih tinggi dari udara bebas untuk
mencegah terjadinya hipoksemia dan hipoksia yang akan mengakibatkan
terjadinya kematian sel (Standar Pelayanan Keperawatan di ICU, Dep.Kes.
RI, 2005; Patria dan Fairuz, 2012).
1. Transport Oksigen
a) Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru-
paru dan sistim kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju
jaringan tertentu tergantung pada jumlah oksigen yang masuk
kedalam paru-paru, adanya pertukaran gas dalam paru yang adekuat,
aliran darah menuju jaringan, serta kapasitas darah untuk
mengangkut oksigen. Aliran darah bergantung pada derajat
konstriksi jaringan vaskuler didalam jaringan serta curah jantung.
Jumlah oksigen didalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen yang
larut, jumlah hemoglobin dalam darah serta afinitas hemoglobin
terhadap oksigen (Ganong, 2003).
Oksigen berdifusi dari bagian konduksi paru kebagian
respirasi paru sampai ke alveoli, membrana basalis dan endotel
kapiler, dalam darah sebagian besar oksigen bergabung dengan
hemoglobin (97%) dan sisanya larut dalam plasma (3%). Dewasa

5
muda pria, jumlah darahnya 75 ml/kg, wanita 65 ml/kg. Satu ml
darah pria mengandung kira-kira 280 juta molekul hb. Satu molekul
hb sanggup mengikat 4 molekul oksigen membentuk oksi
hemoglobin (latief, 2002).
b) Konsumsi oksigen keotak
Konsumsi oksigen oleh otak manusia (tingkat metabolik
serebrum untuk O2, CMRO2) rata-rata sekitar 3,5 ml/100 gr
otak/menit (49 ml/menit untuk otak keseluruhan) pada seorang
dewasa. Angka ini mencerminkan sekitar 20 % dari konsumsi
oksigen total dalam keadaan istirahat. Otak sangat peka terhadap
hip[oksia, dan sumbatan terhadap pembuluh darah walaupun hanya
selama 10 detik dapat menyebabkan pingsan. Struktur-struktur
vegetatif di batang otak lebih resisten terhadap hipoksia dari pada
korteks serebrum dan pasien dapat pulih dari kecelakaan misalnya
henti jantung (dan kelainan lain yang menyebabkan hipoksia yang
cukup berkepanjangan) dengan fungsi vegetatif normal tetapi
mengalami defisiensi intelektual berat yang menetap : Ganglion
basal menggunakan oksigen dengan tingkat yang sangat tinggi dan
hipoksia kronik dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit parkinson
serta defisit intelektual. Thalamus dan kolikulus inferior juga sangat
rentan terhadap kerusakan terhadap hipoksia (Ganong, 2003).

2. Tipe Kekurangan Oksigen dalam Tubuh


a) Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri
(SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg),
SaO2 95%. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan, sedang, dan berat
berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2. Hipoksemia ringan dinyatakan
pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%, hipoksemia
sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89% dan hipoksemia berat
bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari 75%. Umur
juga mempengaruhi nilai PaO2 dimana setiap penambahan umur satu

6
tahun usia diatas 60 tahun dan PaO2 80 mmHg maka terjadi
penurunan PaO2 sebesar 1 mmHg. Hipoksemia dapat disebabkan
oleh gangguan ventilasi, perfusi, hipoventilasi, pirau, gangguan
difusi dan berada ditempat yang tinggi (Astowo, 2005).
Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan
fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi
ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah
55 mmHg. Kendali napas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen
arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan
karbondioksida arteri (PaCO2) menurun. Jaringan Vaskuler yang
mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga
terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume
sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.
Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner
sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area
paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi
eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi
peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan
eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen.
Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan
volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner.
Gagal jantung kanan dapat menyebabkan kematian (Astowo, 2005).
b) Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini
lebih tepat dibandingkan anoksia, sebabjarang dijumpai bahwa
benar-benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan, secara
tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis. Berbagai klassifikasi lain
telah digunakan namun sidtim 4 jenis ini tetap sangat bergunaapabila
masing-masing definisi istilah tetap diingat. Keempat kategori
hipoksia adalah sebagai berikut :

7
i. Hipoksia-hipoksik
Hipoksia hipoksik merupakan masalah pada individu
normal pada daerah ketinggian serta merupakan penyulit pada
pneumonia dan berbagai penyakit sistim pernapasan lainnya.
Penyakit yang menyebaban hipoksia jenis ini secara kasar dibagi
atas penyakit dengan kegagalan organ pertukaran gas, penyakit
seperti kelainan jantung kongenital dengan sebagian besar darah
dipindah dari sirkulasi vena kesisi arterial, serta penyakit dengan
kegagalan pompa pernapasan. Kegagalan paru terjadi bilakeadan
seperti fibrosis pulmonal menyebabkan blok alveoli-kapiler atau
terjadi ketidak seimbangan ventilasi-perfusi. Kegagalan pompa
dapat disebabkan oleh kelelahan otot-otot pernapasan pada
keadaan dengan peningkatan beban kerja pernapasan atau oleh
berbagai gangguan mekanik seperti pneumothoraks atau
obstruksi bronkhialyang membatasi ventilasi. Kegagalan dapat
pula disebabkan oleh abnormalitas pada mekanisme persarafan
yang mengendalikan ventilasi, seperti depresi neuron respirasi di
medula oblongata oleh morfin dan obat-obat lain (Ganong,
2003).
ii. Hipoksia-anemik
Sewaktu istirahat,hipoksia akibat anemia tidaklah berat,
karena terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah
merah, kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat besar.
Meskipun demikian, penderita anemia mungkin mengalami
kesulitan cukup besar sewaktu melakukan latihan fisik karena
adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan
O2 kejaringan aktif (Ganong, 2003).
iii. Hipoksia-stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi
organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati dan
mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat hipoksia
stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal,

8
aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi
jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti.
Namun, syok paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi
berkepanjangan,terutama didaerah paru yang letaknya lebih
tinggi dari jantung (Ganong, 2003).
iv. Hipoksia-histotoksik
Hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi
jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.
Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa
enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk
mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan
sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu senyawa non
toksik. Kemampuan pengobatan menggunakansenyawa ini tentu
saja terbatas pada jumlah methemoglobin yang dapat dibentuk
dengan aman. Pemberian terapi oksigen hiperbarik mungkin
juga bermanfaat (Ganong, 2003).
c) Gagal napas
Gagal napas merupakan suatu keadaan kritis yang
memerlukan perawatan di instansi perawatan intensif (IP). Diagnosis
gagal napas ditegakkan bila pasien kehilangan kemampuan ventilasi
secara adekuat atau tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen
darah dan sistem organ. Gagal napas terjadi karena disfungsi sistem
respirasi yang dimulai dengan peningkatan karbondioklsida dan
penurunan jumlah oksigen yang diangkut kedalam jaringan. Gagal
napas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia dan dapat
terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal napas hampir selalu
dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain
dalam proses respirasi tidak boleh diabaikan. Gagal napas dibagi
menjadi dua jenis, yaitu:
i. Gagal napas tipe I
Pada tipe ini terjadi perubahan pertukaran gas yang
diakibatkan kegagalan oksigenasi. PaO2 50 mmHg merupakan

9
ciri khusus tipe ini, sedangkan PaCO2 40 mmHg, meskipun ini
bisa juga disebabkan gagal napas hiperkapnia. Ada 6 kondisi
yang menyebabkan gagal napas tipe I yaitu:
Ketidak normalan tekanan partial oksigen inspirasi
Kegagalan difusi oksigen
Ketidak seimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]
Pirau kanan ke kiri
Hipoventilasi alveolar
Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi
ii. Gagal napas tipe II
Tipe ini dihubungkandengan peningkatan karbondioksida
karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup.
Beberapa kelainan utama yang dihubungkan dengan gagal napas
tipe ini adalah kelainan sistem saraf sentral, kelemahan
neuromuskuler dam deformiti dinding dada. Penyebab gagal
napas tipe II antara lain :
Kerusakan pengaturan sentral
Kelemahan neuromuskuler
Trauma spina servikal
Keracunan obat
Infeksi
Penyakit neuromuskuler
Kelelahan otot respirasi
Kelumpuhan saraf frenikus
Gangguan metabolisme
Deformitas dada
Distensi abdomen massif
Obstruksi jalan nafas (Astowo, 2005).

