Angina Pectoris Tidak Stabil Dan Hipertensi Blok 19 Magda
Angina Pectoris Tidak Stabil Dan Hipertensi Blok 19 Magda
Magdalena/102013248
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat
Magdalenasimanjuntak4@gmail.com
Pendahuluan
Jantung merupakan salah satu organ terpenting dalam tubuh kita dan terus menerus
berdetak tidak pernah beristirahat. Fungsi jantung adalah sebagai pompa yang melakukan
tekanan terhadap darah untuk menimbulkan gradien tekanan yang diperlukan agar darah dapat
mengalir ke jaringan. Jika tidak adanya jantung, maka darah dalam tubuh kita tidak ada yang
memompakan ke seluruh tubuh yang akan mengakibatkan jaringan- jaringan dalam tubuh kita
akan kekurangan oksigen. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme dalam
tubuh kita.
Pemaksaan aktifitas jantung yang melebihi ambang batas, atau kurangnya pemanasan
sebelum melakukan olah raga serta kebiasaan merokok sangat berpengaruh pada sistem kerja
dan kesehatan jantung. Dari beberapa faktor predisposisi tersebut maka dapat terjadi timbulnya
penyakit pada suatu individu, salah satu nya adalah Angina pectoris.
Angina pectoris (atau nyeri dada) adalah ketidaknyamanan dada yang terjadi ketika ada
suplai oksigen darah yang berkurang pada area dari otot jantung atau iskemia miokardium.
Pasien mendapat serangan sakit dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal)
atau dada sebelah kiri yang khas, yaitu seperti di tekan atau terasa berat di dada yang sering
kali menjalar ke lengan kiri, kadang-kadang dapat menjalar ke punggung, rahang, leher atau
ke lengan kanan. Sakit dada tersebut biasanya timbul pada waktu pasien melakukan suatu
aktivitas dan segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Terkait dengan hal tersebut,
makalah ini akan membahas dan memberikan pengertian tentang sejumlah bahan maupun
bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan yaitu Angina pectoris
tidak stabil.
1
Anamnesis
Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.
Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan
dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama biasanya dituliskan secara singkat
beserta lamanya.
2
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri Dada
Kapan dimulainya ? Seperti apa nyerinya ? Di mana dan menjalar ke mana ? Apakah
diperberat/berkurang dengan bernapas, perubahan posisi, pergerakan ? Adakah nyeri dada
setempat ?
Adakah demam, mual, muntah, menggigil, penurunan berat badan, malaise, keringat
malam atau keringat dingin, limfadenopati, atau ruam kulit ?
Sesak
Apakah pasien sesak saat istirahat, beraktivitas, atau berbaring mendatar (ortopnea)?
Apakah keadaan tersebut kronis atau muncul secara tiba-tiba ?
Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami hal seperti ini ? Apakah pasien pernah
dirawat di rumah sakit? Apakah ada riwayat trauma ? Apakah ada riwayat hipertensi?
Obat-obatan
Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien ? apakah baru-baru ini ada perubahan
penggunaan obat? adakah respons terhadap terapi terdahulu ?
Alergi
Merokok
Apakah pasien saat ini merokok ? Apakah pasien pernah merokok ? Jika ya, berapa
banyak ?
3
Setelah dilakukan anamnesis, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Sebelum
melaksanakan pemeriksaan fisik, hendaknya didahului oleh penjelasan singkat mengenai
pemeriksaan fisik yang akan dilakukan, bagaimana bentuk pemeriksaannya, apa yang nanti
harus dilakukan oleh pasien saat pemeriksaan fisik berlangsung, dan bertujuan untuk apakah
pemeriksaan tersebut, serta meminta informed consent atau permintaan izin kepada pasien
yang menunjukan bahwa pasien tersebut setuju atau tidak untu melakukan pemeriksaan fisik.
Jika pasien setuju, jangan lupa untuk mencuci tangan sebelum dan sudah pemeriksaan.
Faktor pencetus gejala dan faktor yang dapat menanggulanginya harus ditentukan .angina
biasanya dicetuskan apabila pasien beraktivitas dan berkurang dengan istirahat. Dispnea
biasanya dihubungkan dengan kegiatan fisik, tetapi perubahan posisi tubuh dan redistribusi
cairan tubuh sesuai gravitasi yang mengikutinya dapat mencetuskan dispnea. Ortopnea dapat
dikurangi dengan meninggikan dada dengan bantal. Selain itu derajat gangguan yang berkaitan
dengan gejala-gejala itu juga harus ditentukan. Tabel 1 adalah derajat gangguan yang berkaitan
dengan gejala berdasar New York Heart Association (NYHA). Klasifikasi ini paling sering
digunakan utnuk menentukan pengaruh gagal jantung kongestif pada aktivitas ifsik. Klasifikasi
Angina menurut Canadian Cardiovascular Society pada Tabel 2 paling sering digunakan utnuk
menentukan derajat angina.2
4
Kelas AKTIVITAS KEADAAN
II Berjalan Berjalan cepat
Menaiki satu anak tangga Setelah makan
Berjalan lebih dari dua blok pada tanah Pada cuaca dingin
mendartas Pada saat banyak angin
Berjalan menanjak Saat stress emosional
Menaiki lebih dari satu anak tangga Beberapa jam setelah bangun
Pada langkah kecepatan normal
Kelas Pasien sangat mengalami keterbatasan aktivitas akibat angina. Misalnya, gejala
III dicetuskan dengan berjalan satu atau dua blok pada jalan mendatar atau menaiki
satu anak tangga atau berkurang pada keadaan normal dan pada langkah kecepatan
normal.
Kelas Pasien mengalami angina saat istirahat atau dengan aktivitas apapun.
IV
Tabel 2. Klasifikasi Angina menurut Canadian Cardiovascular Society2
Pemeriksaan Fisik
Pada skenario tersebut pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi tidak dapat
memberi petunjuk untuk kepastian diagnosis serta apabila kasus kegawat daruratan
pemeriksaan fisik jantung dapat ditunda. Namun apabila pemeriksaan tetap dilakukan dapat
untuk melihat keadaan umum pasien pada inspeksi keseluruhan, palpasi juga dapat melihat titik
nyeri, perkusi untuk mencari batas-batas jantung serta apakah terdapat cardiomegaly atau tidak.
Auskultasi dilakukan untuk melihat adanya bunyi jantung patologis seperti murmur atau
gallop.
5
Pemeriksaan Penunjang
Sumber : www.google.com
a) Gelombang P sesuai dengan
depolarisasi atrium. Pembesaran atrium dapat meningkatkan amplitude atau lebar gelombang
P, serta mengubah bentuk gelombang P. disritmia jantung juga dapat mengubah konfigurasi
gelombang P. misalnya, irama yang berasal dari dekat perbatasan AV dapat menimbulkan
inverse gelombang P, karena arah depolarisasi atrium terbalik.
b) Interval PR: dalam interval ini tercakup pegnhantaran impuls melalui atrium dan
hambatan impuls pada nodus AV. Interval normal adalah 0,12 sampai 0,20 detik. Perpanjangan
interval PR yang abnormal menandakan adanya gangguan hantaran impuls, yang disebut blok
jantung tingkat pertama.
d) Segmen ST, sebagai tahap awal repolarisasi ventrikel. penurunan abonormal segmen
ST dikaitkan dengan iskemia miokardium sedangkan peningkatan segmen ST dikaitkan degnan
infark. Penggunaan digitalis akan menurunkan segmen ST. e) Gelombang T. repolarisasi
ventrikel akan menghasilkan gelombang T. inverse gelombang T berkaitan dengan iskemia
miokardium. Hiperkalemi akan mempertinggi dan memerpetajam gelombang T. f) Interval T
6
meliputi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. interval QT rata-rata adalah 0,36 sampai 0,44
detik. Interval QT memanjang pada pemberian obat-obat antidisritmia seperti kuinidin,
prokainamid, sotalol (betapace), dan amiodaron (cordarone).
Terdapat 12 Sadapan, yaitu sadapan standar anggota tubuh (sadapan I, II, dan III), sadapan
anggota badan yang diperkuat (aVR, aVL, aVF), dan sadapan prekordial (sadapan V1 V6).2
3) Radiografi dada. Suatu seri pemeriksaan radiografi dada dalam empat posisi standar
dapat membantu menata kerangka diagnostic jantung, yaitu posisi posteroanterior, posisi
lateral kiri, posisi miring anterior kanan dengan tubuh berputar sekitar 60 derajat ke kiri, dan
posisi miring anterior kiri dengan bahu kiri ke depan. Hasil pemeriksaan radiografi dada dapat
berupa pembesaran jnatung secara umum, atau kardiomegali, pembesaran lokal salah satu
ruang jantung, kalsifikasi katup atau atrei koronaria, kongesti vena pulmonalis, edema
interstisial atau alveolar, dan pmebasearan arteri pulmonalis atau dilatasi aorta asendens.2
3) Enzim jantung. Enzim creatine phosphokinase (CPK) dapat dideteksi 6-8 jam seelah
infark miokard dan memuncak setelah 24 jam selanjutnya. Isoenzim (CPK-MB) spesifik untuk
otot jantung, namun jgua dapat dilepaskan pada kardiomiositis, trauma jantung, dan setelah
syok yang melawan aliran jantung (direct current/DC). Aspartat amino transferase (AAT),
suatu enzim nonspesifik umumnya diperiksa sebagai bagian skirining biokimiawi, dapat
dideteksi dalam 12 jam, memuncak pada 36 jam, dan kembali ke normal setelah 4 hari.
peningkatan enzim nonspesifik laktat dehidrogenase (LDH) terjadi pada tahap lanjut infark
miokard: peningkatan kadar dapat dideteksi dalam 24 jam, memuncak dalam 3-6 hari dengan
peningkatan yang tetap dapat dideteksi selama 2 minggu.
Isoenzim LDH1 lebih spesifik namun penggunaan klinisnya telah dilampaui oleh
pengukuran troponin. Troponin (T dan I) merupakan protein regulator yang terletak dalam
aparats kontraktil miosit. Keduanya merupakan cedera sel miokard petanda pseisfik dan dapat
diukur dengan alat tes di sisi tempat tidur. Troponin meningkat pada infakr miokard akut,
7
pasien resiko tinggi dengan angina tidak stabil bilak adar CPK tetap normal. Pengukuran serial
enzim jantung diukur setiap hari selama 3 hari pertama: peningkatan bermakan didefinisikan
sebagai dua kali batas tertinggi nilai laboratorium normal.3
Angina pektoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi sebagai respons
terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium. Nyeri angina dapat
menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang, atau ke daerah abdomen.
Terdapat tiga jenis angina, yaitu angina stabil, Prinzmetal (varian), dan tidak stabil.
Angina tidak stabil merupakan kombinasi angina klasik dan angina varian, dan dijumpai pada
individu dengan penyakit arteri koroner yang memburuk.4
Apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan
tidak dapat berdilatasi sebagai respons terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian
terjadi iskemi (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium mulai
menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses pembentukan
energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat
menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan degnan angina pectoris.
Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi adekuat dan
sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak
menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina
pektoris mereda.
Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban jantung. Hal ini tampaknya terjadi
akibat aterosklerosis koroner, yang ditandai perkembangan thrombus yang mudah mengalami
spasme.4 Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil.5
Terjadi spasme sebagai respons terhadap peptide vasoaktif yang dikeluarkan trombosit yang
tertarik ke area yang mengalami kerusakan. Konstriktor paling kuat yang dilepaskan oleh
trombosit adalah tromboksan dan serotonin, serta faktor pertumbuhan yang berasal dari
trombosit (platelet derived growed factor, PDGF). Seiring pertumbuhan thrombus, frekuensi
dan keparahan serangan angina tidak stabil meningkat dan individu beresiko mengalami
8
kerusakan jantung ireversibel. Angina tidak stabil termasuk gejala infark miokard pada
sindrom koroner akut.4
Epidemiologi
Penyakit jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian di negara industri
dan mengakibatkan lebih-kurang 30% kematian di Amerika Serikat. Sekitar 80% kematian
jnatung disebabkan oleh penyakit jantung iskemik. 5% sampai 10% kematian jantung juga
secara individual disebabkan oleh penyakit jantung hipertensif (termasuk cor pulmonale),
penyakit jantung congenital, dan penyakit katup.Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien
dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tidak stabil; di mana 6 sampai 8 persen kemudian
mendapat serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah
diagnosis ditegakkan.5
Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung
jaringan fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan
adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul
pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag
dan secara enzimatik melemahkan dinding plak.
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan
kativasi terbentunya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak menyumbat 100%, dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.5
Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi
yang terjadi antara lemak, sel otot polis, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan
9
terpenting dalam pembentukan thrombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan
sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam
plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor
VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan
fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan
pembentukan thrombus.faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan
terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai thrombosis yang intermiten,
pada angina tak stabil.
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Terjadinya
penyempitan juga dapat disebakan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos
sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.5
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada
dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin.5 Rasa nyeri dada terletak pada bagian tengah dada, bersifat seperti diikat, terasa berat,
seperti ditekan. Rasa nyeri dapat menjalar ke lengan, epigastrium, rahang, atau punggung.
Nyeri dipicu oleh aktivitas atau emosi, khususnya setelah makan atau pada udara dingin dan
berkurang dalam waktu beberapa menit setelah istirahat atau pemberian gliseril trinitrat
sublingual dan bukal. Pada angina tidak stabil, nyeri terasa bahkan pada saat istirahat.6 Pada
pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.5 Pada angina tak stabil biasanya nyeri
berkurang dengan beristirahat.4
10
Diagnosis Banding
Prinzmetal Angina
Angina Prinzmetal merupakan salah satu dari jenis angina pectoris. Angina Prinzmetal
terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan, pada kenyataannya, sering terjadi pada
saat istirahat atau tidur. Pada angina Prinzmetal (varian), suatu arteri koroner mengalami
spasme yang menyebabkan iskemia jantung di bagian hilir.4 Spasme terjadi pada arteria
epikardium.5 Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan aterosklerosis. Pada lain waktu,
arteri koroner tidak tampak mengalami sklerosis.
Patofisiologi yang terjadi pada angina Prinzmetal, yaitu ada kemungkinan bahwa
walaupun tidak jelas tampak lesi pada arteri, dapat terjadi kerusakan lapisan endotel yang
samar. Hal ini menyebabkan peptide vasoaktif memiliki akses langsung ke lapisan otot polos
dan menyebabkan kontraksi arteri koroner. Disritmia sering terjadi pada angina varian.4
Spasme yang terlokalisir seperti angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak
stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam
pembentukan thrombus.5
Gejala klinis Angina Prinzmetal ditandai dengan nyeri dada akibat iskemi miokard
transien yang terjadi tanpa dapat diramal dan pada saat istirahat; nyeri sering terjadi di malam
hari selama tidur REM (gerak mata cepat) dan bisa memiloiki siklus pola kekambuhan. Angina
Prinzmetal mungkin disebabkan oleh vasospasme pada satu atau lebih arteri koroner dengan
atau tanpa aterosklerosis.
Angina Prinzmetal dapat terjadi akibat hiperativitas sistem saraf simpatis, peningkatan
curah kalsium di otot polos arteri, atau gangguan produksi atau pelepasan prostaglandin atau
tromboksan (ketidakseimbangan antara vasodilator koroner dan vasokonstriktor).6 Angina
Prinzmetal adalah angina yang jarang, dan lebih sering terjadi pada waktu istirahat daripada
waktu bekerja.2 Pada gambaran EKG, Prinzmetal angina dapat menunjukkan gambaran adanya
elevasi segmen ST.9
Angina pectoris tak stabil dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) merupakan
suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada
prinsipnya penatalaksanaannya sama. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
11
manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan
biomarker jantung.
Di rumah-rumah sakit angka kunjungan untuk pasien Unstable Angina (UA) / NSTEMI
meningkat sedangkan angka infark miokard dengan elevasi ST(STEMI) menurun.
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh osbruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
thrombosis akut atau proses vaskonstriksi koroner. Thrombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil.
Gejala khas adalah rasa tidak enak di dada, dapat disertai dispneu, mual, diaphoresis,
sinkop, atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher yang terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
Gambaran EKG secara spesifik berupa deviasi segmen ST yang merupakan penentu resiko
pada pasien. Pada thrombolysis in Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST
baru sebanyak 0,05 mV merupakan predictor outcome yang buruk. Peningkatan resiko outcome
yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik
depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya meberikan tambahan informasi
prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
Troponin T atau Troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yangl bebih spesifik
daripada enzim jantung CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin
pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu. Disfungsi ginjal
berhubungan dengan peningkatan resiko outcome yang buruk. Pasien dengan kadar klirens
kreatinin yang lebih rendah memiliki gambaran resiko tinggi yang lebih besar dan outcome
yang kurang baik. 3 faktor patofisiologi yang terjadi pada UA/STEMI yaitu : 1) ketidakstabilan
plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi, 2) inflamasi vascular, dan 3)
kerusakan ventrikel kiri.10
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) adalah bagian dari spectrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA
dengan elevasi ST. STEMI biasanya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya,
12
stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid. Pda kondisi yang jarang STEMI juga dapat disebabkan oleh klusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
Hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas
fisik berat, stress, emosi ata upenyakit medis atau bedah. Walalupun STEMI bisa terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkardian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.
Pemeriksaan fisik didapatkan sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi)
dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardi dan/atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena dsifungsi apparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38oC dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau 1
mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung ,terutama troponin T yang
meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak
perlu menunggu hasil pemeriksaan enzi, menigngat dalaam tatalaksana IMA, prinsip utama
penatalaksanaan adalah time is muscle.11
Perikarditis
13
Peradangan pericardium biasanya disebabkan oleh berbagai penyakit jantung, penyakit
toraks atau sistemik, metastasis dari neoplasma yang berasal dari tempat lain, atau tindakan
bedah pada jantung. Perikarditis primer jarang terjadi dan hampir selalu disebabkan oleh virus.
Sebagian besar kausa perikarditis memicu perikarditis akut, tetapi beberapa, misalnya
tuberculosis dan jamur, menimbulkan rekasi kronik. Karena dasar etiologi reaksi sering tidak
mungkin ditentukan dari pemeriksaan patologik, metode yang sering digunakan adalah
klasifikasi morfologik.12
Perikarditis akut. Perikarditis serosa. Eksudat peradangan serosa biasanya dihasilkan oleh
peradangan nonifeksi, misalnya RF, SLE, skleroderma, tumor dan uremia. Infeksi di jaringan
berdekatan dengan perikardium, misalnya pleuritis bakterialis, dapat menyebabkan iritasi
serosa perikardium parietalis, sehingga terjadi efusi serosa steril yang dapat berkembang
menjadi perikarditis serofibrinosa dan akhirnya reaksi supurasi yang nyata.
Pada beberapa keadaan, infeksi virus, infeksi saluran napas atas, pneumonia, parotitis,
mendahului perikarditis dan menjadi fokus primer infeksi. Volume cairan biasanya tidak
banyak (50 sampai 200ml) dan menumpuk secara perlahan. Dilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh akibat peradangan menghasilkan cairan dengan berat jenis tinggi dan
kaya protein.
Perikarditis fibrinosa dan serofibrinosa. Merupakan jenis tersering perikarditis dan terdiri
dari cairan serosa bercampur dengan eksudat fibrinosa. Kausa yang umum adlaah IM, sindrom
pascainfark (Dressler), uremia, radiasi toraks, FR, SLE, dan trauma. Reaksi fibrinosa jgua
sering terjadi setelah pembedahan jantung rutin. Morfologinya, terjadi permukaan menjadi
kering dengan granula-granula halus. Timbulnya bising gesek (friction rub) perikardium yang
keras merupakan gambaran paling mencolok pada perikarditis fibrinosa, dan mungkin timbul
nyteri, reaksi demam sistemik, dan tanda-tanda yang mengisyaratkan gagal jantung.
Perikarditis hemoragik. Eksudat terdiri dari darah bercampur dengan efusi fibrinosa atau
supuratif, paling sering disebabkan oleh terkenanya rongga pericardium oleh neoplasma ganas.
Dapat terjadi juga pada infeksi bakteri, pada pasien diathesis hemoragik, dan pada tuberculosis.
14
Perikarditis hemoragik sering terjadi setelah pembeedahan jantung dan terkadang menjadi
penyebab kehilangan darah sgnifikan atau bahkan tamponade sehingga diperlukan operasi
ulang.
Perikarditis kronik atau menyembuh. Pada beberapa kasus, proses organisasi hanya
menghasilkan penebalan fibrosa berbentuk plak di membran serosa atau perlekatan halus.
Fibrosis ini menimbulkan perlekatan seperti benang, atnara perickrdium parietalis danvirealis
yang disebut perikarditis adhesive, yang jika terjadi sendiri jarang menghambat atau
mengganggu kerja jantung.
Perikarditis konstriktif. Jantung mungkin terbungkus oleh jaringan parut padat, fibrosa
atau fibrokalsifik yang membatasi ekspansi diastolic dan sangat menghambat curah jantung,
mirip kardiomiopati restriktif. Pada perikarditis konstriktif, rongga perikaridum lenyap, dan
jantung dikelilingi oleh lapisan jaringan ikat yang padat dan melekat erat dengan atau tanpa
kaslifikas, sering kali dengan ketebalan 0,5 sampai 1,0 cm, yang mirip denagan cetakan gips
pada kasus ekstrem.
15
Gejala yang timbul adalah efusi perikard kronik dengan sesak, ortopnu dan edema; jarang
tampak sebagai perikarditis akut dengan demam, nyeri dada pleuritik, dispnu dan pericardial
rub. Tamponad jantung atau perikarditis konstriktif kronik jarang dijumpai. Ekokardiografi
sering menunjukkan efusi perikard ringan asimtomatik dan penebalan dan dapat
mengkonfirmasi tamponad jantung yang dicurigai secara klinis.13
1) Tindakan umum. Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif
koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin
atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
2) Obat anti iskemia. a) Nitrat. Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan
arteriol perifer, degan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan
vasodilatasi pembuluh koroner akut nitrogliserin atau isosorbid dinitral diberikan secara
sublingual atau melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang
dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Karena adanya toleransi
terhadap nitrat, dosis dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali
infuse dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.
16
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan
nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek iotropik negatif juga lebih kecil. Meta
analisisi studi pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis kalsium,
menunjukkan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang sebelumnya
tidak mendapat antagonis pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina yang rekuren
sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan metoprolol dapat mengurangi kematian dan
infark sebesar 20%, tapi kedua studi secara statistic tak bermakna. Kenaikan mortalitas
mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan takkiardia dan kenaikkan kebutuhan
oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien
dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berukarng,
pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihiropiridin pada pasien
SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium biasanya pada pasien yang ada
kontraindikasi dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi keluhan angina masih
refrakter.5
2) Obat antiagregasi trombosit. Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam
pengobatan angina tak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti
platelet seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti bermanfaat. a)
Aspirin. Aspirin dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non
fatal dari 51-75% pada pasien dengan angina tak stabil. Aspirin dianjurkan diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya 80- sampai 325 per oral.
17
kasus angina tak stabil. Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin
pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien resiko tinggi dan pasien yang direncakan
ntuk tindakan PCI. Abciximab disetuji untuk pasien dengan angina tak stabil dan NSTEMI
yang direncakan untuk tindakan invasif dan di mana PCI direncakan dalam 12 jam.5
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH). Hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan
heparin menghambat faktor Xa dan thrombin. Dibandingkan degnan unfractioned heparin,
LMWH mempunyai ikatan protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar dan tidak
mudah dinetralisir oleh faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
dan kejadian trombositopenia lebih sedikit. LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin,
enoksaparin, dan fodaparinux. Keuntungan penggunaan LMWH adalah karena cara pemberian
yang mudah, yaitu dapat disuntikan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
18
tindakan orperasi bypass (CABG) dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup dan
mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan
morbiditas lebih buruk dari pada bedah elektif.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu
pembuluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI
merupakan pilihan utama. Pada angina tak stabil tindakan tergantung dari stratifikasi resiko
pasien; pada resiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar
troponin yang meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung yang
maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan invasif dini.5
Angina tak stabil terjadi sebagai angina awitan baru, angina yang terjadi saat istirahat, atau
angina yang keparahan atau frekuensinya meningkat; pasien mungkin mengalami dispnea,
diaforesis, dan kecemasan yang semakin berat ketika angina memburuk. Angina tak stabil
memiliki resiko tertinggi terjadi komplikasi berupa infark bahkan kematian.7
Analisa berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala
dengan onset baru angina berat atau terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan
dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat.5
Pengenalan klinis angina tak stabil termasuk patosiologi, faktor risiko untuk terjadinya
IMA serta perjalan penyakitnya perlu diketahui agar dapat dilakukan pengobatan yang tepat
ataupun usaha pencegahan agar terjadi imfark miokard. Pengobatan bertujuan untuk
mempepanjang hidup dan memperbaiki kualitas hidup baik secara medikal maupun
pembedaan. Prinsipnya menambah suplai O2 ke daerah iskemik atau mengurangi kebutuhan
O2. Pencegahan terhadap faktor risiko terjadinya angina pektoris lebih penting dilakukan dan
sebaiknya dimulai pada usia muda seperti menghindarkan kegemukan, menghindarkan stress,
diet rendah lemak, aktifitas fisik yang tidak berlebihan dan tidak merokok.8
19
Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg
atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.2 Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang
umum dijumpai dengan konsekuensi yang terkadang sangat merugikan, dan sering
asimtomatik sampai perkembangan tahap lanjut. Hipertensi adalah salah satu faktor resiko
terpenting untuk penyakit arteri koronaria dan cerebrovascular accidents.12
Etiologi hipertensi
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk hipertensi idiopatik
disebut hipertensi primer atau esensial.2 Telah diketahui secara luas, hipertensi adalah penyakit
multifaktor kompleks yang mempunyai penentu genetik maupun linngkungan.12
Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi mengenai lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi dan kerentanan
terhadap penyulit meningkat sering dengan usia dank arena alasan yang belum diketahui.
Prevalensi dan kerentan tersebut tinggi pada orang Amerika keturunan Afrika. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik lebih penting dibanding tekanan
darah diastolik sebagai penentu resiko kardovaskular, kecuali pada orang berusia muda.12
Patofisiologi Hipertensi
Diperkirakan hipertensi esensial terjadi akibat interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan yang memengaruhi curah jantung, resistensi perifer, atau keduanya. Faktor genetik
jelas berperan dalam menentukan tingkat tekanan darah. penyakit gen tunggal menyebabkan
bentuk-bentuk hipertensi yang relatif jarang dan berat melalui beberapa mekanisme, antara lain
defek gen pada enzim yang berperan dalam metabolisme aldosteron, dan mutasi protein yang
memengaruhi reabsorpsi natrum. Variasi herediter dalam tekanan darah juga dapat bergantung
pada efek kumulatif bentuk alel beberapa gen yang memengaruhi tekanan darah.
Penurunan eksresi natirum oleh ginjal pada tekanan arteri normal dapat merupakan proses
kunci awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium secara berurutan dapat
menyebabkan peningkatan volume cairan, peningkatan curah jantung, dan vasokonstriksi
perifer sehingga tekanan darah meningkat.
20
Hipotesis alternatif menunjukkan pengaruh vasokonstritif (baik faktor yang memicu
vasokonstriksi fungsional maupun yang memicu perubahan struktural langsung di dinding
pembuluh, yang menyebabkan peningkatan resistensi perifer) sebagai kausa primer hipertensi.
Selain itu, pengaruh vasokonstriktif yang kronik atau berulang dapat menyebabkan penebalan
struktural pembuluh-pembuluh resistensi. Dalam model ini, perubahan struktural di dinding
pembuluh dapat terjadi pada tahap awal hipertensi, mendahului dan tidak timbul akibat
vasokonstriksi.
Jantung menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila
proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi
ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan menyebabkan angina
atau infark miokardium. Sekitar separuh kematian akibat hipertensi disebabkan oleh infark
miokardium atau gagal jantung.
Kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi terlihat jelas di seluruh pembuluh darah
perifer. Perubahan pembuluh darah retina yang mudah diketahui melalui pemeriksaan
oftalmoskopik, sangat berguna untuk menilai perkembangan penyakit dan respons terhadap
terapi yang dilakukan. Aterosklerosis yang dipercepat dan nekrosis medial aorta merupakan
faktor predisposisi terbentuknya aneruisma dan diseksi. Perubahan struktur dalam arteri-arteri
kecil dan atriola menyebabkan penyumbatan pembulu hdarah progresif. Bila pembuluh darah
menyempit maka aliran arteri terganggu dan dapat menyebabkan mikroinfark jaringan.
Akibat perubahan pembuluh darah ini paling nyata terjadi pada otak dan ginjal. obstruksi
atau ruptur pembuluh darah otak merupakan penyebab sekitar sepertiga kematian akibat
hipertensi. Sklerosis progresif pembuluh darah ginjal mengakibatkan disfungsi dan gagal ginjal
21
yang juga dapat menimbulkan kematian. Hipertensi kronis merupakan penyebab kedua
terjadinya gagal ginjal stadium akhir dan 21% kasus membutuhkan terapi penggantian ginjal.2
Bila timbul gejala, berarti hipertensi ini sudah lanjut. Gejala klasik yaitu sakit kepala,
epistaksis, pusing, dan tinnitus yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan darah,
ternyata sama seringnya dengan yang terdapat pada yang tidak dengan tekanan darah tinggi.
Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata kabur, depresi, dan nokturia ternyata
meningkat pada hipertensi yang tidak diobati. Empat sekuele utama akibat hipertensi adalah
stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati.2
Komplikasi Hipertensi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada hipertensi jangka panjang adalah kerusakan organ
target, yaitu 1) penyakit serebrovaskular: stroke trombotik dan hemoragik. 2) Penyakit
vascular: penyakit jantung koroner. 3) Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/
LVH) adalah mekanisme kompensasi terhadap peningkatan tekanan darah kronis. Hal ini
merupakan predictor independen dari kematian dini (kematian jantung mendadak akibat
aritmia ventrikel, gagal jantung, infark miokard, cedera serebrovaskular). Gagal jantung bisa
berhubungan dengan LVH (hipertrofi otot yang telah berlangsung lama menyebabkan
kerusakan renovaskular atau penyakit koroner prematur. 4) Gagal ginjal : hipertensi
menyebabkan kerusakan renovaskular dan kerusakan glomerulus.15
Diagnosis Banding
Hipertensi Sekunder
22
jarang dijumpai. Selain itu juga dapat ditemukan gejala penyakit yang mendasarinya (misalnya
sakit kepala, palpitasi, diaforesis, dan pusing postural pada feokromositoma).
Penyakit parenkim ginjal. Penyebab hipertensi yang disebabkan penyakit parenkim ginjal
adalah yang terbanyak. Penyakit ini berasal dari penyakit-penyakit glomerular,
tubulointersisial, dan penyakit ginjal polikistik. Banyak kasus yang terjadi adalah karena
retensi air dan garam tapi sekresi renin dan angiotensin juga ikut berperan. Hipertensi yang
terjadi akan menyebabkan fungsi ginjal menurun.
Penyakit renovaskular. Lebih banyak pada usia muda dan penyebabnya adalah
fibromuskular hyperplasia. Penyebab lain adalah aterosklerosis yang menyebabkan stenosis
arteri renalis proksimal. Mekanismenya adalah produksi renin yang meningkat karena aliran
darah ke ginjal yang berkurang dan akhirnya retensi garam dan air. Penyakit renovaskular harus
dipikirkan bila : 1) usia dibawah 20 tahun, 2) terdengar bruits pada auskultasi epigastrium, 3)
jika terdapat aterosklerotik di ekstremitas didapatkan stenosis arteri renalis, 4) jika terjadi
penurunan fungsi ginjal yang cepat setelah pemberian ACE inhibitor, ) hipertensi resisten
dengan 2 atau lebih obat, 6) cenderung hipertensi maligna, 7) riwayat merokok, 8) edema paru
berulang, 9) ukuran ginjal yang tidak sama > 1,5 cm dan 10) hipokalemi dan alkalosis.17
Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan pengobatan penderita hipetensi diiopatik atau esensial adalah untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh gangguan dengan menggunakan cara yang
plaing nyaman. Tujuan utama adalah untuk mencapai tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg
dan mengendalikan setiap faktor resiko kardiovaskular melalui perubahan gaya hidup.2
Pengobatan hipertensi harus dimulai sejak dini untuk mencegah kerusakan organ sasaran.
Pada usia lanjut penurunan tekanan darah harus dilakukan hati-hati dengan memperhatikan
apakah terdapat hipertensi berat yang lama., pada hipertensi resisten diperlukan waktu yang
cukup untuk mencapai sasaran. Pada pasien dengan DM, sasaran tekanan darah adalah kurang
dari 130/85 mmHg, sedangkan pada gagal ginjal atau jantung, sasaran yang dicapai adalah
tekanan darah yang paling rendah yang dapat ditolerir.14
23
diuretika dan penyekat saluran kasium dibandingkan terhadap penyekat beta atau inhibitor
ACE), penyakit yang terjadi bersamaan (penyekat beta dapat memperburuk asma, diabetes
mellitus, daniskmeia perifer tetapi dapat memperbaiki angina, disritmia jantung tertentu, dan
sakit kepala migren), dan kualitas hidup (beberapa obat antihipertensi dapat menyebabkan efek
samping yang tak diinginkan, seperti gangguan fungsi seksual).2
Prognosis Hipertensi
Pencegahan Hipertensi
Pencegahan hipertensi yang dapat dilakukan antara lain a) pembatasan konsumsi garam,
dapat menurunkan tekanan darah, b) menurunkan berat badan bagi pasien yang obesitas, c)
membebaskan diri dari stress atau ketegangan jiwa, karena hal tersebut dapat merangsang
kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat
serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.16
24
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a Glance. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Cetakan ke-11. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2008.
4. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC, 2009.
5. Trisnohadi HB. Angina pektoris tak stabil. Dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
InternaPublishing, 2009.
7. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi: pemeriksaan & manajemen. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC, 2008.
9. Hayes PC, Mackay TW. Buku saku diagnosis dan terapi. Jakarta: EGC, 1997.
10. Harun S, Alwi I. Infark miokard akut tanpa elevasi ST. Dalam Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: InternaPublishing, 2009.
11. Alwi I. infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: InternaPublishing, 2009.
12. Robbins, Cotran. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC, 2010.
13. Alwi I. Penyakit jantung pada penyakit jaringan ikat. Dalam Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: InternaPublishing, 2009.
14. Suhardjono. Hipertensi pada usia lanjut. Dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
InternaPublishing, 2009.
15. Davey P. At a Glance medicine. Cetakan ke-11. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.
25
16. Neal MJ. At a glance farmakologis medis. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga; 2006.h.38-9.
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.1728-33.
26