Anda di halaman 1dari 32

A.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United

Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas

pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10

dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14

negara berkembang.

Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru

dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah

memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik

kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya

memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang

nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan

kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak

tidak bisa diarahkan.

Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik

membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan

pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak

mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak

memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak

pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia

terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan
pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14

negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah

Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan

membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya

input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga

kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis

mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala

dinamikanya.

B. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di

Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah

dengan Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia,

dan Solusi Pendidikan di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui

masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari

kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.

2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan

serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini

sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan

dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.

BAB II

LANDASAN TEORI

Sebelum kita membahas mengenai permasalahanpermasalahan pendidikan di Indonesia,

sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan

memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan

pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan,

proses perbuatan, cara mendidik.

Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat

pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang

merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya


budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak);
dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita
memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara,
1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat

dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan

jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan

ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan

ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka

dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika

memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia

pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya

adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk ada sebagai dirinya yaitu

manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.

Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek

pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari

tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang

terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan

itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.

Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak

terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya

mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya

itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak

tercerabut dari akar tradisinya.


BAB III

PEMABAHASAN

A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia

pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami sakit. Dunia pendidikan yang sakit ini

disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi

dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan

manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan manusia

robot. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan

kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara

belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi

cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir.

Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai

macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan

sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai

sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering

digembar-gemborkan sebagai pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan siap

pakai di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan

persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak

bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri.
Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil

bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya

justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau

menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah

pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta

didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi

mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang

diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai

safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-

waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja

yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini

tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam

pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka

yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai

pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini

hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.

Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru

bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar

budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana
kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu

strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam strategi kebudayaan Asia, sebab Asia

kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi,

sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis

kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai

sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan

sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan

kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai

keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan

menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :

Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional,

Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal

ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa

selalu terjaga dengan baik.

Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon

pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari

pendidikan.

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk.

Faktor-faktor tersebut yaitu :


1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang

gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan

tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi

tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki

gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan

sebagainya.

2. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki

profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam

pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,

menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan

penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas

mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di

Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih

kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan

profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak

terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus

yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal

distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah
atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang

kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga

empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.

Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun

kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik,

ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).

Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun

mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin

ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di

Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP

dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan

kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus

secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi

pekerti kepada anak didik. Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan

kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para

siswanya.

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan

tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin

kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang

menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi

oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.


3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas

pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa

melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les

pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang

pulsa ponsel, dan sebagainya.

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS)

agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam

pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan

memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan

profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan

tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas

rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang

muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai

taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS

di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai

dengan amanat UU Guru dan Dosen.

4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan

kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai
misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional

sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004),

siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi

matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini

prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga

yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme

(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di

seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di

dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.

Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di

bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA

(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur

menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat

terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0

(Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan

ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan

penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan

soal pilihan ganda.


Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-

TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi

siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk

Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77

universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya

mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data

Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen

Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD

pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk

kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8%

(9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.

Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan

sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan

strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan

tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS

(1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka

yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup

tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.

Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus

sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah

ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan

kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional

terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya

biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.

Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi

(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.

Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp

1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa

mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah

yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada

realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,

Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan

adanya unsur pengusaha.


Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah

Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan

Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena

yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat

dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan

Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab

negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan

(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum

jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu

Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan

warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi

Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN

dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN

sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi

favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak

lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar

negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor

pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar

seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen

(Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan

dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id).

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,

seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan

RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat

dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang

didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan

dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),

Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan

berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan

tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah

memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah

tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan

mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati

pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak

berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi

pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh

negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan


Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan.

Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang

wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari

SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan

bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman,

Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi

yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang

menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah

atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah

sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan

dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan

tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal

keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

C. Solusi Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya

kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua

solusi yaitu:
Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan

sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem

ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam

konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain

meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk

pendanaan pendidikan.

Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan

pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi

siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk

meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping

diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru

melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan

untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan

meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan

sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit

dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM

tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.

BAB IV

PENUTUP
A. Simpulan

Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-

faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik,

mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya

relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun

sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem

pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia

yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan

zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama

antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di

Indonesia.
1. Masalah-Masalah Pokok Pendidikan di Indonesia

Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka telah memberikan
hasil yang cukup mengagumkan sehingga secara umum kualitas sumberdaya manusia Indonesia
jauh lebih baik. Namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita masih ketinggallan
jauh, oleh karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa kita tidak menjadi
tamu terasing di Negri sendiri terutama karena terjajah oleh budaya asing dan terpaksa menari
diatas irama gendang irang lain. Upaya untuk membangun sumber daya manusia yang berdaya
saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang
relatif ringan. Hal ini di sebabkan dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah
internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadapi sejumlah masalah
yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya
kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi karena sangat
berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beberapa masalah internal pendidikan yang
dihadapi, antara lain sebagai berikut.

1. Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik


yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identik dengan ciri-ciri kemiskinan.

2. Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA),


matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut
merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.

3. Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standart yang
sudah ditentukan.

4. Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan yang disebut dengan relevansi


pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung
terus meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga
terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh
pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat
modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja
jauh lebuh kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.

5. Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan moral yang menyebabkan lunturnya


tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial, seperti terjadinya tawuran pelajar dan
kenakalan remaja. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting menjadi
landasan akhlak dan moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada peserta
didik sejak dini. Dengan demikian, hal itu akan menjadi landasan yang kuat bagi
kekokohan moral dan etika setelah terjun ke masyarakat. Masalah-masalah diatas erat
kaitanya dengan kendala seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi
besarnya jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah geografis Indinesia cukup
luas. Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat
dengan masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya
disebabkan oleh adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro lembaga
pendidikan, tetapi karena juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti
rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan. Sistem dan dan tata
kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu sistem
pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu peserta didik
dan lulusannya. Kebijaksanaan dan progran yang ditujukan untuk mengatasi berbagai
permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik karena fenomena dan penyebab
timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.[2]

Sistem pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat
sebagai supra sistem. Pembanguana sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak
singkron dengan pembanguanan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai
sistem dengan sistem sosial budaya sebagai supra sistem tersebut, dimana sistem pendidikan
menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem
pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya suatu permasalahan intern dalam sistem
pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri.
Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial
budaya dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal,
serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya diluar sistem persekolahan yang berkaitan dengan
mutu hasil belajar tersebut.

Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat


kompleks, menyangkut banyak komponen dan melibatkan banyak pihak.

Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita
dewasa ini, yaitui:

1. Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.

2. Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang
mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.

Yang pertama mengenai masalah pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi,
dan juga efisiensi pendidikan.[3]

Seperti telah dikemukakan diatas, pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan
yang telah menjadi kesempatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Masalah
yang dimaksud adalah:

1. 1. Masalah Pemerataan Pendidikan

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan
nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya
bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.

Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat


menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh
pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembanguana sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan.

Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia
sekolah yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya
fasilita pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita Undang-Undang No 4
tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17
berbunyi:

Tiap-tiap warga Negara republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid
suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah
itu dipenuhi.[4]

Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI pasal 10 ayat 1 menyatakan: semua
anak yang berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di
sekolah, sedikitnya 6 tahun ayat 2 menyatakan: belajar di sekolah agama yang telah mendapat
pengakuan dari menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Landasan yuridis pemerataan pendidika tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan
pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai akibat
penjajahan.

Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia
sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan
kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik mereka itu
nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak
terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan.

Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan
tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan, maka
setelah upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan mutu
pendidikan. Hal ini akan dibicarakan pada butir tentang masalah mutu pendidikan.

Khusus pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang
memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan
pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta
relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan saksama.

Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan


didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga Negara perlu di
berikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang pendidikan menengah dan terutama pada jenjang
pendidikan yang tinggi, kebijakan pemertaan didasarkan atas pertimbangan kualitatif dan
relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga kerja, dan keperluan
pengembangan masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai keseimbangan
antara faktor minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan
yang seluas-luasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya yang
dibutuhkan dalam pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.

Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita.
Didalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 tengtang sistem pendidikan nasional III tentang hak
warga Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5 menyatakan: setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Bahkan dalam pasal 7 mengenai hak
telah di tegaskan sebagai berikut: penerimaan seorang peserta didik dalam suatu satuan
pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras,
kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan
kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Perkembangan iptek menawarkan beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat
memperluas pelayanan kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu belajarnya bervariasi dari
beberapa jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunan, melalui proses tatap muka sampai pada
lingkungan alam yang dapat mendung.[5]

1. 2. Masalah Mutu Pendidikan

Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang
diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai
produsen tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran
tesebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen
tenaga dengan sistem tes unjuk kerja. Lazimnya masih dilakukan pelatihan dan pemagangan bagi
calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan, dan berkarya.

Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan pendidikan
nasioanl dijadikan kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah keluaran dari sistem pendidikan
menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, anggota masyarakat yang sosial yang bertanggung
jawab. Dengan kata lain keluaran ini mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan
yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran seperti tersebut
adalah nurturant effect. Meskipun disadari bahwa hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu
tidak semata-mata hasil dari sistem pendidikan itu sendiri. Yang menjadi persoalan ialah bahwa
cara pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Dan pada umumnya hanya dengan
mengasosiasikan dengan hasil belajar yang sering dikenal dengan EBTA atau hasil sipenmaru.

Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu.
Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu.
Jika tidak terjadi belajar secara optimal akan menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka
hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Berarti pokok permasalahan
mutu pendidikan lebih terletah pada masalah pemprosesan pendidikan. Selanjutnya kelancara
pemprosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik,
tenaga kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran, dan juga masyarakat sekitar.

Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu, didalam Tap MPR RI
tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembanguan pendidikan diletakkan pada
peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan khususnya untuk memacu untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu
lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika.
Umumnya pendidikan di seluruh tanah air pada umumnya menunjukkan daerah pedesaan lebih
rendah dari daerah perkotaan.[6]

1. 3. Masalah Efisiensi Pendidikan

Pada hakikatnya masalah efisiensi adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam
pemanfaatan dana dan sumber daya manusia.

Efesiensi artinya dengan menggunakan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh hasil
yang sebesar-besarnya. Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan dana yang
terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas tinggi. Oleh sebab itu,
keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak diantara semua unsur dan unit, baik antar
sekolah negeri maupun swasta, pendidikan sekolah maupun luar sekolah, antara lembaga dan
unit jajaran depertemen pendidikan dan kebudayaan.

Para ahli banyak mengatakan bahwa sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang efisien. Hal
ini tampak dari banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang belum dapat pelayanan
pendidikan, banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang dapat pelayanan yang semestinya bagi
anak-anak yang lemah maupun yang luar biasa cerdas dan genius.

Oleh karena itu, harus berusaha untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan menjadi
efisien.[7]

Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikn


mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya
hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi.

Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting adalah:

a) Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan

b) Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan

c) Bagaimana pendidikan diselenggarakan

d) Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.

Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga kependidikan.


Masalah pengangkatan terletak pada kesenjanagn antara stok tenaga yang tesedia dengan jatah
pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakgir ini jatah pengangkatan setiap
tahunnya hanya sekitar 20 % dari kebutuhan tenaga lapangan. Sedangkan persediaan tenaga siap
di angkat lebih bear daripada kbutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80%
tenaga yang tersedia tidak segera difungsikan. Ini terjadi kemubadziran yang terselubung, karena
biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian. Dan tenaga
kependidikan khususnya guru tidak disiapkan untk berwirausaha.

Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami
kepincanagn, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima guru
baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru bidang
studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga di
tempatkan didaerah sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap
mengajarkan bidang studi diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang
direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan
karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga kerja yang tesedia
didaerah terpencil.

Masalah pengembanagan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada


saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya
penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan
pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk
dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan
antara saat di rencanakan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan.dan pendidikan
berlangsung kurang efisien dan efektif.[8]

1. 4. Masalah Relevansi Pendidikan

Maslah relevensi adalah masalah yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan
pembangunan nasional setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan masyarakat, baik dalam
jangka pendek, maupun dalam jangka panjang.

Pendidikan merupakan faktor penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu,
perlu keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan pembangunan
nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di rencanakan berdasarkan
kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional, serta memperhatikan ciri-ciri ketenagaan
yang di perlukan sesuai dengan keadaan lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.[9]

Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumber daya
manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem
pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu
masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.

Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam
seperti sektor produksi, sektor jasa. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem
pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang
aktual maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan
kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan dengan
kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang pekerjaan yang ada antara lain
sebagai berikut:

a) Status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.

b) Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap
kembang.

c) Peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai
pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak tersedia.

Dari keempat macam masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika
pendidikan:

a) Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga Negara yang
butuh pendidikan dapat ditampung daalm suatu satuan pendidikan.

b) Dapat mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemprosesan pendidikan dapat
mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

c) Dapat terlaksana secara efisien artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan
dan tujuan yang ditulis dalam rancangan.

d) Produknya yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendiidkan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan. [10]

Pada dasarnya pembangunan dibidang pendidikan tentu menginginkan tercapainya pemerataan


pendidikan dan pendidikan yang bermutu sekaligus. Ada dua faktor yang dapat dikemukakan
sebagai penyebab mengapa pendidikan yang bermutu belum dapat diusahakan pada saat
demikian, yaitu:

Pertama: gerakan perluasan pendidikan untuk melayani pemerataan kesempatan pendidikan bagi
rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan pengerahan dana dan daya.

Kedua: kondisi satuan-satuan pendidikan pada saat demikian mempersulit upaya peningkatan
mutu karena jumlah murid dalam kelas terlalu banyak, pengerahan tenaga pendidik yang kurang
kompeten, kurikulum yang belum mantap, sarana yang tidak memadai.

Meskipun demikian pemerataan pendidiakn tidak dapat diabaikan karena upaya tersebut,
terutama pada saat suatu bangsa sedang memulai membangun mempunyai tujuan ganda, yaitu
disamping tujuan politis juga tujuan pembanguan yaitu memberikan bekal dasar kepada warga
Negara agar dapat menerima informasi dan memiliki pengetahuan dasar untuk mengembangkan
diri sehingga dapat perpatisipasi dalam pembanguanan.
Dalam uraian tersebut tampak bahwa masalah pemerataan berkaitan erat dengan masalah mutu
pendidikan.

Bertolak dari gambaran tersebut terlihat juga kaitannya dengan masalah efisiensi. Karena kondisi
pelaksanaan pendidikan tidak sempurna, maka dengan sendirinya pelaksanaan pendidikan dan
khususnya proses pembelajaran berlangsung tidak efisien. Hasil pendidikan belum dapat
diharapkan relevan dengan kebutuhan masyarakat pembangunan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.[11]

1. 3. Solusi Pemecahan Problematika Pendidikan di Indonesia

2. 1. Solusi Masalah Pemerataan Pendidikan

Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah
ditempuh melalui cara konvesional dan cara inovatif.

Cara konvesional antara lain:

a) Membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.

b) Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).

Sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah
membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau
menyekolahkan anaknya.

Cara Inovatif antara lain:

Sistem pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem, sistem
tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.

a) SD kecil pada daerah terpencil

b) Sistem guru kunjung

c) SMP terbuka

d) Kejar paket A dan b

e) Belajar jarak jauh, seperti di universitas terbuka.[12]


1. 2. Solusi Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan

Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan,
namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada perbaikkan kualitas
komponen pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada
gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar
peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.

Upaya pemecahan masalah masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang
bersifat sebagai fisik dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:

a) Seleksi yanglebih rasional terhadap masukan mentah, khususnay untuk Slta dan PT.

b) Pengembanagn kemanpuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.

c) Penyempurnaaan kurikulum

d) Pengembanagan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar

e) Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran

f) Peniungkatan adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran

g) Kegiatan pengendalian mutu.[13]

1. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan

Permasalahan pokok pendidikan sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah


pembangunan mikro, yaitu masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan
sendiri. Masalah mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah
di luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah mikro
pendidikan. Masalah makro ini meliputi masalah perkembangan internasional, masalah
demografi, masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta masalah perkembangan regional.
Masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya
masalah pendidikan, yaitu:

1. 1. Perkembangan Iptek Dan Seni

1. Perkembangan Iptek

Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam
semesta , dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Sebagai contoh hubungan antara pendidikan dan iptek,
misalnya sering suatu teknologi baru yang digunakan suatu proses produksi menimbulkan
kondisi ekonomi sosial baru lantaran perubahan persyaratan kerj, dan mungkin juga penguraian
jumlahtenaga kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai
pada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa mempengaruhi perubahan
isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan pendidikan, otomatis
juga sarana sarana penunjangnya seperti sarana laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan
tersebut tentu juga membaw masalah dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya.
Contoh di atas memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan.
Di samping pengaruh tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam sistem
pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan aksentuasi tujuan
yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru dan gedung
sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka, pengadaan guru relatif cepat seperti dengan
program diploma, perlindungan terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Hampir
setiap inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti
membawa hasil. Kedua, pada dasarnya orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru.
Masalahnya ialah bagaimana cara memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya.
Setiap inovasi mengandung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan
prinsip-prinsip) dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya).

1. Perkembangan Seni

Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang
menghasilkan sesuatu yamg indah. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan
berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam
menemukan keindahan. Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia
seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan
dominan afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping
domain kognitif yang sudah digarap melalui program /bidang studi yang lain. Dilihat dari segi
lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami
perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.[14]

1. 2. Laju Pertumbuhan Penduduk.

Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:

1. Pertambahan Penduduk.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan
beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini berarti
beban pembangunan nasional menjadi bertambah.

Pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan
angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk
usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja,
dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian
terjadi pergesaran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung
lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat
lanjutan, permintaan untuk lanjutan keperguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk
usia tua yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non formal.

1. Penyebaran Penduduk

Penyebaran penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat
penduduk, terutama di kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu daerah
pedalaman khususnya di daerah terpencil yangberlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau.
Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam penyediaan sarana
pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil untuk melayani kebutuhan akan
pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD yang reguler. Belum lagi kesulitan
dalam hal penyediaan dan penempatan guru.[15]

1. 3. Aspirasi Masyarakat

Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya
aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini
mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dianggap memberi
jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga sosial. Gejala yang timbul ialah
membanjirnya pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota , di
samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal. Beberapa
hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada berbagai jenis dan
jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa perkelas melebihi yang
semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak , diadakannya kesempatan belajar bergilir
pagi dan sore dengan pengurangan jam belajar, kurang sarana belajar, kekurangan guru, dan
seterusnya. Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat
(yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya . bagi
masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai
dan baik.[16]

1. 4. Keterbelakangan Budaya Dan Sarana Kehidupan.

Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang
menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi
masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai
dan baik. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi mandeg, tidak
mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang berubah jika tidak
seluruhnya secara utuh. Perubahan kebudayaan terjadi karena ada penemuan baru dari luar
maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material
seoerti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang
bersifat non matreial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya
menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena:

a) Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)


b) Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami atau
karena dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.

c) Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.

Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:

a) Masyarakat daerah terpencil.

b) Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.

c) Masyarakat yang kurang terdidik.

Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut
berperan serta dalam pembangunanmsebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi
inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaimana cara
menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Jika
sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terbelakang kebudayaanya berarti melibatkan
mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.[17]
Pendidikan menjadi salah satu faktor penentu kemajuan bangsa. Sayangnya, pendidikan di
Indonesia masih belum merata dan membutuhkan peningkatan kualitas.

Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, motivator dan trainer pendidikan,
Namin AB Ibnu Solihin menyebutkan, setidaknya ada empat permasalahan pendidikan yang
masih dihadapi di Indonesia.

BERITA REKOMENDASI

Orangtua Diimbau Berikan Hak Pendidikan pada Anak

Khawatir 1.200 Siswa Tak Tertampung, Kang Dedi Sewa Gedung Sekolah Swasta

Dorong Pendidikan Berkualitas, Guru Diimbau Tingkatkan Performa

"Masalah pertama adalah kurikulum. Sebenarnya pergantian kurikulum itu perlu karena
merupakan inovasi dari kurikulum sebelumnya," ujarnya saat menjadi pembicara di Indonesia
Youth Conference (IYC) 2015, belum lama ini.

Namin berpendapat, kurikulum 2013 adalah kurikulum yang bagus, namun sistem penilaiannya
rumit. Selain itu, CEO gurubicara.com ini juga menyayangkan dihapuskannya pelajaran
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada kurikulum 2013.

"Padahal menghadapi MEA itu keterampilan menggunakan teknologi sangat penting. Sehingga
saya sendiri akan menyetujui diberlakukannya kurikulum 2013, tentunya dengan beberapa
perbaikan," lanjutnya.

Permasalahan berikutnya, yakni guru. Menurut dia, guru merupakan ujung tombak pendidikan.
Tetapi, saat ini guru minim mendapatkan pelatihan yang aplikatif dan berkualitas.

"Guru banyak yang masih mengajar pakai cara zaman dahulu, padahal sekarang sudah zaman
digital. Ditambah siswa yang dihadapinya lahir di zaman digital. Praktik mengajar seperti ini
kebanyakan terjadi di sekolah-sekolah negeri. Bahkan, kepala sekolahnya sendiri banyak yang
usinya tua, dan sudah hampir pensiun," tuturnya.

Ketiga, kata Naiman, budaya literasi di kalangan guru masih sangat lemah. Sedangkan
permasalahan keempat buku teks pelajaran yang digunakan masih lower order thinking skill
(LOTS).

"Misalnya, membahas tentang sunat. Buku di Indonesia masih sekadar membahas apa itu sunat.
Padahal kalau buku di luar negeri sampai detail membahas siapa orang pertama yang disunat dan
sebagainya," tandas pria yang pernah menjadi guru lebih dari 10 tahun tersebut.

Anda mungkin juga menyukai