PENDAHULUAN
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hepar terbagi 2, yaitu abses hepar amebik (AHA) dan
abses hepar piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus
yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hepar di daerah perkotaan. Di negara
yang sedang berkembang abses hepar amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hepar piogenik. Dalam beberapa dekade
terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2)
1
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : Tn. I.N.S
Umur : 48 tahun
Agama : Hindu
No RM : 257869
Ruangan : Anggrek
Keluhan Utama
Demam
2
Pasien belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya, riwayat konsumsi
alkohol (-), riwayat konsumsi obat anti nyeri sebelum masuk rumah sakit yaitu
paracetamol 3x500 mg.
Riwayat DM : disangkal
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
3
BB : 53 Kg
TB : 160 cm
IMT : 20,7kg/m
Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
4
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Perkusi : Timpani
WBC : 21,8x103/uL
LYM % : 8,0 %
MID % : 2,5 %
GRA % : 89,5 %
5
HGB : 13,6 g/dL
MCH : 28,8pg
RBC : 4,74x106/uL
MCV : 79,1 fL
MCH : 28,8pg
RDWa : 75,8 fL
RDW% : 18,7%
PLT : 306x103/uL
MPV : 7,5 fL
PDW : 10,4 fL
PCT : 0,23%
LPCR : 12,5%
-Urin
6
Kejernihan : Jernih
Warna : Kuning
pH : 5
-Sedimen
Eritrosit : 1-2
Leukosit : 1-3
Epitel : 0-1
WBC : 26,8x103/uL
LYM % : 3,7 %
7
MID : 0,5 x103/uL
MID % : 2,1 %
GRA % : 94,2 %
MCH : 28,7pg
RBC : 4,31x106/uL
MCV : 79,2 fL
MCH : 28,7pg
RDWa : 77,4 fL
RDW% : 19,4%
PLT : 216x103/uL
MPV : 7,9 fL
PDW : 11,2 fL
PCT : 0,17%
LPCR : 15,4%
8
Distribusi udara sampai distal colon, tidak tampak dilatasi colon. Tidak
tampak dilatasi loop usus halus. Tidak tampak gambaran herring bone
Tidak tampak tanda udara bebas intraperitoneum
Tidak tampak lesi radiopak di lintasan traktus urinarius
Preperitoneal fat line dan psoas line dalam batas normal
Sl joint, Hip joint yang tampak kesan dalam batas normal
Tulang tulang yang tampak intak
Kesan :
- Tidak tampak dilatasi colon/ usus halus, tidak tampak tanda
pneumoperitoneum
- Tidak tampak BSK radiopak
- Perselubungan intermediate dari area hipokondrium kanan hingga
lumbalis kanan dan hipokondrium kiri, adakah proses di hepar, spleen
atau ginjal?
9
10
USG Abdomen ( tanggal 16 Juni 2017 )
Hepar : Ukuran, letak, bentuk dan echom parenkim dalam batas normal.
Tidak tampak dilatasi vascular. Tidak tampak dilatasi duktus bilier intra
dan extrahepatik. Tampak lesi bulat hipoechoic heterogen di lobus kanan
hepar, batas lesi saat ini tampak tegas disertai sentral necrotic dengan
ukuran diameter 11 cm.
GB : Dinding tipis, tidak tampak echo batu.
Lien :Ukuran, bentuk, letak, permukaan dan echoparenkim dalam batas
normal. Tidak tampak mass/cyst/lesi patologik lainnya.
Pankreas : Letak, bentuk, ukuran, dan echo kesan normal. Tidak tampak
mass/cyst/lesi patologik lainnya.
Kedua ginjal : Bentuk, ukuran dan echoparenkim dalam batas normal,
tidak tampak dilatasi PCS, batu maupun mass/cyst.
VU : dinding tipis, tidak tampak echo batu maupun massa
Tidak tampak dilatasi colon/ usus halus.
Tampak cairan bebas di cavum peritoneum dan dalam cavum pleura kanan
dan kiri
Kesan :
11
IV. ASSESSMENT
- Abses Hepar
- Demam Typoid
V. INTIAL PLANNING
Rencana Kerja : DL, UL, imuno Serologi, USG abdomen dan foto polos
abdomen 3 posisi, SGOT, SGPT, Bilirubin direct, total, HbsAg dan anti HCV
VI. PENATALAKSANAAN
1. IVFD D5% / NaCl 0,9 % 20 tpm
2. Metronidazole 3x500 mg/IV
3. Levofloxacin 1x750 mg/iv
4. Sanmol 3x1 gr/IV
5. Omeprazole 2x49 mg/IV
6. Ondancentron 2x4 mg/iv
VII.Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Treatment
Nadi: 78x/menit
12
RR: 20x/menit
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
A : Demam Typoid
Nadi: 82x/menit
13
RR: 20x/menit
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
A : Demam Typoid
15/06/2017 S : Nyeri perut (+), flatus (+), nyeri Diet cair 6x100 cc
bahu (+), demam (+) naik turun IVFD RL = aminofluid
24 tpm
BAB : biasa,warna kuning coklat.
Ceftriaxone 3x 1 gr/IV
BAK : kesan lancar (hr 4)
Levofloxacin 1x750
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
mg/IV
Mentis.
