Anda di halaman 1dari 30

standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).

o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis


ekonomi atau pergolakan masyarakat.

o Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara
merata.2

Target pada Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia saat ini adalah
tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 90%. Menurut laporan dari bulan
suspek TB selama tahun 2016 sebanyak 496 kasus, yakni 88,25% dari target penjaringan
suspek TB di wilayah kerja UPTD Puskesmas DTP Pulomerak yaitu sebanyak 562 kasus per
tahun. Sudah tercapainya angka cakupan penjaringan suspek TB ini tidak menjamin tingginya
pencapaian angka penemuan kasus tuberkulosis di wilayah kerja UPTD Puskesmas DTP
Pulomerak yaitu sebesar 89,28%, sedikit dibawah angka pencapaian nasional sebesar 90%.

1.2. Pernyataan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa penyataan masalah, yaitu:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan masih kurangnya angka penemuan kasus TB


dilingkungan puskesmas Pulomerak

2. Cara untuk meningkatkan angka penemuan kasus TB dilingkungan Puskesmas


Pulomerak

1.3. Tujuan

1. Untuk mengidentifikasi masalah masih rendahnya angka penemuan kasus TB


dilingkungan Pulomerak

2. Mencari upaya untuk menyelesaikan masalah atau alternatif lainnya agar angka
penemuan kasus TB meningkat hingga melebihi target yang ditentukan

1.4. Manfaat

Manfaat untuk Puskesmas


1. Teridentifikasi masalah rendahnya angka penemuan kasus tuberkulosis
dilingkungan puskesmas Pulomerak

2. Ditemukan penyebab rendahnya angka penemuan kasus tuberkulosis


dilingkungan Pulomerak

3. Mendapatkan pembelajaran dan masukan dari laporan yang telah terselesaikan

Manfaat untuk Masyarakat

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tuberkulosis.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit tuberkulosis.

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau berobat dan sembuh dari penyakit
tuberkulosis.

4. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berobat tanpa putus untuk


mengurangi kasus TB MDR

Manfaat untuk Dokter Internsip

1. Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan ilmu


kedokteran terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat.

2. Meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan bersosialisasi di masyarakat.

3. Meningkatkan kemampuan analisa dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan


masalah pada dunia kesehatan.

4. Meningkatkan keilmuan dan pengalaman mengenai penyakit tuberkulosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri
berbentuk batang bersifat aerob yang tahan asam (BTA), Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
TB dapat menyerang berbagai organ di tubuh, terutama menyerang paru-paru. Namun dapat
juga menyerang tulang, persendian, kelenjar dan lainnya.2

2. Epidemiologi

Penyebaran kasus TB didunia tidak merata. 86% dari total kasus TB ditanggung oleh
negara yang sedang berkembang. 55% dari seluruh kasus TB berada di benua Asia, 31% di
benua Afrika dan 14% sisanya tersebar di benua-benua lainnya. WHO telah menetapkan 22
negara yang dianggap sebagai High-burden countries dengan jumlah penderita TB terbanyak
dan Indonesia masuk kedalam 22 negara tersebut, sehingga perlu pemantauan lebih untuk
menanggulangkan dan menyelesaikan kasus TB tersebut.

Walaupun jumlah kematian TB turun 22% antara tahun 2010 dan 2015, TB tetap
merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Berdasarkan laporan
WHO dalam Global Report 2015, indonesia berada pada peringkat ke 2 penderita TB
terbanyak di dunia setelah India yang menduduki peringkat pertama. Kemudian disusul oleh
China, Nigeria dan Pakistan

3. Etiologi

Bakteri utama penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. M.


tuberculosis berbentuk basil atau batang ramping lurus yang berukuran kira-kira 0,2-0,4 x 2-10
m, dan termasuk gram positif. Mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama beberapa tahun.
Pada medium kultur, koloni bakteri ini berbentuk kokus dan filamen. Identifikasi terhadap
bakteri ini dapat dilakukan melalui pewarnaan tahan asam metode ziehl-neelsen maupun
tanzil, yang mana tampak sebagai basil berwarna merah di bawah mikroskop.

4. Penularan

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif, pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar UV, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Seseorang dapat tertular bila droplet itu terhirup ke dalam saluran
pernapasan.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita
itu dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

5. Patofisiologi

Tuberkulosis Primer

Bila droplet terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau jaringan
paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Selanjutnya kuman
akan dihadapi oleh neutrofil, lalu oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan keluar oleh makrofag bersama gerakan silia dengan sekretnya.
7
Bila kuman menetap di jaringan paru, maka akan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag, bersarang di jaringan paru akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut:

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah


epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru


sebelahnya.

Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan


daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman

Tuberkulosis Pasca-Primer

Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis


post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai
nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Nasib sarang pneumonik ini
akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.

2. Sarang tadi mula-mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan


dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju
dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).


Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik).

6. Pemeriksaan pasien TB

Masa tunas (masa inkubasi) penyakit tuberkulosis paru adalah mulai dari
terinfeksi sampai pada lesi primer muncul, waktunya berkisar 4-12 minggu untuk

tuberkulosis paru.1Gejala klinis pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan, yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru lain seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kangker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
UPK dengan gejala tersebut di atas dianggap sebagai seorang tersangka pasien TB, dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan salah satu cara yang paling efisien
untuk mengidentifikasi penderita TBC. Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain
seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB
hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Kriteria BTA positif apabila
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.

Penderita dengan sediaan positif sepuluh kali lebih infeksius dibandingkan


dengan penderita sediaan negatif. Tujuan pemeriksaan mikroskopis dahak adalah
menegakkan diagnosis TBC, menentukan tingkat penularan, memantau kemajuan

pengobatan, menentukan terjadinya kegagalan pada akhir pengobatan.8

Pengumpulan dahak dilakukan tiga kali, yaitu sewaktu hari-1, pagi hari-2, dan
6
sewaktu hari-2 (SPS).

Sewaktu hari-1 (S): dahak dikumpulkan pada saat penderita datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, penderita membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

Pagi hari-2 (P): penderita mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

Sewaktu hari-2 (S): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi

Selain pengumpulan dahak dapat juga dilakukan pemeriksaan biakan untuk


identifikasi M. Tuberculosis khususnya juga dapat untuk mengetahui apakah pasien
yang bersangkutan tidak resisten terdahap OAT yang digunakan.

Selain pemeriksaan diatas, terdapat juga mantoux test/ tuberculin test. Pemeriksaan
ini digunakan untuk membantu menegakan diagnosis tuberculosis terutama pada
anak-anak (balita). Uji tuberkulin menggunakan 0,1 cc tuberkulin P.P.D intrakutan
berkekuatan 5 T.U. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG, dan
mycobakterium patogen lainnya. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikan, akan timbul
reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin.

7. Terapi

Pengobatan TB dilakukan dengan 2 tahap. Yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan
Tahap Awal (Intensif) 2RHZE

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi dalam 2 bulan).

Tahap Lanjutan 4H3R3

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Efek samping pada penderita yang mengkonsumsi obat TB adalah


8. Program Penanggulangan TB di Indonesia

Pada tahun 1995, program penanggulangan TB nasional mulai menerapkan


strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. DOTS adalah strategi
penyembuhan TB Paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.Sejak
tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh Unit Pelayanan
Puskesmas terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan
dasar. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) terdiri 5 kunci:
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana
kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Visi penanggulangan TB di Indonesia adalah masyarakat yang mandiri dalam
hidup sehat dimana tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Sedangkan misinya adalah menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses
terhadap pelayanan yang bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
karena TB, menurunkan resiko penularan TB dan mengurangi dampak sosial dan
ekonomi akibat TB. Target program penanggulangan TB adalah tercapainya
penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 90% dari perkiraan dan
menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankanya. Target ini
diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga
separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan Millennium
Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.

Secara lengkap ,indikator keberhasilan program TB dinilai dari 10 indikator:

1. Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)

2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).

3. Angka Penjaringan Suspek

4. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya

5. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru

6. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien

7. Angka Notifikasi Kasus(CNR)

8. Angka Konversi

9. Angka Kesembuhan

10. Angka Kesalahan Laboratorium

Case Detection Rate (CDR)


Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
dibandingkan dengan jumlah pasien dengan BTA positif yang diperkirakan pada
daerah tersebut. Target CDR dalam penanggulangan TBC adalah 90%/

jumlah pasien baru BTA positif


x 100%
perkiraan jumlah pasien BTA positif

Angka Keberhasilan Pengobatan (SR)

Adalah angka yang menunjukkan persentase pasien baru BTA positif yang telah
diobati dan telah menyelesaikan pengobatan.

jumlah pasien TB (sembuh pengobatan lengkap)


x 100%
jumlah pasien yang diobati

Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan


menggunakan strategi DOTS. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari
surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai
dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang
dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan
rencana tindak lanjutnya

Adapun strategi penemuan pasien TB adalah sebagai berikut:


o Dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien
dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif,
baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat.
o Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan
pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.

Pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara administrative berada di


bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan,
dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan
Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang
punggung layanan TB dengan arahan dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan
rumah sakit berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan. Sasaran strategi nasional
pengendalian TB mengacu pada rencana strategis kementerian kesehatan dari 2010
sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000
penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah: (1)
meningkatkan persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73%
menjadi 90%; (2) meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB
paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan persentase provinsi dengan
CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan persentase provinsi dengan
keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.

Untuk mencapai sasaran-sasaran di atas maka strategi-strategi yang akan


dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu.

2) Menangani TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan masyarakat miskin serta rentan


lainnya

3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat


dan swasta mengikuti International Standards of TB Care

4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB

5) Memperkuat sistem kesehatan, termasuk pengembangan SDM dan manajemen


program pengendalian TB

6) Meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB

7) Meningkatkan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategik


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dilakukan melalui proses observasi wawancara dan diskusi


dengan petugas sub-unit Pengendalian Penyakit TB dan petugas laboratorium di
UPTD Puskesmas DTP Pulomerak dan berdasarkan data sekunder dari buku laporan
tahunan UPTD Puskesmas DTP Pulomerak tahun 2016-2017

3.2. Analisis Masalah

Berdasarkan hasil proses observasi wawancara, diskusi dan berdasarkan data


sekunder dari buku laporan tahunan UPTD Puskesmas DTP Pulomerak tahun
2016-2017, maka didapatkan beberapa penyebab masalah belum tercapainya target
angka penemuan kasus Tuberkulosis di wilayah kerja UPTD Puskesmas DTP
Pulomerak adalah sebagai berikut.

1. Manusia

a. Pasien

1) Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB dan


bahayanya. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya pasien yang tidak mau
memeriksakan penyakitnya ke pusat kesehatan walaupun telah mengalami
beberapa gejala penyakit TB.

2) Berkembangnya mitos yang salah di tengah masyarakat bahwa TB adalah


penyakit yang sangat menular dan penderitanya harus dijauhi sehingga
menderita penyakit TB merupakan suatu aib.

3) Kurangnya kesadaran melakukan pemeriksaan dahak pada pasien-pasien


yang mengalami gejala penyakit TB, padahal sudah diiberikan rujukan untuk
pemeriksaan dahak.

4) Tingginya jumlah pasien yang sudah periksa dahaknya tapi enggan


kembali ke puskesmas untuk melaporkan hasil maupun berobat.
5) Kurangnya peran serta masyarakat secara umum untuk ikut membantu
mengendalikan kasus TB di kecamatan Pulomerak.

b. Tenaga Kesehatan

1) Belum meratanya jumlah kader TB di tiap RT di kecamatan Pulomerak.

2) Kurangnya jumlah tenaga kesehatan pemegang program pengendalian TB


di UPTD Puskesmas DTP Pulomerak.

3) Belum ada petugas khusus pemeriksa dahak yang terlatih di laboratorium


UPTD Puskesmas DTP Pulomerak.

2. Metode

1) Masih minimnya penyuluhan TB yang efektif dan efisien yang dapat


meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang penyakit TB dan
bahayanya.

2) Tidak terintegrasinya data TB antara praktek swasta / klinik dengan Puskesmas


dan rumah sakit.

3) Belum ada SOP tertulis untuk pengambilan dan pemeriksaan dahak di


laboratorium UPTD Puskesmas DTP Pulomerak.

4) Tingginya hasil negatif palsu akibat pengambilan spesimen dahak yang kurang
baik dan perlakuan pada spesimen sampai dilakukan pemeriksaan yang kurang
tepat.

5) Pemantauan tindak lanjut Pasien TB dengan BTA negatif belum maksimal.

6) Rendahnya upaya deteksi kasus TB anak disertai sulitnya melakukan


pemeriksaan TB pada anak.

3. Material
Kurangnya media promosi untuk mensosialisasikan program TBdan juga
bahayanya kepada masyarakat

4. Lingkungan

Jarak tempuh yang cukup jauh antara puskesmas dan tempat tinggal pasien yang
kebanyakan tinggal di pegunungan dengan akses jalan yang sempit dan rusak
sehingga menyulitkan pasien untuk mendapatka pengobatan dan terjaring dalam
penemuan kasus TB baru.
BAB IV

Hasil Penelitian

1. Peta lokasi Puskesmas DTP Pulo Merak

Posisi strategis Kota Cilegon yang terletak di ujung barat Pulau Jawa, merupakan
satusatunya jalan darat untuk menuju Jakarta dari Pulau Sumatra dan sebaliknya.
Pelabuhan penyeberangan Merak~Bakauni yang menghubungkan Pulau Jawa dan
Sumatera, berada di wilayah Kecamatan Pulomerak

Sepanjang perjalanan menuju lokasi puskesmas adalah daerah perindustrian, yang


tentunya berciri khas urbanisasi dan perpindahan penduduk dari kota-kota kecil
lainnya menuju Cilegon untuk bekerja serta juga menanbah aktivitas dari penduduk
sekitar puskesmas.
Keadaan-keadaan tersebut menyebabkan mobilitas manusia dan kendaraan sangat
tinggi, sehingga meningkatkan resiko kecelakaan maupun penyakit menular disekitar
lokasi puskesmas. Terutama pada saat hari libur nasional dimana banyak masyarakat
yang akan mudik kedaerah masing-masing.

Masyarakat juga banyak yang bertempat tingga didaerah pegunungan dimana sulit
dijangkau menggunakan kendaraan. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakan
yang sulit mengakses fasilitas kesehatan ke Puskesmas karena keterbatasan baik biaya
maupun kendaraan. Oleh karena itu, pihak puskesmas menyediakan sarana puskesmas
keliling, dimana dokter dan perawat pergi menuju daerah yang sulit terjangkau untuk
melakukan penjaringan berbagai macam penyakit.

Jarak antara puskesmas dan rumah sakit daerah terdekat di kota Cilegon juga
terbilang cukup jauh dimana membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit
menggunakan mobil dan 1 jam jika menggunakan kendaraan umum seperti bus
ataupun mikrolet. Sehingga diperlukan tempat perawatan di puskesmas pulomerak.

2. Wilayah kerja

Luas wilayah kecamatan pulomerak adalah 19.86 km2 atau 11,32% dari total
wilayah kota Cilegon.

Batas Wilayah (peta terlampir)

Sebelah Utara : Kec. Puloampel Kab. Serang

Sebelah Timur : Kec. Bojonegara Kab Serang

Sebelah Selatan : Kec. Grogol Kota Cilegon

Sebelah Barat : Selat Sunda (Propinsi Lampung)

Jumlah Kelurahan

Kecamatan Pulomerak terdiri dari 4 kelurahan 27 RW 124 RT, yaitu:

Kelurahan Suralaya : terdiri dari 5 RW dan 21 RT (5.75 km2)


Kelurahan Lebakgede : terdiri dari 9 RW dan 43 RT

Kelurahan Tamansari : terdiri dari 6 RW dan 35 RT (3.36 km2)

Kelurahan Mekarsari : terdiri dari 7 RW dan 30 RT

Kecamatan Pulomerak memiliki 8 wilayah gunung, yaitu :

1. Gunung Cisuru Suralaya

2. Gunung Cipala Lebakgede

3. Gunung Batupayung Lebakgede

4. Gunung Ciporong Mekarsari

5. Gunung Tembulun Mekarsari

6. Gunung Sumurpring Mekarsari

7. Gunung Batur I Mekarsari

8. Gunung Batur II Mekarsari

3. Data demografik

Jumlah Penduduk pada tahun 2015 menurut BPS kota cilegon : 44.960 jiwa

Jumlah Penduduk miskin yang menerima jamkesda : 3411 jiwa

Uraian Jumlah

Penduduk 44.960 jiwa

Laki-laki 22.916 jiwa

Perempuan 22.044 jiwa

Kepadatan penduduk 2264 jiwa/km

Sex ratio 100:104


Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah

Mekarsari 6014 5780 11794

Taman Sari 7205 6880 14005

Lebakgede 6401 6316 12717

Suralaya 3296 3148 6444

Sasaran kegiatan luar gedung

Jumlah TK :9

Jumlah PAUD : 12

Jumlah SD : 24

Jumlah SMP :5

Jumlah SMA :4

Jumlah Posyandu : 57

Jumlah Posbindu :8

Jumlah Pusling :1

Jumlah kader posyandu : 271 orang

Jumlah kader posbindu : 24 orang

Jumlah kader TB Paru : 9 orang

Jumlah kamantik : 20 orang

4. Sarana Prasarana kesehatan

A. Sarana Bangunan

Puskesmas Induk Terletak di Lingkungan Sukamaju Kelurahan Mekarsari dengan


luas areal + 2.000 m2 dengan luas bangunan Puskesmas 450 m2. Untuk Puskesmas
Rawat Jalan, dan 250 M2, untuk Puskesmas Perawatan, Luas area tersebut sudah
cukup memadai dengan adanya pelayanan Kesehatan Tingkat Puskesmas. Areal
UPTD Puskesmas DTP Pulomerak terletak pada jalan Protokol yang
menguhubungkan arus lalu lintas Jawa Sumatera, oleh karena itu di tingkat kat
menjadi Puskesmas Perawatan.

Puskesmas Pembantu Lebakgede Terletak di Lingkungan Wilulang Kelurahan


Lebakgede dengan luas areal 150 m2 dengan luas bangunan 48 m2. Areal Pustu
Lebakgede berada di area kuburan dan jauh dari perkampungan penduduk (lokasi
tidak strategis) sehingga jumlah kunjungan pasien sangat kurang.

Puskesmas Pembantu Suralaya Terletak di Lingkungan Pringori Kelurahan


Suralaya dengan luas areal, Keberadaan Pustu ini sangat tepat mengingat letak
Kelurahan Suralaya paling jauh ke Puskesmas induk. Lokasi Pustu ini strategis,
berada di tengah masyarakat dan dekat dengan lokasi SMPN X dan SMAN IV .

Pos Kesehatan Desa Terletak di Lingkungan Sabrang Kelurahan Lebak Gede


dengan luas areal 100 M,luas bangunan 55 M keberadaan PosKesDes ini sebagai
syarat pembentukan desa siaga di Kelurahan Lebak Gede.

B. Sarana Transportasi

Kendaraan roda empat : 1 unit Pusling, 2 unit ambulance

Kendaraan roda dua : 8 unit motor dinas

C. Sarana Penunjang Pelayanan Kesehatan

Komputer : 5 Unit ( APBD II )

Alat-alat Kesehatan : 1 Unit USG, 1 Unit Nebulizer, 1 Unit Dopler, dll

5. Tenaga Kerja

Tenaga kerja di puskesmas Pulomerak

Jenis Ketenagaan Ada Kekurangan


Dokter umum 2 2

Dokter gigi 1 1

Apoteker 1 1

Perawat umum 16 4

Perawat gigi 1 1

Bidan 19 2

Rekam medik 1 2

Pekarya 1 0

Admin 5 0

Analis kesehatan 1 1

Gizi 2 0

Kesling 2 0

Kebersihan 2 0

Supir 2 0
Cakupan Program Pengendalian TB

Tabel 1.

Triwulan (2016) Target suspek Pencapaian

1 140.5 106 18%

2 140.5 111 19%

3 140.5 142 25%

4 140.5 137 24%

Total 562 496 88%

Triwulan (2016) Target CDR Pencapaian

1 14 10 17%

2 14 12 21%

3 14 14 25%

4 14 14 25%

Total 56 496 89.28%


Triwulan (2016) Target konversi Pencapaian

1 10 10 25%

2 12 12 25%

3 14 14 25%

4 14 10 17%

Total 50 46 92%

Triwulan (2016) Target SR Pencapaian

1 10 10 25%

2 12 10 21%

3 14 11 19%

4 14 9 16%

Total 50 42 84%

7. Penyebab tidak tercapainya angka penemuan kasus TB

Lingkungan
Metode

Jauhnya jarak
Tidak puskesmas dari
Tidak adanya
integrasinya tempat tinggal
SOP
data RS, klinik penduduk
Pemeriksaan
dan puskesmas
Dahak / BTA
Kebersihan
Banyaknya
lingkungan
Kurangnya permukiman
belum terjaga
Tingginya Hasil penyuluhan padat
negatif palsu penduduk

Sulitnya
BAB V

Pembahasan

Pengembangan program pengendalian penyakit TB dengan strategi DOTS


(Directly Observed Treatment Short-course) sampai tahun 2008 telah dilaksanakan di
seluruh Kabupaten/Kota, pelaksanaan program penyakit TB sampai tahun 2008 telah
dapat menurunkan insiden kasus menular dari 130/100.000 penduduk menjadi
104/100.000 penduduk.

Sistem pencatatan, pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi


manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan dalam program DOTS.
Sedangkan untuk menilai keberhasilan program penanggulangan TB tersebut
digunakan beberapa indikator, 2 indikator terpenting adalah angka penemuan pasien
baru TB BTA positif (CDR) dan angka keberhasilan pengobatan (CR). Target
program penanggulangan TB di Indonesia sendiri adalah tercapainya penemuan
pasien baru TB BTA positif paling sedikit 90% dari perkiraan dan menyembuhkan
85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankanya. Selain itu angka default
tidak boleh lebih dari 10% dari keseluruhan penderita. Berdasarkan laporan
Tuberkulosis (TB) di UPTD Puskesmas DTP Pulomerak, angka penemuan kasus TB
dari bulan Januari sampai bulan Desember 2016 masih di bawah target nasional, yaitu
sebesar 89,28%. Sedangkan untuk angka keberhasilan pengobatan sudah melebihi
target nasional, yaitu sebesar 95,45%. Menurut Leavell (1953), terdapat lima
tahapan dalam pencegahan penyakit menular, yaitu promosi kesehatan, proteksi
khusus, diagnosis dini dan pengobatan yang cepat, pembatasan disabilitas, dan
rehabilitasi. Berkaitan dengan upaya penurunan angka kasus baru TB di Indonesia,
maka tahapan ke-3, yakni diagnosis dini sangat penting guna memutuskan rantai
penularan dari penderita ke orang yang sehat.

Diagnosis dini erat kaitannya dengan strategi penemuan pasien TB yang


dilakukan setiap UPK. Dengan demikian akan berpengaruh juga terhadap angka CNR.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan koordinator program P2TB di
UPTD Puskesmas DTP Pulomerak, strategi penemuan kasus baru TB telah dilakukan
melalui berbagai hal, diantaranya adalah : penyuluhan TB ke masyarakat,
pemeriksaan dahak SPS untuk pasien terduga TB yang berobat di poli puskesmas
pulomerak, pengambilan sampel dahak di sepuluh rumah yang terdekat dengan
penderita TB BTA positif, pembentukan paguyuban kader TB berjumlah 9 orang di
kecamatan Pulomerak.

Menurut Lawrence Green, ada tiga faktor yang memberi kontribusi seseorang
melakukan tindakan atau perilaku yaitu faktor predisposisi, misalnya pengetahuan
setiap individu, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Faktor
pendukung mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi
masyarakat misalnya jarak puskesmas, ketersediaan sumber daya, keterjangkauan
sumber daya, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan lain seperti rumah sakit,
poliklinik swasta, dan lain-lain. Faktor penguat meliputi faktor sikap dan perilaku
tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas
kesehatan. Termasuk juga dukungan dari keluarga. Dari tiga faktor tersebut, masih
banyak keterbatasan yang ada di wilayah kerja UPTD Puskesmas DTP Pulomerak
yang menyebabkan tidak tercapainya angka penemuan kasus TB (CDR) pada tahun
2016. Penulis mencoba menjabarkan masalah dan alternatif solusi yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan angka penemuan kasus TB (CDR) di tahun berikutnya

1. Penyebab tidak tercapainya penemuan kasus TB dan solusi untuk meningkatkan


pencapaian di wilayah kerja puskesmas Pulomerak

No. Masalah Solusi

1 Tidak adanya SOP untuk Pembuatan SOP dalam pengecekan


pemeriksaan dahak/BTA dahak BTA dan melalakukan pelatihan

2 Tingginya angka negatif palsu

3 Follow up pasien belum maksimal Peningkatan jumlah kader/SDM untuk


memantau asupan minum obat dan
mencari pasien yang tidak datang
kembali untuk kontrol ke puskesmas

4 Tidak terintegrasinya data penderita Pembuatan program agar


masing-masing faskes dapat mengetahui
TB difasilitas kesehatan jumlah pasien TB yang terdapat di kota
tersebut

5 Minimnya penyuluhan, kurangnya Melakukan penyuluhan mengenai TB di


kesadaran dan pengetahuan pasien puskesmas tiap hari tertentu minimal 1x
terhadap penyakit TB dalam 1 bulan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat

6 Sulitnya mendiagnosis TB pada Pengadaan material yang diperlukan


anak di puskesmas, tidak adanya untuk diagnosis seperti alat rontgen,
alat rontgen. atau tes mantoux secara langsung tanpa
menunggu jadwal

7. Kebersihan lingkungan belum Memberikan pengetahuan kepada


terjaga masyarakat melalui selebaran atau
pamflet mengenai kebersihan
8 Banyaknya permukiman padat
lingkungan.
penduduk

9 Jauhnya jarak puskesmas ke tempat Mengadakan pusling kedaerah-daerah


tinggal penduduk yang sulit terjangkau dan melakukan
jemput dahak ke rumah-rumah
penduduk yang dicurigai.

10 Jumlah kader yang belum merata Menambah dan melatih kader dan PMO
dan PMO yang belum maksimal
BAB VI

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Untuk menilai keberhasilan pengobatan TB digunakan indikator CDR untuk


penemuan pasien baru dan CR untuk keberhasilan pengobatan

Berdasarkan laporan TB di UPTD Puskesmas DTP Pulomerak, angka penemuan


kasus TB & angka keberhasilan pengobatan dari bulan Januari sampai bulan
Desember 2016 masih di bawah target nasional (90%), yaitu sebesar 89.28% dan
84%

Untuk meningkatkan pencapaian angka penemuan kasus TB harus dilakukan


kerjasama multisektoral, mulai dari tingkat internal di UPTD Puskesmas DTP
Pulomerak, kader kesehatan, masyarakat, klinik/dokter praktek swasta, rumah
sakit sekitar, sampai pejabat di wilayah setempat.

2. Saran

Penulis berharap melalui hasil penelitian ini, dapat memberikan alternatif solusi
kepada puskesmas untuk membenahi program-program TB paru agar angka
penemuan dan kesembuhan kasus TB dapat meningkat dn menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Global Tuberculosis Report 2016. Available at:


http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/
2. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, Jakarta 2002.
3. Daniel TM. Tuberculosis. In: Isselbacher, et al (Eds). Horrisons Principles of
rd
internal Medicine. Vol 1.13 ed. 2004. 710-717
4. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
3. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2009.
5. Manaf A, Pranoto A, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi
2. Cetakan pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2007.
6. Amrullah A. 2011. Faktor-Faktor Resiko Tuberkulosis (TB Paru - TBC). Available :
http://blogkesmas.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-resiko-tuberkulosis-tb.html
7. Nawas MA. Pemeriksaan sputum BTA pada diagnostik tuberculosis paru. J Respir
Indo 2003;23:16
8. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta 2014.
9. Rencana Strategis Kementrian kesehatan 2015-2019.
10. The End TB Strategy: Global Strategy and Targets for Tuberculosis Prevention,
Care, and Control After 2015. WHO. 2015.

Anda mungkin juga menyukai