Anda di halaman 1dari 10

BAB I

Pendahuluan

Fungsi utama dari sistem imun adalah untuk mencegah dan mengeliminasi adanya

infeksi. Bagaimanapun juga, respon imun yang dihasilkan oleh tubuh dapat

mengakibatkan cedera pada jaringan serta menyebabkan beberapa kelainan. Kelainan

yang terjadi pada tubuh yang disebabkan oleh adanya respon imun disebut dengan

hypersensitivity disease. Hypersensitivity disease dapat disebabkan oleh dua macam

ketidaknormalan respon imun. Pertama, respon imun yang dihasilkan oleh tubuh dalam

mengatasi antigen asing yang masuk ke dalam tubuh terjadi secara tidak terkontrol dan

yang kedua terjadi karena adanya kegagalan fungsi toleransi sehingga respon imun yang

dihasilkan oleh tubuh ditujukan kepada antigen diri yang seharusnya tidak dianggap

sebagai antigen asing dan diserang (autoimmune disease). Terdapat empat klasifikasi dari

hypersensitivity disease, yaitu : immediate hypersensitivity (tipe 1), antibody-mediated

diseases (tipe 2), immune complex-mediated diseases (tipe 3), dan T-cell-mediated

diseases (tipe 4).(1)

Reaksi anafilaksis adalah salah satu contoh dari hipersensitivitas tipe 1. Reaksi

anafilaksis merupakan reaksi sistemik akut yang dapat mengakibatkan kematian secara

singkat dalam beberapa menit. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 ditandai dengan tingginya

kadar antibodi immunoglobulin E (Ig E) pada darah sebagai akibat dari pajanan alergen

pada reseptor Ig E.(1, 2)

Bentuk antigen asing pada tubuh manusia selain alergen adalah organ hasil

transplantasi. Transplantasi adalah pencangkokan jaringan yang diambil dari tubuh

pasien itu sendiri (autograft), dari orang lain (allograft), ataupun dari spesies lain

1
(xenograft).(3) Biasanya sistem imun akan menolak adanya jaringan asing yang telah

ditranssplantasikan dari satu individu ke individu yang lainnya karena adanya

alloreactive T-cell atau antibodi yang mengenali adanya alloantigen pada jaringan yang

ditransplantasikan.(4)

2
BAB II

Laporan Kasus

Seorang wanita, Nn. S, usia 22 tahun, datang ke UGD sebuah rumah sakit dengan

keadaan koma. Menurut temannya, sebelumnya kondisis wanita tersebut baik-baik saja

dan berangkat ke sebuah salon kecantikan. Namun, saat hendak membayar perawatan

kecantikan vitamin suntikan, tiba-tiba ia terlihat pucat dan pingsan. Akhirnya wanita

tesebut meninggal dunia.

Dari informasi yang didapat dari keluarganya, Nn.S telah terdaftar sebagai

pendonor ginjal dengan data fenotip HLA: A1,24 ; B8,44 ; DRB1*O3,13. Maka

dilakukanlah transplantasi ginjal yang diberikan kepada 2 orang donor, yaitu Bpk.Y usia

50 tahun serta Ibu X usia 27 tahun. Keduanya telah lama menderita gagal ginjal dan

sedang menunggu adanya donor ginjal. Bpk Y memiliki fenotip HLA: A2,19 ; B12,- ;

DRB1*07,13 sedangkan Ibu X memiliki fenotip HLA: A1,24 ; B8,44 ; DRB1*03,04.

Keduanya menerima obat imunosupresif. Tiga hari sesudahnya, Bpk Y mengalami

penurunan urine output, nyeri saat berkemih, bengkak di lengan dan kaki, serta keletihan

yang berkepanjangan.

3
BAB III

Pembahasan

Dari kasus dapat disimpulkan bahwa Nn. S mengalami syok anafilaktik sehingga

menyebabkan kematian. Syok anafilaktik sendiri merupakan reaksi hipersensitivitas

terhadap alergen yang masuk ke dalam tubuh. Reaksi anafilaksis merupakan bentuk

respon alergi yang timbul paling cepat dan berbahaya. Reaksi sistemik akut ini pada

umunya timbul setelah penyuntikan antigen yang poten (alergen) pada orang yang sangat

peka, seperti yang terjadi pada Nn. S. Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul

beberapa menit setelah terpajan suatu alergen; keterlambatan timbulnya reaksi yang lebih

lama dari satu jam sangat jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan

alergen dapat menyebabkan kematian.(2)

Layaknya mekanisme alergi yang lainnya, reaksi anafilaksis terjadi pada saat

seseorang terekspos ulang oleh suatu pajanan antigen. Pada saat pajanan pertama, orang

tersebut telah tersensitisasi sebagai mekanisme imunitas dari tubuh. Pada reaksi ini, yang

berperan adalah antibodi Ig E dan sel mast. Mekanisme imunologinya adalah sebagai

berikut:

1. Antigen Presenting Cell (APC) menginternalisasi antigen.


2. APC akan memproses antigen yang telah diinternalisasi dengan cara

mempresentasikan peptida dari antigen tersebut.


3. APC mempresentasikan peptida yang telah diproses ke limfosit T CD4+

melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II.


4. Sel T akan berdiferensiasi menjadi T-helper 2 (Th2) dan memproduksi IL-4,

IL-5, I- 9, dan IL-13.

4
5. IL-4 dan IL-13 akan menyebabkan Imunoglobulin isotype switching sel B

menjadi Ig E.
6. Ig E yang bersirkulasi berikatan dengan Ig E reseptor yang ada pada sel

mast.
7. Antigen yang dikenali oleh Ig E akan berikatan dengan kompleks Ig E-sel

mast.
8. Terjadi degranulasi dari sel mast. Degranulasi melepaskan beberapa

mediator, antara lain: histamin, triptase, prostaglandin, leukotrien dan

mediator lain yang mencetuskan gejala dari reaksi anafilaksis.(5)

Mekanisme Anafilaksis (5)

Peranan dari sitokin-sitokin yang dikeluarkan sel mast antara lain :


Leukotriens: reaksinya lambat, vasodilatasi, kontraksi dari dinding

bronkiolus dan usus, sekresi mucus dan kemotaksis



Prostaglandin: reaksinya cepat, vasodilatasi, kontraksi dinding bronkiolus

dan usus

Histamine: kontraksi smooth muscle di usus dan saluran pernafasan dan

relaksasi dari smooth muscle yang ada disekeliling pembuluh darah

5

Enzim proteolitik seperti Tryptase: membelah C3 dan mangaktifkan

komplemen.(4)

Dari sitokin-sitokin yang dikeluarkan secara umum menyebabkan vasodilatasi.

Karena itu, permeabilitas vaskuler akan meningkat dan cairan akan berpindah ke

jaringan. Pembengkakan biasanya terjadi di sekitar mata, muka, paru dan laring.

Pembengkakan pada saluran nafas atas menyebakan wheezing dan pasokan O2 menurun.

Karena pasokan O2 ke jaringan menurun, secara klinis akan ditunjukkan dengan adanya

gejala kepucatan dan pingsan. Vasodilatasi juga menyebabkan syok primer yang

akhirnya menyebabkan pingsan karena hipotensi. Untuk mengkompensasi hipotensi,

jantung akan bekerja lebih keras. Kegagalan jantung untuk mengkompensasi

menyebabkan pasokan O2 ke otak berkurang sehingga menyebabkan koma. Kontraksi

otot polos pada saluran pernafasan atas akan menyebabkan bronkospasme sehingga

timbul wheezeing dan susah menelan. Kontraksi pada salauran pernafasan atas juga

diperparah dengan sekresi mucus, keduanya dirangsang oleh adanya produksi

leukotriens.(1, 6)

Berbeda halnya dengan Nn. S, masalah yang dihadapi oleh Bpk. Y bersangkutan

dengan adanya mekanisme penolakan sistem imun terhadap organ yang

ditransplantasikan ke dalam tubuh Bpk. Y, yaitu ginjal. Masalah yang dihadapi oleh Bpk.

Y antara lain adalah penurunan urine output, nyeri saat berkemih, bengkak di lengan dan

kaki serta keletihan yang berkepanjangan. Adanya keluhan-keluhan tersebut dikarenakan

oleh adanya mekanisme penolakan sistem imun pada tubuh Bpk. Y terhadap organ yang

ditransplantasikan. Hal tersebut terjadi karena perbedaan yang cukup signifikan antara

Human Leukocyte Antigens (HLA) Nn. S (pendonor) dan Bpk. Y (resipien).

6
HLA adalan molekul Major Histocompability Complex (MHC) yang diekspresikan

pada permukaan sel manusia. Pada awalnya molekul MHC diidentifikasikan sebagai

alloantigen pada permukaan leukosit yang terikat dengan antibodi serum seorang

individu yang sudah terpajan sel dari individu lain, baik melalui transfusi dan lain

sebagainya. HLA merupakan protein polimorfik yang digunakan untuk

mempresentasikan antigen kepada sel T. MHC terdiri dari dua kelas, yaitu MHC kelas 1

dan kelas 2. MHC kelas 1 terdiri dari HLA-A, HLA-B, dan HLA-C, sedangkan MHC

kelas 2 terdiri dari HLA-DP, HLA-DR, dan HLA-DQ. MHC kelas 1 ditemukan di

permukaan sel pada beberapa sel darah putih dan MHC kelas 2 ditemukan pada

permukaan sel jaringan tubuh. Setiap manusia mengekspresikan 6 alel MHC kelas 1 dan

setidaknya 6 alel MHC kelas 2. Gen MHC diekspresikan secara kodominan dan berarti

gen ini diturunkan dari kedua orang tua secara seimbang.(1, 4)

