PENDAHULUAN
Polip hidung adalah peradangan kronis selaput lendir dan sinus
paranasal yang ditandai dengan pembengkakan massa mukosa yang
meradang dengan tangkai dasar luas atau sempit. Kebanyakan polip berasal
dari celah osteomeatal yang menyebabkan obstruksi hidung. Polip sering
tumbuh pada sinus ethmoidalis dan maxillaris. Polip antrokoanal adalah jenis
polip yang berasal dari mukosa dinding posterior di daerah antrum maksila, yang
kemudian keluar dari ostium sinus dan meluas hingga ke belakang di daerah
koana posterior. Polip ini juga dikenal sebagai Killians polyps karena ia pertama
kali ditemukan oleh Killian pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri
dari 2 komponen yaitu komponen kistik dan padat.
Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari
mukosa antrum sinus maksila yang inflamasi dan udematous dapat melua ke
koana. Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior.
Etiopatogenesis dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan
rinore. Nasoendoskopi dan tomografi computer merupakan pemeriksaan
baku emas untuk menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Penatalaksanaan
polip antrokoanal adalah polipektomi. Banyak teknik polipektomi polip
antrokoanal yang telah terkenal akan tetapi dengan efek samping dan
rekusrensi yang tinggi.
Penyebab dan mekanisme yang mendasari polip masih tidak
dipahami dengan baik, namun peradangan kronis merupakan faktor utama
seperti peningkatan sel inflamasi seperti eosinofil. Polip sering dikaitkan
dengan rinosinusitis kronis dan alergi. Namun peran alergi pada polip masih
kontroversial. Sebuah studi 3000 pasien atopik menunjukkan prevalensi
0,5%, sedangkan studi di 300 pasien alergi menunjukkan prevalensi sebesar
4,5%.
Penatalaksanaan untuk polip nasi bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari
pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien
harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya. Hampir seluruh ahli
1
bedah saat ini mengobati polip secara pembedahan, tetapi banyak polip yang
sensitif terhadap kortikosteroid, dan apabila polip tidak menyebabkan sumbatan
hidung secara total, pengobatan preoperatif menggunakan kortikosteroid sangat
bermanfaat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke
bawah:
a) Pangkal hidung (bridge)
b) Dorsum nasi
c) Puncak hidung
d) Ala nasi
e) Kolumela
f) Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang
terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior
menjadi fleksibel.
3
Gambar 1: Anterolateral Tulang Hidung
Perdarahan :
i. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
ii. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A.
Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna)
iii. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
i. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
ii. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis
anterior)
2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas batas kavum nasi :
a) Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b) Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
c) Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
d) Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
4
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
e) Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari
tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
5
Gambar 3: Perdarahan kavum nasi
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
2.2 Definisi
6
Polip nasi adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi
bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan manifestasi klinik dari
berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi,
asma dll.
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui
tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehigga mengakibatkan
edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip
kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di
meatus medius, walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa
hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel. Polip yang
berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksila atau
ostium asesoriusnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu
membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoanal).
Polip antrokoana atau polip Killian berasal dari mukosa antrum maksila
yang mengalami inflamasi dan oedem dan terdiri dari dua komponen; bagian
antral hampir selalu berupa komponen kistik dan yang lain berupa komponen
padat. Polip antrokoana melewati ostium maksila menuju ke dalam meatus media,
dengan perluasan ke nasofaring atau orofaring. Komponen kistik ssering berasal
dari dinding antrum maksila posterior, inferior, lateral atau medial, dan menempel
ke bagian padat polip dengan pedikel pada kavum nasal.
7
Gambar 4. Gambaran polip antrokoana
2.3 Epidemiologi
Polip antrokoanal meliputi 4-6% dari seluruh polip nasal, merupakan
jenis polip nasal yang banyak ditemukan pada anak dan usia muda, 33% polip
nasal pada anak adalah polip antrokoanal. Distribusi umur penderita polip
antrokoanal adalah antara 7 sampai 75 tahun, dengan umur rata-rata 20 tahun.
Rasio kejadian antara pria dan wanita adalah 1.31.5 : 1.
2.4 Etiologi
Etiologi polip antrochoanal (ACP) belum diketahui pasti. Sinusitis kronis
(65%) dan alergi seperti rinitis alergi (70%) ditemukan mempunyai hubungan
dengan terjadinya ACP. Sinusitis maksila dan penyakit kompleks ostiomeatal
menghalangi fungsi mukosiliar dari mukosa sinus. Beberapa penelitiann
menunjukkan kemungkinan peran aktivator dan inhibitor urokinase
plasminogen dan peran metabolit asam arakidonat dalam patogenesis ACP.
