Anda di halaman 1dari 10

PEREMPUAN ITU TERLAHIR DARI DOA

Oleh: KY Karnanta

Suara yang menggema dari pura jatuh tersungkur, menyusur pada jalan-jalan sunyi. Tetapi
keheningan masih kurasa begitu bening, mengalir begitu deras dan aku menyaksikan bayanganku
berenang di dalamnya. Segalanya nampak begitu sama, meski aku tahu tak ada sesuatu yang
benar-benar serupa; tatkala dedaunan kamboja luruh bertebaran di gigir jalan merah tanah, dan
desing angin tak berhenti menggetarkan ranting-ranting, serta arah pendar kupu-kupu yang
bergerak dengan gerakan tergunting. Sementara di belahan langit yang jauh aku lihat sekawanan
kelelawar berkelebat liar menghitami langit senja ini; senja yang perih, di mana aku menemukan
kembali sketsa wajahmu yang lama terbingkai dalam sebuah lukisan bernama nostalgia.
Segalanya masih terlihat sama. Dinding kamar yang merekam gerak-gerik kita; lampu-lampu
bambu yang mengerjap lemah; juga sepasang mata panah yang pernah kau titipkan kepadaku.
Wajahmu tetap tinggal pada sebuah ruang paling sederhana dalam tubuhku. Ketahuilah
kekasihku, kau tak pernah pergi dari hatiku. Semenjak kau lesatkan busur panahmu, dan aku
terbius, terjebak pada sekat-sekat kerinduan yang kini membuat aku memahami betapa palsu dan
perih arti kebahagiaan. Jari-jarimu yang pernah menyentuh tubuhku masih bisa kurasakan
jejaknya sebagai kenyataan pahit, namun selalu ingin kukenang.
aku perempuan tidak diciptakan untuk laki-laki
aku perempuan tidak diciptakan atas kehendak laki-laki
Ketika engkau pergi, aku pun tak mengerti mengapa hidup begitu indah memberi dirimu
kepadaku, namun sedetik kemudian merampasmu kembali. Oh, tidak. Hidup tidak pernah
merampasmu dariku. Hidup membiarkan kau ada di dekatku, namun kehendakmu, kehendak
mereka yang kau sebut suci, tak pernah membiarkan kau dan aku menjadi sepasang kupu-kupu
yang terbang berpendaran menyapa padang ilalang. Aku adalah mahluk berakal dan berhati. Aku
adalah mahluk yang memiliki birahi dan mimpi!
adakah makna kesucian perempuan
ataukah hanya batas-batas picik yang sengaja dikuduskan?
Dan aku menemanimu, juga mereka, para lelaki yang sedarah denganmu. Mengembara dari
sunyi ke sunyi. Manapak dari satu pengabdian menuju ke pertapaan yang lain lagi. Cintaku
padamu, adalah bocah gembala di sabana luas dan tak tahu kemana arah. Kerinduanku padamu,
adalah perahu kecil yang tersesat, terjebak dalam gulungan ombak dan tak tahu di mana tepi.
Dan melebihi seorang resi, aku telah mengihami betapa dewata tidak pernah menciptakan
kebahagiaan tanpa kekalutan. Maka aku tetap menginginkanmu, kekasihku. Aku ingin dirimu.
Adakah kau mengerti, kekasihku, adakah kau memahami?
aku adalah dia yang selalu bersama lima satria
aku adalah dia yang menerima tanpa bisa bertanya mengapa
Jalan-jalan kembali begitu sunyi. Hanya kudengar gemerincing suara kaki hujan yang
menikam dedaunan, barisan ilalang yang seolah terus menengadah tanpa pernah mengaduh.
Tetapi senyumanmu itu, kekasihku, senyumanmu menjadi penuh oleh bisikan-bisikan yang
menerkam, lalu memaktubkan aku ke dalam cerita-cerita; sebuah legenda yang kelak akan
terkenang sebagai genangan air mata dan belenggu diriku. Oh, kepada bumi yang menerbitkan
kehidupan, kepiluan, kebahagiaan dan kepalsuan, dengarlah aku merintih dalam kelana yang tak
ku tahu di mana harus berhenti. Ingatanku pingsan, tekapar di persimpangan jalan dan kurasakan
bayanganku muntah, hingga terpecah menjelma suara-suara yang tak bisa ku mengerti.
apakah arti kenangan itu, kekasih
selain rindu yang kukecap begitu perih
Hingga tiba saat-saat pertaruhan itu. Engkau, kekasihku, dan mereka yang sedarah satu
silsilah denganmu menyaksikan para bandit culas dengan zirah di tubuh mereka mencoba
mengoyak kehormatanku. Aku adalah dia yang tidak dilahirkan dari senggama. Aku adalah dia
yang diciptakan dari persetubuhan doa-doa. Dan aku adalah dia yang selalu bersama lima satria.
Tidakkah kau mengerti, kekasihku! Aku tercabik kenistaan, terkapar terkubur rasa malu dan
tangis yang abadi. Dan derai isak ini adalah tanda, betapa aku tak pernah menghendaki sesuatu
ini terjadi. Tetapi kau, dan mereka sekalian hanya terdiam, berdiri setegak tugu dengan tatapan
mencoba menyeringai mengingkari kenyataan. Ini aku, perempuan suci yang mendampingimu
dan membaptis segala setia pada satu sumpah; aku mencintaimu! Ini aku, perempuan yang
dipaksa pada kehinaan sempurna, dan kalian, para kekasihku hanya terdiam, tenggelam dalam
gelak tawa yang bagiku lebih tepat disebut dengan ribuan jarum yang melesat menikami
tubuhku.
kebenaran tidak selalu kenyataan
meski kenyataan seringkali mereka sebut sebagai kebenaran
Kini, dalam ruangan kecil ini, kembali aku melihat ranting-ranting yang sama. Daun-daun
terserak setelah angin mengibaskan sayapnya hingga sudut yang terkecil. Langit menghitam
menyerupai jelaga. Aku, perempuan yang tidak diciptakan dari senggama; aku, perempuan yang
menemani lima satria, telah melihat letak dunia yang tersungsang dan tak ada kebenaran yang
sejati. Segalanya, akan terjadi bersama cinta dan khianat. Dan aku bersumpah, oh dewata agung,
dengarlah sumpahku. Aku tak akan menyanggul rambutku sebelum kucuci dengan darah bagi dia
yang telah mencoba menelanjangiku
***
Panca menghela nafas panjang. Ia berhenti membaca cerita itu. Diletakkannya buku
dongeng tersebut di atas meja. Kemudian matanya menerawang jauh. Jauh, teramat dalam seperti
ada sesuatu yang telah lama ia pendam kembali muncul. Lalu jemarinya menyentuh jari-jari
Made, gadis yang pernah singgah pada hatinya dahulu. Panca teringat saat-saat yang
menyenangkan dahulu, di mana mereka saling menjadi arti di balik senyuman masing-masing.
Namun, karena suatu sebab yang memang sengaja ia buat-buat, ia memutuskan untuk berpisah
secara sepihak. Panca pergi tanpa pernah memberi kabar. Sekalipun Made berungkali mencoba
bertemu atau sekedar berbicara dengannya lewat telepon, ia menolaknya. Semenjak itu, Made
jatuh sakit. Keputusasaan yang dalam pada seseorang bisa menciptakan luka yang tak dapat
ditemukan namun selalu dapat dirasakan. Luka yang dapat membiakkan luka-luka yang lain lagi.
Dan pengobatan yang telah ia jalani menuntut efek yang menakutkan. Rambutnya rontok dan
badannya terus menyusutt kurus. Tulang pelipis matanya cekung, terpejam dengan flek hitam di
kelopaknya. Kini, di saat-saat terakhirnya, Made ingin agar Panca mau membacakan dongeng
pengantar tidurnya. Dan permintaan itu tidak bisa ditolak oleh Panca. Meskipun, sesungguhnya
Panca tidak ingin melakukannya.
Panca menggerakkan tubuhnya. Ia ingin mencium kening Made yang kini pulas dengan
wajah pasi tergolek lemah, sekaligus membisikkan pamit. Seperti ada yang bergetar di hati Panca
ketika ia menempelkan bibirnya di kening Made. Mata Panca terpejam sesaat. Dengan
kondisimu yang seperti ini, pikir Panca, mungkin ini akan menjadi pamitku yang terakhir. Saat-
saatmu terlihat semakin dekat. Kemudian ketika ia membuka matanya, tiba-tiba sesuatu terjadi...
Entah mengapa ia melihat wajah Made berubah menjadi begitu cantiknya; menjadi begitu
anggunnya..

Surabaya, 2005
PADAM LAMPU DI SUBUH ITU
Oleh: KY Karnanta

Meski telah tuntas ia tenggak lima kaleng minuman beralkohol ringan yang membuat
kepalanya terasa sedikit berat, Frans sebenarnya tidak mabuk. Butir keringat yang menggulir di
kepala dan lehernya, atau juga sepasang mata merahnya yang memancarkan lemas, lebih
disebabkan karena dugaan-dugaan tentang kemungkinan terpelik yang akan dialaminya: apa aku
akan dianggap gelandangan? Mungkinkah aku dibui karena minum di taman ini. Ah, kuharap
tidak, batinnya, semoga bisa berdamai. Tapi, jika bisa berdamai, mestikah sisa uang untuk hidup
sebulan ke depan ini yang mesti kuberi?
Terlintas juga dalam benak Frans adegan yang kerap ia lihat di taman itu pada hari-hari
sebelumnya. Beberapa pedagang mainan, makanan, dan minuman rutin berlari-lari kecil setiap
kali melihat mobil petugas melintas, bersembunyi entah di mana, untuk kemudian kembali lagi
setelah mobil patroli itu pergi. Orang-orang di taman selalu menyaksikan hal itu dengan
tersenyum. Beberapa yang lain, yang mungkin baru pertama kali melihat adegan itu, mengamati
dengan ekspresi keheranan, dan setelah mereka mendapat jawabannya, rasa heran itu berubah
menjadi tawa. Beberapa lagi iseng akan bertaruh dalam waktu berapa menitkah pedagang-
pedagang itu akan kembali lagi. Beberapa lagi sama sekali tak menaruh peduli.
Frans tak menyangka bahwa malam ini justru dirinyalah, yang biasanya menjadi penonton di
bangku taman dan menaruh simpati pada pedagang-pedagang itu karena tahu kebanyakan dari
mereka adalah warga pendatang, sama seperti dirinya, harus berurusan dengan petugas untuk
masalah yang tak bisa ia anggap sepele: minum minuman keras di tempat umum. Ah, apa ada
yang lebih buruk daripada berurusan dengan polisi di tempat yang jauh dari rumah, batinnya.
Sementara Frans menggumam dalam diam lalu kembali memandang pada sepasang mata di
depannya; sepasang mata yang sedari tadi tak henti mendelik garang, petugas itu kembali
menghardiknya.
Berani kamu lihat mataku, hah? Jongkok! Bentakan sang petugas itu sebenarnya cukup
keras, lebih-lebih Frans hanya berjarak sehelai hembusan asap dari bibir tebal dengan bekas luka
jahitan yang kentara di sekelilingnya. Tetapi Frans bergeming, kecuali matanya yang reflek
berkedip terkena semburan ludah sang petugas. Untuk beberapa saat dua pasang mata itu
bersitatap seolah hendak menaklukan satu sama lain. Ketika mata petugas berbaju coklat
kekuningan itu yang memilih berkelit lebih dulu dan mengalihkan perhatian pada dompet, tas
kumal berisi beberapa buku yang tergeletak di pinggir bangku, Frans kemudian memandang
lemah pada pendar lampu di sekeliling taman.
Hei, kalau lihat kau punya muka dan mulutmu punya bau, apa salah kalau aku pikir kau ini
berandal? Petugas itu kembali menyalak, kali ini dengan logat yang sangat kentara terlalu
dibuat-buat. Frans tahu petugas itu sedang mengoloknya, sejenis olok-olok yang sering Frans
dengar dari anak-anak kecil di daerah tempat ia kost; dari beberapa teman kampusnya yang iseng
menggoda logat bicaranya, bahkan juga keriting rambutnya; atau dari beberapa tayangan sinetron
yang bagi Frans selalu berlebihan, yang sesekali ia lihat saat ia membeli makan di warung kopi
tubruk.
Kalau lihat semalaman ini kau tersenyum-senyum sendiri, apa salah aku menganggapmu
gila? Heh, jawab!
Sumpah, Pak, saya tidak gila...
Sumpah, Pak, saya tidak gila.. Petugas itu lagi-lagi menirukan logat bicara Frans, namun
sedetik kemudian terburu-buru menahan tawa, berusaha mempertahankan aura kegarangan yang
telah ia bangun sebelumnya, yang tampaknya membuahkan hasil pada Frans. Saat menggeledah
isi dompet Frans dan menemukan kartu pengenal bergambar seorang peminum yang menaiki
seekor burung Garuda, lambang salah satu universitas negeri terpandang di kota itu, petugas itu
sesungguhnya tahu, bahkan sangat tahu, tingkat kewarasan dan kecerdasan orang yang sedang ia
hadapi. Meskipun awalnya petugas itu sedikit terkejut, lebih-lebih saat membaca keterangan
tingkat pendidikan yang tertera di bawah nama Fransiscus Wabizer, yang setingkat lebih tinggi
dari yang biasa ia temui saat menghadapi unjukrasa mahasiswa, ia memutuskan tak peduli. Kartu
Mahasiswa terkadang membawa keuntungan tertentu, pikirnya, tetapi dalam soal seperti ini,
apalagi dengan seragam yang sedang kukenakkan, hal itu tidak bermakna apa-apa.
Baik, kita buktikan. Sekarang kamu push-up dan hitung yang keras. Seratus kali. Salah
hitung sekali kuanggap kamu tidak waras. Cepat!
Frans spontan meletakkan secarik kertas yang sedari tadi ia genggam, tak sempat mengatur
nafas lalu segera mengambil posisi push-up. Ia tak tahu mengapa ia begitu saja patuh, meski akal
sehatnya yang malam itu ia genangi dengan alkohol masih sanggup memutuskan bahwa perintah
itu adalah tindakan konyol. Sementara dengan mimik muka yang terlatih, mimik muka penguasa
keadaan, petugas itu tertawa-tawa, duduk di bangku beton sambil meraih kertas itu dan
memperhatikannya sejenak.
Kertas macam apa pula yang kau bawa, hah? Nomer togel? Oh..aha, ini surat, surat cinta?
Orang seperti kau ini juga bisa jatuh cinta, hah?
Frans berhenti bergerak, melihat secarik kertas miliknya digenggam kasar.
Hei, kenapa berhenti? Lanjutkan! Nah, supaya kau semangat, akan kubaca suratmu ini
sampai hukumanmu selesai. Hahaha..
Taman teramat sunyi di dini hari itu. Bocah-bocah kecil pedagang asongan yang sepanjang
hari berjualan meringkuk tertidur sembarangan di celah-celah bangku dan mainan. Bertumpu
pada kedua tangannya, perlahan Frans menggerakkan tubuhnya naik turun. Matanya semakin
merah ketika petugas bersepatu lars itu mulai membaca tulisannya dengan keras. Keras, dengan
logat yang dipaksakan semirip mungkin dengan logat yang lazim dibunyikan orang-orang
berwajah dan berperawakan seperti Frans.
Kalau aku mati nanti, Rein, aku ingin jadi kupu-kupu. Kupu-kupu warna merah, seanggun
senja di buku cerita. Kalau kau ingin jadi apa?
Kutanyakan hal itu sebab baru saja kulihat seekor kupu-kupu tergeletak tak bergerak di
tempat aku duduk. Kupu-kupu itu berwarna merah jingga seanggun senja. Kulihat ada juga
garis hitam kebiruan melengkung di bibir sayapnya. Sebuah perpaduan warna yang ganjil
namun indah, menurutku. Kupu-kupu itu tergolek kaku di ujung bangku. Sayapnya tak bergerak
meski angin berhembus semarak. Awalnya aku menduga kupu-kupu anggun itu mati, tetapi
ketika ia kudekati, tiba-tiba ia melesat cepat lalu menghilang di antara rimbun daun yang selalu
berayun. Sedang dengan kupu-kupu saja aku tertipu, apalagi dengan yang lain?
Ah, aku jadi tersipu sendiri. Dan karena aku tersipu sendiri itulah tiba-tiba aku
mengingatmu, entah kenapa.
Rein, kini aku sedang duduk di bangku kayu pinggir lapangan, memandang langit yang kini
tak merah lagi saat senja. Seperti kau tahu, cuaca kini selalu tak mudah untuk dibaca. Siang
begitu terik, malam begitu gigil, angin bertiup tergesa, membuat tubuh yang rapuh dituntut
untuk lebih patuh. Kalau tidak, mungkin saja tubuh bisa rentan, pingsan seperti kupu-kupu yang
tadi kuceritakan. Meski akhirnya kupu-kupu itu siuman, kurasa tak ada di dunia ini yang
menginginkan pingsan. Rein, seandainya aku adalah kupu-kupu itu, mungkinkah kau akan
peduli?
Ah, maafkan aku Rein. Seharusnya aku tak perlu bertanya seperti itu. Seperti berulang kali
kau bilang, Aku tak suka ditanya! Tapi jujur saja aku masih sering tak kuasa menahan diri
untuk tidak bertanya, dan sialnya, aku selalu saja tidak tepat waktu dan tempat untuk bertanya
atau bercakap tentang hal yang kau sebut kekanak-kanakan itu. Aku rasa kau pun tahu kenapa
aku tak kuasa, meski di saat yang sama kau tak memberi maklum untuk itu semua. Tak apa Rein,
tak apa. Mungkin aku memang hanya boleh menanyakan hal itu pada bayangan, seperti yang
selama ini aku lakukan. Lagipula, bukankah sesuatu akan jauh lebih menarik untuk tidak
diperbincangkan, terlebih dipertanyakan. Seperti senja ini, senja yang memucat tampak lemah,
ringkih, dan kita tetap tak pernah tahu, mungkin tak ingin tahu, apakah senja pernah bertanya
kepada angin benarkah ia tak lagi menyala.
Rein, mengapa kita tidak terlahir sebagai senja?
Ah, Rein, sekali lagi, maafkan aku. Baiknya kuceritakan saja padamu tentang taman ini.
Taman ini dibuka tepat dua bulan setelah kepergianmu, satu setengah tahun setelah aku datang
di kota ini, lima bulan lebih lima belas hari sejak kau izinkan aku menciummu. Sayang sekali
kau tak sempat melihat bagaimana kota kelahiranmu ini berbenah, banyak membuat taman-
taman yang indah, segar dipenuhi kembang-kembang yang merekah, dirias kupu-kupu yang
selalu terbang merendah. Di beberapa sudut pada taman ini terdapat juga kolam pancuran. Jika
malam tiba, air dalam pancuran itu menyala membias penerangan yang dipasang di
sekelilingnya. Kalau aku tak salah menghitung, bundar lampu merkuri yang ada di taman itu
seluruhnya berjumlah lima puluh dua. Merah, kuning, biru, bahkan seluruh lampu di taman ini
selalu berpendar padu. Mungkin kau akan berpikir betapa tidak pentingnya menghitung jumlah
lampu-lampu itu. Tapi bagiku tidak. Sering aku merasa iri dengan lampu-lampu itu. Satu jam
menjelang maghrib mereka dinyalakan bersama-sama, setelah subuh mereka juga dipadamkan
dengan cara serupa.
Rein, adakah yang lebih indah dari hidup dan mati bersama-sama?
Sejak dua bulan lalu, aku memang cukup sering untuk pergi ke taman ini, seorang diri,
menghikmati kupu-kupu, senja, juga lampu-lampu itu. Aku merasa taman ini bisa membuatku
sejenak melupakan sesak yang selalu muncul dalam benak: sesak yang rutin tapi tak kutahu
ujung muasalnya. Melihat para pengunjung taman bersenda gurau dengan karibnya, anaknya,
atau juga pasangannya. Mereka tampak berwajah riang dan tertawa bahagia.
Seperti beberapa bocah yang sedang bermain sepak bola di depanku saat ini. Mereka begitu
bersemangat mengejar bola, berteriak pada temannya, tertawa, lalu berlari lagi. Melihat nafas
mereka yang naik turun, aku berpikir bahwa mereka juga merasa lelah. Lelah karena bahagia
atau bahagia karena lelah? Lelah dalam kebahagiaan atau bahagia dalam kelelahan? Entahlah.
Yang pasti, aku ikut merasa senang. Perasaan senang itu cukup untuk membuatku tersenyum
meski sesungguhnya aku tak dapat memastikan apakah senyumku itu tulus atau gerus. Dan lebih
dari itu, aku juga merasa lega. Lega karena ternyata masih ada yang bahagia di kota ini.
Rein, kau di sana, bahagia juga kan? Percayalah aku selalu berdoa untuk itu.
Oh ya, perihal pesan singkat amo int viu ni yang kau kirim dua minggu lalu itu, hingga
kini aku tak mengetahui artinya. Awalnya, kukira itu kalimat dalam bahasa Spanyol. Kucari di
kamus, aku hanya menemukan int kurang lebih sama dengan neither dalam bahasa Inggris.
Lalu, seorang teman baruku yang menjadi native speaker di sebuah tempat kursus bahasa
Inggris mengatakan,amo adalah kata-kata Italia yang sepadan dengan I Love dalam bahasa
Inggris. Sementara untuk kata-kata yang lain, bule asal Liverpool itu tidak tahu. Selain heran
dari mana aku mendapat kalimat itu, dengan muka serius ia malah menuduh kalau aku sedang
membuat bahasa sendiri. Kubayangkan senyummu, dan kukatakan bahwa itu tidak mungkin,
meski di saat bersamaan aku membatin bahwa itu mungkin saja. Meski bukan sekali ini aku sulit
menerka maksud dan sikapmu, kau tidak sedang membuat bahasamu sendiri kan, Rein?
Sebenarnya waktu kita telepon kemarin lusa aku hendak menanyakan itu. Tetapi kau sama
sekali tidak berbicara hal-hal yang membuat aku berkesempatan untuk menanyakan arti kalimat
itu. Tetapi tak apa Rein, tak apa. Denganmu, aku tahu aku harus belajar untuk terbiasa berjarak
dengan naluri keingintahuan yang selalu mencemaskan itu. Selama aku masih kau izinkan
mendengar suaramu; mendengar kau menyahut ucapanku, perasaanku akan menjadi bocah-
bocah yang sedang bermain sepak bola itu. Seperti pernah kau katakan, pengetahuan sering
membuat manusia merasa pasti dan memiliki sesuatu, dan memiliki sesuatu membuat manusia
lupa bahwa tak ada yang benar-benar bisa dimiliki, kecuali mati. Mati pun, sepertinya, itu juga
diberi.
Rein, kalau aku mati nanti, aku ingin jadi kupu-kupu. Kupu-kupu warna merah, seanggun
senja di buku cerita. Kalau kau ingin jadi apa?
Ingin jadi apa? petugas itu menghela nafas panjang. Sejenak pandangannya menerawang
seolah sesuatu membesit dalam pikirannya; sesuatu yang tak begitu jelas namun yang pasti
membuatnya beberapa kali tampak menghela nafas panjang. Sepasang kucing yang bekejaran
dan melintas di depannya menimbulkan bunyi pekak dan membatalkan lamunannya. Kesadaran
bahwa Frans tidak lagi ada di sampingnya bersamaan dengan munculnya sebuah perasaan aneh
dalam diri petugas itu.
Petugas itu menghembus nafas panjang, berdiri lalu tergesa memeriksa sekeliling. Lampu-
lampu taman menyala temaram dihisap hijau dedaunan yang mulai mengembun. Angin dini hari
meniup dingin, melukis hening yang samar tergetar oleh bunyi isak dari balik semak yang
melingkari pos penjagaan. Dilihatnya Frans terkulai lesu di balik tiang ayunan yang tampak
berkarat dan mengelupas bagian tengahnya. Mata Frans memerah, membasah, dengan nafas
terbata dan bibir sunyi tanpa kata.
Dalam dini hari dan situasi seperti itu selalu muncul sebuah naluri yang tiba tanpa aba,
mendesak untuk dilunaskan tanpa mesti dipahami dengan sadar, oleh seseorang yang
menemukan keasingan bagi dirinya. Dan naluri yang kurang lebih sama itu pula yang mengantar
petugas itu untuk duduk di sebelah Frans sembari menawarkan sehelai sapu tangan.
Tetapi Frans terdiam acuh. Maka sembari tetap memandang mata Frans yang berlinang,
petugas itu memutuskan untuk mengelap wajah Frans yang sebenarnya tak lagi berkeringat
dengan jari-jari kekarnya sendiri. Jemari petugas itu menyentuh pipi basah Frans, mengusapnya,
berangsur-angsur diam, dan kemudian benar-benar tertahan di sana.
Bagaimana bisa kamu menangis? bisik petugas sambil mengamati basah di jarinya.
Sementara petugas itu diam-diam memindahkan sapu tangan dari wajah Frans ke mata
tajamnya yang kini tak lagi tampak menghardik, Frans dengan sigap kembali melakukan push-
up. Tangannya mengepal kuat menyangga tubuh yang kembali dalam posisi horisontal, naik
turun menyerupai pegas hidup diiring suara paraunya yang bergetar menghitung hukuman.
Empat puluh satu, empat puluh dua..
Petugas itu perlahan beranjak meninggalkan Frans yang sedang melunaskan hukuman,
menolehnya sebentar, kemudian masuk ke pos penjagaan dengan tetap menggenggam sapu
tangan. Tepat ketika Frans mencapai hitungan ke seratus, samar terdengar gaung adzan dari arah
selatan bagian taman. Tepat ketika Frans memungut dan hendak membaca kembali surat yang
tadi ia tulis, bundar lampu-lampu taman yang berpendar temaram itu dipadamkan lebih pagi dari
biasanya...

Surabaya, 2008

BIODATA PENULIS

Kukuh Yudha Karnanta, mahasiswa S2 Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta. Dengan seijin dan kemurahan Tuhan, lelaki yang mengajar di Universitas Ciputra dan
Universitas Airlangga ini pernah menulis dan meyutradarai film:
1. [Fiksi] Anak-anak itu Terlahir dari Doa (SET FILM-LA Lights, 2007)
2. [Dokumenter] Keputih 32 (alampastiilmu, 2008)
3. [Dokumenter] Kala Lereina (InDocs-Ford Foundation, 2008)
4. [Dokumenter] Ngudal Piwulang Wandhu (alampastiilmu, 2009)

Film yang berjudul Ngudal Piwulang Wandhu (Dalang Waria) berhasil meraih penghargaan
sebagai film dokumenter terbaik pilihan Juri Komunal di ajang Festival Film Dokumenter
Jogjakarta 2009; India Madurrai Film Festival 2010, dan Festival Film Dokumenter Universitas
Indonesia 2011
Dalam bidang penulisan, lelaki yang lahir 23 Maret 1985 ini pernah menjadi 10 besar
untuk lomba cipta puisi PEKSIMINAL 2004; Juara I untuk lomba cipta puisi Jawa Timur
Reading 2005; Juara Harapan Lomba Cipta Cerpen Remaja Kawanku; Juara Harapan III pada
lomba cipta cerpen remaja tingkat Nasional Kreativitas Pemuda Menpora 2005; Juara I dan II
lomba cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Regional Jawa Timur 2006; Juara III pada
lomba cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) VIII 2006 di Makassar;
Naskah filmnya berjudul Anak-Anak Itu Terlahir Dari Doa terpilih menjadi salah satu dari 8
naskah finalis LA Lights Indie Movie 2007; meraih Karya Terpuji sayembara puisi cinta tabloid
Nyata 2008.
Karya-karyanya tergabung ke dalam antologi cerpen La Runduma (Creative Writing
Institute, Jakarta 2005), antologi cerpen Surat Untuk Anak Presiden, antologi cerpen Rokok dan
Secangkir Kopi, antologi puisi Kentrung Jancukan, antologi puisi Monolog Kelahiran(Ar-
Ruzz), antologi puisi Rubaiyat Daun, dan Pesta Penyair (Dewan Kesenian Jawa Timur). Karya-
karyanya yang lain baik karya sastra maupun esai pernah dipublikasikan di Jawa Pos, Surabaya
Post, Surya, Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur, BEN! (Yogyakarta), dan Jurnal Komunikator
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam bidang Seni Rupa, pernah menjadi kurator untuk pameran seni rupa Speak Of
yang diadakan di Jogja National Museum (JNM) di tahun 2011. Bergiat di Paraliyan Institute
Yogyakarta, Forum Studi Seni Sastra Luar Pagar (FS3LP) dan Komunitas Film Alam Pasti Ilmu
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai