Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu pelestarian lingkungan kini begitu kuat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan,
sehingga segala usaha atau tindakan yang berkaitan dengan pembangunan perlu memasukkan
unsur pelestarian lingkungan di dalamnya. Berkaitan dengan itu, teknologi pertanian yang
banyak menimbulkan efek negatif terhadap keseimbangan ekosistem perlu ditinjau kembali
untuk dicarikan jalan keluar atau penggantinya. Pertanian organik, Pengendalian Hama
Terpadu (PHT), dan Biopestisida merupakan cara alternatif menuju pertanian berwawasan
lingkungan. Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya tanaman.
Oleh karena itu peranannya perlu digantikan dengan teknologi lain yang berwawasan
lingkungan. Pemakaian bibit unggul, pupuk organik, dan pestisida memang mampu
memberikan hasil yang tinggi. Namun, tanpa disadari praktek ini telah menimbulkan masalah
dalam usaha pertanian itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Pestisida, menurut UU no. 12
tahun 1992, adalah: zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang tumbuh, bahan
lain, serta organisme renik dan virus yang digunakan untuk melindungi tanaman.
Biopestisida merupakan pestisida yang bersumber pada bahan-bahan alami seperti
tumbuhan, hewan, dan mikroba; pada umumnya mudah terurai dan spesifik sehingga
lebih aman dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan hama
dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20
persen. Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar petani Indonesia
menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil yang cepat dan efektif.
Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida
kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu, promosi dari perusahan pembuat pestisida yang
sangat gencar semakin meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi.
Seperti halnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga
memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total konsumsi pestisida per
tahun mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat
mencapai lebih dari 10 20 persen. Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan
memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu
dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit,
ikan, burung dan satwa lain.

Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah
adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget,
terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni lingkungan sekitar. Bahkan, residu
pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga dapat
meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia.

Keracunan akibat kontak langsung dengan pestisida dapat terjadi pada saat aplikasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai tahun 2000 mencatat sedikitnya terjadi tiga juta
kasus keracunan pestisida setiap tahun dengan 220.000 korban jiwa. Sejumlah dampak
negatif penggunaan pestisida seperti telah disebutkan di atas, mendorong dibuat metode lain
yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam usaha pemberantasan
hama dan penyakit tanaman. Harga pestisida kimiawi cukup tinggi sehingga membebani
biaya produksi pertanian. Dalam hitungan petani, biaya komponen pestisida mencapai 25
40 persen dari total biaya produksi pertanian. Tingginya harga pestisida kimiawi tersebut
disebabkan bahan aktif pestisida masih diimpor. Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar
Amerika menyebabkan harga pestisida kimiawi semakin tidak terjangkau oleh petani.

Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga komponen pestisida yang
tinggi, maka dapat diramalkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan karena tidak
dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan yang layak. Kondisi tersebut tentu saja amat
merugikan pembangunan bidang pertanian Indonesia. Di samping itu kebijakan global
dalam pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada
gilirannya nanti akan sangat membebani dunia pertanian di Indonesia. Tingginya tingkat
ketergantungan pertanian Indonesia terhadap pestisida kimia akan membawa dampak negatif
pada upaya ekspansi komoditas pertanian ke pasar bebas, yang seringkali menghendaki
produk bermutu dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah. Dengan demikian secara
berangsur-angsur harus segera diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimiawi dan
mulai beralih kepada jenis-jenis pestisida hayati (biopestisida) yang aman bagi lingkungan.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui potensi biopestisida sebagai alternalif
pengendalian organisme pengganggu tanaman yang ramah lingkungan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengandalian Hama Terpadu Dalam Sistem Pertanian Organik

Latar belakang timbulnya konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) erat kaitannya
dengan kebutuhan untuk melaksanakan PHT dalam usaha mengendalikan jasad pengganggu
tanaman (pest), timbulnya gagasan untuk melaksanakan PHT didorong oleh pengalaman
yang menunjukkan bahwa cara pengendalian hama yang terlalu menitik-beratkan pada
penggunaan pestisida dapat menimbulkan beberapa persoalan; berupa dampak negatif
terhadap lingkungan hidup. Kecenderungan pemakaian pestisida dari petani-petani sekitar
periode 1940- 1950 di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lain mengakibatkan dampak
negatif yang tidak diinginkan, yaitu terganggunya keseimbangan lingkungan. Kehebatan
insektisida Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) antara lain telah mendorong
memperluas pemakaian pestisida secara besar-besaran, sehigga tidak ada pertimbangan
ekologis maupun ekonomis dalam pemakaiannya. Sebetulnya cara pengendalian dengan
menggunakan pestisida dapat mengatasi persoalan hama, karena dibandingkan dengan cara
pengendalian lain maka pestisida memiliki daya bunuh hama yang tinggi dan lebih praktis
penggunaanya. Tetapi dengan pemakaian pestisida secara terus-menerus dalam
mengendalaikan hama, munculah beberapa masalah seperti:
a. Terjadinya Hama Resisten.
b. Munculnya resurgensi hama.
c. Munculnya Hama-Hama Sekunder.
d. Musnahnya Musuh-Musuh Alami.
e. Residu Pestisida Pada Tanaman.
f. Kecelakaan Karena Pestisida (Keracunan).

Sampai saat ini banyak ahli memberikan definisi dan batasan tentang PHT, namun pada
dasarnya mengadung prinsip yang sama. Berikut ini disampaikan beberapa definisi yang
mewakili tentang pengertian PHT, antara lain:
1. Pengelolaan Hama Terpadu adalah pengeloaan protektif pada spesies yang merugikan
dengan melakukan evaluasi dan konsolidasi semua teknik pengendalian yang tersedia
ke dalam suatu program yang terpadu, untuk mengelola populasi hama sedemikian
rupa sehingga kerusakan ekonomi dapat dihindari dan pengaruh samping bagi
lingkungan yang merugikan dapat ditekan seminimal mungkin.
2. Pengelolaan Hama Terpadu adalah pemilihan secara cerdik tindakan pengendalian
hama yang dapat menjamin hasil atau konsekuensi yang menguntungkan dilihat\ dari
segi ekonomi, ekologi dan sosiologi.
3. Pengendalian Hama Terpadu adalah pendekatan ekologi yang multidsiplin terhadap
pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan beraneka ragam taktik pengendalian
secara kompaktibel dalam suatu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan.
Pengendalian Hama Terpadu adalah menerapkan semua cara pengendalian yang
kompaktibel untuk menurunkan dan mempertahankan populasi organisme
pengganggu di bawah batas yang menyebabkan kerusakan ekonomi, untuk
menstabilkan produksi pada taraf yang tinggi, tidak merusak lingkungan dan
menguntungkan.

Dari ke empat batasan tersebut di atas dapat diartikan bahwa Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) mempunyai beberapa ciri atau sifat dasar yang membedakan dengan
pengendalian hama secara tunggal atau konvensional, ciri-ciri tersebut adalah:
1. Tujuan utama PHT bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan
hama; tetapi pengendalian populasi hama agar tetap berada di bawah ambang
yang dapat merugikan. Strategi PHT bukanlah eradikasi hama tetapi pembatasan
populasi hama. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap hama yang berada di
lapangan harus diberantas adalah keliru dan tidak sesuai dengan prinsip PHT.
2. Dalam melaksanakan pengendalian hama digunakan metode atau teknik
pengendalian yang dikenal, tidak tergantung pada satu cara pengendalian tertentu.
Semua teknik pengendalian dikombinasikan secara terpadu dan kompaktibel
dalam sutu kesatuan pengelolaan.
3. Dalam mencapai sasaran utama PHT yaitu mempertahankan populasi hama di
bawah ambang kerusakan ekonomi, produktivitas pertanian dapat diusahakan
pada tingkat yang tinggi, pelaksanaan PHT harus didukung oleh kelayakan sosial
ekonomi masyarakat setempat, dan secara ekologi harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Terdapat 4 (empat) unsur dasar (Basic Element) yang terdapat dalam setiap program
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yaitu:
1. Pengendalian Alamiah (Natural Control)
Pengendalian secara alamiah berarti pengendalian dengan menggunakan
musuh-musuh alami, seperti predator, parasit dan patogen atau pengendalian secara
hayati (biologis) di alam. Pengendalian alamiah yang dimaksud adalah penekanan
dalam jangka panjang terhadap populasi hama yang disebabkan karena bekerjanya
semua faktor-faktor yang terdapat di lingkungan secara keseluruhan.
2. Pengambilan Contoh (Sampling)
Perencnaan Pengambilan contoh (sampling) yang baik dan tidak berat sebelah
merupakan syarat dalam melaksanakan pengendalian hama yang rasional dan
khususnya untuk PHT secara sempurna. Metode sampling bertujuan untuk
mengetahui perkiraan jumlah hama dan tingkat kerusakannya, hal ini merupakan
keharusan mutlak guna dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan dalam
pengendalian. Merupakan suatu keharusan untuk mengetahui tingkat populasi hama
dan ambang ekonominya sehingga keputusan yang dilaksanakan dalam PHT
mempunyai arti yang memadai.
3. Tingkat Ekonomik/Ambang Ekonomi (Economic Threshold)
"Tingkat Ekonomik" atau "Ambang Ekonomik" adalah tingkat populasi
terendah hama yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian secara ekonomi,
sehingga pengendalian perlu mulai dilaksanakan guna mencegah kerusakan ekonomis
lebih lanjut dari tanaman yang diusahakan. Ambang ekonomi juga dapat diartikan
sebagai batas yang menunjukkan kepadatan suatu populasi hama tertentu yang bisa
menimbulkan kerugian bila dibiarkan terus, sehingga perlu segera dilakukan tindakan
pengendalian. Ambang ekonomi dapat pula dinyatakan sebagai persentase kerusakan
tanaman oleh hama yang menunjukkan bahwa kerusakan tersebut pada persentase
tertentu harus segera dilakukan pengendalian.

Gambar 26. Grafik Skematis Kedudukan Aras Luka Ekonomi dan Ambang
Ekonomi
Menurut konsep Ambang Ekonomi, pengendalian hama dengan "Pestisida" hanya
dilakukan apabila perkembangan populasi hama telah menunjukkan peningkatan
sampai menyamai atau melebihi Ambang Ekonomi. Setelah aplikasi pestisida
dilaksanakan, diharapkan populasi hama dapat kembali turun sampai di bawah
Ambang Ekonomi.

4. Biologi dan Ekologi Hama:


Setiap janis pengganggu atau hama mempunyai sifat-sifat biologis dan
ekologis yang berbeda-beda, pengetahuan yang mendalam tentang biologi dan ekologi
hama dan musuh-musuh alami atau organisme-organisme berguna lainny adalah
sangat panting dalam menyusun strategi pengendalian, terutama dalam PHT.
Pengalaman menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan langsung antara jumlah
informasi yang dapat dikumpulkan tentang keadaan hama yang sangat kompleks
dalam suatu agroekosistem dengan jumlah pilihan tindakan yang dapat dilakukan
dalam PHT. Data aspek tentang tanaman inang, kehidupan dan siklus hidup menurut
musim, tempat persembunyian, bagian tanaman yang diserang, serangga-serangga
berguna, pengaruh iklim dan tanah adalah sebagian dari informasi penting yang
digunakan dalam menentukan kebijaksanaan pengendalian hama yang baik dan tepat.

BIOPESTISIDA SEBAGAI ALTERNATIF PESTISIDA SINTETIK

Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan menimbulkan dampak negatif terhadap


lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu dan dapat mengakibatkan timbulnya
hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung dan satwa lain. Salah satu
penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida
di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber
air dan meracuni lingkungan sekitar. Residu pestisida pada tanaman dapat terbawa melalui mata
rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia.
Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain adalah:
1. Hama menjadi kebal (resisten).
2. Peledakan hama baru (resurjensi).
3. Penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen.
4. Terbunuhnya musuh alami.
5. Pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia.
Pestisida menurut UU no. 12 tahun 1992 adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan
perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik dan virus yang 120 digunakan untuk
melindungi tanaman. Biopestisida merupakan pestisida yang bersumber pada bahan-bahan alami
seperti tumbuhan, hewan, dan mikroba; pada umumnya mudah terurai dan spesifik sehingga lebih
aman dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan untuk biopestisida antara lain adalah:

1. Pohon neem (Azadirachta indica) atau mindi. Pohon mindi mengandung senyawa
limonoid yang merupakan bioaktif pestisida yaitu senyawa tetranortriter penoid
azadirachtin yang ampuh melindungi tanaman terhadap serangga perusak.
2. Kulit kepiting. Pestisida dari kulit kepiting dinamakan clandosan yang pada umumnya
digunakan sebagai nematisida.
3. Mikroba. Baik virus, jamur, maupun bakteri secara langsung atau tidak dapat menganggu
dan mematikan serangga.

Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan
pestisida hayati :
a. Pestisida Nabati
Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik daun, buah, biji
atau akar berupa senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan
penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat
insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal). Beberapa jenis tanaman yang mampu antara
lain mengendalikan hama seperti famili Meliaceae (Nimba, Aglaia), famili Anonaceae (biji
srikaya, biji sirsak, biji buah nona).

b. Pestisida Hayati
Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur,
bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit
tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama)
maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman). Formulasi Beuveria bassiana (isolat Segunung)
mampu mengendalikan hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek dan
mengendalikan kumbang mawar serta kutu daun pada tanaman krisan.
Dari kelompok bakteri yang telah banyak diteliti dan digunakan sebagai agen hayati
(pestisida hayati) adalah genus: Bacillus (B. polimyxa, B. subtilis dan B. thuringiensis),
Pseudomonas (P. Fluorescens-Pf), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum dan
Gliocladium sp). Formulasi pestisida hayati yang telah dihasilkan BALITHI di antaranya Bio-PF
mengandung Pf untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan cendawan, rebah kecambah dan
bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp.,Phytiuum sp, Vericillium albo-atrum, Alternaria
spp dan Rhizoctonia solani. (Laboratorium Biokontrol, Balai Penelitian Tanaman Hias, 2008).

Keunggulan dan Kekurangan Biopestisida


Kelebihan :
1. Degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari.
2. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan napsu makan serangga walaupun jarang
menyebabkan kematian.
3.Toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada manusia dan
lingkungan.
4. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan syaraf) dan
bersifat selektif.
5. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang kebal pestisida kimia.
6. Fitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman.
7. Murah dan mudah dibuat oleh petani.

Kelemahan :
1. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering.
2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga).
3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena keterbatasan bahan baku.
4. Kurang praktis.
5. Tidak tahan disimpan.

Fungsi Biopestisida :

Biopestisida memiliki beberapa fungsi, antara lain :

1. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: bau menyengat.


2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot.
3. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4. Menghambat reproduksi serangga betina.
5. Mengacaukan sistem hormon dalam tubuh serangga.
6. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga.

MUSUH ALAMI
Sebagai bagian dari komonitas, setiap komonitas serangga termasuk serangga hama
dapat diserang atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme
penyerang disebut Musuh Alami. Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya
musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan ser angga terserang. Hampir semua kelompok
organisme berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata,
nematoda, jasad renik, invertebrata diluar serangga. Kelompok musuh alami yang paling
banyak adalah dari golongan serangga itu sendiri. Misalnya adalah Letmansia bicolor
merupakan musuh alami dari serangga hama pada tanman kelapa Secava sp, Serangga
kumbang Koksinelid ( Synkuharmonia octomaculata merupakan musuh alami dari hama
tanman padi yaitu serangga wereng hijau, wereng punggung putih dan wereng zig -zag.
Dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi, Parasitoid, Predator dan
Patogen.

1. Parasitoid
Merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda lainnya.
Parasitoid bersifat par asit pada fase pradewasa, sedangkan dewasanya hidup bebas dan tidak
terikat pada inangnya. Parasitoid hidup menumpang di luar atau didalam tubuh inangnya
dengan cara menghisap cairan tubuh inangnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya .
Umumnya parasitoid menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan - lahan dan
parasitoid dapat menyerang setiap fase hidup serangga, meskipun serangga dewasa jarang
terparasit. Parasitoid menyedot energi dan memakan selagi inangnya masih hidup dan
membunuh atau melumpuhkan inangnya untuk kepentingan keturunanya. Kebanyakan
parasitoid bersifat monofag (memiliki inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang
tertentu). Selain itu
2. Predator
Predator adalah binatang atau serangga yang memangsa atau serangga lain. Predator
merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa atau
serangga lain, ada beberapa ciri ciri predator :
1. Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya ( telur, larva,
nimfa, pupa dan imago ).
2. Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap mangsanya dengan
cepat.
3. Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya
4. Predator membunuh mangsanya untuk dirinya sendiri
5. Kebanyakan predator bersifat karnifor
6. Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada mangsanya
7. Dari segi perilaku makannya, ada yang mengunyak semua bagian tubuh
mangsanya, ada menusuk mangsanya dengan mulutnya yang berbentuk seperti
jarum dan menghisap cairanya tubuh mangsanya.
8. Metamorfosis predator ada yang holometabola dan hemimetabola
3. Patogen
Golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan
akhirnya mati. Patogen adalah salah satu faktor hayati yang turut serta dalam mempengaruhi
dan menekan perkembangan serangga hama. Karena mikroorganisme ini dapat menyerang
dan menyebabkan kematian serangga hama, maka patogen disebut sebagai salah satu musuh
alami serangga hama selain predator dan parasitoid dan juga dimanfaatkan dalam kegiatan
pengendalian. Oleh karena kemampuanya membunuh serangga hama sejak lama patogen
digunakan sebagai Agen Pengendali hayati (biological control agens). Kelompok serangga
dalam kehidupan diserang banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa,
jamur, riketzia dan nenatoda. Ini merupakan macam patogenik yang dapat digunakan sebagai
agen pengendali hayati.

2.2 Pengandalian Penyakit Tanaman Dalam Sistem Pertanian Organik

Maksud dari pengendalian penyakit tanaman adalah untuk memperbaiki kuantitas dan
kualitas hasil produksi tanaman yang kita usahakan; dengan arti yang lebih luas lagi, adalah
untuk memaksimalkan penggunaan lahan pertanian secara efisien dan efektif, atau juga
mengoptimasikan produktifitas lahan pertanian tersebut, guna mendapatkan hasil produksi
untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, sandang, serta kebutuhan lain yang memintanya
terus semakin meningkat diseluruh dunia.

Penyebab penyakit tanaman.

Penyakit pada tanaman umumnya disebabkan oleh mikroorganisme misalnya jamur,


virus, dan bakteri. Sebagian besar jamur yang menyebabkan penyakit pada tanaman adalah
golongan Ascomycetes dan Basidiomycetes. Penyakit jamur dapat dikendalikan mnggunakan
fungisida, namun ras baru dari jamur tahan terhadap berbagai fungisida. Contoh beberapa
jamur yang menyebabkan penyakit tanaman adalah Phytium Sp, Fusarium oxysporium,
Brotrytis Sp.
Bakteri penyebab penyakit pada tanaman terdapat lebih dari 100 jenis spesies dan
berbentuk basil (batang). Contoh beberapa bakteri yang menyebabkan penyakit pada tanaman
diantaranya adalah Agrobacterium,Corynebacterium, Erwinia, Pseudomonas, Streptomyces
dan Xanthomonas.
Virus merupakan organisme yang sangat kecil dengan komposisi yang sangat sederhana
karena hanya mengandung asam inti dalam bentuk RNA dan hanya sedikit yang mempunyai
DNA. Contoh virus yang menyebabkan penyakit pada tanaman diantaranya adalah Tobacco
mosaic virus, Tomato spotted wilt, peanut mottle virus, virus citrus triseza.
Selain itu penyakit tanaman dapat disebabkan karena kekurangan salah satu atau beberapa
jenis unsur hara. Kita bisa membedakan secara visual tanaman yang terkena penyakit akibat
mikroorganisme atau kekurangan unsur hara. Tanaman sakit akibat mikroorganisme dalam
satu hamparan lahan umumnya hanya beberapa spot tanaman yang sakit. Tanaman sakit
akibat kekurangan unsur hara umumnya semua tanaman dalam satu hamparan memiliki
tanda sakit yang sama.
Salah satu aplikasi pengendalian penyakit berbasis lingkungan adalah penerapan
rotasi tanaman yang dapat memperkaya keanekaragaman mikroorganisme yang
menguntungkan dan memotong siklus hidup patogen. Selain itu strategi pengendalian
penyakit pada pertanian organik sebisa mungkin diintegrasikan dengan pengendalian hama
dan gulma. Sehingga terjadi kesatuan langkah dalam pengendalian organisme pengganggu
tanaman yang ramah lingkungan, efektif dan efisien. Pada banyak contoh mekanisme
pengendalian ini belum diketahui dengan pasti, bahkan mungkin suatu usaha pengendalian
biologis dapat bermanfaat melalui beberapa mekanisme. Berikut prinsip-prinsip pada
pengendalian penyakit dalam pertanian organic :

1. Peniadaan
Peniadaan patogen tanaman merupakan tindakan pengendalian patogen penyakit
tanaman dengan cara mengurangi atau menghilangkan patogen dan pada umumnya,
pengurangan atau peniadaan inokulum awal adalah sangat efektif untuk pengelolaan patogen
monosiklik. Langkah langkah peniadaan dapat dilakukan dengan bermacam cara seperti :
Pengendalian seperti penggunaan rotasi tanaman, penghilangan inang alternatif, dan fumigasi
tanah dapat mengurangi inokulum awal. Pada patogen polisiklik, inokulum awal dapat
berlipat setiap saat selama musim pertumbuhan. Untuk itu, pengurangan inokulum awal
biasanya harus digabungkan dengan tipe lain cara pengendalian (seperti cara perlindungan
kimia atau ketahanan horizontal) yang juga mengurangi laju infeksi.
Selain itu tidakan peniadaan patogen dapat dilakukan dengan mengupayakan agar
patogen tidak masuk atau datang dengan cara yaitu Eksklusi. pencegahan inokulum untuk
masuk atau menetap di suatu wilayah atau lahan yang sebelumnya di tempat itu belum ada.
Tujuannya agar penyebaran patogen tidak terjadi di suatu negara, wilayah atau areal
pertanaman. Yang termasuk dalam ekslusi ini adalah perlakuan benih, inspeksi dan sertifikasi,
karantina, serta eradikasi serangga vektor.
2. Eradikasi.
Eradikasi bertujuan untuk mengurangi, membersihkan dan memusnahkan inokulum
yang telah ada pada lahan atau tanaman yang menjadi sumber inokulum atau membuat
inokulum menjadi tidak aktif. Yang termasuk dalam cara-cara eradikasi adalah pengendalian
hayati, rotasi tanaman, pencabutan dan pemusnahan tanaman sakit, perlakuan panas dan
perlakuan kimia pada tanaman sakit, serta perlakuan tanah.
a. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati bertujuan untuk memusnahkan dan mengendalikan patogen
dengan memanfaatkan aktivitas mikroba lain. Yang termasuk dalam kegiatan pengendalian
hayati adalah pemberian mikroba antagonis dan perlakuan tertentu untuk meningkatkan
aktivitas mikroba tanah seperti pemberian bahan organik yang bertujuan agar mikroba
antagonis menjadi tinggi aktivitasnya. Yang dimaksud dengan mikroba antagonis adalah
mikroba yang aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen. Mekanisme
antagonisme dalam pengendalian hayati yaitu : (a) parasitisme langsung atau lisis dan
matinya patogen (b) kompetisi makanan dengan patogen, (b) antibiosis, pengaruh langsung
dari substansi antibiotik yang dikeluarkan oleh antagonis terhadap patogen, dan (c) pengaruh
tidak langsung dari substansi yang menguap seperti etilen yang dikeluarkan karena aktivitas
antagonis. Penerapan pengendalian hayati :
a. Introduksi
Introduksi artinya memasukkan atau mengimpor musuh alami dari suatu daerah atau
negeri ke daerah lain sering kali cara ini disebut sebagai cara klasik.

b. Augmentasi
Augmentasi merupakan teknik penambahan musuh alami secara periodik dengan tujuan
untuk meningkatkan jumlah dan pengaruh musuh alami
c. Konservasi
Konservasi merupakan usaha untuk mempertahankan atau melestrarikan musuh alami
yang telah ada di suatu daerah . Tekhnik ini bertujuan untuk menghindarkan tindakan yang
dapat menurunkan populasi musuh alami contoh penggunaan pestisida.

b. Rotasi Tanaman
Rotasi tanaman merupakan salah satu metode yang efektif untuk
mengendalikan penyakit tular tanah dan penyakit akar. Metode ini hanya efektif untuk
patogen yang tidak dapat bertahan lama dalam tanah, misalnya untuk patogen Fusarium dari
spesies tertentu. Rotasi tanaman tidak efektif bila dilakukan untuk mengendalikan penyakit
yang disebabkan oleh patogen penghuni tanah yang mempunyai kemampuan saprofitik yang
tinggi dan dapat bertahan dalam tanah selama bertahun tahun.
Bilamana tanaman yang sama ditanam terus menerus pada lahan yang sama untuk
beberapa musim tanam maka patogen tular tanah akan meningkat populasinya dan akan
menyebabkan penyakit yang serius pada pertanaman tersebut. Lahan tersebut akan menjadi
tempat yang terinfestasi berat oleh patogen karena ketersediaan tanaman inang yang terus
menerus. Apabila pada lahan ini kemudian ditanam dengan tanaman yang sangat tahan atau
tanaman yang imun terhadap patogen tersebut maka patogen tidak akan mendapatkan
makanan sehingga populasinya akan menurun secara tajam. Demikian pula, apabila
kemudian pada lahan ini ditanami tanaman bukan inang patogen, maka populasi patogen juga
akan menurun. Beberapa tanaman mengeluarkan eksudat yang mengandung senyawa tertentu
yang dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan populasi patogen tular tanah, disisi
lain beberapa eksudat justru membantu perkembangan organisme antagonis.
c. Pencabutan Dan Pemusnahan Tanaman Sakit
Adanya tanaman sakit merupakan sumber inokulum bagi tanaman lain atau tanaman
berikutnya ditempat itu. Roguing (pemangkasan bagian tanaman yang sakit), pencabutan
tanaman sakit, pemusnahan inang antara dan inang perantara, dan sanitasi (membersihkan
sisa-sisa tanaman sakit) merupakan aktivitas penting dalam eradikasi patogen.
d. Perlakuan Tanah
Tujuan dari perlakuan tanah ini adalah untuk membuat patogen menjadi inaktif atau
patogen menjadi mati. Yang termasuk dalam aktivitas perlakuan tanah adalah dengan
penggunaan energi panas (mulsa plastik, pembakaran sisa tanaman sakit, penjemuran tanah),
dan penggenangan (untuk membuat kondisi anaerob agar patogen tertentu menjadi mati), dan
pemberaan (lahan tidak ditanami).

