Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Anak sering berperilaku memukul, berkelahi, mengejek, berteriak,

menolak permintaan orang lain, menangis, dan merusak barang di sekitarnya. Hal

ini masih dianggap wajar namun jika kejadiannya berlangsung lama, menetap dan

dengan frekuensi tinggi maka anak tersebut dikategorikan anak dengan gangguan

tingkah laku (conduct disorder) (Nurmawati, 2013).

Gangguan pada anak-anak ini sering kali dikelompokkan dalam dua

kelompok yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai

dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan,

overaktivitas, dan impulsivitas. Sedangkan gangguan internalisasi ditandai dengan

pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus ke dalam diri seperti depresi,

menarik diri dari pergaulan sosial, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan

mood dimasa anak-anak (Nevid, 2006).

Gangguan tingkah laku merupakan diagnosis psikiatri yang sering

ditemukan pada anak dan remaja dengan beberapa faktor resiko yang berbeda dan

kesulitan untuk diidentifikasi dan terapi (Leskauskas, 2010). Gangguan tingkah

laku termasuk dalam gangguan emosi dan perilaku, lebih sering terjadi pada anak

lelaki. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki karakteristik yang

komplek dan seringkali ciri-ciri perilakunya juga dilakukan oleh anak sebaya lain

seperti bergerak, mengganggu teman sepermainan, perilaku melawan, dan ada

kalanya perilaku menyendiri (Humaida, 2012).

1
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

(PPDGJ)-III, Gangguan Tingkah Laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan

Perilaku dan Emosional dengan onset biasanya pada masa anak dan remaja, yang

merupakan salah satu gangguan yang dapat terjadi pada masa anak, remaja, dan

perkembangan. Sedangkan berdasarkan DSM-IV, gangguan tingkah laku

tergolongkan gangguan eksternalisasi yang termasuk dalam kategori DSM-IV-TR

bersama dengan Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) dan

Gangguan Sikap Menentang (GSM).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Dalam DSM-IV-TR didefinisikan bahwa gangguan tingkah laku atau

conduct disorder adalah pola prilaku yang tetap yang melanggar hak-hak

dasar orang lain yang norma susila. Dalam bukunya Tingkah Laku Abnormal,

Linda De Clerg mengemukakan bahwa istilah gangguan tingkah laku atau

conduct disorder mengacu pada pola prilaku antisosial yang bertahan yang

melanggar hak-hak orang lain dan norma susila.

Gangguan tingkah laku/ conduct disorder (CD) merupakan salah satu

masalah kesehatan mental yang paling sulit ditangani pada anak-anak dan

remaja, CD melibatkan sejumlah prilaku bermasalah, (misalnya, berbohong

mencuri, melarikan diri, kekerasan fisik, prilaku seksual).

Charles Wenar Dan Patricia Kering dalam bukunya Development

Psychopathology From Infancy Though Adolescence dalam DSM-IV-TR

yaitu aggression to people and animal (agresi terhadap orang lain dan hewan)

destruction of people (menghancurkan kepemilikan) deceitfulness or theft

(berbohong atau mencuri) and serious violation of rules (pelanggaran aturan

yang serius).

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ)

III, gangguan perilaku pada masa anak dan remaja merupakan suatu golongan

yang disediakan untuk semua gangguan yang terjadi pada masa anak dan

3
remaja yang bersifat lebih menetap, mendalam, dan lebih sukar diatasi

dibandingkan dengan gangguan situasional sementara. Tetapi gangguan ini

lebih ringan dari psikosa, neurosa, dan gangguan kepribadian. Keadaan seperti

ini disebabkan karena perilaku pada usia tersebut masih berada dalam keadaan

yang relatif mudah berubah-ubah. Perkembangan usia anak hingga dewasa

dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu :

a. Anak, seorang yang berusia di bawah 12 tahun

b. Remaja dini, seorang yang berusia 12 15 tahun

c. Remaja penuh, seorang yang berusia 15 17 tahun

d. Dewasa muda, seorang yang berusia 17-21 tahun

e. Dewasa, seorang berusia di atas 21 tahun.

Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli

sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai

dengan 18 tahun.Secara lebih spesifik, gangguan tingkah laku merupakan suatu

pola perilaku yang berulang dan menetap dimana hak dasar orang lain,

peraturan atau norma sosial yang sesuai dengan usianya dilanggar, seperti

perkelahian atau pelecehan yang berlebihan, pencurian, perusakan, kebohongan

berulang, yang berlanjut selama 6 bulan atau lebih, yang sering ditemukan

selama masa anak-anak hingga remaja.

