Anda di halaman 1dari 29

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : An. F
Umur : 1 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Cangkuang
Suku : Sunda
Agama : Islam
No. Rekam Medis : 59-55-xx
Tgl. Diperiksa : 22 Juni 2017
Nama Ayah : Tn. H
Umur : 30 Tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. S
Umur : 27 Tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis terhadap Ibu Pasien pada tanggal 21 Juni 2017 di ruangan Melati RSUD
Soreang. Pukul 06.30
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS. Kejang
sebanyak 2x dengan durasi 5 menit. Keluhan kejang dengan seluruh tubuh tampak kaku,
kedua mata mendelik ke atas disertai mulut yang berbusa. Setelah kejang pasien tampak
langsung sadar dan menangis. Keluhan kejang disertai keluhan panas badan sejak 3 hari SMRS.
Demam dikeluhkan naik turun, keluhan panas dirasakan tinggi pada malam hari, saat dirumah
sempat di cek dengan termometer suhu tubuh pasien 38,2. Pasien sempat dibawa ke dokter dan

1
diberi obat penurun panas dan obat batuk. setiap panas berkurang setelah pasien diberi obat
paracetamol.
Keluhan batuk dirasakan 3 hari yang lalu dengan batuk berdahak disertai sesak nafas yang
jarang. Keluhan keringat malam disangkal. Keluhan batuk lama disangkal. Riwayat kontak
dengan penderita TB disangkal.
Keluhan pilek disangkal, keluhan perdarahan disangkal. Mimisan dan gusi berdarah
disangkal. Keluhan nafsu makan menurun(+). BAB dan BAK lancar tidak ada keluhan.
Keluhan mual dan muntah disangkal. Riwayat trauma dan benturan lainnya disangkal.
Riwayat kejang disertai demam pernah dirasakan pasien 5 bulan yang lalu. Keluhan kejang
dirasakan 2x dengan durasi 15 menit. Kejang dengan keluhan seluruh tubuh kaku dan mata
mendelik ke atas. Saat itu pasien langsung diberi obat stesolid supp dan kejang berhenti.

3.Riwayat Penyakit Dahulu


Saat pasien berusia 1 tahun, pasien pernah mengalami keluhan yang serupa seperti sekarang.

4.Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien memiliki riwayat menderita epilepsi sebelum menikah, dan teratur minum obat.
Ibu pasien dinyatakan sembuh dan berhenti minum obat.

5.Silsilah / Ikhtisar keturunan

Keterangan :
: Laki-laki sakit
: Laki-laki sehat
: Perempuan sehat

2
6.Riwayat Kehamilan dan Persalinan
a. Riwayat kehamilan
Kehamilan ini merupakan kehamilan yang kedua. Menurut keterangan ibunya, ia mengandung
9 bulan. Ibu tidak pernah sakit yang serius selama hamil. Riwayat minum jamu atau obat-
obatan disangkal. Memeriksakan kehamilannya ke bidan secara teratur dan mengkonsumsi
vitamin yang diberikan oleh bidan.
b.Riwayat persalinan
Pasien lahir Sectio Cesaria atas indikasi Bayi Besar, cukup bulan, ditolong dokter, langsung
menangis, dengan berat lahir 3700mg.
c.Riwayat pascalahir
Pasien diakui ibunya lahir kuning dan sempat dirawat 1 minggu di RS untuk dilakukan
fototerapi

7.Riwayat Makan dan Minum Anak :


0-6 bulan : ASI
6-9 bulan : ASI + bubur susu
9-12 bulan : ASI + bubur nasi / nasi tim + buah + biskuit
1 tahun - sekarang : ASI + susu formula + makanan sesuai pola makan keluarga

8.Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Ibu pasien mengatakan pertumbuhan dan perkembangan pasien sama dengan anak-anak
seusianya.

9.Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi dasar dikatakan tidak lengkap. Pasien tidak pernah di imunisasi. Hanya
disuntik VIT-K saat lahir

III. Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Umum
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Tanda Vital : Frekuensi Nadi : 136 x/ menit
: Frekuensi Nafas : 56 x/ menit
: Suhu : 40,3C
: Tekanan Darah : 90/60 mmHg

3
3. Status Gizi : Berat Badan : 11 Kg
Tinggi badan : 77 cm
BB/U : < 2 S.D
PB/U : < 0 S.D
BB/PB : < 0 S.D
Pemeriksaan Khusus
KULIT
Petekie (-), ekimosis (-), hematoma (-), ikterik (-)
KEPALA
Normocephal. Deformitas (-), rambut hitam tidak mudah dicabut.
MATA
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sekret (-).
TELINGA
Telinga tidak ada tanda-tanda peradangan, serumen (-), sekret (-), nyeri tekan tragus (-).
HIDUNG
PCH (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), nyeri tekan os. nasal (-).
MULUT
POC (-), faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1.
LEHER
Kelenjar getah bening tidak teraba membesar.
THORAKS
Bentuk dan Pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
PARU KANAN dan KIRI
Inspeksi : Pergerakan simetris kanan dan kiri
Palpasi : Tidak ada krepitasi, nyeri tekan, fremitus vokal dan taktil di kedua
Hemithoraks simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Whezing (-/-), Slem (-/-)
JANTUNG
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba normal
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi Jantung 1 dan 2 murni regular, tidak ada Murmur/Gallop

4
ABDOMEN
Perut datar lembut, bising usus (+) normal, perkusi timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Retraksi epigastrium (+)
EKSTREMITAS
Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Rangsang Meningen : Kaku Kuduk (-)
Kuduk Kaku (-)
Reflek Fisiologis : +/+
Reflek Patologis : -/-
Brudzinski Group : Brudzinski (-)
Chaddock (-)
Oppenheim (-)
Kernig (-) Laseque (-)

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Hasil Nilai Rujukan

Darah rutin
Hemoglobin 11,1 gr/dL 10-14
Hematokrit 34 % 37-43
Leukosit 23.300/mm3 6.000-15.000
Trombosit 383.000/mm3 150.000-400.000

Kimia Klinik Hasil

Gula darah Sewaktu 133 mg/dL 70-100

V.DIAGNOSIS BANDING
Kejang demam Komplek
Kejang demam sederhana
Meningoencephalitis
Epilepsi

5
VI.USULAN PEMERIKSAAN
EEG
CT-Scan
Cek Elektrolit
Lumbal Pungsi
Screening TB

VII.DIAGNOSIS KERJA
Kejang Demam Kompleks + Bronkopneumonia + Susp Sepsis

VIII.TERAPI
O 1-2 liter/menit
IVFD N4 1050 cc/24 jam

Diazepam 1 x 3,5 mg IV ( Bila Kejang )

Nebu Combivent/6 jam

Cefotaxime 3 x 400mg IV

Sibital 220mg selanjutnya 2 x 27,5 mg IV

Paracetamol 4 x 120 mg IV

Ambroxol 3 x cth

VIII.PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

6
FOLLOW UP PASIEN
Follow up pasien tanggal 21/06/2017 Pukul 06.30
Keluhan kejang (+) 1 menit 2x. Makan/minum (+/+)
mata mendelik keatas, tangan dan
kaki kaku. Panas badan (+) batuk (+) BAB/BAK (+/+)
pilek (+). Sesak Nafas (+).

KU compos mentis

TD 90/70 mmHg N 128x/menit

Temp 37,7C RR 54x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher pembesaran KGB (-)

Cor HR = 118x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (+/+), Wheezing (-) retraksi sela iga (-)

Abdomen datar, soepel, BU(+) normal, retraksi epigastrium (+)

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

Kejang Demam Kompleks + Bronkopneumonia

Therapy

O 1-2 liter/menit

IVFD N4 1050 cc/24 jam

Diazepam 1 x 3,5 mg IV ( Bila Kejang )

Nebu Combivent/6 jam

Cefotaxime 3 x 400mg IV

Sibital 220mg selanjutnya 2 x 27,5 mg IV

Paracetamol 4 x 120 mg IV

Ambroxol 3 x cth

7
Follow up 22/06/17
Keluhan kejang (-) Panas badan (+) Makan/minum (+/+)
batuk (+) pilek (+). Sesak Nafas (+).
BAB/BAK (+/+)

KU compos mentis

TD 90/70 mmHg N 122x/menit

Temp 37,2C RR 48x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher pembesaran KGB (-)

Cor HR = 110x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (+/+), Wheezing (-) retraksi sela iga (-)

Abdomen datar, soepel, BU(+) normal, retraksi epigastrium (+)

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

Kejang Demam Kompleks + Bronkopneumonia + Susp Sepsis

Therapy

O 1-2 liter/menit

IVFD N4 1050 cc/24 jam

Diazepam 1 x 3,5 mg IV ( Bila Kejang )

Nebu Combivent/6 jam

Cefotaxime 3 x 400mg IV

Sibital 220mg selanjutnya 2 x 27,5 mg IV

Paracetamol 4 x 120 mg IV

Ambroxol 3 x cth

Amikasin 3 x 40mg IV

8
Follow up 23/06/17
Keluhan kejang (-) Panas badan (-) Makan/minum (+/+)
batuk (-) pilek (+). Sesak Nafas (+)
berkurang. BAB/BAK (+/+)

KU compos mentis

TD 90/60 mmHg N 120x/menit

Temp 36,2C RR 44x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher pembesaran KGB (-)

Cor HR = 120x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (+/+), Wheezing (-) retraksi sela iga (-)

Abdomen datar, soepel, BU(+) normal, retraksi epigastrium (-)

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

Kejang Demam Kompleks + Bronkopneumonia

Therapy

O 1-2 liter/menit

IVFD N4 1050 cc/24 jam

Diazepam 1 x 3,5 mg IV ( Bila Kejang )

Nebu Combivent/6 jam

Cefotaxime 3 x 400mg IV

Ambroxol 3 x cth

Amikasin 3 x 40mg IV

9
Follow up 24/06/17
Keluhan kejang (-) Panas badan (-) Makan/minum (+/+)
batuk (-) pilek (+). Sesak Nafas (-)
BAB/BAK (+/+)

KU compos mentis

TD 90/60 mmHg N 118x/menit

Temp 36,2C RR 36x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher pembesaran KGB (-)

Cor HR = 118x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (-/-), Wheezing (-) retraksi sela iga (-)

Abdomen datar, soepel, BU(+) normal, retraksi epigastrium (-)

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

Kejang Demam Kompleks + Bronkopneumonia + Susp Sepsis

Therapy

O 1-2 liter/menit

IVFD N4 1050 cc/24 jam

Diazepam 1 x 3,5 mg IV ( Bila Kejang )

Cefotaxime 3 x 400mg IV

Ambroxol 3 x cth

BLPL

10
Rontgen Thoraks

11
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rectal di atas 38,50 celcius) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Nilai ambang kejang
antara suhu (38,8 - 41,4)0C. Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5
tahun.1,4
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intracranial atau penyebab
tertentu. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda
dengan kejang demam karena keadaan yang mendasari mengenai sistem saraf pusat.5,6,7
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah
380C atau lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui1

1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2%-4% dari populasi anak yang berusia 6 bulan hingga 5
tahun. Kejang pertama terbanyak terjadi antara usia 17-23 bulan, dimana anak laki-laki lebih
sering mengalami kejang demam.3
Studi populasi di Eropa dan Amerika melaporkan insiden kejang demam sebesar 2-5%
dari anak 3,4. Insiden di bagian lain dunia bervariasi, antara 5-10 % (India), 8,8% (Jepang). Data
dari negara-negara berkembang sangat terbatas, frekuensinya mungkin didapatkan lebih tinggi
di Asia.2,3 Sebanyak 2-5% anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami
kejang disertai demam.4 Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-6 bulan.1 Sekitar 9-35% dari
seluruh kejang demam awal merupakan kejang demam kompleks.10

1.3 Faktor Resiko


Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor yang
memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah faktor genetik.
Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus abnormal yaitu pada kromosam
8q13-q21 (FEB1), 19p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4). Kejang demam plus adalah kejang demam

12
dengan riwayat epilepsi pada keluarga. Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini
mempunyai resiko paling besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang
selanjutnya tanpa demam.11
Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan
dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan riwayat epilepsi pada keluarga
6 kali lebih tingi daripada tanpa riwayat epilepsi.11
Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu:
Umur (terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun)
Keterlambatan perkembangan ( contohnya cerebral palsy, retardasi mental
Riwayat kelainan kejang dalam keluarga
Sering demam(disebabkan infeksi virus atau bakteri)
Demam tinggi (diatas 102F)
Saat kehamilan, ibu pasien merokok dan pengguna alcohol
Meningitis (Inflamasi membrane yang mengelilingi otak dan spinal cord)
Riwayat kepribadian (misalnya ada riwayat kejang demam).10

1.4 Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.5
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, misalnya infeksi virus, tonsillitis, otitis media akut, ISK, Gastrointeritis, ISPA,
furunkulosis, meningitis, post imunisasi dan lain-lain.1

1.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-
paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa
dipecah menjadi CO2 dan air.11
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan

13
konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat di permukaan
sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi
ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi,
atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan pathofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan.11, 14
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-37,2)0C dalam
rentang waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering
terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non infeksi. Paling sering penyebabnya
adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna
pada anak-anak. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10 celsius akan mengakibatkan kenaikan
metabolism basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. 1
Pada anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan
pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut, dengan akibat akan terjadi lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap
anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya,
seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak yang memiliki ambang
kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 380C dan pada anak yang memiliki batas ambang
kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400 C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering tejadi pada ambang kejang yang
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita
kejang.11
Sedangkan terjadinya demam berasal dari adanya bahan-bahan pirogen. Eksogenous
pirogen berasal dari luar tubuh, contohnya bakteri, virus, jamur dan toksin. Eksogenous pirogen
ini bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pembentukkan leukosit maupun sel phagosit
(monosit, neutrofil, limfosit, sel glial endothelium, sel mesangium mesenchymal) untuk
memproduksi bahan-bahan endogenous pirogen seperti IL-1, TNF. Endogenous pirogen
diproduksi diluar CNS (sirkulasi sistemik) akan membentuk prostaglandin E2, dimana
prostaglandin E2 ini akan menganggu fungsi thermoregulasi di hipothalamus. Akibatnya akan

14
terjadi peningkatan titik pusat suhu di hipothalamus dan bagian perifer tubuh ikut merespon
terjadinya peningkatan suhu tubuh.13

Gambar 2.1. Patofisiologi Demam (Atlas of Pathofisiology)

1.6. Klasifikasi
Kejang demam menurut Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam IDAI 2006
memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam sederhana dan kejang demam komplek.
80% dari kasus kejang demam merupakan kejang demam sederhana sedangkan 20% kasus
adalah kejang demam komplek.

Kejang Demam Sederhana


Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) memiliki beberapa kriteria, yakni:
1. Kejang berlangsung singkat < 15 menit.

15
2. Kejang berhenti sendiri tanpa pengobatan.
3. Kejang bersifat umum tonik atau klonik tanpa gerakan umum.
4. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Kejang Demam Komplek


Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri ciri gejala klinis
sebagai berikut:
1. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului oleh suatu
kejang parsial
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Menurut Livingstone, kejang demam komplek digolongkan sebagai epilepsi yang


diprovokasi oleh demam. Kejang tipe ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan
timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan factor pencetus saja.7
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama, lebih dari 15 menit,
biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang pada akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat disebabkan oleh meningkatnya aktifitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian peristiwa diatas adalah
penyebab rusaknya neuron otak selama berlangsung kejang yang lama. Faktor terpentiang
adalah terjadinya gangguan peredaran darah yang menyebabkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbulnya edema otak yang mengakibatkan kerusakan
sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang sehingga dapat terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
antomis di otak hingga terjadi epilepsi.7

1.7 Manifestasi Klinis


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses infeksi di luar susunan
saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,

16
berlangsung singkat dan dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik,
fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.7

1.8 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung
pada pasien (autoanamnesis) atau kepada orang tua atau sumber lain (aloanamnesis) misalnya
wali atau pengantar. Dalam anamnesa khususnya pada penyakit anak dapat digali data data
yang berhubungan dengan kejang demam meliputi:
a. Identitas.
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, umur
penndidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, epidemiologi kejang demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6
bulan sampai dengan 5 tahun.6
b. Riwayat Penyakit.
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat perjalanan
penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat.
Pada riwayat perjalanan penyakit disusun cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila pasien
mendapat pengobatan sebelumnya, perlu ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, obat yang
sudah diberikan, hasil dari pengobatan tersebut, dan riwayat adanya reaksi alergi terhadap
obat.6
Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam dan kejang itu
sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama demam berlangsung;
karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten, intermitten, kontinou, apakah
terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang menyertai demam juga perlu ditanyakan misalnya
menggigil, kejang, kesadaran menurun, merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas,
adanya manifestasi perdarahan, dsb. Demam didapatkan pada penyakit infeksi dan non infeksi.
Dari anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan kecurigaan terhadap penyebab demam itu
sendiri.6
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan kejang terjadi; apakah
didahului adanya demam, berapa jarak antara demam dengan onset kejang; apakah kejang ini

17
baru pertama kalinya atau sudah pernah sebelumnya (bila sudah pernah berapa kali (frekuensi
per tahun), saat anak umur berapa mulai muncul kejang pertama); apakah terjadi kejang
ulangan dalam 24 jam, berapa lama waktu sekali kejang. Tipe kejang harus ditanyakan secara
teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal.
Ditanyakan pula lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan, kesadaran
pada saat kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyertai juga penting termasuk panas,
muntah, adanya kelumpuhan, penurunan kesadaran, dan apakah ada kemunduran kepandaian
anak. Pada kejang demam juga perlu dibedakan apakah termasuk kejang demam sederhana
atau kejang suatu epilepsi yang dibangkitkan serangannya oleh demam (berdasarkan kriteria
Livingstone).6
c. Riwayat Kehamilan Ibu.
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit, serta upaya
apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu,
merokok, minuman keras, konsumsi makanan ibu selama hamil.6
d. Riwayat Persalinan.
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran, siapa yang menolong,
cara persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat badan dan panjang badan bayi saat lahir, dan
hari-hari pertama setelah lahir. Perlu juga ditanyakan masa kehamilan apakah cukup bulan atau
kurang bulan atau lewat bulan. Dengan mengetahui informasi yang lengkap tentang keadaan
ibu saat hamil dan riwayat persalinan anak dapat disimpulkan beberapa hal penting termasuk
terdapatnya asfiksia, trauma lahir, infeksi intrapartum,dsb yang mungkin berhubungan dengan
riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang demam.6
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat ditelaah dari kurva berat
badan terhadap umur dan panjang badan terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari KMS
atau kartu pemeriksaan kesehatan lainnya. Status perkembangan pasien perlu ditelaah secara
rinci untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan. Pada anak balita perlu ditanyakan
perkembangan motorik kasar, motorik halus, sosial-personal, dan bahasa.6

f. Riwayat Imunisasi.
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai jadwal yang
diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi.6
g. Riwayat Makanan.

18
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.6
h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami kejang
dengan atau tanpa demam, apakah pernah mengalami penyakit saraf sebelumnya.6
i. Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya (ayah, ibu, atau
saudara kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat familial penderita.6

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan pemeriksaan
sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi kesan keadaan sakit pasien
(tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi,
tekanan darah, pernafasan, dan suhu tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik
(panjang badan, berat badan, lingkar kepala, lingkar dada).6
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung rambut
sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis. Pada pemerikasaan kasus kejang
demam perlu diperiksa faktor faktor yang berkaitan dengan terjadinya kejang dan demam itu
sendiri. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak
dengan penyebab bias infeksi maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan oleh
infeksi. Pada pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari
adanya sumber terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada infeksi baik
virus, bakteri maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya proses non infeksi seperti
misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai dengan dengan pucat, panas, atau perdarahan.6
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah kejang
disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan pasien dalam keadaan
kejang, perlu diamati teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal. Amati pula
kesadaran pasien pada saat dan setelah kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-
tanda lateralisasi; rangsangan meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya
paresis, paralisa; adanya spastisitas; pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis.6

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri dari:
a. pemeriksaan laboratorium

19
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi/
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah).20
b. pemeriksaan radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau MRI tidak rutin dan hanya
dikerjakan atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
c. pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka
tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- bayi < 12 bulan : diharuskan
- bayi antara 12-6 bulan : dianjurkan
- bayi > 6 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam pertama kali dengan
umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda meningeal pada umur dibawah 6 bulan,
sehingga sulit mendeteksi adanya meningitis maupun infeksi intrakranial lain tanpa
dilakukannya lumbal pungsi. Namun, jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu
lumbal pungsi.4
d. pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam, oleh sebab itu tidak
direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya pada kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).4
Pemeriksaan EEG yang dibuat 8-10 hari setelah panas tidak menunjukkan kelainan.
Dan hanya sebanyak 5% dari anak normal memiliki gambaran EEG yang abnormal. EEG
abnormal juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di
kemudian hari.1,4

1.9 Diagnosis Banding


Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan
cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis
sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat

20
diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Meningitis, ensefalitis,
anak dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga
menyerupai kejang demam.1

1.10 Penatalaksaan
Penatalaksanaan kejang demam meliputi 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu pengobatan fase
akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan profilaksis.
Pengobatan fase akut
Penanganan Kejang
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian
yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan
nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Penghisapan lendir dilakukan secara teratur,
diberikan oksigen, kalau perlu intubasi. Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernafasan dan fungsi jantung.1
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke tempat pelayanan
kesehatan, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis
0,3-0,5 mg/kgBB/kali secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 2
menit dengan dosis maksimal 20 mg.11
Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal dengan dosis 0,5 - 0,75 mg/kgBB/kali atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
berat badan di bawah 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan diatas 10 kg. Atau
diazepam rectal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak
usia di atas 3 tahun.11
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal
masih kejang, dianjurkan orang tua untuk segera ke rumah sakit. Dan disini dapat dimulai
pemberian diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum
berhenti diberikan fenithoin secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan
kecepatan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, selanjutnya
diberikan dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah pemberian loading dose). Bila
kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang intensif Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamnya dan faktor resikonya
apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.16

21
Pemakaian antikonvulsan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang (1/3 s.d 2/3 kasus). Begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut cukup
tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam.16

Diagram 1. Algoritme Penanganan Kejang Demam

Menurunkan Demam
Pada dasarnya demam tidak mengakibatkan kerusakan otak jika suhu berada di bawah
41,70C. Untungnya, otak tetap menjaga keseimbangan suhu didalamnya dari demam yang tidak

22
teratasi sampai batas suhu 41,10C. Meskipun setiap anak mempunyai kemungkinan untuk
demam, namun hanya 4% yang berkembang menjadi kejang demam.
Untuk anak dengan kejang demam, demam dengan delirium ataupun peningkatan suhu
diatas 41,10C, terindikasi untuk dilakukan kompres dengan air biasa (lukewarm = hangat kuku),
dan tidak dengan alkohol., ataupun air es.
Antipiretik pada saat kejang dianjurkan walaupun tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam.
Obat-obat penurun panas yang dapat digunakan adalah :
Asetaminophen / parasetamol
Asetaminofen diindikasikan untuk anak yang berumur diatas 2 bulan, jika suhu tubuh
diatas 390C atau jika anak terlihat tidak nyaman. Namun beberapa referensi menyatakan bahwa
seringkali suhu saat panas tidak diketahui secara pasti, sehingga penggunaan obat antipiretik
bisa digunakan dengan melihat kondisi anak (merasakan suhu anak dengan perabaan). Dosis
yang digunakan adalah 10-15 mg/kgbb/kali.10,12 Dapat diberikan tiap 4-6 jam dan akan
menurunkan suhu 1-20C dalam waktu 2 jam.18 Pemberian asetaminofen sebaiknya
dilakukan 30 menit sebelum dikompres, karena apabila kompres dilakukan sebelum
munculnya efek dari asetaminofen, akan berdampak terhadap peningkatan suhu tubuh yang
lebih tinggi lagi dan anak akan menggigil.18
Ibuprofen Sirup
Ibuprofen sama halnya dengan asetaminofen, memiliki kesamaan dalam keaamanan
dan kemampuannya mengatasi demam. Ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 10
mg/kgbb/kali, diberikan tiap 6-8 jam sekali.18
Metampiron (Novalgin, Xylomidon)
Keamanan obat golongan ini masih diragukan. Sebaiknya obat golongan ini hanya
diberikan bila dibutuhkan analgesik-antipiretik suntikan atau bila pasien tidak tahan dengan
antipiretik yang lebih aman. Novalgin terdapat dalam sediaan berupa tablet (500 mg/tab), sirup
(250 mg/5 ml), dan injeksi (500 mg/ml). Pada dewasa dosis diberikan 0,3-1 gram sehari,
sementara untuk dosis anak belum ada referensi yang menyatakan mengenai dosis yang
diperkenankan. Efek samping obat ini adalah dapat terjadi agranulositosis, anemia aplastik dan
trombositopenia.
Sementara obat jenis lain seperti aspirin pernah menjadi antipiretik yang populer di
masyarakat, tetapi penggunaannya sebagai antipiretik untuk pediatri saat ini dilarang, karena
dapat mengakibatkan Reyes syndrome.16

23
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan rutin seperti elektrolit serum, glukosa, kalsium, dapat dilakukan untuk
menyingkirkan adanya gangguan elektrolit dan metabolisme. Angka leukosit diatas 20.000/ul
atau Shift to the left yang extreme menandakan adanya bakteremia. Sodium serum terkadang
menunjukkan angka di bawah normal, tetapi tidak cukup rendah hingga membutuhkan terapi
ataupun dapat menyebabkan kejang. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang
dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil
sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi
berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien yang berumur kurang dari 6 bulan.
Untuk usia diatas 6 bulan, lumbal pungsi tidak dianjurkan lagi kecuali bila ditemukan gejala
klinis meningitis, infeksi intrakranial yang lain atau status konvulsivus. Pemeriksaan
laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.1,16,18

Pengobatan profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila
sering berulang menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu :
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari

1) Profilaksis intermittent
Pengobatan profilaksis intermittent disertai edukasi pada orangtua penderita sangat
bermanfaat untuk mencegah kejang demam berulang.1 Anti konvulsan hanya diberikan
pada waktu pasien demam dengan ketentuan orang tua pasien atau pengasuh
mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat
diabsorbsi dan harus cepat masuk ke otak. Hal yang demikian sebenarnya sukar
dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan fenobarbital
intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya
lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 10 Kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat
badan lebih dari 10 Kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih. Diazepam
dapat juga diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
pada waktu pasien demam.1

24
2) Profilaksis terus menerus (jangka panjang) dengan antikonvulsan tiap hari
Pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan pada kejang demam sederhana, tetapi
diberikan pada kejang demam yang dengan pengobatan profilaksis intermittent masih
sering terjadi kejang berulang. Obat-obat yang dapat digunakan untuk profilaksis
jangka panjang adalah :
a. Fenobarbital.
Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam
pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan
menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi
pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relatif rendah dan kadar
1
stabil tercapai dalam 14-21 hari. Pemberian fenobarbital 4-8 mg/KgBB/hari
dengan kadar darah sebesar 16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang
bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Namun beberapa sumber
mengatakan bahwa fenobarbital tidak lagi dianjurkan sebagai pengobatan jangka
panjang karena efek sampingnya yang tidak menyenangkan (perubahan watak
berupa iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif).1 Efek samping tersebut ditemukan
pada 30-50% pasien. Efek samping dapat diturunkan dengan menurunkan dosis
fenobarbital.1,18
b. Asam Valproat
Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam
valproat. Kadar stabil tercapai dalam 4-7 hari. Dosis yang digunakan adalah 15-40
mg/kgbb/hari diberikan selama 1 tahun. Valproat telah terbukti keefektifannya
terhadap epilepsi umum, tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek
toksisitasnya terhadap hati. Gangguan pada hati berupa peninggian aktivitas enzim-
enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira
60 kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini. Kerugiannya adalah
bahwasanya obat ini lebih mahal dan lebih sulit didapat bila dibandingkan dengan
fenobarbital. 1,18
Fenitoin dan karbamazepin tidak dianjurkan karena tidak mempunyai efek
mencegah terjadinya kejang demam berulang.4 Profilaksis terus menerus berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan
kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari.1,18
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat dipakai
untuk pemberian pengobatan profilaksis terus-menerus pada saat ini adalah :

25
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau kelainan
perkembangan neurologi (Cerebral Palsy, retardasi mental, mikrosefali).
2. Ada riwayat tanpa demam pada orang tua saudara kandung.
3. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti oleh kelainan neurologis
sementara atau menetap.
4. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis.
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
Kejang demam 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang > 15 menit merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organic.16
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.1
Selain ketiga hal tersebut diatas, dalam penatalaksaan kejang demam juga diperlukan
penanganan suportif, edukasi pada orang tua pasien, dan penggunaan vaksinasi pada pasien
kejang demam.
Penanganan Supportif lainnya
Meliputi bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan air dan
elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah.
Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya benign
2. Memberikan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsy.
Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher

26
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal selama kejang dan jangan diberikan jika kejang
telah berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau Lebih.
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan
setelah vaksinasi MMR 25 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam
oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter
anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.6

1.11 Komplikasi
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kejang
demam terhadap terjadinya kerusakan otak. Ada penelitian yang membuktikan bahwa kejang
demam tidak dapat berakibat buruk maupun sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan oleh
The National Collaborative Perinatal Project di Amerika Serikat, dimana penelitian dilakukan
terhadap 1706 anak paska kejang demam, dan diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun,
hasilnya tidak didapatkan kematian sebagai akibat dari kejang demam. Sementara The National
Child Development Study di Inggris, menyatakan bahwa anak yang pernah mengalami kejang
demam, kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun.
Menurut Verity dkk, yang mengikuti 303 anak dengan kejang demam sampai usia 5 tahun,
dengan hasil tidak ada perbedaan dalam dalam bidang intelegensia, ukuran kepala maupun
tingkah laku pada anak dengan kejang demam maupun pada anak tanpa kejang demam.
Ada pula penelitian yang mendapatkan hasil akhir yakni kejang demam dapat berakibat
buruk, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Aicardi dan Chevrie. Mereka meneliti 402 anak
dengan kejang demam, sebanyak 131 anak mendapatkan 1/lebih sekuele, yaitu 141 menderita
epilepsi, 54 retardasi mental, 37 anak menderita kelainan neurologis lain (misal hemiplegia).17

1.12 Prognosis

27
Sampai saat ini belum tuntas masalah apakah kejang demam sendiri dapat merusak otak
atau tidak. Didapat kesan bahwa kejang demam yang singkat umumnya benigna dan kejang
demam yang lama mungkin dapat mengakibatkan kerusakan pada otak. Mortalitas pada kejang
demam sangat rendah yakni sebesar 0,64-0,74%.1
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
a. Kejang demam berulang
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko terjadinya
kejang demam berulang adalah:
- riwayat kejang demam dalam keluarga
- usia kurang dari 15 bulan
- temperatur yang rendah saat kejang
- cepatnya kejang saat demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila tidak terdapat faktor
tersebut hanya 10% - 15% kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang adalah pada tahun
pertama.10
b. Epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi
epilepsi adalah:
- kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama
- kejang demam kompleks
- riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsy sampai 4-
6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang
demam.10
c. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. 16
DAFTAR PUSTAKA

1. Talsim. S. Soetomenggolo, Sofyan Ismail. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta.
2. Pusponegoro, Hardiono. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. IDAI.
Jakarta.
3. AAP, Provisional Committee on Quality Improvement. Pediatrics 1996; 97:769-74

28
4. Waldo. E., Neelson, MD. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of Pediatri). Edisi
15. Jakarta. EGC.
5. Febrile Seizures. Cited Mei 2003.
http://www.emedicine.com/emerg/topic376.htm.

6. Masnsjoer, dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
7. ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia. 1993;34; 592-B
8. http://adc.bmjjournals.com/cgi/content/full/89/8/751. Febrile Seizures : An Update. Cited
February 28th 2004.
9. Sunartini. 2003. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang Demam dan Epilepsi pada
Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada
Yogyakarta.
10. Anonim. 2005. Kejang Demam. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
11. Rudolf. M. 2002. Rudolfs Pediatrics 21th Edition. USA. The McGraw-Hill Companies, Inc
12. Carol S. Camfield. 2006. Febrile Seizure.
13. http://www.prodigy.nhs.uk/ProdigyKnowledge/PatientInformation/Content/pils/PL63.htm.
Febrile Convulsion. Cited November 2005.
14. Craig R. Warden. 2003. Evaluation and Management of Febrile Seizures in the Out-of-
Hospital and Emergency. [Ann Emerg Med. 2003;41:215-222
15. Tonia Jones. 2007. Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications. Int. J. Med. Sci.
2007, 4
16. Wong V dkk,. 2002. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J
Paediatr (new series) 2002;7:143-151
17. Mark A. Klebanoff. 2009. The Collaborative Perinatal Project: A 50-Year Retrospective.
Epidemiology Branch, Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human
Development, National Institutes of Health, Department of Health and Human Services
18. Talsim. S. Soetomenggolo,dkk. 2005. Konsesus Penanganan Kejang Demam. IDAI .
Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai