Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAJIAN PENERJEMAHAN

DILEMA KESETIAAN DALAM PENERJEMAHAN

Tugas Mata Kuliah Teori Penerjemahan

DISUSUN OLEH

YOLANDA CYNTHIA P (S131608013)

PROGRAM STUDI S-2 LINGUISTIK PENERJEMAHAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2016
DILEMA KESETIAAN DALAM PENERJEMAHAN

By Yolanda Cynthia P

Hingga saat ini, kegiatan penerjemahan masih memiliki peranan penting dalam proses
interaksi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan ini sangat diperlukan bagi orang-orang
sekitar yang kurang memahami bahasa asing. Penerjemahan diperlukan di segala bidang.
Seseorang membutuhkan penerjemah saat ia ingin berinteraksi dengan orang lain yang
menggunakan bahasa yang tidak ia mengerti. Juga, seseorang membutuhkan penerjemah saat
ia ingin mempelajari suatu ilmu yang hanya ada di negara lain dan ia tidak memiliki
pemahaman yang cukup mengenai bahasa yang digunakan. Dari sini, dapat dilihat bahwa
penerjemah akan selalu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tidak
menguasai bahasa asing.

Seorang penerjemah selalu dipercaya oleh penerima pesan bahwa ia menyampaikan


segala informasi yang diperoleh dari bahasa sumber. Kepercayaan terhadap penerjemah ini
terkadang bersifat buta. Dikatakan demikian karena, seringkali, penerima pesan tidak
melakukan klarifikasi apakah pesan yang disampaikan oleh penerjemah valid ataukah ada
yang diubah baik sebagian maupun secara keseluruhan. Meski dikatakan bahwa penerjemah
yang baik harus menyampaikan isi yang terkandung dalam bahasa sumber tanpa mengubah
esensinya, tidak dapat menjamin semua penerjemah akan menaati aturan tersebut.
Pengubahan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di dalam prosesnya, penerjemah selalu
menemui berbagai masalah mulai dari masalah kecil hingga kompleks dan dilematis. Saat
penerjemah merasa putus asa karena tidak dapat menemukan padanan yang tepat pada bahasa
sasaran, di sinilah penerjemah terkadang menyalahgunakan otoritasnya dengan
menghilangkan atau bahkan mengubah isi pesan dalam bahasa sumber. Pengubahan pesan
semacam ini dibolehkan dalam kondisi tertentu. Salah satu kondisi yang memperbolehkan
penerjemah mengubah isi yang ada dalam teks bahasa sumber adalah pada saat suatu teks
yang bersifat umum (bukan novel atau karya sastra lainnya) berisi tentang hal-hal yang tidak
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang telah dibuktikan atau diterima. Jika seorang
penerjemah menemui suatu teks dengan konten yang salah, sedangkan ia mengetahui yang
benar maka dianjurkan baginya untuk memberikan koreksi pada teks bahasa sasaran.
MASALAH

Dalam penerjemahan, terdapat istilah kesetiaan. Dalam makalah ini, istilah kesetiaan
mungkin sedikit berbeda dengan yang telah banyak diperbincangkan dalam dunia
penerjemahan. Kesetiaan di bidang penerjemahan telah banyak diketahui sebagai suatu
penerjemahan yang mempertahankan isi, bentuk dan kata dalam teks bahasa sumber. Namun
dalam makalah ini, kesetiaan dipandang dari sudut yang berbeda yakni kesetiaan terhadap isi
pesan yang ada dalam teks bahasa sumber.

Saat penerjemah diperbolehkan mengganti isi pesan dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran, hal ini akan membuat para penerjemah mengalami suatu dilema mengingat definisi
penerjemahan adalah suatu proses menyampaikan pesan yang tercantum dalam bahasa
sumber. Untuk kasus yang disebutkan di atas, pada situasi di mana penerjemah mengubah isi
pesan yang secara otomatis juga mengubah kata yang ada di dalamnya, apakah hal tersebut
dapat disebut bahwa penerjemahannya tidak setia pada isi atau tidak setia pada teks bahasa
sumber? Jawabannya mungkin dapat berbeda tergantung dari sudut pandang manakah
kesetiaan itu dilihat. Pengubahan isi yang dilakukan oleh penerjemah dalam kasus di atas
melibatkan pengetahuan yang dimiliki oleh si penerjemah. Sehingga dalam kasus ini, dapat
dikatakan penerjemah berusaha untuk setia terhadap ilmu pengetahuan karena jika ia
menerjemahkan suatu teks yang salah, maka sama saja ia mengkhianati ilmu pengetahuan
yang telah ia ketahui dan menyesatkan para pembacanya.