B. EPIDEMIOLOGI

Gangguan tingkah laku lazim ditemukan di masa kanak dan remaja. Angka

perkiraan gangguan tingkah laku didalam populasi umum berkisar dari 1

4
hingga 10 persen. Gangguan ini lebih lazim ditemukan ditemukan pada anak

laki-laki dibandingkan anak perempuan, dan resionya berkisar sekitar 4:1

hingga 12:1. Gangguan tingkah laku lebih lazim ditemukan pada anak dari

pada orang tua yeng memiliki gangguan kepribadian antisosial dan

ketergantungan alcohol dibandingkan populasi umum. Prevelensi gangguan

tingkah laku dan prilaku antisosial secara signifikan terkait dengan faktor

sosioekonomi.

Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan

gangguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah

laku dan ADHD. Sekitar 40% anak-anak dengan ADHD juga mengalami

gangguan tingkah laku. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih

sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan

ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi

bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling

memperparah satu sama lain.

Gangguan tingkah laku didapatkan pada 6 - 16 % anak laki-laki dan 2 - 9

% anak perempuan, di bawah usia 18 tahun. Insiden pada usia sekolah adalah

0,9% dan 8,7% pada remaja. Berdasarkan penelitian longitudinal, kurang

lebih 4-75% di antaranya akan berkembang menjadi Gangguan Kepribadian

Antisosial pada masa dewasanya. Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang

mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid dengan hambatan

behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan

dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid

5
dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih

tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan,

depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki

yang memiliki gangguan tingkah laku.

C. ETIOLOGI

Menurut Wenar dan Kerig (dalam jurnal Rehani, 2011), faktor-faktor yang

menyebabkan gangguan tingkah laku (conduct disorder) dapat dibedakan

menjadi faktor biologis, faktor individual dan faktor keluarga.

a. Faktor Biologis

Wenar dan Kerig menyatakan temperamen merupakan penyebab

biologis bagi terbentuknya conduct disorder. Sebagai contoh Moffit

dan Lyman dalam Wenar dan Kerig mengatakan bahwa hal yang

mempengaruhi berkembangnya perilaku yaitu adanya disfungsi

neuropsikologis yang berhubungan dengan temperamen sulit yang

memicu munculnya impulsivitas, perasaan mudah tersinggung dan

aktivitas berlebihan pada anak (Rehani, 2011).

Temperamen yaitu gaya karakteristik seseorang dalam melakukan

pendekatan dan bereaksi terhadap orang dan situasi dilingkungannya.

Temperamen dapat diartikan sebagai cara (bagaimana) seseorang

melakukan suatu hal. Menurut Izard dalam Diane E. Papalia dan Sally

Wendkos Olds, bayi berusia 8 minggu telah menunjukkan tanda-tanda

6
perbedaan temperamen yang membentuk bagian penting dari

kepribadiannya. A. Thomas, Chess dan Birch dalam Diane E. Papalia

dan Sally Wendkos Olds mengidentifikasikan sembilan komponen

temperamen yang muncul pada bayi setelah dilahirkan, yaitu (1) level

aktivitas: bagaimana dan seberapa banyak individu bergerak, (2) Ritme

atau keteraturan: sejauh mana suatu siklus biologis dapat diprediksi,

seperti rasa lapar, waktu tidur dan buang air, (3) Respons mendekat

(approach) atau menjauh (withdrawal): bagaimana individu awalnya

berespons terhadap stimulus baru, seperti mainan, makanan atau orang

baru, (4) Adaptabilitas: seberapa mudah suatu respon awal

dimodifikasi sesuai dengan situasi yang baru atau situasi yang berubah,

(5) Ambang responsivitas: berapa banyak stimulasi yang dibutuhkan

untuk menghasilkan suatu respon, (6) Intensitas reaksi : seberapa

energik individu dalam merespon, (7) Kualitas suasana hati (mood):

apakah individu menampilkan mayoritas perilaku yang

menyenangkan, gembira dan bersahabat atau kebalikannya, (8)

Distraktibilitas: sejauh mana suatu stimulus yang relevan dapat

mengubah atau menganggu perilaku individu, (9) Rentang perhatian

dan persistensi: berapa lama individu melakukan suatu aktivitas dan

tetap melanjutkannya walaupun terdapat hambatan (Rehani, 2011).

