Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati .(1)

Secara umum, abses hepar terbagi 2, yaitu abses hepar amebik (AHA) dan
abses hepar piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus
yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hepar di daerah perkotaan. Di negara
yang sedang berkembang abses hepar amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hepar piogenik. Dalam beberapa dekade
terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2)

1
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS

Identitas Pasien
Nama : Tn. I.N.S
Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Hindu

Alamat : Br. Gunaksa Bangli

Pekerjaan : Buruh bangunan

Tanggal MRS : 12 Juni 2017

No RM : 257869

Ruangan : Anggrek

Keluhan Utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Penderita datang dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit, demam yang dirasakan pasien naik turun semakin memberat pada
sore hari, pasien mengaku demam turun bila pasien minum obat penurun panas.
Demam diikuti dengan keluhan sakit kepala, nyeri otot dan mual (-), muntah (-),
nyeri ulu hati (-), BAB darah (-), BAK dan BAB normal. Pasien mengaku nafsu
makan menurun sejak pasien sakit.

2
Pasien belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya, riwayat konsumsi
alkohol (-), riwayat konsumsi obat anti nyeri sebelum masuk rumah sakit yaitu
paracetamol 3x500 mg.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat sakit jantung : disangkal

Riwayat minum OAT (obat TB) : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Jantung : disangkal

Keadaan Sosial Ekonomi


Pasien merupakan buruh bangunan yang sudah menikah dan
mempunyai 3 anak. Pasien mempunyai riwayat merokok 15 tahun,
sebanyak sebungkus dalam sehari.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sakit sedang, Compos mentis


GCS : E4V5M6
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg

Nadi : 86 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 37,6 C axilla

3
BB : 53 Kg

TB : 160 cm

IMT : 20,7kg/m

Kepala : Normochepali, simetris.


Mata : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (+)
Pupil isokor, Reflek cahaya (+/+).

Hidung : darah (-), secret (-).


Telinga : darah (-), secret (-).
Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-).
Leher : JVP R+2 cmH2O, limfonodi tidak membesar.
Thorax : retraksi (-).
Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan dalam batas normal

Batas Atas : linea para sternalis sinistra ICS 2

Batas kanan : linea sternalis dextra ICS 5

Batas Kiri : linea midclavicula sinistra ICS 5

Auskultasi : Bunyi jantung I-II tunggal, reguler, murmur (-)

Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor kedua lapang paru

4
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)

Suara tambahan Ronki Basah (-/-)

Wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Meteorismus(-),Nyeri tekan regio hipochondrium dextra


- Hepar teraba 4 jari di bawah arcus costa, konsistensi
kenyal, permukaan rata, tepi tumpul
- Lien tidak teraba
- Ginjal : Nyeri ketok (-)
Ekstremitas
Akral hangat +/+, edema -/-

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 12 Juni 2017 pukul 09.30 wita)

WBC : 21,8x103/uL

LYM : 1,7 x103/uL

LYM % : 8,0 %

MID : 0,6 x103/uL

MID % : 2,5 %

GRAN : 19,5 x103/uL

GRA % : 89,5 %

5
HGB : 13,6 g/dL

MCH : 28,8pg

MCHC : 36,4 g/dL

RBC : 4,74x106/uL

MCV : 79,1 fL

MCH : 28,8pg

MCHC :36,4 g/dL

RDWa : 75,8 fL

RDW% : 18,7%

PLT : 306x103/uL

MPV : 7,5 fL

PDW : 10,4 fL

PCT : 0,23%

LPCR : 12,5%

Pemeriksaan Imunoserologi (tanggal 12 Juni 2017 pukul 10.30 wita)

Salmonella Typhi O : Positif (+) 1/160

Salmonella Typhi H : Positif (+) 1/320

Salmonella Paratyphi AO: Negatif (-)

Salmonella Paratyphi AH: Negatif (-)

Pemeriksaan Urin lengkap (tanggal 13 Juni 2017 pukul 07.30 wita)

-Urin

6
Kejernihan : Jernih

Warna : Kuning

Berat jenis : 1,010

pH : 5

Keton : Negatif (-)

Protein : Negatif (-)

Gula reduksi : Negatif (-)

Bilirubin : Negatif (-)

Nitrit : Negatif (-)

Urobilinogen : Negatif (-)

Leukosit : Negatif (-)

Eritrosit : Negatif (-)

-Sedimen

Eritrosit : 1-2

Leukosit : 1-3

Epitel : 0-1

Bakteri : Positif (+)

Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 15 Juni 2017 pukul 10.14 wita)

WBC : 26,8x103/uL

LYM : 1,0 x103/uL

LYM % : 3,7 %

7
MID : 0,5 x103/uL

MID % : 2,1 %

GRAN : 25,3 x103/uL

GRA % : 94,2 %

HGB : 12,4 g/dL

MCH : 28,7pg

MCHC : 36,3 g/dL

RBC : 4,31x106/uL

MCV : 79,2 fL

MCH : 28,7pg

MCHC :36,3 g/dL

RDWa : 77,4 fL

RDW% : 19,4%

PLT : 216x103/uL

MPV : 7,9 fL

PDW : 11,2 fL

PCT : 0,17%

LPCR : 15,4%

Foto Polos Abdomen 3 posisi (tanggal 15 Juni 2017)

Tampak perselubungan intermediete dari area hipokondrium kanan hingga


lumbalis kanan dan hipokondrium kiri

8
Distribusi udara sampai distal colon, tidak tampak dilatasi colon. Tidak
tampak dilatasi loop usus halus. Tidak tampak gambaran herring bone
Tidak tampak tanda udara bebas intraperitoneum
Tidak tampak lesi radiopak di lintasan traktus urinarius
Preperitoneal fat line dan psoas line dalam batas normal
Sl joint, Hip joint yang tampak kesan dalam batas normal
Tulang tulang yang tampak intak
Kesan :
- Tidak tampak dilatasi colon/ usus halus, tidak tampak tanda
pneumoperitoneum
- Tidak tampak BSK radiopak
- Perselubungan intermediate dari area hipokondrium kanan hingga
lumbalis kanan dan hipokondrium kiri, adakah proses di hepar, spleen
atau ginjal?

Usul : USG Abd.

9
10
USG Abdomen ( tanggal 16 Juni 2017 )
Hepar : Ukuran, letak, bentuk dan echom parenkim dalam batas normal.
Tidak tampak dilatasi vascular. Tidak tampak dilatasi duktus bilier intra
dan extrahepatik. Tampak lesi bulat hipoechoic heterogen di lobus kanan
hepar, batas lesi saat ini tampak tegas disertai sentral necrotic dengan
ukuran diameter 11 cm.
GB : Dinding tipis, tidak tampak echo batu.
Lien :Ukuran, bentuk, letak, permukaan dan echoparenkim dalam batas
normal. Tidak tampak mass/cyst/lesi patologik lainnya.
Pankreas : Letak, bentuk, ukuran, dan echo kesan normal. Tidak tampak
mass/cyst/lesi patologik lainnya.
Kedua ginjal : Bentuk, ukuran dan echoparenkim dalam batas normal,
tidak tampak dilatasi PCS, batu maupun mass/cyst.
VU : dinding tipis, tidak tampak echo batu maupun massa
Tidak tampak dilatasi colon/ usus halus.
Tampak cairan bebas di cavum peritoneum dan dalam cavum pleura kanan
dan kiri

Kesan :

- Gambaran abscess hepar kesan dengan jaringan necrotik ditengahnya


- Ascites dan efusi pleura bilateral
- Organ abdomen lain yang terscan kesan normal

11
IV. ASSESSMENT
- Abses Hepar

- Demam Typoid

V. INTIAL PLANNING
Rencana Kerja : DL, UL, imuno Serologi, USG abdomen dan foto polos
abdomen 3 posisi, SGOT, SGPT, Bilirubin direct, total, HbsAg dan anti HCV

VI. PENATALAKSANAAN
1. IVFD D5% / NaCl 0,9 % 20 tpm
2. Metronidazole 3x500 mg/IV
3. Levofloxacin 1x750 mg/iv
4. Sanmol 3x1 gr/IV
5. Omeprazole 2x49 mg/IV
6. Ondancentron 2x4 mg/iv

VII.Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Treatment

13/06/2017 S : Nyeri pada bahu (+), demam (-) IVFD RL 20 tpm


Ceftriaxon 2x1 gr/(IV)
BAB : biasa,warna kuning coklat.
Ondansetron 2 x 4 mg/IV
BAK : kesan lancar Omeprazole 2 x 40 mg/IV
Sanmol 3 x 1 gram/IV
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Mentis.

TD: 110/70 mmHg

Suhu: 36,6C (axilla)

Nadi: 78x/menit

12
RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal ;


Ekstremitas : edema (-/-)

A : Demam Typoid

14/06/2017 S : nyeri pada bahu (+), demam (+) IVFD RL 20 tpm


Ceftriaxon 2x1 gr/(IV)
BAB : biasa,warna kuning coklat.
Ondansetron 2 x 4 mg/IV
BAK : kesan lancar Omeprazole 2 x 40 mg/IV
Sanmol 3x1 gram/IV (kp)
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Mentis.

TD: 110/70 mmHg

Suhu: 37,2C (axilla)

Nadi: 82x/menit

13
RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal ;


Ekstremitas : edema (-/-)

A : Demam Typoid

15/06/2017 S : Nyeri perut (+), flatus (+), nyeri Diet cair 6x100 cc
bahu (+), demam (+) naik turun IVFD RL = aminofluid
24 tpm
BAB : biasa,warna kuning coklat.
Ceftriaxone 3x 1 gr/IV
BAK : kesan lancar (hr 4)
Levofloxacin 1x750
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
mg/IV
Mentis.
Omeprazole 2x40 mg / IV
TD: 110/70 mmHg Sanmol 3x1 gr/IV
Ondancentron 2x4 mg/iv
Suhu: 38C (axilla)
BNO 3 posisi (cito)

14
Nadi: 80x/menit USG abdomen
Kontrol cito
RR: 20x/menit
Ukur lingkar abdomen
Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Demam Typoid

Suspek perforasi intraabdomen

16/06/2017 S : Nyeri perut (-), nyeri bahu (+), IVFD D5% / NaCl 20
Demam (+) tpm
Levofloxacin 1x750
BAB : biasa,warna kuning coklat.
mg/iv
BAK : kesan lancar Metronidazole 3x500
mg/IV
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Sanmol 3x1/iv

15
Mentis. Omeprazole 2x40 mg

TD: 110/70 mmHg

Suhu: 37,5C (axilla)

Nadi: 80x/menit

RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Febris Typoid

Abses Hepar

17/06/2017 S : Nyeri perut (+) IVFD D5% / NaCl 0,9 %


20 tpm

16
BAB : biasa,warna kuning coklat. Metronidazole 3x500
mg/IV
BAK : kesan lancar
Levofloxacin 1x750
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos mg/iv
Mentis. Sanmol 3x1 gr/IV
Omeprazole 2x49 mg/IV
TD: 110/70 mmHg
Ondancentron K/P
Suhu: 38C (axilla) Saran untuk rujuk ke
RSUP Sanglah untuk
Nadi: 80x/menit
evaluasi abses dan pasien
RR: 20x/menit menolak

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar

17
Demam Typoid

19/06/2017 S : Nyeri perut (+), demam (-) Diet BB rendah serat


IVFD D5% = Nacl 0,9%
BAB : biasa,warna kuning coklat.
20 tpm
BAK : kesan lancar Metronidazole 3x500 mg/
IV (H4)
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Levofloxacin 1x750
Mentis.
mg/IV (H5)
TD: 110/60 mmHg Sanmol K/P
Omeprazole 2x40 mg/ IV
Suhu: 36,4C (axilla)
Rencana USG kontrol
Nadi: 76x/menit hari kamis (22/06/2017)
Aff DC
RR: 18x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

18
Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar 9x9 cm

Demam Typoid

20/06/2017 S : Nyeri perut (+) berkurang Diet BB rendah serat


IVFD D5% = Nacl 0,9%
BAB : biasa,warna kuning coklat.
20 tpm
BAK : kesan lancar Metronidazole 3x500 mg/
IV (H4)
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Levofloxacin 1x750
Mentis.
mg/IV (H5)
TD: 110/70 mmHg Sanmol K/P
Omeprazole 2x40 mg/ IV
Suhu: 36,6C (axilla)

Nadi: 78x/menit

RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur

19
(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar

Demam Typoid

21/06/2017 S : Nyeri perut (+) berkurang Diet BB rendah serat


IVFD D5% = Nacl 0,9%
BAB : biasa,warna kuning coklat.
20 tpm
BAK : kesan lancar Metronidazole 3x500 mg/
IV (H4)
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Levofloxacin 1x750
Mentis.
mg/IV (H7)
TD: 120/80 mmHg Omeprazole 2x40 mg/ IV
Ondancentron K/P
Suhu: 36,5C (axilla)
Paracetamol K/P
Nadi: 80x/menit Planning : USG abdomen
besok (22/06/2017)
RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas

20
vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar

Demam Typoid

22/06/2017 S : Nyeri perut (+), demam (-) Diet lunak


Infus D5% = NaCl 0,9%
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
20 tpm
Mentis.
Metronidazole 3x500
TD: 130/80 mmHg mg/IV (H7)
Levofloxacin 1x750
Suhu: 36,C (axilla)
mg/IV (H8)
Nadi: 80x/menit Omeprazole 2x40 mg/IV
Paracetamol K/P
RR: 20x/menit
Konsul Bedah
Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas

21
vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar

23/06/2017 S : Nyeri perut (+) Infus D5% = NaCl 0,9%


20 tpm
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Metronidazole 3x500
Mentis.
mg/IV.
TD: 110/70 mmHg Diet hepar

Suhu: 36,9C (axilla)

Nadi: 84x/menit

RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -

22
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan hipocondrium dextra (+)
berkurang

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar

24/06/2017 S : Nyeri perut (+) berkurang BPL


Metronidazole 3x500 mg
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Paracetamol 3x500 mg
Mentis.
Saran periksa ke bedah
TD: 110/70 mmHg digestive

Suhu: 36,9C (axilla)

Nadi: 84x/menit

RR: 20x/menit

Pemeriksaan fisik:

Mata : Anemis (-), ikterus (+)

Leher : KGB tidak ada pembesaran,


JVP R+2 cmH2O

Thorax :

Bentuk dada normal, suara nafas


vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -

23
/-

Cor : S1/S2 tunggal regular, Murmur


(-)

Abd : Peristaltik (+) kesan normal,


nyeri tekan nyeri tekan hipocondrium
dextra (+) berkurang

Ekstremitas : edema (-/-)

A : Abses Hepar

24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PENGERTIAN ABSES HEPAR

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati .(1)

3.2 EPIDEMIOLOGI

Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara


endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan
prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS
antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada dekade ke 6. (1)

Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis
hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai
rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di
Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1,

25
yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-
fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati
adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering
dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada
anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal
dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.
(2,7)

3.3 ETIOLOGI
a. Abses Hepar Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit
non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang
dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi
Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga
diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-
patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini
berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. (2)

Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang


mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3

26
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu
memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan
bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut.
Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus.
Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi
kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan
untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan
karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi
diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai
yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa
eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase
yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan
mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan
membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan
asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti
merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia
lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku.
Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau
perubahan osmolaritas media. (2,9)
b. Abses Hepar Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,
fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica,
salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang
paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus
vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya
Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab

27
pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme
yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella,
Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi
sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis,
dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan
choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang
lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes
atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

28
3.4 PATOGENESIS
a. Abses Hepar Amebik

Saluran Koloni entamoeba Menghancurkan Sytem porta Intra


Intestinal histolytica dinding vena hepatal

Cabang-cabang
Leucos kecil Vena porta
it

Masuk & berkembangbiak Amuba melysiskan


Infiltrasi Peradangan
(coloni amoeba) Pembuluh darah

Amoebic hepatitis
Sembuh Spontan

Kemudian lesi
membesar

Membentuk rongga berisi cairan


yang berisi cell-cell debris

Amoebic liver absces

Bacterio steril

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik


melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung
pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah
penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)

29
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada
lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya
akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan
melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus.
Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease,
sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ
secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa
memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati.
Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati,
dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal
yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu,
dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul
tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% -
90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan
vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy
paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel
darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)

30
b. Abses Hepar Piogenik

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral.
Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi
di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun
melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh
karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang
membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri
tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi
langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau
arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena
portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis.
Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi

31
bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan
inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat
trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan
terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan
terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan
lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.
(1,10)

3.5 GAMBARAN KLINIS


a. Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)
Gejala :
-
Demam internitten ( 38-40 oC)
-
Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
-
Anoreksia
-
Nausea
-
Vomitus
-
Keringat malam
-
Berat badan menurun
-
Batuk
-
Pembengkakan perut kanan atas
-
Ikterus
-
Buang air besar berdarah
-
Kadang ditemukan riwayat diare
-
Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisik :
- Ikterus
- Temperatur naik

32
- Malnutrisi
- Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
- Nyeri perut kanan atas
- Fluktuasi
b. Abses hepar piogenik (1,2,8,15)

Gambaran klinis abses hepar piogenik menunjukkan manifestasi sistemik


yang lebih berat dari abses hepar amuba.

Keluhan :

- Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang


disertai menggigil
- Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
- Mual dan muntah
- Berkeringat malam
- Malaise dan kelelahan
- Berat badan menurun
- Berkurangnya nafsu makan
- Anoreksia

Kelainan fisik :

- Hepatomegali
- Nyeri tekan perut kanan
- Ikterus, namun jarang terjadi
- Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
- Buang air besar berwarna seperti kapur
- Buang air kecil berwarna gelap
- Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

33
3.6 DIAGNOSIS
a. Abses hepar amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amuba. Diagnosis abses hepar amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis,
fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu
dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk
diagnosis abses hepar amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock
(1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis

34
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
b. Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang
sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis
dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP,
demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif
menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini
menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)
3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hepar amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75
g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT
27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada
amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar
15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang.
Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang
spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang
banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk
mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9)

35
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi
hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim
transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan
waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan
fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi
standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan
biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang
sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman
anaerob Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hepar amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma
efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen
tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau
gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas,
USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau
MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak
ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati
normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.
Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular,
prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan
abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding
abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat
baik pada fase porta. (2)

36
Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pada pasien abses hepar piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang


didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan,
efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto
thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah
avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma
kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan
lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan
bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-
kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada
mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10
mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka
prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan
rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat.
Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang
juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta
penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding
abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses.
Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai

37
abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada


segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan


kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak
penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat
sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya
sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan
( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya.
Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (16)
3.8 PENATALAKSANAAN
a. Abses hepar amebik (2,12,14,17)
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:

38
a. Metronidazole

Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis


intestinal maupun ekstraintestinal, efek samping yang paling sering adalah
sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang
dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari
selama 5 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat
digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5
hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama
3-5 hari.

b. Dehydroemetine (DHE)

Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan


untuk mengatasi abses hepar sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari.
DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada
otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit
jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak

c. Chloroquin

Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal


ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama
20 hari.

2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas
tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman

39
ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi
seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan
dengan tuntunan USG.

3. Drainase Perkutan

Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur


atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran,
letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan
abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada
penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.

4. Drainase Bedah

Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil


membaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah
dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga
untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita,
disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia
karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan
untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak
berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam
mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.

b. Abses hepar piogenik (1,2,7,10)


Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati
piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal

40
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari
selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik
ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.

41
3.9 KOMPLIKASI

a. Abses Hepar Amebik

Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.


Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim.
Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses
dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)

b. Abses Hepar Piogenik

Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat


seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia,
empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum.
Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka,
abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.
(1)

3.10 PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau
emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di
rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan

42
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)

43
3.11 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)

Differential Diagnosis Manifestasi Klinis

Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.

Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan


atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.

Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,


stigmata penyakit hati kronik.

Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali


fosatase

USG : lesi lokal/ difus di hati

Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat


infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.

Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas


yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.

Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,


nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.

Laboratorium: leukositosis

USG : penebalan dining kandung empedu, sering


ditemukan pula sludge atau batu.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :


Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1,
80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam :
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar
fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel
ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a
glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-
28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis,
Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical
diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho
Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42

45
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st,
2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal
684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal medicine
17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st,
2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%20a
muba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.

46
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun
diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.

47

Anda mungkin juga menyukai