Anda di halaman 1dari 13

Kortikosteroid: Farmakologi klinik dan penggunaannya untuk

terapi

Penggunaan kortikosteroid yang luas dalam praktik klinis mendorong kebutuhan untuk lebih mendalami
pengetahuan tentang efek metabolik yang dimilikinya bila efek optimum dapat dicapai dengan
meminimalisir efek samping yang tidak diinginkan. Sebelum menganjurkan terapi kortikosteroid, penting
untuk mempertimbangkan keuntungan yang didapat serta potensi pengaruh metabolic yang tidak
diinginkan dari pemberian kortikosteroid dalam dosis besar. Peningkatan insiden dari hipertensi, penyakit
infeksi kronis, osteoporosis dan gangguan toleransi glukosa sebagai sekuele metabolic akibat steroid dosis
besar harus dipertimbangkan sebelum melanjutkan pemberian steroid. Sifat kimia dan fisiologis dari
kortisol serta analognya akan diulas untuk menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai farmakologi klinik
dari kortikosteroid dapat menolong penggunaannya untuk terapi yang rasional.

1. Struktur dari kortisol dan agen sintetisnya

Struktur kimia dasar dari kortikosteroid adrenal terdiri dari 17 kerangka karbon dengan tiga 6 cincin karbon
heksana dan satu 5 cincin karbon pentane. Kortisol (hidrokortison) dan steroid anti-inflamasi lainnya
mengacu kepada steroid C21 karena mereka memiliki 2 rantai karbon yang terikat di posisi 17, dan lagi,
mereka memiliki grup metil pada C18 dan C19. Steroid C21 yang juga memiliki grup hidroksil pada posisi
17 disebut sebagai 17-hidroksikortikosteroid, atau 17-hidroksikortikoid. Steroid C21 yang memiliki kerja
utama pada metabolisme intermediet disebut sebagai glukokortikoid. Untuk mengingatkan, istilah 17-
hidroksikortikosteroid (atau kortikosteroid) dan glukokortikoid akan digunakan secara bergantian.

Keutuhan fungsional dari molekul steroid bergantung kepada beberapa susunan penting dari grup hydrogen,
karbon, hidroksil, dan oksigen disekitar inti steroid utama. Area tersebut yang dilingkari di gambar 2
penting untuk menjaga kerja biologis dari semua kortikosteroid dan pengubahan dari satu diantaranya dapat
berujung pada hilangnya aktivitas dari glukokortikoid. Hal ini diilustrasikan pada hasil pengamatan yang
menunjukkan bahwa pemberian kortison (dengan radikal oksigen pada posisi 11) inaktif secara keseluruhan
pada pasien dengan penyakit hati berat karena ganguan konversi hepatic ke senyawa kortison aktif (dengan
grup hidroksil pada posisi 11). Pentingnya substituent ini dalam molekul tersebut juga ditunjukan pada
inaktivasi biologis dari kortisol di hati. Pada proses ini, pengurangan dari ikatan ganda di posisi 3-4
menyebabkan senyawa tersebut inaktif secara biologis.

Analog dari kortisol disintesis, yang memiliki pengganti berdekatan dengan tempat penting di inti steroid.
Hal ini menghasilkan peningkatan dari beberapa fungsi, seperti kemampuan anti-inflamasi, dan
pengurangan dari fungsi lainnya, seperti fungsi mineralokortikoid. Sebagai contoh, pengenalan dari ikatan
ganda 1,2 menghasilkan prednisolone yang memiliki 4 kali lipat peningkatan aktivitas anti-inflamasi
(gambar 4). Deksametason (dengan grup metil pada karbon 16, dan grup fluoride pada karbon 9) dengan
nyata meningkatkan kemampuan anti-inflamasi dan mengurangi fungsi penahanan natrium (di Mg pada
yang berbasis Mg dibandingkan dengan kortisol). Fludrokortison (9-florohidrokortison) dengan nyata
meningkatkan aktivitas mineralokortikoid.

Sifat anti-inflamasi dan mineralokortikoid dari kortisol dapat dubah dengan memodifikasi inti steroid dasar.
Tetapi harus diingat, bahwa peningkatan aktivitas anti-inflamasi dari analog sintetis ini tidak dapat
dipisahkan dari kerja katabolic normal dari hormone glukokortikoid. Sehingga, pada dosis yang sama dari
kortisol dan analognya memiliki kecenderungan yang sama dalam menimbulkan fungsi kerja dari
glukokortiokoid yang tidak diinginkan.

2. Transpor dan metabolisme dari kotisol dan agen sintetisnya


Diperkirakan sebanyak 10 12 mg kortisol per m2 luas permukaan tubuh dihasilkan oleh korteks adrenal
pada manusia dewasa normal setiap harinya. Walaupun kortisol diproduksi secara episodic, konsentrasi
rata-rata pada plasma dari kortisol berbeda-beda dalam 24 jam, dengan konsentrasi tertinggi berada pada
pagi hari dan paling rendah di tengah malam (irama sirkadian). Konsentrasi plasma normal pada pukul 8
pagi (8 a.m.) adalah 10 15 ug/dl.
2.1 Waktu paruh dan durasi kerja

Waktu paruh plasma dari kortisol diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh kadar plasma hormone
turun 50% dari konsentrasi awal, yaitu sekitar 90 menit. Tetapi, waktu paruh biologis dari kortisol diartikan
sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mengukur aktivitas metabolic (contoh: aktivitas anti-inflamasi) dari
hormone tersebut turun menjadi setengah dari kadar awal, berkisar antara 8 dan 12 jam. Karena potensi
anti-inflamasi dari glukokortikoid sintetis atau alami dan penekanan HPA axis-nya serupa tingkatan dan
durasinya, waktu paruh biologis biasanya ditentukan dari durasi penekanan HPA axis. Maka dari itu,
hidrokortison dan kortison ditetapkan sebagai glukokortikoid dengan waktu kerja pendek (short acting)
dengan waktu paruh berkisar antara 8 dan 12 jam; prednisone, prednisolone, metilprednisolon dan
triamsinolon sebagai glukokortikoid waktu kerja sedang (intermediate acting) dengan waktu paruh biologis
antara 18 dan 36 jam; dan parametason, betametason dan deksametason sebagai glukokortikoid waktu kerja
panjang (long acting) dengan waktu paruh biologis 36 54 jam.