10
3. Tujuan Terapi Oksigen
a) Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke
jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob.

b) Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :


1) Mencegah dan mengatasi hipoksemia/hipoksia serta
mmempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.
2) Menurunkan kerja nafas dan miokard.
3) Menilai fungsi pertukaran gas.

Tabel 1. Jumlah aliran oksigen yang dapat diberikan dengan


kanula nasal, masker oksigen, dan masker oksigen
dengan reservoir
Aliran Fi O2
Alat
(L/menit) (fraksi oksigen inspirasi)
1 0,24
2 0,28
3 0,32
Kanula nasal
4 0,36
5 0,40
6 0,44
5-6 0,40
Masker
6-7 0,50
oksigen
7-8 0,60
6 0,60
Masker
7 0,70
dengan
8 0,80
kantong
9 0,80
reservoir
10 0,80

11
4. Kriteria Pemberian Terapi Oksigen
a) Pemberian oksigen secara berkesinambungan (terus menerus),
Diberikan apabila hasil analisis gas darah pada saat istirahat,
didapat nilai:
i. PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi kurang dari 88%.
ii. PaO2 antara 56-59 mmHg atau saturasi 89% disertai cor
pulmonale, polisitemia (hematokrit >56%).
b) Pemberian secara berselang
Diberikan apabila hasil analisis gas darah saat latihan didapat
nilai:
i. Pada saat latihan PaO2 55 mmHg atau saturasi 88%
ii. Pada saat tidur PaO255 mmHg atau saturasi 88% disertai
komplikasi seperti hipertensi pulmoner.somnolen dan
aritmia.
Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapat terapi
oksigen perlu dievaluasi gas darah (AGD) serta terapi untuk
menentukan perlu tidaknya terapi oksigen jangka panjang.

5. Protokol Prosedur Pemberian Terapi Oksigen


Prosedur pemberian terapi oksigen dapat dibagi menjadi 2 teknik,
yaitu :
a) Sistem Aliran Rendah
Sistem aliran rendah diberikan untuk menambah
konsentrasi udara ruangan, bekerja dengan memberikan oksigen
pada frekuensi aliran kurang dari volume inspirasi pasien, sisa
volume ditarik dari udara ruangan. Karena oksigen ini bercampur
dengan udara ruangan, maka FiO2 aktual yang diberikan pada
pasien tidak diketahui, menghasilkan FiO2 yang bervariasi
tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal
klien. Alat oksigen aliran rendah cocok untuk pasien stabil
dengan pola nafas, frekuensi dan volume ventilasi normal,
misalnya klien dengan volume tidal 500 ml dengan kecepatan

12
pernafasan 16 20 kali permenit. Contoh sistem aliran rendah
adalah :
1) Low flow low concentration :
i. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan oksigen secara kontinyu dengan aliran 1-6
liter/mnt dengan konsentrasi 24%-44%. Prosedur
pemasangan kateter ini meliputi insersi kateter oksigen ke
dalam hidung sampai naso faring. Persentase oksigen yang
mencapai paru-paru beragam sesuai kedalaman dan
frekuensi pernafasan, terutama jika mukosa nasal
membengkak.
Keuntungan Pemberian oksigen stabil, klien bebas
bergerak, makan dan berbicara, dan membersihkan mulut,
murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter
penghisap. Kateter nasal dapat digunakan dalam jangka
waktu yang lama.
Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi
oksigen yang lebih dari 44%, teknik memasukan kateter
nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, nyeri saat kateter
melewati nasofaring, dan mukosa nasal akan mengalami
trauma, fiksasi kateter akan memberi tekanan pada nostril,
maka kateter harus diganti tiap 8 jam dan diinsersi
kedalam nostril lain, dapat terjadi distensi lambung, terjadi
iritasi selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6
liter/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan
mengeringkan mukosa hidung, serta kateter mudah
tersumbat dan tertekuk.
ii. Kanul nasal / kanul binasal / nasal prong.
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan oksigen kontinyu dengan aliran 1 6
liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan kateter

13
nasal yaitu 24 % - 44 %. Persentase O2 pasti tergantung
ventilasi per menit pasien. Pada pemberian oksigen
dengan nasal kanula jalan nafas harus paten, dapat
digunakan pada pasien dengan pernafasan mulut.
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan
laju pernafasan teratur, pemasangannya mudah
dibandingkan kateter nasal, murah, disposibel, klien bebas
makan, minum, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir
klien dan terasa nyaman. Dapat digunakan pada pasien
dengan pernafasan mulut, bila pasien bernapas melalui
mulut, menyebabkan udara masuk pada waktu inhalasi dan
akan mempunyai efek venturi pada bagian belakang faring
sehingga menyebabkan oksigen yang diberikan melalui
kanula hidung terhirup melalui hidung.
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih
dari 44%, suplai oksigen berkurang bila klien bernafas
melalui mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul
hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada pasien dengan
obstruksi nasal. Kecepatan aliran lebih dari 4 liter/menit
jarang digunakan, sebab pemberian flow rate yang lebih
dari 4 liter tidak akan menambah FiO2, bahkan hanya
pemborosan oksigen dan menyebabkan mukosa kering dan
mengiritasi selaput lendir. Dapat menyebabkan kerusakan
kulit diatas telinga dan di hidung akibat pemasangan yang
terlalu ketat.

14
Tabel 2. Estimasi fraksi oksigen dengan pemberian
menggunakan kanul nasal / kanul binasal /
nasal prong
FiO2 estimation Flows FiO2
1 Liter /min 24%
2 Liter /min 28%
3 Liter /min 32%
4 Liter /min 36%
5 Liter /min 40%
6 Liter /min 44%
Formula : ( Flows x 4 ) + 20 % / 21 %

2) Low flow high concentration


i. Sungkup muka sederhana.
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah
sampai sedang. Merupakan alat pemberian oksigen jangka
pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran 5 8 liter/mnt
dengan konsentrasi oksigen 40 60%. Masker ini kontra
indikasi pada pasien dengan retensi karbondioksida karena
akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang
dari 5 liter/menit untuk mendorong CO2 keluar dari
masker.
Kelebihan alat ini adalah konsentrasi oksigen yang
diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlubang besar, dapat digunakan dalam
pemberian terapi aerosol. Sedangkan, kekurangannya
adalah konsentrasi oksigen yang diberikan dapat kurang
dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika
aliran rendah. Menyekap, tidak memungkinkan untuk
makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah.

15
Tabel 3. Estimasi fraksi oksigen dengan pemberian
menggunakan sungkup muka sederhana
FiO2 estimation Flows FiO2
5-6 Liter/min 40%
6-7 Liter/min 50%
7-8 Liter/min 60%

ii. Sungkup muka dengan kantong rebreathing


Suatu teknik pemberian oksigen dengan
konsentrasi tinggi yaitu 35-60% dengan aliran 6-15
liter/menit, serta dapat meningkatkan nilai PaCO2. Udara
ekspirasi sebagian tercampur dengan udara inspirasi,
sesuai dengan aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi
dan hampir menguncup waktu inspirasi. Sebelum dipasang
ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara menutup
lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3
bagian kantong reservoir. Memasang kapas kering pada
daerah yang tertekan sungkup dan tali pengikat untuk
mencegah iritasi kulit.
Kelebihan pemberian oksigen dengan alat ini
adalah konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir. Sedangkan
kekurangannya adalah tidak dapat memberikan oksigen
konsentrasi rendah, kantong oksigen bisa terlipat atau
terputar atau mengempes, apabila ini terjadi dan aliran
yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup
sejumlah besar karbondioksida. Pasien tidak
memungkinkan makan minum atau batuk dan menyekap,
bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel
pengikat.

16
Tabel 4. Estimasi fraksi oksigen dengan pemberian
menggunakan sungkup muka dengan kantong
rebreathing
FiO2 estimation Flows FiO2
6 Liter/min 35%
8 Liter/min 40-50%
10-15 Liter/min 60%

iii. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing.


Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi
oksigen yang tinggi mencapai 90 % dengan aliran 6-15
liter/mnt. Pada prinsipnya udara inspirasi tidak bercampur
dengan udara ekspirasi, udara ekspirasi dikeluarkan
langsung ke atmosfer melalui satu atau lebih katup,
sehingga dalam kantong konsentrasi oksigen menjadi
tinggi.

Tabel 5. Estimasi fraksi oksigen dengan pemberian


menggunakan sungkup muka dengan kantong
rebreathing
FiO2 estimation Flows FiO2
6 Liter/min 55-60 %
8 Liter/min 60-80 %
10 Liter/min 80-90 %
12-15 Liter/min 90%

Kelebihan teknik ini adalah konsentrasi oksigen


yang diperoleh dapat mencapai 90% dan tidak
mengeringkan selaput lendir. Sedangkan kekurangannya
adalah tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi
rendah. Kantong oksigen bisa terlipat atau terputar,
menyekap, perlu segel pengikat, dan tidak memungkinkan

17
makan, minum atau batuk, bisa terjadi aspirasi bila pasien
muntah terutama pada pasien tidak sadar dan anak-anak.
b) Sistem Aliran Tinggi
Memberikan aliran dengan frekuensi cukup tinggi untuk
memberikan 2 atau 3 kali volume inspirasi pasien. Alat ini cocok
untuk pasien dengan pola nafas pendek dan pasien dengan PPOK
yang mengalami hipoksia karena ventilator. Suatu teknik
pemberian oksigen dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi
oleh tipe pernafasan, sehingga dengan teknik ini dapat
menambahkan konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan teratur.
Contoh sistem aliran tinggi antara lain :
1) Sungkup muka dengan venturi / masker venturi (hgh flow low
concentration)
Merupakan metode yang paling akurat dan dapat
diandalkan untuk konsentrasi yang tepat melalui cara non
invasif. Masker dibuat sedemikian rupa sehingga
memungkinkan aliran udara ruangan bercampur dengan
aliran oksigen yang telah ditetapkan. Masker venturi
menerapkan prinsip entrainmen udara (menjebak udara
seperti vakum), yang memberikan aliran udara yang tinggi
dengan pengayaan oksigen terkontrol. Kelebihan gas keluar
masker melalui cuff perforasi, membawa gas tersebut
bersama karbondioksida yang dihembuskan. Metode ini
memungkinkan konsentrasi oksigen yang konstan untuk
dihirup yang tidak tergantung pada kedalaman dan kecepatan
pernafasan.Diberikan pada pasien hyperkarbia kronik (CO2
yang tinggi) seperti PPOK yang terutama tergantung pada
kendali hipoksia untuk bernafas, dan pada pasien hypoksemia
sedang sampai berat.
Keuntungan metode ini antara lain konsentrasi
oksigen yang diberikan konstan/tepat sesuai dengan petunjuk
pada alat, FiO2 tidak dipengaruhi oleh pola ventilasi dan

18
dapat diukur dengan O2 analiser, temperatur dan kelembaban
gas dapat dikontrol, dan tidak menyebabkan terjadinya
penumpukan CO2. Kerugian metode ini antara lain alat harus
diikat dengan kencang untuk mencegah oksigen mengalir ke
dalam mata, tidak memungkinkan makan atau batuk sehingga
masker harus dilepaskan bila pasien makan, minum, atau
minum obat, dan bila humidifikasi ditambahkan gunakan
udara tekan sehingga tidak mengganggu konsentrasi O2.
2) Bag and Mask / resuscitator manual
Bag and mask dapat digunakan pada pasien cardiac
arrest ataupun respiratory failure. Sebelum, selama dan
sesudah suction Gas flows 12-15 liter, selama resusitasi
buatan, hiperinflasi/bagging, kantong resusitasi dengan
reservoir harus digunakan untuk memberikan konsentrasi
oksigen 74 %-100 %. Dianjurkan selang yang bengkok tidak
digunakan sebagai reservoir untuk kantong ventilasi. Kantong
2.5 liter dengan kecepatan 15 liter/menit telah ditunjukkan
untuk pemberian oksigen yang konsisten dengan konsentrasi
95 %-100 %. Penggunaan kantong reservoar 2.5 liter juga
memberikan jaminan visual bahwa aliran oksigen utuh dan
kantong menerima oksigen tambahan (Patria dan Fairuz,
2012; Rogayah, 2009).

6. Resiko Terapi Oksigen


Salah satu resiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen. Hal
ini dapat terjadi bila oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50%
terus-menerus selama 1-2 hari. Kerusakan jaringan paru terjadi akibat
terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel PMN dan H2O2
melepaskan enzim proteolotikdan enzim lisosom yang dapat merusak
alveoli. Sedangkan resiko yang lain seperti retensi gas karbondioksida
dan atelektasis.

19
Oksigen 100% menimbulkan efek toksik, tidak saja pada
hewan, namun juga pada bakteri, jamur, biakan sel hewan dan
tanaman. Apabila O2 80-100% diberikan kepada manusia selama 8
jam atau lebih, saluran pernafasan akan teriritasi, menimbulkan distres
substernal, kongesti hidung, nyeri tenggorokan dan batuk. Pemajanan
selama 24-48 jam mengakibatkan kerusakan jaringan paru (Rogayah,
2009).
Sejumlah bayi dengan sindroma gawat nafas yang diterapi
dengan O2, selanjutnya mengalami gangguan menahun yang ditandai
dengan kista dan pemadatan jaringan paru (displasia
bronkopulmonal). Komplikasi lain pada bayi-bayi ini adalah retinopti
prematuritas (fibroplkasia retrolental), yaitu pembentukan jaringan
vaskuler opak pada matayang dapat mengakibatkan kelainan
penglihatan berat. Pemberian O2 100% pada tekanan yang lebih tinggi
berakibat tidak hanya iritasi trakeobronkial, tetapi juga kedutan otot,
bunyi berdering dalam telinga, rasa pening, kejang dan koma. Pajanan
terhadap O2 tekanan tinggi (oksigenasi hiperbarik) dapat menghasilkan
peningkatan jumlah O2 terlarut dalam darah. Oksigen bukan zat
pembakar tetapi dapat memudahkan terjadinya kebakaran, oleh karena
itu klein dengan terapi pemberian oksigen harus menghindari :
Merokok, membuka alat listrik dalam area sumber oksigen,
menghindari penggunaan listrik tanpa Ground (Ikawati, 2009).

