Oleh:
Rahmi Yulia Ningsih
Universitas Bina Nusantara
I. PENDAHULUAN
Sejak sekolah dasar, guru di Indonesia pada umumnya telah memberitahu
bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Slogan ini membutuhkan deksripsi dan narasi
yang argumentatif. Bahasa pada ungkapan bahasa menunjukkan bangsa mengacu
pada dua hal: pertama bahasa itu sendiri dengan segala perilakunya, dan kedua,
penggunaan bahasa. Pada rujukan pertama , kita dapat melihat suatu bangsa yang
membedakannya dari bangsa lain dari sudut morfologis, sintaksis, dan semantis.
Sementara pada rujukan kedua, bahasa dikaitkan dengan bagaimana fungsi
suatu bahasa dipakai oleh pengguna bahasa dan menggambarkan karakter atau jati
diri penggunanya. Dalam konteks mengajak masyarakat Indonesia berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar, sering didengungkan ungkapan bahasa
Indonesia adalah jati diri bangsa Indonesia, yang tidak lain berarti bahasa
Indonesia adalah ciri-ciri bangsa Indonesia. Artinya, bahasa Indonesia yang
digunakan secara umum oleh orang Indonesia menampilkan sifat, tabiat, ataupun
watak orang Indonesia secara umum pula. Sepertihalnya bahasa Jawa yang kaya
akan adjektiva perasaan, menunjukkan karakter umum orang Jawa yang pandai
menghayati dan mengolah rasa. Seseorang yang mudah melontarkan ungkapan
makian mencerminkan sulitnya ia mengendalikan perasaan.
Bagaimana dengan realitas kondisi bangsa kita, bangsa Indonesia? Bangsa
Indonesia kini tengah mengalami krisis jati diri yang ditandai dengan maraknya
kekerasan verbal mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet,
komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas
(reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan
Perwakilan Rakyat. Kenyataan menunjukkan krisis jati diri individu-individu
manusia Indonesia yang berakibat luntur dan rusaknya jati diri bangsa Indonesia.
Sebagaimana pesan sebuah kalimat bijak when character is lost, everything is
lost.
Untuk itu, tulisan ini akan memaparkan bagaimana kekerasan verbal yang
terjadi di Indonesia turut menandai krisis jati diri bangsa, bagaimana
membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan dan peran pusat bahasa
sebagai lembaga sensor bahasa dalam menyikapi maraknya kekerasan verbal
sebagai solusi mengobati kiris jati diri bangsa akibat kekerasan verbal.
II. PEMBAHASAN
Kekerasan Verbal dan Jati Diri Bangsa
Kekerasan tidak hanya muncul melalui adegan-adegan sadis tetapi juga
melalui kata-kata yang dikenal dengan sebutan kekerasan verbal. Kenyataan
berbahasa Indonesia yang makin jelas terlihat dewasa ini adalah kekerasan verbal
melalui penggunaan ungkapan sumpah serapah, kalimat dengan gaya bahasa
kasar, dan sindiran. Ungkapan serapah makin banyak memasuki ruang-ruang
publik, mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi
melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality
show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan
Perwakilan Rakyat.
Para pengguna dengan santainya berekspresi menggunakan bahasa yang
dianggap gaul, termasuk dalam berserapah tanpa kekhawatiran diawasi atau
dianggap tidak santun. Berserapah, baik untuk tujuan memperkuat solidaritas
pertemanan maya maupun tujuan melawan musuh maya, menjadi tidak tabu
dalam komunikasi melalui komputer. Ada sebuah contoh yang dikutip dari pesan
facebook 11 oktober 2011 lalu bertuliskan semua laki2 itu bajingan. Mereka
sendiri yg ngmng kyk gt ke gw, menurut lo gmn?. Tulisan ini menunjukkan
betapa kata-kata makian mudah dilontarkan tanpa hambatan. Kata bajingan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan penjahat, pencopet, kurang
ajar. Jika semua laki-laki membaca tulisan ini, dapat dibayangkan apa yang
terjadi dan seperti apa respon yang akan diberikan kaum laki-laki.
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa individu Indonesia berwatak
kasar dan tidak tahu sopan santun. Di bawah tulisan ini pun ada yang berkomentar
laki-laki masuk dalam 2 kategori, kalau g bajingan ya homo
#mengutipkataradiyadika. Bukankah laki-laki adalah kaum pemimpin yang
selayaknya dihargai bahkan dihormati, bukan untuk dimaki-maki secara
serampangan. Bahkan tulisan tersebut disebutkan kutipan dari sebuah novel
remaja. Fenomena ini semakin memperjelas terjadinya krisis jati diri bangsa.
Masih banyak lagi kekerasan-kekerasan verbal lainnya yang dapat dilihat pada
obrolan-obrolan internet dan telepon genggam. Ruang-ruang obrolan di internet
pun menyebarluaskan serapahan baru yang dilancarkan remaja seperti cupu, anjrit,
katro, jayus, lemot, jijay, jablay, gokil, dan lain sebagainya.
Acara realitas di televisi kerap mengumbar kekerasan verbal. Salah satu
contoh acara televisi yang menunjukkan adanya indikasi tindak kekerasan verbal
orang tua dan anak dalam tuturannya adalah acara Happy Family: Me VS Mom
yang ditayangkan Trans TV. Selain itu,masih segar dalam ingatan kita bagaimana
kekerasan verbal terumbar dalam acara realitas curhat bareng Anjasmara yang
secara tepat dihentikan penyiarannya oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Acara-acara realitas seperti ini umumnya menampilkan bagaimana
kekerasan verbal yang tidak jarang diikuti kekerasan fisik, seperti saling dorong
dan tangisan untuk mengakhiri dan menangani persoalan. Tampak persoalan
mudah terselesaikan dengan kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan air mata yang
sebenarnya merupakan ekspresi ketidaksabaran, atau bahkan frustasi dan
keputusasaan. Padahal, yang menyelesaikan persoalan bukan pengguna kekerasan
verbal itu, melainkan keterpaksaan para tokoh yang terlibat dalam persoalan
setelah sadar direkam oleh stasiun televisi dan khawatir dicemooh oleh penonton.
Alhasil, individu Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang santun,
bersusila, saling menghormati dan menghargai layaknya budaya timur, tengah
mengalami krisis. Kini berubah menjadi bangsa yang kasar dan terkenal songong.
Nama-nama acara yang ditayangkan di televisi cenderung negatif sehingga
menuntut hadirnya kekerasan verbal. seperti tidak mau kalah bersaing dengan
ungkapan serapah dan kosakata negatif, ungkapan pornografis dan ungkapan
mistis juga mudah dijumpai pada tayangan-tayangan televisi. Acara lawak, kuis,
pamer cakap, dan realitas baik di televisi, surat kabar, majalah, novel, film, dan
blog, seperti sudah memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan hal-hal yang
pornografis dan mistis.
Acara pamer cakap seperti empat mata dan bukan empat mata serta kuis-
kuis tengah malam menebar ungkapan jahil yang mengarah pornografis. Acara
realitas seperti percaya ga percaya, uka-uka, pemburu hantu, dunia lain, (masih)
dunia lain, scary job, realigi dan mitos-mitos masyarakat yang memborbardir
pemirsa dengan kata-kata kunci seperti alam gaib, penampakan, bayangan,
angker, tua, kuntilanak, tuyul, santet, ilmu hitam, seram, paranormal, kerasukan,
yang menawarkan keasyikan akan ditakut-takuti bagi pemirsa Indonesia. tokoh-
tokoh cenayang pun bermunculan melontarkan ramalan tentang masa depan
sehingga bertebaranlah ungkapan-ungkapan seperti kiamat, 2012, kehancuran,
bencana, dan indigo, yang sesungguhnya menampilkan sisi pesimisme akan masa
depan.
Kekerasan verbal seperti ini menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang
percaya pada takhayul dan benda-benda keramat. Krisis jati diri akibat kekerasan
verbal seperti ini sudah sepatutnya segera disikapi agar tidak berlarut-larut hingga
lunturnya bahkan hilangnya jati diri individu bangsa Indonesia. Kekerasan verbal
tidak hanya dapat dilihat pada ruang-ruang dunia maya dan acara televisi saja,
tetapi juga muncul di ruang-ruang publik. Seperti contoh bahasa lisan yang
digunakan Gayus (anggota DPR RI) berikut : Anda jangan kurang ajar! Nyebut-
nyebut profesor! dan bahasa lisan Ruhut (anggota DPR RI) berikut: Diam kau
bangsat!.
