Anda di halaman 1dari 8

HAK HIDUP PETANI DAN IMPOR PRODUK PERTANIAN1

Agus Pakpahan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan


Jalan A. Yani 70 Bogor

PENDAHULUAN

Petani dan pertanian merupakan dua kata yang maknanya tak terpisahkan.
Petani merupakan subyek, sedangkan pertanian merupakan aktivitas dimana
subyek itu memainkan peran. Karena itu tak ada petani tanpa pertanian dan tak
ada pertanian tanpa petani. Kelihatannya pandangan ini kuno. Tetapi, realitas
mengatakan begitu. Pertanian di negara-negara maju basisnya adalah petani,
bukan perusahaan besar. Kecuali di negara-negara bekas jajahanlah perusahaan
besar melakukan kegiatan pertanian dengan struktur perusahaan besar. Pola ini
merupakan peninggalan penjajah, yang mewariskan struktur ekonomi sebagai-
mana dinamakan Booke struktur ekonomi dualistik.
Kehidupan pertanian yang kuat di negara-negara maju bukan merupakan
hasil penciptaan dalam setahun dua tahun. Proses tersebut telah berlangsung lama
dalam sejarah pembangunan di negara-negara tersebut. Mengapa hal tersebut
terjadi? Semuanya disebabkan oleh pandangan bahwa negara akan kuat apabila
pertaniannya kuat. Misalnya, Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16,
mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menjadi negara besar dan kuat apabila
warga negara menjadi pemilik negara itu. Karena mayoritas penduduk negara
tersebut pada zamannya adalah petani, maka interpretasi petani memiliki negara
tersebut secara konkrit harus diartikan bahwa para petani memiliki lahan yang
cukup, termasuk para budak yang baru saja dibebaskan dari sistem perbudakan.
Dengan dasar pandangan ini, Abraham Lincoln menciptakan undang-undang yang
sangat terkenal, yaitu Homestead Act 1862. Undang-undang ini mentransfer tanah-
tanah negara kepada petani dengan luasan per unit 65 hektar. Jutaan hektar tanah-
tanah negara beralih kepemilikannya menjadi tanah-tanah petani. Karena itu
tidaklah mengherankan luas areal pertanian per petani (1997) di negeri ini
mencapai rata-rata 471 acres atau 190 hektar, meningkat dari sekitar 70 hektar
pada 1940. Pelajaran utama dari kejadian ini adalah bahwa hak hidup petani
bukanlah sesuatu yang sifatnya kosong, tetapi dibangun dengan kebijaksanaan
mendasar yang sekaligus juga meningkatkan kapabilitas petani tersebut, yaitu
"what farmers can do or can be".
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi ajang diskusi awal, yang mungkin
dilanjutkan dengan suatu seminar atau diskusi yang dilakukan secara periodik di

1
Makalah disampaikan pada Seminar Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, 12
Nopember 2003.

HAK HIDUP PETANI DAN IMPOR PRODUK PERTANIAN Agus Pakpahan


17
Puslitbang Sosek Pertanian, atau di lembaga lain, yang menaruh perhatian
terhadap petani dan pertanian Indonesia masa mendatang. Kesimpulan utama dari
tulisan ini adalah bahwa impor produk-produk pertanian akan menjadi bencana
bagi kehidupan petani dan pertanian Indonesia mendatang apabila hak-hak hidup
petani dibiarkan menjadi gugus kosong, yang tak didukung oleh kebijaksanaan
yang mampu meningkatkan kapabilitas petani. Dengan matinya pertanian, maka
harapan kehidupan Indonesia sebagai bangsa juga menjadi suram, mengingat tidak
mungkin bangsa ini akan hidup tentram, sejahtera dan bahagia apabila untuk
makanan saja tergantung dari kebaikan hati negara atau bangsa lain.

HAK HIDUP PETANI

Berbicara mengenai hak hidup petani Indonesia, kita tampaknya berbicara


tentang gugus kosong. Yang dimaksud dengan gugus kosong adalah bahwa
kehidupan petani yang lebih baik bukan hanya tidak dijamin oleh undang-undang,
tetapi juga lebih parah lagi, bahwa hak hidup petani hanyalah berada pada tataran
ucapan saja. Belajar dari Amerika Serikat, sebagai negara adidaya termasuk dalam
bidang pertaniannya, kita melihat di negara ini banyak sekali undang-undang yang
melindungi petani dari berbagai tindakan curang atau undang-undang yang
memberikan jaminan akan kehidupan petani yang lebih baik. Dalam Sugar
Observer No. 15, Tahun I, Senin 11 Agustus 2003, disajikan 89 jenis act yang
menyangkut pertanian. Dari 89 act tersebut, misalnya, kita dapat menemukan
undang-undang yang menjamin fair practices: Agricultural Fair Practices Act
1967; dalam bidang pemasaran: Agricultural Marketing Agreement Act 1937;
Perishable Agricultural Commodities Act 1930, dst.
Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman 1992 merupakan undang-
undang yang memberikan jaminan kebebasan kepada petani untuk memilih
tanaman atau ternak sesuai dengan keinginan petani. Undang-undang ini
merupakan cerminan bahwa sebelumnya petani tidak bebas memilih jenis tanaman
atau ternak yang diusahakannya. Tetapi apakah nilai dari kebebasan ini sifatnya
riil? Kebebasan memang merupakan hal yang sangat berharga dalam kehidupan
manusia, tetapi makna kebebasan ini baru menjadi riil sifatnya apabila ia memang
memberikan makna kebebasan itu sendiri. Petani miskin pada hakekatnya ia tidak
memiliki kebebasan walaupun secara undang-undang ia bebas memilih. Demikian
pun halnya dengan ketiadaan sarana dan prasarana, petani tidak memiliki
kebebasan yang riil sifatnya.
Atas dasar pemikiran di atas, maka kita perlu melihat hak hidup petani ini
bukan sekedar kebebasan dalam artian boleh, tetapi kita perlu lebih melihatnya
secara fondamental dan komprehensif.
Hak hidup petani dapat ditelusuri dengan menjawab pertanyaan: What
farmers can do or can be? Semakin banyak petani yang tak dapat lakukan, maka
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 17-24

18
semakin tidak merdeka ia; dan semakin rendah status petani dalam masyarakat
(can be), maka semakin tidak merdeka juga dia.
Sebagai bahan acuan empirik, kita dapat melihat bagaimana
perkembangan sejarah perkebunan besar di Indonesia. Perkebunan besar mulai
memiliki hak hidup dengan diciptakannya Agrarisch Wet 1870. Dengan undang-
undang ini maka hak hidup perusahaan besar dijamin. Maka berdirilah
perusahaan-perusahaan besar dengan tanah-tanah perkebunan yang luas, didukung
oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan yang komplernen dengan tujuan perusahaan
besar tersebut. Hal ini berlaku hingga hari ini, perusahaan-perusahaan besar
menguasai tanah-tanah perkebunan hingga ratusan ribu hektar, berdampingan
dengan para petani di sekitamya dengan hanya mengolah tanah jumlahnya sangat
sempit. Permodalan, teknologi dan berbagai jaminan lainnya juga terpusat bagi
perusahaan besar ini. Salah satunya adalah Program Perkebunan Besar Swasta
Nasional (PBSN). Kebijaksanaan ini sangat berbeda dengan yang ditempuh
Abraham Lincoln 1862, 8 tahun sebelum Agrarisch Wet 1870 diciptakan. Pola
perusahaan perkebunan besar ini memberikan inspirasi bahwa hak hidup itu bukan
hanya dalam bentuk boleh, tetapi ia terintegrasi dengan "What company can do or
can be", yang juga dipersiapkan melalui suatu paket kebijaksanaan.
Apa yang telah dikerjakan untuk petani? yang sudah dikerjakan
tampaknya minimal, atau bahkan lebih bersifat memarjinalkan petani. Proyek-
proyek pembangunan pertanian, baik yang didanai oleh pinjaman luar negeri
maupun yang dibiayai oleh APBN murni, perlu mendapat evaluasi yang seksama.
Sebagai indikator kemajuan petani kita dapat melihat dari sudut kemampuan
petani dalam skala usahanya. Luas areal per petani cenderung mengecil, makin
gurem, berbeda dengan kecenderungan petani di Malaysia, Thailand, Amerika
atau bahkan Jepang sekalipun. Dengan luasan lahan yang makin sempit itu, maka
makin tidak bebas petani menggantungkan kehidupannya pada lahannya. Belum
lagi kecenderungan penurunan harga riil produk primer yang terus menerus
terjadi, maka pendapatan rill petani pun menjadi semakin berkurang.
Kebijaksanaan di bidang perdagangan yang membebaskan impor produk-produk
pertanian menambah kesulitan petani. Sudah bertambah sulit karena sumber daya
yang dikuasainya mengecil, ditambah lagi kesulitan bersaing dengan produk
impor.
Dan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan petani
Indonesia makin sulit karena memang laju kehidupannya dibiarkan berlanjut tanpa
jaminan hak hidup yang lebih baik dari negara.

IMPOR DAN KEHIDUPAN PETANI

Sekarang, mari kita khususkan pembicaraan kita pada aspek impor. Secara
sederhana impor ini merupakan hal yang biasa, yaitu suatu kegiatan ekonomi yang
normal-normal saja. Tentu kita perlu melihat persoalan ini secara lebih mendalam,

HAK HIDUP PETANI DAN IMPOR PRODUK PERTANIAN Agus Pakpahan


19
mengingat impor barang pertanian memiliki hubungan dengan produk pertanian
yang dihasilkan di dalam negeri.
Asumsi bahwa impor itu tidak mengganggu kesejahteraan petani apabila
memang jumlah produk pertanian yang diimpor tidak signifikan atau memang
daya saing produk pertanian kita sudah siap. Persoalannya adalah bahwa daya
saing itu sendiri tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan resultante dari
kebijaksanaan di dalam negeri dan kebijaksanaan dari negara-negara lain. Oleh
karena itu, kita tidak dapat melihat persoalan daya saing produk pertanian di
dalam negeri tanpa memeriksa secara teliti kebijaksanaan negara-negara lain.
Hal ini tidak dimaksudkan bahwa kita harus menjadi negara tertutup,
melainkan kita harus mencari strategi yang sesuai dengan situasi global. Afrika
Selatan, misalnya dalam kasus gula, negara ini menyimpulkan bahwa persoalan
gula tidak dapat diselesaikan secara unilateral Afrika Selatan saja, tetapi perlu
diselesaikan secara global, mengingat keputusan Afrika Selatan secara unilateral
tidak akan menyelesaikan permasalahan, bahkan akan merugikan diri sendiri.
Karena itu, negara ini memilih pola monopoli gula oleh South African Sugar
Association. Hal ini tentu berlaku juga untuk komoditas-komoditas lainnya.
Ditinjau dari kepentingan memberikan jaminan hak hidup petani, maka
persoalan impor menjadi persoalan fondamental. Sesuai dengan UUD 1945 bahwa
warga negara dijamin memperoleh pekerjaan yang layak sesuai dengan
kemanusiaan dan fakir miskin dipelihara oleh negara, jelas bahwa hak hidup
petani ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahkan sebaliknya, dimensi hak hidup
petani ini perlu dipelajari dan didalami agar dapat ditemukan jalan keluarnya.
Kebijaksanaan pada dasarnya adalah resultante dari nilai, scientific
knowledge, politik, dan institusi. Nilai yang dimaksud mencakup tujuan dari
mendirikan negara ini. Impor atau perdagangan, karena itu sifatnya subordinat dari
tujuan mendirikan bangsa ini, bukan sebaliknya. Nilai juga mencakup aspek
keadilan, kebebasan, fairness, kesejahteraan, kemajuan, dan hal-hal yang senada.
Dari sudut pandang ini, "scientific knowledge seperti pengetahuan tentang
efisiensi yang diperoleh dari teori ekonomi, tentu berada di bawah nilai di atas,
termasuk nilai yang lebih tinggi lagi seperti kemanusiaan (humanity). Dengan
perkataan lain, untuk apa efisiensi dijadikan tujuan apabila ia tidak
berperikemanusiaan.
Contohnya biaya tenaga kerja yang paling efisien adalah sistem
perbudakan, tetapi ini tentu tidak tepat lagi dalam era sekarang. Sama halnya
adalah produk pertanian yang semurah-murahnya adalah efisien, tetapi tentu hal
ini tidak manusiawi apabila mematikan kehidupan petani. Dimensi politik pun
demikian, bahwa petani merupakan mayoritas penduduk Indonesia sesuai dengan
lapangan pekerjaannya, tetapi keputusan-keputusan politik tidak memihak kepada
kepentingan petani. Artinya adalah bahwa negara ini tidak memperhatikan
mayoritas penduduk yang secara aktif memberikan dukungan ekonomi kepada
negara.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 17-24

20
Kebijaksanaan itu tidak pernah bebas dari nilai, tetapi merupakan usaha
untuk mencapai nilai-nilai tertentu yang menjadi tujuan mendirikan negara ini.
Karena itu, mengimpor produk pertanian juga tidak boleh terlepas dari tujuan yang
lebih besar, bukan sekedar memenuhi kekurangan produk yang dibutuhkan.
Dengan kerangka berpikir di atas, maka rincian kehidupan petani harus
dijabarkan secara kongkrit dan terinci. Pada tahun 2020, misalnya, harus sudah
tergambar dengan baik sasaran-sasaran jaminan kehidupan petani yang lebih baik
dari sekarang. Kemajuan RRC dalam 20 tahun terakhir adalah hasil dari
kebijaksanaan yang konsisten dari Deng Xiao Ping dan penerusnya. Deng Xiao
Ping dan para pemimpin RRC sangat menaruh perhatian bagi kemajuan negaranya
atas dasar kemajuan di bidang pertanian. Dengan kemajuan di bidang pertanian
inilah RRC menjadi bukti negara besar yang menjadi makin kuat dan maju karena
kebijaksanaan di bidang pertanian yang berhasil.

HAK HIDUP PETANI SEBAGAI PILIHAN NILAI DASAR


KEBIJAKSANAAN

Dalam era globalisasi ekspor-impor merupakan hal yang sangat penting,


bahkan setiap langkah yang akan kita ambil harus dimulai dengan mengkaji aspek
ini. Menyatunya dunia tanpa batas ruang-waktu, menjadikan semua kemampuan
menjawab persoalan lama menjadi usang, dan tidak dapat lagi dijadikan alat untuk
menjawab persoalan yang timbul sekarang, apalagi nanti, termasuk di dalamnya
bagaimana kita menjawab persoalan perdagangan internasional seperti ekspor-
impor. Ekspor-impor sudah harus menjadi pemahaman bagi seluruh lapisan pelaku
ekonomi, termasuk petani.
Selama kurun waktu sekitar 500 tahun perekonomian dunia dapat
dikatakan dikuasai oleh Barat, dengan desain dasar bahwa negara-negara jajahan,
khususnya Asia dan Afrika dijadikan negara pemasok bahan baku. Bahan baku
tersebut pada umumnya merupakan hasil-hasil pertanian dan pertambangan.
Adapun benua Australia dan Amerika bukan hanya dijadikan koloni, tetapi
diduduki secara permanen oleh bangsa-bangsa Eropa. Situasi ini tentu
menciptakan struktur baru kehidupan umat manusia di muka bumi, termasuk
kehidupan perekonomian bangsa-bangsa dunia. New York, Chicago, Los Angeles,
London, Lisbon, dan kota-kota besar tumbuh di dunia Barat menjadi magnet
perekonomian yang sangat dahsyat. Di Timur tumbuh pula Tokyo, Hongkong dan
Singapura, yang sifatnya juga menjadi magnet yang sangat besar dalam menarik
barang dan jasa ke wilayah tersebut. Cina mulai menggeliat, dengan Sanghai
sebagai salah satu magnet yang berkekuatan skala dunia. Dengan kekuatan magnit
dari kota-kota tersebut, maka setiap desah nafas kota- kota besar tersebut akan
berpengaruh ke seluruh dunia.

HAK HIDUP PETANI DAN IMPOR PRODUK PERTANIAN Agus Pakpahan


21
Penduduk miskin sebagian besar berada di Asia dan Afrika. Keadaan ini
masih sama seperti kondisi lebih dari 100 tahun yang lalu. Kondisi di Indonesia
juga demikian. Beban populasi yang besar ini telah memberikan dampak yang
nyata bagi kerusakan lingkungan hidup. Hutan hancur, sistem hidrorologi rusak,
laut tercemar dan biodiversity menyusut tajam. Habitat manusia di kawasan ini
sungguh terganggu dan sudah rusak sejalan dengan perkembangan perekonomian
selama 500 tahun ini.
Namun demikian, sumber mata pencaharian utama penduduk masih tetap,
yaitu pertanian. Apabila dahulu pertanian dengan beberapa komoditas perkebunan
merupakan "emas hijau", maka sebaliknya sekarang. Pertanian dihadapkan pada
posisi yang dilematis mengingat terus menurunnya harga-harga riil produk primer
di satu pihak, dan kuatnya pertanian negara maju di pihak lain. Kekuatan yang
tidak seimbang ini diperkuat lagi oleh tidak berpihaknya organisasi-organisasi
internasional seperti WTO terhadap negara-negara berkembang, yang sebagian
besar merupakan bekas negara jajahan Barat.
Dalam konstelasi dunia seperti diuraikan di atas, pilihan untuk
menghidupi penduduk negara berkembang tidaklah banyak. Bahkan dapat
dikatakan bahwa hanya pilihan tunggal yang tersedia, minimal untuk 50 tahun
mendatang, yaitu pertanian. Dengan kesenjangan produktivitas antara pertanian di
negara berkembang dengan pertanian di negara maju, maka persoalan menjadi
terpusat pada bagaimana meningkatkan produktivitas dan kualitas dari produk-
produk pertanian ini. Kendala utama terletak pada penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta jaringan pemasaran dan sumber biaya investasi, yang selama
ini dan untuk minimal jangka 50 tahun ke depan, juga masih dikuasai oleh negara-
negara maju. Persoalan ini muncul karena memang sudah menjadi sifat alamiah
manusia bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis. Artinya naluri untuk
"menguasai" dunia dari bangsa-bangsa yang selama ini "menguasai dunia" akan
tetap berusaha untuk selalu "menguasai dunia" selamanya.
Situasi ini memberikan isyarat bahwa kita harus berusaha mengurangi
ketergantungan, khususnya bagi produk-produk yang secara alamiah bisa
dihasilkan di dalam negeri. Yang paling utama dari kelompok produk ini adalah
produk-produk pertanian, utamanya pangan. Dengan menjaga ketergantungan ini,
selain devisa akan dapat dihemat, yang paling penting adalah menyediakan
lapangan pekerjaan dan berusaha bagi penduduk negeri ini.
Jadi, apabila hak hidup petani dijadikan dasar nilai dalam melihat
fenomena impor pangan, maka yang sebenarnya dibangun bukan hanya dalam
konteks ketergantungan pangan saja, melainkan lebih luas dari itu, yaitu
menciptakan lapangan pekerjaan dan usaha bagi sebagian besar rakyat Indonesia
sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi. Ini memerlukan perubahan dalam politik
pertanian dan politik negara secara keseluruhan.
Kita ambil ilustrasi terigu. Terigu sekarang ini sudah menjadi "kebutuhan
pokok" bagi perekonomian pangan di Indonesia. Yang dihidupkan oleh terigu
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 17-24

22
pada dasamya adalah industri pengolahan pangan berbasis tepung terigu, yang
dibayar mahal oleh para petani penghasil bahan pangan di dalam negeri.
Peternakan, misalnya ayam ras juga demikian, yaitu dibayar mahal oleh peternak
bebek. Masuknya sayuran dan buah-buahan impor, juga demikian. Padahal
Indonesia memiliki sumber pangan yang sangat besar untuk mendukung industri
tepung, seperti ubikayu dan umbi-umbi lainnya, sagu, dan berbagai jenis tanaman
lainnya. Semua itu menjadi terbengkalai atau diterbengkalaikan sehingga dari hari
ke hari potensinya makin menyusut.
Contoh lainnya adalah gula. Potensi yang sangat besar dalam bidang
pergulaan ini bukan hanya terletak dari gula tebu, tetapi berbagai jenis gula yang
dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman. Bukan hanya itu, potensi tebu yang
sangat besar juga diterbengkalaikan. Tebu ini menghasilkan banyak hal yang dapat
mendatangkan mukzijat. Brazil mengkonsentrasikan budidaya tebu untuk
menghasilkan gula, energi, fiber dan pakan ternak. Sebagai ilustrasi, Indonesia
saat ini menghasilkan bagas 3,5 juta ton atau ekuivalen 1,5 juta ton pulp per tahun.
Jumlah ini ekuivalen dengan menebang Hutan Tanaman Industri 600 ribu hektar
per tahun. Dapat dibayangkan betapa besar potensi ini. Sayang hal ini tidak
diperhatikan secara serius. Bahkan ada kalangan lebih menyukai impor gula yang
akhirnya akan mematikan pertanaman tebu.
Memberikan jaminan hak hidup petani dalam konteks yang lebih
komprehensif pada dasarnya adalah memberikan jaminan hidup bagi
keberlanjutan bangsa dan negara. Sebaliknya, promosi impor adalah promosi
untuk mematikan bangsa dan negara ini. Di sinilah kita harus melihat secara
mendalam bahwa pertanian memang benar merupakan "soal hidup atau mati"
bangsa Indonesia seperti yang telah diamanatkan Presiden Soekarno pada
peletakan batu pertama Fakultet Pertanian Universitas Indonesia di Bogor, 1952.
Oleh karena itulah, persoalan pertanian ini jangan dilihat sebagai persoalan
sektoral, melainkan merupakan persoalan negara, persoalan keberlanjutan hidup
bangsa dan negara Indonesia. Inilah nilai dasar kita.

PENUTUP

Hak hidup petani merupakan hak petani untuk memperoleh jaminan


bahwa hidupnya akan lebih membaik dari hari ke hari. Jaminan ini sangat penting
untuk ditekankan mengingat hasil keringat dan jerih payah petani ini merupakan
jaminan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dimana para petani ini
berada. Kehidupan negara hingga hari ini merupakan kontribusi yang besar dari
hasil keringat petani yang selama ini belum pernah memperoleh jaminan akan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, promosi impor adalah
bertentangan dengan jaminan keberlanjutan kehidupan bangsa dan negara,
mengingat promosi impor adalah akan mematikan kehidupan petani, dan
karenanya mematikan kehidupan bangsa dan negara.

HAK HIDUP PETANI DAN IMPOR PRODUK PERTANIAN Agus Pakpahan


23
Memang impor diperlukan pada saat-saat kebutuhan pangan atau hasil
pertanian tidak dapat dipenuhi dari hasil di dalam negeri. Tetapi persoalannya
tidak boleh langsung mengambil keputusan mengimpor sebelum kekayaan alam
yang tersedia di dalam negeri secara sungguh-sungguh dikelola dengan baik. Oleh
karena itu pula, persoalan pertanian tidak dapat dipandang sebagai persoalan
sektoral, tetapi harus ditempatkan sebagai persoalan negara. Karena itu seluruh
kebijaksanaan harus tunduk terhadap kebutuhan keberlanjutan kehidupan bangsa
dan negara dimana pertanian mempakan kunci utamanya. Keputusan politik yang
mendasar diperlukan untuk Indonesia mendatang, sebagaimana telah dibuat oleh
Presiden Abraham Lincoln untuk Amerika Serikat pada 1862, dalam rangka
meningkatkan jaminan kehidupan petani yang lebih baik melalui peningkatan
"what farmers can do or can be".

AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 17-24

24

Anda mungkin juga menyukai