B. TIRAH BARING LAMA


1. Definisi
Tirah baring atau imobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana
pasien dalam kondisi tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit
atau impairment (gangguan pada alat atau organ tubuh) yang bersifat
fisik atau mental (Stewart, 1989). Tirah baring lama dapat diakibatkan
oleh keadaan berikut :
a. Penyakit atau kerusakan neuromuskuloskeletal seperti kelumpuhan
b. Sakit kritis yang membutuhkan istirahat penuh

20
c. Pengabaian pengobatan
d. Diam lama pada posisi gravitasi yang kurang seperti duduk
Dalam dunia medis, tirah baring telah dijadikan sebagai salah satu
tatalaksana sejak abad ke-19 untuk meminimalkan metabolisme tubuh
sehingga tubuh dapat beristirahat dan fokus pada proses penyembuhan
(Parry and Puthucheary, 2015). Meskipun demikian, istirahat lama dan
tidak beraktivitas ini selain dapat menurunkan aktivitas metabolisme
secara umum, juga mengakibatkan berkurangnya kapasitas fungsi banyak
sistem yang dapat menimbulkan manifestasi berupa sindrom tirah baring
lama. Manifestasi ini terlihat pada orang sehat ataupun pasien dengan
gangguan neuromuskuloskeletal. Efek dari tirah baring pada pasien
dengan gangguan neuromuskuloskeletal ini akan menurunkan fungsi
lebih jauh. Hal ini mengakibatkan kecacatan parah dan membutuhkan
waktu lama untuk mengembalikan ke fungsi maksimalnya (DeLisa,
2010; Stewart, 1989).
2. Epidemiologi
Imobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas
terjadi pada pasien dengan usia lanjut, gangguan muskuloskeletal, pasca
operasi, atau penyakit kronis yang memerlukan tirah baring lama
misalnya pada pasien infark miokard. Dampak imobilisasi lama yang
paling sering adalah ulkus dekubitus yang dapat mencapai 11% dan
terjadi dalam kurun waktu dua minggu. Sedangkan dampak lain yang
dapat ditimbulkan dari tirah baring lama adalah emboli paru 0.9%
(Stuempfle and Drury, 2007).
3. Tingkat Mobillitas
Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat
mobilitas terdiri dari empat tingkat :
a. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan
sering tanpa bantuan.
b. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh
dan ekstremitas secara mandiri tetapi memiliki beberapa keterbatasan.

21
c. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh
dan ekstremitas tetapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering.
d. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh
maupun pada ekstremitas tanpa adanya bantuan.
4. Klasifikasi
a. Imobilisasi fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan
tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan seperti
pada pasien hemiplegia.
b. Imobilisasi intelektual merupakan pembatasan gerak daya pikir
seseorang, seperti pada pasien dengan kerusakan otak.
c. Imobilisasi emosional merupakan pembatasan gerak emosi seseorang
akibat adanya perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri,
seperti yang terjadi pada pasien pasca amputasi.
d. Imobilisasi sosial merupakan pembatasan gerak sosial sesorang dalam
melakukan interaksi dengan lingkungannya.
5. Komplikasi
Dampak buruk imobilisasi adalah deconditioning, dimana terjadi
penurunan kapasitas fungsional sistem muskuloskeletal serta sistem
tubuh yang lain. Keadaan ini bisa terjadi pada berbagai usia dan jenis
kelamin terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis yang
memerlukan tirah baring yang lama, usia lanjut, dan cacat (Braddom,
2000).
Efek dari imobilisasi ini jarang terjadi pada satu organ tertentu.
Dampak dari keadaan ini bisa berupa berkurangnya kapasitas fungsional
sistem muskuloskeletal sehingga terjadi kelemahan, atrofi dan daya tahan
otot yang menurun atau pada sistem tubuh yang lainnya seperti
penurunan kapasitas fungsional otot jantung, gangguan pada sistem
gastrointestinal serta genitourinaria (Parry and Puthucheary, 2015).
Secara umum, dampak buruk dari imobilisasi bisa dilihat pada tabel di
bawah.

22
Tabel 6. Dampak buruk dari imobilisasi
Sistem Efek
Muskuloskeletal Kontraktur
Otot yang lemah serta atrofi
Osteoporosis karena imobilisasi
Hiperkalsemia karena imobilisasi
Kardiovaskular dan pulmonary Redistribusi cairan tubuh
Orthostatic hypotension
Penurunan kapasitas fungsional
kardiopulmonar
Thromboembolism
Resistensi mekanikal untuk bernafas
Hypostatic pneumonia
Genitourinaria dan gastrointestinal Stasis urinaria
Batu ginjal
Infeksi
Hilang nafsu makan
Konstipasi
Endokrin dan metabolism Gangguan metabolic
Intoleransi glukosa
Peningkatan produksi hormone
paratiroid
Perilaku dan kognitif Disorientasi
Penurunan sensoris
Cemas dan depresi
Penurunan kapasitas intelektual
Gangguan keseimbangan serta
koordinasi

23
Gambar 1. Lingkaran faktor inaktivitas, imobilisasi serta tirah baring lama
dalam mempengaruhi fungsional tubuh

inaktivitas Kondisi penyakit

Peningkatan disabilitas

deconditioning Penurunan aktivitas otot

Penurunan kapasitas Penurunan kapasitas


fungsional system fungsional sistem
kardiovaskular dan sistem muskuloskeletal
tubuh lain

inaktivitas

6. Dampak Imoblisasi terhadap Sistem Muskuloskeletal


Untuk dapat bergerak optimal secara fisiologis membutuhkan
fungsi dari otot, saraf, tulang, dan sendi. Hambatan dalam pergerakan
sendi dapat mempengaruhi kemampuan berjalan atau penggunaan
ekstrimitas atas sehingga dapat mengganggu mobilisasi dan kemampuan
melakukan kegiatan sehari-hari (Activities of Daily Living). Terdapat 3
tipe efek dari imobilisasi pada sistem muskuloskeletal, yaitu: (Parry and
Puthucheary, 2015; Dittmer and Teasell, 1993).
a. Kelemahan dan Atrofi Otot
Pada posisi berbaring, aktivitas otot minimal akibat penurunan
gaya gravitasi dan hipokinesia. Imobilisasi yang progresif
mengakibatkan reduksi kekuatan, ukuran, dan enduransi otot sehingga
mengakibatkan kelemahan dan deconditioning kardiovaskular. Pada
banyak pasien kondisi ini bersifat reversibel, hanya saja pada

24
penderita gangguan neurologis dan muskuloskeletal kondisi
fungsional otot akan sangat bermasalah (Dittmer and Teasell, 1993).
Pada kondisi tirah baring, otot akan kehilangan kekuatannya
sebanyak 10-15% setiap minggu. Pasien dengan tirah baring selama 3-
5 minggu akan kehilangan setengah dari kekuatan ototnya. Setelah 4
minggu imobilisasi muscle net weight akan berkurang hingga 69%
(Parry and Puthucheary, 2015).
Sintesis protein menjadi berkurang pada kondisi imobilisasi dan
diperkirakan merupakan faktor utama yang menjurus kepada
terjadinya atrofi otot. Pada tampilan histologis, terjadi penurunan area
gelap ATPase tipe II sebanyak 46% dan area terang ATPase tipe II
sebanyak 69%. Pada awal imobilisasi, terjadi peningkatan aktivitas
enzim succinate dehydrogenase per serat otot, tetapi kemudian
mengalami penurunan secara signifikan pada akhir imobilisasi. Secara
keseluruhan, terjadi penurunan aktivitas enzim oksidasi pada otot
(Dittmer and Teasell, 1993).
Penurunan aktivitas enzim oksidasi ini mengakibatkan kegagalan
fungsi mitokondria sehingga mengakibatkan pemecahan molekul-
molekul protein serta terjadinya kehilangan ion nitrogen pada pasien
dengan imobilisasi lama.
Selain itu, penurunan kapasitas enzim juga menyebabkan
berkurangnya ekstraksi oksigen dari darah. Keadaan ini
mengakibatkan otot-otot lebih cenderung melakukan respirasi
anaerobik sehingga terjadinya pengumpulan asam laktat dan pada
akhirnya otot menjadi lebih cepat lelah serta daya tahan otot
berkurang. Perubahan pada bentuk dan ukuran end plate serta fungsi
reseptor asetilkolin juga menyumbang ke arah penurunan daya tahan
otot.
Sejalan dengan perubahan serat otot, terjadi peningkatan relatif
dari konten dan cross-linkage kolagen.Keadaan ini menyebabkan
terjadinya rigiditas serta kontraksi miogenik.

25
Pencegahan dan Penatalaksanaan
Kelemahan otot akibat tidak digunakan sederhana untuk dicegah.
Pasien perlu dimotivasi untuk tetap melakukan aktivitas normal.
Kekuatan otot dapat dipertahankan dengan program kontraksi otot dari
30-50% maximal tension selama beberapa detik setiap hari.
Kelemahan otot dan atrofi dapat dicegah dengan penggunaan stimulasi
elektrik untuk menjaga ukuran otot dan kekuatannya serta dapat
memperpendek waktu rehabilitasi. Dapat pula dilakukan stimulasi
dengan direct rectangular biphasic pulse sebanyak 3 sesi per hari
selama 30 menit. Pada kondisi imobilisasi lama yang mengakibatkan
kontraktur terfiksasi, dibutuhkan peregangan dan penguatan otot
selama beberapa bulang dan kekuatan otot tidak dapat kembali
seutuhnya (Kottke, 1990).
b. Kontraktur Sendi
Definisi kontraktur adalah berkurangnya range of motion (ROM)
penuh aktif dan pasif akibat keterbatasan sendi, otot, atau jaringan
lunak sekitarnya. Berbagai kondisi yang dapat mengakibatkan
keterbatasan ini termasuk nyeri sendi, paralisis, fibrosis jaringan
kapsular atau periartikular, kerusakan otot primer. Faktor utama
tersering yang menyebabkan keluhan ini adalah kurangnya mobilisasi
sendi terhadap luas gerak sendi penuh yang diperbolehkan. Imobilisasi
lama menyebabkan berkurangnya panjang otot saat istirahat dan
memendeknya kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lunak lainnya.
Banyak faktor, seperti posisi alat gerak, durasi imobilisasi, kondisi
patologis dan keterbatasan gerak sendi yang telah ada sebelumnya
mempengaruhi laju terjadinya kontraktur tersebut. Edema, iskemia,
perdarahan, dan perubahan pada lingkungan otot dan jaringan
periartikular dapat memicu terjadinya fibrosis. Penuaan perlu
dipertimbangkan karena terjadi kehilangan serabut otot dan
peningkatan proporsi jaringan ikat pada tubuh orang tua.

26
Kontraktur yang dipicu perubahan patologis pada sendi dan otot
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu: arthrogenik, myogenik,
dan jaringan lunak (Stuempfle and Drury, 2007).

Tabel 7. Klasifikasi Anatomis Kontraktur


Tipe Kontraktur Penyebab
Arthrogenik Kerusakan kartilago, inkongruen sendi (deformitas kongenital),
inflamasi, trauma, penyakit sendi degeneratif, infeksi,
imobilisasi
Proliferasi sinovial dan jaringan fibrofatty (inflamasi), efusi
Fibrosis kapsular (trauma, imobilisasi, inflamasi)
Jaringan ikat lunak Jaringan ikat lunak periartikular (trauma, imobilisasi, inflamasi)
dan padat Kulit, jaringan subkutan (trauma, luka bakar, infeksi, sklerosis
sistemik)
Tendon dan ligamen (tendinitis, bursitis, robekan dan fibrosis
ligamen)
Myogenic
Intrinsic, struktural Trauma (perdarahan, edema, imobilisasi)
Inflamasi (myositis, polymyositis)
Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
Iskemia (diabetes, peripheral vascular disease, compartment
syndrome)
Ekstrinsik Spastisitas (stroke, sklerosis multipel, injuri medulla spinalis,
upper motor neuron disease
Paralisis flaccid (faulty position, muscle imbalance)
Mekanik (faulty position saat tidur dan duduk, imobilisasi,
kurang peregangan
Mixed (campuran) Kombinasi kontraktur arthrogenic, jaringan lunak dan otot pada
satu sendi

27
Perubahan morfologik
Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jaringan ikat, sel
mesenkimal berdiferensiasi menjadi fibroblas yang kemudian
memproduksi kolagen yang kemudian tersusun secara acak. Jika
sintesis kolagen lebih banyak daripada pemecahannya, dapat terjadi
fibrosis yang berlebihan. Ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan
kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kurangnya
peregangan yang biasa dilihat pada imobilitas dan inaktivitas yang
lama. Trauma dengan perdarahan ke dalam jaringan lunak dan otot,
inflamasi, degenerasi atau iskemia juga dapat menstimulasi sintesis
kolagen. Pada keadaan ini, kurangnya regangan dari otot dan
mobilitas akan menyebabkan fibril kolagen menjadi bertambah padat.
Sintesis kolagen pada otot juga dipengaruhi level aktivitas otot
(Stewart, 1989; Kottke, 1990).
Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat
dibedakan menjadi artrogenik, miogenik dan jaringan lunak:
Kontraktur Atrogenik
o Proses patologis melibatkan komponen komponen sendi,
seperti : degenerasi kartilago, inflamasi synovial yang
dapat mengakibatkan kekakuan pada kapsular dan fibrosis.
Inflamasi dan efusi synovial yang disertai rasa sakit dapat
mengakibatkan terbatasnya pergerakan sendi dan
kontraktur kapsular.
o ROM pasif selama arthritis akut dapat meningkatkan IL-1,
IL-1 penetrasi ke dalam kartilago dan berikatan dengan
reseptor di membrane kondrosit dan menghambat
pembentukan proteoglikan yang penting untuk proteksi
kartilago. Oleh itu, immobilisasi jangka pendek adalah
disarankan.
o Kapsul sendi juga bisa kehilangan ekstensibilitas akibat
pemendekan serat kolagen. Penyebabnya adalah karena
peregangan sendi yang kurang dan posisi fleksi. Pada

28
kontraktur kapsular, ROM terbatas ke segala arah. Sendi
bahu dan pinggul paling sering mengalami kontraktur
kapsul. Pemendekan kapsul posterior sendi lutut juga bisa
terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda karena
posisi fleksi terlalu lama.
Kontraktur Miogenik pemendekan dari panjang otot yang
disebabkan:
o Faktor intrinsik (struktural)
Inflamasi
Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
Trauma
o Faktor ekstrinsik
Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis, sklerosis
multipel)
Flaccid paralysis
Mekanis (imobilisasi, kurang peregangan)
Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak
o Trauma terhadap jaringan lunak dengan pendarahan bisa
menyebabkan fibrosis dan menjadi kontraktur bila
peregangan tidak dilakukan. Dalam kondisi ini serat
kolagen berproliferasi dan membentuk jalinan.
Keterbatasan gerak hanya terjadi pada satu aksis.
o Kulit yang terbakar rentan terhadap kontraktur. Selama
masa penyembuhan, luka terbakar yang melewati sendi
harus sering digerakkan dan diposisikan melawan
pemendekan dari jaringan parut.
o Imobilisasi dapat menyebabkan perubahan biomekanik dan
biokimia pada ligament. Proses yang terjadi pada ligament
selama imobilisasi yaitu penurunan sintesis kolagen dan
peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang tempat insersi
ligamen.

29
Pencegahan Kontraktur Sendi dan Perbaikan Gerakan Sendi
Ada dua prinsip untuk mencegah kontraktur arthrogenik dan
jaringan lunak, yakni memposisikan sendi secara optimal dan
mobilisasi sendi secara dini. Mobilisasi sendi dilakukan secara aktif
maupun pasif. Remobilisasi dilakukan segera setelah terjadinya
infeksi sendi maupun setelah operasi sendi. Setelah itu dilanjutkan
dengan pemberian alat untuk memfasilitasi gerakan pasif sendi
(Kottke, 1990).
c. Osteoporosis
Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang
jika tidak terdapat aktivitas otot
Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi
sangat cepat pada wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause
Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan
dengan hilangnya kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone
epifisis dan metafisis tulang panjang. Penyebab utama adalah
resorpsi tulang yang belum diketahui. Osteoporosis ini dapat
dicegah dengan latihan isotonic atau isometric, ambulasi.
Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan
hiperkalsiuria. Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri
abdomen, mual, muntah, konstipasi, bingung dan bisa menjadi
koma. Hal ini dapat diobati dengan hidrasi dengan normal salin dan
dieresis furosemid.
Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.
7. Komplikasi Kardiovaskular pada Imobilisasi
a. Redistribusi Cairan Tubuh
Tekanan pada kolom darah di pembuluh batang tubuh dan
ekstremitas bawah pada saat berdiri berhubungan dengan perpindahan
800 ml darah ke kaki. Pada posisi berbaring telentang, tekanan
hidrostatik ini hilang, mengakibatkan darah sejumlah 500-700 ml
kembali ke paru-paru dan bilik kanan jantung. Hal ini menyebabkan
meningkatnya volume darah sentral dan distensi dari baroreseptor,

30
yang selanjutnya berakibat pada supresi hormon antidiuretik oleh
nervus vagus. Beberapa hari tirah baring mengakibatkan diuresis yang
signifikan, dengan hilangnya plasma darah sampai dengan 8-12%, dan
2-4 minggu tirah baring akan mengakibatkan kehilangan plasma
sebesar 15-20%. Perubahan distribusi cairan tubuh ini mengakibatkan
efek kompensasi berupa takikardia, dan juga penurunan cardiac
output dan stroke volume (dengan kata lain, terjadi cardiac
insufficiency yang mengakibatkan menurunnya toleransi terhadap
latihan dan kapasitas kerja). Kehilangan plasma darah akan
meningkatkan viskositas darah yang bisa memicu tromboembolisme
(Dittmer and Teasell, 1993).
b. Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve
Pada imobilisasi, denyut jantung meningkat (umumnya menjadi 80
bpm), kemungkinan karena adanya peningkatan aktivitas sistem
saraf simpatis. Saat bed rest denyut nadi istirahat jadi lebih cepat 1
beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya denyut jantung
menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan
waktu ejeksi sistolik juga memendek, akibatnya jantung kurang
dapat merespon kebutuhan metabolik lebih banyak. Semakin
pendek waktu diastolik menyebabkan aliran darah koroner
berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung sangat
terbatas. Cardiac output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri
juga akan berkurang. Jika terdapat sedikit saja aktivitas fisik
berlebih akan menyebabkan takikardi dan angina, ini merupakan
tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang (Dittmer and
Teasell, 1993).
Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun
kembali daya tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan.
Latihan dapat menggunakan sepeda ergometer ataupun arm
ergometry untuk pasien dengan gangguan pada ekstremitas bawah
(Garrison, 2003).

31
c. Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat
beradaptasi secara normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi
ortostatik muncul setelah 3 minggu bed rest (bisa muncul lebih
awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan denyut
jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole
jadi berkurang, akibatnya perfusi serebral juga akan berkurang
(Dittmer and Teasell, 1993).
Ketika seseorang yang menjalani tirah baring lama berpindah ke
posisi tegak, ia dapat mengalami hipotensi postural. Hal ini
disebabkan kurangnya respon sistem adrenergik simpatis saat
terjadi perpindahan darah dari paru-paru dan jantung ke kaki.
Gejala hipotensi postural dapat berupa pucat, berkeringat, pusing,
berkurangnya tekanan sistolik (biasanya lebih dari 20 mmHg),
meningkatnya detak jantung (biasanya lebih dari 20 x/menit), dan
penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah
terkumpul di kaki. Pasien tersebut dapat pingsan. Apabila pasien
memiliki penyakit jantung koroner, hipotensi postural dapat
memicu timbulnya angina karena berkurangnya diastolic filling
(Dittmer and Teasell, 1993).
Butuh waktu lebih lama untuk mengembalikan fungsi
kardiovaskular ini ke normal daripada untuk mengganggunya.
Proses rekondisioning bergantung pada lamanya tirah baring dan
dapat berlangsung selama beberapa minggu atau bulan. Tindakan
efektif yang dapat dilakukan untuk pencegahan adalah mobilisasi
sesegera mungkin dan latihan penguatan untuk otot-otot mayor.
Pasien juga harus mengembalikan toleransi tubuhnya terhadap
posisi tegak untuk menghindari/mengurangi hipotensi postural.
Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki,
mobilisasi dan ambulasi segera, juga bantuan dengan menggunakan
stocking elastic (DeLisa, 2010).

32
d. Venous Thromboembolism
Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena
dan bisa juga karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis
terjadi pada daerah kaki diikuti penurunan kontraksi otot
gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam terjadi
pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal
lokasi vena yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya
emboli pulmoner. Jika terjadi emboli pulmoner, maka
mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest
berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis
vena dalam (Stuempfle and Drury, 2007).
Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak
menampakkan gejala. Apabila muncul gejala umumnya berupa
sakit dan nyeri tekan, pembengkakan, distensi vena, sianosis
ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari 50%
pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda
khusus di hasil venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih
sensitif dan spesifik bisa dengan menggunakan USG Doppler,
impedance plethysmography, dan venografi kontras (gold standar).
Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala
dyspnea, takipnea, takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk
dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang kurang spesifik
lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada
kasus yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung
kanan. Untuk membedakan dengan kelainan jantung bisa dilakukan
EKG.
Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena
dengan fisioterapi seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan
stocking elastik, ambulasi awal, dan kompressin mekanis (Garrison,
2003). Untung mengurangi koagulabilitas darah bisa digunakan
dextran, obat antiplatelet seperti acetylsalicylic acid, dan
antikoagulan seperti warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai

33
pasien benar-benar bisa melakukan ambulasi dengan baik.
Sedangkan tindakan pencegahan yang efektif berupa penggunaan
heparin dosis rendah, kompressi pneumatik yang intermiten, oral
antikoagulan, dan dextran (Stuempfle and Drury, 2007).
8. Komplikasi Pulmonar pada Imobilisasi
a. Penurunan ventilasi
Pasien dengan tirah baring mengalami pengurangan volume tidal
dan volume ventilasi per menit. Keadaan inaktif dengan posisi
telentang membuat otot pernapasan pasien tirah baring cukup sulit
berkontraksi untuk mencapai nspirasi penuh. Penurunan kekuatan otot
selama imobilisasi ini termasuk pada otot pernapasan. Gangguan
restriktif, penurunan seluruh kekuatan otot, deconditioning otot
pernapasan, dan kegagalan pengembangan dinding dada secara penuh,
menyebabkan penurunan kapasitas respiratori sebesar 25% - 50%
(Dittmer and Teasell, 1993).
Laju pernapasan meningkat untuk mengkompensasi penurunan
kapasitas. Pada area bebas paru, rasio ventilasi-perfusi mungkin
berubah menjadi ventilasi buruk dan perfusi yang berlebihan
menyebabkan arteriovenous shunting dan penurunan arterial
oxygenation (Dittmer and Teasell, 1993).
b. Atelektasis dan Pneumonia
Imobilisasi (biasanya diperburuk dengan kelemahan motorik) dapat
menyebabkan gangguan pembersihan sekresi secara nyata. Sekret
kemudian terkumpul di bagian terbawah bronchial, menyumbat aliran
udara, dan bahkan menyebabkan atelectasis dan hypostatic
pneumonia. Seperti yang telah diketahui, atelectasis dan tumpukan
sekret membentuk lingkungan yang ideal untuk perkembangan bakteri
pneumonia. Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk mencegah
komplikasi respiratorik adalah chest fisioterapi, misalnya dengan
melakukan tarik nafas dalam dan batuk, vibrasi, postural drainase, dan
spirometri insentif (Dittmer and Teasell, 1993).

34
9. Komplikasi Gastrointestinal pada Imobilisasi
Imobilisasi bisa menyebabkan perubahan pada sistem
gastrointestinal berupa kehilangan nafsu makan, kecepatan absorpsi yang
lebih lambat, dan hipoproteinemia. Kehilangan nafsu makan
menyebabkan anoreksia dan malnutrisi. Pasase makanan melalui
esophagus, lambung, dan usus kecil lebih lambat pada posisi berbaring.
Posisi tegak meningkatkan kecepatan gelombang esofagus dan
mempersingkat waktu relaksasi esofagus bagian bawah. Transit makanan
melalui lambung adalah 60% lebih lambat dalam posisi berbaring
daripada ketika orang itu dalam posisi tegak. Oleh karena itu disaranakan
untuk pasien yang belum bisa duduk sempurna untuk meninggikan badan
dan kepala dengan 2-3 bantal saat makan (Dittmer and Teasell, 1993).
Konstipasi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada
pasien immobilisasi, karena pada keadaan immobile akan ada
peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan peristaltik terhambat.
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih
besar sehingga feses akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang
kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan
konstipasi pada pasien imobilisasi. Selain itu, penggunaan pispot untuk
eliminasi tinja menempatkan pasien dalam posisi nonphysiologic dan
keinginan untuk buang air besar berkurang disebabkan rasa malu
(Dittmer and Teasell, 1993).
Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat
dan cairan. Penggunaan stool softener juga dapat membantu. Pemberian
obat-obatan golongan narkotik juga sebaiknya dibatasi karena bisa
memperlambat peristaltis.

35
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Immobilisasi atau bedrest adalah intervensi untuk menahan pasien di


tempat tidur untuk alasan terapeutik. Pasien yang memiliki keadaan yang
bervariasi dianjurkan dalam keadaan bedrest. Durasinya bergantung pada
penyakit atau cedera dan keadaan kesehatan pasien sebelumnya. Gangguan
mobilitas fisik sebagai keterbatasan pada kemandirian, gerakan fisik pada tubuh,
satu atau lebih ekstremitas disebabkan oleh gerakan dalam bentuk tirah baring,
retriksi fisik karena peralatan eksternal (misalnya gips atau traksi rangka), retraksi
gerakan volunter, atau gangguan fungsi motorik dan rangka (Greenleaf JE , 2003)
Pada pasien kritis diperlukan istirahat total untuk mengurangi
penggunaan oksigen, pengukuran oksigen, pengurangan trauma, agar energi
digunakan untuk penyembuhan. Akan tetapi keadaan ini menyebabkan perubahan
psikologis, fisiologis dan psikososial. Hal ini terutama terjadi bila imobilisasi
mutlak dengan posisi terlentang, trendelenburg, lateral, atau posisi fowler
(Stuempfle KJ, 2007).
Beberapa dampak yang terjadi akibat imobilisasi antara lain perubahan
metabolisme, perubahan kardiovaskuler, perubahan muskuloskeletal, perubahan
pernapasan, perubahan integumen, perubahan eliminasi urin. Kurangnya
pergerakan dan latihan akan menyebabkan pasien memiliki komplikasi
pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling umum adalah atelektasis
(kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis
atau bertumpuknya sekret). Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada
bronkiolus atau bronkus dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena udara
yang masuk diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat
mengurangi keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan berkembangnya
komplikasi ini, kemampuan batuk klien secara produktif menurun. Selanjutnya
distribusi mukus pada bronkus meningkat, terutama saat klien dalam posisi
supine, telungkup atau lateral. Mukus berkumpul pada bagian jalan nafas yang
bergantung. Pneumonia hipostatik sering menyebabkan mukus sebagai tempat

36
yang baik untuk bertumbuhnya bakteri. Bed rest juga dapat menyebabkan
penurunan VO2 max sebesar 0,9% setiap harinya (Stuempfle KJ, 2007).
Pada pasien yang terbaring di tempat tidur, terjadi penurunan fungsi
paru-paru, volume plasma dan nomor eritrosit yang menyebabkan penurunan
saturasi oksigen arteri. Pada saat yang sama, konsentrasi karbon dioksida darah
meningkat sehingga dapat terjadi hipoksia. Hipoksia telah diduga sebagai
penyebab kebingungan akut pada pasien, dengan beberapa menunjukkan
penurunan memori, dan perubahan konsentrasi dan penghakiman. Kebingungan
akut dapat berkembang dengan cepat selama beberapa jam. Gejala dapat
berfluktuasi sepanjang hari dan memburuk pada malam hari (Trappe et al, 2006;
Manning et al, 1999; Heath dan Schofield, 1999).
Kondisi hipoksia merupakan salah satu indikasi dilakukannya terapi
oksigenasi. Terapi oksigen harus diberikan secara terus menerus dan tidak boleh
berhenti mendadak sampai pasien telah pulih, karena penghentian secara tiba-tiba
dapat menyebabkan terbuangnya simpanan oksigen dalam tubuh sehingga
mengakibatkan turunnya tekanan oksigen alveolar. Dosis oksigen harus dihitung
dengan cermat. Tekanan parsial oksigen dapat diukur dalam darah arteri. Arteri
PO2 dari 60 mmHg dapat memberikan saturasi 90% dari arteri darah, tetapi jika
terjadi asidosis, diperlukan PaO2 lebih dari 80 mmHg. Pada pasien dengan
kegagalan pernapasan, kondisi anemia harus dikoreksi untuk transportasi oksigen
ke jaringan yang adekuat. Peningkatan kecil tekanan oksigen arteri secara
signifikan terjadi peningkatan saturasi hemoglobin. Pada keadaan normal, tidak
ada manfaat tambahan dengan meningkatkan PaO2 lebih besar dari 60 sampai 80
mmHg. Penambahan konsentrasi oksigen sebesar 1% menyebabkan peningkatan
tekanan oksigen sebesar 7 mmHg. Hal tersebut untuk mempertahankan tingkat
hemoglobin normal pada penyakit pernapasan agar oksigen tetap dapat
ditransportasikan ke jaringan. Pengukuran gas darah arteri berulang kali dirasa
sulit, teknik sederhana dan non-invasif seperti pulsa oksimeter dapat digunakan
untuk menilai terapi oksigen (Singh CP et al, 2001).
Penyapihan harus dipertimbangkan ketika pasien nyaman, penyakit yang
mendasarinya stabil, tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, warna kulit, dan
oxymetry berada dalam kisaran normal. Penyapihan dapat secara bertahap dicoba

37
dengan menghentikan oksigen atau menurunkan konsentrasi untuk jangka waktu
tetap misalnya, 30 min. dan kembali mengevaluasi parameter klinis dan SpO2
berkala. Pasien dengan penyakit pernapasan kronis mungkin memerlukan oksigen
pada konsentrasi rendah untuk waktu lama (Singh CP et al, 2001).
Komplikasi terapi oksigen yang lama
Pemberian terapi oksigen sebaiknya dikerjakan dengan tepat dan hati-hati,
sebagaimana kita memberikan obat kepada pasien. oksigen, seperti pada sebagian
besar obat, mempunyai kisaran dosis aman. Efek fisiologis yang merugikan, dan
efek toksik yang berhubungan dengan dosis lebih tinggi dan penggunaan lama.
Untuk koreksi hipoksemia, oksigen perlu diberikan agar terjadi saturasi
hemoglobin 92% atau lebih, sehingga tercapai PaO2 60-70 mmHg. Pemberian
oksigen tambahan akan meningkatkan saturasi hemoglobin, saat tersaturasi penuh
(99-100%) pasien mulai berisiko terkena efek toksik oksigen.
Berikut ini beberapa komplikasi yang berhubungan dengan pemberian
oksigen tambahan.
1. Hipoventilasi dan narkosis karbondioksida
Hipoventilasi akibat pemberian oksigen bisa terjadi akibat supresi
pada hipoxic respiratory drive. Pada keadaan normal, karbondioksida
merupakan pengendali stimulan utama sistem respirasi. Namun, pada pasien
dengan hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), respons terhadap
peningkatan kadar CO2 menjadi tumpul dan hipoksemia menjadi stimulan
utama sistem ventilasi. Pemberian gas yang kaya oksigen pada pasien seperti
ini bisa menyebabkan hipoventilasi, hiperkapnia dan apnea.
Pada keadaan demikian, oksigen sebaiknya diberikan pada kadar
rendah (< 30%) dan pasien dipantau terhadap tanda-tanda depresi nafas. Jika
oksigenasi ternyata tidak adekuat dan terjadi depresi nafas, segera dipasang
ventilasi mekanis.
2. Atelektasis absorbsi
Atelektasis absorbsi terjadi ketika alveoli kolaps akibat gas dalam
alveoli diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Nitrogen, gas yang relatif
tidak mudah larut, pada keadaan normal mempertahankan volume residu
dalam alveoli. Selama pernapasan dengan kadar oksigen yang tinggi, nitrogen

38
bisa tersingkir atau "tercuci" dari alveoli. Ketika oksigen dalam alveoli
kemudian diabsorbsi ke dalam kapiler pulmonal, akan terjadi kolaps total
pada sebagian alveoli.
Atelektasis absorbsi lebih mudah terjadi pada area dengan penurunan
ventilasi, seperti pada saluran napas sebelah distal dari obstruksi parsial,
karena oksigen diabsorbsi ke dalam darah dengan kecepatan lebih tinggi dari
pada oksigen pengganti.
3. Keracunan oksigen
Pajanan oksigen bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa
menyebabkan perubahan jaringan menjadi patologis. Derajat cedera
berhubungan dengan lamanya pajanan dan tekanan oksigen yang dihirup,
bukan PaO2. Secara umum, FiO2 > 0,5 menyebabkan keracunan. Tanda
pertama keracunan oksigen adalah akibat efek iritasi oksigen dan refleks
trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam bernapas dengan oksigen 100%,
fungsi mukosiliar akan tertekan dan terjadi gangguan pembersihan mukus.
Dalam 6 jam pemberian oksigen 100%, bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri
substernal, dan hidung tersumbat. Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia,
dan nyeri kepala. Keluhan tersebut akan hilang setelah terapi oksigen
dihentikan.
Pajanan oksigen bertekanan tinggi dalam waktu lebih lama akan
menyebabkan perubahan paru yang menyerupai ARDS. Gangguan lapisan
endotel pada mikrosirkulasi paru menyebabkan kebocoran cairan berisi
protein. Eksudat yang terjadi berupa edema, perdarahan, dan sel darah putih
dalam paru. Kerusakan pada paru tersebut bisa menyebabkan kematian sel.
Fungsi makrofag alveolar juga mengalami tekanan, menjadikan pasien
lebih rentan terhadap infeksi. Cedera jaringan paru akibat hipoksemia
merupakan penyebab produksi radikal bebas oksigen yang menekan
pertahanan antioksidan tubuh. Penghentian pajanan oksigen dosis toksis akan
memberi kesempatan sel memulai perbaikan, perbaikan bisa juga berakibat
terbentuknya fibrosis paru dalam berbagai derajad kelainan.

39
Menghindari penggunaan oksigen berkonsentrasi tinggi jangka
panjang merupakan kunci untuk menghindari cedera paru akibat oksigen
tekanan tinggi. Nilai FiO2 paling rendah yang mampu menyediakan cukup
oksigen bagi tubuh merupakan pedoman terbaik titrasi terapi oksigen
(Subagyo, 2014).

40
BAB IV

KESIMPULAN

Mobilisasi dapat mencegah terjadinya dekubitus dan


mempertahankan nilai saturasi oksigen pada pasien deangan pemberian
terapi oksigenasi.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Astowo. Pudjo. 2005. Terapi Oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian


Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta.
2. Braddom, Randall L. 2000. Handbook Of Physical Medicine And
Rehabilitation. W.B. Sau
3. nders Company.
4. DeLisa. 2010. Physical medicine and rehabilitation: principles and practice.
3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Health. p. 1447-64.
5. Dittmer DK, Teasell R. 1993. Complications of immobilization and bed rest.
Part 1: Musculoskeletal and cardiovascular complications. Can Fam
Physician. June 39:1428-37.
6. Dittmer DK, Teasell R. 1993. Complications of immobilization and bed rest.
Part 2: Other complications. Can Fam Physician. June 39:1440-46.
7. Frederic J. Kottke, Justus F. 1990. Lehmann. Handbook of physical medicine
and rehabilitation. Philadelphia : Saunders.
8. Ganong, F. William. 2003. Fisiologi Kedokteran Edisi 20. EGC. Jakarta.
9. Garrison, Susan J. 2003. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation
Basics. Philadelphia: LWW.11:152.
10. Greenleaf JE , Quach D. 2003. Recovery After Prolonged Bed-Rest
Deconditioning . NASA Center for Aerospace Information
11. Heath, H., Schofield, I. 1999. Healthy Ageing: Nursing Older
People. London: Mosby.
12. Ikawati, Z. 2009. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pernapasan. PDF.
Rohsiswatmo, R. 2010. Terapi Oksigen Pada Neonatus. Divisi Perinatologi
Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCMk FKUI RSCM. Jakarta.

42
13. Kottke. 1990. Krusens Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation.
Ed 4. Philadelphia : WB Saunders.
14. Manning, F. et al. 1999. Effects of side lying on lung function in older
individuals. Physical Therapy; 79: 5, 456466.
15. Parry and Puthucheary. 2015. The impact of extended bed rest on the
musculoskeletal system in the critical care environment. Extrem Physiol Med.
(4):16.
16. Patria dan Fairuz. 2012. Terapi Oksigen Aplikasi Klinis. EGC. Jakarta.
17. Rogayah, R. 2009. The Principle Of Oxigen Therapy. Departemen
Pulmonologi Dan Respiratori FK UI. Jakarta.
18. Singh CP, Singh N, Singh J, Brar GK, Singh G. 2001. Emergency Medicine
:Oxygen Therapy. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine.
19. Stewart, Thomas P. 1989. The Physiological Aspects of Immobilization and
The Beneficial Effects of Passive Standing.
20. Stuempfle KJ, Drury DG. 2007. The Physiological Consequences Of Bed
Rest. Department of Health Sciences, Gettysburg College, Gettysburg, PA,
USA.

43

Anda mungkin juga menyukai