Anda di halaman 1dari 34

Asma dan PPOK

Bab I

PENDAHULUAN

Tubuh kita memiliki system respiratory yang berfungsi sebagai alat pernafasan dan
system terpenting dari kehidupan kita. Jika system respiratory kita rusak otomatis hidup kita
juga terganggu da terancam. Banyak penyakit respiratory atau pernafasan yang biasa
menyerang orang tua ataupun dewasa bahkan anak-anak terutama penyakit asma. Penyakit
asma seperti kita ketahui dapat menggangu kualitas hidup kita karena adanya kesulitan
bernafas. Salah satu penyebab asma ialah adanya alergi yang tedapat pada sebagian orang.
Dalam makalah ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai perbedaan asma dan juga
tentang penyakit paru obstruksi kronik dari segi pathogenesis dan klinis.

Secara singkat asma merupakan penyakit pernapasan yang ditandai dengan radang
kronik saluran napas akibat hiperresponsivitas jalan napas yang bersifat reversible dengan
atau tanpa pengobatan dan gejala yang timbul bersifat episodik. Penderita asma biasanya
disertai dengan riwayat alergi seperti gatal hidung, bersin, hidung tersumbat, gatal bila
terkena debu atau udara dingin serta gatal atau kemerahan setelah makan makanan tertentu.
Asma biasanya terjadi pada usiamuda seperti anak-anak sehingga masalah ini dapat
mengganggu aktivitas bersekolah anak-anak yang menderita asma.

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan reaksi radang kronik saluran napas akibat
terpajan zat kimia, biasanya berupa gas, hingga terjadi gangguan pernapasan yang bersifat
tidak sepenuhnya reversible. Reaksi radang kronik ini berlangsung progresif (semakin lama
semakin berat) terutama bila penyebab radang tidak disingkirkan. Radang saluran napas ini
biasanya disebabkan oleh kebiasaan merokok dan menghirup gas buang industri atau
kendaraan. Penyakit ini juga bisa disebabkan oleh kelainan produksi enzim -1antitripsin dan
biasanya terjadi pada penderita PPOK sebelum usia tua.

Latar belakang demografis asma terutama diderita usia muda sementara PPOK terutama
diderita usia tua. Diagnosis asma tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi pada kelompok usia
tua. Kedua penyakit pernapasan ini menyebabkan keluhan yang hampir sama yaitu sesak dan
kadang disertai dengan suara mengi (wheezing) pada saat bernapas atau awamnya disebut
bengek. Sifat sesak ini, serta gejala-gejala lain, bila ditelusuri dengan teliti pada penyakit
asma berbeda dengan PPOK. Seseorang usia tua dengan keluhan sesak dapat didiagnosis
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

1
Asma dan PPOK

sebagai asma atau PPOK dan untuk menentukan kepastian antara kedua diagnosis ini
merupakan tantangan tersendiri.

Bab II
ASMA

DEFINISI

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan nafas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.1

EPIDEMIOLOGI

Pravelensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa anak-anak
ditemukan prevalensi anak laki berbanding anak perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut hampir sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak
daripada laki-laki.Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula
yang melaporkan pravelensi dewasa lebih tinggi dari anak.1

PATOFISOLOGI

Patofisiologi dari asma sangat kompleks dan terdiri dari beberapa komponen seperti :

1. Inflamasi saluran nafas

Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa
sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-
akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

2
Asma dan PPOK

radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan
penyebabnya, baik yang alergik maupun non alergik.2

Masuknya alergen akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel
penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th (T penolong). Sel Th ini akan memberikan instruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX)
dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi
mukus dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hiperaktivitas saluran napas.2
Inflamasi akut
Pencetusnya antara lain alergen, virus, iritan yang menginduksi respon
inflamasi akut yang terdiri dari reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti
reaksi asma tipe lambat.2
o Reaksi asma tipe cepat
Melibatkan Ig E yang menempel pada sel mast dan mengeluarkan histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan
PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.
o Reaksi fase lambat
Timbul 6-9 jam setelah provokasi alergen dan mengaktivasi eosinofil, sel T
CD+4, netrofil dan makrofag.
Inflamasi kronik
Melibatkan limfosit T yang berperan dalam maturasi, aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil, makrofag yang berperan pada regulasi
airway remodeling, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.2
Airway remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma menimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel baru. Proses
ini melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

3
Asma dan PPOK

yang sama dan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma,
kedua proses ini berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi kemudian
akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme kompleks dan
belum banyak diketahui yang dikenal degan airway remodelling. Konsekuensi klinis
airway remodelling adalah peningkatan gejala tanda asma seperti hiperaktivitas jalan
nafas, masalah disensibilitas/regangan jalan nafas dan obstruksi jalan nafas.3

