Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

Oleh:

A. Riza Zainudin
NPM: 16710195

Dokter Pembimbing:
dr. Trinandika Ardhana, Sp.Jp FIHA

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD Dr. MOHAMMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2017

1
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

1. Perbedaan Sindrom Nefritik dan Sindrom Nefrtotik............................. 3


2. Definisi dan Klasifikasi Krisis Hipertensi............................................. 3
3. Sindrom Kardio Renal............................................................................ 9
4. Klasifikas Gagal Jantung........................................................................ 11
5. Faktor Koagulasi.................................................................................... 13

2
1. Perbedaan Sindrom Nefrotik dan Sindrom Nefritik

GLOMERULAR DISEASE

Sindrom Nefritik Sindrom Nefrotik


Azotemia, - Proteinuria masif (> 3.5
Hipertensi, gram/24 jam / 1,73 m2 atau
Edema, 40-50 mg/kg/hari / +3-+4 )
Hematuria (RBC cast), - Hipoalbuminemia
proteinuria (< 3 g/hr), - Edema anasarka
terkadang oliguria - Hiperlipidemia
- Lipiduria

2. Definisi dan Klasifikasi Krisis Hipertensi

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas


pengobatan, sebagai berikut :
A. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu
dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive
care unit atau (ICU/ICCU).
B. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam
24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :


a) Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110
mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada
penderita dan kepatuhan pasien.
b) Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan
kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c) Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120
130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna,

3
biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder
dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.
d) Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan
sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversible bila TD diturunkan.

DIAGNOSA
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita
sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.
Anamnesa
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :
Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
Usia : sering pada usia 40 60 tahun.

4
Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ).
Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem
paru, nyeri dada ).
Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis. Riwayat kehamilan :
tanda eklampsi.

Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari
kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung
kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan
kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
b. urine : Urinelisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana ).
2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
yang pertama ) :
a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi
renald ( kasus tertentu ).
b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT
Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,
metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

Faktor presifitasi pada krisis hipertensi


Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat
dibedakan hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi
krisis hipertensi. Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya
krisis hipertensi, antara lain :

5
Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial
(tersering).
Hipertensi renovaskular.
Glomerulonefritis akut.
Sindroma withdrawal anti hypertensi.
Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf pusat.
Renin-secretin tumors.
Pemakaian prekusor katekholamine pada pasien yang mendapat MAO.
Inhibitors.
Penyakit parenkhim ginjal.
Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO Inhibitor,
simpatomimetik ( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID.
Luka bakar.
Progresif sistematik sklerosis, SLE.

PENANGGULANGAN HIPERTENSI EMERGENSI

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :

Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether
(bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler.
Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. - tentukan penyebab krisis hipertensi -
singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT - tentukan adanya kerusakan
organ sasaran
Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya,
cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan
usia pasien. - penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak
kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam
pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm
). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat. -
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal :
dissecting anneurysma aorta.
TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

6
Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi Obat anti hipertensi oral atau parenteral
yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi
emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ
sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah
satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous.


Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg /
menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan
dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration
of action 3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i. V. Efek samping : sakit
kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus.
Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12
jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit
sampai TD yang diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah,
distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam,
i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10
40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular. Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan
cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60
menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama
untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 20 mg secar i.v
bolus atau i.m. Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem
simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action
: 1 5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia
urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg
secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10
menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,
bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration
of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi
lebih sering dijumpai.
7
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam.

Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal sindrome
dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini
kurang disukai untuk terapi awal. 10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc
dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal
setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut
kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan
sindroma putus obat.

Penaggulangan hipertensi urgensi :

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur
kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai
pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi
hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan. Obat-obat oral anti hipertensi yang
digunakan a.l :

Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset 5 10


menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 15 menit secara sublingual/buccal). Efek
samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.

Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 60 menit Duration of Action 8-12
jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping :
sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart block,
brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.

Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30
menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut
pada penderita bilateral renal arteri sinosis.

Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.Efek
samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.

8
3. Sindrom Kardio Renal adalah
CRS adalah penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung.
Mengingat fungsi ginjal antara lain mengatur garam dan cairan maka penurunan
fungsinya akan menyebabkan pengobatan terhadap gagal jantung terganggu. Definisi ini
tidak dapat menjelaskan semua bentuk korelasi antar organ ginjal-jantung, oleh karena
itu Ronco dkk (2008) mengusulkan perbaikan definisi CRS sebagai berikut :

Pada cardiorenal syndrome (CRS) : Pompa jantung menjadi lemah (pump failure) dan
stroke volume menurun, akibatnya terjadi kelebihan cairan dalam pembuluh darah

9
(volume overload). Bila fungsi ginjal masih baik maka ginjal akan membantu dengan
meningkatkan diuresis dan ekskresi natrium. Tetapi pada kondisi klinik ini telah terjadi
juga gangguan fungsi ginjal sehingga mekanisme normal tidak berjalan sebagai mana
mestinya. Akibat proses inflamasi, atherosklerosis atau mikroangiopati terjadi gangguan
keseimbangan neurohormonal dengan akibat gangguan ekskresi cairan dan elektrolit
dengan konsekuensi volume cairan tubuh bertambah. Inilah yang disebut CRS yaitu
kondisi klinik pasien dengan sesak nafas yang bertambah berat dan resisten terhadap
pengobatan diuretic