Namun terdapat beberapa keadaan yang berhubungan dengan polip nasi,
yaitu :
1. Alergi
2. Cystic fibrosis
3. Sinusitis kronis
4. Sensitifitas terhadap ASA (asam asetilsalisilat)
Pasien biasanya mengalami onset asma pada saat dewasa dengan polip
nasi dan sinusitis kronis. Banyak pasien yang sensitif terhadap ASA ataupun
OAINS (obat anti inflamasi non steroid) namun tidak mengetahuinya. Paparan
terhadap ASA ataupun OAINS lainnya dapat mengarah kepada eksaserbasi asma
hingga bahkan syok anafilaktik.
Inflamasi kronis kiranya memiliki peranan awal dalam patogenesis polip
nasi. Polip multipel muncul pada anak dengan sinusisit kronis, rinitis alergi, cystic
fibrosis, dan allergic fungal sinusitis. Suatu polip tersendiri dapat menjadi polip
antrokoanal, polip jinak yang besar, kista duktus nasolakrimalis, suatu lesi
kongenital, serta tumor jinak ataupun ganas, seperti :
Encephalocele
Glioma
Papilloma
8
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
Rabdomiosarkoma
Limfoma
Neuroblastoma
Sarkoma
Karsinoma nasofaring
Inverting papilloma
9
Tabel 2. Observasi rinologis yang berhubungan dengan polip antrokoanal.
2.6 Diagnostik
Anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang menyeluruh, endoskopi
merencakan terapi dari polip antrokoana. Gejala-gejala yang muncul mirip dengan
banyak kelainan hidung yang lain, termasuk obstruksi nasal, rinore, mendengkur,
disfonia, dan pruritus nasal. Obstruksi nasal dan drainase nasal merupakan gejala
yang paling umum terjadi. Orvidas et al. (25) mencatat obstruksi nasal (100%),
rinore (48%), mendengkur (36%) dan pernafasan mulut (32%) pada pasien
dengan polip antrokoana. Selain itu, obstructive sleep apneu dan cachexia
intranasal Polip yang lebih besar dapat meluas ke dalam nasofaring dan polip
mungkin dapat terlihat pada rinoskopi posterior atau pada mulut (Gambar 5).
pasti. Polip antrokoana biasanya tampak sebagai massa lunak, kebiruan atau
10
Pemeriksaan radiologi untuk polip dapat dilakukan pemeriksaan foto polos
penebalan mukosa dan adanya air fluid level, namun kyurang bermanfaat pada
kasus polip. Pemeriksaan Ct-scan pada kasus polop sangat bermanfaat, dengan
CT-scan dapat menilai dengan jelas keadaan dihidung dan sinusparanasal apakah
massa jaringan lunak yang berasal dari antrum maksilaris dan meluas melewati
ostium maksilaris alami atau aksesoris kedalam kavitas nasal antara tulang
turbinate tengah dan dinding nasal lateral, tanpa erosi atau ekspansi tulang, dan
dan pada penambahan sinyal T2 pada MRI. Bagian kistik dari polip antrokoana
11
Diagnosis sangat mengarah kepada polip antrokoanal apabila antrum
maksilaris meluas dan terdapat massa nasofaringeal. Beberapa diagnosis yang
mungkin adalah sebagai berikut :
1. Polip Nasi multiple
Polip hidung yang jumlahnya lebih dari satu. Dapat timbul dikedua sisi
rongga hidung. Pada umumnya berasal dari permukaan dinding rongga hiding
bagian atas (etmoidal).
12
terutama apabila perubahannya terjadi bilateral. Polip hipertrofi dapat terjadi
unilateral ataupun bilateral.
4. Tumor ganas nasofaring.
Merupakan 1% dari seluruh tumor ganas. Neoplasma ini dapat
menyebabkan terjadinya kesulitan dalam mendiferensial diagnosis. Tumor ini
cenderung menyebabkan kerusakan struktur tulang, sumbatan jalan nafas,
pelebaran jaringan adenoid atau terjadi invasi ke dalam sinus paranasal.
Diperlukan pemeriksaan CT-Scan untuk mengevaluasi perluasan tumor. Tumor
ganas nasofaring yang paling sering terjadi pada ana-anak adalah limfoma,
rabdomiosarkoma, limfoepitelioma, dan neuroblastoma olfaktori. Jenis-jenis ini
biasanya tidak dapat dibedakan dengan menggunakan pemeriksaan radiologis.
5. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
Merupakan suatu yang dapat merusak jaringan sekitar, paling sering muncul di
nasofaring atau posterior rongga hidung. Gejalanya dapat berupa epistaksis,
sumbatan hidung, atau adanya massa di nasofaring.
2.8 Penatalaksanaan
Sangat disayangkan, banyak literatur mengenai pengobatan polip yang
masih tidak begitu efektif. Menurut Mackay jika suatu operasi tidak lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan lainnya, yang paling baik adalah melakukan
yang paling sederhana dengan resiko yang minimal bagi pasien. Hampir seluruh
ahli bedah saat ini mengobati polip secara pembedahan, tetapi banyak polip yang
sensitif terhadap kortikosteroid, dan apabila polip tidak menyebabkan sumbatan
hidung secara total, pengobatan preoperatif menggunakan kortikosteroid sangat
bermanfaat.
a. Pengobatan preoperatif
Proporsi pasien yang sensitif terhadap kortikosteroid masih belum pasti,
pemberian kortikosteroid oral harus dihindari walaupun pengobatan ini lebih baik
daripada pengobatan kosrtikosteroid topikal. Tetes hidung betametason, 2 kali
sehari pada masing-masing sisi diberikan dalam waktui 1 bulan. Posisi saat
meneteskan dalam posisi telentang dengan kepala menengadah. Posisi ini
memungkinkan penetrasi obat lebih mudah ke dalam etmoid. Pilihan lain seperti
triklormetasone atau flumisolid dapat digunakan. Polip dapat hilang secara
sempurna dan pengobatan ini harus diteruskan minimal 3 bulan.
13
b. Operasi
Terdapat pandangan yang berbeda pada jenis operasi yang dibutuhkan
untuk polip nasi. Polipektomi sederhana merupakan operasi pilihan, polip dapat
diangkat dengan suatu avulsi atau dengan pemotongan atau penggunaaan forceps
seperti Tilley Henckel`s, harus diperhatikan ketika menggunakan forceps jangan
terlalu ke medial ataupun ke lateral, seluruh mukosa polipoid harus diangkat dari
etmoid. Walaupun etmoidektomi intranasal disarankan oleh beberapa ahli,
polipektomi sederhana masih merupakan prosedur yang komplit dan aman.
Etmoidektomi eksternal dilakukan melalui insisi medial ke dalam kantus interna
(Howarths) atau melalui insisi pada kulit di bawah batas intraorbita (Pattersons).
Seluruh sel dapat diangkat apabila orbita dan seluruh bagian-bagiannya telah
digeser ke lateral dan pembuluh darah etmoidal interior dipisahkan. Harus berhati-
hati dalam membuka ostium sinus frontal secara luas untuk mencegal mukokel
yang merupakan komplikasi lanjut dari pembedahan. Tidak ada penelitian yang
menyatakan bahwa etmoidektomi ekternal dapat mencegah kekambuhan,
walaupun ada beberapa ahli yang mengatakan demikian.
Pembedahan merupakan pilihan terapi dari polip antrokoanal.
Pengangkatan sederhana yang dilakukan pada awalnya dengan menggunakan
nasal snare atau polyp-forceps dapat menghilangkan gejala dan pasien akan
merasa kembali baik dalam beberapa tahun. Namun sering terjadi kekambuhan
yang disebabkan bagian antral dari polip masih tertinggal. Pada kasus seperti ini
dibutuhkan pengangkatan radikal melalui sublabial. Prosedur ini disebut dengan
Caldwell-Luc operation. Antrum maksila dibuka dan polip diangkat dari antrum.15
Pada anak-anak prosedur ini tidak dapat dilakukan, karena dapat
menyebabkan deformitas fasio-maksilaris dan kerusakan gigi permanen yang
terletak di antrum maksila. Terapi antihistamin jangka panjang lebih dipilih untuk
mengontrol alergi.
Dewasa ini Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan
standar baku emas untuk tatalaksana polip antrokoanal pada anak karena terbukti
aman dan efektif. Prosedur BSEF mampu (1). Meminimalisir komplikasi post-
operatif seperti gangguan pertumbuhan os maksila dan alveolar pada anak; (2).
Mempertahankan mukosa sinus normal dengan fungsi muko-silier normal; (3).
Mengatasi lesi penyerta lainnya dalam kavum nasi; (4). Menekan angka rekurensi;
14
(5). Waktu perawatan lebih singkat. Prosedur BSEF terdiri dari reseksi polip pada
bagian intra nasal dan intra antrum yang lebih kistik beserta perlengketannya
dalam sinus maksila dengan mempertahankan mukosa sinus normal melalui
antrostomi meatus media.
Menurut Lee dkk,12 follow-up post operatif sebaiknya dilakukan setiap
minggu selama dua bulan, sekali sebulan selama empat bulan dan setiap tiga bulan
setelah enam bulan post operatif. Dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi dengan
berbagai sudut untuk mendeteksi pertumbuhan polip dalam sinus maksila, jika
tampak adanya mukosa patologis, obstruksi ostium sinus maksila atau rekurensi,
diatasi segera, jika tidak ada perbaikan dilakukan operasi revisi. Selama follow-
up, diberikan kortikosteroid semprot hidung intra nasal dan cuci hidung
menggunakan larutan salin.
Follow-up post operatif jangka panjang adalah suatu hal yang mutlak
dilakukan post-operatif untuk menghindari rekurensi.
2.9 Prognosis
Rekurensi polip nasi merupakan suatu masalah yang masih dihadapi oleh
para ahli. Angka rata-rata terjadinya rekurensi sangat bervariasi. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Drake dkk selama 2 tahun menunjukkan bahwa 5% pasien
memiliki riwayat polipektomi lima kali atau lebih. Sangat sulit untuk mempelajari
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kekambuhan. Diperkirakan
bahwa pasien yang mengalami polip pada usia yang lebih muda dan memiliki
riwayat keluhan hidung yang lama biasanya lebih besar berkemungkinan
mengalami kekambuhan. Pasien dengan penyakit nasal yang berat sering
membutuhkan operasi yang lebih besar. Namun hal ini tidak menurunkan angka
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pasien dengan asma akan mengalami
kekambuhan yang lebih sering pada umumnya, dan apabila juga terdapat
hipersensitivitas terhadap aspirin akan lebih bertambah lagi kemungkinannya.
Polip nasi mirip seperti gulma. Sangat sulit untuk dieradikasi secara tuntas.
Oleh sebab itu, tujuan dari manajemennya adalah mengontrol gejala. Apabila
pasien hanya memiliki gejala minimal, terapi pun dapat minimal. Apabila
gejalanya lebih berat, terapinya pun harus lebih luas. Terapi medis maupun bedah
15
keduanya tidak menjamin polip tidak akan kembali lagi. Namun akan sangat
meningkatkan kualitas hidup individu.
Rekurensi pada tindakan bedah sinus endoskopi fungsional dapat terjadi
jika reseksi massa polip intra antrum meninggalkan sisa. Hal ini dikarenakan asal
pertumbuhan massa polip intra antrum tidak dapat diidentifikasi, massa polip
dengan asal pertumbuhan yang luas dalam antrum atau visualisasi yang terbatas
intra operatif. Identifikasi asal pertumbuhan dan pengangkatan massa polip dalam
antrum sinus maksila secara komplit merupakan prinsip dasar penatalaksanaan
polip antrokoanal
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : An DF
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 12 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sumberejo
No. CM : 415292
Tanggal Masuk : 31 Juli 2017
Tanggal Pemeriksaan : 2 Agustus 2017
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Hidung terasa buntu
Keluhan Tambahan
Sering ingusan dan bersin-bersin
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan hidung buntu yang dirasakan sejak 4 bulan yang lalu.
Keluhan hidung buntu dirasakan semakin memberat. Pasien menjadi sering
bernafas melalui mulut dan mengeluhkan sesak nafas. Serta ibu pasien mengaku
pasien sering mengorok jika tidur. Pasien juga mengeluhkan sering pilek yang
hilang- timbul sejak 8 bulan. Sekeret yang keluar awalnya berupa cairan bening
namun lama kelamaan menjadi hijau kental dan berbau busuk. Pasien juga
mengeluhkan sering bersin-bersin di pagi hari atau jika cuaca dingin. Keluhan
17
nyeri kepala, nyeri tenggorokan dan nyeri di hidung disangkal. Pasien juga tidak
mengeluhkan adanya keluar darah melalui hidung dan gangguan pendengaran.
