Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
UNIVERSITAS TADULAKO
OLEH :
Amelia Angelin Ligianto, S.Ked
N 111 15 045
PEMBIMBING KLINIK:
dr. Christian Lopo, Sp.THT-KL
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako.
Mengetahui,
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ . 2
A. DEFINISI............................................................................... . 32
B. EPIDEMIOLOGI .................................................................... 32
C. FAKTOR PREDISPOSISI ...................................................... 32
D. KLASIFIKASI ........................................................................ 32
E. ETIOLOGI .............................................................................. 33
3
F. PATOFISIOLOGI ................................................................... 34
G. GAMBARAN KLINIS ........................................................... 34
H. GAMBARAN RADIOLOGI .................................................. 35
I. DIAGNOSIS ........................................................................... 38
J. DIAGNOSIS BANDING ........................................................ 42
K. PENATALAKSANAAN ........................................................ 42
L. KOMPLIKASI ........................................................................ 46
M. PROGNOSIS ........................................................................... 47
ALGORITMA.......... ........................................................................................ 49
4
DAFTAR GAMBAR
5
25. Gambar 25. Gambaran MRI pada Rhinosinusitis Jamur Invasif Akut
dengan invasif jamur pada sinus sphenoid sinistra dengan adanya
ekstensi ke sebelah kiri fisura sylvian dan fosa infratemporal disertai
infark ..................................................................................................... 38
26. Gambar 26. Rigid Nasal Endosopy (00) menunjukkan daerah
nekrotik- muncul di konka media kanan (MT) dan septum hidung (S).
TI adalah konka inferio .......................................................................... 40
27. Gambar 27. Histopatologi dengan pewarnaan HE pada rhinosinusitis
invasif jamur menunjukkan pembentukan granuloma dalam bentuk
solid, dengan jaringan fibrosis luas disekitarnya. ................................. 42
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasive dan non
invasive. Sinusitis invasive terbagi menjadi invasive akut fulminan dan invasive
kronik indolen. 5
Sinusitis jamur invasive akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vascular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakaian steroid lama dan
terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus,
jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna biru
kehitaman, dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering berakhir
dengan kematian. 5
8
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
9
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Lebar hidung diukur dari jarak antara kedua alare (al-al). Alare
(al) adalah titik paling lateral pada sayap hidung. Panjang hidung diukur
dari titik nation (n) sampai titik subnasal (sn). 10 Nation (n) adalah titik
tempat bidang median-sagital memotong jahitan antara sutura
frontonasalis. Subnasal (sn) adalah pertemuan antara columella dan bibir
atas pada dasar hidung. Columella (cm) atau kaki dari puncak hidung
letaknya di bawah tip (tp), yaitu daerah yang paling anterior dari hidung
atau paling tinggi. Berdasarkan indeks nasal, tipe hidung pada manusia
dibagi menjadi tiga, dapat dilihat pada tabel dibawah : 11
10
rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknyasesuai ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini
dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut dengan vibrise. 2,3,4
11
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan posterior.
12
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang
terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus
maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang
berbentuk pyramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis
dan puncaknya kearah apex procesus zigomatikus os.maxila.2
Dinding lateral nasal meliputi sebagian os.etmoidale, os.maxilaris,
palatina, lacrimale, dan lamina pterygoideus medialis os sphenoidale, os
nasal dan concha nasalis inferior. Tiga hingga empat concha terproyeksi
dari os.etmoidale. Concha nasalis inferior dianggap sebagai struktur
mandiri. Setiap struktur ini melapisi ruangan udara di bawahnya dan
sebelah lateralnya yang dikenal dengan nama meatus. Sepotong kecil
tulang yang terproyeksi dari os.etmoidale yang menutupi muara sinus
maxilaris yang terletak di lateral dan membentuk palung diposterior
concha nasalis media. Bagian tulang yang tipis disebut processus
uncinatus. Dinding samping nasal bagian superior terdiri atas cellula
etmoidalis yang membatasi epitel olfaktori dan lamina cribosa disebelah
lateral. Disebelah superior cellula ethmoidalis anterior terdapat sinus
frontalis yang bermuara diantara cellula. Bagian superoposterior dinding
nasus bagian lateral adalah dinding anterior sinus sphenoidalis yang berada
di inferior sella turcica dan sinus cavernosus.
13
Gambar 8. Septum Nasi 3
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maxilla dan labirin etmoid,sedangkan konka media,superior,dan suprema
adalah bagian dari labirin etmoid. elah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut
meatus superior. Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting
dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus
superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan
bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus.2,3,4
14
2. Vaskularisasi Hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:6
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna
15
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika
dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina
mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang
cabang a.fasialis.3
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada
anak.3
Pleksus Woodruff adalah anastomosis dari arteri sphenopalatina
dan pharyngeal asenden melalui posterior konka medial. Wilayah ini sukar
dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari
bagian posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sphenopalatina.3
16
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.3,4
17
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4
18
inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700
sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada
lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk
menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. 7
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu
arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat
dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak
secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical
waves) pada satu area arahnya sama.7
19
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m
dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak
seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki
mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap
sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia.
Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas
permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit
dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan
permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding
dengan sel epitel gepeng.7
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior,
dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium).
Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna cokelat
kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih
tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuama.7
Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari
sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui
lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di
basal lobus frontalis. Bulbus olfaktorius terdiri atas beberapa lapisan ( dari
luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan gromerular, lapisan pleksiformis
eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis internal dan lapisan sel
granula.
20
Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan dendrit neuron
kedua. Akson-akson neuron kedua membentuk traktus olfaktorius, yang
berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan
traktus lainnya. 8
5. Fisiologi Hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada
ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran
udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.4
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :4
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 37o
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh : 4
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
21
b.Sistem mukosiliar merupakan barier pertama dari sistem
pertahanan tubuh antara epitel dengan virus / bakteri dan benda
asing lainnya. Sistem epitel respiratorius,kelenjar penghasil
mukus dan palut lendir membentuk sistem mekanisme pertahanan
penting dalam sistem respiratorius dikenal sebagai sistem
mukosiliar. Silia memiliki gerakan-gerakan teratur, yang bersama
palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri
yang terhirup ke kavum nasi menuju nasofaring, orofaring dan
selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung.
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan
ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 4
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau. 4
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum
molle turun untuk aliran udara. 4
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa
22
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. 4
23
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. 6
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os
palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior,
dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-
8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum
mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang
kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding
medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium
tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini
mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. 1,3
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas
, yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua
dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan
kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa
saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke
mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi
24
ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi
orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
1,3
25
masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5
cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di
bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. 1
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila. 1
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. 1
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai
pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.
Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior
maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil,
namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya
di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang
sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang
letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar
daripada sisi lainnya. 3
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
26
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna
(sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 1
27
Gambar 18. Arteri Kepala dan Leher
3. Inervasi Sinus Paranasal
Sinus maxillaris diinervasi oleh rami maxillaris. Secara rinci,
nervus palatina mayor dan nervus infraorbital. Nervus maxillaris dan
mandibularis menginervasi sinus ethmoidalis. Nervus maxillaris
menginervasi bagian superior sedangkan nervus mandibularis
menginervasi regio inferior. Inervasi parasimpatis melalui nervus Vidian.
Inervasi simpatis melalui ganglion simpatis cervicalis dan melalui arteri ke
arah mukosa sinus. Sinus frontal diinervasi oleh cabang-cabang V1. Secara
khusus, saraf ini termasuk cabang supraorbital dan supratrochlear. Sinus
sphenoidalis diinervasi oleh ramus nervus maxillaris dan mandibularis.
Nervus nasociliaris (cabang nervus maxillaris) berjalan menuju nervus
ethmoidalis posterior dan mensuplai atap sinus. Cabang nervus
sphenopalatina (nervus maxillaris) mensuplai dasar sinus.4
28
dihirup). Menarik untuk dicacat bahwa terdapat peningkatan konsentrasi
(lebih dari 50%) pada ostium sinus. Fungsi sel-sel basal tidak diketahui.
Sel-sel ini bervariasi dalam bentuk, ukuran dan jumlah. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa sel basal bertindak sebagai sel induk yang dapat
berdiferensiasi jika diperlukan. Sel goblet menghasilkan glikoprotein
yang berperan untuk viskositas dan elastisitas mukus. Sel-sel goblet
diinervasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian,
stimulasi parasimpatis menginduksi mukus yang lebih tebal sedangkan
stimulasi simpatis menginduksi sekresi mukus yang lebih serus.4
29
5. Fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-
macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-
rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat
bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh
karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori
ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat,
contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari
Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital
terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian
pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka. 1,6
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain adalah :
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata
tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 1
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi. 1
(3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
30
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna. 1
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah. 1
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.1
(6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. 1
(7) Transportasi Mukosiliar Sinus Paranasal
Seperti bagian traktus respiratorius lainnya, sinus paranasal di lapisi
epitel torak bertingkat semu bersilia dan sel-sel goblet. Sel goblet dan kelenjar
seromukosa di lapisan tunika propia memproduksi palut lendir yang menyelimuti
sluruh mukosa. Sinus maksila normal akan memperbaharui palut lendir setiap
20-30 menit. Palut lendir ini akan didorong oleh silia yang mempunyai gerakan
teratur menuju ostium naturale. Jalannya mengikuti jalur tertentu yang ditentukan
secara genetik. Transportasi mukosiliar di sinus maksila berawal dari dasar,
aliran berbentuk bintang menuju ke semua arah di dinding sinus untuk berakhir
di ostium naturale di bagian posterosuperior. 1
31
BAB III
RHINOSINUSITIS JAMUR INVASIF AKUT
A. DEFINISI
Rhinosinusitis jamur invasif akut adalah inflamasi akut yang terjadi
kurang dari 12 minggu akibat adanya jamur proses perkembangannya cepat
dan tumbuh ke dalam jaringan sinus, pembuluh darah dan tulang.7
B. EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis jamur invasif adalah penyakit jarang tetapi angka
kematiannya tinggi. Lebih dari 80% pasien rinosinusitis jamur invasif
mengalami kematian atau morbiditas lebih lanjut setelah pengobatan penyakit
(mulai dari 20%-80%).12-13
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya penggunaan
antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi. Kondisi predisposisi
pada pasien dengan diabetes mellitus, keganasan hematologis, neutropenia,
penderita AIDS, dan pasien yang lama dirawat di rumah sakit. Jenis jamur
yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur adalah Aspergillus dan
Candida. 7
Blitzer dan rekannya mempelajari pada 179 pasien dengan sinusitis
jamur invasif akut dan menemukan prevalensi pasien diabetes sebanyak 70% ,
dan hanya 4% yang tidak dapat diidentifikasi. Pasien lain sebanyak 26%
memiliki penyakit yang mendasariseperti leukemia, penyakit ginjal, diare pada
bayi, imunosupresion post transplantasi, dan pankreatitis.11
C. KLASIFIKASI
Ada 4 tipe dari rhinosinusitis jamur :7
1. Mycetoma fungal atau fungal ball
Di mana terdapat gumpalan-gumpalan spora yang disebut fungal ball, di
dalam kavitas sinus, frekuensi terbanyak pada sinus maksilaris. Organisme
yang terlibat paling sering adalah famili Aspergillus. Pasien dengan kondisi
32
ini biasanya mempunyai riwayat infeksi sinus yang rekuren, gejalanya
biasanya hampir mirip dengan sinusitis bakteri.
2. Allergic Fungal Rhinosinusitis
Merupakan suatu reaksi alergi yang terjadi akibat respon pada lingkungan
di sekitar jamur yang tersebar ke udara. Jamur yang terlibat paling banyak
famili Dematiceous, termasuk Bipolaris, Curvularia, dan Alternaria,
dimana biasa terdapat di lingkungan. Seperti pada fungal ball, gejalanya
bisa sama dengan sinusitis bakteri. Polip nasal dan sekret yang kental
biasanya didapatkan pada pemeriksaan nasal.
3. Chronic Invasive Rhinosinusitis
Sinusitis invasif akut dan kronik adalah tipe paling serius dari sinusitis
jamur, dan untunglah hanya sedikit yang ada. Sinusitis jamur invasif kronik
perkembangannya lebih lambat dan tumbuh ke dalam jaringan sinus dan
tulang. Secara mikroskopik, ditandai dengan infiltrat inflammatori
granulomatosa. Jamur yang paling sering adalah famili Rhizopus, Mucor,
dan Aspergillus.
4. Acute Invasive Rhinoinusitis
Sinusitis jamur invasif akut proses perkembangannya cepat dan tumbuh ke
dalam jaringan sinus dan tulang. Sinusitis jamur tipe ini ditemukan pada
pasien dengan immunocompromised. Contohnya setelah mendapatkan
kemoterapi atau pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Terdapat beberapa faktor penyebab meningkatnya insiden infeksi jamur
pada rhinosinusitis yaitu :7
a) Kemajuan di bidang mikologi, serologi, dan radiologi yang dapat
membantu dalam menegakkan infeksi jamur pada hidung dan sinus
paranasal.
b) Terjadinya peningkatan pertumbuhan jamur pada hidung dan sinus
paranasal yang disebabkan tingginya penggunaan antibiotika spektrum
luas dan obat topikal hidung yang tidak proposional
33
c) Terjadinya peningkatan frekuensi infeksi jamur invasif yang berhubungan
dengan peningkatan jumlah penderita dengan sistem imun yang rendah,
termasuk penderita diabetes melitus, penurunan sistem imun karena
penggunaan radiasi dan kemoterapi, AIDS, penggunaan obat-obatab yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh setelah transplantasi organ dan
penggunaan steroid yang berkepanjangan.
E. ETIOLOGI
Pada sinusitis jamur invasif termasuk tipe akut fulminan, di mana
mempunyai angka mortalitas yang tinggi apabila tidak dikenali dengan cepat
dan ditangani secara agresif, dan tipe kronik dan granulomatosa.8
Jamur saprofit selain Mucorales, termasuk Rhizopus, Rhizomucor,
Absidia,Mucor,Cunninghammela,Mortierella,Saksenaea, dan Apophysomyces
sp, menyebabkan sinusitis jamur invasif akut.8
Aspergillus spp: biasanya ditemukan pada pasien neutropaenic
sedangkan Zygomycetes sering ditemui pada pasien diabetes.8
34
dapat menyebar ke struktur di sekitarnya seperti mata dan otak melalui
pembuluh darah. Temuan histologi rinosinusitis jamur invasif akut biasanya
menunjukkan gambaran yang sangat nekrotik, serta banyak terdapat proses
neutrofilik dan angiotropik. Invasi jamur biasanya menyebar di luar rongga
sinus ke rongga orbita dan intrakranial.12
Patofisiologi sinusitis jamur mencakup pengisian sinus dan adanya
perubahan respons imun terhadap jamur. Sindrom invasif dan noninfasif pada
sinusitis jamur mempunyai gejala-gejala khas yang jelas. Keduanya dapat
terjadi pada pasien dengan immunocompetent atau immunocompromised, dapat
secara akut atau kronik dan dapat menyebar ke orbita, struktur-struktur mata,
dan ke otak. Purulen, pucat, sering berbau busuk ada pada sinus-sinus yang
terkena.9
Acute invasive sinusitis terjadi dari penyebaran cepat jamur melalui
invasi vaskular ke orbita dan sistem saraf pusat. Ini lebih sering terjadi pada
pasien dengan diabetes dan pasien dengan immunocompromised dan
dilaporkan juga pada orang-orang dengan immunocompetent. Pasien-pasien ini
biasanya membutuhkan perawatan.8
Aspergillus dan Mucoraceae menyumbang sebagian besar kasus
Rhinosinusitis jamur invasif akut. Kedua jamur tersebut adalah saprophytes,
ditemukan di seluruh dunia dalam debu dan tanah. Pada pasien
immunocompromised, jamur ini dapat mengalami angioinvasive,
mengakibatkan trombosis dan iskemia mukosa hidung. Hal ini pada akhirnya
menyebabkan infark jaringan dan kerusakan tulang.9
G. GAMBARAN KLINIS
Secara umum infeksi jamur tipe ini sering terdapat pada penderita
diabetes melitus yang tidak terkontrol, individu yang menerima transplantasi
organ, dan pada penderita yang sedang mendapatkan kemoterapi. Pada
penderita dengan penurunan daya tahan tubuh dengan gejala dan tanda
rhinosinusitis harus kita curigai dengan infeksi jamur.8
35
Gejala klinisnya diawali dengan demam yang tidak respon dengan
pemberian antibiotik, adanya keluhan pembengkakan pada wajah dan orbita,
nyeri atau kebas pada wajah yang disertai kerusakan saraf kranial unilateral
atau perubahan penglihatan akut dengan gangguan pergerakan mata dan
penurunan tajam penglihatan.8
H. GAMBARAN RADIOLOGI
1. Foto Polos
Foto polos kepala merupakan pemeriksaan awal kelainan sinus
paranasal. Pada penderita rinosinusitis jamur baik yang invasif maupun non
invasif, pembacaan foto polos kepala hanya dapat diidentifikasi penebalan
mukosa (selaput lendir), batas cairan dengan udara yang membentuk
permukaan mendatar (air-fluid level) atau perselubungan yang menutupi
sebagian ataupun seluruh rongga serta sebagian struktur tulang yang terlihat.
Adanya erosi, atau destruksi tulang sinus paranasal tidak tampak jelas
karena terhalang gambaran perselubungan serta air-fluid level.8
Gambar 22. Foto X-Ray posisi waters tampak perselubungan yang membentuk
air-fluid level pada sinus maxilaris.
36
Posisi Caldwell Waters Lateral Submentovertex
Sinus Lamina papirase & Hanya etimoid ant Kurang jelas Terhalang
etmoid Fovea etmoidalis, Palatum, septum
Etmoid ant & post Nasi & Sinus
Cukup jelas frontal
Sinus Hanya bagian inferior Posisi paling baik, Dasar Sinus yang Sebagian dinding
maksila Sisi lateral, medial, Berhubungan dg Lateral & dasar
Superior dan Akar gigi & sinus
inferior Palatum durum
Sinus Tampak garis Tampak garis Resesus frontalis Kurang informatif
Frontal Mukoperiosteal Mukoperiostial &
Diding dpn sinus
Sinus Kurang informative Terhalang Mukosa sinus, Menilai dari dasar
sfenoid manibula, Dasar sela tursika, Mulut (bawah) &
Paling baik bila Dinding posterior Dinding lateral
mulut terbuka
(Malts)
Disanding CT scan dan MRI, foto polos sulit untuk membedakan antara
infeksi tumor dan polip, tapi pemeriksaan in cukup murah, mudah dikerjakan,
derajat radiasi yang rendah dibandingkan CT scan dan hampir seluruh rumah
sakit mampunyai fasilitas pemeriksaan ini. Pada anak usia kurang 3 tahun,
terutama sinus frontal belum berkembang hanya tampak sebagai area yang
putih sehingga tampak seakan akan merupakan sinusitis.8
37
Menekan lemak di bagian luar sinus
Lemak intraorbital
Ruang mastikasi
Fosa pterygopalatine
38
disbanding CT scan. Selain itu gambaran udim mukosa hidung akibaat
inflamasi mirip dengan udim pada siklus hidung. Apabila dicurigai
komplikasi intrakranial atau intraorbital diperlukan kontras gadolinium-
diethylenetriamine pentaacetic acid (Gd-DTPA).11
Tidak ada gambaran khusus sinusitis jamur pada MRI, hanya isointense
atau sedikit hipodense dibandingkan jaringan sekitarnya seperti tampak pada
gambar 8. MRI lebih bermanfaat dalam menilai neoplasma karena dapat
membedakan massa tumor dengan kelainan akibat sumbatan ostium sinus
atau komplek ostiomeatal.11
Gambar 25. Gambaran MRI pada Rhinosinusitis Jamur Invasif Akut dengan
invasif jamur pada sinus sphenoid sinistra dengan adanya ekstensi ke sebelah
kiri fisura sylvian dan fosa infratemporal disertai infark cerebral.
I. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Temuan klinis biasanya bervariasi, namun pasien sering
mengeluhkan demam yang cepat, nyeri pada wajah, hidung tersumbat dan
epistaksis. Perpanjangan invasisf ke dareah orbita, sinus kavernosus atau
kompartemen intrakranial sering mengakibatkan penurunan penglihatan.7
Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan
kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di
dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada
gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk
39
iritatif non produktif seringkali ada. Pada sinus ethmoidal gejala berupa
nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-
kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis dan sumbatan hidung. Pada gejala dari
sinus frontalis pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila
disentuh dan kadang terdapat pembengkakan supra orbita. Pada sinusitis
sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola
mata dan di daerah mastoid.13
Riwayat rhinitis allergi, vasomotor rhinitis, nasal polyps, rhinitis
medicamentosa atau immunodeficiency harus dicari dalam mengevaluasi
sinusitis. Sinusitis lebih sering terjadi pada orang yang mengalami
kelainan kongenital pada imunitas humoral dan pergerakan sillia, cystic
fibrosis dan penderita AIDS. 8
2. Pemeriksaan Fisik 8
A. Inspeksi
Pada pemeriksaan fisik inspeksi ditemukan edema di daerah wajah atau
periorbita disertai eritema, kemosis dan proptosis.
B. Rhiniskopi Anterior
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan adanya sekret purulen
di meatus medius atau meatus superior, eritema mukosa. Terkadang
terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.
C. Palpasi
Pada pemeriksaan palpasi di dapatkan nyeri tekan pada bagian wajah
sesuai dengan letak sinus paranasal.
D. Transiluminasi
Pemeriksaan transiluminasi dilakukan di kamar gelap dengan lampu
bertangkai. Pada transiluminasi untuk sinus maksila lampu bertangkai
dimasukkan kedalam rongga mulut dan sinar akan menembus rongga
sinus maksila dan terlihat pada pipi, kemudian membandingkan cahaya
antara kedua sinus. Pada pemeriksaan untuk sinus frontalis ujung lampu
ditekan pada epikantes di bagian dahi, namun transluminasi pada sinus
40
frontal hasilnya lebih meragukan karena dasar dan bentuk kedua sinus
seringkali tidak sama. Untuk interpretasi, pada gambaran terang
menunjungkan sinus dalam keadaan normal sedangkan pada gambaran
redup atau gelap maka sinus berkembang tidak baik atau dicurigai suatu
keadaan sinusitis.
3. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan
kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya
sekret purulen minimal di meatus medius atau superior, polip kecil, ostium
asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka paradoksikal,
spina septum dan lain-lain.8
B. Foto Polos
polos kepala merupakan pemeriksaan awal kelainan sinus paranasal. Pada
penderita rinosinusitis jamur baik yang invasif maupun non invasif,
pembacaan foto polos kepala hanya dapat diidentifikasi penebalan mukosa
(selaput lendir), batas cairan dengan udara yang membentuk permukaan
mendatar (air-fluid level) atau perselubungan yang menutupi sebagian
ataupun seluruh rongga serta sebagian struktur tulang yang terlihat.
Adanya erosi, atau destruksi tulang sinus paranasal tidak tampak jelas
karena terhalang gambaran perselubungan serta air-fluid level.8
41
C. CT-Scan
CT scan sangat efektif dalam menilai perubahan tulang. Temuan meliputi
penebalan mukosa, hypoattenuating, opakifikasi sinus: atenuasi jaringan
lunak, penghancuran tulang, menekan lemak di bagian luar sinus.9
D. MRI
MRI cukup membantu dalam menilai komplikasi sinusitis jamur baik
yang terbatas pada ekstrakranial. Ini disebabkan MRI mempunyai kontras
jaringan lunak (soft tissue contrast) lebih baik dibanding CT scan, sangat
baik untuk membedakan lesi/tumor dengan jaringan lunak disekitarnya.
Selain itu tidak adanya radiasi ion menyebabkan aman bagi pasien dan dapat
dilakukan berulang ulang. Pada pemeriksaan MRI pasien diminta untuk
melepaskan aksesories dari logam, kemudian diposisikan supinasi dan
diperoleh post contras T1 Axial, Sagital dan Coronal.
Tidak ada gambaran khusus sinusitis jamur pada MRI, hanya
isointense atau sedikit hipodense dibandingkan jaringan sekitarnya seperti
tampak pada gambar dibawah. MRI lebih bermanfaat dalam menilai
neoplasma karena dapat membedakan massa tumor dengan kelainan akibat
sumbatan ostium sinus atau komplek ostiomeatal. Sehingga pemeriksaan ini
dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding pada rhinosinusitis
jamur invasif akut.11
E. Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis yang paling sederhana dan cepat adalah pemeriksaan
jamur dengan menggunakan larutan KOH. Ada pewarnaan khusus seperti
PAS (Periodic Acid Schiff) atau MSS (Methenamine Silver Stain ).
Pengambilan jaringan dilakukan dengan cara Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS). Jaringan atau organ yang dikirim harus dalam keadaan
terfiksasi dengan formalin buffer 10% (perbandingan jaringan dan cairan fiksasi,
1:9 ) dan ditutup rapat. Pada tipe invasif ditemukan invasi hifa ke dalam
jaringan melewati lapisan lamina propia, inflamasi granuloma tanpa
perkejuan dengan sel datia berinti banyak, tidak tampak invasi vaskuler
dan mungkin ada nekrosis jaringan lunak atau tulang.
42
Gambar 27. Histopatologi dengan pewarnaan HE pada rhinosinusitis
invasif jamur menunjukkan pembentukan granuloma dalam bentuk solid,
dengan jaringan fibrosis luas disekitarnya.13
J. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding sinusitis jamur adalah neoplasma benigna
maupun maligna. Sinusitis jamur invasif dengan neoplasma maligna sulit
dibedakan atau tidak dapat dibedakan dari gambaran radiologi. Tetapi dapat
dibedakan dari gambaran histopatologi. Pada sinusitis jamur invasif ada tanda
yang khas yaitu adanya invasi ke jaringan mukosa.10
Riwayat klinis lebih dari 12 minggu dan pada hasil pemeriksaan yang
menunjukkan masa hiperdense di dalam sinus dengan perubahan sklerotik di
dinding tulang sinus sering mewakili penyakit kronisitas seperti :11
Sinusitis jamur invasif kronis
Karsinoma sinonasal
Limfoma Non-hodgkin sinonasal
Mucocoele
K. PENATALAKSANAAN
1. KONSERVATIF
a) Medikamentosa Sistemik
Pemberian antijamur sistemik dimulai dengan setelah operasi
debridement. Pemberian amphotericin B dosis tinggi (1-1,5 mg/kg/hari).
43
Itraconazole oral (400 mg/hari) dapat menggantikan amphotericin B
setelah masa akut lewat.
b) Medikamentosa Topikal
Melakukan pencucian hidung dengan menggunakan saline nasal
douching.Pemberian nasal spray kortikosteroid diberikan apabila terdapat
gejala obstruksi nasal yang berat. Nasal spray dekongestan seperti
flucticasone furoate dapat diberikan 10-12 jam per hari.
2. OPERATIF
Debridemen daerah lesi dapat dilakukan pada pasien bertujuan
untuk mengeluarkan jaringan yang nekrotik. Teknik operasi BSEF adalah
secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi,
BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan
dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap
operasi. Berikut ini dijelaskan tahapan operasi :
1. Infundibulektomi
Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang
sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke
ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu
diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka
ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi
sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan
sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan
hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Tahap
operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.
Prosesus uncinatus harus diangkat secara lengkap supaya tidak
mengganggu visualisasi pada tahap seterusnya. Jika tidak, ini akan
dapat menyebabkan operasi ini gagal. Selain itu, harus berhati-hati
supaya tidak terjadi penetrasi ke dinding orbita media ketika
mengangkat prosesus uncinatus.
44
2. Eksenterasi sinus maksila
Setelah mengangkat prosesus uncianatus, ostium sinus maksila
harus diidentifikasi dan dipotong dengan menggunakan cunam
cutting. Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip
difus atau kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam
bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah
diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui
meatus inferior jika cara diatas gagal. Ketika melakukan teknik ini
harus berhati-hati supaya tidak penetrasi ke lamina papiracea.
3. Etmoidektomi retrograde
Seterusnya, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel
sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan
di daerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Setelah tahap awal tadi
(BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding
anterior bula etmoid diidentifikasi dan diangkat sampai tampak
dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel
etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina
basalis akan berada dibelakang sinus lateralis ini. Lamina basalis
berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan,
lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus
etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior diobservasi dan
jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior
yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di
sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak
pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya. Dengan jejas dasar otak
sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara
retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil
memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak
(fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papiracea dan batas
medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300.
Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih
45
aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan
kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.
4. Sfenoidektomi
Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang.
Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum
intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga jika diangkat dapat
menyebabkan ruptur arteri yang fatal. Setelah ostium sinus sfenoid
diidentifikasi, harus diperlebarkan dengan menggunakan cunam
jamur. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati
karena n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka
sebaiknya diseksi di bagian medial dan inferior saja. Menurut
Stammberger (2004), pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal
tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus
yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau
n.optikus.
5. Sinus frontal
Secara umum, teknik ini tidak dilakukan jika tidak ada kelainan
pada sinus frontal. Akan tetapi jika ada kelainan, maka teknik ini
ditangani dengan penuh perhatian supaya meminimalkan cedera pada
mukosa. Apabila diindikasi untuk operasi sinus frontal, teleskop 45
ataupun 70 sangat bermanfaat. Beberapa penyebab ostium sinus
frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid, sisa
prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel
agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior,
sel supra-orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal
dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan cunam Blekesley
upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 300
dan 700, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar
CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka
ostium sinus frontal dapat dihindari. Kista atau polip di sinus frontal
dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai
46
dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar.
Polip yang berada di ujung lateral sinus frontal merupakan
kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan
teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal.
Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan
kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal
yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan. Setelah resesus
frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan
maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan
patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa
minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.
L. KOMPLIKASI
Pada Acute Invasive Fungal Sinusitis dapat menginvasi struktur di
dekatnya yang menyebabkan kerusakan jaringan dan nekrosis. Selain itu juga
dapat terjadi trombosis sinus kavernosus dan invasi ke susunan saraf pusat.8
Komplikasi orbital seperti selulitis preseptal, selulitis orbita, abses
subperiosteal, dan abses orbital. Komplikasi intrakranial seperti abses epidural
atau subdural, abses otak, meningitis, ensefalitis, dan trombosis sinus
kavernosus.12
47
M. PROGNOSIS
Selain tingkat penyakitnya, kondisi medis yang mendasari merupakan
faktor penting dalam prognosis penyakit. Dalam penelitian tingkat mortalitas
pada pasien dengan anemia aplastik dan diabetes mellitus tinggi (mendekati
100% saat mempertimbangkan kedua kelompok bersama-sama), Sementara
mereka yang menderita AIDS / HIV semuanya memiliki hasil yang baik.
Pasien dengan keganasan hematologi menunjukkan prognosis antara sepertiga
dari pasien tersebut meninggal. 8
Tingkat kematian 50% sesuai dengan literatur yang ditinjau Shazo et
al.1 menyatakan bahwa hasil terbaik yang dilaporkan mendekati 50%
kelangsungan hidup. Untuk memperbaiki tingkat kematian ini, diagnosis dan
pengobatan yang cepat sangat penting. Kelangsungan hidup juga bergantung
pada pengendalian faktor predisposisi imunosupresi, seperti memperbaiki
fungsi sumsum tulang pada pasien dengan penyakit hematologi atau
kemoterapi.8
48
BAB IV
RINGKASAN
Acute invasive sinusitis terjadi dari penyebaran cepat jamur melalui invasi
vaskular ke orbita dan sistem saraf pusat. Ini lebih sering terjadi pada pasien
dengan diabetes dan pasien dengan immunocompromised dan dilaporkan juga
pada orang-orang dengan immunocompetent
Pasien-pasien ini biasanya membutuhkan perawatan. Sinusitis jamur
invasif akut proses perkembangannya cepat dan tumbuh ke dalam jaringan
sinus dan tulang. Sinusitis jamur tipe ini ditemukan pada pasien dengan
immunocompromised. Contohnya setelah mendapatkan kemoterapi atau pasien
dengan diabetes yang tidak terkontrol. Aspergillus spp: biasanya ditemukan
pada pasien neutropaenic sedangkan Zygomycetes sering ditemui pada pasien
diabetes. Penegakkan diagnosis dengan anamnesis yaitu adanya tercium bau
tidak enak pada hidung dan sering bersin-bersin. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan edema di daerah muka atau periorbita disertai eritema, kemosis,
proptosis, dan oftalmopegia. CT sangat efektif dalam menilai perubahan
tulang. Temuan meliputi penebalan mukosa, hypoattenuating, opakifikasi
sinus: atenuasi jaringan lunak, penghancuran tulang, menekan lemak di bagian
luar sinus. Diagnosis banding sinusitis jamur adalah neoplasma benigna
maupun maligna. Penatalaksanaan dilakukan debridement radikal pada
jaringan yang nekrotik sampai didapatkan jaringan yang normal. Dimulai
pemberian terapi antijamur sistemik. Kelangsungan hidup juga bergantung
pada pengendalian faktor predisposisi imunosupresi, seperti memperbaiki
fungsi sumsum tulang pada pasien dengan penyakit hematologi atau
kemoterapi.
49
ALOGORITMA
Alergi
Antibiotik golongan Perbaikan Follow
Generasi pertama Penisilin
Penisilin selama 10 hari Up
macrolide rutin
Gagal
Gagal
Antibiotik golongan Fluroquinolon
Selama 10 hari Perbaikan
Rhinosinusitis Jamur
Rhinosinusitis Alergi
Pemeriksaan Radiologi:
Antihistamin
perselubungan yang
Kortikosteroid
membentuk air-fluid level atau
destruksi jaringan sekitar
Operatif >12minggu
(Debridement) (Kronik)
Anti Fungal
Sistemik
50
DAFTAR PUSTAKA
10. Donovan A.T., Thompson J., 2013. Imaging of Acute Invasive Fungal
Rhinosinusitis in a Patient with Gorlin Syndrome and Acute Lymphocytic
Leukemia. Vol 2013 P 4-9Department of Otolaryngology, University of Florida
College of Medicine. USA. Available from: URL
51
https://www.hindawi.com/journals/criot/2013/272314/
52