PENDAHULUAN
Status Epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat
akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang
tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA mengakibatkan
kematian. Secara definisi, SE adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus
selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar.
Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab paling sering
lainnya adalah infark otak mendadak, anoksia otak, gangguan metabolisme, tumor otak, serta
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus-menerus
tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan
muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status epileptikus tidak dapat ditangani
dengan segera, maka kemungkinan besar dapat terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan
kematian.
Kejang Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat
akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang
tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan kematian.
Begitu pula dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak
dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi
1
kemudian. Walaupun di Indonesia belum merupakan problem kesehatan masyarakat, status
epileptikus perlu dipahami dan dikuasai cara pengelolaannya mengingat keadaan tersebut
Merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang
selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan
tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan
sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat,
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus
adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang
salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol,
depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang
adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan
2
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena SE juga
berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada penelitian secara
epidemiologi. Sedangkan data secara global sendiri menunjukkan bahwa SE terjadi pada 10-
41 kasus per 100.000 orang per tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak.
Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode SE. Risiko
lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda, genetik serta kelainan
pada otak. Angka kematian pada penderita status epileptikus pada dewasa sebesar 15 %- 20
% dan 3%-15% pada anak-anak. Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi akut berupa
hipertermia, edema paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular. Sedangkan untuk
komplikasi jangka panjang dari SE yaitu epilepsi (20% - 40%), ensefalopati (6% -15%) dan
defisit neurologis fokal (9% sampai 11%).6 Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
bagaimana cara penatalaksanaan status epileptikus dengan tepat agar dapat menekan angka
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulisan makalah ini dibatasi pada
1.3 Tujuan
1.3.1 Umum
1.3.2 Khusus
3
3. Mengetahui dan memahami etiologi dan Faktor Risiko status epileptikus
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
4
2.1 Definisi
sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan
kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus.1
2.2 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.2 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada
pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira
10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian
2.3 Etiologi
5
Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa,
penyebab utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular
(22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus
adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak),
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan
yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset)
atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan
Klasifikasi status epileptikus menurut Joseph T Dipiro dalam Pharmacotherapy Handbook Edisi ke-8 adalah sebagai berikut:4
tradisional tradisional
6
Konvulsiv Non konvusiv
SE Umum Primer Grand mal, epilepsi Absencec Petit mal, spike-and
cntinua epileptic
twilight, minor SE
a,b
SE Umum SE Parsial Focal motor, focal
dengan umum
sekunder
Simple partial Elementary
Somatomotor
Dysphasic
Tipe lain Complex Temporal lobe,
epileptic stupor,
prolonged epileptic
confusional state,
continuous epileptic
twilight state
a = paling sering terjadi pada anak
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase,yaitu :
Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran
darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada
tahap ini.4
Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan tubuh
beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.4
Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf yang
irreversibel.4
Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis
aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan otak berlanjut.4
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit
diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi
yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas reseptor
eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang
adalah glutamat. Faktor faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan
8
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis
GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu,
kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah
menyebabkan kejang.3
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat
glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan
akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh
GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri
menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 30 menit) dan fase
kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan menimbulkan
metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase
gagal dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi,
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum
kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas
9
pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang
berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang
buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh
klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak
berlanjut.3
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium
10
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama
fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
11
2.6.2 Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion
movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang
12
umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
b. Status Somatosensorik
13
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
14
BAB III
3.1 Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional mengenai penatalaksanaan kejang
akut dan status epileptikus. Masing-masing pusat pelayanan kesehatan maupun pendidikan
memiliki pedoman yang berbeda, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.5
Berdasarkan EFA apapun tipe dan etiologi kejang yang terjadi, tatalaksana yang harus
3.1.1 Manajemen Airway, Breathing dan fungsi circulation (ABC) yang cepat dan
adekuat.
Hal ini dilakukan pada menit awal, caranya adalah dengan membersihkan jalan nafas,
jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi) yaitu Periksa tekanan darah,
mulai pemberian Oksigen, monitoring EKG dan pernafasan, periksa secara teratur suhu
tubuh, anamnesa dan pemeriksaan neurologis. Jalan nafas harus baik agar oksigenasi terjamin
baik, pasien diposisikan miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Bila pasien datang
dalam keadaan kejang, atasi kejang secepatnya. Tanyakan hal-hal yang penting saja,
anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap baru dilakukan setelah kejang teratasi.5
algoritme tatalaksana kejang akut dan status epileptikus konvulsif sesuai gambar 2. 5 Salah
satu penyebab tersering kegagalan mengatasi kejang adalah kesulitan mendapatkan akses
intravena. Akan tetapi, saat ini sudah tersedia antikonvulsan dengan berbagai jalur pemberian,
15
(midazolam), rectal (diazepam, paraldehid), dan sublingual (lorazepam, midazolam). Jalur
oral biasanya kurang baik, onsetnya lama dan ada risiko aspirasi. Obat-obatan antikonvulsan yang sering digunakan, dosis, tatacara pemberian, dan efek samping
16
Gambar 2. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus konvulsive
b = Jika kejang terkontro, mulai dosis pmeliharaan dan optimalkan mengunakan pemantauan
( b i l a p e r l u intubasi)
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit,Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,hitung
darah lengkap, toksisitas obat-obatan, dan kadar antikonvulsan darah; periksaAGDA (Analisa
I Va t a u I M u n t u k m e n g u r a n g i k e m u n g k i n a n t e r j a d i n y a
wernickesencephalopathy.
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per
mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx)
18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per
kg jika kejang berlanjut. Jikakejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
17
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika
per menit
infus Pentobarbital 1mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6
jam untuk menentukanapakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.-
atau-Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75
d o s i s pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG. Lihat tabel 4.1 dan 4.2 obat
epileptikus adalah dengan terapi operasi yangdilakukan apabila tidak ada respon
karbohidrat direstriksi tidak pada protein, kalori atau cairan. Stimulasi vagal
18
Tabel 3. Obat Antikonvulsan pada kejang dan status epileptikus
Metabolic
Autonomic
Renal
Cardiac/respiratory
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukandengan cepat dan
19
dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitissebagai etiologi maka
Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan mendistribusikan ke bagian lemak tubuh
lainnya, dua puluh menit setelah dosis awal, konsentrasi plasma dari diazepam turun menjadi
20% dari konsentrasi maksimal. Permulaan tindakan dan tingkat depresi kardiorespirasi
(sekitar 10%) dari lorazepam adalah sama, di samping injeksi arteri menyebabkan kejang
arteri dan mungkin gangren pada kasus berat. Midazolam sebesar 0,2 mg / kg / jam intravena
telah digunakan, tetapi memiliki keuntungan karena dapat diberikan secara intramuskular
atau bukal berangsur-angsur. Bukal midazolam 10 mg ditanamkan antara pipi dan gusi, sama-
sama berkhasiat seperti diazepam rektal. Hal ini dapat dilakukan apabila akses intravena tidak
simultan dengan benzodiazepin. Fenitoin diberikan pada 18-20 mg / kg pada dosis tidak lebih
dari 50 mg / hr dengan iv lambat atau infus. Pemuatan dosis lebih lanjut dari 5-10 mg / kg
dapat ditambahkan jika kejang yang terjadi berulang. Efek samping meliputi hipotensi (28 -
50%) dan aritmia jantung (2%) dan lebih umum pada orang tua. Fenitoin Parental
mengandung propilen glikol, alkohol dan natrium hidroksida. Obat ini harus disuntikan
dengan jarum ukuran besar diikuti oleh siraman garam untuk menghindari iritasi lokal seperti
thrombophlebitis dan "sindrom sarung tangan ungu". Dekstrosa tidak boleh digunakan untuk
prodrug yang larut dalam air dengan konversi 15 menit paruh untuk fenitoin. Setelah konversi
fosphenytoin diberi label setara sebagai 100 mg fenitoin. Meskipun valproate dapat diberikan
secara intravena terdapat pengalaman yang terbatas bila diberikan dengan indikasi . Satu
20
studi observasional menunjukkan bahwa valproate efektif dalam 19 dari 23 kasus SE dan
hypotension, respiratory
lain
Diazepam IV, Rektal Respiratory Onset lebih Durasi aksi lebih
untuk anak-anak
of consciousness lainnya
QT Proongation, effect
Purple glove
syndrome
21
Kelas Medikasi Rute Adverse effects Kelebihan Kekurangan
yang lebih
sedekit
depression, lama
hypotension,
decreased level
of consciousness
22
BAB IV
PENUTUP
anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera
mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status
epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America
(Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari
Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di
bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil
dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi
Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum
suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis
dan purple glove syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau
psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Penatalaksanaan status epileptikus, Available at : http://owthey.blogspot.com/ diakses 1
April 2011.
5. Mansoer, Arief, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.
6. Price & Wilson (2005), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta :
EGC.
7. Shidarta, priguna (2004), Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, Jakarta : Dian
Rakyat.
25