18
Orofaring
Tonsil : T0 / T0
Kripta : tidak ada . tidak ada
Detritus : tidak ada / tidak ada
Perlengketan : tidak ada / tidak ada
Sikatrik : tidak ada
Massa : tampak massa di belakang uvula yang berasal dari
nasofaring
Faring
Mukosa : merah muda
Granul : tidak ada
Bulging : tidak ada
Reflek muntah: ada
Arcus Faring : merah muda
Palatum : palatum molle dan durum merah muda dan baik
Laring
Laring indirect : tidak dilakukan
Leher : II I II
V III III V
IV IV
KGB Colli
Upper jugular : tak ada pembesaran / tak ada pembesaran
Mid Jugullar : tak ada pembesaran / tak ada pembesaran
Lower Jugular : tak ada pembesaran / tak ada pembesaran
Sub Mandibula : tak ada pembesaran / tak ada pembesaran
Sub mental : tak ada pembesaran / tak ada pembesaran
Supraclavicula : tak ada pembasaran/ tak ada pembesaran
Thoraks :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri
Perkus : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara Pernapasan : vesikuler di seluruh lapangan paru.
Suara tambahan : Tidak dijumpai
Cor : BJ I < BJ II, reguler, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-) simetris (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Ekstremitas : Motorik : Atas 5555/5555
Bawah 5555/5555
3.4 Diagnosis Banding
1. Polip koanal dextra
2. Hipertropi adenoid
3. Angiofibroma juvenile
19
4. Ca nasofaring
20
Kesan: Cor dan pulmo dalam batas normal.
3.7. Tatalaksana
Extraksi Polip Koana
3.7.1 Pre operasi extraksi polip
- Puasa
- IVFD D5%1/2 Ns 20 gtt/i
- Drip Adona 10 cc dalam RL 500cc
- Amicilin 3 x 500 mg
3.8 Edukasi
- Menjelaskan tentang penyakit pasien dan efek samping dari operasi
- Menyarankan kepada pasien untuk memakan makan yang sehat dan
mengurangi makanan yang mengandung karsinogen
- Menyarankan pasien untuk menghindari allergen
21
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia Ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia Ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia Ad Bonam
3.10 Follow Up
Tabel Follow Up
22
07/08/2017 S: nyeri di hidung Terapi:
berkurang, susah - Diet TKTP
membuka mulut. Nyeri - Biolergi 3x1
menelan - - Na diclofenac 3x 25
O: cm mg
hidung : terpasang - Vit B comp 3x1
tampon anterior lepas
tampon darah -
lepas tampon anterior
P : control 1 bulan
BAB IV
PEMBAHASAN
Laki laki, usia 12 tahun datang dengan hidung buntu yang dirasakan sejak
4 bulan yang lalu. Keluhan hidung buntu dirasakan semakin memberat. Pasien
menjadi sering bernafas melalui mulut dan mengeluhkan sesak nafas. Serta ibu
pasien mengaku pasien sering mengorok jika tidur. Pasien juga mengeluhkan
sering pilek yang hilang- timbul sejak 8 bulan. Sekeret yang keluar awalnya
berupa cairan bening namun lama kelamaan menjadi hijau kental dan berbau
busuk. Pasien juga mengeluhkan sering bersin-bersin di pagi hari atau jika cuaca
dingin. Keluhan nyeri kepala, nyeri tenggorokan dan nyeri di hidung disangkal.
Pasien juga tidak mengeluhkan adanya keluar darah melalui hidung dan gangguan
pendengaran. Pasien memiliki riwayat alergi.
Pada pasien ini keluhan utama adalah hidung tersumbat dan rinore dengan
tidur mendengkur yang progresif serta kebiasaan bernafas dengan mulut. Hal ini
sesuai dengan teori Al-Mazrou dkk mencatat sumbatan hidung unilateral sebagai
keluhan terbanyak (94.7%), diikuti rinore yang purulen (78.9%), tidur
mendengkur (58%), sinusistis (26%), alergi (37%) dan sakit kepala (15%)
merupakan gejala klinis terbanyak dari suatu polip antriokoana. Hal senada juga
dilaporkan oleh banyak penelitian lainnya.
Polip antrokoanal atau lebih dikenal sebagai polip Killian adalah suatu
polip sinus maksila dengan tangkai yang melekat dibagian dalam sinus maksila
23
dan keluar dari ostium sinus alami atau aksesoris melalui meatus media ke kavum
nasi dan meluas ke posterior menuju koana dan nasofaring. Sekitar 4-6% polip
nasal merupakan polip antrokoanal, lebih sering ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan (1.3-1.5 : 1). Pada anak-anak, angka kejadian polip
antrokoanal meningkat sekitar 33% dari polip nasal pada anak dengan umur rata-
rata 7-15 tahun.
Kamath dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara alergi dengan polip antrokoanal, dengan terdapatnya peninggian
kadar IgE serum, kandungan IgE polip dan pada swab hidung. Hal senada juga
dilaporkan oleh Cook dkk, sebagaimana dikutip oleh Yaman, dengan
ditemukannya 70% pasien polip antrokoanal juga menderita rhinitis alergi dengan
penumpukan sebukan sel eosinofil dan plasmofil serta kelenjar mukus pada
jaringan polip antrokoanal. Kemungkinan dari keterkaitan polip hidung dan
rhinitis alergi dalah reaksi alergi di mukosa hidung mengakibatkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah yang akan mengakibatkan
cairan berpindah keluar dari intravaskular dan menyebabkan cairan masuk
kedalam jaringan sehingga terjadi edem mukosa. Kemudian stroma akan terisi
oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Mukosa
akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu
struktur bernama polip.
Lee dan Huang dalam penelitiannya menemukan 65% pasien dengan polip
antrokoanal juga menderita rinosinusitis kronis. Polip antrokoanal yang terbentuk
dari perluasan kista intramural dalam antrum maksila dapat mengakibatkan
sinusitis maksilaris dan penyakit osteomeatal karena pertumbuhan polip dalam
sinus maksila menghalangi fungsi mukosilier mukosa sinus dan menghambat
ostium sinus maksila. Sementara dilain pihak, terdapat teori yang mengemukakan
rinosinusitis kronis sebagai penyebab pertumbuhan polip antrokoanal disamping
teori Asiprin-sensitive asthma triad (aspirin sensitivity, nasal poliposis dan asma
bronkial).
Pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior dan pemeriksaan mulut pada
pasien ditemukan adanya massa berwarna putih mengkilat. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan memperlihatkan gambaran
24
massa polipoid intranasal yang dapat meluas ke koanal dan nasofaring. Massa
polip juga dapat terlihat pada rinoskopi posterior atau pemeriksaan tenggorok.
Massa polip dapat terlihat hingga ketenggorokkan disebabkan oleh bagian kistik
berada dalam sinus maksila, meluas ke kavum nasi dan nasofaring melalui meatus
media menjadi bagian yang lebih padat dan polipoi serta dapat terjadi perluasan
ke nasofaring atau orofaring. Komponen kistik ssering berasal dari dinding
antrum maksila posterior, inferior, lateral atau medial, dan menempel ke bagian
padat polip dengan pedikel pada kavum nasal
Tatalaksana pada pasien ini dilakukan polipektomi. Tatalaksana untuk
polip antrokoanal adalah dengan pembedahan. Prinsip tatalaksana polip
antrokoanal pada anak adalah pengangkatan massa polip secara komplit terutama
pada massa polip yang berada intra antrum untuk menghindari rekurensi,
minimalisir komplikasi postoperatif dan ketidaknyamanan selama dan setelah
operasi, sehingga diperlukan follow-up jangka panjang setelah tindakan operasi.
Hampir seluruh ahli bedah saat ini mengobati polip secara pembedahan, tetapi
banyak polip yang sensitif terhadap kortikosteroid, dan apabila polip tidak
menyebabkan sumbatan hidung secara total, pengobatan preoperatif menggunakan
kortikosteroid sangat bermanfaat.
25
BAB V
KESIMPULAN
1. Telah dilaporkan satu kasus polip antrokoana pada seorang laki-laki usia
12 tahun yang ditegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
Pemeriksaan fiski dan pemeriksaan penunjang.
2. Sebagai dokter umum, bila menemukan kasus Polip antrokoana adalah :
- Melakukan Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat
- Edukasi kepada pasien tentang kemungkinan penyakit pasien dan
factor resiko serta hal yang menyebabkan recuren
- Rujuk ke Rumah Sakit untuk dilakukan polipektomi
26
DARTAR PUSTAKA
27
10. Brausewetter F, Hecht M, Pirsig W. Antrochoanalpolyp and Obstructive Sleep
Apnoea in Children. The Journal of Larynglogy & Otology 2004; 118:453-8
28