Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA DI


POLI HEMODIALISA RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Oleh :
Rico Yulianto
12.1101.1093

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronik


1. Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Angka
perkembangan penyakit ginjal kronis ini sangat bervariasi. Perjalanan gagal
ginjal kronis hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3 bulan hingga
30-40 tahun. Gagal Ginjal kronis ditandai dengan gejala dan tanda uremia
yang berkepanjangan, adalah hasil akhir dari semua penyakit ginjal kronis
(Robins dkk, 2004 dalam Harahap, 2016). Berdasarkan panduan dari
KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) tahun 2002, penyakit
ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan
Glomerulal Filtration Rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m selama
lebih dari 3 bulan. Gagal ginjal merupakan kelainan patologis pada ginjal,
yang ditandai dengan abnormalitas pada darah dan urin pada hasil lab. Hal
serupa juga dikemukakan oleh lee pada 2015 lalu, yaitu dengan tambahan
albuminuria lebih dari 30 mg/24 jam (Simamora, 2016).
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan
irreversible. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari
50 ml/menit. Gagal ginjal kronik sesuai dengan tahapannya dapat berkurang,
ringan, sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage renal failure)
adalah stadium gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika
dilakukan terapi pengganti (Suhardjono, 2003 dalam Muharni, 2010).
Penyakit ginjal kronis merupakan proses patofisologis menurunnya fungsi
ginjal secara progresif dan lambat dengan etiologi yang beragam dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Hal ini ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel hingga pada akhirnya tidak mampu lagi
bekerja sebagai penyaring pembuangan elektrolit dan menjaga
keseimbangan cairan serta zat kimia tubuh. Penyakit ginjal kronik adalah
suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih berupa
laju filtrasi glomerulus (LFG) yang kurang dari 60mL/menit/1,73m2 dengan
atau tanpa kerusakan ginjal (PERMENKES RI No.812 Tahun 2010 dalam
Agustian, 2015).
2. Etiologi
Berbagai macam gangguan atau penyakit dapat berhubungan
dengan gagal ginjal kronis. Seperti proses ginjal primer (misalnya
glomerulonefritis, pyelonefritis, hipoplasia kongenital) atau proses ginjal
sekunder (oleh karena proses sistemik seperti diabetes mellitus atau lupus
erythematosus) yang mungkin bertanggung jawab. Bila didapati cedera pada
ginjal, hiperfiltrasi sampai kerusakan unit-unit nefron akan memproduksi
stres yang berkelanjutan dan cedera pada jaringan remnant ginjal. Pasien
akan menunjukkan perkembangan dari satu tahap keparahan gagal ginjal
kronis ke tahap yang berikutnya. Alterasi fisiologik sekunder ke tahap
dehidrasi, infeksi, uropati obstruktif, atau hipertensi kemungkinan dapat
menyebabkan suatu batas terhadap pasien untuk menjadi uremia kronis yang
tidak terkompensasi ( Tanagho dan McAninch, 2008).
Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008 dalam Hayani,
2015).
a) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal
progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik
seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus
Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan
diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat
berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang
berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien
dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis
arthritis rheumatoid dan myeloma (Sukandar, 2013). Istilah
glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan
sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2014). Gambaran klinis glomerulonefritis
mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaandarurat medik
yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2013 dalam Hayani, 2015).
b) Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Purnamasari (2014) diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabates melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi
yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus. Glomerulosklerosis adaah
lesi yang paling khas dan dapat terjadi secara defus atau nodular
glomerulosklerosis diabetik difus merupakan isi yang sering terjadi,
terdiri atas penebalan difus matrix mesangial dengan bahan eosinofilik
disetai penebalan membran basalis kapiler. Glomerulosklerosis diabetik
nodular ( juga dikenal sebagai lesi Kimmeisteil-Wilson) lebih jarang
terjadi namun sangat spesifik untuk penyakit ini terdiri dari bahan
eosinofilik nodular yang menumpuk pada dasarnya dan biasanya teletak
dalam perifer glomerulus didalam inti lobus kapiler. Kelainan non
glomerulus dalam nefropati diabetik adalah nefritis tubulointertitial
kronik, nekrosis papilaris, hialinosis arteri eferen dan aferen, serta
iskemia. Glomerulosklerosis diabetik hampir selalu didahului oleh
retinopati diabetik, yang ditandai dengan mikroaneurisma di sekitar
makula (Price & Wilson, 2003)
c) Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik 140
mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg secara kronis.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder diakibatkan oleh
suatu penyakit atau kelainan yang mendasar, seperti stenosis arteri
renalis, penyakit parenkim ginjal, dan sebagainya (Tanto dan Hustrini,
2014). Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis)
merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden
hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik
kurang dari 10% (Sukandar, 2013).
d) Ginjal Polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal,
baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa, oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas
30 tahun (Sukandar, 2013). Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan
pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar
60%. Penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal
polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20% (Sukandar, 2013).
Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan
penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry,
sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis
(Suwitra, 2014). Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe
uncomplicated jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel.
Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat
(Sukandar, 2013).
Sedangkan menurut (Price, 1995), penyebab GGK adalah:
a) Infeksi seperti pielonefritis kronik.
b) Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
c) Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis.
d) Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit polikistik ginjal,
dan asidosis tubulus.
e) Penyakit metabolik seperti diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
dan amiloidosis.
f) Penyakit ginjal obstruktif seperti pembesaran prostat, batu saluran
kemih, dan refluks ureter.

3. Klasifikasi
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar laju filtrasi
glomerulus (LFG), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut:
(140umur) berat badan
LFG (ml/mnt/1,73m2) = mg
72 kreatinin plasma ( )
dl

*pada perempuan dikalikan 0,85


3.1 Klasifikasi penatalaksanaan, komplikasi dari gagal ginjal
Derajat Penjelasan LFG Rencana dan Komplikasi
mL/min tata laksana
1 Kerusakan >90 Terapi -
ginjal dengan penyakit
LFG normal dasar kondisi
morbid
2 Kerusakan 60-89 Menghambat Tekanan darah
ginjal dengan pemburukan mulai meningkat
penurunan progresif
LFG ringan fungsi ginjal
3 Penurunan 30-59 Evaluasi dan Hiperfosfatemia,
LFG sedang terapi hiperkalemia,
komplikasi anemia, HT
4 Penurunan 15-29 Persiapan Malnutrisi,
LFG berat untuk terapi asidosis
pengganti metabolik,
ginjal hiperkalemia,
hiperlipidemia
5 Gagal ginjal <15 Terapi Gagal jantung
tahap akhir pengganti uremia
ginjal

Sedangkan menurut Harahap (2016) stadium gagal ginjal kronik


antara lain:
a) Stadium 1 : Pada stadium ini, terjadi tahap awal kerusakan ginjal dengan
kondisi ginjal 90% dari keadaan normal namun ginjal masih dapat
mempertahankan fungsi normalnya. Kadar urea dan kreatinin dalam
darah normal dan asimtomatis. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pada
stadium ini 90mL/menit/1,73m2
b) Stadium 2: Tidak jauh berbeda dengan stadium 1, pada stadium ini telah
terjadi penurunan fungsi ginjal namun tidak terlihat gejala-gejala yang
khas. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal ataupun sedikit
meningkat. 60-89% ginjal masih berfungsi normal dengan Laju filtrasi
Glomerulus (LFG) 60-89 mL/menit/1,73m2.
c) Stadium 3: Pada stadium ini, laju filtrasi glomerulus ginjal telah
menurun hingga 30-59 mL/menit/1,73m2. Stadium ini terbagi atas 2,
yaitu stadium 3a (45-59 mL/menit/1,73m2) dan stadium 3b (30-
44mL/menit/1,73m2). Pada stadium 3a, penyakit ginjal kronis masih
bersifat asimptomatis sehingga banyak penderita masihbelum menyadari
bahwa fungsi ginjal mereka telah mengalami penurunan sementara pada
stadium 3b, gejala klinis sudah mulai terlihat seperti hipertensi,
penurunan penyerapan kalsium, berkurangnya eksresi fosfat oleh ginjal,
peningkatan hormon paratiroid, perubahan metabolisme lipoprotein,
berkurangnya penyerapan protein, anemia, hipertrofi ventrikel kiri,
retensi garam dan air serta penurunan ekskresi kalium oleh ginjal.
d) Stadium 4: Stadium 4 adalah stadium dimana ginjal telah mengalami
kerusakan berat dengan laju filtrasi 15-29 mL/menit/1,73m2. Gejala-
gejala klinis pada stadium ini mirip dengan gejala pada stadium 3b.
Pada stadium ini gejala asidosis metabolik seperti anoreksia, pernapasan
kussmul, mual dan kelelahan mulai terlihat seiring dengan
memburuknya kondisi ginjal.
e) Stadium 5: Stadium ini disebut dengan gagal ginjal kronis menurut
National Service Framework for Renal Service. Dengan laju filtrasi
glomerulus 15 mL/menit/1,73m2, ginjal dinilai tidak lagi mampu
berfungsi normal sehingga membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti
hemodialisis untuk menopang kehidupan. Gejala-gejala klinis seperti
retensi garam dan air yang mengakibatkan edema dan gagal jantung,
anoreksia, mual, pruritus (rasa gatal tanpa penyakit kulit), meningkatnya
kadar urea dalam darah serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini disebut
dengan sindrom uremik.

4. Patofisiologi
Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan
pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama.
Soeparman 2007; Price & Wilson, 2005; Black & Hawks, 2005; Sudoyo,
2006 menyebutkan bahwa patofisiologi gagal ginjal adalah adanya
pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor
sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, yang diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara
progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksi renin-angiotensin-aldosteron
intra renal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth Factor
(TGF-) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas (Daryani,
2011).
Selain itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia. Stadium awal
penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal dimana
basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau meningkat dan
dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
ditandai adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60%. LFG 60% pasien masih belum ada keluhan atau
asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Pada LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Penurunan LFG
dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium.
Gejala lain dari uremia yaitu pruritus, mual, muntah, mudah terjadi infeksi
pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang sering terjadi yaitu hipervolemia,
natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal
ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
hemodialisis atau transplantasi ginjal (Daryani, 2011).

5. Manifestasi Klinis
Penurunan fungsi nefron pada gagal ginjal kronik akan
mempengaruhi semua sistem tubuh. Tanda dan gejala yang muncul
tergantung pada tingkat kerusakan nefron, penyakit yang mendasari dan usia
pasien. Tanda dan gejala gagal ginjal kronik diantaranya yaitu (Daryani,
2011):
a) Sistem Kardiovaskuler: Hipertensi merupakan komplikasi
kardiovaskuler pada pasien gagal ginjal kronik. Hipertensi dapat terjadi
akibat retensi cairan dan sodium. Manifestasi lain yang dapat ditemukan
pada system kardiovaskuler adalah left ventricular hypertrophy (LVH),
coronary artery diseases, congestive heart failure (CHF), perikarditis,
pericardial effusion dan pericardial tamponade (Price & Wilson, 2003;
Kallenbach et al, 2005).
b) Sistem Integumen: Tanda dan gejala yang sering muncul adalah kulit
kering dan bersisik, tingginya kandungan urea menyebabkan kulit terasa
gatal (pruritus), kulit terlihat pucat, hiperpigmentasi dan dermatitis.
Kuku dan rambut juga menjadi kering dan pecah pacah sehingga
mudah rusak dan patah. Ekimosis dapat terjadi karena disfungsi platelet
(Price & Wilson, 2003; Kallenbach et al, 2005; Porth, 1998).
c) Sistem Imun: Pasien mudah terjadi infeksi yang disebabkan oleh karena
defisiensi system imun tubuh. Kondisi lain yang menyebabkan
defisiensi imun tubuh adalah malnutrisi dan seringnya dilakukan
tindakan infansif (Kallenbach et al, 2005).
d) Sistem Gastrointestinal: Ulserasi dan perdarahan saluran cerna
disebabkan oleh karena iritasi mukosa gaster oleh karena uremia dan
iritasi ammonia. Diare disebabkan karena iritasi pada usus atau dapat
terjadi karena hiperkalemia. Kejadian konstipasi biasanya terjadi pada
pasien dengan penurunan tingkat aktifitas, restriksi cairan, rendahnya
intake potassium dan rendahnya diet tinggi serat. Anoreksia, mual,
muntah dan kelainan periodental disebabkan karena toksin uremia
(Kallenbach et al, 2005).
e) Sistem hematologi: Anemia dengan kadar Hb < 6 gr%, kadar hematokrit
< 25-30% merupakan tanda dan gejala yang sering dialami oleh pasien.
Anemia terjadi akibat tidak adekuatnya produksi eritropoetin,
memendeknya usia sel darah merah, serta defisiensi nutrisi (seperti zat
besi, asam folat dan vitamin B12). Kehilangan nutrisi selama
hemohemodialisis, kecenderungan terjadinya perdarahan akibat status
uremik terutama di saluran pencernaan akan memparah terjadinya
anemia (Kallenbach et al, 2005).
f) Sistem Muskuloskeletal: Penyakit tulang uremik atau osteodistrofi renal
merupakan kelainan penyakit tulang uremik. Peningkatan parathormon
menyebabkan osteoitis fibrosa. Demineralisasi tulang dapat
menyebabkan osteomalasia, peningkatan serum Ca dan serum PO4
menyebabkan metastatic calsifications (Kallenbach et al, 2005;
Smeltzer & Bare, 2008). Beberapa gangguan pada system
musculoskeletal diantaranya yaitu osteodistrofi, calciphylaxis, joint
disorders, pseudogout, amyloidosis, carpal tunnel syndrome
(Kallenbach, 2005 hlm 46).
g) Sistem neurologi: Fatigue, proses mental yang lambat, ansietas dan
agitasi umum terjadi pada gangguan sistem neurologi. Kejang terjadi
bila azotemia meningkat dengan cepat. Gangguan tidur diantaranya
insomnia, Restless Leg Syndrome dan sleep apnea (Kallenbach, 2005
hlm 48).
h) Sistem Pernafasan: Oedema pulmonal dan left ventricular dysfunction
disebabkan akumulasi cairan yang berlebih. Pernafasan kussmauls dan
bau nafas uremik (Kallenbach, 2005 hlm 48).
i) Sistem Reproduksi: Perubahan hormon tubuh diantaranya estrogen,
progresteron dan testosterone dapat menyebabkan gangguan pada
system reproduksi. Manifestasi klinik yang sering muncul pada system
reproduksi diantaranya yaitu amenore, oligomenore, infertilitas.
(Kallenbach, 2005).
j) Ketidakseimbangan Metabolisme: Ketidakseimbangan metabolisme
disebabkan karena uremia berhubungan dengan metabolisme glukosa,
lemak dan protein.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Keberadaan CKD harus ditegakkan, berdasarkan adanya kerusakan
ginjal dan tingkat fungsi ginjal (GFR), tanpa memperhatikan diagnosis. Pada
pasien dengan CKD, stadium penyakitnya harus ditentukan berdasarkan
tingkat fungsi ginjal menurut klasifikasi CKD dari K/DOQI. CKD stadium
awal dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin. Penghitungan
GFR merupakan pemeriksaan terbaik dalam menentukan fungsi ginjal.
Dalam praktek klinis, GFR umumnya dihitung denganmenggunakan klirens
kreatinin atau konsenstrasi kreatinin serum. Namun pengukuran klirens
kreatinin seringkali sulit dilakukan dan seringkali tidak akurat karena
membutuhkan sampel urin 24 jam. Kreatinin serum dipengaruhi oleh faktor
lain selain GFR, terutama produksi kreatinin, yang berhubungan dengan
ukuran tubuh, khususnya massa otot. Pada banyak pasien GFR harus turun
sampai setengah dari nilai normal, sebelum kreatinin serum meningkat di
atas nilai normal sehingga sangat sulit untuk menilai tingkat fungsi ginjal
dengan tepat atau untuk mendeteksi CKD pada stadium awal (Rachmadi,
2010).
Keakuratan penilaian GFR dengan menggunakan kreatinin serum
pada pasien anak dapat diperbaiki dengan menggunakan rumus perkiraan
dengan memperhatikan tinggi badan, usia, dan jenis kelamin pasien. Rumus
perkiraan yang banyak dipergunakan untuk menentukan GFR adalah rumus
Schwartz dan rumus Counahan-Baratt, walaupun berdasarkan data penelitian
didapatkan bahwa hasil yang berlebihan dari rumus Scwartz meningkat
seiring penurunan GFR, demikian juga dengan rumus Counahan-Baratt.
Walaupun kurang tepat, namun rumus-rumus ini menyediakan metode yang
lebih praktis dibanding penilaian GFR dengan menggunakan urin 24 jam,
selain itu pengukuran klirens kreatinin menggunakan spesimen urin 24 jam
tidak menghasilkan perkiraan GFR yang lebih baik dibanding dari hasil
rumus perkiraan (Rachmadi, 2010).
Urinalisis dapat dilakukan untuk menapis pasien yang dicurigai
mengalami gangguan pada ginjalnya. Peningkatan ekskresi protein
(proteinuria) persisten umumnya merupakan penanda untuk kerusakan
ginjal. Peningkatan ekskresi albumin (albuminuria) merupakan penanda
sensitif CKD yang disebabkan diabetes, penyakit glomerular, dan hipertensi.
Pada banyak kasus, penapisan dengan menggunakan metode dipstick dapat
diterima untuk mendeteksi proteinuria. Pasien dengan hasil tes protein
dipstick positif (+1 atau lebih) harus dikonfirmasi melalui pengukuran
kuantitatif (rasio protein terhadap kreatinin atau rasio albumin terhadap
kreatinin) dalam 3 bulan. Pasien dengan 2 atau lebih hasil tes kuantitatif
positif dengan jeda waktu 1 sampai 2 minggu harus didiagnosis menderita
proteinuria persisten dan diperiksa lebih lanjut. Pada pasien anak dengan
nefropati diabetikum perlu dilakukan pemeriksaan mikroalbuminuria
(Rachmadi, 2010).
Pemeriksaan sedimen urin mikroskopis, terutama bersamaan
dengan pemeriksaan proteinuria, berguna dalam mendeteksi CKD dan
mengenali jenis penyakit ginjal. Dipstick urin dapat mendeteksi sel darah
merah/hemoglobin (hematuria), neutrophil dan eosinofil (piuria) dan bakteri
(nitrit), namun tidak dapat mendeteksi sel epitel tubular, lemak, cast di urin.
dilakukan untuk mendeteksi keberadaan sel darah merah, sel darah putih,
cast, kristal, fungi dan bakteri. Pemeriksaan sedimen urin mikrospkopis
dilakukan untuk mendeteksi halhal yang tidak dapat dideteksi dipstick
(Rachmadi, 2010).
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat kemungkinan
adanya anemia sebagai salah satu manifestasi klinis kronis CKD.
Pemeriksaan kimiawi serum menilai kadar ureum dan kreatinin sebagai yang
terutama dalam diagnosis dan monitoring, sedangkan pemeriksaan kadar
natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon
paratiroid, kolesterol, fraksi lipid yang berguna dalam terapi dan pencegahan
komplikasi (Rachmadi, 2010).
Pemeriksaan pencitraan ginjal sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan CKD dan pada individu-individu yang beresiko mengalami CKD.
Hasil abnormal pada pemeriksaan pencitraan dapat menunjukkan penyakit
ginjal vaskuar, urologis atau intrinsik. Pemeriksaan ultrasonografi
merupakan pemeriksaan yang berguna pada beberapa kondisi, dan tidak
dihubungkan dengan risiko terpapar radiasi atu kontras. Prosedur invasif
lainnya, seperti voiding cystourography dan biopsy ginjal dapat berguna
pada kasus-kasus tertentu (Rachmadi, 2010).
Menurut (Suwitra, 2014 dalam Putri, 2016) penegakan diagnosa
untuk gagal ginjal kronik yaitu:
a) Gambaran Klinis:
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes
mellitus. infeksi traktus urinarius, hipertensi hiperurikemi, lupus
eritomatosus sistemik ( LES ) dan lain sebagainya.
2) Sindrom uremia.yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati prifer,
pruritus, uremik frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3) Gejala komplikasinya. hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(shodium, kalium, khlorida)
b) Gambaran laboratoris
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penrunan LFG yang dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan darah hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hiperkolemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolic.
4) Kelainan urinalisis meliputi: proteuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
c) Gambaran radiologis
1) Foto polos abdomen bias tampak batu radio-opak.
2) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksis oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
3) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
4) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ginjal yang mengecil
koreteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, klasifikasi.
5) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
d) Biopsi dan Pemeriksaan Histapatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histapatologi ginjal dilakukan pada
pasien dengan ukuran ginjal yang masih menekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapakan
terai, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
biopsi ginjal indikasi-kontra yang dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang
takterkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
napas dan obesitas.
7. Komplikasi
Bila ginjal tidak berfungsi sebagai salah satu alat pengeluaran
(ekskresi), maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan
menjadi racun bagi tubuh sendiri dan mengakibatkan hipertensi, anemia,
asidosis, ostedistrofi ginjal, hiperurisemia dan neuropati parifer. Pada
sebagian kecil kasus (10%), hipertensi mungkin tergantung renin dan
refrakter terhadap kontrol volume natrium ataupun dengan anti hipertensi
ringan. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/l, dapat terjadi aritmia
yang serius dan juga henti jantung (Muharni, 2010).
Hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia,
hiponatremia, dan asidosis metabolik kronik yang ringan pada penderita
uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadarbikarbonat plasma 16 sampai
20 mEq/l. Anemia berupa penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal yang sakit
maka pengobatan yang ideal adalah penggantian hormon ini. Pada hiperurisemia
kadar asam urat yang meninggi maka dihambat biosintesis yang dihasilkan oleh
tubuh dan neuropati perifer biasanya simtomatik tidak timbul sampai gagal
ginjal mencapai tahap akhir (Behrman, 1987 dikutip dari Noer, 2003 dalam
Muharni, 2010).

8. Prognosis
Angka kematian meningkat sejalan dengan memburuknya fungsi
ginjal. Penyebab kematian utama adalah penyakit kardiovaskular. Terapi
penggantian ginjal dapat meningkatkan angka harapan hidup.

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap
yaitu (Daryani, 2011):
a) Tahap pertama terdiri dari terapi konservatif yang ditujukan untuk
meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif,
penatalaksanaan ini diantaranya yaitu mengoptimalisasikan dan
mempertahankan keseimbangan cairan dan garam, diit tinggi kalori,
rendah protein, kontrol hipertensi, kontrol ketidakseimbangan elektrolit,
deteksi dini, terapi infeksi dan deteksi terapi komplikasi (Soeparman,
2007; PERNEFRI, 2003). Tindakan ini juga bertujuan untuk
mempertahankan fungsi nefron dan meningkatkan kualitas kesehatan
pasien.
b) Tahap kedua adalah terapi hemodialisis dan transplantasi ginjal. Terapi
hemodialisis dilakukan setelah tindakan konservatif tidak lagi efektif.
Pada keadaan ini terjadi gagal ginjal terminal dan satu-satunya
pengobatan yang efektif adalah hemodialisis dan transplantasi ginjal
(Raharjo et al, 1996; Kalenbach, 2005; Konsensus Hemodialisis, 2003).
Hemodialisis terdiri dari peritoneal hemodialisis/CAPD dan
hemohemodialisis (Black & Hawks, 2005; Kalenbach,2005).
Menurut Putri (2016) penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik
antara lain:
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah
memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-
keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme
secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2013). Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit
dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga
perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih
normal secara ultrasonografi, bopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2014) Penting
sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras,
atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,2014)
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya.
1) Peranan Diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen (Sukandar, 2013). Pembatasan asupan protein mulai
dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut,
pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan
yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi,
jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda
dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan
ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal (Suwitra, 2014).
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik (Suwitra, 2014). Masalah penting
lain adalah asupann protein berlebihan (protein Overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan
aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat
perlu untuk mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2014).
2) Kebutuhan Jumlah Kalori
Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus
adekuat dengan tujuan utama untuk mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi, dan memelihara
anthomometri (skinfold thickness) (Sukandar, 2013).
3) Kebutuhan Cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Dengan
tujuan untuk mencegah dehidrasi osmotik yang akan memperburuk
faal ginjal (LFG) terutama pada kelompok pasien gagal ginjal
kronik dengan kecenderungan natriuresis misalnya penyakit ginjal
polikistik, scarring pyelonephritis, dan nefropati urat kronik,
memelihara status hidrasi optimal, dan mengeleminasi toksin
azotemia (Sukandar, 2013). Untuk kelompok gagal ginjal kronik
dengan LFG 5 ml/hari dan sindrom nefrotik dapat diberikan
diuretika untuk memperlancar diuresis, misal furosemide. Takaran
furosemid 40-80 mg/hari (interval 2 hari) sampai jumlah takaran
maksimal 3 g/hari (Sukandar, 2013)
b. Terapi Asimptomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan
serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati
asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH
7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L (Sukandar, 2013).
2) Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal
kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal,
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi
akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar
hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30g%, meliputi evaluasi
terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis
(Suwitra, 2014).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu
diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai
studi klinik adalah 11-12 g/dl (Suwitra, 2006). Transfusi darah
misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak (Sukandar, 2014).
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan
yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-
obatan simtomatik (Sukandar, 2013).
4) Kelainan Kulit
Puritis ( uremic ithching) Keluhan gatal ditemukan pada 25%
kasus gagal ginjal kronik, insiden meningkat pasien dengan terapi HD
reguler. Keluhan gatal-gatal ada dua yaitu bersifat subjektif dan
objektif. Beberapa pilihan terapi yaitu mengendalikan hiperfosfatemia
dan hiperparatiroidisme, terapi lokal : topikal emolloien (triple
lanolin), phototerapy dengan sinar UV-B 2 perminggu selama 2-6
minggu (kalau perlu terapi sinar dapat diulang), pemberian
medikamentosa (Diphydramine 25-50 mg P.O (bid), Hydroxyzine 10
mg P.O (bid)) (Sukandar, 2013).
Easy Brushing Kecenderungn perdarahan pada kulit dan
selaput serosa berhubungan dengan retensi toksin Guadinosuccinic
acid (GSA) dan gangguan faal trombosit. Pilihan tindakan dengan
dialisis (Sukandar, 2013). Edema Edema pada gagal ginjal kronik
terutama dengan underlying renal disease. Glomerulopati primer dan
sekunder selalu disertai dengan retensi Na+ dan air. Terapi pilihan
dengan diuretika dan ultrafiltrasi (Sukandar, 2013).
5) Kelainan neuromuskuler
Keluhan-keluhan yang berhubungan dengan kelainan
neuromuskuler adalah restless, parestesia, neuropati perifer, kram otot,
insomnia, konvulsi. Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu
terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa (diazepam,
sedatif) atau operasi subtotal paratiroidektomi (Sukandar, 2013).
6) Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikann bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran
sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam
memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi
ginjal (Suwitra, 2014).
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang
termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
(Suwitra, 2014).
c. Transplantasi ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2014).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2013).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk
membantu penanganan pasien GGA ( Gagal Ginjal Akut) maupun
GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum
yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah
dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila
dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana,
cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas
khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit ( Roesli et
al, 2014) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA
(gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah
yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2013).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih
disukai untuk pasien gagal ginjal stadium akhir (Price & Wilson,
2012). Manfaat transplantasi sudah jelas terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dlam hal perbaikan kualitas
hidup. Salah satu diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran
jasmani yang lebih baik dan paling jelas terlihat pada pasien usia
muda dan pada pasien diabetes mellitus. Transplantasi ginjal dapat
mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal dan terapi
pengganti ginjal (Susalit, 2014). Menurut (Sukandar, 2013)
pertimbangan program transplantasi ginjal dan persiapan
transplantasi ginjal, yaitu: Cangkok ginjal dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah, Kualitas hidup normal
kembali, Masa hidup (survival rate) lebih lama, Kompllikasi
terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan, Biaya lebih murah dan dapat dibatasi. Persiapan
program transplantasi ginjal, Pemeriksaan imunologi, Golongan
darah ABO, Tipe jaringan HLA (Human Leucocyte Antigen),
Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga.

B. Konsep Hemodialisa
1. Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal
stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanen (Bare and Smeltzer, 20002). Gagal ginjal kronis yang mulai perlu
di dialisa adalah penyakit ginjal kronis yang sudah mengalami penurunan
fungsi ginjal dengan LGF <15 mL/menit/1,73m2. Pada keadaan ini fungsi
ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksik dalam tubuh
yang disebut uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi pengganti
ginjal dalam mengeliminasi toksik dalam tubuh sehingga tidak terjadi gejala
yang lebih berat. Jenis cairan dialisis yang sering digunakan adalah asetat
dan biokarbonat.
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal
dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang
berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2005; Ignatavicius, 2006).
Hemodialisa memerlukan jalan masuk kealiran darah, maka dibuat suatu
hubungan buatan antara arteri dan vena (Fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan (NKF, 2006).
Hemodialisis adalah suatu proses pengubahan komposisi solut
darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran semiperiabel
(membran dialisis). Pada prinsip hemodialisis adalah suatu proses pemisahan
atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran yang
semipermiabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
baik yang kronik maupun akut (Suhardjono, 2014). Menurut Sukandar, 2013
hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan
untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan
diasillat melalui selaput membran semipermeabel yang berperan sebagai
ginjal buatan.

2. Tujuan
Hemodialisa akan dapat membantu penderita dengan
mempermudah kerja ginjal. Mengekskresi zat-zat sisa, garam, dan cairan
yang berlebih agar tidak terakumulasi dalam sirkulasi tubuh; beberapa zat
kimia dalam kadar yang aman bagi tubuh. Selain itu, proses hemodialisa
juga akan meregulasi tekanan darah pasien (National Kidney Foundation,
2007). Sedangkan menurut Daryani (2011) Inisiasi hemodialisis bertujuan
untuk meningkatkan usia harapan hidup pasien, mempertahankan fungsi
nefron yang masih baik, mengurangi morbiditas, menurunkan angka uremia
perikarditis, uremia encephalopathy, overload cairan dengan congestive
heart failure, gangguan nutrisi yang diakibatkan anoreksia dan infeksi.
Tujuan lain adalah mencegah terjadinya komplikasi intrahemodialisis
diantaranya gastrointestinal stress dan pruritus. (Nissenson, 2002 hlm 130;
PERNEFRI, 2003; Rosansky, 2009).

3. Indikasi
Menurut panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(KDOQI) tahun 2006 dalam Suhardjono, 2014 merekomendasikan untuk
mempertimbangkan maanfaat dan resiko memulai terapi pengganti ginjal
(TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eLFG) kurang
dari 15 mL/menit/1,73 m2 (PGK tahap 5). Akan tetapi kemudian terdapat
bukti-bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara yang
memulai dialisis dini dengan yang memulai dialisis (early versus late
dialysis). Oleh karena itu pada PGK tahap 5, inisiasi (saat memulai) HD
dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut:
a. Kelebihan cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan dan / atau
hipertensi.
b. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi
farmakologis.
c. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat.

d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi pengikat


fosfat.

e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi.

f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa


penyebab yang jelas.

g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala


mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.

h. Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah


adanya gangguan neurologis (seperti: neuropati, enselopati, gangguan
psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu
perdarahan.

4. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut untuk dilakukan hemodialisa adalah apabila
tidak didapatkannya akses vaskular.Kontraindikasi relatif adalah apabila
ditemukan adanya kesulitan akses vaskular. Fobia terhadap jarum, gagal
jantung, dan koagulopati, gangguan pembekuan darah, anemia berat dan
trombosis atau emboli pembuluh darah yang berat.

5. Persiapan Hemodialisa
a. Persiapan pasien
Persiapan penanganan klien HD meliputi bantuan psikologis
berupa support sosial yang berkaitan dengan coping. Sebelum menjalani
HD klien diberikan pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh tim multi
disiplin (Kidney Alliance, 2001), sehingga klien mendapat gambaran,
memahami dan mampu membuat keputusan untuk dilakukan HD. Klien
yang mendapatkan pendidikan kesehatan sebelum dialisis memiliki
skore suasana hati yang lebih tinggi, mengalami masalah mobilitas,
kecacatan, kecemasan yang lebih rendah, serta mampu membuat
keputusan untuk dirinya (Klang et al, 1996, dalam Farida, 2010).
Selain psikologis klien, hal yang perlu disiapkan adalah akses
vaskuler yang merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh menuju
dialiser dan selanjutnya kembali lagi ke tubuh. Teknis akses vaskuler
utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses internal (Arterio
Venous Fistula dan Arterio Venous Graff) dan akses eksternal (Drakbar,
2008 dalam Farida, 2010).
b. Persiapan Alat
Peralatan hemodialisis meliputi mesin hemodialisis, Dialiser dan
Dialisat.
1) Mesin Hemodialisis
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem
pengaturan larutan dialisat dan sistem monitoring. Pompa dalam
mesin hemodialisis berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh
ke dialiser dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh (Thomas,
2003). Selain itu mesin hemodialisis juga dilengkapi detektor udara
untuk mendeteksi adanya udara dalam vena (Hudak & Gallo, 1999;
Thomas, 2003).
2) Dialiser (Ginjal buatan)
Dialiser adalah tempat dimana proses hemodialisis
berlangsung, sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam
darah dan dialisat. Dialiser merupakan kunci utama proses
hemodialisis, karena yang dilakukan oleh dialiser sebagian besar
dikerjakan oleh ginjal yang normal. Dialiser terdiri dari 2
kompartemen yaitu dialisat dan darah, yang dipisahkan oleh
membran semipermeabel yang mencegah cairan dialisat dan darah
bercampur menjadi satu (Le Mone & Burke, 2008). Luas
permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi
jumlah zat dan air yang berpindah. Dialiser high efficiency adalah
dialiser yang mempunyai luas permukaan membran yang besar,
sedangkan high flux adalah dialiser yang mempunyai pori-pori besar
dan dapat melewatkan molekul yang besar, dan mempunyai
permeabilitas tinggi terhadap air.
3) Dialisat
Dialisat adalah cairan yang terdiri dari air dan elektrolit
utama dari serum normal yang dipompakan melewati dialiser ke
darah pasien (Hudak & Gallo, 1999; Thomas & Smith, 2003).
Komposisi cairan dialisat diatur sedemikian rupa sehingga
mendekati komposisi ion darah normal dan sedikit dimodifikasi
agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit pada
penyakit ginjal tahap akhir. Dialisat dibuat dalam sistem air bersih
dengan air kran dan bahan kimia yang disaring dan diolah dengan
water treatment secara bertahap. Larutan dialisat harus diatur pada
suhu antara 36,7 37,5C sebelum dialirkan ke dialiser. Suhu
larutan dialisat yang terlalu rendah atau melebihi suhu tubuh dapat
menimbulkan komplikasi (Hudak & Gallo, 1999; Sherman, 2001).
5.1 Konsentrasi substansi dalam darah dan dialisat
Darah Substansi Dialisat
133-144 Natrium (mmol/L-1) 132-155
3,3-5,3 Kalium (mmol/L-1) 0-3,0
2,5-6,5 Ureum (mmol/L-1) 0
60-120 Creatinin (mmol/L-1) 0
2,2-2,6 Kalsium (mmol/L-1) 1,25-2,0
0,85 Magnesium (mmol/L-1) 0,25-0,75
4,0-6,6 Glukosa (g/L-1) 0-10
22-30 Bicarbonat (mmol/L-1) 30-40

6. Prinsip Hemodialisa
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi (Smeltzer, et al, 2008). Saat proses difusi sisa akhir
metabolisme didalam darah dikeluarkan dengan cara berpindah dari darah
yang konsentrasinya tinggi ke dialisat yang mempunyai konsentrasi rendah
(Smeltzer et al, 2008). Ureum, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi
dengan mudah dari darah ke cairan dialisat karena unsur-unsur ini tidak
terdapat dalam dialisat. Natrium asetat atau bicarbonat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi kedalam darah. Kecepatan
difusi solut tergantung kepada koefesien difusi, luas permukaan membran
dialiser dan perbedaan konsentrasi serta perbedaan tekanan hidrostatik
diantara membran dialisis (Price & Wilson, 2005) Air yang berlebihan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan; dengan kata lain air
bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh klien) ke
tekanan yang lebih rendah (dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin
hemodialisis. Tekanan negatif sebagai kekuatan penghisap pada membran
dan memfasilitasi pengeluaran air, sehingga tercapai keseimbangan cairan.

7. Proses Hemodialisa
Efektifitas HD tercapai bila dilakukan 2 - 3 kali dalam seminggu selama 4
5 jam, atau paling sedikit 10 12 jam seminggu (Australia and New Zealand
Dialysis and Transplant Registry, 2005; Black & Hawk, 2005). Hemodialisis
di Indonesia biasanya dilakukan 2 kali seminggu dengan lama hemodialisis 5
jam, atau dilakukan 3 kali dalam seminggu dengan lama hemodialisis 4 jam
(Raharjo, Susalit & Suharjono, 2006). Sebelum HD dilakukan pengkajian
pradialisis, dilanjutkan dengan menghubungkan klien dengan mesin HD
dengan memasang blood line dan jarum ke akses vaskuler klien, yaitu akses
untuk jalan keluar darah ke dialiser dan akses masuk darah ke dalam tubuh.
Arterio Venous (AV) Fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan
karena cenderung lebih aman dan juga nyaman bagi pasien (Thomas, 2003)
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang, proses HD dimulai. Saat
dialisis darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam dialiser. Darah
mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis.
Infus heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung peralatan
yang digunakan (Hudak & Gallo, 1999). Darah mengalir dari tubuh melalui
akses arterial menuju ke dialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan zat
sisa. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh pasien dengan kecepatan
200400 ml/menit (Price & Wilson, 2005)
7.1 Sistem Hemodialisis

Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang


meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah yang sudah
disaring kemudian dialirkan kembali kedalam tubuh melalui akses venosa
(Hudak & Gallo,1999). Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari
pasien, membuka selang normal salin dan membilas selang untuk
mengembalikan darah pasien. Pada akhir dialisis, sisa akhir metabolism
dikeluarkan, keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer system telah
diperbaharui (Lewis et al, 2000; Smeltzer et al, 2008).

8. Komplikasi
Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis
menurut Holley et al, 2007; Barkan et al, 2006; Hudak & Gallo, 1999 ;
Thomas, 2003 dalam (Farida, 2010) adalah :
a) Hipotensi: Hipotensi saat hemodialisis (intradialytic hypotension)
merupakan masalah yang sering terjadi. Hipotensi intradialisis terjadi
pada klien yang mengalami gangguan sistem kardiovaskuler, yang
disebabkan oleh kelainan struktural jantung dan pembuluh darah.
hipotensi tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga
meningkatkan angka kematian. (Sande et al, 2001). Pencegahan
hipotensi intradialisis dengan cara melakukan pengkajian berat kering
secara teratur,menghitung UFR secara tepat, mengatur suhu dialisat,
menggunakan dialisat bikarbonat, monitoring tekanan darah selama
proses hemodialisis (Kallenbach et al, 2005; Thomas, 2003; Daugirdas,
Blake & Ing, 2007).
b) Headache ( sakit kepala ): Penyebab sakit kepala saat hemodialisis
belum diketahui. Kecepatan UFR yang tinggi, penarikan cairan dan
elektrolit yang besar, lamanya dialisis, tidak efektifnya dialisis, dan
tingginya iltrafiltrasi juga dapat menyebabkan terjadinya headache
intradialysis (Incekara et al, 2008).
c) Mual dan muntah: Mual dan muntah saat hemodialisis dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu gangguan keseimbangan dialisis
akibat ultrafiltrasi yang berlebihan, lamanya waktu hemodialisis,
perubahan homeostasis, dan besarnya ultrafiltrasi. (Thomas, 2003;
Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Holley et al, 2007).
d) Sindrom disequilibrium: Sindrom Disequilibrium merupakan
sekelompok gejala yang diduga terjadi karena adanya disfungsi serebral.
Kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala berat, mual,
muntah, kejang, penurunan kesadaran sampai dengan koma (Thomas,
2003). Sindrom disequilibrium saat hemodialisis terjadi akibat kondisi
yang meningkatkan edema serebral, adanya lesi pusat saraf
(stroke/trauma), tingginya kadar ureum pra HD, dan asidosis metabolik
berat (Lopezalmaras, 2008) Proses penarikan ureum yang terlalu cepat
pada saat hemodialisis mengakibatkan plasma darah menjadi hipotonik.
Akibatnya akan menurunkan tekanan osmotik, mengakibatkan
pergeseran air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral
(Thomas, 2003 : Lopezalmaras, 2008).
e) Demam dan menggigil: Selama prosedur HD perubahan suhu dialisat
juga dapat meningkatkan atau menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat
yang tinggi lebih dari 37.5C bisa menyebabkan demam. Sedangkan
suhu dialisat yang terlalu dingin kurang dari 34 35,5C dapat
menyebabkan gangguan kardiovaskuler, vasokontriksi dan menggigil
(Pergola, Habiba & Johnson, 2004).
f) Kram otot: Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas
bawah. Beberapa faktor resiko terjadinya kram diantaranya perubahan
osmolaritas, ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan
kalium dan kalsium intra atau ekstra sel (Thomas, 2003; Kallenbach et
al, 2005).
g) Emboli udara: Udara dapat memasuki sirkulasi melalui selang darah
yang rusak, kesalahan menyambung sirkuit, adanya lubang pada
kontainer cairan intravena, kantong darah atau cairan normal salin yang
kosong, atau perubahan letak jarum arteri (Kallenbach et al 2005).
Gejala yang berhubungan dengan terjadinya emboli udara adalah adanya
sesak nafas, nafas pendek dan kemungkinan adanya nyeri dada
(Daugirdas, Blake & Ing, 2007)
h) Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat
pelepasan kalium intraselluler (Thomas, 2003). Hemolisis dapat terjadi
akibat sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah,
peningkatan tekanan negatif yang berlebihan karena pemakaian jarum
yang kecil pada kondisi aliran darah yang tinggi, atau posisi jarum yang
tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan dialisat
hipotonik (Thomas, 2003 ; Kallenbach et al, 2005). Hemolisis masif
akan meningkatkan risiko hiperkalemi, aritmia dan henti jantung
(Thomas, 2003).
i) Nyeri dada: Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume
darah karena penarikan cairan (Kallenbach et al, 2005) perubahan
volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke
miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada
juga bias menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Thomas,
2003 ;Kallenbach et al, 2005)
Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis
antara lain:
a) Penyakit Jantung: Penyakit jantung merupakan penyebab utama
kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penyakit jantung
disebabkan karena gangguan fungsi dan struktur otot jantung, dan atau
gangguan perfusi. Faktor risiko penyakit jantung yaitu : faktor
hemodinamik, metabolic seperti kelebihan cairan, garam dan retensi air,
anemia, hipertensi, hipoalbuminemia, ketidakseimbangan kalsium-
fosfat, dislipidemia, kerusakan katabolisme asam amino, merokok dan
diabetes mellitus (Parfrey & Lameire, 2000).
b) Anemia: Penurunan kadar Hb pada pasien gagal ginjal kronik terjadi
akibat proses penyakit akibat menurunnya produksi eritropoetin ( EPO )
oleh ginjal, tubuh tidak mampu menyerap zat besi, dan kehilangan darah
karena sebab lain. Pada pasien hemodialisis, anemia bisa bertambah
berat karena hampir tidak mungkin semua darah pasien dapat kembali
seluruhnya setelah menjalani hemodialisis. Sebagian sel darah merah
tertinggal pada dialiser atau blood line meskipun jumlahnya tidak
signifikan (Thomas, 2003).
c) Mual dan lelah: Ada beberapa faktor yang menyebabkan klien merasa
mual dan kelelahan (letargi) setelah menjalani HD. Beberapa penyebab
timbulnya mual dan rasa lelah setelah HD yaitu : Hipotensi, kelebihan
asupan cairan diantara dua terapi hemodialisis, problem terkait berat
kering, obat hipertensi, anemia, penggunaan asetat pada hemodialisis.
d) Malnutrisi: Malnutrisi terjadi khususnya kekurangan kalori dan protein,
hal ini berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada klien HD
kronik. Faktor penyebab terjadinya malnutrisi adalah karena
meningkatnya kebutuhan protein dan energi, menurunnya pemasukan
protein dan kalori, meningkatnya katabolisme dan menurunnya
anabolisme. Juga disebabkan oleh metabolisme yang abnormal akibat
hilangnya jaringan ginjal dan fungsi ginjal ( Churawanno, 2005 ).
e) Kelainan Kulit: Sebagian besar klien HD mengalami perubahan atau
gangguan pada kulit yaitu ; gatal-gatal ( pruritus ), kulit kering ( Xerosis
) dan kulit belang ( skin discoloration ). Penyebab gatal-gatal pada kulit,
bisa disebabkan oleh karena kulit yang kering, tingginya kadar kalsium,
fosfat, hormon paratiroid dalam darah serta meningkatnya kadar
histamin dalam kulit. Kulit belang ( skin discoloration ) banyak terjadi
pada pasien HD. Salah satu penyebabnya adalah pigmen Urochrome,
dimana pigmen ini pada ginjal sehat dapat dibuang, namun karena
adanya kerusakan ginjal maka pigmen tertumpuk pada kulit, akibatnya
kulit akan terlihat kuning kelabu (Thomas, 2003). Penyebab kulit belang
lainnya adalah uremic frost yaitu semacam serbuk putih seperti lapisan
garam pada permukaan kulit dimana hal ini merupakan tumpukan ureum
yang keluar bersama keringat (Thomas, 2003; Blak & Hawk, 2005).
D. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1. Identitas klien
2. Identitas penanggung jawab
3. Riwayat kesehatan masa lalu
a. Penyakit yang pernah diderita
b. Kebiasaan buruk: menahan BAK, minum bersoda
c. Pembedahan
4. Riwayat kesehatan sekarang
5. Keluhan utama: nyeri, pusing, mual, muntah
6. Pemeriksaan fisik
a. Umum: Status kesehatan secara umum
b. Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu tubuh
c. Pemeriksaan fisik
Teknik pemeriksaan fisik:
1) Inspeksi
a) Kulit dan membran mukosa Catat warna, turgor, tekstur, dan
pengeluaran keringat. Kulit dan membran mukosa yang pucat,
indikasi gangguan ginjal yang menyebabkan anemia. Tekstur kulit
tampak kasar atau kering. Penurunan turgor merupakan indikasi
dehidrasi. Edema, indikasi retensi dan penumpukan cairan.
b) Mulut Stomatitis, nafas bau amonia.
c) Abdomen Klien posisi telentang, catat ukuran, kesimetrisan, adanya
masa atau pembengkakan, kulit mengkilap atau tegang.
d) Meatus urimary Laki-laki: posisi duduk atau berdiri, tekan gland
penis dengan memakai sarung tangan untuk membuka meatus
urinary. Wanita: posisi dorsal rekumben, litotomi, buka labia dengan
memakai sarung tangan.
2) Palpasi
a) Ginjal
b) Ginjal kiri jarang teraba, meskipun demikian usahakan untuk
mempalpasi ginjal untuk mengetahui ukuran dan sensasi. Jangan
lakukan palpasi bila ragu karena akan merusak jaringan.
- Posisi klien supinasi, palpasi dilakukan dari sebelah kanan
- Letakkan tangan kiri di bawah abdomen antara tulang iga dan
spina iliaka. Tangan kanan dibagian atas. Bila mengkilap dan
tegang, indikasi retensi cairan atau ascites, distensi kandung
kemih, pembesaran ginjal. Bila kemerahan, ulserasi, bengkak,
atau adanya cairan indikasi infeksi. Jika terjadi pembesaran
ginjal, maka dapat mengarah ke neoplasma atau patologis renal
yang serius. Pembesaran kedua ginjal indikasi polisistik ginjal.
Tenderness/ lembut pada palpasi ginjal maka indikasi infeksi,
gagal ginjal kronik. Ketidaksimetrisan ginjal indikasi
hidronefrosis.
- Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kanan menekan
sementara tangan kiri mendorong ke atas.
- Lakukan hal yang sama untuk ginjal di sisi yang lainnya.
c) Kandung kemih
Secara normal, kandung kemih tidak dapat dipalpasi, kecuali terjadi
ditensi urin. Palpasi dilakukan di daerah simphysis pubis dan
umbilikus. Jika kandung kemih penuh maka akan teraba lembut,
bulat, tegas, dan sensitif.
3) Perkusi
a) Ginjal
- Atur posisi klien duduk membelakangi pemeriksa
- Letakkan telapak tangan tidak dominan diatas sudut
kostavertebral (CVA), lakukan perkusi di atas telapak tangan
dengan menggunakan kepalan tangan dominan.
- Ulangi prosedur pada ginjal di sisi lainnya. Tenderness dan nyeri
pada perkusi merupakan indikasi glomerulonefritis atau
glomerulonefrosis.
b) Kandung kemih
- Secara normal, kandung kemih tidak dapat diperkusi, kecuali
volume urin di atas 150 ml. Jika terjadi distensi, maka kandung
kemih dapat diperkusi sampai setinggi umbilikus.
- Sebelum melakukan perkusi kandung kemih, lakukan palpasi
untuk mengetahui fundus kandung kemih. Setelah itu lakukan
perkusi di atas region suprapubic.
4) Auskultasi
Gunakan diafragma stetoskop untuk mengauskultasi bagian atas sudut
kostovertebral dan kuadran atas abdomen. Jika terdengan bunyi bruit
(bising) pada aorta abdomen dan arteri renalis, maka indikasi adanya
gangguan aliran darah ke ginjal (stenosis arteri ginjal).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat.
a. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edema sekunder :
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
b. Perubahan pola nafas yang berhubungan dengan hiperventilasi
sekunder.

3. Perencanaan
a. Diagnosis: Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan beban
jantung meningkat.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan penurunan curah jantung
tidak terjadi.
Kriteria hasil: mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan
darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan
sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2) Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada system
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

b. Diagnosis: Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edema


sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan
H2O)
Tujuan: Setalah dilakukan tindakan keperawatan kelebihan volume
cairan dapat teratasi.
kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
2) Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R:
Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
4) Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

c. Diagnosis: Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi


sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Setelah dilkukan tindakan keperawatan pola nafas kembali
normal / stabil
Kriteria Hasil: RR normal, Nadi Normal, ekspansi dada adekuat.
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
2) Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
3) Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
4) Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A.A. 2015. Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada
Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan. Universitas
Sumatera Utara.

Anggraini, Indah. 2016. Status Periodontal Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisa Dan Non-Hemodialisa Di Klinik Spesialis Ginjal
Dan Hipertensi Rasyida Medan. Universitas Sumatera Utara.

Daryani. 2011. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Inisiasi Dialisis Pasien


Gagal Ginjal Tahap Akhir Di RSUP DR Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Universitas Indonesia.

Farida, Anna. 2010. Pengalaman Klien Hemodialisis Terhadap Kualitas Hidup Dalam
Konteks Asuhan Keperawatan Di RSUP Fatmawati Jakarta. Universitas
Indonesia.

Harahap, I.L. 2016. Kualitas Hidup Berdasarkan Dimensi Hubungan Sosial Pada
Pasien Hemodialisa Di RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas
Sumatera Utara.

Hayani, Nora. 2015. Hubungan Dukungan Sosial Dengan Tingkat Depresi Pasien
Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Pirngadi
Kota Medan. Universitas Sumatera Utara.

Muharni, S.I. 2010. Pola Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Sebelum menjalani
Terapi Haemodialisa Di BPK RSU Langsa Kota. Universitas Sumatera
Utara.

Putri, A.R.D. 2016. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang di


Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada
bulan Januari 2011-April 2015. Universitas Sumatera Utara.

Simamora, B.E. 2016. Hubungan Riwayat Diabetes Mellitus Dengan Penyakit Ginjal
Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Universitas
Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai

  • Wocku
    Wocku
    Dokumen5 halaman
    Wocku
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • BAB I Presus
    BAB I Presus
    Dokumen5 halaman
    BAB I Presus
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • 4.soal PPKN
    4.soal PPKN
    Dokumen3 halaman
    4.soal PPKN
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • 4.soal PPKN
    4.soal PPKN
    Dokumen3 halaman
    4.soal PPKN
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Sak Tumbang
    Sak Tumbang
    Dokumen8 halaman
    Sak Tumbang
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Cover Luar
    Cover Luar
    Dokumen1 halaman
    Cover Luar
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen2 halaman
    Cover
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan CKR
    Laporan Pendahuluan CKR
    Dokumen13 halaman
    Laporan Pendahuluan CKR
    Indah Kurniawati
    100% (2)
  • Daftar Isi Fix
    Daftar Isi Fix
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Fix
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Askep Perin I
    Askep Perin I
    Dokumen15 halaman
    Askep Perin I
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen5 halaman
    Cover
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Pen Gerti An
    Pen Gerti An
    Dokumen2 halaman
    Pen Gerti An
    dwi
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAKSI
    ABSTRAKSI
    Dokumen2 halaman
    ABSTRAKSI
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Keperawatan Gerontik: Oleh: Dwi Rahayu Setiyowati 1601031028
    Laporan Kasus Keperawatan Gerontik: Oleh: Dwi Rahayu Setiyowati 1601031028
    Dokumen2 halaman
    Laporan Kasus Keperawatan Gerontik: Oleh: Dwi Rahayu Setiyowati 1601031028
    Gita
    Belum ada peringkat
  • Pen Gerti An
    Pen Gerti An
    Dokumen2 halaman
    Pen Gerti An
    dwi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen9 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Askep Gerontik
    Askep Gerontik
    Dokumen21 halaman
    Askep Gerontik
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Rencana Tindakan
    Rencana Tindakan
    Dokumen4 halaman
    Rencana Tindakan
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Askep Perin I
    Askep Perin I
    Dokumen15 halaman
    Askep Perin I
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Sap Nutrisi Post Op
    Sap Nutrisi Post Op
    Dokumen9 halaman
    Sap Nutrisi Post Op
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan Cidera Kepala Ringan
    Asuhan Keperawatan Cidera Kepala Ringan
    Dokumen31 halaman
    Asuhan Keperawatan Cidera Kepala Ringan
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat
  • Lamp Iran
    Lamp Iran
    Dokumen2 halaman
    Lamp Iran
    Indah Kurniawati
    Belum ada peringkat