b. Faktor Individual

Dalam Wenar dan Kerig, faktor individual yang berperan dalam

pembentukan gangguan tingkah laku (conduct disorder) pada anak

7
yaitu regulasi diri (self- regulation) yang kurang terbentuk sejak dini,

regulasi emosi yang buruk sehingga anak tidak dapat mengembangkan

strategi coping (strategi dalam mengatasi masalah) yang baik untuk

mengatasi emosi negatifnya dan mengatur emosinya, kurang

berkembangnya pemahaman moral dan empati, kognisi sosial anak

yang berkembang dengan buruk, dan penggunaan obat-obatan

terlarang (Rehani, 2011).

c. Faktor Keluarga

Salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam gangguan tingkah

laku adalah pengaruh lingkungan keluarga. Menurut Henggeler

sebagaimana yang di kutip oleh Linda De Clerg, bahwa perilaku

antisosial anak berhubungan dengan: (1) Perilaku antisosial orang tua

mereka, (2) Strategi disiplin orang tua yang tidak efektif dan tidak

konsisten serta lemahnya pengawasan orang tua (kurangnya teknik dan

keterampilan), (3) Kurangnya komunikasi dan kasih sayang orang tua

atau keluarga dan tingginya konflik keluarga (Rehani, 2011).

Menurut Charles Wenar dan Patricia Kerig, faktor keluarga yang

mempengaruhi terbentuknya gangguan tingkah laku (conduct disorder)

adalah attachment (kelekatan orang tua dan anak), masalah dalam

rumah tangga, psikopatologi yang dialami orang tua, pola asuh yang

kasar dan penurunan perilaku agresif antar generasi, adanya teori

coercion, dan proses transaksional dalam keluarga (Rehani, 2011).

8
Tidak ada faktor tunggal yang dapat bertanggung jawab terhadap

timbulnya perilaku antisosial dan gangguan tingkah laku. Namun,

banyak faktor biopsikososial yang turut berperan di dalam timbulnya

gangguan ini (Kaplan)

Penelitian anak angkat menujukkan (1) predisposisi genetik dan (2)

tambahan pengaruh lingkungan terhadap gangguan tingkah laku. Gangguan fungsi

keluarga, ketidak-konsistenan, dan permusuhan merupakan temuan yang sering.

Dengan demikian, etiologi diduga multifaktorial, termasuk faktor biologik,

psikologik, dan sosial. Penelitian biologik mengenai metabolit rendah-

nonepinefrin menunjukan bahwa kurang terjaga (hypoarousal) dapat merupakan

sumber bagi perilaku kacau terkait tertentu dan penyalahgunaan zat psikoaktif

(Guze, Richeimer, dan Siegel. 1997).

D. FAKTOR RESIKO

a. Faktor orang tua: pengasuhan orang tua yang kasar dan bersifat

menghukum ditandai dengan agresi fisik dan verbal yang berat

menyebabkan timbulnya perilaku agresif maladaptive anak. Keadaan

rumah yang kacau menyebabkan gangguan tingkah laku dan kejahatan.

Perceraian sendiri dianggap sebagai factor risiko, tetapi menetapnya

permusuhan, kebencian, dan kepahitan antara orang tua yang bercerai

mungkin adalah factor penting yang lebih berperan pada perilaku

maladaptive anak (Kaplan)

b. Faktor sosiokultural: anak yang mengalami kekurangan sosioekonomik

memiliki risiko tinggi untuk mengalami gangguan tingkah laku, demikian

9
juga anak dan remaja yang besar di lingkungan perkotaan. Orang tua yang

menganggur, kurangnya jaringan social yang mendukung, serta kurangnya

partisipasi positif di dalam aktivitas komunitas mungkin meramalkan

terjadinya gangguan tingkah laku (Kaplan)

c. Faktor psikologis: anak-anak yang tumbuh di dalam keadaan sembrono

yang kacau sering menunjukan pengaturan emosional yang buruk

termasuk kemarahan, frustasi, dan kesedihan. Contoh kendali impuls yang

buruk serta kurang terempati yang kurang berkembang baik (Kaplan)