2. Obstruksi saluran napas

Obstruksi saluran nafas dapat diakibatkan oleh beberapa hal termasuk


bronkokonstriksi akut, edema saluran napas, remodelling saluran napas yang
berhubungan dengan perubahan struktur saluran napas akibat inflamasi lama.2,3

3. Hiperaktivitas saluran napas (HSN)

Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat
kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain
peka terhadap rangsangan tersebut diatas pasien juga sangat peka terhadap alergen
yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperaktivitas saluran napas seseorang yaitu:
inflamasi saluran napas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik,
dan obstruksi saluran napas.2,3

Patogenesis Asma.
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak
semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap
asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali
dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

4
Asma dan PPOK

kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang
dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major
Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4 + dan MHC kelas I pada
sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,
makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.

Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma
timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari
sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada
saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T
pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2,
selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen,
serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan
aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin
lama semakin kuat.

Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan


deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan
sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase
(MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor
pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

5
Asma dan PPOK

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam
remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan
jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal
tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar
submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran
respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Faktor Risiko Faktor Risiko


Inflamasi

Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
Faktor Risiko Gejala
dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat
epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa
sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

6
Asma dan PPOK

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan


asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet
Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.

FAKTOR PENCETUS

Pada penderita asma, penyempitan saluran pernapasan merupakan respon terhadap


rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernapasan.
Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti:

A. Faktor pada pasien 4,5


Aspek genetik, ras /etnik

Kemungkinan alergi

Saluran napas yang memang mudah terangsang

Jenis kelamin

B. Faktor lingkungan

1. Bahan-bahan di dalam ruangan :4

Tungau debu rumah

Binatang, kecoa

2. Bahan-bahan di luar ruangan :4

Tepung sari bunga

Jamur

3. Makanan-makanan tertentu, bahan pengawet, penyedap, pewarna makanan4

4. Obat-obatan tertentu4

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

7
Asma dan PPOK

5. Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )4

6. Ekspresi emosi yang berlebihan4

7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif4

8. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan4

9. Infeksi saluran napas4

10. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas fisik tertentu.4

11. Perubahan cuaca4

12. Infeksi parasit 5

13. Status sosial ekonomi 5

14. Perubahan cuaca 5

DIAGNOSIS

Studi epidemiologi menunjukan asma underdiagnosed diseluruh dunia dunia,


disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit
yang bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke
dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variability yang berkaitan dengan cuaca.5

Riwayat penyakit / gejala :5

Bersifat episodik, sering kali reversible dengan atau tanpa pengobatan


Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat didada dan berdahak

Gejala timbul / memburuk terutama malam / dini hari

Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

Respons terhadap pemberian bronkodilator


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

8
Asma dan PPOK

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :5

Riwayat keluarga
Riwayat alergi

Penyakit lain yang memberatkan

Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Jasmani 5

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Sewaktu serangan, terjadi
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi yang dapat menyumbat saluran
napas; maka sebagai kompensasi, penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernafasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi
dan penggunaan otot bantu napas.

Pemeriksaan Penunjang

Spirometri

Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator


hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) atau kapasiti vital paksa (KVP) sebanyak 20% menunjukan
diagnosis asma. Tetapi respon yang kurang dari 20% tidak berarti bukan asma.2
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. 2 obstruksi jalan napas diketahui

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

9
Asma dan PPOK

dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Reversibilitas yaitu
perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/
oral) 2 minggu. Reversibilitas ini dapat membantu diagnosis asma.5

Uji Provokasi Bronkus 2

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas


bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberpa cara seperti uji provokasi dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik.penurunan
VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan
dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung
80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukan penurunan APE (Arus
Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%. Uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan
pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji.

Pemeriksaan Sputum 2

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma. Selain untuk melihat adanya
eosinofil, kristal Charcot-Leyden penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus
fumigatus.

Pemeriksaan Eosinofil Total 2

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini
dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga
dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid
yang dibutuhkan pasien asma.

Uji Kulit 2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

10
Asma dan PPOK

Tujuannya untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini
hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen positif tidak selalu merupakan penyebab
asma, demikian sebaliknya.

Foto Dada2

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran


napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.

Analisis Gas Darah 2

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. pada fase awal serangan,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang
lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma
yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 45 mmHg). Hipoksemia, dan asidosis
respiratorik.

Dari etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara, asma dapat diklasifikasikan
menjadi :
Asma intermitten
Asma persisten ringan
Asma persisten sedang
Asma persisten berat
KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis
sebelum pengobatan dimulai (tabel 1). Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan
pengobatan yang telah belangsung seringkali tidak adekuat. Tabel 2 menunjukkan bagaimana
melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila
pengobatan yang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat asma naik
satu tingkat. Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

11
Asma dan PPOK

pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat. Penilaian berat
serangan akut juga penting terutama dalam penanganan serangan (tabel 3).2

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, juga utuk mengontrol peyakit.2

Program penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen.2


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teraur
7. Pola hidup sehat.

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas, terdiri
dari pengontrol dan pelega.2
Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persiten. Yang termasuk pengontrol/pencegah adalah:2
1. Glukokortikoid inhalasi
Glukokortikoid inhalasi merupakan medikasi jangka panjang yang paling
efektif untuk mengontrol asma dan merupakan pilihan bagi pengobatan asma
persisten ringan sampai sedang. Kurva dosis respons steroid inhalasi relatif datar,
yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat
untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperresponsif jalan nafas), tetapi bahkan
meningkatkan resiko efek samping. Sehingga apabila steroid inhalasi tidak dapat
mencapai asma terkontrol maka dianjurkan menambah obat pengontrol lainnya. Efek
samping steroid inhalasi adalah kandidosisi oral, disfonia dan batuk karena iritasi
saluran nafas atas. Contoh preparat ini adalah beklometason dipropionat, triamsinolon
asetonid, budesond, flunisolid, flutikason.2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

12
Asma dan PPOK

2. Glukokortikoid sistemik
Cara pemberian oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma pesisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi
penggunaanya terbatas mengingat indeks terapi (efek/efek samping) steroid inhalsi
jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih
efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Steroid oral
jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat
tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi.2
3. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Merupakan antiinflamasi nonstrerid yang pemberiannya secara inhalasi,
sebagai pengontrol asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan
untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.2
4. Metilsantin
Teofilin mempunyai efek bronkodilatasi pada konsentrasi tinggi (>10mg/dl)
dan efek antiinflamasi pada konsentrasi rendah (5-10mg/dl).Teofilin juga digunakan
sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asma berat. Bagi pelega,
teofilin/aminofilin oral diberikan bersama dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai
alternatif bronkdilator bila dibutuhkan. Preparat lepas lambat mempunyai waktu kerja
lama sehinga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasikan
dengan antiinflamasi yang lazim. Studi menunjukkan metilxantin sebagai terapi
tambahan glukokortikoid inhalasi dosis rendah atau tinggi adalah efekif mengontrol
asma. Di Indonesia kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja
singkat sebagai bronkodilator, namun harus diingat sebaiknya tidak memberi
teofilin/aminofilin baik tunggal maupun dalam kombinasi sebagai
pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/aminofilin lepas lambat
sebagai pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin dalam serum
penderita dalam pengobatan jangka panjang, umumnya efek toksik serius tidak terjadi
bila kadar dalam serum <15 g/ml. Perhatikan berbagai keadaan yang dapat
mengubah metabolisme teofilin antara lain demam, hamil, penyakit hati, gagal
jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin.
Selain itu sering terjadi interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi dosis
pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

13
Asma dan PPOK

5. Agonis beta-2 kerja lama


Termasuk dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pada pemberian jangka
lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama
yang diberikan jangka lama mempunyai efek proteksi terhadap rangsang
bronkokonstriktor.2
Inhalasi agonis beta-2 kerja sama sebaiknya diberikan ketika dosis standar
glukokortikoid inhalasi gagal mengontrol dan sebelum meningkatkan dosis
glukokortikoid inhalasi tersebut. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis
beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi. Penambahan agonis beta-2 kerja
lama inhalasi pada pengobatan glukokortikoid inhalasi, memperbaiki gejala,
menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis
beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma. Berbagai
penelitian juga menunjukkan bahwa memberikan glukokortikoid kombinasi dengan
agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama efektifnya dengan
memberikan keduanya dalam satu kemasan (fixed combination) inhaler lebih nyaman
untuk penderita, dosis yang diberikan masing-masing lebih kecil, meningkatkan
kepatuhan, dan harganya lebih murah.2
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemi) yang lebih sedikit
atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang
beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol.
Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis
beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa
rangsangan kardiovakular. ansietas dan tremor otot rangka.2
6. Leukotrine modifiers
Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral serta
menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator juga mempunyai
efek antiinflamasi. Penderita denagn aspirin induced asthma menunjukkan respon
yang baik dengan pengobatan ini.2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

14
Asma dan PPOK

Pelega (reliever)
1. Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja
sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan
bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast.
Agonis beta-2 kerja singkat merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan
sangat bermanfaat sebagai preterapi pada exercise-induced asthma. Kebutuhan yang
meningkat bahkan setiap hari adalah pertanda perburukan asma dan menunjukkan
perlunya terapi inflamasi. Demikian pula, gagal melegakan nafas segera atau respon
tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah
petanda dibutuhkannya glukokortikoid oral. Efek sampingnya adalah rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh
lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral.2
2. Metilsantin
Aminofilin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja
singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis
adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk memperkuat fungsi otot pernafasan dan
mempertahankan respon terhadap agonis beta-2 kerja singkat diantara pemberian satu
dengan berikutnya. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita
yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat
kadar teofilin dalam serum.2
3. Antikolinergik
Pemberian secara inhalasi yang menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intriksik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkokonstriksi onsetnya lama dan
membutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum, tidak mempengaruhi
reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

15
Asma dan PPOK

inflamasi.Yang termasuk golongan ini adalah ipatropium bromide dan tiopropium


bromide.2
Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan
oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi
penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Pada asma
kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade reseptor
muskarinik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan
obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua.
Disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agonis beta-2 kerja
singkat singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada
serangan asma yang kurang respon dengan agonis beta-2 saja, sehingga tercapai efek
bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan
sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan
agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardi, aritmia, dan tremor. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.2
4. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis beta-2, atau tidak respon dengan agonis beta-2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita lanjut usia atau
dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).2

Pada Tabel 4 akan diklasifikasikan pengobatan sesuai beratnya asma serta rencana
pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan pada tabel 5.

Asma dikatakan terkontrol bila:


1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Efek samping obat minimal (tidak ada)
6. Tidak ada kunjungan ke IGD.

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

16
Asma dan PPOK

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru


I. Intermiten Bulanan 2x/bulan APE 80%
VEP1 80% nilai
Gejala <1x/minggu prediksi
Tanpa gejala ditiap APE 80% nilai
serangan terbaik
Serangan singkat Variability
APE<20%
II. Persisten Mingguan 2x/bulan APE >80%
ringan Gejala VEP1 80%
>1x/minggu, tapi nilai prediksi
APE 80%
<1x/hari
Serangan dapat nilai terbaik
Variability
mengganggu
APE 20-30%
aktivitas dan tidur
III. Persisten Harian 1x/minggu APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari VEP1 60-80%
Serangan nilai prediksi
mengganggu APEnilai
aktivitas dan tidur terbaik
Membutuhkan Variability
bronkodilator APE >30%
setiap hari

IV. Persisten Kontinu sering APE 60%


berat Gejala terus VEP1 60%
menerus nilai prediksi
Sering kambuh APE 60%
Aktivitas fisik nilai terbaik
terbatas Variability
APE >30%
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan) dikutip
dari (2)

Gejala dan faal paru Tahap I : intermiten Tahap II: persisten ringan Tahap III: persisten
dalam pengobatan sedang

Tahap I: intermiten Intermiten Persisten ringan Persisten sedang


Gejala <1xmgg

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

17
Asma dan PPOK

Serangan singkat
Gejala malam <2x/bln
Faal paru normal diluar
serangan
Tahap II: persisten Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
ringan
Gejala >1x/mgg, tapi
<1x/hari
Gejala malam >2x/bln,
tapi <1x/mgg
Faal paru normal diluar
serangan
Tahap III: persisten Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
sedang
Gejala setiap hari
Serangan mempengaruhi
aktivitas tidur
Gejala malam >1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai
prediksi
60%<APE<80% nilai
terbaik
Tahap IV: persisten Persisten berat Persisten berat Persisten berat
berat
Gejala terus menerus
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP160% nilai prediksi,
atau
APE 60% nilai terbaik
Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan. Dikutip dari (2)
Gejala dan Berat serangan akut Keadaan
Ringan Sedang Berat
tanda mengancam
jiwa

Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat


Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang membungkuk
Cara bicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

18
Asma dan PPOK

Kesadaran Mungkin gelisah gelisah Mengantuk,


gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi nafas <20x/mnt 20-30x/mnt >30x/mnt
Nadi <100 100-120 >120 Bradikardi
Pulsus 10 mmHg 10-25 mmHg >25 mmHg Kelelahan otot
paradoksus
Otot bantu - + + Torakoabdominal
nafas dan paradoksal
retraksi
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi Inspirai dan Silent chest
ekspirasi
APE >80% 60-80% <60%
PaO2 >80 mmHg 60-80 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%
Tabel 3. Klasifikasi berat serangan asma akut. Dikutip dari (2)

Semua tahapan: ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi
3-4x/hari
Berat asma Medikasi pengontrol harian Alternatif Alternatif lain
Asma intermiten Tidak perlu - -
Asma persisten Glukokortikoid inhalasi(200- Teofilin lepas lambat Ditambah
ringan 400 g BD/hari atau Kromolin agonis beta-2
Leukotrine modifiers
ekuivalennya) kerja lama
oral, atau
Ditambah
teofilin lepas
lambat
Asma persisten Kombinasi inhalasi Glikokortikoid inhlasi
sedang glukokortikoid (400-800g (400-800g/BD atau
BD/hari atau ekuivalennya) ekuivalennya)
dan agonis beta-2 kerja lama ditambah teofilin lepas
lambat
Glukokortikoid
inhalasi (400-

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

19
Asma dan PPOK

800g/BD atau
ekuivalennya)
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral, atau
Glikokortikoid inhalasi
dosis tinggi (>800 g
BD atau ekuivalennya)
ditambah leukotrine
modifiers

Asma persisten Kombinasi inhalasi Prednisone/metilprednisolon


berat glukokortikoid oral selang sehari 10 mg
(>800g/BD/hari atau ditambah agonis beta-2 kerja
ekuivalennya) dan agonis lama oral, ditambah teofilin
beta-2 kerja lama, ditambah lepas lambat
1 dibawah ini:
Teofilin lepas lambat
Leukotrine modifiers
Glukokortikoid oral
Semua tahapan: bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian
turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
Table 4. Pengobatan sesuai asma berat dikutip dari (2)

Serangan Pengobatan Tempat pengobatan


Ringan
Aktiviti relatif normal Terbaik: Di rumah
Berbicara satu kalimat dalam satu Inhalasi agonis beta-2
nafas Alternative: Di praktek dokter/klnik/
Nadi <100 Kombinasi agonis beta-2 dan puskesmas

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

20
Asma dan PPOK

APE >80% teofilin

Sedang Terbaik: Darurat gawat/RS


Jalan jarak jauh timbulkan gejala Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Berbicara beberapa kata dalam satu Alternative: Praktek dokter
nafas Agonis beta-2 sc Puskesmas
Nadi 100-120 Aminofilin iv
Adrenalin 1/1000 0,3 ml
APE 60-80%
sc
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

Berat Terbaik: Darurat gawat/RS


Sesak saat istirahat Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Berbicara kata perkata dalam satu Alternative:
nafas Agonis beta-2 sc/iv
Nadi >120 Adrenalin 1/1000 0,3 ml

APE <60% atau 100l/dtk sc


Aminofilin bolus dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid iv
Mangancam jiwa
Kesadaran berubah/menurun Seperti serangan akut berat Darurat gawat/RS
Gelisah Pertimbangkan intubasi dan ICU
Sianosis ventilasi mekanik
Gagal nafas
Tabel 5. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobtan. Dikutip dari (2)

Bab III

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

DEFINISI
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas beracun/berbahaya.6

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

21
Asma dan PPOK

ETIOLOGI
Rokok merupakan 90% penyebab PPOK. Penyebab lainnya adalah:6,7
Herediter (contohnyadefisiensi alfa-1 antitripsin)
Perokok pasif
Polusi udara di tempat kerja dan lingkungan (debu atau kimiawi)
Riwayat infeksi paru anak-anak
Seseorang berusia lebih dari 40 tahun dan menjadi perokok atau merokok dimasa
lalunya meupakan faktor resiko untuk menderita PPOK.6

EPIDEMIOLOGI
Laporan terbaru The Lung Association menunjukkan 1,5 juta penduduk Kanada
didiagnosa PPOK. Satu koma enam juta penduduk Kanada lainnya bisa saja menderita
PPOK namun belum terdiagnosa. Jumlah kasus PPOK akhir-akhir ini sedang berkembang.
Para dokter memperkirakan PPOK akan menjadi penyebab ketiga kematian di dunia (dan di
Kanada) pada tahun 2020. Sekarang, kebanyakan penderita PPOK adalah wanita.7

PATOGENESIS
PPOK ditandai dengan inflamasi kronik saluran nafas, parenkim, dan pembuluh
darah. Inflamasi merusak paru dan menimbulkan gambaran patologis pada PPOK. Dua
proses penting pada patogenesis PPOK adalah ketidakseimbangan proteinase dan
antiproteinase di paru dan stress oksidatif. Proses ini bisa berasal dari proses inflamasi itu
sendiri atau berasal dari lingkungan (contohnya dari asap rokok) atau genetik (contohnya
defisiensi alfa-1 antitripsin). Gambar 1 akan menjelaskan interaksi mekanisme tersebut.

Noxiuous particles and gases


Host factor
Lung
inflammation
antioxidants antiproteinases
proteinases
Oxidative stress

Repair mechanisms

COPD pathology

Gambar1. Patogenesis PPOK. Dikutip dari (6)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

22
Asma dan PPOK

PPOK secara perlahan-lahan dapat merusak saluran nafas. Penderita PPOK memiliki
saluran pernafasan yang bengkak dan tersumbat sebagian, bisa juga terdapat kerusakan pada
alveolus di ujung saluran nafas. Hambatan aliran udara kronik pada PPOK disebabkan
gabungan obstruksi saluran nafas kecil (obstruktif bronkiolitis) dan kerusakan parenkimal
(emfisema).7
PPOK menyebabkan kesulitan bernafas karena:7
Saluran nafas dan alveolus paru kehilangan bentuk dan elastisitas
Kerusakan dinding alveolus
Dinding saluran nafas menjadi tebal dan bengkak
Sel-sel saluran nafas memproduksi mukus lebih banyak dari biasa sehingga
menyumbat saluran nafas.

Pada bronkitis kronik faktor pencetusnya adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan
oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap
hembusan asap rokok terdapat l0 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH). Sebagian besar
radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan
oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena
rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Anti elastase berfungsi menghambat netrofil.
Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan
intersititial alveolus. Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan
cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat.
Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan
aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang
berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan
ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di
saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.
Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini
menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversible.7
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang permanen dan
destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

23
Asma dan PPOK

kronik (PPOK) yaitu emfisema pan-acinar dan emfisema sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar
kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan
permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga
timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan
daerah perifer acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit
saluran napas perifer .7
Pada sindrom obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT) mekanisme obstruksi terjadi oleh
karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberkulosis. Timbulnya fibrosis
mengakibatkan saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses
fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas
pada penyakit ini.7

TANDA DAN GEJALA


Penderita PPOK biasa memiliki kombinasi dari ciri-ciri berikut:6,7
o Sesak nafas (terkadang penderita seperti bernafas melalui sedotan)
o Batuk
o Produksi sputum
o Aktivitas terbatas
o Barrel chest
o Wheezing
o Infeksi paru lama dan sering (misalnya flu, pneumonia, dll)
o Lelah (fatigue)
o Penurunan berat badan

DIAGNOSA
Cara mendiagnosa PPOK akan dijelaskan pada bagan dibawah ini:

Faktor resiko Sesak nafas


Usia Batuk kronik produksi sputum
Riwayat pajanan: asap rokok, Keterbatasan aktivitas
polusi udara, polusi tempat
kerja

Pemeriksaan fisik*

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

24
Asma dan PPOK

Curiga Pemeriksaan foto Infiltrat, massa,


PPOK** toraks dll

Fasilitas Fasilitas spirometri (+)


spirometri(-)

Normal 30%<VEP1<70% prediksi

VEP1/KEP<80%

PPOK Resiko PPOK Bukan


secara PPOK derajat PPOK
klinis derajat 0 I/II/III/IV

Gambar 2. Diagnosa PPOK. Dikutip dari (6)

*Pemeriksaan fisik
A. normal
B. kelainan
o Bentuk dada: Barrel chest
o Penggunaan alat bantu nafas
o Pelebaran sela iga
o Hipertrofi otot bantu nafas
o Fremitus melemah, sela iga melebar
o Hipersonor
o Suara nafas vesikuler melemah atau normal
o Ekspirasi memanjang
o Mengi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

25
Asma dan PPOK

**Foto toraks curiga PPOK


a. Normal
b. Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler meningkat
Bullae
Jantung pendulum

KLASIFIKASI
PPOK dapat diklasifikasikan berdasarkan hasil pengukuran spirometri (tabel 6).
Derajat Klinis Faal Paru
Derajat 0 Beresiko Gejala klinis (batuk, Normal
produksi sputum)
Derajat I : PPOK Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
Ringan klinis (batuk, produksi VEP1 > 80% prediksi
sputum)
Derajat II : PPOK Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
Sedang klinis (batuk, produksi 30% < VEP1 <80%
sputum). Gejala prediksi
bertambah sehingga
menjadi sesak. IIA : 50% < VEP1 <80%
prediksi

IIB : 30% < VEP1 <50%


prediksi
Derajat III : PPOK Gejala diatas ditambah VEP1/KEP < 75%
Berat tanda-tanda gagal napas 30% < VEP1 < 50%

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

26
Asma dan PPOK

dan tanda gagal jantung prediksi


kanan.
Tabel 6. Dikutip dari (6)

VEP1= Volume Ekspirasi Paksa detik 1


KVP = Kapasitas Vital Paksa

PENATALAKSANAAN
Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan
untuk memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan
faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih
besar dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa
nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52
ml setiap tahunnya.6,7
Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari:8
I. Penatalaksanaan umum
II. Pemberian obat-obatan
III. Terapi oksigen
IV. Rehabilitasi

I. PENATALAKSANAAN UMUM

Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adalah:8


1. Pendidikan terhadap penderita dan keluarga
Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit,
faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa
memperburuk penyakit. Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan
pengobatan.
2. Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

27
Asma dan PPOK

harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk


perjalanan penyakit.
3. Menghindari infeksi
Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat
menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
4. Lingkungan sehat
Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat
meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian
dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada
penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat
bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.
5. Mencukupkan kebutuhan cairan
Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan.
Pada keadaan dekompensasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi
memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.
6. Nutrien yang cukup
Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena penderita
sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat-obatan
yang menimbulkan rasa mual.

II. PEMBERIAN OBAT-OBATAN


1) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi
saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator
utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan xantin; ketiga
obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam
otot saluran napas persarafan langsung simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak
terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2.
Pemberian agonis beta menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan
adenilsiklase, yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi. Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui N.vagus.
Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

28
Asma dan PPOK

bronkokonstriksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dapat menimbulkan
relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi. Obat golongan xantin bekerja
sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum diketahui dengan jelas.8

Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilatasi adalah:8


o Blokade reseptor adenosin
o Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
o Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
o Meningkatkan ambilan kalsium kedalam sel otot polos dan penghambatan
penglepasan mediator dan sel mast.
Pada gambar 4 dapat dilihat skema cara kerja obat-obat bronkodilator untuk menimbulkan
bronkodilatasi.
Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan efedrin selain memberikan efek
bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi, pemakaian obat-obat yang selektif
terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap
selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol.
Disamping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi
lendir. Pemberian agonis beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka
gejala akan berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Dosis
salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8 mg
dengan efek samping yang lebih minimal.8
Agonis beta-2 kerja singkat yang sering digunakan membuka saluran nafas secara
cepat., contohnya Ventolin dan Airomir (salbutamol), Bricanyl (terbutaline), Berotec
(fenoterol).
Bila penderita mulai membutuhkan dosis agonis beta-2 yang tinggi untuk mengontro\l
gejalanya, biasanya dokter akan menggantinya dengan agonis beta-2 kerja panjang, antara
lain Serevent (salmeterol), Oxeze dan Foradil (formoterol).7
Antikolinergik merupakan bronkodilator utama pada PPOK, karena pada PPOK
obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. 1 Contoh
preparat antikolinergik diantaranya Atrovent (ipratropium) dan Spiriva (tiotropium). Agonis
beta-2 kerja singkat dan antikolinergik dapat dikombinasi dalam satu inhaler. Bagi beberapa
penderita PPOK, kombinasi ini lebih dapat mengurangi sesak nafas dibandingkan bila obat

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

29
Asma dan PPOK

tersebut diberikan secara terpisah.8 Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan


bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xantin memberikan efek bronkodilatasi yang
lebih baik, sehingga dosis dapat diturunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit.1
Contoh kombinasi agonis beta-2 kerja singkat dan antikolinergik adalah Combivent
(salbutamol and ipratropium).7
Golongan xantin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat
bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada
penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xantin ini dipengaruhi
oleh faktor umur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan
eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xantin pada PPOK membutuhkan pemantauan
yang ketat.8 Contoh preparat xantin antara lain Theophylline, Uniphyl, Theo-Dur.6
Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan oleh karena cara ini memberikan
berbagai keuntungan, yaitu:8
o Obat bekerja langsung pada saluran napas
o Onset kerja yang cepat
o Dosis obat yang kecil
o Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah.
o Membantu mobilisasi lendir.
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun tidak
terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2-3 bulan pemberian obat tidak terlihat
perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan
pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan
akut. Pemberian bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk
kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang minimal.8
2) Ekspektorans dan mukolitik
Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa
keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk
seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan
menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat
napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas
dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti
bromheksin, dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistin

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

30
Asma dan PPOK

selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek antioksidan yang melindungi saluran napas
dan kerusakan yang disebabkan oleh oksidan.8
3) Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada
keadaan eksaserbasi. Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi
bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin memburuk. Penanganan
infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian
antibiotika dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Perubahan warna sputum dapat
merupakan indikasi infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan
penisilin, eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7-10 hari. Apabila
antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.8
4) Kortikosteroid
Sebagai antiinflamasi, biasa dikonsumsi dalam bentuk inhalasi. Kortikosteroid bekerja
untuk waktu yang lama untuk mengurangi batuk dan inflamasi di saluran nafas. Penelitian
baru menunjukkan penderita PPOK yang menggunakan kortikosteroid sejak pertama kali
serangan menunjukkan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan penderita yang tidak
menggunakan kortikosteroid. Contoh kortikosteroid inhalasi Flovent (fluticasone),
Pulmicort (budesonide), Qvar (beclomethasone). Kortikosteroid bentuk tablet (contohnya
prednisone) sering diberikan pada penderita dengan serangan atau infeksi paru parah. Efek
samping yang ditimbulkan kortikosteroid tablet lebih banyak daripada steroid inhalasi.
Beberapa obat terdiri dari kombinasi antiinflamasi dengan agonis beta-2 kerja panjang untuk
mengurangi inflamasi, mengurangi sesak nafas dan mengurangi jumlah serangan PPOK,
contohnya Advair (fluticasone and salmeterol), Symbicort (budesonide and formoterol).6
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun PPOK
memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama
beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4-7 hari, kemudian
diturunkan bertahap selama 7-10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat
dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian
kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian
kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit.8
Pada tabel 7 akan dijelaskan penatalaksanaan menurut derajat PPOK.

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

31
Asma dan PPOK

III. TERAPI OKSIGEN


Pada penderita dengan hipoksemia, yaitu Pa02 < 55 mmHg pemberian oksigen
konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemia dapat mencetuskan
dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas.
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya
oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi
kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk
mencegah dan menyembuhkan atelektasis.8

IV. REHABILITASI
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi
bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ketingkat yang
optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas,
perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna
untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.
Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar
penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai
dengan kemampuan penderita.8

Derajat Karakteristik Rekomendasi pengobatan


Semua derajat Hindari factor pencetus
Vaksinasi influenza
Derajat 0 Gejala klinik (batuk, dahak)
Berresiko Terpajan faktor resiko
Spirometri normal

Derajat I VEP1/KVP <70% a. Bronkodilator kerja singkat ( LABA,


PPOK ringan VEP1 80% prediksi Antikolinergik kerja singkat) bila perlu
b. Pemberian antikolinergik kerja lama sebagai
Dengan atau tanpa gejala
terapi pemeliharaan

Derajat II VEP1/KVP <70% 1. pengobatan regular dengan bronkodilator :


a. antikolinergik kerja lama sebagai terapi
PPOK sedang 50% <VEP1<80% prediksi
pemeliharaan
Dengan atau tanpa gejala
b. LABA
c. simptomatik
2. rehabilitasi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

32
Asma dan PPOK

Derajat III VEP1/KVP 70% 1. pengobatan regular dengan 1 atau lebih


PPOK berat 30% VEP1 50% prediksi bronkodilator
a. antikolinergik kerja lama sebagai terapi
Dengan atau tanpa gejala
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
VEP1/KVP <70% 1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih
VEP1 <30% prediksi atau gagal bronkodilator
a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
nafas atau gagal jantung kanan
pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan pada komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal nafas
4. Pertimbangkan terapi pembedahan
Tabel 7. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK. Dikutip dari (6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Bahar S.. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati
S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta 2006.
2. Sundaru, H., Sukamto. Asma Bronkial. Dalam Sudoyo, A. dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Cetakan kedua. Revisi Mei. FKUI. Jakarta. Juni
2006. Hal 245 250
3. Morris, J.M., Asthma. Available at http://emedicine.com/asthma last log in 07 Maret
2017
4. Penyebab Penyakit Asma dan Faktor Pencetus Serangan Asma. Available at
http://medicastore.com last log in 07 Maret 2017.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
di Indonesia. Balai Penerbitan FKUI. Jakarta. 2004
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

33
Asma dan PPOK

6. MacNee W. Pathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac


Soc 2005; 2: 258-266.

7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan


di Indonesia. Balai Penerbitan FKUI. Jakarta. 2004
8. Boer WI, Alaagappan VKT, Sharma HS. Molecular Mechanisms in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease Potential Targets for Therapy. Cell Biochemistry and
Biophysics 2007; 47:131-148

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 6 Maret 11 Mei 2017

34

Anda mungkin juga menyukai