Case Report Mata Yuni
Case Report Mata Yuni
Disusun oleh:
(1102011300)
Preseptor:
BAB I
0
STATUS PASIEN
Nama : Ny. D
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 11 Juli 2017
Keluhan Utama :
Penglihatan mata kiri terasa ada yang menghalangi.
Anamnesa Khusus :
Pasien perempuan berusia 51 tahun datang ke Poli Mata Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Slamet Garut dengan keluhan penglihatan terasa ada yang menghalangi pada mata kiri
5th SMRS. Pasien merasa penglihatannya kurang terutama jika terkena angin, debu, dan sinar
matahari. Keluhan disertai dengan mata sering perih, gatal, dan berair. Pasien juga mengeluh
kedua matanya terasa buram sejak 3th yang lalu. Pasien mengeluh sulit melihat jarak jauh
dan jarak dekat saat membaca, dan sering merasa pandangannya berbayang. Keluhan ini juga
disertai dengan kepala sering terasa pusing, mata cepat lelah, dan sering menyipitkan mata
saat melihat jarak jauh.
Riwayat nyeri pada mata disangkal, riwayat trauma ataupun infeksi pada kedua mata
sebelumnya juga disangkal oleh pasien. Pasien tidak mempunyai riwayat memakai kacamata
sebelumnya. Riwayat hipertensi disangkal. Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan
pasien mengakui sering terpapar sinar matahari langsung.
Anamnesa Keluarga
1
Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini
Riwayat Gizi
Pasien mengaku makan sebanyak satu sampai dua kali sehari. Pasien mengaku tidak memiliki
gangguan nafsu makan. Sehari-hari pasien makan dengan nasi menggunakan ikan serta tempe
ataupun tahu, dan mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang cukup. Pasien juga jarang sekali
mengkonsumsi buah buahan.
III. PEMERIKSAAN
1. Status Oftalmologis
PEMERIKSAAN VISUS DAN REFRAKSI
Visus OD OS
SC 0.5 0.3
CC - -
STN - 1.0
Koreksi S -1.00 C -0.50 1800 1.0 C -2.50 500
ADD +2.25 +2.25
Posisi Bola Mata Ortotropia Ortotropia
Gerakan bola mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah
00 0
0
0 0
0 0
0 0
PEMERIKSAAN EKSTERNAL
OD OS
Jernih Jernih
OD OS
Palpebra Superior Tenang Tenang
Palpebra Inferior Tenang Tenang
Margo Palpebra Tenang Tenang
Silia Tumbuh teratur , Tumbuh teratur,
madarosis (-), Trikiasis (-) madarosis (-),Trikiasis (-)
Ap. Lakrimalis Refluks (-) Refluks (-)
Konj. Tarsalis Tenang Tenang
Superior
Konj. Tarsalis inferior Tenang Tenang
Konj. Bulbi Tenang Jaringan fibrovaskular
melewati limbus tidak
mencapai pupil
Kornea Jernih Jaringan fibrovaskular
melewati limbus
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokor Bulat, sentral, isokor
Diameter pupil 3 mm 3 mm
Refleks cahaya
Direct + +
Indirect + +
Iris Coklat, Kripti (+), Sinekia (-) Coklat, Kripti (+), Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih
OD OS
OD OS
Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur
Konjungtiva Tenang Jaringan Fibrovasskular
melewati limbus tidak mencapai
pupil
Kornea Jernih Jaringan Fibrovaskular melewati
limbus
3
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokor Bulat, sentral, isokor
Iris Warna coklat, Kripti (+), Warna coklat, Kripti (+),
Sinekia (-) Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih
Tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Palpasi Normal Normal
PEMERIKSAAN FUNDUSCOPY
OD OS
OD OS
Jernih Lensa Jernih
+ Reflek Fundus +
Bulat, batas tegas, Fundus Bulat, batas tegas, kekuningan
kekuningan
Normal Papil Normal
0.3-0.4 CD Ratio 0.3-0.4
2:3 A/V Retina Sentralis 2:3
Normal Retina Normal
Normal Makula Normal
Status Oftalmologi
4
OD OS
Visus 0.5 0.3
Gerakan Bola Mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah
Kornea Jernih Jaringan Fibrovaskular
melewati limbus
Konj. Bulbi Tenang Jaringan Fibrovaskular
melewati limbus tidak
mencapai pupil
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokor Bulat, sentral, isokor
Iris Warna cokelat, kripti (+), Warna cokelat, kripti (+),
Sinekia (-) Sinekia (-)
Lensa Jernih Jernih
Shadow Test (-) (-)
Tonometri Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
Refleks Fundus (+) (+)
5
4. Hindari membaca dengan jarak terlalu dekat
X. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konjungtiva
1.1 Anatomi Makroskopis1
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).1
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus. Sesuai dengan
namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari
kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan
inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks
inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial
yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura
palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial
konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan
plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral,
forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.1
7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra1,3
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis
bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva
melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra
dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.
Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga
konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi
antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal
konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang
melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan
translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan
perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.
Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana
reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi1,3
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat
sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat
divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke
segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler
rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus,
konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Tarsalis1,3
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat
pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
8
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya
bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas
bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
9
untuk kemudian kembali memulai siklus sekretorisnya atau berdeskuamasi dan
digantikan oleh sel yang lain.
Fungsi musin4 :
1. Musin berperan penting dalam menjaga integritas permukaan okular oleh
karena ia melapisi dan melindungi sel epitel. Musin bekerja dengan jalan
mengurangi tegangan permukaan tear film untuk menjaga stabilitasnya.
2. Musin berperan dalam mempertahankan imunitas lokal dengan menjadi
medium tempat immunoglobulin (IgA) dan lisosim mikrobisidal melekat.
3. Musin juga berperan dalam mekanisme pembersihan mata dengan jalan
mengikat debris sel, benda asing, dan bakteri. Saat mata berkedip, ikatan
ini akan bergerak ke arah kantus medial, untuk kemudian dikeluarkan ke
kulit.
4. Musin juga berperan saat terjadi respon inflamasi oleh karena ia memiliki
sistem produksi superoksida.
2. Pterygium5,6
2.1 Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya
bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex
menghadap kesentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada
cantus.5
2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah
<37.0 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di
daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40.0.5
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36 . Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
10
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterigium.
Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren
sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan diluar rumah.
2.3 Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterigium.6
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium merupakan
suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak
angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di
lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.6
2.4 Klasifikasi6
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari
kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
11
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan
zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai
kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.
12
Gambar 7. Stadium I Pterygium2 Gambar 8. Stadium II Pterygium2
13
Terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis dari
penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup7 :
1. Paparan terhadap sinar UV
Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan terjadinya
perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan produksi dari
interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNF. Selain itu,
terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan
pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih
tinggi daripada tissue inhibitors (Feng, et al. 2010). Beberapa teori
menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi dari supresor
gen tumor TP53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada epitel
limbus.
Sinar UV menyebabkan mutasi pada gen tumor suppressor TP53
yang sensitif terhadap sinar UV di sel basal limbus dan gen elastin di
epitel limbus. Dikarenakan adanya mutasi pada gen tersebut, maka
otomatis akan tejadi gangguan pada kematian sel. Gangguan apoptosis
ini menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen yang lain sehingga
terbentuk pterigium dan sel tumor limbus yang melapisi pinguikula dari
fibroblast dan menghasilkan berbagai matrix metalloproteinase (MMP).
Mutasi pada gen TP53 juga menghasilkan TGF-B sehingga
disebutkan bahwa pterigium merupakan tumor penghasil TGF-B dimana
sekresi berlebihan dari TGF-B bahkan menimbulkan berbagai perubahan
jaringan dan ekspresi dari MMP. Awalnya sel pterigium menghasilkan
MMp-2, MMp-9, MT1-MMp, dan MT2-MMP yang akan menyebabkan
kerusakan ikatan hemidesmosom dan terjadi penyebaran pterigium ke
segala arah yang akibat produksi TGF-B, jaringan di sekitar pterigium
memiliki lapisan sel yang lebih tipis.
Pada saat sel pterigium mencapai kornea, maka MMP akan
menghancurkan membran bowman serta TGF-B yang akan
menyebabkan peningkatan monosit dan kapiler dalam epitel. Kemudian,
terdapat sel fibroblast yang terletak di ujung epitel limbus untuk
menghasilkan MMP-1 dan MMP-3 yang membantu dalam
penghancuran membran bowman. Fibrobalst ini akan diaktifasi oleh
14
TGF-B dan sitokin-sitokin untuk bermigrasi ke membran basal kornea
dan membentuk pulau-pulau fibroblast.
Radiasi sinar UV tidak hanya berperan secara langsung tetapi juga
secara tidak langsung melalui pembentukan radikal bebas (ROS). ROS
merusak protein, lipid, dan DNA sel melalui proses stress oksidatif. ROS
juga dapat menginduksi pembentukan cyclooxygenase2 (COX-2). Baik
ROS maupun COX-2 memiliki peranan penting didalam pembentukan
pterigium dan kanker kulit lainnya.7
Beberapa penelitian juga memberikan hasil yang serupa dimana radiasi sinar
UV akan menyebabkan mikro trauma yang menyebabkan timbulnya lesi
inflamasi. Gen p53 diduga memegang peranan utama dalam patogenesis
pterigium, sedangkan faktor lain seperti debu, angin, panas, dan kekeringan
15
merupakan faktor yang sekunder. Keseluruhan faktor ini akan menyebabkan
kerusakan lapisan lemak pada lapisan air mata yang akan menyebabkan
meningkatnya penguapan dan kekeringan konjugtiva (dellen). Dellen akan
merangsang timbulnya respon sikatriks disertai dengan proliferasi dari jaringan
konjungtiva yang mengalami inflamasi .
Proliferasi sel, inflamasi, modifikasi jaringan konjungt iva, dan
angiogenesis dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor pertumbuhan seperti FGF,
PDGF, TGF, dan TNF-. Peranan angiogenesis juga dijumpai pada patogenesis
pterigium dimana dijumpai adanya peningkatan ketebalan pembuluh darah mikro
dan dijumpai kadar VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang meningkat
pada pterigium dibandingkan dengan konjugtiva normal.
16
Derajat keparahan pterigium dinilai berdasarkan lokasinya dan
keterlibatannya dengan kornea, yaitu2:
1. Grade 0, tidak ada pterigium
2. Grade 1, kepala pterigium mengenai limbus
3. Grade 2, kepala pterigium antara limbus dengan batas pupil
4. Grade 3, kepala pterigium mengenai batas pupil
5. Grade 4, kepala pterigium menutupi pupil.
2.6 Diagnosis5
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah,gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu
juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang
tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran
yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan
flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapt pula ditemukan pterigium pada
daerah temporal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
17
kimiawi dan termal. Pseudopterigium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda.
Penanganan pseudopterigium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan
konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva
yang berasal dari aspek temporal.
Selain itu pterigium juga didagnosis banding dengan pinguekulum yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.
2.8 Tatalaksana6
Sampai saat ini belum ditemukan penanganan medis dan bedah yang optimal
untuk pterigium. Tatalaksana awal yang digunakan biasanya konservatif, yaitu:
1. Mencegah mata kering dengan lubrikasi
2. Penggunakan obat pelindung mata.
Pengobatan dengan menggunakan dekongestan lokal, NSAID, ataupun
steroid dapat mengurangi gejala akan tetapi sebaiknya dihindari karena pterigium
merupakan penyakit kronis yang tidak dapat dicegah dengan obat- obatan ini dan
efek samping yang dihasilkan cukup besar. Indikasi dilakukan pembedahan
adalah sebagai berikut :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
18
7. Masalah kosmetik
Pembedahan pterigium terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu teknik bare sclera
excision, excision with conjunctival closure/transposition, excision with
antimitotic adjunctive therapies, danocular surface transplantation technique.5
1. Teknik Bare Sclera Excision
Teknik ini dilakukan dengan cara eksisi kepala dan badan pterigium
sampai ke region kantus nasal, dan sklera dibiarkan terpapar untuk
mengalami re-epiteliasasi. Meskipun memiliki tingkat kesuksesan yang
tinggi, teknik ini memiliki tingkat rekurensi yang tinggi sehingga tidak
lagi disarankan untuk dipakai baik untuk pterigium primer ataupun
rekuren.
2. Teknik Excision with conjunctival clusore/transposition
Teknik ini mirip dengan teknik sebelumnya, hanya saja pada teknik
ini dilakukan penutupan bekas luka pada konjungtiva baik dengan
aproksimasi sederhana ataupun dengan flap rotational. Teknik ini
memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi.
3. Teknik Excision with adjunctive medical theraphy
Teknik ini menggunakan terapi tambahan setelah dilakukan eksisi
pterigium, yaitu dengan radiasi Beta dan Mitomycin C (MMC).
Penggunaan radiasi akan menghambat pembelahan sel, akan tetapi dapat
menimbulkan komplikasi yang cukup serius seperti sel-sel mata yang
dapat menjadi nekrosis. MMC merupakan antibiotik dan agen anti
kanker yang menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein. Dosis yang
biasa dipakai adalah MMC topical 0.02% setelah eksisi pterigium 2x
sehari selama 5 hari. Untuk mengurangi komplikasi dan toksisitas pada
penggunaan MMC maka beberapa penelitian menyarankan untuk
memakai MMC 1x intraoperatif.
4. Teknik Ocular Surface Transplantation
Konsep dasar teknik ini adalah konsep bahwa pterigium merupakan
penyakit permukaan mata yang bersifat lokal sehingga dapat dilakukan
transplantasi dari jaringan permukaan mata lain (Lee and Slomovic,
2004). Autograft dari konjungtiva merupakan prosedur pilihan untuk
pterigium primer dan dilakukan bersamaan dengan pemberian MMC
pada kasus yang rekuren. Teknik ini merupakan teknik yang aman dan
19
efektif, serta merupakan gold standard terhadap seluruh operasi
pterigium serta memberikan hasil kosmetik yang baik. Autograft dari
konjungtiva lumbal didasari dengan adanya teori defisiensi stem sel
limbus yang menyebabkan pterigium sehingga teknik ini disarankan
menjadi modalitas dalam penatalaksanaan.
Prosedurnya mirip dengan autograft konjungtiva hanya saja
transplantasi mencakup epitel limbus sehingga stem sel limbus dari
epitel tersebut dapat merangsang epitelisasi. Transplantasi dari
membrane amnion dapat digunakan sebagai membran dasar pada
pencangkokan, dimana penelitian menunjukkan terjadinya penurunan
kekambuhan dan penurunan fibrosis pada jaringan mata setelah operasi.
Teknik ini memberikan hasil dan kosmetik yang baik.
20
kekambuhan 50-80%. Akan tetapi tingkat kekambuhan telah menurun hingga 5-
15% dengan teknik autograft konjungtiva/limbal atau dengan transplantasi
membrane amnion.
Prognosis visual dan kosmetik setelah eksisi pterigium termasuk baik.
Prosedur dapat ditoleransi oleh pasien dan selain rasa tidak nyaman beberapa
hari post operasi, sebagian besar pasien dapat menjalankan aktivitas semula
dalam 48 jam post operasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat diterapi
dengan berbagai teknik operasi.
2.10 Pencegahan
Berdasarkan patogenesis yang menyatakan bahwa penyebab utama pterigium
adalah paparan sinar UV, maka pencegahan pterigium yang utama adalah dengan
meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi pasien merupakan pencegahan
utama untuk pterigium. Pasien di edukasi mengenai pemakaian topi dan kacamata
dengan lensa yang dilapisi untuk mencegah masuknya sinar UV ke mata. Edukasi ini
sangat penting terutama pada individu yang tinggal atau beraktivitas di daerah tropis
dan subtropis dan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti nelayan, petani, pekerja
bangunan, dan lain-lain.5
3. Kelainan Refraksi1,7
Berikut adalah bagian mata yang memegang peranan pembiasan sinar pada
mata :
a. Kornea
Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan
difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dan sifatnya yang
transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang
masuk 80% atau dengan kekuatan 40 Dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh
kornea ini. Indeks bias kornea adalah 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai
kekuatan yang berkekuatan sebagai lensa hingga 40 dioptri.
b. Iris
Iris merupakan bagian yang berwarna pada mata. Iris menghalangi sinar msuk
ke dalam mata dengan cara mengatur jumlah sinar masuk ke dalam pupil
melalui besarnya pupil.
c. Pupil
21
Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar
masuk kedalam mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil diserap
sempurna oleh jaringan dalam mata. Tidak ada sinar yang keluar melalui pupil
sehingga pupil akan berwarna hitam. Ukuran pupil dapat mengatur refleks
mengecil atau membesarkan untuk jumlah masuknya sinar. Pengaturan jumlah
sinar masuk ke dalam pupil diatur secara refleks.
Pada penerangan yang cerah pupil akan mengecil untuk mengurangi rasa
silau. Pada tepi pupil terdapat m.sfingter pupillae yang bila
berkontraksi akan mengakibatkan mengecilnya pupil (miosis). Hal ini
terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau dan pada saat
berakomodasi. Selain itu, secara radier terdapat m.sfingter dilatator
pupillae yang bila berkontraksi akan mengakibatkan membesarnya pupil
(midriasis). Midriasis terjadi ketika berada di tempat gelap atau pada waktu
melihat jauh.
d. Badan Siliar
Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan untuk
akomodasi dan menghasilkan cairan mata. Di dalam badan siliar didapatkan
otot akomodasi dan mengatur besar ruang intertrabekula melalui insersi otot
pada scleral spur.
e. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam
mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak dibelakang iris
yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang menebal
dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Lensa yang jernih ini mengambil
peranan membiaskan sinar 20% atau 10 dioptri. Peranan lensa yang terbesar
adalah pada saat melihat dekat atau berakomodasi.
f. Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya dan terletak dibelakang pupil. Retina akan
meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai
rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal.
g. Saraf Optik
22
Saraf optik yang keluar dari polus bola mata membawa 2 jenis serabut saraf,
yaitu : saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Saraf penglihat meneruskan
rangsangan listrik dari mata ke korteks visual untuk dikenali bayangannya.
1. Ametropia aksial
Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih
pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Pada
miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan
pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di belakang retina.
2. Ametropia refraktif
23
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya
bias kuat, maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias
kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia
refraktif).
3. Ametropia kurvatura
Ametropia yang terjadi karena kecembungan kornea atau lensa yang tidak
normal. Pada miopia kurvatura kornea bertambah kelengkungannya seperti pada
keratokonus. Sedangkan pada hipermetropia kurvatura lensa dan kornea lebih kecil
dari kondisi normal.1,5
3.1 Astigmatisma
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan
tajam pada retina tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang
terjadi akibat kelainan kelengkungan kornea. Pada mata dengan astigmat
lengkungan jari jari meridian yang tegak lurus padanya.
24
pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di
Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.
Pada mata astigmatisma, sinar yang masuk mata tidak difokuskan pada
satu titik. Penyebabnya dapat :1
1. Kongenital :
adanya kelainan pada curvatura cornea
letak lensa sedikit oblique atau agak decentring
2. Didapat, misal oleh karena :
trauma
pasca bedah EKEK
adanya pterigium
3.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi astigmat berdasarkan faktor penyebab
1. Astigmat kornea
2. Astigmat internal
25
Yaitu astigmat yang disebabkan oleh adanya perbedaan kelengkungan
atau torisitas (perbedaan kelengkungan pada meredian yang berbeda)
dari permukaan belakang kornea dan lensa. Tipe ini adalah lebih jarang
dari astigmat kornea. Tidak ada metode klinikal untuk mengukur
astigmat internal.
2. Astigmat reguler
Apabila dijumpai dua bidang meridian utama yang saling tegak lurus
sehingga dapat dikoreksi.
26
Mixtus : bila salah satu fokus jauh di depan retina dan yang lain
dibelakang retina.
1) Astigmatismus Rendah
2) Astigmatismus Sedang
27
3) Astigmatismus Tinggi
1. Arcuate keratotomy
2. PRK (Photo Refractive Keratectomy)
3. Lasik
4. Operasi lensa dengan mengganti lensa dengan toric lensa buatan
3.2 Presbiopi
3.2.1 Definisi
Makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan
makin meningkatnya umur.7 Kelainan ini terjadi pada mata normal berupa
gangguan perubahan kencembungan lensa yang dapat berkurang akibat
berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. 6.
28
Berikut ini gambar ilustrasi pembentukan bayangan pada penderita
presbiopia.
3.2.2 Epidemiologi
3.2.3 Etiologi
29
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat :
3.2.5 Klasifikasi
30
Setelah membaca, mata menjadi merah, berair dan sering terasa
pedih. Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika
membaca terlalu lama.
Membaca dengan cara menjauhkan kertas yang dibaca karena
tulisan tampak kabur pada jarak baca yang biasa
Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di
malam hari
Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca
Terganggu secara emosional dan fisik
3.2.7 Diagnosis
31
4. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahkan dengan lensa positif
sesuai usia dan hasil pemeriksaan subyektif sehingga pasien mampu
membaca tulisan pada kartu Jaeger 20/30
5. Karena jarak biasanya 33 cm, maka adisi +3,00 D adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan
yang dibaca terletak pada titik focus lensa +3,00 D.
Selain kacamata untuk kelainan presbiopi saja, ada beberapa jenis lensa lain
yang digunakan untuk mengoreksi berbagai kelainan refraksi yang ada
bersamaan dengan presbiopi, ini termasuk :
a. Bifokal, untuk mengoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bisa yang
mempunyai garis horizontal atau yang progresif
b. Trifocal, untuk mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh. Bisa
yang mempunyai garis horizontal atau yang progresif.
c. Bifocal kontak, untuk mengoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bagian
bawah adalah untuk membaca. Sulit dipasang dan kurang memuaskan
hasil koreksinya
d. Monovision kontak, lensa kontak untuk melihat jauh di mata dominan,
dan lensa kontak untuk melihat dekat pada mata non-dominan. Mata
yang dominan umumnya adalah mata yang digunakan untuk focus
pada kamera untuk mengambil foto.
e. Monovision modified, lensa kontak bifocal pada mata non-dominan
dan lensa kontak untuk melihat jauh pada mata dominan. Kedua mata
digunakan untuk melihat jauh dan satu mata digunakan untuk
membaca.
f. Pembedahan, refraktif seperti keratoplasti konduktif LASIK, LASEK
dan karatektomi fotorefraktif.
32
BAB III
PEMBAHASAN
33
dekat saat membaca, dan sering merasa pandangannya berbayang. Keluhan ini juga
disertai dengan kepala sering terasa pusing, mata cepat lelah, dan sering menyipitkan
mata saat melihat jarak jauh. Dari pemeriksaan, didapatkan kelainan pada kedua
mata, yaitu:
Mata kanan (OD) : visus 0.5 ; Kornea jernih, lensa jernih
Mata kiri (OS) : visus 0.3 ; Kornea jernih, lensa jernih , terdapat
jaringan fibrovaskular pada konjungtiva.
Visus OD OS
SC 0.5 0.3
CC - -
STN - 1.0
0
Koreksi S -1.00 C -0.50 180 1.0 C -2.50 500
ADD +2.25 +2.25
Posisi Bola Mata Ortotropia Ortotropia
34
4. Bagaimana Prognosis Pasien ini?
DAFTAR PUSTAKA
35
9. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11 th ed. Philadelphia :
W.B. Saunders Company ; 2006.
36