OS KERATOMIKOSIS
Oleh:
Eka Cresentia Tonapa
C111 12 910
Pembimbing
dr. Muznida Z. Ahmad
Supervisor
dr. Marliyanti Nur Rahmah, Sp.M(K), M.Kes
Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dan
referat dengan judul OS Keratomikosis, yang disusun oleh:
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 14-11-1996 / 21 Tahun
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Makassar / Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Moncongloe, Makassar
No. Register Pasien : 103455
Tanggal Pemeriksaan : 31 Mei 2017
Pemeriksa : dr. S
Rumah Sakit : Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM)
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bercak putih pada mata hitam mata kiri
Anamnesis Terpimpin :
Dialami Sejak kurang lebih 3 minggu sebelum datang ke BKMM.
Menurut pasien, bercak putih awalnya kecil seperti titik namun makin
lama semakin membesar. Keluhan ini awalnya didahului dengan mata
merah dan terasa nyeri, namun pasien tidak ingat apa yang terjadi
sebelumnya. Selain itu pasien mengeluh ada penglihatan kabur sebagian
pada mata kiri, kemudian pasien sering menggosok-gosok matanya dengan
tangan. Pasien juga mengeluh ada air mata berlebih, ada kotoran mata
berlebih berwarna putih sehingga sulit membuka mata pada pagi hari, dan
pasien juga merasa silau. Pasien lalu menggunakan obat tetes mata (insto)
yang dibeli sendiri namun tidak ada perbaikan. Setelah itu pasien datang
berobat ke BKMM dan diberi obat tetes dan dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kerokan pada bercak putih tersebut. Riwayat merokok,
hipertensi dan diabetes tidak ada. Riwayat penyakit mata sebelumnya tidak
ada, riwayat keluarga dengan penyakit mata tidak ada, riwayat penggunaan
kacamata tidak ada. Riwayat trauma pada mata disangkal.
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8o C
Mekanisme
muscular
B. Palpasi
Pemeriksaan OD OS
Tekanan Okular Tn Tn
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
Glandula pre-aurikular Pembesaran (-) Pembesaran (-)
C. Tonometri
NCT (Non Contact Tonometry)
OD 20 mmHg
OS 10 mmHg
D. Visus
VOD : 20/20
VOS : 20/30F
E. Sensitivitas Kornea
Tes sensitivitas ODS kornea baik
F. Color Sense
Tidak dilakukan pemeriksaan.
G. Penyinaran Oblik
Pemeriksaan OD OS
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Tampak Defek pada
perifer Kornea arah jam
Kornea Jernih 8, berwarna putih
keabuan, dengan tepi
tidak rata
BMD Normal Normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Bulat, sentral, refleks Bulat, sentral, refleks
Pupil
cahaya (+) cahaya (+)
Lensa Jernih Jernih
H. Funduskopi
Tidak Dilakukan Pemeriksaan
I. Slit Lamp
SLOD : Palpebra edema (-). Konjungtiva hiperemis (-). Kornea
jernih. BMD normal. Iris coklat, kripte (+). Pupil bulat sentral, refleks
cahaya (+). Lensa jernih
SLOS : Palpebra edema (-). Silia sekret (-). Konjungtiva hiperemis
(+). Pada Kornea Tampak Defek pada perifer Kornea arah jam 8,
dengan tepi tidak rata dan tampak meninggi, feathery edge. Tes
Fluorensensi (+). BMD kesan normal, Iris coklat, kripte (+). Pupil
bulat, sentral, refleks cahaya (+). Lensa jernih.
J. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pada pemeriksaan Apusan Kornea tanggal 22/05/2017 ditemukan:
Apusan Kornea Kiri KOH (+).
VI. RESUME
Seorang laki-laki usia 21 tahun datang ke Balai Kesehatan Mata
Masyarakat (BKMM) dengan keluhan bercak putih pada mata kiri yang
dialami Sejak kurang lebih 3 minggu lalu, yang awalnya kecil seperti titik
namun makin lama semakin membesar. Keluhan diawali dengan mata
merah dan terasa nyeri, namun pasien tidak ingat apa yang terjadi
sebelumnya. Selain itu pasien mengeluh ada penglihatan kabur sebagian
pada mata kiri, ada hiperlakrimasi, ada sekret mata berwarna putih
sehingga sulit membuka mata pada pagi hari, dan pasien juga merasa silau.
Riwayat pasien menggunakan obat tetes mata (insto) yang dibeli sendiri
namun tidak ada perbaikan. Setelah itu pasien datang berobat ke BKMM
dan diberi obat tetes dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
kerokan kornea.
VII. DIAGNOSIS
OS Keratomikosis
VIII. PENATALAKSANAAN
Sistemik :
- Ketokonazole 200mg 2 dd 1 (hari pertama), 1 dd 1 sampai 10 hari
tab oral
- Natrium Diclofenac 50 mg 2 dd 1 tab oral
- Ranitidin 150 mg 2 dd 1 tab oral
Topkikal :
- Natamycin ED 1 gtt/ 6 jam / OS
- Levofloxacin EDMD 1 gtt/ 6 jam / OS
PROGNOSIS
Qua ad vitam : Bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad Malam
Qua ad visum : Dubia ad Malam
Qua ad kosmeticum : Dubia ad Malam
DISKUSI KASUS
Pasien mengeluhkan bercak putih pada mata kiri yang disadari sejak 3
minggu yang lalu, diawali dengan mata merah kurang lebih 4 minggu yang lalu.
Pasien mengeluh ada penglihatan kabur sebagian pada mata kiri dan berdasarkan
pemeriksaan visus mata kiri pasien 20/30F, yakni pasien dapat membaca Chart
pada jarak 20 feet dengan kesalahan membaca 1 hingga 2 huruf, di mana orang
normal dapat membaca semua huruf pada jarak 30 feet. Oleh karena itu pasien
tergolong dalam mata merah dengan penurunan visus. Pasien mengeluhkan mata
berwarna putih yang makin lama makin membesar dan penglihatan semakin
buram sejak 3 minggu yang terakhir. Hal ini menunjukkan proses terjadi bukanlah
proses akut, melainkan proses kronik dan progresif.
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien ini adalah pemberian anti
fungi oral (Ketokonazole 200mg 2 dd 1 (hari pertama), 1 dd 1 sampai 10 hari tab
oral), anti nyeri (Natrium Diclofenac 50 mg 2 dd 1 tab oral) dan Ranitidin 150 mg
2 dd 1 tab oral untuk mencegah efek samping anti nyeri terhadap lambung, anti
fungi lokal (Natamycin eyedrop 1 tetes per 6 jam pada mata kiri), antibiotik lokal
(Levofloxacin eyedrop 1 tetes per 6 jam pada mata kiri) untuk mencegah atau
mengatasi ko-infeksi bakteri.
KERATOMIKOSIS
I. PENDAHULUAN
Radang kornea biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena,
seperti keratitis superfisialis dan interstisial atau profunda. Keratitis dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi
alergi terhadap yang diberi topikal dan reaksi terhadap konjuntivitis menahun,
dapat juga dari bakteri, jamur atau virus.1
Keratomikosis adalah suatu infeksi kornea oleh jamur. Keratomikosis disebut
juga keratitis fungi yang merupakan infeksi jamur yang menyerang kornea, pada
bagian anterior dari pupil. Keratomikosis adalah penyebab utama gangguan visual
dalam negara berkembang. Hal ini biasa terjadi di negara kita dengan iklim tropis.
Sejak laporan pertama keratomikosis oleh Profesor Theodor Leber, jamur telah
semakin terlibat dalam penyebab ulkus kornea, telah terjadi peningkatan frekuensi
yang dramatis dari infeksi ini dalam dua dekade terakhir mungkin karena
penyalahgunaan antibiotik dan kortikosteroid dalam praktik oftalmologi.2
Ulkus kornea jamur, yang pernah banyak dijumpai pada pekerja pertanian,
kini makin banyak dijumpai di antara penduduk perkotaan sejak mulai dipakainya
obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Sebelum era kortikosteroid, ulkus
kornea jamur hanya timbul bila stroma kornea kemasukan organisme dalam
jumlah yang sangat banyak suatu peristiwa yang masih mungkin terjadi di
daerah pertanian atau berhubungan dengan pemakaian lensa kontak lunak. Kornea
yang belum berkompromi tampaknya masih dapat mengatasi organisme yang
masuk dalam jumlah sedikit, seperti yang lazim terjadi pada penduduk perkotaan.3
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa
bakteri, jamur, dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut
yang luas.1
II. EPIDEMIOLOGI
Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh
Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasus-kasus keratomikosis diperhatikan
dan dilaporkan, terutama di bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti
laporan-laporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan
menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan
penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat immunosupresif dan lensa
kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan
laboratorik, seperti dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura
melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur,
sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6 bulan) didapat 3 kasus dari 50
ulkus kornea, Taiwan (selama 10 tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini
Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus (kemungkinan keratitis virus sudah
disingkirkan).4,5,6
Keratomikosis lebih sering ditemukan pada laki laki dibanding perempuan
dan lebih sering ditemukan pada pasien yang mempunyai riwayat trauma ocular di
luar rumah. Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita
ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
di India Utara ditemukan 61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyaknya kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko
terjadinya trauma termasuk trauma kornea.5,7
Epitel : Tebalnya 50 um, terdiri atas lima lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel
gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng. Sel basal berkaitan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosom dan macula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi
rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.1
Membrane Bowman : Terletak di bawah membran basal epitel kornea
yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini sangat resisten terhadap
infeksi namun tidak dapat berregenerasi, oleh karena itu perlukaan pada
lapisan Bowman akan menimbulkan bekas luka (scarring).1,9
Stroma : Lapisan ini merupakan lapisan paling tebal dari kornea (90%
tebal kornea). Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
Regernerasi dari stroma sangat lambat.1,8,9
Membrana Descemet : merupakan membran yang cukup kuat yang terdiri
dari kolagen dan glikoprotein. Sangat resisten terhadap agen kimiawi,
trauma dan proses patologis, karena itu Descemetocele mampu
mempertahankan integritas bolamata untuk waktu yang cukup lama. Tidak
seperti membrane Bowman, membrane descemet mampu berregenerasi.8
Endotel : Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal
20-40 um. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden. Bertanggung jawab untuk
transparansi kornea. Endotel kornea tidak mampu berregenerasi, defek
pada endotel kornea ditutup dengan migrasi dan pembesaran sel. Selain itu
endotel kornea juga berfungsi untuk mekanisme pompa aktif.1,8,9
IV. ETIOLOGI
1. Kausa Fungal8
Fungal yang dapat menyebabkan infeksi pada kornea adalah :
i. Filamentous fungi, seperti Aspergillus, Fusarium, Alternaria,
Cephalosporium, Curvularia dan Penicillium.
ii. Yeast, seperti Candida dan Cryptococcus.
(Fungal yang sering bertanggung jawab untuk ulkus kornea mikotik ada
Aspergillus (paling sering), Candida dan Fusarium).
2. Mode Infeksi8
i. Cedera akibat bahan-bahan tumbuhan seperti daun, ranting pohon,
sedotan, jerami maupun pupuk. Penderita yang paling sering
adalah pekerja lapangan khususnya pada musim panen.
ii. Cedera akibat ekor hewan adalah mode infeksi lainnya.
iii. Ulkus fungal sekunder sering terjadi pada pasien yang
imunosupresi secara sistemik maupun lokal seperi pasien dengan
mata kering (dry eye), keratitis herpetik, keratopati bullosa atau
kasus postoperasi keratoplasti.
3. Peran Antibiotik dan Steroid
Antibiotik mengganggu simbiosis antara bakteri dan jamur; dan steroid
membuat jamur menjadi patogen fakultatif yang sebaliknya adalah simbiosis
saprofit. Maka dari itu, penggunaan berlebihan dari obat-obatan ini dapat
menjadi faktor predisposisi pasien untuk mendapatkan infeksi jamur.8
V. PATOGENESIS
Mekanisme patogen jamur termasuk kerusakan fisik langsung yang
disebabkan oleh invasi dan pertumbuhan dari unsur jamur, kerusakan dari
infiltrasi leukosit dan kerusakan yang dihasilkan oleh racun dan enzim jamur.
Manifestasi klinis dapat terjadi pada 24 sampai 46 jam atau mungkin tertunda
selama 10 sampai 20 hari, berpotensi memungkinkan replikasi jamur yang luas
sebelum dideteksi oleh host. Invasi miselium biasanya terjadi sejajar dengan
lamellae kolagen tapi mungkin tegak lurus dengan organisme yang lebih ganas.
Hal ini menyebabkan terganggunya pengaturan serat kolagen normal.
Mannoprotein permukaan hifa atau pseudohyphae juga menghambat pelekatan
neutrofil, lolos dari fagositosis. Mikotoksin yang dilepaskan oleh jamur memiliki
efek antibakteri, antiviral, anti tumor dan antiphagosit yang menekan fungsi
kekebalan tubuh. Beberapa jamur seperti Candida juga menghasilkan berbagai
protease seperti protease asam aspartil, protease netral dan karboksil yang
berkontribusi terhadap invasi organisme.2
Infiltrasi dari leukosit host merupakan komponen penting dari proses
penyakit. Abses cincin terdiri dari leukosit PMN: sel plasma dan jarang eosinofil
di sekitar hifa jamur merupakan karakteristik. Leukosit juga ada di daerah
kerusakan kornea tanpa hifa. Hifa jamur cukup besar untuk mencegah konsumsi
oleh neutrofil: namun upaya fagositosis menghasilkan pelepasan enzim lisosomal
ekstraselular dan metabolit oksigen yang mencerna kolagen stroma. Fusarium spp.
Menginduksi intlltrasi seluler kecil dan dapat tumbuh secara luas, menyebar lebih
dalam melintasi membran descemet ke dalam ruang anterior.2
Saat epitel kornea yang mengalami kerusakan oleh patogen, dapat terjadi
perubahan-perubahan yang dapat dideskripsikan menjadi 4 tahap, yakni infiltrasi,
ulserasi aktif, regresi, dan sikatrisasi. Fase akhir dari ulkus kornea tergantung dari
virulensi patogen, mekanisme defensif host, dan tatalaksana yang diperoleh.
Terdapat 3 kemungkinan fase akhir dari ulkus kornea, yakni ulkus dapat menjadi
lokal dan sembuh, ulkus dapat berpenetrasi lebih dalam dan menyebabkan
perforasi kornea, atau menyebar dengan cepat dan menyebabkan sloughing
(terkelupasnya) kornea.2
Patologi dari ulkus kornea terlokalisasi8
1. Tahap progresif infiltrasi
Pada tahap ini terdapat infiltrasi dari PMN dan/atau limfosit ke dalam
epithel. Dapat muncul nekrosis tergantung dari virulensi patogen dan
mekanisme defensif host.
2. Tahap ulserasi aktif
Fase ini terjadi karena nekrosis dan pengelupasan dari epithelium,
membran Bowman dan stroma. Dapat muncul hiperemia dari jaringan
pembuluh darah sirkumkorneal yang menyebabkan akumulasi eksudat
purulen pada kornea. Dapat terjadi kongesti vaskular iris dan badan silier dan
iritis akibat toksin yang diserap dari ulkus. Eksudasi ke bilik mata depan dari
pembuluh darah iris dan badan silier dapat menyebabkan hipopion. Ulserasi
dapat berkembang ke lateral atau semakin ke dalam sehingga menyebabkan
Descemetocele atau perforasi.
Keratitis jamur. (a) keratitis Candida; (b) keratitis filamentosa dengan lesi
satelit dan hipopion kecil; (c) Candida yang terwarnai dengan pewarnaan
Gram menunjukkan pseudohifa; (d) smear kornea terwarnai oleh Grocott
hexamine silver menunjukkan Aspergillus spp.10
Keratitis Mikotik9
VII. DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinik khas seperti riwayat trauma akibat bagian tumbuhan.3
2. Ulkus kronik yang memburuk meskipun telah diberikan terapi yang sangat
efisien harus menimbulkan kecurigaan terhadap keterlibatan jamur.3
3. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan meliputi pemeriksaan wet
KOH, Calcofluor white, pewarnaan Gram dan Giemsa untuk melihat hifa
jamur dan kultur pada medium Sabourauds agar.3
4. Biopsi kornea diindikasikan bila tidak terdapat perbaikan klinis dalam 3-4
hari dan jika tidak terdapat pertumbuhan dari hasil corneal scraping
setelah 1 minggu.10
VIII. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding dari ulkus kornea fungi adalah ulkus kornea akibat
infeksi lainnya.8,10
X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea yang
terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan waktu
penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur di laboratorium.
Pasien dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal
memiliki prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang
meluas didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diperkirakan satu dari
ketiga infeksi jamur gagal terapi pengobatan atau perforasi kornea.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga FKUI, Jakarta, 2004
2. Sudan, Rajeev, Sharma, Yog Raj. Keratomycosis: Clinical diagnosis,
Medical and Surgical Treatment. 2003. Dr. Rajendra Prasad Centre for
Ophthalmic Sciences, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi,
India. Vol. 5 NO.1.
3. Riordan P, Witcher J. In: Vaughan & Asburys General Ophtalmology 16th
Edition. London: Lange; 2007.
4. Susetio B. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata dalam Cermin dunia
kedokteran. [Online]. 1993 [Cited 2008 Mei 07]; Available from :
http//www.kalbe.co.id-files-cdk-files-cdk_087_mata.html
5. Singh D. Keratitis, fungal. [Online] 2008 Jun 12 [cited 2008 Nov 8];[14
screens]. Available
from:URL:http:///www.eMedicine.com/oph/topic99.htm.
6. Naradzay J, Griqsby W, Chiang W et.al. Corneal ulceration and ulcerative
keratitis. Available at http://www.emedicine.com/oph/topic115.htm
Accessed on november 1st 2008
7. Suharjo, Fatah widido. Tingkat keparahan Ulkus Kornea di RS Sarjito
Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Dikutip dari www.tempo.co.id.
2007.
8. Khurana AK, editor. Comprehensive Ophthalmology. In: Diseases of the
Kornea. 4th Edition. New Delhi: New Age International; 2007.p.167-201.
9. Lang, Gerhard K. Opthalmology A Short Textbook. In: Kornea. Thieme
Stuttgart: New York. 2000.p.165-179.
10. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systemic approach
[ebook]. 7th ed. USA: Saunders Elsevier. 2011.