Anda di halaman 1dari 18

PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

PERPAJAKAN UNTUK KEPENTINGAN


PENERIMAAN NEGARA
(Tugas Mata Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana)
Dosen : Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

Oleh :

JAMIL HANDY
147005085
(Hukum Pidana)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
Kata Pengantar

Sesungguhnya seluruh pujian dan rasa syukur tak terkira kepada Allah
SWT Tuhan Segala Awal dan Akhir, saya ucapakan yang menjadikan memiliki
tambahan pengetahuan dan pengalaman selama proses pembuatan makalah yang
berjudul Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan Untuk Kepentingan
Penerimaan Negara hingga akhirnya dapat diselesaikan dengan baik tanpa ada
halangan yang berarti. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pembaharuan Hukum Pidana pada Program Studi Magister Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tidak berlebihan pula bila kami mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.Hum, selaku dosen Mata
Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat bermanfaat sehingga akhirnya makalah ini dapat selesai
dikerjakan.
Akhir kata, setiap manusia pada prinsipnya sedang mengalami proses
belajar menuju yang lebih baik, tentu terdapat banyak kekurangan yang tidak
dapat dipungkiri. Untuk itu, saya mohon maaf dengan harapan di kemudian hari
akan lebih baik. Kiranya makalah yang sederhana ini akan memberikan catatan
berharga baik kepada saya sendiri maupun kepada yang membacanya.

Medan, Januari 2016


Hormat Saya,

Jamil Handy

i
Daftar Isi

Hal.

Kata Pengantar ............................................................................................... i

Daftar Isi ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak


Pidana Di Bidang Perpajakan ................................................. 3
B. Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan Untuk
Kepentingan Penerimaan Negara ........................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................... 14

Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak merupakan sektor yang cukup dominan dalam pembiayaan


pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat baik
materiil dan spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut diperlukan anggaran
pembangunan yang cukup besar. Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan
penerimaan untukpembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana
yang berasal dari dalam negeri, yaitu pajak. Secara ekonomi, pemungutan pajak
merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat. Taraf hidup masyarakat akan meningkat diperlukan
anggaran yang selalu meningkat pula. Sekarang ini pajak merupakan sumber
penerimaan yang dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).

Hampir 70 persen penerimaan negara berasal dari sektor pajak, maka


memaksimalkan perolehan pajak perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Namun bersamaan dengan upaya memaksimalkan perolehan dari sektor pajak ini,
muncul juga pelanggaran-pelanggaran atau tindak pidana di bidang perpajakan
dengan berbagai bentuk dan dimensinya yang mengancam kelangsungan peranan
pajak dalam pembiayaan pembangunan. Untuk itu digunakanlah hukum pidana
(penal) yang merupakan salah satu sarana untuk mengatasinya. Dalam lingkup
kebijakan penanggulangan kejahatan, hukum pidana hanya merupakan salah satu
upaya dari beberapa upaya penanggulangan kejahatan, namun penggunaan hukum
pidana dapat tidak berfaedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak terarah pada
prinsip tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat.

Dalam penegakan hukum di bidang perpajakan, Undang-Undang


Perpajakan memberikan kewenangan penuh kepada Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan atau
penyidikan dalam hal terjadinya tindak pidana perpajakan. Penyidikan tindak
pidana perpajakan yang dilakukan oleh PPNS DJP seringkali memakan waktu
yang lama. Oleh karena itu, salah satu kebijakan hukum pidana dalam

1
penanggulangan tindak pidana perpajakan adalah dengan penggunaan sarana
penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan untuk kepentingan penerimaan
negara. Kebijakan ini apabila tidak dilaksanakan dengan pedoman dan parameter
prosedur operasional yang jelas maka dapat menghasilkan kebijakan aplikastip
yang bias, cenderung diskriminatif dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu,
perlu dikaji secara kebijakan hukum pidana terkait dengan penggunaan wewenang
penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan untuk kepentingan penerimaan
negara.

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam makalah


ini antara lain :

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana


di bidang perpajakan?
2. Bagaimanakah penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan untuk
kepentingan penerimaan negara?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan.

Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional


yang sangat penting. Mengingat perannya yang begitu besar, maka pengamanan
dari sektor pajak ini sangat diperlukan. Salah satu cara pengamanan adalah adanya
ketentuan-ketentuan hukum pidana didalam peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan. Adanya ketentuan ini pada hakekatnya untuk memberikan
penekanan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan.
Adanya hukum pidana dalam perundang-undangan dapat bersifat otonom dan
dapat bersifat komplementer. Bersifat otonom dapat diartikan bersifat murni
dalam peraturan pidana itu sendiri, baik dalam merumuskan perbuatan yang
dianggap bersifat melawan hukum dalam menentukan pertanggungjawaban
pidananya, maupaun dalam penggunaan sanksi pidana dan tindakan yang
diperlukan. Bersifat komplementer dapat diartikan kedudukan hukum pidana
bersifat menunjang penegakan norma yang berada di bidang hukum lain, misalnya
bidang perpajakan. Penggunaan hukum pidana atau ketentuan pidana ini
merupakan suatu sarana pendukung ditegakkannya peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

Adanya hukum pidana (sanksi pidana) dalam peraturan perundang-


undangan dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau hulprecht bagi hukum
tata pemerintahan, karena penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk
menegakkan hukum pemerintahan termasuk dalam hal ini hukum perpajakan,
karena sanksi pidana merupakan sanksi pemaksa. Penggunaan hukum pidana
dalam menanggulangi tindak pidana atau kejahatan merupakan bagian dari
kebijakan kriminal (kebijakan hukum pidana). Menurut Marc Ancel kebijakan
kriminal adalah the rational organization of the controlof crime by society, yakni
usaha yang rasional dari masyarakat alam menanggulangi kejahatan atau tindak
pidana. Berdasarkan pendapat Marc Ancel tersebut, Sudarto mengemukakan
definisi singkat mengenai politik kriminal sebagai suatu usaha yang rasional dari

3
masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Disamping itu, Sudarto
mengemukakan tiga pengertian kebijakan kriminal, yaitu :
a. Dalam arti sempit politik kriminal atau kebijakan kriminal digambarkan
sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti yang lebih luas kebijakan kriminal merupakan keseluruhan fungsi
dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan
dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas kebijakan kriminal merupakan keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi
yang bertujuan untuk mengekkan norma-norma sentral masyarakat.

Aktualisasi politik hukum pidana memainkan peranan penting dalam


upaya penanggulangan tindak pidana bidang perpajakan. Namun demikian, beban
yang ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi kapasitas yang
dimilikinya. Artinya perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan dalam penerapan
hukum pidana tersebut. Politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian
pula dari penegakan hukum. Disamping itu, usaha penanggulangan lewat
pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada dasarnya merupakan bagian
integral dari usaha perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan
bagian integral dari kebijakan politik sosial. Kebijakan sosial dapat diartikan
sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, didalam social policy
tercakup didalamnya makna social welfare policy dan social defence policy.

Kebijakan kriminal pada dasarnya integral dengan kebijakan sosial atau


kebijakan pembangunan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah seperti
perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang
sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar, harus pula diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebiajkan sosial politik yang telah
ditetapkan.
Aktualisasi politik hukum pidana harus pula dilakukan dengan aktualisasi
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan. Sudah barang tentu, pendekatan

4
kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam hukum pidana, tapi juga pada
pembangunan hukum pada umumnya, tidak terkecuali dalam penanggulangan
tindak pidana di bidang perpajakan di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, maka Sudarto menulis, bahwa : Menghadapi


masalah sentral diatas, untuk menentukan perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus
memperhatikan pula beberapa hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, merata materil spiritual
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini maka penggunaan hukum
pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran
terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materil dan spiritual) terhadap warga
masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost benefit principle)
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai
ada kelampauan beban tugas (overbelasting)

Aktualisasi politik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana


perpajakan di Indonesia diperlukan karena kejahatan bidang perpajakan
merugikan masyarakat dan merugikan keuangan negara, mendatangkan korban
tidak hanya pelaku tetapi juga negara. Selain itu, pelaku tindak pidana perpajakan
menghambat dan menghalangi cita-cita bangsa untuk memajukan kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia, sehingga penggunaan sanksi hukum pidana berupa
pidana denda dapat mengembalikan uang pungutan dan pemotongan pajak untuk
pendapatan penerimaan negara.
Penggunaan sanksi pidana bidang perpajakan ini sesuai dengan tujuan
nasional yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan

5
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Aktualisasi politik hukum pidana dalam tahapan hukum pidana secara
umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian sanksi pidana dalam suatu
peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui
beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap formulasi, yakni tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat
undang-undang (sebagai kebijakan legislatif)
2. Tahap aplikasim yakni tahap pemberian pidana atau penerapan pidana oleh
penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif)
3. Tahap eksekusi, yakni tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang
berwenang (sebagai kebijakan eksekutif)

Mekanisme penegakan hukum pidana ketika dilihat sebagai suatu proses


maka ketiga tahapan ini diharapkan merupaka suatu jalinan mata rantai yang
saling berkaitan dalam suatu kebulatan sistem. Penerapan sanksi pidana tidak
mungkin ada jika sebelumnya tidak ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan pada tahap formulasi. Demikian pula, penerapannyapada tahap aplikasi
dan tahap eksekusi pidana tidak mungkin terjadi jika pada kenyataannya sanksi
pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan tidak pernah diterapkan
atau diberlakukan sama sekali. Ketentuan pidana dalam perubahan undang-
undang Nomor 28 Tahun 2007 yang diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal
43 secara tegas mengkualifikasikan perbuatan kejahatan dan pelanggaran,
termasuk pasal yang merupakan ketentuan kerahasiaan.

Pengaturan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda sebagai berikut :


1. Pidana penjara dan atau denda (karena melakukan tindak kejahatan terhadap
perpajakan) dapat dilipatduakan, apabila melakukan tindak pidana perpajakan
sebelum lewat waktu satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.
2. Penuntutan tindak pidana terhadap pejabat hanya dilakukan apabila ada
pengaduan dari orang yang kerahasiaannya dilanggar. Jadi, pidana terhadap
pejabat merupakan delik aduan

6
3. Tindak pidana di bidang perpajakan karena melakukan pelanggaran di pidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
4. Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau 10
(sepuluh) tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,
berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan.

Mengutip pendapat yang dikemukakan oleh J. Remmelink, bahwa fungsi


hukum pidana sejak awal telah ditetapkan berupa rumusan sanksi pidana harus
dilandaskan kepada dua asas utama yang merupakan Fundamentalnormen Des
Rechstaat (norma nomra dasar negara hukum), yaitu asas proporsionalitas dan
asas subsidiaritas. Asas prorposional mengutamakan keseimbangan antara cara
dan tujuan dalam arti kita tidak perlu membakar sebuah rumah untuk menangkap
tikus. Asas proporsionalitas ini merupakan landasan bekerja penegak hukum
untuk selalu mempersoalkan seberapa jauh suatu penyimpangan perilaku
diperlukan hukum pidana (sanksi pidana dan pemberian pidana/pemidanaan).
Asas subsidiaritas merupakan petunjuk kepada penegak hukum dalam
menemukan solusi dari suatu masalah hukum dimana dikehendaki agar dicari atau
digunakan cara yang paling sedikit menimbulkan risiko kerugian.

Dari berbagai uraian diatas, terlihat bahwa penggunaan hukum pidana


dalam ranah hukum perpajakan merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir
apabila upaya administrasi telah dilaksanakan. Hal ini dapat dipahami bahwa
corak hukum perpajakan bertujuan untuk penerimaan negara yang sebesar-
besarnya, sehingga penggunaan hukum pidana bukan sekedar penghukuman bagi
pelaku tindak pidana perpajakan, namun juga harus dilihat unsur kepentingan
penerimaan negara. Apabila penerimaan negara dapat diselamatkan melalui
penyelesaian upaya hukum administrasi atau penghentian tindakan penegakan
hukum pidana berupa penyidikan maka upaya tersebut harus dilihat sebagai upaya
pemenuhan penerimaan pendapatan negara. Kepentingan penerimaan negara
merupakan hal yang lebih penting dan utama dibandingkan penghukuman pidana
kepada pelaku tindak pidana perpajakan.

7
B. Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan untuk Kepentingan
Penerimaan Negara

Hukum pidana bersifat ultimum remedium yang sesuai asas kegalitas


telah diformulasikan dalam ketentuan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Rumusan sanksi pidana
dalam Pasal 13A UU KUP menentukan Pengenaan sanksi pidana merupakan
upaya terkahir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan terdapat bukti
permulaan ditemukan unsur pidana. Namun bagi wajib pajak yang melanggar
pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tapi sanksi administrasi

Uraian tersebut membuktikan bahwa perumusan sanksi pidana terhadap


pelaku Tindak Pidana bidang Perpajakan dari perancang Undang-Undang masih
memberikan kesempatan kepada pelaku yang melanggar pertama kali, karena
rumusan sanksi pidana pada hakekat nya diberlakukan terhadap pelaku untuk
mengembalikan kerugian pendapatn penerimaan keuangan negara, bukan pidana
kurungan/penjara.

Perumusan sanksi pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam


Pasal 38, 39, 39A, 40, 41, 41A, 41B, 41C, 42, 43, 43A UU KUP pada dasarnya
menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana
denda yang merupakan sanksi pidana yang bersifat kumulatif (gabungan) terhadap
pelaku tindak pidana bidang perpajakan, dengan pengertian mengutamakan
penerapan sanksi pidana penjara terlebih dahulu dan kemudian diikuti penerapan
sanksi pidana kurungan dan atau pidana denda secara kumulatif.

Perumusan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan


seperti ini menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana perpajakan dikenakan sanksi
pidana ganda yang cukup berat, yaitu diterapkan sanksi pidana penjara kurungan
di satu sisi dan sekaligus dikenakan sanksi pidana denda. Akan tetapi, ketika
sanski pidana denda tidak dapat dibayar dengan subsidair sebagaimana diatur
dalam Pasal 30 KUHP, maka sangat merugikan pendapatan negara.

Ketentuan pidana di bidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai


tindak pidana khusus, sehingga penanganannya dilaksanakan dengan secara

8
khusus melalui proses penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1),
ayat (2) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i,j dan ayat (3) UU KUP tentang penyidikan tindak
pidana perpajakan yang dilakukan oleh penyidik khusus yaitu Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak.

Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan merupakan tindakan yang


dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan serta menemukan
tersangkanya sebelum dilimpahkan kepengadilan. Penyidik merupakan Pejabat
PNS dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana Pajak. Tindak pidana
tersebut meliputi;

a. Kealpaan sebagaimana menurut pasal 38 UU KUP


b. Kesengajaan sebagaimana menurut pasal 39 UU KUP
c. Kesengajaan Penerbitan/Penggunaan Faktur Pajak (pasal 39A UU KUP)
d. Sanksi Pidana terhadap Pejabat (pasal 41 UU KUP)
e. Sanksi Pidana bagi Wajib Pajak meberikan keterangan (pasal 41A UU KUP)
f. Sanksi Pidana bagi yang menghalangi atau mempersulit penyidikan (41B UU
KUP)
g. Sanksi tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi (pasal 41C
UU KUP)
h. Menyuruh, menganjurkan, membantu tindak pidana perpajakan ( pasal 43 UU
KUP)
Proses penyidikan dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut:
a. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan dilakukan oleh penyidik
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan.
b. Penyidikan diawali dengan disampaikannya Surat Pemberitahuan dimulainya
Penyidikan kepada Jaksa pentut umum melalui POLRI dan kepada tersangka.
c. Dalam melakukan penyidikan, penyidik wajib memperhatikan asas praduga tak
bersalah, dan asas persamaan dimuka hukum. Penyidikan pajak dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan.

9
d. Pada tahap pemerikasaan setiap tersangka dapat didampingi penasehat
hukumnya, bila diperlukan penangkapan atau penahanan, dilakukan dengan
bantuan POLRI.
e. Penyidik pajak wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji dalam
menjalakan tugas, fungsi, wewenang, serta tanggungjawabnya. Penyidik wajib
menunjukan tanda pengenal penyidik pajak dan surat perintah penyidikan.
Penyidik dapat dibantu petugas lain berdasarkan izin tertulis dari atasanya,
penyidik pajak dalam setiap tindakan penyidikan wajib membuat laporan dan
berita acara. Penyidik pajak harus berpedoman pada kode etik yang berlaku.
f. Dalam melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus terlebih dulu
mendapat izin tertulis dari dari ketua Pengadilan Negeri setempat dan harus
berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan dan atau Penyidikan dari pejabat
berwenang. Apabila mendesak izin tersebut dapat diperoleh selambat-
lambatnya 2 hari setelah pelaksanaan penggeledahan dan atau penyitaan.
g. Penyidik pajak harus membuat berita acara dalam waktu 2 hari setelah
melakukan penggeledahan dan atau penyitaan dan tindasanya dilengkapi
dengan daftar rincian bahan bukti yang disita disampaikan kepada pihak atau
wakil atau kuasa atau pegawai dari pihak pemilik tempat yang digeledah dan
atau bukti yang disita, diserahkan dengan bukti penerimaan. Penggeledahan
dan atau penyitaan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
h. Pemanggilan tersangka atau saksi dilakukan dengan surat penggilan yang sah
yang harus segera diterima paling lambat 3 hari sebelum tanggal hadir. Dalam
hal tersangka atau saksi untuk kedua kalinya tidak memenuhi panggilan tanpa
alasan yang wajar penyidik dapat meminta bantuan POLRI untuk
menghadirkan yang bersangkutan. Dalam hal akan meninggalkan wilayah
Indonesia, penyidik segera minta bantuan Kejaksaan Agung untuk melakukan
pencegahan.
i. Laporan kemajuan pelaksanaan penyidikan disampaikan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI).
j. Setelah proses penyidikan selesai Penyidik Pajak membuat Berita Acara
Pendapat, menyerahkan berkas perkara, dan barang bukti kepada Penuntut

10
Umum melaului Penyidik POLRI, dalam hal dikembalikan Penyidik Pajak
harus segera menyempurnakan dan melengkapi sesuai petunjuknya.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dihentikan karena
beberapa alasan. Berdasarkan Pasal 44A UU KUP, penyidik menghentikan
penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, penyidikan dihentikan karena
peristiwanya telah daluwarsa tersangka meninggal dunia. Selain itu, berdasarkan
Pasal 44B UU KUP, untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan
Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permintaan.

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya


dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana
tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.

Tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan


untuk kepentingan penerimaan negara diatur dalam PMK No. 130/PMK.03/2009.
Untuk memperoleh penghentian penyidikan, Wajib Pajak mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan memberikan
tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan berikut tembusannya
dilampiri dengan pernyataan yang berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan
melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya
dikembalikan beserta dengan sanksi administrasi dari Wajib Pajak, dengan
menggunakan contoh format surat seperti pada lampiran PMK No.
130/PMK.03/2009.

Setelah menerima permohonan dari Wajib Pajak, Menteri Keuangan


meminta Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penelitian dan memberikan
pendapat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk

11
menerima atau menolak permohonan Wajib Pajak. Dalam rangka menindaklanjuti
permintaan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak meminta kepada Wajib
Pajak untuk menyerahkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account.
Petunjuk pelaksanaan pembuatan jaminan dalam bentuk escrow account dan
pelunasan pajak berikut sanksi administrasi berupa denda diatur dalam PER-
65/PJ/2009.

Escrow Account dibuat berdasarkan perjanjian pengelolaan escrow


account antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, yang diwakili oleh
Direktur Intelijen dan Penyidikan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak, dan diketahui oleh bank pembuka escrow account. Bentuk dan isi
perjanjian pengelolaan escrow account ditentukan sesuai kesepakatan kedua belah
pihak. Isi perjanjian pengelolaan escrow account paling sedikit memuat:

a. identitas para pihak dan bank pembuka escrow account;


b. waktu dan tempat perjanjian;
c. jumlah jaminan pelunasan;
d. biaya escrow account;
e. prosedur pencairan jaminan; dan
f. penyelesaian perselisihan.

Biaya yang timbul sehubungan dengan pembukaan dan pengelolaan


escrow account ditanggung oleh Wajib Pajak, sementara penghasilan yang
diterima dari escrow account menjadi hak Wajib Pajak. Dengan memperhatikan
hasil penelitian Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan berdasarkan
pertimbangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan Wajib Pajak.
Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui permohonan Wajib Pajak, Menteri
Keuangan mengajukan surat permintaan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan
penyidikan, yang disertai dengan alasan untuk menghentikan penyidikan yang
meliputi:
a. pertimbangan untuk kepentingan penerimaan negara; dan
b. kesanggupan Wajib Pajak melunasi pajak dan ditambah sanksi
administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali sebagaimana dimaksud

12
dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP dengan jaminan pelunasan dalam
bentuk escrow account.

Dalam hal Menteri Keuangan menolak permohonan Wajib Pajak, Menteri


Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak. Dalam hal
Jaksa Agung menyetujui permintaan Menteri Keuangan untuk menghentikan
penyidikan, Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk memerintahkan Wajib Pajak agar mencairkan
jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP). Setelah menerima Surat Setoran Pajak (SSP), Menteri
Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan mengenai pelunasan tersebut
kepada Jaksa Agung sebagai syarat penghentian penyidikan.

Berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan, Jaksa Agung menerbitkan


Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal surat permintaan Menteri Keuangan. Surat Ketetapan
Penghentian Penyidikan Penyidik melalui Menteri Keuangan. Setelah menerima
Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, Penyidik menghentikan kegiatan
penyidikan dan memberitahukan kepada tersangka atau keluarganya, dan kepada
Penuntut Umum melalui Kepolisian selaku Koordinator Pengawas Penyidik
Pegawai Negeri Sipil.

Penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan untuk kepentingan


penerimaan negara ini merupakan hasil kebijakan hukum pidana di bidang
perpajakan, karena sifat hukum pidana dalam peraturan yang bersifat administrasi
mengiringi pelaksanaan hukum administrasi agar tujuan yang terdapat dalam
hukum administrasi tersebut dapat tercapai.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan dan pembahasan dalam yang dipaparkan dalam


makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum di bidang perpajakan


merupakan upaya pemcegahan dan pemberantasan tindak pidana perpajakan,
yang dapat berupa penggunaan sarana hukum pidana dalam ketentuan
perundang-undangan perpajakan. Penggunaan hukum pidana merupakan
ultimum remedium dengan tetap memperhatikan tujuan utama pengenaan pajak
yaitu pemasukan penerimaan bagi pendapatan negara sehingga hukum pidana
pada aspek perpajakan hendaknya dapat mengiringi pencapaian tujuan hukum
pajak.
2. Penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara dilakukan untuk
melaksanakan tujuan hukum perpajakan yaitu sebesar-besarnya penerimaan
pendapatan negara, sehingga tindakan ini harus dilaksanakan dengan ketentuan
yang ketat dan prosedur yang baik sehingga pelaksanaannya tidak
menimbulkan kesan penyalahgunaan kewenangan. Kemudian harus dilihat
keuntungan dan manfaat yang lebih besar dari melanjutkan proses penyidikan
dengan menghentikan proses penyidikan dari sisi ketertiban penegakan hukum.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kusumo, Bambang Ali, Tesis : Penggunaan Hukum Pidana dalam Rangka


Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2003.

Nahak, Simon, Hukum Pidana Perpajakan-Konsep Penal Policy Tindak Pidana


Perpajakan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana, Setara
Press, Malang, 2014.

_________http://usupress.usu.ac.id/files/Pajak%20yang%20Demokratis%20Berd
asarkan%20Undang-Undang_Final_bab%201.pdf. diakses tanggal 06 Oktober
2015.

Anda mungkin juga menyukai