2.2 ikatan dengan protein


Normalnya, sekitar 90% kortisol dapat berikatan secara reversible dengan protein plasma (10% dengan
albumin, dan 80% dengan alpha2-globulin afinitas tinggi kapasitas rendah, transkortin, atau kortikosteroid
yang terikat dengan globulin); 10% bersirkulasi secara bebas atau tidak terikat. Fraksi bebas ini berkisar
antara 0,7 10 ug/dl, agaknya menunjukkan aktivitas biologis dari hormone tersebut, dengan fraksi terikat
sebagai reservoirnya. Kemampuan berikatan dari transcortin diperkirakan antara 20 dan 25 ug/dl dari
kortisol per plasma. Dengan kadar kortisol lebih dari 25 ug/dl, lokasi ikatan di transkortin akan tersaturasi
(menjadi jenuh), dan ikatan kortisol akan sebagian besar dengan albumin, dengan reseptor afinitas rendah
dan kapasitas tinggi (25% tidak terikat, 75% terikat). Karena fraksi yang tidak terikat akan disaring oleh
glomerulus dan diekskresi ke urin, pasien dengan cushing syndrome (hiperkortikolisme endogen) akan
mengalami peningkatan kadar kortisol bebas di urin (tidak dimetabolisme). Di samping itu, analog sintetis
kortisol berikatan secara kurang efektif dengan transkortin (sekitar 70%) dan tersebar lebih rata ke jaringan,
dan menunjukan kecenderungannya untuk menghasilkan efek samping cushingoid pada dosis rendah
(Dluhy et al., 1975). Demikian pula penurunan albumin serum mengakibatkan pengurangan kapasitas
penyimpanan steroid juga dapat, dengan terapi dosis tinggi, berakhir pada kadar obat bebas yang sangat
tinggi dan meningkatkan kerentanan efek samping steroid (Lewis et al., 1971).
2.3 Eliminasi
Kortisol menghilang secara cepat dari sirkulasi melalui metabolisme hepatic. Hati mengkonversi kortisol
menjadi senyawa asam inactive dengan direduksi dan dikonjugasi dengan asam glukoronat. Senyawa polar
yang larut dalam air ini lebih mudah diekskresi oleh ginjal. Analog sintetis kortisol dimetabolisme lebih
lamban di hati karena perubahan moleku steroid, dengan akibat pemanjangan dari waktu paruh plasma.
Meskipun kadar kortisol yang bersirkulasi dapat dikurangi setengah dari kadar awal dalam kurun waktu
sekitar 90 menit, metilprednisolon atau deksametason memiliki waktu paruh plasma 200 menit atau lebih.
2.4 durasi kerja dan pemilihan steroid
Analog dengan waktu paruh plasma panjang juga memiliki waktu paruh biologis yang lama (tabel 1), dan
karena waktu paruh biologis hormone glukokortikoid menggambarkan durasi aktivitas metabolic di
jaringan (section 2.1), analog dengan waktu kerja panjang lebih mungkin menghasilkan efek samping
cushingoid karena stimulasi jaringan perifer yang terus menerus. Konsep ini penting dalam menentukan
hormone steroid mana yang lebih bagus untuk dipilih dalam setiap regimen terapi yang berbeda. Contoh,
pada terapi pengganti, pemberian kortisol dua kali sehari dengan waktu paruh biologis 8 12 jam
menstimulasi sekresi normal harian hormone endogen. Pada terapi seling hari, prednisone dengan waktu
paruh biologis 18 36 jam memberikan efek anti-inflamasi yang menetap untuk setengah waktu pada off-
day (hari tidak minum obat), dan memungkinkan pemulihan dari HPA axis pada setengah waktu setelahnya
pada off-day.
3. Kerja metabolic dari kortikosteroid
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme dari sebagian besar jaringan, dengan memengaruhi fungsi
spesifik seperti sintesis enzim hati yang spesifik atau sebagai akibat dari respon secara keseluruhan seperti
inhibisi dari pengangkutan glukosa dan peningkatan degradasi protein, RNA, dan DNA (Baxter dan
Forsham, 1972). Walau bagaimanapun, sistem reseptor hormone spesifik (gambar 5) di sitoplasma dari
jaringan target, penting untuk permulaan dari kerja glukokortikoid (Feldman et al., 1972). Setelah disosiasi
dari protein pembawa di plasma, kortisol menembus membrane sel dari jaringan yang berespon dengan
kortikosteroid. Reseptor protein spesifik untuk kortisol berada di sitoplasma jaringan tersebut. Setelah
interaksi antara kortisol dan reseptor terjadi, kompleks reseptor-steroid meninggalkan sitoplasma dan
berikatan dengan lokasi spesifik di kromatin inti sel. Hal ini menstimulasi transkripsi baru mRNA dan
rRNA melalui mekanisme yang masih belum diketahui, yang berujung pada translasi dari protein spesifik
yang diinduksi dan dimediasi oleh efek fisiologis dari protein yang terinduksi.
3.1 efek pada metabolisme intermediet (intermediary metabolism)
Secara garis besar, kerja glukokortikoid pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid berujung pada
peningkatan kapasitas hati untuk gluconeogenesis dan peningkatan kerja katabolic di otot, kulit, limfoid,
adipose, dan jaringan ikat. Pola kerja glukokortikoid secara garis besar berujung pada induksi dan stimulasi
sintesis protein di hati, inhibisi sintesis protein di jaringan perifer, serta ambilan dan pengangkutan glukosa.
Efek katabolic pada otot, jaringan limfoid, kulit dan jaringan adipose dimediasi melalui inhibisi dari
pengambilan glukosa (Munck, 1971). Kerja katabolic dari glukokortikoid ini berujung pada peningkatan
degradasi protein dan RNA, dan menyediakan asam amino untuk gluconeogenesis hepatic.
3.1.1 peningkatan gluconeogenesis
Di hati, enzim yang berperan untuk gluconeogenesis dan deposisi glikogen distimulasi. Enzim-enzim ini
adalah glucose-6-phosphatase, fructose-1,6-diphosphatase, phosphoenol-pyruvate-carboxykinase,
tyrosine-amino-transferase, tryptophan pyrrolaxe, dan glycogen synthetase A (Feigelson et al., 1971).
Peningkatan sintesis beberapa enzim hati spesifik ini dan peningkatan jumlah substrat asam amino (hasil
dari inhibisi sintesis protein perifer) menjelaskan bagian peningkatan produksi glukosa hepatic yang berasal
dari pemberian glukokortikoid. Mungkin juga peningkatan gluconeogenesis yang terlihat setelah pemberian
glukokortikoid berujung dari peningkatan sekresi glucagon. Tetapi, hal ini mungkin bukan merupakan efek
stimulasi langsung dari kortikosteroid, tetapi merupakan hasil dari hiperaminoasidemia yang menyertai
pemberian steroid (Cahill., 1973; Marco et al., 1973). Selain itu, glukokortikoid menyebabkan, pada
beberapa mekanisme yang masih belum diketahui, penurunan dari aktivitas reseptor insulin pada jaringan
yang sensitive terhadap insulin. Hal ini menjelaskan sebagian dari penjelasan bahwa penurunan dari
utilisasi glukosa perifer dapat dilihat pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi (Kahn
et al., 1973).
3.1.2 peningkatan katabolisme
Kerja katabolic dari glukokortikoid di otot menghasilkan hasil buangan dan myopati. Ada bukti yang
menyatakan bahwa terdapat penurunan pengumpulan asam amino pada protein otot dan peningkatan
keluaran asam amino ke sirkulasi dari otot (Cahill, 1971). Selain itu, pengambilan glukosa di jaringan otot
yang berhubungan dengan adanya hiperinsulinemia dan hiperglikemia menurun (Munck, 1971). Sama
seperti penurunan sensitifitas jaringan adipose terhadap glukokortikoid, terdapat perbedaan sensitifitas pada
setiap protein jaringan terhadap steroid, yang bermanifestasi sebagai buangan protein matrix tulang di
vertebrae, tetapi tidak di tulang panjang.
3.1.3 peningkatan lipolysis
Glukokortikoid menginhibisi sintesis asam lemak rantai panjang dan penting dalam aktivitas hormone
lipolitik, seperti katekolamin, glucagon, dan growth hormone (Rudman dan DiGirolarno, 1971).
Mekanismenya masih belum diketahui, tetapi peningkatan lipolysis berakhir pada pengeluaram asam lemak
bebas dan gliserol. Gliserol diutilisasi sebagai substrat untuk gluconeogenesis hepatic, dimana asam lemak
bebas menghambat ambilan glukosa perifer (Randall effect) dan bekerja sebagai sumber energy alternative.
Dalam homeostasis normal, pengeluaran insulin melawan kerja lipolitik dan anti-lipogenic dari
glukokortikoid, sehingga terjadi keseimbangan dari lipolysis dan lipogenesis. Redistribusi lemak dengan
kadar glukokortikoid yang sangat tinggi berujung pada pola trunkal atau sentripetal dengan pengurangan
penyimpanan lemak perifer. Hal ini mungkin terjadi karena penurunan sensitifitas sel lemak pada beberapa
area di tubuh. Sel lemak subkutan di ekstremitas lebih sensitive terhadap kerja hormone lipolitik pembawa
lemak, sedangkan pada jaringan adipose abdomen dan bantalan lemak dorsal respon terhadap insulin
(lipogenik) lebih utama.
3.2 efek anti-inflamasi
Kortikosteroid mengganggu respon inflamasi pada setiap stadiumnya (gambar 6). Derajat aktivitas anti-
inflamasi sepertinya berhubungan secara kuantitatif pada konsentrasi hormone steroid yang aktif di lokasi
inflamasi (Melby, 1974).
Steroid mengurangi reaksi awal inflamasi dengan cara memblokade peningkatan permeabilitas kapiler yang
diinduksi oleh inflamasi akut. Karena integritas dari kapiler meningkat, protein dan cairan yang keluar di
lokasi luka sedikit, sehingga pembentukan edema yang terjadi juga sedikit . karena protein plasma yang
keluar sedikit di lokasi inflamasi, vasoaktif kininyang meningkatkan respon inflamasiyang
dikeluarkan juga sedikit. Eksudat dari sel makrofag dan polimorfonuklear di lokasi inflamasi berkurang
karena steroid menginhibisi pelengketan endotelial dengan leukosit dan diapedesis melalui dinding kapiler.
Penurunan adhesi makrofag dan leukosit ke endotel vaskuler mungkin merupakan akibat sekunder dari
antagonism glukokortikoid terhadap proses perpindahan faktor inhibisi, substan yang dikeluarkan oleh
limfosit yang tersensitisasi yang mengikuti interaksi dengan antigen (David et al., 1964). Kortikosteroid
juga mengganggu fagositosis antigen oleh makrofag, dan pencernaan intrasel dan pengolahannya. Pada
dosis yang besar, kortikosteroid menstabilisasi membrane lisosom. Hal ini mencegah kerusakan jaringan
karena lisosom yang rusak setelah jejas sel dan pengeluaran beberapa jenis enzim (asam hydrolase) yang
mencerna isi dari sel serta melansungkan respon inflamasi.
Ada dua jenis limfosit yang berada di darah perifer, yaitu limfosit B dan T. limfosit B merupakan turunan
dari sel asal sum-sum tulang, membawa immunoglobulin spesifik di permukaan membrannya yang akan
berinteraksi dengan antigen. Hal ini berujung pada turunan dari limfosit B pada sel plasma, yaitu sekresi
dari antibody humoral. Limfosit T merupakan turunan dari sel precursor sum-sum tulang yang kemudian
diolah di timus dan bertanggung jawab sebagai imunitas sel dan tidak memproduksi antibody. Limfosit T
lebih peka terhadap efek sitolitik dari steroid daripada limfosit B. sehingga dalam pemberian steroid jarang
ditemui penurunan produksi antibody, tetapi imunitas sel diinhibisi pada kortikosteroid konsentrasi rendah.
Akhirnya, pembentukan jaringan bergranulasi ditekan oleh kerja inhibisi dari glukokortikoid pada
pembentukan fibroblast dan kolagen (Green, 1963). Efek negative pada pembentukan jaringan luka fibrosa
ini berujung pada penyembuhan yang tidak sempurna di luka insisi operasi dan menyebabkan wound
dehiscence (rupture dari luka jahitan).
3.3 efek pada elemen darah
Pemberian glukokortikoid dapat berujung pada peningkatan netrofil, platelet, dan massa sel darah merah
(David et al., 1970). Peningkatan netrofil menurun setelah kurang lebih 4 jam, tetapi bisa menetap pada
pemberian terapi jangka panjang. Granulositosis ini menyebabkan peningkatan masukan sel dari sum-sum
tulang, serta penurunan pengeluaran sel dari darah.
Glukokortikoid menyebabkan penurunan jumlah eosinophil yang bersirkulasi, kemungkinan karena terjadi
peningkatan perusakan dan penurunan pembentukan dari sel-sel ini (Nelson et al., 1952). Penurunan dari
limfosit yang terlihat setelah pemberian glukokortikoid mungkin merupakan akibat dari inhibisi ambilan
glukosa di sel limfoid yang diinduksi oleh steroid, berujung pada lisis dari sel. Tetapi, seperti yang telah
dijelaskan di bagian 3.2, sensitifitas limfosit B dan T yang bervariasi (kemungkinan terjadi akibat perbedaan
jumlah reseptor sitoplasmik spesifik) terlihat dengan pemberian steroid.
3.4 efek pada kerangka dan tulang
Pemberian glukokortikoid dalam jangka waktu lama berhubungan dengan osteoporosis di orang dewasa
dan penurunan pertumbuhan rangka tulang di anak. Steroid menyebabkan inhibisi dari pertumbuhan tulang
linear dan penutupan epifise. Karena itu, dalam pemberian glukokortikoid dosis besar pada anak dapat
dilihat inhibisi dari pertumbuhan normal. Untungnya, retardasi pertumbuhan permanen di anak jarang
terjadi dan percepatan pertumbuhan (biasanya kembali ke persentil tinggi anak) terjadi bila pemberian
steroid dihentikan. Hal ini terjadi karena inhibisi steroid terhadap penutupan epifise, yang memicu
pertumbuhan tulang, terjadi setelah steroid dihentikan. Hal ini berlawanan dengan pemberian androgen
dimana penutupan epifise dipercepat dan potensi pertumbuhan dipersingkat.
Keseimbangan kalsium dan nitrogen negative yang berhubungan dengan pemberian glukokortikoid
diakibatkan karena: (1) penurunan absorpsi kalsium di saluran cerna, kemungkinan berhubungan dengan
inhibisi dari aktifitas kolekalsiferol terhadap 25-hidroksikolekalsiferol di hati (Klein et al., 1972); (2)
peningkatan buangan kalsium di urin akibat dari peningkatan GFR dan inhibisi langsung reabsorpsi kalsium
di tubular; (3) hiperparatiroidism sekunder sebagai kompensasi dari penurunan ketersediaannya kalsium;
(4) katabolisme jaringan di matrix tulang yang menurunkan permukaan untuk mendeposit mineral tulang;
(5) penurunan tingkat pembentukan tulang, secara garis besar diakibatkan karena inhibisi langsung fungsi
osteoblast oleh glukokortikoid; dan (6) berubahnya pengeluaran dari growth hormone.
3.5 efek lain
hormone glukokortikoid bekerja pada segala cara yang meningkatkan respon vaskuler perifer untuk proses
vasokonstriksi endogen. Semua peran ini pada respon vascular terhadap steroid dapat menjelaskan
keefektifitasan pada beberapa jenis keadaan shock dengan mengembalikan kemampuas sirkulasi. Mungkin
juga efek terapeutik dari glukokortikoid dalam penatalaksanaan shock berhubungan langsung dengan
efeknya pada otot jantung, dengan perubahan index kerja ventrikel kiri (David et al., 1970). Walau terdapat
banyak kontroversi yang terjadi karena etiology hipertensi pada penyakit cushing, faktor yang berkontribusi
mungkin adalah peningkatan produksi angiotensinogen hepatic yang diinduksi oleh steroid, yang berujung
pada peningkatan kadar angiotensin II.
Glukokortikoid penting dalam menjaga distribusi air internal yang normal. Mereka mencegah terjadi
penumpukan cairan intrasel dengan bengkak dan perusakan sel. Steroid juga memfasilitasi ekskresi normal
pada penumpukan air.
Glukokortikoid dapat menyebabkan penyakit ulkus peptikum dengan: (1) peningkatan sekresi asam pada
keadaan basal dan terstimulasi; dan (2) mengacaukan mukosa lambung yang protektif yang melapisi
mukosa, menyebabkan apisan ini lebih rentan terhadap ulkus. Tetapi, analisis restrospektif akhir-akhir ini
mengenai hubungan terapi steroid dengan diathesis ulkus peptikum gagal untuk mendeteksi peningkatan
insiden dari ulkus peptikum pada penggunaan glukokortikoid, kecuali pada kasus sirosis dan pasien nefrotik
(Conn dan Blitzer, 1976).
4. Prinsip terapi steroid
Terdapat banyak situasi klinis yang mengharuskan kita mempertimbangkan mengenai pemberian terapi
hormone glukokortikoid.
4.1 pertimbangan dasar
Penggunaan dosis pada terapi pengganti steroid (yaitu dosis yang memperkirakan jumlah normal kostisol
harian yang diproduksi oleh korteks adrenal) pada kasus insufisiensi adrenal primer maupun sekunder yang
telah terbukti adalah mudah. Demikian pula pemberian jangka pendek, dosis tinggi, pada pemberian terapi
steroid untuk vaskulitis yang mengancam jiwa, status asmatikus, atau shock anafilaktik membutuhkan
sedikit keraguan. Tetapi, pemberian terapi steroid supresif pada dosis yang melebihi kadar normal fisiologis
(tabel 1) untuk mendapatkan efek anti-inflamasi dari steroid membutuhkan pertimbangan yang sangat jeli.
Seseorang harus menilai seberapa parah kelainan yang terjadi dan keuntungan yang didapatkan dari
pemberian kortikosteroid serta efek yang tidak diinginkan pada pemberian jangka panjang.
Hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah penegakan diagnosis yang pasti dari kelainan yang ada
dengan keadaan pasien, dan mengetahui kejadian alaminya, komplikasi, dan hasil dari terapi dengan agen
lain.
Lalu, setelah keputusan pemberian terapi steroid telah dibuat, hal penting untuk dipertimbangkan
selanjutnya adalah gejala apa, symptom, atau tes laboratorium yang dapat digunakan untuk menentukan
apakah keuntungan dari terapi telah dicapai. Ada beberapa gejala yang tidak spesifik yang cukup
membantu, yaitu hilangnya malaise, perubahan keadaan sehat, atau penurunan suhu karena perubahan ini
dapat dilihat pada hampir semua pasien. Karena itu, gejala dan simtom yang lebih spesifik terhadap satu
penyakit harus ditentukan sebelum pemberian terapi steroid. Contohnya, bila steroid digunakan untuk lupus
nephritis, penurunan dari ekskresi protein urin atau perubahan pada complement level dapat menjadi
parameter yang berguna untuk melihat gejala dari respon positif satu terapi.
Bila tidak terdapat perubahan dalam 7 sampai 10 hari, beberapa kemungkinan dibawah dapat
dipertimbangkan:
1) kelainan mungkin tidak berespon dengan terapi steroid, menyiratkan kemungkinan diagnosis klinis
awal salah
2) dosis mungkin tidak cukup (hal ini dapat dilihat dengan menaikan dosis)
3) absorpsi dari steroid mungkin kurang cukup (hal ini dapat dicek dengan melihat kadar kortisol
plasma atau mengubah ke preparat steroid lain), dan
4) masalah yang tidak terlihat mungkin terjadi bersamaan, dan menjadi lebih buruk karena pemberian
terapi atau tidak berhubungan sama sekali dengan terapi (contoh: reaktivasi tuberculosis)

4.2 cara pemberian


Cara pemberian dari hormone steroid memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efikasinya. Contohnya,
pada terapi untuk insufisiensi adrenal akut dengan penurunan perfusi perifer, pemberian secara
intramuscular mungkin tidak efektif. Pada kasus ini, cara pemberian yang benar adalah bolus intravena
dengan hemisuksinat larut air atau fosfat ester dari kortisol (atau sintetisnya yang serupa) yang diikuti
dengan infus intravena secara kontinu. Di lain pihak, asetat dari kortisol dan sintetis analognya tidak larut
dalam air dan diinjeksi dalam bentuk suspensi, yang lama diserap di intramuscular, sehingga
memperpanjang keefektifitasannya. Prinsip dari penggunaan preparat kortikosteroid jenis ini untuk pasien
yang membutuhkan terapi kontinu jangka pendek dan tidak dapat diberikan administrasi oral.
4.3 pilihan antara ACTH dan steroid oral
Pemilihan antara ACTH dan steroid oral harus mempertimbangkan beberapa faktor:
1) terapi ACTH terdiri dari injeksi harian yang mahal yang sulit di tapering bila dibandingkan dengan
obat steroid oral yang tidak begiyu mahal dan lebih nyaman dipakai dan dapat diatur lebih akurat
2) pemberian ACTH menghasilkan androgen alami dan juga glukokortikoid, dimana steroid eksogen
dapat berujung pada inhibisi sekresi androgen endogen di korteks adrenal. Pemberian ACTH
jangka panjang lebih berguna pada kondisi neuromuscular seperti multiple sclerosis, dimana steroid
anrogenic yang dikeluarkan dari stimulasi adrenal dapat meminimalisir efek myopati dari
glukokortikoid
3) ACTH menginduksi retensi garam dan air yang lebih berat bila dibandingkan dengan administrasi
steroid sintetis
4) Terapi ACTH berujung pada kelenjar adrenal yang aktif pada beban penekanan aktivitas
hipotalamus-pituitari, dimana terapi glukokortikoid berujung pada penekanan HPA axis secara
penuh
Dari sudut pandang praktikal, pertimbangan ini dapat menjadi sangat penting karena penekanan produksi
kortisol endogen dalam derajat yang sama berujung dari semua jenis terapi. Karena itu, hanya sedikit alasan
yang dipakai untuk menggunakan terapi ACTH kecuali pada beberapa terapi penyakit spesifik seperti
multiple sclerosis.
4.4 interaksi obat
Agen yang menginduksi enzim seperti rifampisin, fenobarbiton, dan fenitoin dapat menyebabkan
peningkatan konjugasi hepatic dan ekskresi bilier dari metyrapone dan glukokortikoid (Dujorne dan
Azarnoff, 1975; Gharib dan Munoz, 1974). Hal ini mengarah kepada kadar dari bentuk aktif yang tidak
terkonjugasi dari senyawa ini di dalam darah yang rendah. Karena itu, pemberian kombinasi agen ini yang
menginduksi enzim dengan metyrapone dapat berujung pada berkurangnya inhibisi 11-beta-hydroxylation,
dan berkurangnya stimulasi sekresi ACTH dari pituitary. Seperti itu pula, pada penggunaan rifampisin,
fenobarbiton, atau fenitoin secara bersamaan dengan deksametason dapat berujung pada berkurangnya
penekanan glukokortikoid lasma dan 17-hidroksikortikosteroid urin pada tes supresi deksametason. Selain
itu, saat deksametason atau glukokortikoid lainnya diberikan pada pasien yang juga menggunakan
rifampisin, fenobarbiton, atau fenitoin, steroid mungkin harus lebih banyak diberikan untuk mendapatkan
efek anti-inflamasi. Sebaliknya, keracunan steroid dapat terjadi bila dosis tidak dikurangi pada
pemberhentian pemberian agen yang menginduksi enzim.
Pemberian steroid menunjukkan adanya peningkatan metabolisme salisilat, terutama pada laki-laki,
sehingga kadar serum terapeutik dari salisilat mungkin tidak tercapai (Graham et al., 1977). Pada pasien
yang menggunakan kedua obat ini, seperti pada pasien artritis rheumatoid atau reumatik karditis, penarikan
dari steroid atau pengurangan dari dosis steroid mungkin dapat berujung pada keracunan salisilat
(Klinenberg dan Miller, 1965).
4.5 penyakit hati, hipoalbuminemia
Konversi kortison menjadi hidrokortison aktif dan juga prednisone menjadi prednisolone terjadi di hati.
Sehingga, pada pasien dengan penyakit hati, pemberian dari senyawa aktif (hidrokortison, prednisolone)
sangat dianjurkan. Selain itu, kadar albumin serum menurun pada pasien dengan penyakit hati, pemberian
steroid eksogen untuk pasien ini dan juga pada keadaan hipoalbuminemia lainnya berhubungan dengan
steroid yang kurang dapat berikatan dengan protein, berujung pada peningkatan insiden dari efek samping
akibat steroid (lihat bagian 2.2). dosis steroid harus disesuaikan.
4.6 terapi pengganti
Tujuan dari pemberian terapi glukokortikoid pada insufisiensi adrenal primer atau sekunder adalah untuk
menstimulasi sekresi normal harian dari kortisol. Karena sekresi kortisol pada orang normal berhubungan
dengan luas permukaan tubuh, dosis oral harian untuk terapi pengganti adalah 20 30 mg. untuk mengikuti
irama sekresi kortisol harian normal, 2/3 dari dosis diberikan pada pagi dan 1/3-nya diberikan pada siang
menjelang sore. Dosis harus dikurangi sebanyak kurang lebih 25% pada pasien dengan gangguan toleransi
glukosa (diabetes mellitus dini).
Pasien dengan insufisiensi adrenal sekunder memiliki kadar respon mineralokortikoid normal pada
perubahan volume dan elektrolit dan biasanya tidak membutuhkan suplemen pengganti mineralokortikoid.
Pada kasus insufisiensi adrenal primer, pemberian fludrokostison 0,05 0,2 mg per hari dapat mencukupi
kebutuhan mineralokortikoid pasien. Penyesuaian dosis pengganti penting dilakukan dalam keadaan stress
akut seperti infeksi, operasi, atau trauma. Untuk penyakit mid-febrile, tambahan 10 mg kortisol dianjurkan
per kenaikan derajat Fahrenheit lebih dari 100oF. sebagai aturan utama, dua kali dari dosis pengganti normal
akan cukup pada keadaan ini.
Saat kelainan dasar lebih berat atau saat pasien gagal untuk meningkatkan dosis kortisol maintenance,
insufisiensi adrenal akut mungkin muncul. Keadaan ini membutuhkan terapi cepat dengan pemberian
normal saline (1L pada 2 jam pertama, dan tambahan 2 4L untuk 24 jam setelahnya) dan kortisol (100
mg hidrokortison hemisuksinat atau fosfat dalam bolus intravena, diikuti infus kontinu dengan preparat
yang sama dalam kecepatan 10 15 mg per jam). Tambahan, kortison asetat dapat diberikan intramuscular
(50 100 mg, dua kali sehari) untuk melanjutkan terapi bila pemberian cairan intravena terganggu. Walau
begitu, kortison asetat intramuscular tidak boleh digunakan sebagai bentuk utama dari pemberian
glukokortikoid karena absorpsi yang lama. Dengan sedikit kemajuan, dosis steroid total dikurangi
berangsur-angsur sampai dosis adisonian normal dicapai. Hal yang sama juga dilakukan pada pasien
adisonian yang melalui prosedur operasi besar.
Aspek penting dalam terapi pengganti di insufisiensi adrenal adalah pasien paham dengan sifat alamiah
penyakitnya dan diinstruksikan untuk melakukan hal tertentu saat dalam keadaan stress atau saat keadaan
emergensi muncul. Kit emergensi tersedia untuk digunakan oleh pasien yang terdiri dari hidrokortison
fosfat atau deksametason fosfat injeksi. Selain itu, pasien harus disediakan tanda identifikasi medis
sehingga saat kejadian emergensi muncul, keadaan pasien dapat dengan cepat ditentukan.
4.7 terapi suportif
4.7.1 terapi jangka pendek dosis tinggi
Terapi jangka pendek dengan dosis tinggi diindikasikan untuk terapi emergensi seperti necrotizing
vasculitis, status asmatikus, dan shock anafilaktik. Pada keadaan ini, setidaknya terapi steroid intensif
selama 48 72 jam diindikasikan. Diasumsikan bahwa kelainan mendasar telah mereda setelah mengikuti
terapi ini, dosis dapat di tapering dengan cepat, contoh pengurangan 50% dari dosis per hari untuk 3 hari
dan dihentikan secara komplit. Bila keadaan muncul kembali saat pengurangan dosis dilakukan, pemberian
dalam dosis yang lebih besar dapat dilakukan.
4.7.2 terapi jangka panjang dosis tinggi
Pemberian terapi supresif dalam dosis tinggi yang lama sering digunakan untuk terapi penyakit seperti
hepatitis aktif kronis, temporal asteritis, pemphigus vulgaris, AIHA, dan ITP. Hampir semua pasien
diberikan 75 mg hidrokortison per harinya lebih dari dua minggu, dan bila terapi ingin dihentikan dosis
butuh di tapering off (Melby, 1974). Penghentian yang cepat atau secara langsung dri terapi steroid pada
kondisi-kondisi ini dapat berhubungan dengan eksaserbasi dari penyakit dasar atau dengan steroid
withdrawal syndrome. Pada kondisi yang lebih lanjut, pasien dapat merasa malaise, fatig, dan myalgia serta
atralgia yang menyeluruh tanpa bukti klinis yang objektif (contoh: demam, sendi yang bengkak) atau bukti
dari tes laboratorium (contoh: peningkatan enzim serum, peningkatan laju sedimentasi) untuk keadaan yang
mendasari. Withdrawal syndrome ini adalah hal yang sering muncul pada pasien yang secara secara tidak
sengaja menjadi kecanduan dengan kortikosteroid dan lebih baik ditindaklanjuti dengan bantuan dan
dukungan dari klinisian.
Untuk meminimalisir insiden dari efek samping pemberian terapi supresif jangka panjang, preparat steroid
yang dianjurkan adalah bukan yang waktu kerja panjag (long acting) yang diberikan dalam dosis tunggal
setiap pagi dan dosis langsung diturunkan dan dititrasi ke dosis yang lebih kecil yang menyebabkan keadaan
yang mendasari menetap. Tentu, timbulnya penyakit primer membutuhkan peningkatan dosis steroid
sampai penyakit tersebut dapat dikontrol.
4.7.3 terapi jangka panjang dosis tinggi
Glukokortikoid dapat digunakan dalam dosis rendah (2 10 mg prednisone), tambahan untuk obat lain
dalam menatalaksana penyakit kronis seperti rheumatoid artritis dan SLE. Saat tujuan terapi untuk
meredakan nyeri atau simtom yang tidak berhubungan dengan keadaan yang mengancam jiwa, dosis awal
harus kecil dan dinaikan sedikit demi sedikit sampai nyeri atau stress berkurang dan dapat ditoleransi. Pada
interval yang tetap, dosis harus diturunkan sedikit demi sedikit. Tetapi, kita harus tetap awas saat mencoba
untuk mengurangi dosis steroid, karena atralgia atau myalgia dapat muncul sebagai akibat dari steroid
withdrawal syndrome daripada arthritic flare up. Evaluasi klinis dan laboratorium yang hati-hati sebagai
bukti reaktivasi penyakit primer; dukungan psikologis dan meyakinkan pasien; pemberian analgesic sedang
atau NSAID; dan pengurangan dosis secara bertahap (kurang dari 1 mg prednisone per hari setiap 1 2
bulan) mungkin dibutuhkan untuk menghentikan terapi steroid pada pasien. Tetapi, apabila terdapat bukti
bahwa penyakit primer terreaktivasi, peningkatan dosis steroid dibutuhkan.
4.8 terapi steroid seling hari
Secara garis besar, terapi steroid seling hari sangat baik diterapkan untuk menjaga keuntungan terapeutik
yang telah dicapai pada terapi steroid harian. Terapi steroid seling hari direkomendasikan untuk pasien yang
membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi dalam jangka waktu yang panjang untuk meminimalisir
kerja katabolic steroid yang tidak diinginkan. Terapi steroid seling hari bertujuan untuk menyerupai irama
kortisol normal diurnal. Dosis tinggi dari steroid intermediate acting (contoh prednisone yang penekanan
HPA axis berlangsung selama 18 36 jam; tabel 1) diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari dimana
pada saat itu jaringan pasien terkena kortisol endogen dalam kadar tertinggi. Karena itu, efek anti-inflamasi
dari steroid intermediate acting dijaga selama 36 jam. Tetapi, saat steroid di metabolisme, tubuh menjadi
tidak terpapar dari stimuli steroid yang kontinu, dimana respon hipotalamus-pituitari terstimulasi selama
setengah bagian akhir dari hari yang diselingi (tidak meminum obat). Pemberian NSAID mungkin
dibutuhkan untuk menjaga pasien tetap nyaman dalam kurun waktu 12 jam tersebut saat aktivitas steroid
berkurang. Dengan program seperti ini, supresi HPA, keseimbangan kalsium dan nitrogen negative, dan
efek samping cushingoid dapat diminimalisir.
Agar terapi seling hari dapat berjalan dengan sukses, dosis steroid harian biasanya diberikan pada dosis
inisial untuk mencapai efek anti-inflamasi dan mengontrol keadaan yang mendasari penyakit pasien.
Setelahnya, pasien dapat dilanjutkan dengan terapi seling hari. Poin penting untuk diingat adalah untuk
memiliki program transisi yang fleksibel dan memberikan suplemen pendukung, terutama pada off-days
saat pasien tidak mendapat steroid. Sering kali, dosis total steroid dapat dikurangi dan banyak pasien
mendapatkan dosis kecil pada off-days dapat berhenti mendapatkan dosis ini langsung. Contoh jadwal
yang dibuat untuk mengkonversi dari terapi harian ke terapi seling hari dapat dilihat di tabel II.
Prinsip secara garis besar untuk terapi seling hari adalah:
1) berikan steroid intermediate acting, seperti prednisone atau prednisolone
2) secepatnya, beri dosis total harian sebagai dosis tunggal pagi
3) mulai transisi menjadi terapi seling hari secepatnya
4) bila memungkinkan, hentikan pemberian steroid pada off-days

4.9 penarikan dan pemberhentian dari terapi glukokortikoid


Pengurangan dosis farmakologi (contoh: dosis yang melebihi kadar kortisol yang disekresi dibawah
keadaan stress maksimal, atau 300 mg per hari) menjadi dosis fisiologis tergantung kepada penyakit yang
mendasari dan derajat penyembuhan dari HPA axis endogen. Penekanan HPA axis mungkin bertahan
sekitar 9 12 bulan bila steroid diberikan dalam dosis suprafisiologis dalam rentang lebih dari dua minggu
(Melby, 1974). Sebagai peraturan utama, pemberian dalam dosis besar, durasi pemakaian yang lama, dan
pemberian per hari yang sering (terutama pada sore-malam) berhubungan dengan penekanan yang lebih
lama. Ketika pemberian glukokortikoid dihentikan, pemulihan akan terjadi dalam tiga stadium (Graber et
al., 1963). Awalnya, kadar plasma kortisol dan ACTH tetap rendah. Kadar plasma ACTH perlahan-lahan
naik menjadi kadar normal atau supranormal, dimana kadar kortisol plasma tetap rendah. Akhirnya, kadar
plasma kortisol naik menjadi kadar normal dan tes fungsional HPA menunjukkan respon yang normal.
Gangguan pengeluaran ACTH tidak dapat dipercepat dengan pemberian ACTH eksogen (Fleisher et al.,
1967). Walau pemberian ACTH eksogen yang berulang dapat mempercepat pemulihan respon adrenal
kortikal menjadi normal, efek ini bertahan hanya sementara, dan sekresi adrenal kortikal menjadi tidak
cukup lagi ketika pemberian ACTH diberhentikan. Karena pemulihan respon adrenal biasanya cepat setelah
pemulihan respon hipotalamus-pituitari muncul, pemberian ACTH kepada pasien yang sedang menjalani
proses penarikan terapi steroid tidak dibutuhkan dan tidak diinginkan, karena pemulihan fungsi
hipotalamus-pituitari bisa terhambat.
Aspek penting dari penarikan glukokortikoid adalah untuk menentukan kapan pasien telah pulih dari
penekanan steroid secara. Salah satu metode pendekatan yang direkomendasikan (Bynny, 1976) adalah
untuk menggabungkan jadwal pemberian steroid menjadi dosis tunggal harian dan lalu mengurangi
dosisnya perlahan-lahan menjadi kadar fisiologis. Contoh, steroid short acting seperti hidrokortison dapat
diberikan dalam dosis tunggal 20 mg setiap pagi dan dikurangi 2,5 mg per hari per minggu, menjadi 10 mg
setiap pagi. Saat hal ini dilakukan, kadar plasma kortisol jam 8 pagi (8 a.m.) harus ditetapkan dalam interval
per bulannya, ketika kadar kortisol melebihi 10 ug/dl, terapi hidrokortison dapat dihentikan. Lalu, respon
adrenokortikal harus di tes dalam interval per bulan dengan pemberian ACTH sintetis eksogen (0,25 mg
tetracosactrin) secara intramintramuscular, saat kadar kortisol plasma 1 jam setelah pemberian ACTH naik
sekitar kurang lebih 6 ug/dl diatas kadar dasar, respon adrenokortikal dikatakan telah normal.
Pada keadaan ini, pemulihan HPA axis secara komplit dari penekanan steroid telah dikatakan muncul. Hal
yang penting untuk diingat adalah dalam program ini, dosis steroid harus dinaikan dengan benar bila
penyakit yang mendasari kembali tidak dapat dikontrol (flare up) atau bila stress muncul seperti sepsis atau
trauma.
5. Komplikasi dari terapi kortikosteroid
5.1 myopati
Steroid myopati muncul sebagai kelemahan otot proksimal yang ditandai dengan kurangnya tenaga pada
otot-otot, terutama ekstremitas bawah (Afifi et al., 1968). Steroid myopati tidak berhubungan dengan usia
atau jenis kelamin dari pasien, dan tidak berhubungan juga dengan besar dosis atau lama pemberian terapi.
Pemulihan biasanya muncul langsung ketika steroid dihentikan.
5.2 osteoporosis
Kebanyakan dari pasien yang menerima terapi steroid dalam jangka waktu yang lama akan mengalami
osteoporosis dalam derajat yang berbeda-beda. Mekanisme yang menjelaskan kortikosteroid menyebabkan
osteoporosis telah dijelaskan sebelumnya (bagian 3.4). untuk pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami
osteoporosis (contoh: postmenopause, pasien usia tua, pasien imobilisasi, dan pasien diabetic) lapisan
lumbosacral dasar harus diberikan (baseline lumbosacral film; tabel III). Karena osteoporosis kolumna
vertebral dengan fraktur kompresi adalah ancaman yang bahaya dari terapi steroid jangka panjang, terapi
suplemen dengan vitamin D, terutama 25-hidroksivitamin D bila tersedia (Klein et al., 1977) dan kalsium
direkomendasikan.
5.3 efek metabolic
terapi steroid yang lama dapat menyebabkan diabetes mellitus laten atau memperberat keadaan penyakit
yang telah ada. Maka dari itu, pada pasien dengan sejarah keluarga positif diabetes mellitus, tes gula darah
2 jam postprandial harus dilakukan sebelum melanjutkan terapi steroid. Untungnya, pembentukan ketonuria
dan asidosis diabetic biasanya jarang muncul (Alavi et al., 1971). Diabetes yang diinduksi steroid biasanya
sedang dan dapat diatasi dengan diet yang teratur dan pemberian terapi insulin suplemen bila dibutuhkan.
Penggunaan steroid juga berhubungan dengan hyperlipidemia dan dengan kenaikan sedang dari kadar
plasma kolesterol dan peningkatan kadar plasma trigliserida (Bagdade et al., 1970). Perubahan ini
bergantung kepada dosis yang diberikan dan bersifat reversible bila terapi steroid dihentikan.
5.4 efek penahan natrium (sodium retaining)
Efek penahanan natrium dari hampir semua preparat terapi steroid menjadi komplikasi pada pasien yang
telah memiliki keadaan hipertensi atau penyakit kardiovaskular. Penggunaan steroid sintetis dengan
kemampuan penahanan natrium yang rendah (triamsinolon, deksametason), pengaturan ketat diet
pemasukan garam, dan penggunaan agen diuretic dan suplemen garam kalium dapat menjadikan
penggunaan terapi steroid lebih aman pada keadaan ini (tabel IV). Tes tekanan darah dasar (baseline blood
pressure), X-ray thorax (chest x-ray), dan EKG adalah hal-hal penting pada pasien yang akan diberikan
terapi steroid jangka panjang.
5.5 efek pada saluran cerna
Kenaikan insiden ulkus peptikum pada pemberian glukokortikoid tidak terlalu didapatkan pada studi
kontrol (well controlled studies; Cooke, 1976). Tetapi, sekitar 10 15% dari pasien yang mendapatkan
steroid mungkin mengalami mual dan muntah, kemungkinan disebabkan karena iritasi lokal sekunder pada
lapisan mukosa lambung (Sterioff et al., 1974). Maka dari itu, terapi antasida profilaksis mungkin
dibutuhkan sebagai pencegahan pada pemberian terapi steroid. Pemberian steroid mungkin dapat
menimbulkan pankreatitis (Nelp, 1961). Walaupun pathogenesis dari pankreatitis ini belum diketahui, hal
ini tidak berhubungan dengan dosis dari steroid yang diberikan atau durasi terapi. Peningkatan viskositas
dari sekresi pancreas dan peningkatan konsentrasi lipid yang bersirkulasi telah dikatakan sebagai
kemungkinan etiologinya.
5.6 gangguan psikologis
Efek samping psikiatrik pada terapi glukokortikoid bervariasi dari insomnia, kegugupan (nervousness), dan
sedikit perubahan mood hingga skizofrenia dan percobaan bunuh diri (Glaser, 1953). Secara garis besar,
gangguan psikologis yang serius lebih mungkin berhubungan dengan keadaan kepribadian awal pasien
dibandingkan dengan dosis dari hormone yang diberikan. Maka dari itu, pasien dengan gangguan
kepribadian sebelumnya akan mengalami gangguan psikologis yan lebih berat. Tetapi, belum ada metode
yang tepat untuk menentukan kemungkinan reaksi psikologis dari pasien pada saat pemberian terapi steroid.
munculnya ketergantungan psikologis (psychological dependence) tidak jarang muncul pada pemberian
terapi steroid (Kimball, 1971). Pengarahan dan dukungan dari klinisian adalah hal yang sangat penting
untuk menghadapi keadaan ini.
5.7 efek pada mata (ocular effects)
Munculnya glaucoma setelah pemberian steroid di mata atau sistemik diperkirakan sekitar 40% pada pasien
(Giles, 1967). Pasien diabetic, pasien myopatik, dan pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan
glaucoma sudut terbuka adalah pasien-pasien yang memiliki resiko lebih tinggi. Obstruksi dari drainase
kamar depan (anterior chamber) di mata mungkin menjadi alasan peningkatan tekanan intraocular.
Munculnya katarak posterior subcapsular (posterior subcapsular cataract) juga telah dilaporkan, biasanya
karena pemberian terapi steroid dosis tinggi jangka panjang.
5.8 infeksi
Perhatian khusus harus diberikan pada kemungkinan munculnya infeksi sebelum terapi steroid diberikan.
Tuberculosis mungkin dapat ter-reaktivasi dengan pemberian terapi steroid bila tuberculosis tersebut tidak
diketahui sebelumnya. Pada pasien dengan resiko tinggi, terapi anti-tuberkulosis (OAT) harus diberikan
seiringan dengan pemberian terapi steroid. Karena steroid dosis tinggi menghambat reaksi tuberculin, x-
ray thorax periodic direkomendasikan untuk dilakukan bila terdapat demam atau penurunan berat badan
yang alasannya tidak dapat dijelaskan. Selain itu, pada keadaan yang sama, infeksi karena pathogen
oportunistik harus dipertimbangkan juga, terutama bila terapi steroid dikombinasi dengan terapi
imunosupresan lainnya.
5.9 pemberian topical (topical application)
Akhirnya, hal penting yang harus diingat adalah penyerapan sistemik dari kortikosteroid dapat muncul dari
permukaan mukosa atau kutaneus, terutama saat permukaan ini luka (gudul, denuded), contohnya saat
steroid dalam jumlah besar diaplikasikan ke kulit, terutama pada saat keadaan terhambat (occlusion).
Karena itu, efek samping yang telah dijelaskan pada terapi sistemik dapat muncul juga pada pemberian
steroid topical. Resiko dari penekanan adrenal meningkat di anak-anak, terutama bila steroid diberikan pada
permukaan yang luka pada diaper rash.

Anda mungkin juga menyukai