Masalah ini membuat para penerjemah mengalami suatu dilema saat menerjemahkan
suatu teks dengan kasus di atas. Dilema apakah harus setia terhadap teks bahasa sumber atau
setia pada ilmu pengetahuan. Dalam beberapa kasus, masih ditemui pengetahuan yang masih
bersifat abu-abu atau masih belum diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata
lain, masih ada beberapa orang yang masih belum mampu membedakan antara pengetahuan
dan keyakinan. Jika suatu pernyataan telah dibuktikan kebenarannya dan diterima sebagai
ilmu pengetahuan oleh semua orang, maka penerjemahan yang setia pada ilmu pengetahuan
tidak akan menimbulkan suatu masalah. Akan tetapi apabila penerjemah dihadapkan pada
suatu pengetahuan yang masih abu-abu dan berupa keyakinan, langkah manakah yang harus
diambil oleh penerjemah? Bagaimana jika penerjemah bahkan tidak menyadari dan tidak
mampu membedakan antara pengetahuan dan keyakinan?
Hal ini memunculkan suatu masalah bagi seorang penerjemah untuk mengambil
keputusan. Oleh karena itu, penting bagi seorang penerjemah untuk mampu membedakan
antara pengetahuan dan keyakinan.

Sebagai contoh, terdapat teks Bahasa Inggris yang berbunyi:

The sun rises from West

Diterjemahkan menjadi:

Matahari terbit dari Timur

Secara literal, teks pada bahasa sumber menyatakan matahari terbit dari barat,
namun diubah menjadi Matahari terbit dari timur. Hal ini terjadi karena, seperti yang
kita ketahui, bahwa matahari tidak pernah terbit dari barat. Matahari selalu terbit dari timur
dan semua orang di belahan dunia manapun akan mengatakan demikian karena di manapun
kita berada, matahari selalu terbit dari timur, bukan barat.
Penerjemahan semacam ini dinilai akurat karena perubahan yang dilakukan oleh
penerjemah ini memiliki tujuan untuk mencegah pembaca menerima informasi yang salah.
Saat penerjemah mengetahui suatu kebenaran, maka penerjemah diperbolehkan mengganti isi
pada teks bahasa sumber.

Terkait dengan ilmu pengetahuan umum, terdapat juga teks seperti di bawah ini.

The sun rotates the earth

Jika mengikuti aturan di mana seorang penerjemah diperbolehkan mengganti isi yang
ada pada teks bahasa sumber, penerjemah akan menerjemahkannya menjadi:

Bumi mengelilingi matahari

Terjemahan di atas merubah isi yang ada pada teks bahasa sumber dengan alasan tidak
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh si penerjemah. Namun, apakah yang
diterima penerjemah sebagai pengetahuan ini benar-benar telah diterima oleh seluruh
masyarakat? Penerjemah menganggap ini sebagai pengetahuan karena dari pendidikan dasar
hingga di sekolah tingkat menengah atas diajarkan bahwa bumi lah yang berotasi
mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Namun jika kita melihat ke masa lalu di mana teori
ini baru saja dikenalkan, maka semua orang akan menilai bahwa matahari lah yang
mengelilingi bumi karena itulah yang terlihat dari bumi. Dalam kasus ini, ketika si
penerjemah telah mengetahui kebenarannya dan meyakini bahwa apa yang dijelaskan oleh
para ilmuwan lebih masuk akal dan merupakan teori yang masih baru dan belum bisa
diterima oleh masyarakat, apakah ia juga diperbolehkan mengubah isi pesan dari teks bahasa
sumber? Di satu sisi, penerjemah memiliki dasar ilmu pengetahuan yang benar. Sedangkan,
di sisi lain, masyarakat di sekitarnya masih belum memahaminya atau masih sangat meyakini
bahwa matahari lah yang berotasi mengelilingi bumi. Jika teksnya tidak diubah, maka sama
saja membiarkan pembaca sasaran tersesat dalam pengetahuan. Akan tetapi jika teksnya
diubah sesuai dengan pengetahuan yang telah dipahami, maka akan ada risiko di mana
penerjemah mengkhianati isi dari pesan teks dari bahasa sumber. Selain itu, jika tindakan ini
diambil, penerjemah juga dapat menimbulkan berbagai pertanyaan dari benak para pembaca
sasaran mengingat pengetahuan tersebut masih baru bagi mereka.
Lalu, bagaimana jika suatu teks masih berupa keyakinan atau mitos dan seorang
penerjemah tidak menyadarinya serta menganggap apa yang ia yakini merupakan suatu
pengetahuan yang harus diikuti oleh semua orang? Misalnya, dalam kasus lain, jika ditemui
teks yang mengandung mitos seperti di bawah ini,

Dilarang memakai baju berwarna hijau bagi pengunjung pantai Parangtritis


karena pantai tersebut dikuasai oleh Nyi Roro Kidul yang sangat menyukai warna
hijau. Barangsiapa yang memakai baju berwarna hijau maka ia tidak akan selamat
terseret ombak.

Mitos yang diangkat pada teks di atas tidak sepenuhnya salah. Karena seringkali
pengunjung pantai yang memakai baju hijau saat terseret ombak tidak akan selamat, maka
banyak ilmuwan yang tertarik meneliti hal tersebut. Setelah diamati, larangan tersebut secara
logika dapat diketahui bahwa warna air laut pada sekitar pantai akan cenderung berwarna
kehijauan. Sehingga apabila ada wisatawan yang terseret arus laut, baju hijau akan
tersamarkan di tengah buih gelombang dan air laut dan kemungkinan para staf penyelamat
atau orang lain untuk menyadarinya akan semakin kecil. Akan tetapi, keterlibatan Nyi Roro
Kidul dalam himbauan tersebut bukanlah tanpa alasan. Warga sekitar daerah Yogyakarta
masih banyak yang meyakini dan menyukai hal-hal mistis, sehingga jika mereka diberi
penjelasan ilmiah tidak akan begitu tertarik dan memperhatikan himbauan-himbauan
semacam ini. Oleh karena itu, sebagian orang memanfaatkan keyakinan masyarakat tersebut
agar mereka mematuhi himbauan yang diberikan dan tidak akan ada yang berani
melanggarnya.
Masalahnya, seperti yang telah diketahui, saat ini Yogyakarta semakin hari semakin
menjadi incaran bagi wisatawan baik lokal, maupun mancanegara. Sedangkan, himbauan di
atas ditujukan untuk semua pengunjung. Jika teks di atas diterjemahkan secara literal dengan
mempertahankan mitos adanya Nyi Roro Kidul, maka akan banyak pengunjung yang tidak
mematuhi himbauan tersebut karena menganggap hal itu sebagai keyakinan yang dianut oleh
warga sekitar dan tidak perlu diikuti jika tidak meyakini. Hal ini dikarenakan orang-orang
jaman sekarang telah memiliki pengetahuan cukup sehingga mitos semacam itu akan
dianggap tidak masuk akal dan tidak akan dipercaya begitu saja. Akan tetapi, jika terjemahan
dari teks di atas menghilangkan mitos tentang Nyi Roro Kidul dan mengubahnya sesuai
dengan penjelasan ilmiah, maka terjemahan yang dihasilkan akan menghilangkan unsur
budaya yang menjadi ciri khas pantai tersebut.
Dilema di atas terjadi jika penerjemah mengetahui kebenaran ilmiah dari himbauan
tersebut. Namun demikian, jika penerjemah belum mengetahui penjelasan ilmiah yang telah
dijelaskan oleh ilmuwan mengenai larangan tersebut, maka hasil terjemahannya akan
mengikuti cara pandang si penerjemah. Penerjemah dengan latar belakang yang berbeda
besar kemungkinan akan menghasilkan terjemahan yang berbeda pula. Apa yang akan terjadi
jika si penerjemah belum mengetahui penjelasan ilmiah tersebut dan meyakini bahwa
himbauan tersebut hanyalah mitos? Atau, bagaimana jika penerjemah merupakan bagian dari
masyarakat yang meyakini adanya Nyi Roro Kidul?
Dalam kasus lain, jika terdapat seorang penerjemah beragama Islam yang
menerjemahkan Injil atau sebaliknya, penerjemah beragama Kristen menerjemahkan teks Al-
Quran, terjemahan seperti apa yang akan dihasilkan? Jika mengikuti aturan di mana seorang
penerjemah diperbolehkan mengganti isi sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki, maka
yang terjadi adalah teks terjemahan Injil yang berisi seperti Al-Quran dan teks terjemahan
Al-Quran berisi seperti Injil. Meskipun diketahui bahwa semua agama mengajarkan
kebenaran dan memiliki beberapa kemiripan, namun kedua kitab tersebut tidaklah sama. Ada
beberapa teks di dalam Al-Quran yang tidak diyakini oleh umat Kristen dan ada beberapa
teks di dalam Injil yang tidak diyakini oleh umat Islam. Hal inilah yang dapat menimbulkan
masalah jika sampai pada pembaca sasaran.
Sumardiono (2010) di dalam artikelnya menjelaskan bahwa ketika teks bahasa sumber
mengandung pemahaman atau keyakinan tertentu di dalam interpretasinya, penerjemah
secara sadar atau tidak akan terseret pada posisi antara mengikuti pemahaman teks tersebut
atau membelokkannya pada pemahaman atau keyakinannya sendiri. Sebelum dibahas lebih
lanjut, perlu diketahui terlebih dahulu sekilas definisi dari penerjemahan dan pengetahuan.

DEFINISI PENERJEMAHAN

Secara umum, penerjemahan dapat diartikan sebagai proses mengalihkan suatu pesan
dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sekarang ini, telah banyak ilmuwan yang mengkaji arti
dan definisi penerjemahan. Catford [1965], misalnya, mendefinisikan penerjemahan sebagai
proses mengganti teks bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Definisi penerjemahan menurut
Catford ini dipandang masih lemah karena penerjemah tidak akan mungkin menggantikan
teks bahasa sumber dengan teks bahasa sasaran karena struktur kedua bahasa itu pada
umumnya berbeda satu sama lain (Nababan:2016). Menerjemah tidak hanya berkutat pada
unsur kata apa saja yang ada pada teks bahasa sumber kemudian mencari padanannya di
bahasa sasaran, tetapi jauh lebih kompleks lagi karena harus menyesuaikan struktur, gaya,
serta kultur bahasa pada teks bahasa sasaran. Lebih jauh lagi, penerjemah pun akan menemui
berbagai masalah dalam menentukan ekspresi apa yang ia pilih untuk ditulis di bahasa
sasaran. Seperti yang telah dikemukakan Newmark (1988), penerjemahan melibatkan proses
memahami, menjelaskan serta menganalisis dan mengolah pesan yang ada dalam teks bahasa
sumber agar dapat menghasilkan teks yang komunikatif pada teks bahasa sasaran. Nida
(1969) juga mengemukakan bahwa penerjemahan merupakan proses menghasilkan padanan
yang paling tepat dan natural ke dalam bahasa sasaran. Sedangkan Brislin (1976) di dalam
Nababan (2016) menjelaskan bahwa penerjemahan merupakan pengalihan pikiran atau
gagasan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa penerjemahan merupakan


kegiatan atau proses yang tidak hanya sekedar mengalihkan bahasa satu ke dalam bahasa lain,
tetapi lebih jauh lagi penerjemahan juga mempertimbangkan konteks dan latar belakang
budaya, kondisi historis maupun sosial, bahkan mengadaptasi dan mengalihkan gagasan,
serta harus mempertimbangkan keakuratan dan keberterimaan sehingga dapat menghasilkan
teks terjemahan yang bisa dipahami dan dibaca oleh pembaca sasaran. Singkatnya,
penerjemah harus mampu menghasilkan kembali makna atau pesan dari bahasa sumber ke
bahasa sasaran secara akurat, berterima dan mudah dipahami dengan melihat konteks budaya
baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Oleh sebab itu, penerjemah diharapkan memiliki
kemampuan yang tidak hanya terbatas pada bahasanya saja, tetapi juga mampu memahami
budaya dan sejarah dari dua bahasa, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

Akan tetapi, terdapat situasi tertentu di mana penerjemah dianjurkan untuk mengubah
isi yang terkandung dalam bahasa sumber. Misalnya, ketika penerjemah berhadapan dengan
suatu teks yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Jika pesan dari suatu teks sumber berisi
tentang pengetahuan yang salah, maka penerjemah diperbolehkan mengganti isinya sesuai
dengan pengetahuan yang ia miliki.

Jika melihat teks yang ada pada masalah yang disebutkan sebelumnya, dalam teks
yang berisi larangan untuk memakai baju hijau saat berkunjung ke pantai Prangtritis, apakah
penerjemahan tersebut sebaiknya menghilangkan legenda Nyi Roro Kidul mengingat
masyarakat modern telah banyak yang meyakini bahwa keberadaan Nyi Roro Kidul hanyalah
mitos. Oleh karena itu, perlu untuk memahami definisi dari pengetahuan dan keyakinan
terlebih dahulu.

DEFINISI PENGETAHUAN DAN MITOS

Di dalam ilmu filsafat, kebenaran akan sesuatu telah dikaji sejak lama. Banyak filsuf-
filsuf terkenal, seperti Plato dan Aristoteles, yang telah mencoba merumuskan teori
kebenaran. Salah satu teori yang dirumuskan yaitu teori koherensi. Menurut teori koherensi,
suatu hal dikatakan benar berdasarkan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya. Masih
mengenai teori koherensi, Bertrand Russell mengemukakan bahwa suatu hal dianggap benar
apabila dapat diuji dengan kesesuaian obyek yang ada. Sedangkan untuk pengetahuan,
terdapat tiga tahapan dalam perkembangan menurut August Comte (1853), yaitu tahap
religius, metafisik dan positif. Dalam tahap religi, asas religi dijadikan postulat ilmiah. Pada
tahap ini manusia berusaha mencari atau menemukan sebab dan tujuan dari segala sesuatu
yang mana selalu dikaitkan dengan kekuatan gaib. Pada tahap metafisik, orang mulai
berspekulasi tentang metafisika atau wujud objek yang diteliti tanpa mempertimbangkan
dogma agama dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik.
Dalam tahap ini, manusia masih mencari sebab dan tujuan dari segala sesuatu namun sudah
tidak lagi berdasarkan pada kepercayaan akan adanya kekuatan gaib, melainkan pada akalnya
sendiri. Tahap terakhir, asas-asas diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.
Dalam tahap ini, manusia telah mampu berfikir secara positif atas dasar pengetahuan yang
telah dicapainya yang dikembangkan secara positif, melalui pengamatan, percobaan dan
perbandingan.
Dengan kata lain, suatu kebenaran yang masih belum dibuktikan atau belum
disaksikan sendiri secara langsung dikategorikan sebagai tahap awal pengetahuan dan masih
berada dalam ranah keyakinan. Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yaitu : indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo, Notoadmodjo
2003). Dapat disimpulkan bahwa suatu hal baru bisa dikatakan sebagai pengetahuan jika
telah melalui proses verifikasi dan pengujian-pengujian secara objektif.
Di samping pengetahuan, terdapat istilah yang dikenal sebagai mitos. Mitos adalah
suatu cerita atau informasi mengenai gejala alam di sekitar kita yang dijelaskan dengan
mengaitkan hal-hal mistis atau gaib. Menurut William A. Haviland, mitos adalah cerita
mengenai peristiwa semihistoris yang menerangkan masalah akhir di kehidupan manusia.
Sedangkan menurut Chalmers, mitos adalah cerita suci yang berbentuk simbolik yang
mengisahkan serangkaian peristiwa nyata yang menyangkut asal usul dan perubahan alam
raya dunia, kekuatan-kekuatan atas kodrati manusia dan masyarakat. Kembali pada teori yang
dikemukakan oleh August Comte, dapat dilihat bahwa mitos berada pada tahap awal
perkembangan sebelum manusia mencapai pengetahuan atau masih merupakan awal mula
suatu pengetahuan. Mitos seringkali diyakini oleh masyarakat jaman dahulu. Mitos diterima
di dalam masyarakat karena beberapa faktor antara lain keterbatasan pengetahuan yang
disebabkan karena keterbatasan penginderaan baik langsung maupun dengan alat serta
keterbatasan penalaran manusia pada masa itu (Azizah: 2012).

Kembali ke masalah dalam penerjemahan, jika terdapat teks yang tidak sesuai dengan
keyakinan seorang penerjemah namun diterima sebagai pengetahuan oleh penerjemah
tersebut, maka hasil terjemahannya akan berisi tentang gagasan yang diyakini oleh si
penerjemah, bukan lagi pemikiran yang berasal dari si penulis teks asli. Bicara tentang
penerjemahan yang berkaitan dengan keyakinan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
katakanlah ada seorang penerjemah yang beragama Islam menerjemahkan Injil atau
penerjemah beragama Kristen menerjemahkan Al-Quran. Jika seorang penerjemah
menggunakan aturan penerjemahan di mana diperbolehkan mengganti isi yang ada pada teks
bahasa sumber dengan pertimbangan apabila teks bahasa sumber berisi tentang sesuatu yang
salah, kemudian si penerjemah mengoreksi pesan atau cerita yang ada pada kitab suci yang
tidak sesuai dengan keyakinannya, maka dapat dibayangkan teks seperti apa yang akan ditulis
oleh si penerjemah dalam bahasa sasaran. Yang terjadi bisa saja teks Injil berisi seperti Al-
Quran dan teks Al-Quran berisi seperti teks Injil.
Dua orang pakar dari Ocean University of China, di antaranya Ren Dongsheng (di
dalam Sumardiono:2010) melakukan survey komprehensif tentang Chinese Ideologies and
Chinese Bible Translations. Mereka menemukan bahwa pada masa yang berbeda ditemukan
terjemahan Injil yang berbeda. Ada yang bernada positif dan ada yang bernada negatif dan
karena alasan ideologis penerjemah non misionaris ini mengadopsi pendekatan Injil bukan
sebagai kitab suci yang sakral tapi hanya sebagai karya sastra biasa. Ren Dongsheng
menjelaskan bahwa keyakinan yang dianut penerjemah akan sangat mewarnai hasil
terjemahan. Interferensi keyakinan penerjemah terhadap karya terjemahan menjadi sesuatu
yang tak terhindarkan.
Seorang penerjemah maupun penulis bukanlah individu yang terbebas dari
lingkungannya. Seorang penerjemah maupun penulis adalah individu yang terkonstruksi
secara sosial dan historis. Dengan demikian, penerjemah menginterpretasikan teks dengan
cara meletakkan teks tersebut kedalam seting pengetahuan yang pastinya bersifat ideologis.
Pengetahuan yang bersifat ideologis ini akan membatasi interpretasinya atas sebuah teks
(Kaurobi di dalam Sumardiono:2010).
Oleh karena itu, dalam penerjemahan yang berkaitan dengan keyakinan ataupun
ideologi, seorang penerjemah harus bisa bersikap senetral mungkin dan berusaha untuk tidak
memasukkan gagasannya ke dalam teks bahasa sasaran. Seorang penerjemah dalam
menjalankan profesinya, mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran,
tidak boleh memihak ke salah satu pihak; penulis atau pembaca, pembicara atau pendengar.
Namun dalam prakteknya, sangat sulit bagi penerjemah untuk tidak melibatkan
gagasan dan pemikirannya saat berhadapan dengan teks semacam itu. Pada teks-teks yang
bersifat netral tentu hal ini tidak menimbulkan dilema. Sedangkan untuk teks-teks yang masih
belum jelas harus masuk ke kategori pengetahuan atau mitos, hal ini akan menimbulkan
masalah dilematis.
Sumardiono (2010) menyebut sikap penerjemah yang melibatkan gagasan atau
pemikirannya ini sebagai mediasi, yaitu memasukan pengetahuaan, ideologi dan keyakinan
penerjemah ke dalam teks terjemahan. Masalahnya adalah mediasi semacam ini akan
menghasilkan terjemahan yang tidak akurat karena terjemahannya akan sangat berbeda
bahkan bertolak belakang dengan isi yang ada dalam teks bahasa sumber. Namun dalam
kasus teks bahasa sumber yang berisi tentang pengetahuan umum, perubahan yang dilakukan
dengan mengoreksi isi pesan yang ada dalam teks bahasa sumber agar tidak menyesatkan
pembaca sasaran dapat dinilai akurat. Itulah kenapa disebut bahwa seorang penerjemah akan
mengalami dilema kesetiaan, setia pada teks bahasa sumber atau setia pada pengetahuan dan
keyakinan yang ia miliki.

KESIMPULAN

Maka, penting bagi seorang penerjemah untuk mempertimbangkan siapa yang akan
membaca teks bahasa sasaran atau teks bahasa sasaran akan ditujukan untuk siapa agar
terhindar dari masalah nantinya. Maksudnya, jika pembaca sasaran memiliki ideologi yang
sama seperti penerjemah, maka mungkin tidak akan mengalami suatu masalah jika
penerjemah mengubah isi menjadi seperti apa yang diyakini penerjemah. Namun, jika
pembaca sasaran menganut kepercayaan yang sama seperti yang ada pada teks bahasa
sumber, maka terjemahan yang dihasilkan dengan mediasi akan menimbulkan masalah serius.
Sebagai pedoman, sebelum seorang penerjemah melakukan perubahan isi ke dalam
teks bahasa sasaran, penerjemah harus terlebih dahulu memastikan apakah teks tersebut
merupakan ilmu pengetahuan umum atau masih berupa keyakinan atau mitos. Jika
penerjemah melakukan perubahan pada teks yang mengandung mitos atau keyakinan, maka
penerjemah harus lebih berhati-hati dalam mengambil metode mana yang paling tepat agar
dapat menghasilkan terjemahan yang dapat diterima. Penerjemah harus mempelajari baik-
baik jenis teks apa yang sedang diterjemahkan, ilmu pengetahuan umum, karya sastra, atau
ilmu pengetahuan umum yang mengandung keyakinan tertentu. Selain itu, penerjemah juga
harus mempertimbangkan pembaca sasaran termasuk ke dalam kategori yang menganut
ideologi mana.
Menjadi seorang penerjemah memang bukan profesi yang mudah karena memiliki
tingkat fleksibilitas yang tinggi dan tidak memiliki patokan pasti karena terjemahan akan
selalu berbeda tergantung konteks dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Bahkan untuk
kasus tertentu, terkadang penerjemah merupakan profesi yang cukup berisiko, khususnya saat
berhadapan dengan teks atau pesan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan, situasi politik atau
perang, teks-teks teknik yang mana dalam situasi tertentu berhubungan dengan hidup mati
seseorang. Akan tetapi, bagi mereka yang menyukai tantangan, penerjemah merupakan
pekerjaan yang sangat menantang dengan masalah-masalah kompleks yang kadang
mengejutkan dan tidak diduga sebelumnya. Apapun itu, dilema yang dihadapi oleh
penerjemah akan selalu ada karena bahasa selalu membawa unsur-unsur lain yang tidak dapat
dilepaskan seperti budaya, sejarah, nilai-nilai dalam masyarakat, dsb.
BIBLIOGRAPHY

Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.
Newmark, P. 1988. A Textbook on Translation. UK: Prentice Hall
Nababan, M.R. 2016. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumardiono. 2010. Wordpress: Ideologi Penerjemahan dan Penerjemahan Ideologi (Online).
Diakses tanggal 18 November 2016 https://sumardionozy.wordpress.com/ideologi-
penerjemahan-dan-penerjemahan-ideologi/
Azizah, A. 2012. Wordpress: Mitos, Penalaran dan Cara Memperoleh Pengetahuan Manusia
(Online). Diakses tanggal 18 November 2016
https://alifatulazizah.wordpress.com/2012/04/01/mitos-penalaran-dan-cara-
memperoleh-pengetahuan/
Comte, A. Harriet Martineau (translator). 1853. Positive Philosophy. University of Michigan:
D. Appleton and Company
Haviland, W.A. R.G. Soekadijo (translator). 1999. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Chalmer, A.F. Joesoef Isak (translator). 1983. Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?. Hasta Mitra,
Jakarta, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai