Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

PTERIGIUM GRADE II OS + ASTIGMATISME


MYOPIA COMPOSITUS ODS + PRESBIOPIA ODS

Disusun oleh:

YUNI IRIANI SARBINI

(1102011300)

Preseptor:

dr. Laila Wahyuni, SpM

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU MATA


PERIODE 03 JULI 02 AGUSTUS 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

BAB I

0
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN : PEMERIKSA :

No. CM : 01029517 Nama : Yuni Iriani Sarbini

Tanggal : 11 Juli 2017 NPM : 1102011300

Nama : Ny. D

Umur : 51 tahun PEMBIMBING

Alamat : Tarogong Kaler

Pekerjaan : Buruh Tani (dr. Laila Wahyuni, SpM)

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 11 Juli 2017

Keluhan Utama :
Penglihatan mata kiri terasa ada yang menghalangi.
Anamnesa Khusus :

Pasien perempuan berusia 51 tahun datang ke Poli Mata Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Slamet Garut dengan keluhan penglihatan terasa ada yang menghalangi pada mata kiri
5th SMRS. Pasien merasa penglihatannya kurang terutama jika terkena angin, debu, dan sinar
matahari. Keluhan disertai dengan mata sering perih, gatal, dan berair. Pasien juga mengeluh
kedua matanya terasa buram sejak 3th yang lalu. Pasien mengeluh sulit melihat jarak jauh
dan jarak dekat saat membaca, dan sering merasa pandangannya berbayang. Keluhan ini juga
disertai dengan kepala sering terasa pusing, mata cepat lelah, dan sering menyipitkan mata
saat melihat jarak jauh.

Riwayat nyeri pada mata disangkal, riwayat trauma ataupun infeksi pada kedua mata
sebelumnya juga disangkal oleh pasien. Pasien tidak mempunyai riwayat memakai kacamata
sebelumnya. Riwayat hipertensi disangkal. Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan
pasien mengakui sering terpapar sinar matahari langsung.

Anamnesa Keluarga
1
Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sekarang bekerja sebagai buruh tani. Pasien tinggal bersama suami dan keempat
anaknya. Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan BPJS .

Kesan : Sosial ekonomi menengah

Riwayat Gizi
Pasien mengaku makan sebanyak satu sampai dua kali sehari. Pasien mengaku tidak memiliki
gangguan nafsu makan. Sehari-hari pasien makan dengan nasi menggunakan ikan serta tempe
ataupun tahu, dan mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang cukup. Pasien juga jarang sekali
mengkonsumsi buah buahan.

III. PEMERIKSAAN
1. Status Oftalmologis
PEMERIKSAAN VISUS DAN REFRAKSI

Visus OD OS
SC 0.5 0.3
CC - -
STN - 1.0
Koreksi S -1.00 C -0.50 1800 1.0 C -2.50 500
ADD +2.25 +2.25
Posisi Bola Mata Ortotropia Ortotropia
Gerakan bola mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah

00 0

0
0 0
0 0
0 0

PEMERIKSAAN EKSTERNAL
OD OS

Jernih Jernih
OD OS
Palpebra Superior Tenang Tenang
Palpebra Inferior Tenang Tenang
Margo Palpebra Tenang Tenang
Silia Tumbuh teratur , Tumbuh teratur,
madarosis (-), Trikiasis (-) madarosis (-),Trikiasis (-)
Ap. Lakrimalis Refluks (-) Refluks (-)
Konj. Tarsalis Tenang Tenang
Superior
Konj. Tarsalis inferior Tenang Tenang
Konj. Bulbi Tenang Jaringan fibrovaskular
melewati limbus tidak
mencapai pupil
Kornea Jernih Jaringan fibrovaskular
melewati limbus
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokor Bulat, sentral, isokor
Diameter pupil 3 mm 3 mm
Refleks cahaya
Direct + +
Indirect + +
Iris Coklat, Kripti (+), Sinekia (-) Coklat, Kripti (+), Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih

PEMERIKSAAN SLIT LAMP DAN BIOMICROSCOPY

OD OS

OD OS
Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur
Konjungtiva Tenang Jaringan Fibrovasskular
melewati limbus tidak mencapai
pupil
Kornea Jernih Jaringan Fibrovaskular melewati
limbus

3
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokor Bulat, sentral, isokor
Iris Warna coklat, Kripti (+), Warna coklat, Kripti (+),
Sinekia (-) Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih
Tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Palpasi Normal Normal

PEMERIKSAAN FUNDUSCOPY

OD OS

OD OS
Jernih Lensa Jernih
+ Reflek Fundus +
Bulat, batas tegas, Fundus Bulat, batas tegas, kekuningan
kekuningan
Normal Papil Normal
0.3-0.4 CD Ratio 0.3-0.4
2:3 A/V Retina Sentralis 2:3
Normal Retina Normal
Normal Makula Normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan
V. RESUME
Seorang perempuan,51 tahun, datang dengan keluhan penglihatan pada mata
kiri terasa ada yang menghalangi sejak 5 tahun SMRS. Pasien merasa
penglihatannya kurang terutama jika terkena angin, debu, dan sinar matahari. Keluhan
disertai dengan mata sering perih, gatal, dan berair. Pasien juga mengeluh kedua
matanya terasa buram sejak 3th yang lalu. Pasien mengeluh sulit melihat jarak jauh
dan jarak dekat saat membaca, dan sering merasa pandangannya berbayang. Keluhan
ini juga disertai dengan kepala sering terasa pusing, mata cepat lelah, dan sering
menyipitkan mata saat melihat jarak jauh. Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh
tani dan pasien mengakui sering terpapar sinar matahari langsung. Pasien mengaku
tidak terdapat riwayat hipertensi dan tidak pernah menderita penyakit mata lain
sebelumnya. Pasien juga tidak menggunakan kacamata sebelumnya.

Status Oftalmologi

4
OD OS
Visus 0.5 0.3
Gerakan Bola Mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah
Kornea Jernih Jaringan Fibrovaskular
melewati limbus
Konj. Bulbi Tenang Jaringan Fibrovaskular
melewati limbus tidak
mencapai pupil
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokor Bulat, sentral, isokor
Iris Warna cokelat, kripti (+), Warna cokelat, kripti (+),
Sinekia (-) Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih
Shadow Test (-) (-)
Tonometri Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Refleks Fundus (+) (+)

VI. DIAGNOSIS KERJA


Pterygium Grade II OS
Astigmatisme Myopia Compositus ODS
Presbiopia ODS

VII. DIAGNOSIS BANDING


Pseudopterygium

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN


Pemeriksaan pre-operasi
a. Pemeriksaan sistemik : tanda vital, laboratorium pre-operasi.

IX. RENCANA TERAPI


Medikamentosa
Lubrikan (Sodium carboxymetylsellulose ed 3 x gtt 1 OS)
Vasokontriktor ( Pheniramine Maleat ed 3 x gtt 1 OS)
Non Medikamentosa
1. Pro operasi pterygium + graft conjunctiva bulbi OS

2. Kaca mata koreksi


3. Hindari terkena paparan langsung angin, debu, dan cahaya matahari

5
4. Hindari membaca dengan jarak terlalu dekat

X. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konjungtiva
1.1 Anatomi Makroskopis1
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).1
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus. Sesuai dengan
namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari
kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan
inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks
inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial
yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura
palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial
konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan
plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral,
forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.1

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva2

7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra1,3
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis
bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva
melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra
dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.
Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga
konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi
antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal
konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang
melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan
translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan
perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.
Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana
reaksi patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi1,3
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat
sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat
divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke
segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler
rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus,
konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.

3. Konjungtiva Tarsalis1,3
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat
pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator

8
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya
bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas
bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

1.2. Fisiologi Konjungtiva4


Sel epitel konjungtiva sebagai sumber sekresi elektrolit dan air.
Sebagaimana halnya kornea, konjungtiva juga mensekresi Na, Cl, dan air.
Oleh karena konjungtiva lebih banyak menempati permukaan okular
dibandingkan kornea, ia merupakan sumber potensial elektrolit dan air dalam
lapisan akuous tear film. Saat ini, sekresi elektrolit dan air konjungtiva sudah
mulai diteliti. Informasi terakhir menyebutkan bahwa saraf simpatis dapat
memicu sekresi tersebut.
Mekanisme sekresi elektrolit dan air pada konjungtiva serupa dengan
yang terjadi pada glandula lakrimal dan epitel kornea. Sekresi Cl ke dalam air
mata melalui mekanisme transport aktif konjungtiva mencapai 60%-
70%. Sisanya berasal dari absorbsi Na -glukosa dari air mata. Hal ini
menunjukkan bahwa konjungtiva juga mengabsorbsi elektrolit dan air. Sel
goblet konjungtiva sebagai sumber sekresi musin.
Salah satu sumber utama lapisan musin pada tear film adalah sel goblet
konjungtiva. Sel goblet yang terdistribusi ke seluruh konjungtiva akan
mensekresi musin. Musin merupakan glikoprotein dengan berat molekul
besar. Musin dibentuk oleh protein yang didukung oleh rantai yang terikat
dengan sejumlah karbohidrat. Oleh karena rantai karbohidrat tersebut bersifat
heterogen, maka gen-gen yang mensintesis protein dapat digunakan
untuk menentukan jenis-jenis musin yang dihasilkan. Ada 9 jenis gen musin,
mulai dari MUC1 hingga MUC8.
Sel goblet konjungtiva mensekresi MUC5AC, sedangkan sel lain di
permukaan okular tidak mensekresi jenis musin ini. Musin diproduksi oleh
permukaan kasar dari retikulum endoplasma dan tertahan pada ikatan
membran-granula dalam bentuk filamen. Granula-granula tersebut akan
bersatu menjadi satu bentuk droplet yang besar untuk kemudian dikeluarkan
ke permukaan melalui membran sel yang ruptur. Membran sel
tersebut akan menyusun kembali dirinya, menutup muara yang terbentuk. Sel
yang telah terpakai tadi akan beristirahat dalam jangka waktu yang bervariasi

9
untuk kemudian kembali memulai siklus sekretorisnya atau berdeskuamasi dan
digantikan oleh sel yang lain.
Fungsi musin4 :
1. Musin berperan penting dalam menjaga integritas permukaan okular oleh
karena ia melapisi dan melindungi sel epitel. Musin bekerja dengan jalan
mengurangi tegangan permukaan tear film untuk menjaga stabilitasnya.
2. Musin berperan dalam mempertahankan imunitas lokal dengan menjadi
medium tempat immunoglobulin (IgA) dan lisosim mikrobisidal melekat.
3. Musin juga berperan dalam mekanisme pembersihan mata dengan jalan
mengikat debris sel, benda asing, dan bakteri. Saat mata berkedip, ikatan
ini akan bergerak ke arah kantus medial, untuk kemudian dikeluarkan ke
kulit.
4. Musin juga berperan saat terjadi respon inflamasi oleh karena ia memiliki
sistem produksi superoksida.
2. Pterygium5,6
2.1 Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya
bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex
menghadap kesentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada
cantus.5
2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah
<37.0 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di
daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40.0.5
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36 . Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.

10
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterigium.
Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren
sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan diluar rumah.

2.3 Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterigium.6
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium merupakan
suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak
angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di
lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.6

2.4 Klasifikasi6
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari
kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun

11
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan
zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai
kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:


- Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
- Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
- Stadium III: jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm).
- Stadium IV: jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

12
Gambar 7. Stadium I Pterygium2 Gambar 8. Stadium II Pterygium2

Gambar 9. Stadium III Pterygium2 Gambar 10. Stadium IV Pterygium2

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 ( fleshy, opaque ) : pembuluh darah tidak jelas
2.4 Patogenesis7
Sampai saat ini, patogenesis dari pterigium belum mendapatkan suatu
kejelasan yang pasti. Berbagai teori telah diajukan terhadap penyakit ini seperti
pengaruh inflamasi, degenerasi jaringan ikat, instabilitas genetik, angiogenesis,
radikal bebas, penyembuhan luka yang tidak sempurna, gangguan metabolisme
lemak, infiltrasi sel mast, dan disfungsi stem sel.

13
Terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis dari
penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup7 :
1. Paparan terhadap sinar UV
Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan terjadinya
perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan produksi dari
interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNF. Selain itu,
terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan
pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih
tinggi daripada tissue inhibitors (Feng, et al. 2010). Beberapa teori
menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi dari supresor
gen tumor TP53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada epitel
limbus.
Sinar UV menyebabkan mutasi pada gen tumor suppressor TP53
yang sensitif terhadap sinar UV di sel basal limbus dan gen elastin di
epitel limbus. Dikarenakan adanya mutasi pada gen tersebut, maka
otomatis akan tejadi gangguan pada kematian sel. Gangguan apoptosis
ini menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen yang lain sehingga
terbentuk pterigium dan sel tumor limbus yang melapisi pinguikula dari
fibroblast dan menghasilkan berbagai matrix metalloproteinase (MMP).
Mutasi pada gen TP53 juga menghasilkan TGF-B sehingga
disebutkan bahwa pterigium merupakan tumor penghasil TGF-B dimana
sekresi berlebihan dari TGF-B bahkan menimbulkan berbagai perubahan
jaringan dan ekspresi dari MMP. Awalnya sel pterigium menghasilkan
MMp-2, MMp-9, MT1-MMp, dan MT2-MMP yang akan menyebabkan
kerusakan ikatan hemidesmosom dan terjadi penyebaran pterigium ke
segala arah yang akibat produksi TGF-B, jaringan di sekitar pterigium
memiliki lapisan sel yang lebih tipis.
Pada saat sel pterigium mencapai kornea, maka MMP akan
menghancurkan membran bowman serta TGF-B yang akan
menyebabkan peningkatan monosit dan kapiler dalam epitel. Kemudian,
terdapat sel fibroblast yang terletak di ujung epitel limbus untuk
menghasilkan MMP-1 dan MMP-3 yang membantu dalam
penghancuran membran bowman. Fibrobalst ini akan diaktifasi oleh

14
TGF-B dan sitokin-sitokin untuk bermigrasi ke membran basal kornea
dan membentuk pulau-pulau fibroblast.
Radiasi sinar UV tidak hanya berperan secara langsung tetapi juga
secara tidak langsung melalui pembentukan radikal bebas (ROS). ROS
merusak protein, lipid, dan DNA sel melalui proses stress oksidatif. ROS
juga dapat menginduksi pembentukan cyclooxygenase2 (COX-2). Baik
ROS maupun COX-2 memiliki peranan penting didalam pembentukan
pterigium dan kanker kulit lainnya.7

1. Teori Growth Factor dan Sitokin proinflamasi


Pterigium memiliki komponen vaskular yang dapat menginvasi ke
jaringan mata. Komponen vaskular ini timbul melalui proses
angiogenesis yang dirangsang oleh VEGF (Vascular Endothelial Growth
factor). Inflamasi kronis pada pterigium merangsang keluarnya berbagai
growth factor dan sitokin seperti, FGF, PDGF, TGF-, dan TNF- serta
VEGF yang akan mengakibatkan proliferasi sel, remodeling matriks
ektra sel dan angiogenesis. Selain meningkatnya growth factor
ditemukan menurunnya faktor penghambat pertumbuhan seperti TSP-I .

2. Teori stem cell


Faktor lingkungan (angin, debu) menyebabkan kerusakan sel basal
limbus dan merangsang keluarnya sitokin proinflamasi. Sitokin ini akan
memproduksi matriks metaloproteinase untuk merusak matriks ektrasel,
sehingga pterigium dapat mencapai kornea. Sitokin ini juga dapat
merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel, dimana stem
sel ini juga akan memproduksi sitokin sambil juga menyembuhkan
kornea. Sitokin dan berbagai growth faktor akan mempengaruhi stem sel
di limbus sehingga terjadi perubahan sel fibroblast endotel dan epitel
yang akhirnya akan menimbulkan pterigium.

Beberapa penelitian juga memberikan hasil yang serupa dimana radiasi sinar
UV akan menyebabkan mikro trauma yang menyebabkan timbulnya lesi
inflamasi. Gen p53 diduga memegang peranan utama dalam patogenesis
pterigium, sedangkan faktor lain seperti debu, angin, panas, dan kekeringan

15
merupakan faktor yang sekunder. Keseluruhan faktor ini akan menyebabkan
kerusakan lapisan lemak pada lapisan air mata yang akan menyebabkan
meningkatnya penguapan dan kekeringan konjugtiva (dellen). Dellen akan
merangsang timbulnya respon sikatriks disertai dengan proliferasi dari jaringan
konjungtiva yang mengalami inflamasi .
Proliferasi sel, inflamasi, modifikasi jaringan konjungt iva, dan
angiogenesis dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor pertumbuhan seperti FGF,
PDGF, TGF, dan TNF-. Peranan angiogenesis juga dijumpai pada patogenesis
pterigium dimana dijumpai adanya peningkatan ketebalan pembuluh darah mikro
dan dijumpai kadar VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang meningkat
pada pterigium dibandingkan dengan konjugtiva normal.

2.5 Manifestasi Klinis5


Pasien biasanya mengeluhkan adanya iritasi ringan dengan keluhan mata
merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini dapat diperparah
dengan adanya peradangan akut pada pterigium. Selain gejala ini, pasien juga
mengeluhkan masalah kosmetik.
Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular
berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai
kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari
jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang
merupakan tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker. Pada umumnya
jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik dan biasanya terletak di nasal
(Zwerling).
Pada keadaan ringan pterigium dapat menyebabkan kekaburan pandang yang
ringan yang dapat diobati menggunakan kaca mata. Pterigium yang lebih dari 3
mm dapat menimbulkan sedikit astigmat yang masih dapat dikoreksi. Pterigium
yang lebih dari 3.5 mm berarti telah mencapai setengah bahkan menyinggung
pupil pada kornea yang biasanya berukuran 11-12 mm. Biasanya dapat
menyebabkan astigmat lebih dari 1 dioptri dan menyebabkan mata kabur dan
tidak dapat di koreksi lagi, seiring dengan meluasnya pterigium maka astigmat
akan semakin berat.

16
Derajat keparahan pterigium dinilai berdasarkan lokasinya dan
keterlibatannya dengan kornea, yaitu2:
1. Grade 0, tidak ada pterigium
2. Grade 1, kepala pterigium mengenai limbus
3. Grade 2, kepala pterigium antara limbus dengan batas pupil
4. Grade 3, kepala pterigium mengenai batas pupil
5. Grade 4, kepala pterigium menutupi pupil.

2.6 Diagnosis5
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah,gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu
juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang
tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran
yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan
flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapt pula ditemukan pterigium pada
daerah temporal.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.

2.7 Diagnosis Banding5


Pterigium harus dapat dibedakan dengan pseudopterigium. Pseudopterigium
terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan
pterigium, dimana pada pseudopterigium terdapat adhesi antara konjungtiva yang
sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera

17
kimiawi dan termal. Pseudopterigium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda.
Penanganan pseudopterigium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan
konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva
yang berasal dari aspek temporal.
Selain itu pterigium juga didagnosis banding dengan pinguekulum yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

2.8 Tatalaksana6
Sampai saat ini belum ditemukan penanganan medis dan bedah yang optimal
untuk pterigium. Tatalaksana awal yang digunakan biasanya konservatif, yaitu:
1. Mencegah mata kering dengan lubrikasi
2. Penggunakan obat pelindung mata.
Pengobatan dengan menggunakan dekongestan lokal, NSAID, ataupun
steroid dapat mengurangi gejala akan tetapi sebaiknya dihindari karena pterigium
merupakan penyakit kronis yang tidak dapat dicegah dengan obat- obatan ini dan
efek samping yang dihasilkan cukup besar. Indikasi dilakukan pembedahan
adalah sebagai berikut :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :


1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
5. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
6. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

18
7. Masalah kosmetik
Pembedahan pterigium terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu teknik bare sclera
excision, excision with conjunctival closure/transposition, excision with
antimitotic adjunctive therapies, danocular surface transplantation technique.5
1. Teknik Bare Sclera Excision
Teknik ini dilakukan dengan cara eksisi kepala dan badan pterigium
sampai ke region kantus nasal, dan sklera dibiarkan terpapar untuk
mengalami re-epiteliasasi. Meskipun memiliki tingkat kesuksesan yang
tinggi, teknik ini memiliki tingkat rekurensi yang tinggi sehingga tidak
lagi disarankan untuk dipakai baik untuk pterigium primer ataupun
rekuren.
2. Teknik Excision with conjunctival clusore/transposition
Teknik ini mirip dengan teknik sebelumnya, hanya saja pada teknik
ini dilakukan penutupan bekas luka pada konjungtiva baik dengan
aproksimasi sederhana ataupun dengan flap rotational. Teknik ini
memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi.
3. Teknik Excision with adjunctive medical theraphy
Teknik ini menggunakan terapi tambahan setelah dilakukan eksisi
pterigium, yaitu dengan radiasi Beta dan Mitomycin C (MMC).
Penggunaan radiasi akan menghambat pembelahan sel, akan tetapi dapat
menimbulkan komplikasi yang cukup serius seperti sel-sel mata yang
dapat menjadi nekrosis. MMC merupakan antibiotik dan agen anti
kanker yang menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein. Dosis yang
biasa dipakai adalah MMC topical 0.02% setelah eksisi pterigium 2x
sehari selama 5 hari. Untuk mengurangi komplikasi dan toksisitas pada
penggunaan MMC maka beberapa penelitian menyarankan untuk
memakai MMC 1x intraoperatif.
4. Teknik Ocular Surface Transplantation
Konsep dasar teknik ini adalah konsep bahwa pterigium merupakan
penyakit permukaan mata yang bersifat lokal sehingga dapat dilakukan
transplantasi dari jaringan permukaan mata lain (Lee and Slomovic,
2004). Autograft dari konjungtiva merupakan prosedur pilihan untuk
pterigium primer dan dilakukan bersamaan dengan pemberian MMC
pada kasus yang rekuren. Teknik ini merupakan teknik yang aman dan

19
efektif, serta merupakan gold standard terhadap seluruh operasi
pterigium serta memberikan hasil kosmetik yang baik. Autograft dari
konjungtiva lumbal didasari dengan adanya teori defisiensi stem sel
limbus yang menyebabkan pterigium sehingga teknik ini disarankan
menjadi modalitas dalam penatalaksanaan.
Prosedurnya mirip dengan autograft konjungtiva hanya saja
transplantasi mencakup epitel limbus sehingga stem sel limbus dari
epitel tersebut dapat merangsang epitelisasi. Transplantasi dari
membrane amnion dapat digunakan sebagai membran dasar pada
pencangkokan, dimana penelitian menunjukkan terjadinya penurunan
kekambuhan dan penurunan fibrosis pada jaringan mata setelah operasi.
Teknik ini memberikan hasil dan kosmetik yang baik.

2.9 Komplikasi dan Prognosis5,6


Komplikasi dari pterigium antara lain :
1. Distorsi dan/atau penurunan penglihatan
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Parut pada konjungtiva dan kornea
5. Diplopia akibat keterlibatan otot ekstraokular yang akan menghambat
pergerakan bola mata. Pada pasien yang belum menjalani operasi, parut
pada rektus media merupakan penyebab tersering.
Komplikasi pasca operatif:
1. Infeksi
2. Reaksi alergi terhadap bahan jahit
3. Diplopia
4. Tidak bersatunya graft konjungtiva
5. Parut konrea
6. Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata, perdarahan
vitreus, atau retinal detachment
Komplikasi jangka panjang post operasi dengan radiasi beta adalah
penipisan kornea dan/atau sklera atau disebut juga ektasia yang dapat timbul
tahunan setelah operasi. Komplikasi tersering operasi pterigium adalah
kekambuhan post operasi, dimana eksisi sederhana memilki tingkat

20
kekambuhan 50-80%. Akan tetapi tingkat kekambuhan telah menurun hingga 5-
15% dengan teknik autograft konjungtiva/limbal atau dengan transplantasi
membrane amnion.
Prognosis visual dan kosmetik setelah eksisi pterigium termasuk baik.
Prosedur dapat ditoleransi oleh pasien dan selain rasa tidak nyaman beberapa
hari post operasi, sebagian besar pasien dapat menjalankan aktivitas semula
dalam 48 jam post operasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat diterapi
dengan berbagai teknik operasi.

2.10 Pencegahan
Berdasarkan patogenesis yang menyatakan bahwa penyebab utama pterigium
adalah paparan sinar UV, maka pencegahan pterigium yang utama adalah dengan
meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi pasien merupakan pencegahan
utama untuk pterigium. Pasien di edukasi mengenai pemakaian topi dan kacamata
dengan lensa yang dilapisi untuk mencegah masuknya sinar UV ke mata. Edukasi ini
sangat penting terutama pada individu yang tinggal atau beraktivitas di daerah tropis
dan subtropis dan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti nelayan, petani, pekerja
bangunan, dan lain-lain.5

3. Kelainan Refraksi1,7
Berikut adalah bagian mata yang memegang peranan pembiasan sinar pada
mata :
a. Kornea
Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan
difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dan sifatnya yang
transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang
masuk 80% atau dengan kekuatan 40 Dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh
kornea ini. Indeks bias kornea adalah 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai
kekuatan yang berkekuatan sebagai lensa hingga 40 dioptri.
b. Iris
Iris merupakan bagian yang berwarna pada mata. Iris menghalangi sinar msuk
ke dalam mata dengan cara mengatur jumlah sinar masuk ke dalam pupil
melalui besarnya pupil.

c. Pupil

21
Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar
masuk kedalam mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil diserap
sempurna oleh jaringan dalam mata. Tidak ada sinar yang keluar melalui pupil
sehingga pupil akan berwarna hitam. Ukuran pupil dapat mengatur refleks
mengecil atau membesarkan untuk jumlah masuknya sinar. Pengaturan jumlah
sinar masuk ke dalam pupil diatur secara refleks.

Pada penerangan yang cerah pupil akan mengecil untuk mengurangi rasa
silau. Pada tepi pupil terdapat m.sfingter pupillae yang bila
berkontraksi akan mengakibatkan mengecilnya pupil (miosis). Hal ini
terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau dan pada saat
berakomodasi. Selain itu, secara radier terdapat m.sfingter dilatator
pupillae yang bila berkontraksi akan mengakibatkan membesarnya pupil
(midriasis). Midriasis terjadi ketika berada di tempat gelap atau pada waktu
melihat jauh.

d. Badan Siliar
Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan untuk
akomodasi dan menghasilkan cairan mata. Di dalam badan siliar didapatkan
otot akomodasi dan mengatur besar ruang intertrabekula melalui insersi otot
pada scleral spur.

e. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam
mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak dibelakang iris
yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang menebal
dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Lensa yang jernih ini mengambil
peranan membiaskan sinar 20% atau 10 dioptri. Peranan lensa yang terbesar
adalah pada saat melihat dekat atau berakomodasi.

f. Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya dan terletak dibelakang pupil. Retina akan
meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai
rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal.

g. Saraf Optik

22
Saraf optik yang keluar dari polus bola mata membawa 2 jenis serabut saraf,
yaitu : saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Saraf penglihat meneruskan
rangsangan listrik dari mata ke korteks visual untuk dikenali bayangannya.

Secara keseluruhan status refraksi mata ditentukan oleh :


1. Kekuatan kornea (rata-rata 43 D)
2. Kedalaman camera oculi anterior (rata-rata 3,4 mm)
3. Kekuatan lensa kristalina (rata-rata 21 D)
4. Panjang aksial (rata-rata 24 mm)
Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak terbentuk pada
retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik
pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal, kornea
dan lensa akan membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina.
Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjang bola
mata. Pada kelainan refraksi, sinar dibiaskan di depan atau di belakang macula lutea.
Ametropia adalah keadaan di mana pembiasan mata dengan panjang bola mata yang
tidak seimbang. Ametropia dapat disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang
tidak normal (ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal di dalam mata
(ametropia indeks). Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia,
hipermetropia, dan astigmatisme. Bentuk-bentuk ametropia :

1. Ametropia aksial

Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih
pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Pada
miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan
pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di belakang retina.

2. Ametropia refraktif

23
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya
bias kuat, maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias
kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia
refraktif).

3. Ametropia kurvatura

Ametropia yang terjadi karena kecembungan kornea atau lensa yang tidak
normal. Pada miopia kurvatura kornea bertambah kelengkungannya seperti pada
keratokonus. Sedangkan pada hipermetropia kurvatura lensa dan kornea lebih kecil
dari kondisi normal.1,5

3.1 Fisiologi penglihatan normal


Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. :
1) Pembiasan sinar/cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui
perantaraan yang berbeda kepadatannya dengan kepadatan udara, yaitu
kornea, humor aqueous , lensa, dan humor vitreus.
2) Akomodasi lensa, yaitu proses lensa menjadi cembung atau cekung,
tergantung pada objek yang dilihat itu dekat atau jauh.
3) Konstniksi pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat
di retina sehingga penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila
cahaya yang terlalu terang memasukinya atau melewatinya, dan ini
penting untuk melindungi mata dari paparan cahaya yang tiba-tiba atau
terlalu terang.
4) Pemfokusan, yaitu pergerakan kedua bola mata sedemikian rupa
sehingga kedua bola mata terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.

3.1 Astigmatisma

Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan
tajam pada retina tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang
terjadi akibat kelainan kelengkungan kornea. Pada mata dengan astigmat
lengkungan jari jari meridian yang tegak lurus padanya.

Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta


sampai 2,3 milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan

24
pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di
Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.

Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal


umur, negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor
lainnya. Prevalensi miopia bervariasi berdasar negara dan kelompok etnis,
hingga mencapai 70-90% di beberapa negara. Sedangkan menurut Maths
Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian astigmat
bervariasi antara 30%-70%

Pada mata astigmatisma, sinar yang masuk mata tidak difokuskan pada
satu titik. Penyebabnya dapat :1

1. Kongenital :
adanya kelainan pada curvatura cornea
letak lensa sedikit oblique atau agak decentring
2. Didapat, misal oleh karena :
trauma
pasca bedah EKEK
adanya pterigium
3.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi astigmat berdasarkan faktor penyebab

1. Astigmat kornea

Yaitu astigmat yang disebabkan oleh adanya perbedaan kelengkungan


dari kedua meredian di kornea. Kebanyakan kornea mengalami
astigmat with-the-rule. Tingkat astigmat kornea dapat ditentukan
dengan menggunakan keratometer.

2. Astigmat internal

25
Yaitu astigmat yang disebabkan oleh adanya perbedaan kelengkungan
atau torisitas (perbedaan kelengkungan pada meredian yang berbeda)
dari permukaan belakang kornea dan lensa. Tipe ini adalah lebih jarang
dari astigmat kornea. Tidak ada metode klinikal untuk mengukur
astigmat internal.

3. Astigmat total (refraktif)

Yaitu astigmat yang ditentukan oleh refraksi objektif (retinoskopi) atau


refraksi subjektif. Astigmat total terdiri dari kedua-dua astigmat kornea
dan astigmat internal. Oleh karena itu, astigmat internal dapat
ditentukan dengan menggunakan formula: Astigmat internal =
Astigmat total astigmat kornea.

Klasifikasi astigmat berdasarkan titik fokal cahaya


1. Astigmat irregular

Karena adanya irregularitas pada bidang meridian curvatura sehingga


tidak ada satu bentuk geometri yang dianut. Contoh: akibat cicatrix
cornea

2. Astigmat reguler

Apabila dijumpai dua bidang meridian utama yang saling tegak lurus
sehingga dapat dikoreksi.

Klasifikasi astigmat reguler :

Simplex : satu garis fokus jatuh di retina, sedang yang lain di


luar retina. Jika salah satu fokus jatuh di depan retina disebut
miopicus simplex, jika salah satu fokus jatuh di belakang retina
disebut hypermetropicus simplex.

Compositus : bila kedua fokus jatuh di luar retina tetapi tidak


pada satu titik/bidang, bisa didepan retina (myopicus
compositus) atau di belakang retina (hipermetropicus
compositus)

26
Mixtus : bila salah satu fokus jauh di depan retina dan yang lain
dibelakang retina.

Klasifikasi astigmat regular berdasarkan letak atau posisi principal


meredian

Astigmatisma with the rule

Disebut astigmat with the rule bila meridian vertical lebih


curam, koreksi lensa silinder plus pada axis 90 0 (vertical).
Astigmat ini sering terjadi pada anak-anak.

Astigmatisma against the rule

Astigmat against the rule, bila meridian horisontal lebih


curam, koreksi lensa silinder plus pada axis 1800, untuk
lensa silinder minus sebaliknya.

Dikenal pula astigmat yang oblique (oblique astigmatism)


yaitu astigmat reguler yang meridian utamanya tidak pada
1800 atau 900.

Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri :

1) Astigmatismus Rendah

Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri.


Biasanya astigmatis-mus rendah tidak perlu menggunakan
koreksi kacamata. Akan tetapi jika timbul keluhan pada
penderita maka koreksi kacamata sangat perlu diberikan.

2) Astigmatismus Sedang

Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75


Dioptri s/d 2,75 Dioptri. Pada astigmatismus ini pasien
sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.

27
3) Astigmatismus Tinggi

Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri.


Astigmatismus ini sangat mutlak diberikan kacamata
koreksi.

Gejala dan keluhan (sign dan symptom) pada penderita astigmatisma :

1. penglihatan kabur, salah melihat huruf atau angka


2. melihat benda bulat menjadi lonjonga
3. melihat ganda dengan satu ataupun kedua mata
4. pusing, sakit sekitar mata
5. mata pegal dan cepat lelah
6. untuk melihat sering mengecilkan celah kelopak mata
7. kadang dijumpai head tilt
Diagnosa astigmatisma ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan subjektif
seperti trial and error technique, fogging technique (pengaburan dengan lensa
spheris positif), dan silinder silang. Pemeriksaan objektif dapat dilakukan
retinoskopi garis, refraktometri, skiaskopi.

Terapi astigmatisma dilakukan optical correction dengan memberikan lensa


silindris yang sering dikombinasikan dengan lensa spheris. Pembendahan
untuk memperbaiki astigmatisma antara lain :

1. Arcuate keratotomy
2. PRK (Photo Refractive Keratectomy)
3. Lasik
4. Operasi lensa dengan mengganti lensa dengan toric lensa buatan
3.2 Presbiopi
3.2.1 Definisi
Makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan
makin meningkatnya umur.7 Kelainan ini terjadi pada mata normal berupa
gangguan perubahan kencembungan lensa yang dapat berkurang akibat
berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. 6.

28
Berikut ini gambar ilustrasi pembentukan bayangan pada penderita
presbiopia.

Gambar 11. Skema Presbiopi5

Terjadi kekakuan lensa seiring dengan bertambahnya usia, sehingga


kemampuan lensa untuk memfokuskan bayangan saat melihat dekat.
Hal tersebut menyebabkan pandangan kabur saat melihat dekat. 6

3.2.2 Epidemiologi

Prevalensi presbiopi lebih tinggi pada populasi dengan usia


harapan hidup yang tinggi. Karena presbiopi berhubungan dengan usia
prevalensinya berhubungan langsung dengan orang-orang lanjut usia
dalam populasinya.
Walaupun sulit untuk melakukan perkiraan insiden presbiopi
karena onsetnya yang lambat, tetapi bisa dilihat bahwa insiden tertinggi
presbiopi terjadi pada usia 42 hingga 44 tahun. Studi di Amerika pada
tahun 1955 menunjukkan 106 juta orang di Amerika mempunyai
kelainan presbiopi. Faktor resiko utama bagi presbiopi adalah
usia,walaupun kondisi lain seperti trauma, penyakit sistemik, penyakit
kardiovaskular, dan efek samping obat juga bisa menyebabkan
presbiopi dini. 1

3.2.3 Etiologi

29
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat :

a) Kelemahan otot akomodasi


b) Lensa mata yang tidak kenyal atau berkurang
elastisitasnya akibat sclerosis lensa
3.2.4 Patofisiologi

Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan


daya refraksi mata karena adanya perubahan keseimbangan antara
elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung.
Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis)
dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi cembung, dengan
demikian kemampuan melihat dekat makin berkurang. 7

3.2.5 Klasifikasi

a. Presbiopi insipient yaitu tahap awal perkembangan


presbiopi, dari anamnesa didapati pasien memerlukan kacamata
untuk membaca dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan
tes, dan pada pasien biasanya akan menolak preskripsi kacamata
baca
b. Presbiopi fungsional yaitu amplitudo akomodasi yang
semakin menurun dan akan didapatkan kelainan ketika
diperiksa
c. Presbiopi absolut yaitu peningkatan derajat presbiopi dari
presbiopi fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak
terjadi sama sekali.
d. Presbiopi premature yaitu presbiopi yang terjadi dini
sebelum usia 40 tahun dan biasanya berhubungan dengan
lingkungan, nutrisi, penyakit, obat-obatan.
e. Presbiopi nocturnal yaitu kesulitan untuk membaca jarak
dekat pada kondisi gelap disebabkan dengan peningkatan
diameter pupil.

3.2.6 Manifestasi Klinis

30
Setelah membaca, mata menjadi merah, berair dan sering terasa
pedih. Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika
membaca terlalu lama.
Membaca dengan cara menjauhkan kertas yang dibaca karena
tulisan tampak kabur pada jarak baca yang biasa
Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di
malam hari
Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca
Terganggu secara emosional dan fisik

3.2.7 Diagnosis

1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda presbiopi


2. Pemeriksaan oftalmologi
a. Visus, dimana pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi
presbiopi dengan menggunakan snellen chart
b. Refraksi, memeriksa mata satu per satu, mulai dengan
mata kanan. Pasien diminta untuk memperhatikan kartu
Jaeger dan menentukan kalimat terkecil yang bisa
dibaca pada kartu. Target koreksi pada huruf sebesar
20/30
c. Motilitas ocular, penglihatan binocular, dan akomodasi
termasuk pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes
tutup-buka, tes Hirschberg, amplitud dan fasilitas
akomodasi dan steoreopsis
d. Penilaian kesehatan ocular dan skrining kesehatan
umum untuk mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa
menyebabkan presbiopi
e. Pemeriksaan ini termasuk reflex cahaya pupil, tes
konfrontasi, penglihatan warna, tekanan intraocular, dan
pemeriksaan menyeluruh tentang kesehatan segmen
anterior dan posterior dari mata dan adnexa nya.
Biasanya pemeriksaan dengan ophtalmoskopi indirect
untuk mengevaluasi segmen mendia dan posterior.
3.2.8 Penatalaksanaan1,5

3. Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopi. Tujuan koreksi adalah


untuk mengompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-
objek yang dekat.

31
4. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahkan dengan lensa positif
sesuai usia dan hasil pemeriksaan subyektif sehingga pasien mampu
membaca tulisan pada kartu Jaeger 20/30
5. Karena jarak biasanya 33 cm, maka adisi +3,00 D adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan
yang dibaca terletak pada titik focus lensa +3,00 D.

Usia (tahun) Kekuatan Lensa Positif yang dibutuhkan


40 Tahun +1,00 D
45 Tahun +1,50 D
50 Tahun +2,00 D
55 Tahun +2,50 D
60 Tahun +3,00 D

Selain kacamata untuk kelainan presbiopi saja, ada beberapa jenis lensa lain
yang digunakan untuk mengoreksi berbagai kelainan refraksi yang ada
bersamaan dengan presbiopi, ini termasuk :
a. Bifokal, untuk mengoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bisa yang
mempunyai garis horizontal atau yang progresif
b. Trifocal, untuk mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh. Bisa
yang mempunyai garis horizontal atau yang progresif.
c. Bifocal kontak, untuk mengoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bagian
bawah adalah untuk membaca. Sulit dipasang dan kurang memuaskan
hasil koreksinya
d. Monovision kontak, lensa kontak untuk melihat jauh di mata dominan,
dan lensa kontak untuk melihat dekat pada mata non-dominan. Mata
yang dominan umumnya adalah mata yang digunakan untuk focus
pada kamera untuk mengambil foto.
e. Monovision modified, lensa kontak bifocal pada mata non-dominan
dan lensa kontak untuk melihat jauh pada mata dominan. Kedua mata
digunakan untuk melihat jauh dan satu mata digunakan untuk
membaca.
f. Pembedahan, refraktif seperti keratoplasti konduktif LASIK, LASEK
dan karatektomi fotorefraktif.

32
BAB III

PEMBAHASAN

1. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai Pterigium grade II?


Pasien ini saya diagnosa dengan Pterygium Grade II OS berdasarkan dari
anamnesa didapatkan keluhan penglihatan mata kiri terasa ada yang menghalangi
sejak 5th yang lalu. Pasien merasa penglihatannya kurang terutama jika terkena
angin, debu, dan sinar matahari. Keluhan disertai dengan mata sering perih, gatal, dan
berair. Dari pemeriksaan, didapatkan kelainan pada kedua mata, yaitu:

Mata kanan (OD) : visus 0.5 ; Kornea jernih, lensa jernih


Mata kiri (OS) : visus 0.3 ; Kornea jernih, lensa jernih , terdapat
jaringan fibrovaskular pada konjungtiva.
2. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai Astigmatisme Myopia Compositus
ODS + Presbiopia ?
Pasien ini saya diagnosa dengan Astigmatisme Myopia Compositus ODS +
Presbiopia berdasarkan dari anamnesa didapatkan keluhan kedua matanya terasa
buram sejak 3th yang lalu. Pasien mengeluh sulit melihat jarak jauh dan jarak

33
dekat saat membaca, dan sering merasa pandangannya berbayang. Keluhan ini juga
disertai dengan kepala sering terasa pusing, mata cepat lelah, dan sering menyipitkan
mata saat melihat jarak jauh. Dari pemeriksaan, didapatkan kelainan pada kedua
mata, yaitu:
Mata kanan (OD) : visus 0.5 ; Kornea jernih, lensa jernih
Mata kiri (OS) : visus 0.3 ; Kornea jernih, lensa jernih , terdapat
jaringan fibrovaskular pada konjungtiva.

Visus OD OS
SC 0.5 0.3
CC - -
STN - 1.0
0
Koreksi S -1.00 C -0.50 180 1.0 C -2.50 500
ADD +2.25 +2.25
Posisi Bola Mata Ortotropia Ortotropia

3. Bagaimana Penatalaksanaan pada Pasien ini?


Pengobatan pterygium dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan
bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme.
Medikamentosa

Lubrikan (Sodium carboxymetylsellulose ed 3 x gtt 1 OS)


Vasokontriktor ( Pheniramine Maleat ed 3 x gtt 1 OS)
Non Medikamentosa

Pro operasi pterygium + graft conjunctiva bulbi OS.


Pada pasien ini akan dilakukan operasi pterygium pada mata kiri karena pada
pasien terjadi astigmatisme.
Edukasi
Memakai kacamata pelindung saat bekerja maupun di perjalanan saat
mengendarai motor
Menghindari/mengurangi paparan sinar yang terlalu terang
Menggunakan kacamata koreksi hanya dilepas saat tidur dan mandi.

34
4. Bagaimana Prognosis Pasien ini?

Quo Ad Vitam : Ad Bonam


Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam

Prognosis Quo ad Vitam pasien ad bonam karena pada pasien tidak


ditemukannya penyakit mata lain maupun penyakit sistemik yang menyertai
keluhan pasien dan pasien masih dapat melakukan aktivitasnya seperti biasa.
Dan Quo ad Fungsionam pasien Dubia ad Bonam karena karena setelah
dilakukan operasi dan konjungtiva graft, prognosisnya akan baik namun pada
beberapa kasus rekurensi dapat terjadi dan jaringan fibrovaskular dapat
tumbuh lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, et al. 2010. Oftalmologi Umum. Jakarta : EGC. Edisi 17.


2. Ming, Arthur.,Costable.,Wong T. (2004). Colour Atlas of Opthalmology (5th ed).
Singapore: World Scientific Publishing.
3. Hartono, Hernowo AT, Sasongko AB. (2007). Anatomi mata dan fisiologi
penglihatan. Dalam: Ilmu Kesehatan Mata (pp. 301,481) . Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada.
4. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
5. Sherwin, Justin C., The Association Between Pterygium and Conjunctival Ultraviolet
Autofluorescence : The Norfolk Island Eye Study. Apta Ophthamologica.
Philadhelpia. 2013. Page 363-370.
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI; 2014.
7. Tasman, W and Jaeger, E.A. Pathology of Conjunctiva. In : Duanes
Ophtalmology. New York : Lippincott William and Wilkins. 2007
8. McCaa, Connie S. The Eye and Visual Nervous System: Anatomy, Physiology and
Toxicology. Environmental Health Perspectives Vol. 44, pp. 1-8, 1982

35
9. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11 th ed. Philadelphia :
W.B. Saunders Company ; 2006.

36

Anda mungkin juga menyukai