3. Pengimbasan ketahanan
Dewasa ini masalah pengimbasan ketahanan, yang sering juga disebut
sebagai .immunitas, merupakan bidang penelitian yang terbuka lebar. Menurut Tuzun dan
Kuc (1990), ketahanan dapat terjadi karena inokulasi dengan pathogen, bukan pathogen,
metabolit mikroba, dan sisa-sisa tumbuhan, termasuk ekstrak pupuk kandang. Satu
pengimbas dapat membuat tanaman menjadi tahan terhadap macam-macam pathogen. Pada
ketimun, inokulasi daun pertama dengan organisme pembuat nekrosis dapat melindungi
tanaman terhadap 13 patogen, yang meliputi jamur, bakteri, dan virus, bahkan serangga. Pada
umumnya proteksi bertahan selama 4-6 minggu. Ketahanan dapat diperoleh dengan
perawatan dengan oksalat-oksalat, dikalium/ natrium fosfat, dan trikalium/natrium fosfat.
Memang, untuk filoplan diharapkan bahwa mikrobia yang dapat mengimbas ketahanan
akan mempunyai arti yang lebih penting daripada yang bersifat antagonistic terhadap
pathogen melalui amtibiosis atau persaingan nutrient. Sehubungan dengan hal itu pemakaian
fungisida yang berspektrum luas harus dihadapi.

5. Proteksi Silang
Pada penyakit virus pengendalian biologis dilakukan dengan proteksi silang (cross-
protection) atau premunisasi. Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah
hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain
yang dilemahkan (attenuated) dapat dibuat dengan pemanasan in vitro (misalnya pada Virus
Mosaik Tembakau, virus mosaik ketimun, dan virus mosaik semangka), pendinginan in vivo
(Virus Mosaik Kedelai), dan dengan asam nitrit (Virus bercak-cincin papaya). Proteksi silang
ini sudah banyak dilakukan dibanyak Negara, antara lain di Taiwan dan Jepang.

6. Tanaman Campuran
Dijepang diketahui bahwa labu air ( Lagenaria siceraria) yang ditanam bersama-sama
dengan bawang daun ( perai, Allium fistulosum) kurang mendapat gangguan penyakit layu
fusarium (Fusarium oxysporum f.sp. lagenaria). Diduga disebabkan oleh berkembangnya
bakteri Pseudomonas gladioli pada akar bawang daun. Bawang daun juga telah dicoba untuk
mengendalikan penyakit layu fusarium pada tomat dan strowbery.

2.3 Pengandalian Gulma Tanaman Dalam Sistem Pertanian Organik

Menurut Klingman (1984) cit. T. Wahyudi dkk (2010), gulma didefinisikan sebagai
tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki. Gulma juga didefinisikan sebagai
tumbuhan yang kehadirannya pada lahan pertanian dapat menurunkan hasil yang bisa dicapai
oleh tanaman produksi. Kerugian akibat gulma terhadap tanaman budidaya beragam
bergantung dari jenis tanaman yang diusahakan, iklim, jenis gulma, teknik budidaya yang
diterapkan serta faktor lainnya. Kehadiran gulma di lahan tembakau Vorstenlanden
sebenarnya tidak menjadi permasalahan yang serius karena teknik budidaya yang diterapkan
khususnya dalam pengolahan tanah dilakukan secara intensif. Gejoh untuk pemeliharaan
tanaman atau dalam istilah lainnya dangir selain berfungsi untuk menciptakan lingkungan
pertumbuhan yang diinginkan oleh perakaran tembakau (kondisi aerasi dan drainase yang
optimum), juga berfungsi untuk sanitasi lahan. Pada pelaksanaan perlindungan tanaman pun
untuk menciptakan kebersihan lingkungan dilakukan tindakan preventif dengan
membersihkan gulma yang disinyalir dapat menjadi tempat persembunyian hama maupun
penularan penyakit.
Gulma memiliki ciri khas diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, mempunyai
daya saing yang kuat dalam memperebutkan faktor-faktor kebutuhan hidupnya, mempunyai
toleransi yang besar terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem, mempunyai daya
berkembang biak yang besar secara vegetatif atau generatif, alat perkembangbiakannya
mudah tersebar melalui angin, air, maupun binatang, dan bijinya mempunyai sifat dormansi
yang memungkinkannya untuk bertahan hidup dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
Gulma perlu di sikapi dengan serius karena hal ini yang merupakan banyaknya
tanaman pertanian mengalami kerugian yang tak terhingga. Sehingga petani (pelaku usaha
pertanian) mengalami kerugian secara ekonomis yang jumlah harga produksi tidak dominan
dari pada hasil yang di usahakan yang akibat dari ulah gulma atau tumbuhan tak di kehendaki
kehadiranya tersebut.

Gulma memiliki ciri khas diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, mempunyai


daya saing yang kuat dalam memperebutkan faktor-faktor kebutuhan hidupnya, mempunyai
toleransi yang besar terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem, mempunyai daya
berkembang biak yang besar secara vegetatif atau generatif, alat perkembangbiakannya
mudah tersebar melalui angin, air, maupun binatang, dan bijinya mempunyai sifat dormansi
yang memungkinkannya untuk bertahan hidup dalam kondisi yang kurang menguntungkan.

Sistem pengendalian Gulma Secara Terpadu

Yang dimaksud dengan pengendalian gulma secara terpadu yaitu pengendalian gulma
dengan menggunakan beberapa cara secara bersamaan dengan tujuan untuk mendapatkan
hasil yang sebaik-baiknya. Dengan mendasarkan pada alternatif pengendalian yang tersedia,
maka dipilih dua cara pengendalian yaitu pengendalian menggunakan herbisida dan
pengendalian secara mekanis.

Ada pula teknik Pengendalian gulma secara terpadu diantaranya dapat dilakukan
sebagai berikut:

1.Gulma ditebas dengan parang kemudian dihamparkan di lahan sebagai mulsa.

Sekitar 2-3 minggu gulma yang sedang tumbuh aktif disemprot dengan herbisida
sistemik, seperti glifosat dengan takaran 4-6 liter per hektar. Setelah 2-4 minggu kemudian,
lahan ditanami padi dalam barisan. Upaya penyiangan dilakukan dengan menggunakan
herbisida pasca-tumbuh, seperti 2,4-D amina dengan takaran 1,5 liter per hektar yang
diaplikasikan pada umur 2-3 minggu setelah tanam padi.

2. Gulma ditebas dengan parang kemudian dilakukan pengolahan tanah.

Selanjutnya dilakukan penanaman padi dan penyiangan menggunakan herbisida pra-


tumbuh, seperti Oxadiazon dengan takaran 2 liter per hektar. Penyiangan dilakukan secara
manual satu kali pada umur 35 hari setelah tanam padi.

3.Mekanisme Musuh Alami Menekan Pertumbuhan Gulma

Adapun mekanisme yang dilakukan agen pengendalian hayati dalam menekan


pertumbuhan gulma diantaranya adalah :

a. Menggerek bagian tubuh gulma. Serangga mungkin pula merusak tanaman dengan
melubangi batang atau akar ketika meletakkan telurnya. Batang yang didalamya
terdapat larva serangga tentunya akan menyebabkan terhambatnya translokasi nutrisi
yang akan diedarkan ke seluruh bagian tanaman, sehingga pertumbuhan gulma dapat
terhambat.
b. Menghisap cairan gulma. Akibat yang ditimbulkan karena terhisapnya cairan gulma
adalah gulma menjadi layu, menguning dan akhirnya mati.
c. Memakan bagian tubuh gulma. Seperti penggunaan serangga Cytrobagoes salviniae
yang memakan bagian tubuh gulma seperti daunnya.
d. Mentransmisikan penyakit. Serangga herbivora dapat pula berperan sebagai vektor
penyebab penyakit dengan jalan mentransmisikan penyakit (patogen) dari tanaman ke
tanaman, atau dari gulma ke gulma lain.
e. Berkompetisi dengan gulma. Penggunaan LCC (Legume Cover Crop) dapat menekan
pertumbuhan gulma dengan cara bersaing dalam memperebutkan sarana tumbuh
seperti cahaya, air, ruang tumbuh, unsur hara dan lainnya.
f. Menimbulkan penyakit. Contohnya pengendalian hayati melibatkan penggunaan
agen pengendali kapang dan bakteri berfungsi menyerang dan mengendalikan patogen
tanaman serta penyakit yang ditimbulkannya. Dampak Kerusakan Terhadap Gulma
g. Akibat adanya serangga yang menggerek didalam batang gulma menyebabkan
terhambatnya translokasi nutrisi yang akan diedarkan ke seluruh bagian tanaman,
sehingga pertumbuhan gulma dapat terhambat.
h. Daun menjadi menguning, daun layu, yang diakibatkan terhisapnya cairan gulma oleh
agensi hayati.

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai