Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PERSAINGAN USAHA

LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI & PERSAINGAN


USAHA TIDAK SEHAT

KELOMPOK 5

Dyah Ayu Kusumaningrum (201594403004)

Ika Fitri Listianti (201594403006)

Febitya Ramantahari Dewi (201594403024)

Nur Septiani (201594403030)

PROGRAM STUDI D3 ASURANSI

2016 - 2017
PENDAHULUAN

Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Dunia yang kita kenal
sekarang ini adalah hasil dari persaingan manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang
dilakukan secara terus-menerus untuk saling mengungguli membawa manusia berhasil
menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang berangsur-angsur menuju arah yang semakin
maju dari sebelumnya. Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak,
persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan bisnis
pun tidak luput dari sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur persaingan usaha
dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua pihak supaya tidak ada pihak-
pihak yang merasa dirugikan.

Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam bidang hukum
ekonomi dan bisnis, yang ditandai antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di banyak
negara disebut Undang-Undang Antimonopoli. Undang-undang seperti ini sudah sejak lama
dinantikan oleh pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan bebas dari
praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah
diatur sejumlah larangan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya,
dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama
kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya
larangan ini, pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat,
serta tidak merugikan masyarakat banyak dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan
pasar yang terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka menyosong era
perdagangan bebas, kita juga dituntut untuk menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-
rambu hukum yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antar bangsa. Dengan demikian
dunia internasional juga mempunyai andil dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan persaingan usaha. Menurut Arie Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law)
adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan.
Menurut Hermansyah hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang
mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-
hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan
kebijakan persaingan (competition policy) merupakan kebijakan yang berkaitan dengan
masalah-masalah di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan
adalah untuk menjamin terlaksananya pasar yang optimal, khususnya biaya produksi terendah,
harga dan tingkat keuntungan yang wajar, kemajuan teknologi, dan pengembangan produk.

B. Pentingnya Hukum Persaingan Usaha

Sebuah persaingan membutuhkan adanya aturan main, karena terkadang tidak selamanya
mekanisme pasar dapat berkerja dengan baik (adanya informasi yang asimetris dan monopoli).
Dalam pasar, biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk menghindari atau
menghilangkan terjadinya persaingan di antara mereka. Berkurangnya atau hilangnya
persaingan memungkinkan pelaku usaha memperoleh laba yang jauh lebih besar. Di Indonesia,
pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan
masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk
penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor. Adapun falsafah yang melatarbelakangi
kelahiran undang-undang tersebut ada tiga hal, yaitu:

1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan


rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama
bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran
barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan
yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi
pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah
dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.

Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan
memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk
meneiptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian
hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar
1945. Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha
dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di
mana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Adapun beberapa tujuan
diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat.
3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
4. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang
tidak terdistorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku
usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan
dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen
akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara tidak
langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi konsumen
dalam bentuk produk yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih
baik. Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan
ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-undang ini
diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang
dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
C. Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

D. Sistematika dan Isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dikelompokkan ke
dalam 11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian, yang cakupan materi dan
sistematikanya sebagai berikut.

NO. BAB PERIHAL/ISI/TENTANG/MATERI PASAL JUMLAH


1 I Ketentuan dan Umum 1 1 pasal
2 II Asas dan Tujuan 2 s.d. 3 2 pasal
3 III Perjanjian yang Dilarang 4 s.d. 16 13 pasal
4 IV Kegiatan yang Dilarang 17 s.d. 24 8 pasal
5 V Posisi Dominan 25 s.d. 29 5 pasal
6 VI Komisi Pengawas Persaingan Usaha 30 s.d. 37 8 pasal
7 VII Tata Cara Penanganan Perkara 38 s.d. 46 9 pasal
8 VIII Sanksi 47 s.d. 49 3 pasal
9 1X Ketentuan Lain 50 s.d. 51 2 pasal
10 X Ketentuan Peralihan 52 1 pasal
11 XI Ketentuan Penutup 53 1 pasal
Jumlah 53 53 pasal

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dilengkapi pula dengan:

1. Penjelasan Umum; dan


2. Penjelasan Pasal Demi Pasal.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa secara
umum, materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengandung 6 bagian pengaturan yang
terdiri atas:

1. Perjanjian yang Dilarang;


2. Kegiatan yang Dilarang;
3. Posisi Dominan;
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. Penegakan Hukum;
6. Ketentuan Lain-lain

E. Perjanjian, Kegiatan dan Posisi Dominan yang Dilarang Dalam Hukum Persaingan
Usaha Di Indonesia

1. Jenis-Jenis Perjanjian yang Dilarang

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan "perjanjian" adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku
usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian yang telah termuat dalam Undang Undang Nomor
5 Tahun 1999 ini yang mana yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Adapun jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Antimonopoli ini diatur
dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16 sebagai berikut:

a. Oligopoli (pasal 4);

Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen yang berjumlah sedikit sedangkan pangsa
pasar yang banyak sehingga produsen dapat mempengaruhi pasar, maka untuk mencegah
praktek monopoli dan persaingan pasar yang tidak sehat, Undang undang Nomor 5 Tahun
1999 pasal 4 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang dan jasa.
Pelaku usaha dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi, pemasaran
barang dan atau jasa, apabila 2 (dua), 3 (tiga) atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa tertentu.

b. Penetapan harga (pasal 5 - 8);

Penetapan harga adalah suatu kegiatan menetapkan harga atau nilai dari suatu barang dan jasa
yang diberika kepada konsumen.

Dalam penetapan harga untuk mencegah praktek monopoli dan persaingan pasar yang tidak
sehat para pelaku usaha dilarang :

1. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama. Hal ini tidak berlaku bagi :
Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
2. Membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan
jasa yang sama.
3. Membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah
harga pasar.

c. Pembagian wilayah (pasal 9);

Pembagian wilayah dalam pembahasan ini merupakan suatu perjanjian yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan jasa antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya. Perjanjian semacam ini tentu dilarang oleh pemerintah karena
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

d. Pemboikotan (pasal 10);

Pemboikotan adalah suatu perjanjian menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama dengan usaha yang dijalankan oleh suatu pelaku usaha dan menolak menjual setiap
barang atau jasa dari pelaku usaha lain serta membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau
membeli setiap barang atau jasa dari pasar yang bersangkutan.

Praktek pemboikotan dilarang oleh pemerintah, oleh karenanya dalam Undang undang no 5
Tahun 1999 pasal 10 pelaku usaha dilarang membuat perjanjian pemboikotan tersebut dengan
pelaku usaha pesaingnya agar tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan
usaha yang tidak sehat.

e. Kartel (pasal 11);

Kartel merupakan suatu perjanjian yang bertujuan untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan jasa. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
kartel dengan pelaku usaha pesaingnya, karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

f. Trust (pasal 12);

Trust adalah penggabungan atau peleburan badan usaha yang sejenis ataupun tidak sejenis
menjadi satu sehingga membentuk sebuah badan usaha besar. Bagi badan usaha yang
meleburkan diri ke dalam badan usaha baru tersebut, masing-masing kehilangan kekuasaan
untuk bertindak.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja
sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.

g. Oligopsoni (pasal 13);

Oligopsoni adalah keadaan di mana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. Maka,
untuk mencegah terjadinya hal demikian, Undang undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur
tentang hal sebagai berikut :

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Pelaku usaha patut dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan apabila 2 (dua), 3 (tiga) atau kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
h. Integrasi vertikal (pasal 14);

Integrasi vertikal adalah suatu perjanjian menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun
tidak langsung. Perjanjian semacam ini dilarang, karena dapat mengakibatkan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.

i. Perjanjian tertutup (pasal 15);

Penjanjian tertutup adalah perjanjian memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan pada tempat tertentu.

Salah satu dari perjanjian tertutup ini memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Dalam perjanjian tertutup dapat juga memuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barang dan jasa dari pelaku usaha pemasok:

Harus bersedia membeli barang dan jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
Tidak akan membeli barang dan jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian tertutup dengan pelaku usaha lain karena hal
tersebut dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

j. Perjanjian dengan luar negeri (pasal 16).

Perjanjian dengan luar negeri adalah perjanjian yang dilakukan dengan pihak lain di luar negeri
yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.

2. Jenis-Jenis Kegiatan yang Dilarang

Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha yang berkaitan
dengan proses dalam menjalankan kegiatan usahanya. Adapun jenis-jenis kegiatan yang dilarang
menurut Undang-Undang Antimonopoli adalah sebagai berikut:
a. Monopoli (Pasal 17);

Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Dalam Undang undang Nomor 5 Tahun 1999, para pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan
monopoli karena dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha
dianggap melakukan kegiatan monopoli apabila :

Barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau


Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
atau jasa yang sama; atau
Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

b. Monopsoni (Pasal 18);

Monopsoni adalah kegiatan menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan jasa dalam pasar bersangkutan.

Dalam Undang undang Nomor 5 Tahun 1999, para pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan
monopsoni karena dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha
dianggap melakukan kegiatan monopsoni apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.

c. Penguasaan pasar (Pasal 19);

Penguasaan pasar merupakan suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Karena dalam penguasaan pasar terjadi kegiatan
berupa :

Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan;
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
Membatasi peredaran atau penjualan barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Penguasaan pasar tentu tidak diperbolehkan karena dapat terjadi persaingan usaha yang tidak
sehat. Suatu kegiatan penguasaan pasar salah satunya yaitu terdiri dari dumping dan manipulasi
biaya produksi.

1. Dumping (Pasal 20);

Dumping adalah suatu kegiatan melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.

2. Manipulasi biaya produksi (Pasal 21);

Manipulasi biaya produksi adalah suatu kegiatan melakukan kecurangan dalam menetapkan
biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau
jasa.

d. Persekongkolan (Pasal 22)

Persekongkolan dikemukakan dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengandung arti yaitu suatu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha
yang bersekongkol.

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dalam hal :

Mengatur menentukan pemenang tender;


Mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklarifikasikan sebagai rahasia
perusahaan;
Menghambat produksi atau pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang baik dari jumlah. Kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.

3. Posisi Dominan

Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan
atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.

Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dominan" apabila:

Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen)
atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau
Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa posisi
dominan yang dilarang dalam dunia usaha karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dapat dibedakan menjadi 4 macam yakni:

a. Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum (Pasal 25). Yakni :

menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau


menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.

b. Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal 26);

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan
lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut:

Berada dalam pasar bersangkutan yang sama;


Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu.
c. Kepemilikan saham mayoritas atau terafiliasi (Pasal 27);

Memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha
dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa
perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama,
apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:

Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh
puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

d. Penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan perusahaan (Pasal 28 dan Pasal 29).

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1998 tentang


penggabungan, peleburan dan pengambil alihan perseroan terbatas yang dimaksud dengan
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang
menggabungkan diri menjadi bubar.

Sedangkan peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih
untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing
perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.

Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan
yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.

Ketiga kegiatan ini dilarang menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 apabila kegiatan
tersebut dapat mengakibatkan kegiatan monopoli yang dapat mengakibatkan praktek persaingan
tidak sehat.

Ketentuan ketentuan mengenai Penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan perusahaan


diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1998
tentang penggabungan, peleburan dan pengambil alihan perseroan terbatas.
F. Penegakan Hukum Persaingan Usaha Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU)

Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasti memerlukan


pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan
kebijakan persaingan (competitive policy) diikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya
ketentuan dalam Undang-Undang Antimonopoli tersebut.

KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana dalam menangani,
memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak
manapun, baik pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun
dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. KPPU juga
merupakan lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus
persaingan usaha.

KPPU berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan dapat pula membuka Kantor
Perwakilan di setiap Provinsi. Susunan organisasi KPPU terdiri dari Komisi dan Sekretariat.
Anggota KPPU wajib melaksanakan tugas dan berpegang pada asas keadilan, serta wajib
memenuhi tata tertib yang telah disusun KPPU. Untuk kelancaran tugasnya KPPU dibantu oleh
sekretariat terutama di bidang teknis dan administrasi, KPPU juga dapat membentuk kelompok
kerja sesuai dengan kebutuhan apabila diperlukan. (Rachmadi Usman. 2004. Hlm. 104).
Independensi sebagai status utama dari KPPU sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 5
Tahun 1999, harus benar-benar dapat diterapkan. Hal tersebut dikarenakan agar KPPU dapat
bertindak netral dan bebas dari berbagai konflik kepentingan, yang dapat mempengaruhi
penegakan hukum persaingan usaha.

1. Tugas KPPU

Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur secara rinci dalam Pasal 35 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulangi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditugaskan melakukan penilaian
terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat, seperti perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan harga, pembagian wilayah,
pemboikotan, kartel, trust,oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian
dengan pihak luar negeri; melakukan penilaian terhadap kegiataan usaha dan/atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat, dan melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat, yang disebabkan penguasaan pasar yang berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan
saham dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha atau saham.

Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, di mana pelaku
usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau melakukan
kegiatan yang terlarang atau menyalahgunakan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan memerintahkan
pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang,
serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku
usaha tersebut. Tugas lain dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang tidak kalah penting
adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan menyusun pedoman
dan/atau publikasi atau sosialisasi yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.

2. Wewenang KPPU

Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, secara lengkap kewenangan
yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat;
c. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku
usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini;
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap
orang sebagaimana dimaksud huruf e dan f pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi
panggilan Komisi;
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan
dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
j. Memutuskan dan menerapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain
atau masyarakat;
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.

3. Fungsi KPPU

Selain tugas dan wewenang yang telah diuraikan di atas, KPPU juga memiliki fungsi
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun
1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Fungsi tersebut antara lain sebagai berikut:

Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan.


Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan.
Pelaksanaan administratif.

G. Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur tata cara penanganan perkara
penegakan hukum persaingan usaha pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46. Dalam
menangani perkara penegakan hukum persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
dapat melakukannya secara proaktif atau dapat menerima pengaduan atau laporan dari
masyarakat. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada
dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini walaupun tidak ada
laporan, yang pemeriksaannya dilaksanakan sesuai tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Sebelumnya, dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap
orang yang mengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkannya secara tertulis kepada Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran,
dengan menyertakan identitas pelapor. Demikian pula pihak yang dirugikan sebagai akibat
terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkan
secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang lengkap dan
jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan rnenyertakan
identitas pelapor.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan penyelidikan, pemeriksaan, dan/atau


penelitian terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha bisa berasal dari
laporan atau pengaduan pihak-pihak yang dirugikan atau pelaku usaha; bahkan dari masyarakat
atau setiap orang yang rnengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi
pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini bisa disampaikan kepada Komisi
Pengawas Persaingan Usaha atau berasal dari prakarsa Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebagai jaminan atas diri pelapor, Pasal 38 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999
mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk merahasiakan identitas pelapor,
terutama pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan.

Mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 terdiri dari 7 tahapan, antara lain:

1. Penelitian Klarifikasi Laporan

Menurut Pasal 1 angka (11) PerKom No. 1 Tahun 2006, Penelitian dan Klarifikasi Laporan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk mendapatkan
kelengkapan dan kejelasan laporan dari pelapor. Hasil Penelitian dan Klarifikasi Laporan
dibuat dalam bentuk resume hasil laporan yang kemudian dilakukan Pemberkasan.

2. Pemberkasan

Menurut Pasal 1 angka (12) PerKom No. 1 Tahun 2006, adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk meneliti kembali resume laporan atau resume
monitoring guna menyusun laporan dugaan pelanggaran. Hasil Pemberkasan dituangkan dalam
bentuk laporan dugaan pelanggaran yang kemudian disampaikan kepada Komisi untuk
dilakukan Gelar Laporan.
3. Gelar Laporan

Menurut Pasal 1 angka (4) PerKom No. 1 Tahun 2006, Gelar Laporan adalah penjelasan
mengenai laporan dugaan pelanggaran yang disampaikan oleh Sekretariat Komisi kepada
Komisi dalam suatu Rapat Gelar Laporan. Komisi menilai layak atau tidaknya dilakukan
Pemeriksaan Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

Menurut Pasal 1 angka (14) PerKom No. 1 Tahun 2006, Pemeriksaan Pendahuluan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan
dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan
Lanjutan. Terhadap hasil Pemeriksaan Pendahuluan, tim pemeriksa menyimpulkan pengakuan
terlapor atau bukti awal yang cukup terhadap dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepada
terlapor. Dalam ketentuan Pasal 37 PerKom No. 1 Tahun 2006, ditentukan bahwa Komisi
dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan, meskipun terdapat bukti
pelanggaran, apabila terlapor mengakui pelanggaran tersebut dan bersedia untuk merubah
perilakunya. Tahap ini dinamakan dengan Tahap Perubahan Perilaku.

Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:


keterangan saksi,
keterangan ahli,
surat dan atau dokumen,
petunjuk,
keterangan pelaku usaha.

Perubahan Perilaku merupakan tahap kalanjutan dari tahap Pemeriksaan Pendahuluan yang
ditawarkan kepada terlapor setelah memperoleh bukti awal yang cukup terhadap dugaan
pelanggaran berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999. Jika dalam dalam pelaksanaan tahap
Perubahan Perilaku KPPU menilai telah terjadi Perubahan Perilaku dari terlapor, maka
penanganan perkaranya dihentikan, sedangkan jika tidak terjadi Perubahan Perilaku dari
terlapor, maka penanganan perkara di lanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.

5. Pemeriksaan Lanjutan

Menurut Pasal 1 angka (15) PerKom No. 1 Tahun 2006, Pemeriksaan Lanjutan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan
pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. Pemeriksaan
Lanjutan dilakukan apabila KPPU telah menemukan indikasi adanya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, apabila KPPU memerlukan waktu lebih yang lebih
lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus
maka dapat dilakukan perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan. Jangka waktu Pemeriksaan
Lanjutan adalah 60 (enam puluh) hari sejak berakhirnya Pemeriksaan Pendahuluan dan jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Menurut Pasal 1 angka (24) PerKom No. 1 Tahun 2006, Sidang Majelis Komisi adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi untuk menilai ada atau tidak adanya
bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya
pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam
undang-undang.

6. Sidang Majelis Komisi


Menurut Pasal 1 angka (24) PerKom No. 1 Tahun 2006, Sidang Majelis Komisi adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi untuk menilai ada atau tidak adanya
bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya
pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif.

7. Putusan Komisi

Menurut Pasal 1 angka 18 PerKom No. 1 Tahun 2006, Putusan Komisi adalah penilaian
Majelis Komisi yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau
tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Penilaian tersebut berdasarkan Hasil Pemeriksaan
Lanjutan dan seluruh surat atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya
termasuk pendapat atau pembelaan terlapor (Pasal 54 ayat (1) PerKom No. 1 Tahun 2006).
Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran, Majelis Komisi dalam Putusannya menyatakan
terlapor telah melanggar ketentuan undang-undang dan menjatuhkan sanksi administratif sesuai
dengan ketentuan undang-undang, di mana putusan tersebut terbuka untuk umum. Hal ini
seperti yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999 dan Pasal 57 PerKom
No. 1 Tahun 2006.

Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi,
pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya
kepada Komisi.
Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Pelaku usaha yang tidak
mengajukan keberatan dalam jangka waktu yang telah di tentukan dianggap menerima putusan
Komisi. Apabila ketentuan tersebut tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

H. Sanksi

Pasal 36 Undang - undang Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan
penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga
berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti
Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2)
UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan
mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

1. Sanksi Administratif

Sanksi administritif dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuaan Undang
Undang. Tindakan administrasi tersebut dapat berupa :

Penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang sebelumnya (oligopoli, penetapan harga,


pembagian wilayah dll)
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal;0
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat;
Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham;
Penetapan pembayaran ganti rugi;
Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
2. Pidana Pokok

Pelanggaran terhadap ketentuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 4,


Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27,
dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua
puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20
sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 5 ( lima ) bulan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 ( satu miliar rupiah ) dan setinggi-tingginya
Rp. 5.000.000.000 ( lima miliar rupiah ) atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 ( tiga ) bulan.

3. Pidana Tambahan

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :

Pencabutan izin usaha;


Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun;
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada
pihak lain.

Ketentuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak berlaku atau dikecualikan pada :

Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-


undangan yang berlaku;
Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang
dan atau menghalangi persaingan;
Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok
kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan;
Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas;
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Selain dari ketentuan ketentuan diatas, Undang Undang tentang anti monopoli juga tidak
berlaku bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau badan yang ditunjuk oleh pemerintah.
Yang mana, monopoli atau pemusatan kegiatan tersebut berkaitan dengan produksi atau
pemasaran barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara.
PENUTUP

Tercapainya tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 masih tergantung pada
beberapa faktor, yakni Pertama, kemampuan undang-undang itu sendiri dalam memberikan
sejumlah rambu-rambu sebagai pengaturannya; patut dinilai apakah rambu-rambu tersebut
realistis untuk saat ini untuk menciptakan reformasi dalam hukum bisnis. Kedua, tergantung
pada struktur hukum bisnis yang berlaku di Indonesia pada saat ini. Usaha untuk
mempaduserasikan undang-undang ini dengan berbagai undang-undang yang mengatur
persoalan bisnis di negara kita perlu dilakukan dan memerlukan waktu. Dengan kata lain,
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini masih harus ditindak lanjuti dengan usaha
reformasi hukum bisnis pada umumnya.

Selain itu dapat terlaksana atau tidaknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan tergantung
pada political will dan political commitment pemerintah untuk melaksanakannya dan harus ada
kemauan kuat, bukan kemauan setengah hati. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk
melakukan penataan kelembagaan yang memungkinkan dilaksanakannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dan menyiapkan personel yang handal sebagai pendukungnya. Untuk itu
diperlukan kajian yang mendalam dan komprehensif bukan hanya pada materi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 saja tetapi juga terhadap semua komponen hukum bisnis yang
berhubungan dengan hal tersebut. Selain itu, pengkajian dan sosialisasi terhadap masyarakat
juga penting dalam mewujudkan terlaksananya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
SUMBER PUSTAKA

1. Undang undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
2. Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,
3. Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia
4. http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-di-susun-guna.html
5. http://samsonpasaribu.blogspot.co.id/p/blog-page_2.html
6. http://digilib.unila.ac.id/8210/12/II.pdf

Anda mungkin juga menyukai