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko umum pada CRS adalah hipertensi, diabetes melitus dan atherosklerosis.
Ketiga faktor klasik ini merupakan faktor risiko pada PKV maupun PGK, sehingga dapat
dimengerti adanya interaksi yang tinggi diantara kedua penyakit ini. Sebenarnya, seperti
yang sudah sering ditulis dalam kepustakaan, kedua penyakit ini merupakan suatu
kesatuan, sulit menentukan organ mana yang mengalami gangguan terlebih dahulu.
Pasien yang diketahui dan dirawat oleh karena PGK seringkali kematiannya bukan oleh
karena gagal ginjal tetapi gangguan jantung, sebaliknya dalam berbagai kepustakaan
dilaporkan bahwa perburukan fungsi ginjal sangat mempengaruhi tingginya angka
kematian pasien gagal jantung
Pada penelitian Studies of Left Ventriculare Dysfunction (SOLVD), dilaporkan faktor-faktor
penanda perburukan fungsi ginjal ( kenaikan kadar kreatinin serum > 0,3 mg/dl), adalah :
- Usia tua
- Ejection Fraction rendah
- Kadar kreatinin serum awal diatas normal
- Tekanan darah sistolik rendah
- Diabetes mellitus
- Hipertensi
- Penggunaan obat anti platelet, diuretik, penyekat beta, dan kalsium antagonis

PERTIMBANGKAN TERAPI KHUSUS (GINJAL)


Penggunaan dopamin dosis rendah sudah tidak dianjurkan. Masih dalam
penelitian apakah penggunaan fenoldopam dapat mengurangi resistensi
vaskulatur ginjal, meningkatkan curah jantung, meningkatkan ekskresi urin dan
natrium. Masih perlu menunggu hasil penelitian lebih lanjut untuk penggunaan
obat ini secara rutin.
Untuk meningkatkan efektifitas diuretik dapat diberikan mannitol 20%, albumin
20%, atau NaCl 3%. Paterna dkk (2005) membandingkan pemberian furosemide
500-1000 mg/hari dengan furosemide 500-1000 mg/hari ditambah NaCl 3%.

10
Ternyata ada kenaikan bermakna pada diuresis yang dihasilkan bila ditambahkan
NaCl 3%. o ACE-inhibitor dapat digunakan dengan hati-hati. Obat golongan ini
memperbaiki kondisi gagal jantung tetapi pada gagal ginjal dapat memperburuk
fungsinya. Sebaiknya ACE-inhibitor dimulai dengan dosis kecil, jangan
digabungkan dengan obat NSAID, serta hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal. Bila kenaikan kadar kreatinin darah > 25% dari kadar semula dan
berlangsung selama 2 minggu maka obat ini harus dihentikan. Pada jangka
panjang ACE-inhibitor terbukti memberikan manfaat bagi pengelolaan gagal
jantung maupun gagal ginjal (Geisberg & Butler, 2006)
Ultrafiltrasi atau dialisis, dilakukan sesuai dengan indikasi untuk Gangguan Ginjal
Akut (GgGA) . Pada banyak kasus terjadi resistensi terhadap terapi diuretik, oleh
karena itu seringkali ultrafiltasi merupakan pilihan utama untuk mengurangi
kelebihan volume cairan tubuh .

3.4. Jenis-jenis gagal jantung

Manifestasi klinis gagal jantung sangat beragam dan bergantung pada banyak
factor antara lain : etiologi kelainan jantung, umur pasien, berat atau ringannya,
terjadinya secara mendadak atau berlangsung perlahan dan menahun, ventrikel mana
yang menjadi pencetus, serta factor-faktor lain yang mempercepat terjadinya gagal
jantung.

1. GAGAL JANTUNG BACKWARD & FORWARD


Hipotesis backward failure pertama kali diajukan oleh James Hope pada tahun
1832. apabila ventrikel gagal untuk memompakan darah, maka darah akan
terbendung dan tekanan di atrium serta vena-vena di belakangnya akan naik.
Hipotesis forward failure diajukan oleh Mackenizie, 80 tahun setelah hipotesis
backward failure. Menurut teori ini manifestasi gagal jantung timbul akibat
berkurangnya aliran darah ke system arterial, sehingga terjadi pengurangan perfusi
pada organ-organ yang vital dengan segala akibatnya

2. GAGAL JANTUNG RIGHT-SIDED DAN LEFT-SIDED


Penjabaran backward failure adalah cairan bendungan di belakang ventrikel yang
gagal merupakan petanda gagal jantung pada sisi mana yang terkena. Adanya
kongesti pulmonal pada infark ventrikel kiri. Hipertensi dan kelainan-kelainan pada
katup aorta serta mitral menunjukan gagal jantung kiri (left heart failure).
Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama, cairan yang terbendung akan
berakumulasi secara sistemik: di kaki, asites, hepamitogali, efusi pleura dll, dan
menjadikan gambaran klinisnya sebagai gagal jantung kanan (right heart failure)

11
3. GAGAL JANTUNG LOW-OUTPUT DAN HIGH-OUTPUT
Gagal jantung golongan ini menunjukan bagaiman keadaan curah jantung (tinggi
atau rendahnya) sebagai penyebab terjadinya manifestasi klinis gagal jantung.
Curah jantung yang rendah pada penyakit jantung apapun (bawaan, hipertensi, katup.
Koroner, kardiomiopati) dapat menimbulkan low-output failure. Sedangkan pada
penyakit dengan curah jantung yang tinggi misalnya pada tiroktosiosis, beri-beri,
pagets, anemia dan fistula arteri-vena, gagal jantung yang terjadi dinamakan high-
output failure.

4. GAGAL JANTUNG AKUT DAN MENAHUN


Manifestasi klinis gagal jantung disini hanya menunjukan saat dan lamanya gagal
jantung saat terjadi atau berlangsung. Apabila terjadi mendada, misalnya pada infark
jantung yang luas, dinamakan gagal jantung akut. Sedangkan pada penyakit-penyakit
jantung katup, kardiomiopati atau gagal jantung akibat infark jantung lama, terjadinya
gagal jantung secara perlahan atau karena gagal jantungnya bertahan lama dengan
pengobatan yang diberikan dinamakan gagal jantung menahun.

5. GAGAL JANTUNG SISTOLIK DAN DIASTOLIK


Secara implist definisi gagal jantung adalah apabila gagal jantung yang tergadi
sebgai akibat abnormalitas fungsi sistolik, yaitu ketidakmampuan mengeluarkan
darah dari ventrikel, dinamakan sebagai gagal jantung sistolik. Jenis gagal jantung ini
adalah yang paling klasik dan paling dikenal sehari-hari, penyebabnya adalah
gangguan kemampuan inotropik miokard. Sedangkan apabila abnormalitas kerja
jantung pada fase diastolic, yaitu kemampuan pengisian darah pada ventrikel
(terutama ventrikel kiri) gagal jantung yang terjadi dinamakan gagal jantung
diastolic.

5.Faktor Koagulasi

Penggumpalan darah, juga dikenal sebagai koagulasi, merupakan bagian dari pencegahan
kehilangan darah, sering disebut hemostasis. Jika proses ini adalah untuk bekerja tidak
semestinya, seperti yang sering terjadi, hidup seseorang mungkin terancam karena
kebutuhan fungsi vaskular yang tepat dan dinamika fluida. Pada beberapa kesempatan,
tubuh, karena penyakit genetik atau kerusakan akut, terlalu dapat mengimbangi luka,
yang dapat menyebabkan gumpalan berbahaya. Dalam kasus lain, seseorang dapat
fisiologis kompensasi dan tidak mampu menjembatani kesenjangan dalam kulit. Proses ini
berlangsung seketika setelah luka dibuat melalui jalur eksternal dan internal.

Faktor-faktor koagulasi dan kofaktor bekerja sama, sering berturut-turut dengan salah
satu kimiawi menggabungkan dengan pihak lain untuk mengaktifkan berikutnya. Hal ini
menyebabkan rantai peristiwa yang diarahkan untuk menghasilkan trombin. Peran faktor

12
koagulasi dalam menghasilkan trombin adalah penting, karena trombin adalah zat utama
yang digunakan dalam pembekuan.

Ada 13 faktor koagulasi dan sejumlah zat terkait yang terlibat dalam hemostasis. Faktor I
adalah fibrogen, yang membantu dalam pembekuan. Faktor II, atau protrombin,
digunakan untuk aktivasi faktor lain dalam rantai peristiwa. Jaringan tromboplastin dan
kalsium terionisasi masing-masing membentuk Faktor III dan IV.

Faktor V, VI, dan VII mengacu proaccelerin, Va, dan proconvertin. Awalan pro mengacu
pada prekursor, atau molekul yang merupakan substrat dalam penciptaan lain. Faktor A,
yang secara teknis adalah faktor koagulasi kedelapan, juga dikenal sebagai faktor
antihemofilik. Faktor IX, X, XI, dan XII semua aktivator faktor lain dan senyawa.

Faktor XIII adalah faktor diakui lalu secara resmi dan dikenal sebagai faktor stabilisasi-
fibrin. Sejumlah kofaktor dan zat terkait juga ada, termasuk fibronektin, heparin kofaktor,
beberapa protein, dan banyak lainnya. Faktor-faktor koagulasi dan kofaktor adalah bagian
yang sangat penting dari teka-teki hemostasis, tetapi mereka harus dianggap sebagai
bagian dari mesin. Tanpa mereka, proses tidak bisa sukses, tetapi mereka juga tidak
bertanggung jawab untuk pembekuan darah dan regulasi.

13

Anda mungkin juga menyukai