Untuk melakukan sutau transplantasi, diperlukan adanya tes genetik untuk

menentukan tipe HLA yang dimiliki, baik oleh pendonor maupun resipien. Tes tersebut

dinamakan HLA typing, dalam HLA typing yang diperhitungkan antara lain adalah HLA-

A, HLA-B dan HLA-DR. HLA-C dan HLA-DP mempunyai kepolimorfikan yang

terbatas dan kurang signifikan untuk dijadikan penentuan dalam HLA typing sehingga

kurang diperhitungkan untuk menimbulkan suatu manifestasi klinis yang berarti dalam

mekanisme graft rejection.(4)

Reaksi penolakan organ yang ditransplantasikan (graft rejection) mirip dengan

reaksi hipersensitivitas tipe 4 karena dimediasi oleh sel T. Graft rejection diklasifikasikan

menjadi 3 tipe, yaitu: hyperacute rejection, acute rejection, dan chronic rejection.(1, 4)

Hyperacute rejection Acute Rejection Chronic Rejection

7
Segera setelah transplantasi Beberapa hari atau Beberapa bulan

Waktu (dalam hitungan menit, minggu pasca atau tahun pasca

kurang dari 24 jam) transplantasi transplantasi


Antibodi yang ada di Sel T (bereaksi pada Sel T dan sitokin

sirkulasi (spesifik untuk alloantigen organ (bereaksi pada

antigen pada sel endotelial (sel endothelial dan alloantigen organ

organ) parenkimal stimuli

Mediator kerusakan sel) proliferase dan

aktivitas fibroblast

dan otot polos

pembuluh di

organ)
Trombosis pada pembuluh Vascular damage, Munculnya

organ dan iskemi nekrosis endotelialitis fibrosis pada organ

Karakterisasi pada organ transplantasi (inflamasi dan munculnya

interstitial) graft

arteriosclerosis
(1, 4)
Tabel Perbedaan

Pada kasus Bpk. Y ini, diketahui bahwa adanya keluhan terjadi setelah 3 hari pasca

transplantasi ginjal, jadi dapat disimpulkan bahwa pada tubuh Bpk. Y sedang terjadi

reaksi penolakan akut (acute rejection). Pada organ yang ditransplantasikan terdapat

APC donor yang mempresentasikan antigen donor (alloantigen) pada sel T resipien

terutama sel T sitotoksik (CTL). CTL mengenali alloantigen tersebut sebagai antigen

asing dan menyerang jaringan organ yang ditransplantasikan sehingga menimbulkan

kerusakan jaringan. Pada kasus ini organ yang ditansplantasikan adalah ginjal sehingga

menyebabkan kerusakan jaringan ginjal (gagal ginjal) yang ditandai dengan edema,

8
disuria, penurunan urine output, dan kelelahan. Disuria dan penurunan urine output

terjadi karena ginjal kehilangan fungsinya sebagai filtrasi sehingga urin yang dihasilkan

sedikit. Edema terjadi karena pada gagal ginjal, protein albumin lolos dan diekskresikan

dalam urin. Fungsi albumin dalam darah adalah sebagai penjaga tekanan osomotik dalam

darah, dan dengan absennya albumin dalam darah, maka cairan intravaskuler dapat

berpindah ke jaringan dan menyebabkan edema. Kelelahan diakibatkan fungsi ginjal

dalam menghasilkan hormon eritropoetin berkurang sehingga menggangu proses

pembentukan sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia sehingga perfusi O2 ke

jaringan pun berkurang yang menyebabkan Bpk. Y merasakan keletihan yang

berkepanjangan.(7)

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan sebelum dilakukan transplantasi agar

dapat meminimalisir efek dari reaksi penolakan sistem imun tubuh adalah HLA typing

test. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi protein pada setiap permukaan sel (HLA)

yang terdapat pada donor dan resipien. Dengan semakin banyaknya kesamaan HLA,

maka semakin memperkecil kemungkinan terjadinya penolakan organ transplantasi.

Selanjutnya dapat dilakukan crossmatch test. Fungsi dari tes ini adalah untuk mengetahui

apakah tubuh resipien sudah membentuk antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen

yang berasal dari organ yang ditransplantasikan. Tes ini dapat mencegah reaksi

penolakan hiperakut (hyperacute rejection).(8,9)

Jika sesudah dilakukan transplantasi terjadi reaksi penolakan maka dapat diberikan

obat immunosupressan (contoh siklosporin). Obat ini dapat menekan sistem imun tubuh

untuk menolak organ yang ditransplantasikan sehingga gejala-gejala yang diderita dapat

diatasi. Tetapi efek dari pemberian obat-obat immunosupressan dapat menyebabkan

pasien rentan terhadap infeksi (bakteri maupun virus) sehingga pasien perlu dipantau

9
dengan seksama agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya infeksi pada pasien. (1,
4)

10

Anda mungkin juga menyukai