Omeprazole 2x40 mg / IV
TD: 110/70 mmHg Sanmol 3x1 gr/IV
Ondancentron 2x4 mg/iv
Suhu: 38C (axilla)
BNO 3 posisi (cito)
14
Nadi: 80x/menit USG abdomen
Kontrol cito
RR: 20x/menit
Ukur lingkar abdomen
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
A : Demam Typoid
16/06/2017 S : Nyeri perut (-), nyeri bahu (+), IVFD D5% / NaCl 20
Demam (+) tpm
Levofloxacin 1x750
BAB : biasa,warna kuning coklat.
mg/iv
BAK : kesan lancar Metronidazole 3x500
mg/IV
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos
Sanmol 3x1/iv
15
Mentis. Omeprazole 2x40 mg
Nadi: 80x/menit
RR: 20x/menit
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
A : Febris Typoid
Abses Hepar
16
BAB : biasa,warna kuning coklat. Metronidazole 3x500
mg/IV
BAK : kesan lancar
Levofloxacin 1x750
O : Sakit Sedang/Gizi Baik/Compos mg/iv
Mentis. Sanmol 3x1 gr/IV
Omeprazole 2x49 mg/IV
TD: 110/70 mmHg
Ondancentron K/P
Suhu: 38C (axilla) Saran untuk rujuk ke
RSUP Sanglah untuk
Nadi: 80x/menit
evaluasi abses dan pasien
RR: 20x/menit menolak
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
A : Abses Hepar
17
Demam Typoid
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
18
Ekstremitas : edema (-/-)
Demam Typoid
Nadi: 78x/menit
RR: 20x/menit
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
19
(-)
A : Abses Hepar
Demam Typoid
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
20
vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-
A : Abses Hepar
Demam Typoid
Thorax :
21
vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -
/-
A : Abses Hepar
Nadi: 84x/menit
RR: 20x/menit
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
22
/-
A : Abses Hepar
Nadi: 84x/menit
RR: 20x/menit
Pemeriksaan fisik:
Thorax :
23
/-
A : Abses Hepar
24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati .(1)
3.2 EPIDEMIOLOGI
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis
hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai
rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di
Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1,
25
yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-
fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati
adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering
dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada
anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal
dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.
(2,7)
3.3 ETIOLOGI
a. Abses Hepar Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit
non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang
dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi
Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga
diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-
patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini
berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. (2)
26
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu
memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan
bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut.
Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus.
Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi
kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan
untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan
karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi
diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai
yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa
eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase
yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan
mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan
membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan
asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti
merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia
lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku.
Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau
perubahan osmolaritas media. (2,9)
b. Abses Hepar Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,
fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica,
salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang
paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus
vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya
Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab
27
pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme
yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella,
Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi
sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis,
dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan
choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang
lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes
atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
28
3.4 PATOGENESIS
a. Abses Hepar Amebik
Cabang-cabang
Leucos kecil Vena porta
it
Amoebic hepatitis
Sembuh Spontan
Kemudian lesi
membesar
Bacterio steril
29
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada
lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya
akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan
melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus.
Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease,
sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ
secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa
memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati.
Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati,
dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal
yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu,
dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul
tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% -
90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan
vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy
paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel
darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
30
b. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral.
Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi
di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun
melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh
karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang
membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri
tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi
langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau
arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena
portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis.
Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi
31
bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan
inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat
trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan
terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan
terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan
lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.
(1,10)
32
- Malnutrisi
- Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
- Nyeri perut kanan atas
- Fluktuasi
b. Abses hepar piogenik (1,2,8,15)
Keluhan :
Kelainan fisik :
- Hepatomegali
- Nyeri tekan perut kanan
- Ikterus, namun jarang terjadi
- Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
- Buang air besar berwarna seperti kapur
- Buang air kecil berwarna gelap
- Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
33
3.6 DIAGNOSIS
a. Abses hepar amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amuba. Diagnosis abses hepar amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis,
fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu
dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk
diagnosis abses hepar amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock
(1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
34
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
b. Abses hati piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang
sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis
dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya
dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP,
demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif
menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini
menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab
adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)
3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hepar amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75
g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT
27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada
amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar
15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang.
Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang
spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang
banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk
mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9)
35
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi
hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim
transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan
waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan
fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi
standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan
biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang
sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman
anaerob Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hepar amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma
efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen
tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau
gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas,
USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau
MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak
ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati
normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.
Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular,
prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan
abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding
abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat
baik pada fase porta. (2)
36
Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)
37
abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. (1,2,)
38
a. Metronidazole
b. Dehydroemetine (DHE)
c. Chloroquin
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas
tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman
39
ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi
seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan
dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
4. Drainase Bedah
40
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari
selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik
ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
41
3.9 KOMPLIKASI
3.10 PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau
emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di
rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
42
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek,
malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain. (1,2)
43
3.11 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)
Laboratorium: leukositosis
44
DAFTAR PUSTAKA
45
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st,
2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal
684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal medicine
17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st,
2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%20a
muba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
46
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun
diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.
47