d. Faktor Neurobiologis: ADHD dapat terdapat bersamaan dengan

gangguan tingkah laku. Pada anak dengan gangguan tingkah laku, bias

terdapat fungsi noradrenergic yang berkurang. Bukti menunjukan bahwa

kadar 5-HT darah berbanding terbalik dengan kadar metabolit 5-HT yaitu

asam 5-hydroxyindolacetic acid (5-HIAA) didalam cairan cerebrospinal

dan bahwa rendahnya 5-HIAA cairan serebrospinal menyebabkan agresi

dan kekerasan (Kaplan)

e. Penganiayaan anak: anak yang terpajan dengan kekerasan dalam waktu

lama, terutama mereka yang mendapatkan perlakuan penganiayaan fisik

yang lama, sering bertindak agresif. Anak seperti ini dapat memiliki

kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya, dan kesulitan ini

meningkatkan kecenderungan mereka untuk mengekspresikan diri mereka

secara fisik. Disamping itu, anak dan remaja yang disiksa berat cenderung

menjadi hypervigillant; pada beberapa kasus mereka salah menanggapi

situasi ringan dan berespon dengan kekerasan. Tidak semua perilaku fisik

10
sama dengan gangguan tingkah laku, tetapi anak dengan pola

hypervigillance dan berespons kekerasan cenderung melanggar hak orang

lain (Kaplan)

f. Faktor lain: ADHD, disfungsi atau kerusakan system saraf pusat, serta

ekstremnya tempramen yang dini dapat menjadi predisposisi anak untuk

mengalami gangguan tingkah laku. Kecenderungan untuk melakukan

kekerasan disebabkan oleh disfungsi SSP dan tanda psikopatologi berat,

seperti kecenderungan waham (Kaplan).

E. KRITERIA DIAGNOSA

Kriteria gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR menyatakan bahwa tiga

perilaku spesifik diperlukan dari 15 perilaku yang tersusun, termasuk

menggertak, menakuti, atau mengintimidasi orang lain dan bergadang

meskipun ada larangan orang tua, dimulai sebelum usia 13 tahun. DSM-IV-

TR juga merinci bahwa bolos dari sekolah harus dimulai sebelum usia 13

tahun agar dapat dianggap sebagai gejala gangguan tingkah laku. Gangguan

ini dapat didiagnosis pada orang yang berusia lebih dari 18 tahun hanya jika

kriteria untuk gangguan kepribadian antisosial tidak terpenuhi (Benjamin J.S

dan Virginia A.S, 2010).

Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR (Benjamin J.S dan

Virginia A.S, 2010):

1. Pola perilaku yang berulang dan menetap yang melanggar hak dasar orang
lain, atau norma atau peraturan sosial utama yang sesuai usia, dan

11
ditunjukkan dengan adanya tiga (atau lebih) kriteria berikut ini dalam 12
bulan terakhir, dengan sedikitnya satu kriteria ada pada 6 bulan terakhir :
a. Agresi pada orang lain dan hewan
(1) sering menggertak, menakuti, atau mengintimidasi orang lain
(2) sering memulai perkelahian fisik
(3) menggunakan senjata yang dapat menyebabkan cedera serius
pada orang lain (misal, pentungan, batu bata, pecahan botol,
pisau, senjata)
(4) secara fisik kejam pada orang
(5) secara fisik kejam pada hewan
(6) mencuri saat menemukan korban (misalnya membegal,
merampas dompet, memeras, perampokan bersenjata)
(7) memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
b. Perusakan barang kepemilikan
(8) secara sengaja menimbulkan kebakaran dengan maksud
menimbulkan kerusakan serius
(9) secara sengaja merusak barang kepemilikan orang lain (selain
dengan membakar)
c. Penipuan atau percurian
(10) masuk ke dalam rumah, gedung, atau mobil orang secara
paksa
(11) sering berbohong untuk mendapatkan barang atau pertolongan
atau untuk menghindari kewajiban (yaitu, menipu orang lain)
(12) mencuri barang yang bernilai tanpa menemui korban
(misalnya mencuri di toko, tetapi tanpa memecahkan dan
memasuki toko;pemalsuan)
d. Pelanggaran peraturan yang serius
(13) sering bergadang meskipun dilarang orang tua, dimulai
sebelum usia 13 tahun

12
(14) lari dari rumah menginap sedikitnya dua kali saat tinggal di
rumah orang tua atau orang tua angkat (atau sekali tanpa
kembali untuk periode waktu yang lama)
(15) sering bolos dari sekolah, dimulai sebelum usia 13 tahun
2. Gangguan perilaku menyebabkan hendaya di dalam fungsi sosial,
akademik, atau pekerjaan yang secara klinis bermakna.
3. Jika orang yang ini 18 tahun atau lebih, kriteria gangguan kepribadian
antisosial tidak terpenuhi.

Berdasarkan PPDGJ-III, gangguan tingkah laku (F.91) dapat didiagnosis


berdasarkan beberapa pedoman (Maslim, 2013).
Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola
tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan
menetap.
Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu
memperhitungkan tingkat perkembangan anak. Temper tantrums,
merupakan gejala normal pada perkembangan anak berusia 3 tahun,
dan adanya gejala ini bukan merupakan dasar diagnosis ini. Begitu
pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti tindak pidana
dengan kekerasan) tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun
dan dengan demikian bukan merupakan kriteria diagnostik bagi anak
kelompok usia tersebut. Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi
dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau
menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau
sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang;
membolos dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan
temper tantrum yang hebat dan tidak biasa; perilaku provokatif yang
menyimpang; dan sikap menentang yang berat serta menetap.
Masing-masing dari kategori ini, apabila ditemukan, adalah cukup
untuk menjadi alasan bagi diagnosis ini, namun demikian perbuatan
dissosial yang terisolasi bukan merupakan alasan yang kuat.

13
Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang
diuraikan di atas berlanjut selama 6 bulan atau lebih.

Gangguan tingkah laku dapat digolongkan secara lebih spesifik


lagi ke dalam beberapa subtipe, antara lain (Maslim,2013) :
F91.0 Gangguan Tingkah Laku yang Terbatas pada Lingkungan Keluarga
Pedoman Diagnostik :
Memenuhi kriteria F91 secara menyeluruh.
Tidak ada gangguan tingkah laku yang signifikan di luar lingkungan
keluarga dan juga hubungan sosial anak di luar lingkungan keluarga masih
berada dalam batas-batas normal.

F91.1 Gangguan Tingkah Laku Tak Berkelompok Pedoman Diagnostik


Ciri khas dari gangguan tingkah laku tak berkelompok ialah adanya
kombinasi mengenai perilaku dissosial dan agresif berkelanjutan (yang
memenuhi seluruh kriteria F91 dan tidak terbatas hanya pada perilaku
membangkang, menentang, dan merusak), dengan sifat kelainan yang
pervasif dan bermakna dalam hubungan anak yang bersangkutan dengan
anak-anak lainnya.
Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya merupakan
perbedaan penting dengan gangguan tingkah laku yang berkelompok
(socialized) dan ini diutamakan di atas segala perbedaan lainnya.
Rusaknya hubungan dengan kelompok sebaya terutama dibuktikan oleh
keterkucilan dari dan/atau penolakan ooleh, atau kurang disenanginya oleh
anak-anak ebayanya, dan karena ia tidak mempunyai sahabat karib atau
hubungan empatik, hubungan timbal balik yang langgeng dengan anak
kelompok usianya. Hubungan dengan orang dewasa pun ditandai dengan
oleh perseisihan, rasa bermusuhan, dan dendam. Hubungan baik dengan
orang dewasa dapat terjalin (sekalipun biasanya kurang bersifat akrab dan
percaya); dan seandainya ada, tidak menyisihkan kemungkinan diagnosis
ini.

14
Tindak kejahatan lazim (namun tidak mutlak) dilakukan sendirian.
Perilaku yang khas terdiri dari: tingkah lku menggertak, sangat sering
berkelahi, dan (pada anak yang lebih besar) pemerasan atau tidank
kekerasan; sikap membangkang secara berlebihan, perbuatan kasar, sikap
tidak mau kerja sama, dan melawan otoritas; mengadat berlebihan dan
amarah yang tidak terkendali; merusak barang orang lain, sengaja
membakar, perlakuan kejam terhadap hewan dan terhadap sesama anak.
Namun ada pula anak yang terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan
berkelompok. Maka jenis kejahatan yang dilakukan tidaklah penting
dalam menegakkan diagnosis, yang lebih penting adalah soal kualitas
hubungan personal-nya.

F91.2 Gangguan Tingkah Laku Berkelompok Pedoman Diagnostik :


Kategori ini berlaku terhadap gangguan tingkah laku yang ditandai oleh
perilaku dissosial atau agresif berkelanjutan (memenuhi kriteria untuk F91
dan tidak hanya terbatas pada perilaku menentang, membangkang,
merusak) terjadi pada anak yang pada umumnya cukup terintegrasi dalam
kelompok sebayanya.
Kunci perbedaan terpenting adalah adanya ikatan persahabatan langgeng
dengan anak yang seusia. Sering kali, namun tidak selalu, kelompok
sebaya itu terdiri atas anak-anak yang juga terlibat dalam kegiatan
kejahatan atau dissosial (tingkah laku yang tidak dibenarkan masyarakat
justru dibenarkan oleh kelompok sebayanya itu dan diatur oleh subkultur
yang menyambutnya dengan baik). Namun hal ini bukan merupakan syarat
mutlak untuk diagnosisnya; bisa saja anak itu menjadi warga kelompok
sebaya yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan sementara perilaku
dissosial dilakukannya di luar lingkungan kelompok itu. Bila perilaku
dissosial itu pada khususnya, merupakan penggertakan terhadap anak lain,
boleh jadi hubungan dengan korbannya atau beberapa anak lain terganggu.
Perlu ditegaskan lagi, hal itu tidak membatalkan diagnosisnya, asal saja

15
anak itu memang termasuk dalam kelompok sebaya dan ia merupakan
anggota yang setia dan mengadakan ikatan persahabatan yang langgeng.

F91.3 Gangguan Sikap Menentang (Membangkang)


Ciri khas dari jenis gangguan tingkah laku ini adalah berawal dari anak di
bawah usia 9 dan 10 tahun. Ditandai oleh adanya perilaku menentang,
ketidak-patuhan, perilaku provokatif dan tidak adanya tindakan dissosial
dan agresif yang lebih berat yang melanggar hukum ataupun melanggar
hak asasi orang lain.
Pola perilaku negativistik, bermusuhan, menentang, provokatif dan
merusak tersebut berlangsung secara berkelanjutan, yang jelas sekali
melampaui rentang perilaku normal bagi anak kelompok usia yang sama
dalam lingkungan sosial-budaya yang serupa, dan tidak mencakup
pelanggaran yang lebih serius terhadap hak orang lain seperti dalam
kategori F91.0 dan F91.2. Anak dengan gangguan ini cenderung sering
kali dan secara aktif membangkang terhadap permintaan atau peraturan
dari orang dewasa serta dengan sengaja mengusik orang lain. Lazimnya
mereka bersikap marah, benci dan mudah terganggu oleh orang lain yang
dipersalahkan atas kekeliruan dan keulitan yang mereka lakukan sendiri.
Mereka umumnya mempunyai daya toleransi terhadap frustasi yang
rendah dan cepat hilang kesabarannya. Lazimnya sikap menentangnya itu
bersikap provokatif, sehingga mereka mengawali konfrontasi dan sering
kali menunjukkan sifat kasar, kurang suka kerjasama, menentang otoritas.

F91.8 Gangguan Tingkah Laku Lainnya

F91.9 Gangguan Tingkah Laku YTT


Hanya digunakan untuk gangguan yang memenuhi kriteria umum untuk F91,

namun tidak memenuhi kriteria untuk salah satu subtipe lainnya.

16
F. DIFERENTIAL DIAGNOSIS

1. Gangguan aktivitas dan perhatian (Attention-deficit/hyperactivity disorder

(ADHD))

ADHD dapat dikonsepkan sebagai gangguan kognitif/perkembangan,

dengan onset usia lebih muda dari gangguan tingkah laku. Anak dengan

ADHD lebih menunjukkan defisit pada perhatian dan fungsi kognitif, dan

memiliki aktivitas motorik yang meningkat, dengan abnormalitas

perkembangan neurologis yang lebih hebat. Sedangkan anak dengan

gangguan tingkah laku cenderung memiliki karakteristik sifat agresi yang

tinggi dan disfungi keluarga yang lebih hebat.

2. Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) sering tampak terdapat bersamaan


dengan gangguan perilaku mengacau (disruptive behavior disorder)
(Benjamin J.S dan Virginia A.S., 2010).

G. PENATALAKSANAAN

A. Pendekatan Biofisikal

Terapi bagi anak yang mengalami penyimpangan tingkah laku bertujuan

untuk mengurangi prilaku yang mengganggu, memperbaiki prestasi

sekolah dan hubungan dengan lingkungannya, serta lebih mandiri di

rumah dan di sekolah. Disamping itu, terapi ditujukan untuk

meningkatkan kepercayaan diri anak dan prilaku yang lebih aman di

komunitas. Saat dilaksanakan terapi disarankan keluarga penderita

dilibatkan agar terapi dapat berlangsung dengan lebih efektif. Keterlibatan

anggota keluarga lainnya dan guru sangat diperlukan dalam

17
penanganannya. Dalam hal ini dokter berperan sebagai edukator dan

konsultan bagi penderita dan keluarga penderita. Terapi Biofisikal

dilakukan dengan cara mengontrol zat-zat yang ada dalam otak. Pilihan

utama terapi adalah obat dari golongan psikostimulan. Salah satunya

adalah Methylphenidate.Obat tersebut diberikan bila gejalanya cukup

mengganggu, terjadinya hambatan fungsi sosial, edukasi dan emosional.

Dengan memberi obat terapi lain bisa lebih berhasil. Biasanya pengobatan

diberikan sesudah jam sekolah. Berdasarkan penelitian, Methylphenidate

dapat dipakai sebagai pengobatan. Seminggu sejak pengobatan terjadi

perbaikan tingkah laku dan memperbaiki produktifitas, akurasi, dan

efesiensi. Mekanisme kerja Methylphenidate adalah meningkatkan

pelepasan dopamin dan noradrenalin di dalam otak. Zat tersebut juga

memblokir masuknya kembali kedua neurotransmeter itu kedalam otak.

Saat ini Methylphenidate dikembangkan dengan teknologi mutakhir yang

disesuaikan dengan tingkat kebutuhan penderita dalam mengontrol kadar

neurotransmeter.

B. Pendekatan Psikodinamik

Setiap manusia berkembang melalui serangkaian interaksi tenaga-tenaga

herediter (keturunan) dengan keadaan lingkungannya. Pada waktu lahir,

bayi memberikan sahutan terhadap rangsangan-rangsangan pertama yang

ada di sekitarnya. Setelah bayi berkembang dari hari ke hari, berinteraksi

dengan lingkungannya, bayi yang secara psikologis belum memiliki

bentuk itu sekarang berdiferensi, kemudian berkembang menjadi EGO

18
atau AKU. Dari sudut pandang psikodinamik, maka dalam proses

perkembangan egonya, kepribadian si bayi diorganisasikan di sekeliling

inti yang terdiri dari kebutuhan psikologis dan biologis. Dalam hal ini

dikaitkan dengan anak berkebutuhan khusus terutama anak tunagrahita

yang sama-sama manusia dan memiliki kebutuhan yang sama dengan

manusia pada umumnya terutama dalam kebutuhan psikoloigis dan

biologis. Terapi dalam hal ini bagaimana cara anak tunagrahita berusaha

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, karena hal ini merupakan

faktor penting dalam perkembangan ego. Tidak dapat dipungkiri bahwa

anak tunagrahita dapat mengalami prustasi, konflik, bagaimana cara kita

sebagai seorang pendidik dalam bidang ini untuk berusaha memenuhi

kebutuhan anak tunagrahita, cara kita melindungi dan meninggikan

integritas egonya. Hal ini tergantung sejauhmana kita mengenal anak

tersebut dan memahami karakteristik anak.

C. Pendekatan Behavior

Pendekatan behavioral merupakan pendekatan yang paling popular

dan terkenal karena bersifat logis dan dapat dipertanggungjawabkan

Teknik pendekatan behavioral menurut Hesher :

1. Desentisisasi (penuruan kepekaan), sistematik desentisasi sistem

adalah penurunan kepekaan secara sistematik.

S.D 1 (imago) adalah latihan penurunan kepakaan dengan khayalan

S.D 2 (real live/invivo) adalah digunakan untuk penderita phobia

19
2. Assertive training adalah latihan mempertahankan diri akibat

perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan dengan

mempertahankan harga diri. Biasanya cocok digunakan bagi orang-

orang yang rendah diri atau yang sering diejek.

3. Sexual education

4. Avection therapy adalah latihan menghilangkan kebiasaan buruk

dengan memberikan stimulus yang memberikan respon yang

berkebalikan. Biasanya digunakan untuk anak-anak yang suka

mengompol.

5. Cover desentisition sama dengan SD 1 adalah menghilangkan

kebiasaan buruk seperti pemabuk dengan cara membayangkan pada

saat yang bersamaan diminta untuk membayangkan hal yang paling

tidak menyenangkan bedanya SD 1 dibimbing.

6. Thought stoping (penghentian pikiran) adalah menghilangkan

kecemasan akibat perlakuan orang yang tidak mengenakan, misal :

anak diminta membayangkan sesuatu yang sangat menyakitkan

dirinya sendiri lalu pada saat klimaks dihentikan.

7. Modeling adalah anak diperintahkan menirukan sesuatu.

20
BAB III

PENUTUP

Gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku antisosial yang

berulang dan menetap dimana hak dasar orang lain, peraturan atau norma susila

yang sesuai dengan usianya dilanggar, seperti perkelahian atau pelecehan yang

berlebihan, pencurian, perusakan, kebohongan yang berulang, yang berlanjut

selama 6 bulan atau lebih, yang sering ditemukan selama masa anak-anak

hingga remaja.

Gangguan tingkah laku dapat disebabkan oleh beberapa etiologi dan

faktor resiko, antara lain faktor biologis, faktor psikologis, pengaruh

lingkungan yang mencakup orangtua, saudara-saudara, dan teman-teman

seusia, serta faktor sosiologis seperti tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi

keluarga.

Gangguan tingkah laku didiagnosis berdasarkan PPDGJ III dengan gejala

khas suatu pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang

dan menetap. Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis

mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau menggertak pada tingkat

berlebihan; kejam terhadap hewan atau sesama manusia; perusakan yang hebat

atas barang milik orang; membolos dari sekolah dan lari dari rumah; sangat

sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa; perilaku

provokatif yang menyimpang; dan sikap menentang yang berat serta menetap.

Perilaku seperti diatas harus sudah berlangsung selama minimal 6 bulan.

21
Penatalaksanaan gangguan tingkah laku meliputi pendekatan biofisikal

dilakukan dengan cara mengontrol zatzat yang ada dalam otak dengan

memberi terapi obat Methylphenidate. Pendekatan psikodinamik untuk anak

berkebutuhan khusus, dan pendekatan behavior.

Gangguan tingkah laku secara umum dapat ditangani lebih mudah dan

efektif pada anak usia muda dibandingkan anak usia tua. Usaha preventif pada

anak usia muda lebih memungkinkan untuk membatasi atau mencegah

peningkatan loncatan perkembangan agresivitasnya. Beberapa individu akan

berlanjut menjadi perilaku antisosial dimasa dewasa, sementara yangg lain

terbatas di usia remaja.

22
DAFTAR PUSTAKA

Benjamin J.S dan Virginia A.S, 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta:EGC, hal. 602, 604-605, 638.
Brainstem E, B ettina, 2014, Conduct Disorder, California. Health Sciences
Clinical Pofessor of Psychiatry and Biobehavioral Sciences, University of
California. Diakses tanggal 9 Agustus 2015.
http://emedicine.madscape.com/article/918213-overview showall.
Sadock, Benjamin J. 2010 . Kaplan & sadocks buku ajar psikiatri
klinis/Benjamin J.

Charles Wenar Dan Patricia Kerig,.tt. Devwlopment Psychology From Infancy


Through Adolescence, ed ke-5 New York : McGmraw-hill

Diane E. Papalia dan Sally Wendkos Mubarok, 1995. Human Dvelopmenr USA :
Mc-Graw-Hill.

Humaida IAI. Research on the prevalence of conduct disorder among primary


school pupils in Khartoum-Sudan. Health. 2012;4(3):125-32.

Leskauskas D. Diagnosis and Treatment of Conduct Disorder Related to Frontal


Lobe Syndrome in A 16-yearold girl. Medicina. 2010;46(12):827-34.
Linda De Clerg,1994. Tingkah Laku Abnormal, dari sudut pandang
perkembangan, Jakarta: Grasindo
Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya. Jakarta : PT. Nuh Jaya, hal. 137-140.
Nevid, Jeffrey S, dkk. Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2006
Nurmawati EI. Penerapan Metode Modifikasi Perilaku Token Ekonomi untuk
Mengurangi Conduct Disorder. Procedia Studi Kasus dan Intervensi
Psikologi. 2013;1(1):31-5.
Virginia A. sadock; alih bahasa, Profitasari, Tiara Mahatmi Nisa ; editor edisi
bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Ratna Neary Elseria Sihombing. Ed.2.
Jakarta : EGC

23

Anda mungkin juga menyukai