Fenomena ini menunjukkan bahasa lisan beberapa anggota legislatif yang
seharusnya merekonstruksi tatanan nilai, moral atau makna kehidupan berbangsa,
bergeser menjadi sarkasme, agitatif, dan kehilangan muatan nilai etis dan estetika.
Ekspresi bahasa lisan anggota legislatif telah mengalamim krisis, kehilangan kata
dan retorika tanpa estetika. Terdapat contoh lain yang menunjukkan krisis jati diri
bangsa Indonesia. Konflik atau persoalan di masyarakat mudah memicu lontaran
ungkapan kasar, baik secara lisan maupun tulis yang menggambarkan jati diri
bangsa yang pemarah, cepat naik darah, dan sulit mengendalikan diri.
Hari gini nyerobot jalur bus Transjakarta? Malu, dong! (stiker di
kaca belakang bus-bus Transjakarta).
Dilarang membuang sampah di sini kecuali anjing! (coretan di
tembok-tembok).
Bukankah sebaiknya kekerasan verbal seperti ini dapat digantikan dengan:
Terima kasih Anda tidak menyerobot jalur bus Transjakarta.
Dimohon untuk tidak membuang sampah di areal ini
Ungkapan-ungkapan seperti ini lebih menunjukkan jati diri bangsa
Indonesia yang terkenal ramah, sopan , santun, dan penuh basa-basi. Bahkan, jika
ingin lebih menunjukkan jati diri bangsa Indonesia, bahasa-bahasa iklan tersebut
dapat dibuat dalam bentuk pantun. Terlebih jika bahasa iklan yang di pasang di
sekitar wilayah Jakarta dengan budaya Betawinya yang terkenal dengan
berpantun. Seperti contoh berikut:
Ke Tanah Abang lewatin Senayan
Mampir dulu ke Mangga Dua
Kalau mau aman dan nyaman
Jangan serobot jalur Transjakarta
Biar menang biar kalah
Asalkan bahagia
Kalau mau buang sampah
Jangan di sini ya....
Terdapat contoh lain yang ditemukan di pinggiran jalan. Ungkapan
jangan seperti saya dipampang di atas sebuah kendaraan yang sudah hancur
retak yang diperkirakan akibat sebuah kecelakaan oleh polisi. Ungkapan seperti
seolah-olah mengintimidasi berikut mengancam para pengendara mobil dan roda
dua. Betapa indahnya jika ungkapan yang digunakan polisi untuk mengingatkan
sahabatnya pengendara motor dengan bahasa hati-hati, jalan licin atau hati-
hati, kecelakaan rentan terjadi akibat ngebut di jalanan. Ungkapan-ungkapan
seperti ini lebih mencitrakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang peduli dan
penuh kasih.
Mungkin selama ini tidak disadari bahwa kita sering melakukan kekerasan
yang bersifat verbal dalam artian tidak berbentuk fisik melainkan melalui ucapan
yang kadang dianggap sebagai candaan atau guraun semata. Ketidakpedulian kita
terhadap fenomena kekerasan verbal ini akan melunturkan jati diri kita sebagai
bangsa yang bermartabat dan beradab.
III. PENUTUP
Perubahan bahasa yang mengarah pada ketidaktertiban penggunaan bahasa
Indonesia menandai terjadinya krisis jati diri bangsa Indonesia. Salah satu bentuk
perubahan bahasa yang terjadi adalah maraknya kekerasan verbal, mulai dari
forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon
seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi,
bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Di
forum-forum seperti ini ditemukan ungkapan-ungkapan serapah, ungkapan-
ungkapan jahil yang mengarah pornografis, ungkapan-ungkapan mistis, dan lain
sebagainya.
Maraknya kekerasan verbal seperti ini menandai terjadinya krisis jati diri
bangsa. Untuk itu, perlu penanganan yang serius. Upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan dan
menjadikan pusat bahasa sebagai lembaga sensor bahasa yang betugas dalam
penertiban ragam tulis di ruang-ruang publik. Upaya ini dapat terlaksana dengan
adanya kerja sama pemerintah, pakar dan pemerhati bahasa, kaum intelektual, dan
masyarakat khusunya generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA