Osiloskop biasanya digunakan untuk mengamati bentuk gelombang yang tepat dari
sinyal listrik. Selain amplitudo sinyal, osiloskop dapat menunjukkan distorsi, waktu antara
dua peristiwa (seperti lebar pulsa, periode, atau waktu naik) dan waktu relatif dari dua sinyal
terkait.
Frekuensi dan Periode Frekuensi merupakan jumlah getaran yang dihasilkan selama 1
detik yang dinyatakan dengan Hertz. Sedangkan periode adalah kebalikan dari Frekuensi,
yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menempuh 1 kali getaran yang biasanya dilambangkan
dengan t dengan satuan detik. Kemampuan Osiloskop dalam mengukur maksimum Frekuensi
berbeda-beda tergantung pada tipe osiloskop yang digunakan. Ada yang dapat mengukur
100MHz, ada yang dapat mengukur 20MHz, ada yang hanya dapat mengukur 5MHz.
Duty Cycle (Siklus Kerja) Duty Cycle adalah perbandingan waktu ketika sinyal mencapai
kondisi ON dan ketika mencapai kondisi OFF dalam satu periode sinyal. Dengan kata lain,
Siklus Kerja atau Duty Cycle adalah perbandingan lama kondisi ON dan kondisi OFF suatu
sinyal pada setiap periode.
Rise dan Fall Time Rise Time adalah waktu perubahan sinyal (durasi) dari sinyal rendah
ke sinyal tinggi, contoh dari 0V ke 5V. Sedangkan Fall Time adalah waktu perubahan sinyal
(durasi) dari sinyal tinggi ke sinyal rendah, contohnya perubahan dari 5V ke 0V.
Karakteristik ini sangat penting dalam mengukur respon suatu rangkaian terhadap sinyalnya.
Karakteristik Berbasis Tegangan (Voltage)
Amplitudo Amplitudo adalah ukuran besarnya suatu sinyal atau biasanya disebut dengan
tingginya puncak gelombang. Terdapat beberapa cara dalam pengukuran Amplitudo yang
diantaranya adalah pengukuran dari Puncak tertinggi ke Puncak terendah (Vpp), ada juga
yang mengukur salah satu puncaknya saja baik yang tertinggi maupun yang terendah dengan
sumbu X atau 0V.
Kegunaan/Fungsi :
Dipakai untuk mengukur besar tegangan listrik dan Relasi terhadap waktu.
Mengukur frekuensi sinyal yang berosilasi.
Mengecek jalannya suatu sinyal pada sebuah rangkaian listrik.
Membedakan arus AC dengan arus DC.
Mengetahui noise pada sebuah rangkaian listrik.
3. Cara Menggunakan/Mengukur :
4. Tingkat Ketelitian :
Setelah dilakukan pengukuran, maka Osiloskop dapat dibaca hasilnya. Contohnya hasil
pengukuran tersebut menggunakan v/div = 20 volt/div dan t/div = 2 ms/div. Hasilnya adalah :
Tegangan yang keluar dari sistem vertikal lalu diteruskan menuju pelat defleksi vertikal
pada sebuah CRT (Catode Ray Tube), sinyal tegangan yang dimasukkan ke pelat ini nantinya
akan digunakan oleh CRT untuk menggerakkan berkas-berkas elektron secara bidang
vertikal saja (ke atas atau ke bawah).
Sampai point ini dapat disimpulkan bahwa Vertical System pada osiloskop analog berfungsi
untuk mengatur penampakan Amplitudo dari sinyal yang diamati.
Selanjutnya sinyal masuk ke dalam pelat defleksi vertikal. Sinyal tegangan yang
teraplikasikan disini menyebabkan berkas-berkas elektron bergerak. Tegangan positif
mengakibatkan berkas elektron bergerak ke atas, sedangkan tegangan negatif menyebabkan
elektron terdorong ke bawah.
Sinyal yang keluar dari Vertical System tadi juga diarahkan ke Trigger System untuk
memicu sweep generator dalam menciptakan apa yang disebut dengan "Horizontal Sweep"
yaitu pergerakan elektron secara sweep - menyapu ke kiri dan ke kanan - dalam dimensi
horizontal atau dengan kata lain adalah sebuah ungkapan untuk aksi yang menyebabkan
elektron untuk bergerak sangat cepat menyeberangi layar dalam suatu interval waktu tertentu.
Pergerakan elektron yang sangat cepat (dapat mencapai 500,000 kali per detik) inilah yang
menyebabkan elektron tampak seperti garis pada layar (misalnya seperti daun kipas pada
kipas angin yang tampak seperti lingkaran saja saat berputar).
Pengaturan berapa kali elektron bergerak menyebrangi layar inilah yang dapat kita anggap
sebagai pengaturan Periode/Frekuensi yang tampak pada layar, bentuk konkretnya adalah
saat kita menggerakkan kenop Time/Div pada Osiloskop.
Pengaturan bidang vertikal dan horizontal secara bersama-sama akhirnya dapat
merepresentasikan sinyal tegangan yang diamati ke dalam bentuk grafik yang dapat kita lihat
pada layar CRT.
2. Osiloskop Digital
Osiloskop digital mencuplik bentuk gelombang yang diukur dan dengan menggunakan ADC
(Analog to Digital Converter) untuk mengubah besaran tegangan yang dicuplik menjadi
besaran digital.
Dalam osiloskop digital, gelombang yang akan ditampilkan lebih dulu disampling (dicuplik)
dan didigitalisasikan. Osiloskop kemudian menyimpan nilai-nilai tegangan ini bersama sama
dengan skala waktu gelombangnya di memori. Pada prinsipnya, osiloskop digital hanya
mencuplik dan menyimpan demikian banyak nilai dan kemudian berhenti. Ia mengulang
proses ini lagi dan lagi sampai dihentikan. Beberapa DSO memungkinkan untuk memilih
jumlah cuplikan yang disimpan dalam memori per akuisisi (pengambilan) gelombang yang
akan diukur.
Dengan grafik diatas dapat disimpulkan bahwa periodenya adalah 0,2 s. Sehingga dalam
satu 1 sekon dapat menghasikan 5 gekombang, dan frekuensinya adalah 5 Hz.
Ampiltudo yaitu nilai maksimun/puncak positif pada gelombang sinusida. Jika
gelombang nilai puncaknya 5 cm, maka keluaran dari gelombang tersebut dari 0 ke 5 ke 0 ke
-5 kembali ke 0 dan seterusnya.
Beda fase yaitu perbedaan besar sudut antara dua gelombang sinusida yang diamati.
Beda fase akan terlihat apabila dua buah gelombang sinusida yang dimasukan ke dalam
osiloskop secara bersama-sama. Ada banyak gambar lissojous dikenyataanya. Tetapi hanya
ada beberapa saja grafik lissojous yang mudah diketahui beda fasenya, lissojous yang
frekuensinya sama. Contoh gambar lissojous:
Untuk dapat menyimpulkan dapat dengan mengetahui rasio frekuensi antara 2 gelombang
yang dihasilkan.
Perhatikan :
disimpulkan menjadi :
Tarik garis Vertikal dan Horizontal Hitung Perpotongan Garis Merah dengan grafik dan
anggap ini sebagai variabel "M". Hitung Perpotongan Garis Biru dengan grafik dan anggap
ini sebagai veriabel "N"
Maka Frek X : Frek Y = M : N
Pada Gambar 1 maka Rasio Frekuensi X banding Y adalah :
6:4
Cara Menghitung Beda Fase :
Kedua gelombang tersebut (A dengan B) memiliki amplitudo dan frekuensi yang sama, tetapi
gelombang yang satu mendahului gelombang yang lainnya. Dalam istilah teknisnya, ini
disebut beda fase (phase shift). Pada pembahasan sebelumnya kita dapat mengeplot
gelombang sinus dengan cara melakukan perhitungan fungsi trigonometri sinus dari 0 derajat
hingga 360 derajat, lingkaran penuh. Titik awal dari gelombang sinus itu dimulai dengan
amplitudo nol pada saat nol derajat, bergerak naik pada suatu nilai amplitudo maksimum
yang bernilai positif pada 90 derajat, kemudian nol lagi saat 180 derajat, amplitudo
maksimum negatif saat 270 derajat, dan kembali ke titik nol awal pada 360 derajat. Kita
dapat menggunakan skala sudut ini sepanjang sumbu horisontal dari plot bentuk gelombang
untuk menunjukkan seberapa jauh suatu gelombang meninggalkan gelombang yang lain.
Beda fase antara kedua gelombang di atas adalah sekitar 45 derajat, yang A mendahului
gelombang yang B. Contoh-contoh lain untuk gelombang-gelombang yang memiliki beda fase
ditunjukkan pada gambar ini.
Karena gelombang-gelombang ini memiliki frekuensi yang sama, mereka akan saling
mendahului dalam derajat sudut yang sama pada semua titik-titik pada kedua gelombang itu
dalam fungsi waktu. Karena alasan ini, kita dapat menyatakan beda fase antara dua atau lebih
gelombang yang memiliki frekuensi yang sama dalam nilai yang konstan sepanjang kedua
gelombang tersebut. Jadi,bukanlah suatu kesalahan apabila kita mendengar pernyataan ini :
tegangan A beda fase sebesar 45 derajat dengan tegangan B. Gelombang yang
mendahului proses putarannya dikatakan leading (mendahului) sedangkan yang terbelakang
disebut lagging (didahului/terbelakang).
Beda fase adalah pengukuran yang relatif yang terukur antara dua gelombang. Tidak
ada gelombang yang memiliki nilai fase yang absolut karena tidak ada referensi universal
dalam pengukuran fase . Jadi, pengukuran beda fase tidak mungkin ada apabila kita hanya
punya satu gelombang karena beda fase adalah hasil pengukuran antara dua gelombang.
Tetapi umumnya dalam analisa rangkaian AC, gelombang tegangan dari sumber dayanya
digunakan sebagai referensi fasenya, biasanya nilai sumber tegangannya dinyatakan sebagai
xxx volt pada 0 derajat. Tegangan atau arus lainnya dalam rangkaian itu akan memiliki
beda fase yang diukur relatif terhadap fase sumber tegangan tersebut.
Inilah yang membuat analisa rangkaian AC lebih kompleks dibandingkan DC. Ketika
kita meggunakan hukum Ohm dan hukum Kirchhoff pada suatu rangkaian AC, nilai arus dan
tegangan pada rangkaian AC itu haruslah ditunjukkan nilai amplitudo dan beda fasenya.
Perhitungan matematis seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian haruslah
meliputi perhitungan amplitudo dan juga perhitungan beda fasenya. Untungnya, ada suatu
sistem nilai matematis yang disebut bilangan kompleks (complex number) yang bisa
digunakan untuk melaksanakan tugas ini. Karena sistem bilangan kompleks sudah
merepresentasikan baik itu amplitudo dan juga beda fasenya. Jadi, bilangan kompleks
sangatlah penting untuk dipejari dalam analisa rangkaian AC.
Apabila diketahui nilai tegangan dan arus pada suatu komponen memiliki persamaan
v = 20 sin (t + 30o) dan i = 18 sin(t 40o) , gambarkan diagram fasornya, hitung beda
fasenya, dan gambar bentuk gelombangnya.
Bentuk fasornya ditunjukkan pada gambar 1. Dari sini anda dapat melihat bahwa v
mendahului i sebesar 70o. Bentuk gelombangnya ditunjukkan pada gambar 1b.