Redaksi :
Sirkulasi:
Administrasi :
Pengantar Redaksi
Redaksi
i
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Halaman
Pengantar Redaksi ......................................................................................... i
Daftar Isi ....................................................................................................... ii
ii
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Oleh
Ketut Yarsama
IKIP PGRI Bali
Abstrak
Mengajar sastra di sekolah tidak dapat diimplementasikan dalam
proporsional dan bahsa Indonesia guru profesional. Hari ini, lebih banyak guru
bahasa Indonesia mengajarkan teori sastra bukan praktik penulisan. Dalam
kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pembelajaran sastra harus dilaksanakan
secara seimbang antara teori dan praktek, bahkan tahap apresiasi yang produktif
atau implikasi dari prioritas yang lebih tinggi. guru bahasa Indonesia menuntut
tidak hanya menguasai materi dalam sastra yang baik, tapi dia seharusnya mampu
menghasilkan atau menciptakan sebuah karya sastra.
Di KBK, pembelajaran sastra di sekolah harus lebih fokus pada tahap
dari tahap produksi pengetahuan dan pemahaman. Kompetensi siswa menulis
pelajaran yang sangat mendesak harus digali, dibina, dididik, dikembangkan, dan
dilatih. Dengan strategi seperti itu, sebuah studi menghargai sastra dapat
dibudidayakan.
Abstract
Teaching literature in schools cannot be implemented in proportionate
and Indonesian language professional teachers. Today, more Indonesian
language teachers teache literary theory rather than practice compose. In a
competency-based curriculum (CBC), the learning of literature should be
implemented in a balanced between theory and practice, even the stage of
appreciation that is productive or implications of higher priority. Indonesian
language teachers demanded not only master the material in good literature, but
he was supposedly able to produce or create a work of literature.
In CBC, the literature learning in schools should focus more on stage
than the stage production of knowledge and understanding. Competencies
students compose a very urgent subjects had to be dug, nurtured, educated,
developed, and trained. With such a strategy, an appreciative study of literature
can be cultivated.
1
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
1 Pendahuluan
Perubahan terhadap kurikulum sebagai sesuatu yang wajar dan harus
terjadi. Perubahan kurikulum sudah tentu disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Atas dasar itu, di Indonesia sudah mengalami
berbagai perubahan kurikulum, yaitu: Kurikulum 1968 kurikulum 1976
kurikulum 1984 kurikulum 1994 kurikulum 2004 kurikulum
2006.Kurikulum terbaru yang saat ini diterapkan oleh guru bahasa Indonesia di
sekolah adalah Kurikulum 2013 yang dikenal dengan K13. Kurikulum 2004
sering disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sedangkan
kurikulum 2006 sering disebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Dasar filosofis KBK , KTSP,dan K13 adalah sama, yakni siswa tidak lagi
diperlakukan sebagai objek belajar, tetapi sebagai subjek belajar. Kompetensi
yang dimiliki subjek didik harus benar-benar dibina dan dikembangkan oleh guru.
Siswa harus lebih aktif, kreatif, kritis, inovatif, dan produktif dalam proses
pembelajaran (Yarsama, 2005: 1).
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah harus berorientasi
kepada perubahan kurikulum. Materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
seharusnya disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan kurikulum. Siswa
akan lebih termotivasi belajar, apabila pembelajaran sastra dikemas dan dirancang
dengan baik oleh guru.
Di dalam proses belajar mengajar, guru harus berpedoman, kepada
kurikulum yang berlaku saat ini, yakni Kurikulum 2013(K13). Didal proses
pembelajaran sastra yang berbasis K13, guru BI harus mengemas dan merancang
materi pembelajaran sastra dengan sebaik-baiknya. Guru BI harus menghilangkan
paradigma lama yakni semata-mata mentransfer materi sastra kepada anak didik.
Budaya teaching seharusnya diubah menjadi budaya learning dan problem
solving. Budaya teaching akan melahirkan anak yang pasif dan apatis, sedangkan
budaya learning dan problem solving melahirkan anak yang aktif, kreatif,
inovatif, dan produktif. Dalam K13, seorang guru BI harus mengubah paradigm
lama dari budaya teaching diubah ke paradigm baru, yakni budaya learning dan
problem solving (Yarsama, 2005: 2). Pembelajaran sastra yang bagaimanakah
yang harus dirancang oleh guru BI berdasarkan K13?Tujuan penelitian ini adalah
2
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2 Landasan Teori
Santosa (tt: 150) menyatakan bahwa pendidikan adalah semua usaha
untuk menempatkan bangsa dan Negara terhormat di antara bangsa dan Negara
lain-lainnya. Pendidikan sebagai alat untuk mengembangkan kebudayaan.
Kebudayaan Indonesia sedang berhadapan dan bertukar unsur dengan kebudayaan
lain yang datang dari luar Indonesia, terutama yang sekarang sedang merajalela
adalah kebudayaan Barat yang sudah berkembang lebih dari 600 tahun dan antara
lain membawa hak-hak berikut ini.
a. Dasar filsafat kehidupan, dengan cara bahwa individu adalah keramat
(sacredness of the individual), karena itu lebih dominan dalam kehidupan
daripada dalam kehidupan di Indonesia. Hak-hak individu lebih diutamakan
daripada kewajiban (human rights above duty), kebebasan lebih dari
pengaturan diri (freedom above personal discipline). Bagaimanakah Indonesia
akan menghadapi persoalan tersebut, bila kita bermaksud membangun
kepribadian Indonesia yang bersandar pada peninggalan nenek moyang.
b. Organisasi sosial, sangat didasarkan pada sistem organisasi (organization as a
system) dan kurang memperhitungkan manusia sebagai manusia. Sebaliknya
di Indonesia maka kebanyakan sifat manusialah yang berperan, sedangkan
sistemnya dibijaksanakan. Bagaimanakah pendidikan menghadapi soal ini.
c. Sistem politik dengan beraneka corak, demokrasi yang berlebihan (USA),
demokrasi dan tradisi (Inggris), demokrasi marxisme (Perancis-Italia) dan
sebagainya. Bagaimanakah pendidikan akan mengembangkan demokrasi
Pancasila menghadapi pengaruh import politik ini.
d. Sistem ekonomi yang perlu diteliti oleh ahli-ahli ekonomi dan dibandingkan
dengan sikap ekonomi bangsa Indonesia yang tradisional.
e. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan, keterampilan, yakni bakat yang langsung
mempunyai hubungan dengan kehidupan manusia (survival value)
f. Sopan santun, tata tertib Barat dalam pergaulan, dibandingkan dengan sopan
santun dan tata tertib bangsa Indonesia. Apakah yang akan kita terima, apakah
yang akan kita tolak?
g. Penghayatan hukum, disiplin Barat dibandingkan dengan penghayatan hokum
dan disiplin bangsa Indonesia, dan seterusnya.
(Santoso, tt: 151-152)
3
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
4
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
pakar ini banyak kesamaan dengan pendapat Saylor dan Alexander. Dengan
kegiatan-kegiatan itu sekolah mengharapkan terjadi perubahan-perubahan dalam
kelakuan siswa yang sesuai dengan filsafat dan tujuan pendidikan.
Smith, Stanley dan J. Harlan Shores mendefinisikan kurikulum sebagai
a sequence of potential experiences set up in the school for the purpose of
disciplining children and youth in group way of thinking and acting (Kurikulum
sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak
yang diperlukan agar mereka dapat berpikir dan berkelakuan sesuai dengan
masyarakatnya. Ada yang memandang kurikulum sebagai actual learning
experiences (Pengalaman belajar yang nyata, ada pula yang menganggap
kurikulum sebagai potential learning experiences yakni pengalaman belajar
yang secara potensial mungkin dapat diperoleh anak.
Neil (1988: 5) menyatakan bahwa ada empat konsepsi kurikulum yang
lazim, yaitu: humanistik, rekonstruksi sosial, teknologi, dan akademis. Kurikulum
seharusnya memberikan pengalaman memuaskan secara pribadi bagi setiap orang
(humanistik). Ahli rekonstruksi social menekankan kebutuhan masyarakat di atas
kebutuhan individu. Ahli teknologi memandang penyusunan kurikulum sebagai
proses teknologi untuk menghasilkan tujuan yang dikehendaki pembuat
kebijakan. Orang yang berorientasi akademik melihat kurikulum sebagai
penghantar yang mana siswa diperkenalkan terhadap disiplin mata pelajaran dan
bidang studi yang terorganisasi. Kurikulum yang ideal sudah didasari atas
keempat konsepsi kurikulum tersebut.
Pengganti kurikulum 1994 dengan kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi
di antaranya dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan Garis-Garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999, yang berbunyi bahwa dalam bidang pendidikan perlu
dilakukan pembaharuan system pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum,
berupa diverikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik,
penyusunan kurikulum yang berlaku secara nasional dan lokal sesuai dengan
kepentingan setempat, serta diverifikasi jenis secara profesional. Selain itu,
negara negara lain saat ini juga telah lebih dahulu memberlakukan kurikulum
berbasis kompetensi.
5
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
6
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
7
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
8
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
9
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
5 Penutup
Pembelajaran sastra yang berlandaskan KBK bukan hanya membekali
subjek didik dengan teori-teori sastra, melainkan dibekali life skill bersastra.
Kompetensi sastra pada subjek didik sangat perlu untuk digali, dibina, dididik,
dan ditumbuhkembangkan. Subjek didik perlu mengembangkan dan mengasah
keterampilan bersastra yang telah dimilikinya. Untuk itu, guru bahasa Indonesia
dituntut profesional dalam mengemas atau merancang pembelajaran sastra yang
apresiatif. Pembelajaran sastra yang bernafaskan KBK menuntut adanya
keseimbangan antara aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Guru bahasa
Indonesia dituntut mengubah paradigm pembelajaran sastra, yakni dari budaya
teaching diubah menjadi budaya learning dan problem solving. Perubahan
paradigm pembelajaran sastra itulah yang menjadi tolak ukur keberhasilan
pembelajaran sastra yang berlandaskan KBK.
Daftar Rujukan
Alberty, Harold B. dan Elise J. Alberty. 1965. Reorganizing the High School
Curriculum. New York: The Macmillan Company.
10
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Saylor, J.G. and W.M. Alexander. 1956. Curriculum Planning. New York:
Rinchart Company.
Yarsama, Ketut. 2005. Pengembangan Bahan Ajar. Denpasar: IKIP PGRI Bali.
11
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
I Wayan Mastra
Program Studi Seni Drama, Tari dan Musik
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
E-mail: iwayan mastra@yahoo.co.id
Abstrak
Pada era ini, popularitas pertunjukan turistik Bali yang diperjual-belikan di
obyek-obyek wisata, seperti di kabupaten Badung, Gianyar, Kota Denpasar dan
tempat-tempat lainnya masih berjalan sesuai dengan Visi, Misi, Tujuan, dan
Sasaran Tata Kerja Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, yakni terwujudnya
kelestarian dan keberdayaan Budaya Bali, (walaupun mengalami pasang-surut)
sampai saat ini. Pariwisata menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat Bali,
membuka peluang terjadinya kontak dan interaksi antara unsur-unsur budaya luar
dengan budaya lokal. Sebuah fenomena baru yang dialami oleh masyarakat Bali,
yaitu menjual kesenian dengan mendatangkan dan didatangi tamu untuk mendapat
imbalan dolar. Pertunjukan turistik yang dimulai dari tahun 1930-an hingga kini,
telah merambat ke semua jenis kesenian. Banyak yang berpendapat bahwa
pertunjukan turistik Bali mengalami pergeseran fungsi serta penurunan intensitas
dan kualitas penyajiannya. Dengan demikian masalahnya adalah bagaimana cara
menerapkan pertunjukkan turistik tanpa banyak mengorbankan identitas seni Bali,
dan kemudian bisa tetap laku dijual pada wisatawan. Hal ini sejalan dengan Visi
Misi tata kerja Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tetap mengacu pada terwujudnya
kelestarian dan keberdayaan budaya Bali.
Setelah dikaji secara mendalam, ternyata seni pertunjukan turistik Bali
berorientasi pada penegakan komitmen Dwi Tunggal, yakni mempertahankan
nilai keaslian kesenian Bali dan masalah kesejahteraan. Maka dari itu dampak
Pertunjukan Turistik Bali memiliki sifat positif dan negatif, menarik untuk dikaji.
Abstract
In this era, the popularity of Balinese touristic performance which is sold
in Bali tourism objects such as in Badung, Gianyar, Denpasar and another
tourism objects are still running well based on the vision, mission, purpose and
target working procedures of the department of culture in Bali. Namely, the
realization of the Bali culture preservation (although in the ups and downs
situation) until now. Hospitality becomes one of the livelihood sources of Balinese
people. Open up the opportunities of contact occurrence between foreign cultures
and local culture. A kind of new phenomenon which is experienced by Balinese
people. That is selling the art by bringing the guest in and then they will come in
12
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
to give their dollars. Touristic performance which is started from 1930 till now
has spreaded into all kind of arts. There are many arguments about Bali
performances shifting function and the decrease in the intensity also quality of the
implementation of it. Thus, the problem is how to apply the touristic performances
without compromising the identity of art itself and then still could sell to the guest.
This is in line with the vision and mission of the working procedures related to the
department of culture which is still reffering to the realization of the conservation
and Bali cultural empowerment. Once studied in depth, it turns performing arts in
Bali touristic is oriented on establishing a dwi tunggal commitments, namely to
maintain the value and authenticity of art in bali also welfare issues. Therefore,
the impact of touristic performances in Bali has positive and negative attributes.
It is interesting to study.
Key words: The impact of touristic performance, Balinese art, Positive, Negative
1 Pendahuluan
Fokus tulisan ini adalah pertunjukan turistik, yang bertampak terhadap
keberadaan dan perkembangan kesenian Bali, diantaranya telah terjadi pergeseran
atau peubahan nilai-nilai seni yang sangat berarti bagi masyarakat Bali, serta
tantangan-tantangan yang akan dihadapinya di masa mendatang. Dimana seni
pertunjukan turistik dianggap barang dagangan yaitu sebagai salah satu sistem
yang memiliki fungsi penting dalam membentuk kebudayaan itu sendiri, sehingga
mampu berbicara mengenai kebudayaan yang menghasilkan (Geertz 1983).
Dengan demikian perubahan akan dilihat sebagai gejala terjadinya pergeseran
kesenian.
Hasil pengalaman penulis terhadap kesenian toristik di Bali tahun 1990-an
mengalami perkembangan yang cukup pesat untuk industri pariwisata budaya,
kemudian telah terjadi proses komersialisasi dan skulerisasi dalam kebudayaan
Bali yang disebabkan oleh perubahan/pergeseran fungsi serta tujuan pertunjukan.
Fenomena pertujukan toristik seperti saat ini adalah merupakan tuntutan baru oleh
masyarakat Bali, oleh karena itu mau dan tidak mau seni budaya akan
menimbulkan berbagai perubahan, yakni pergeseran nilai bersifat
menguntungkan (positif) dan merugikan (negatif) kesenian itu sendiri.
Muara dari balik perkembangan yang pesat tersebut, mutu pertunjukan
turistik kini mengalami penurunan. Sumandyo Hadi (2014:1) dalam Seminar
Seni Pertunjukan ISI Denpasar menekankan, seni tradisi kerakyatan maupun
kesenian Kraton (Kerajaan) dapat menjadi sumber infirasi kajian maupun ciptaan
13
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2 Pembahasan
2.1 Fenomena Pertunjukan Turistik Bali
Di Bali bahkan Indonesia dan Asia juga Dunia, kesenian menjadi salah
satu ataraksi yang penting karena diminati oleh wisatawan. Bali khususnya
14
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
pembenahan dan pelestarian seni pertunjukan sudah sejak jaman dulu mencintai
seni, terutama dalam pertumbuhannya dijadikan makna berarti untuk menunjang
upacara agama Hindu yang berbarengan dengan githa Mantara, Badjra, Kidung,
Kulkul, dan suara Gamelan (Panca Githa). Keberadaan ini sekaligus dapat
mempertahankan juga pelestarian kesenian Bali. Selanjutnya atas maraknya
permintaan pertunjukan tersebut, atarksi seni sebagai tontonan turistik/ wisatawan,
tidak ada satupun seni pertunjukan Bali yang ketinggalan untuk diperjual-belikan.
Baik berupa kesenian klasik tradisional, kresai baru serta seni kolaborasi,
semuanya untuk tontonan wisatawan yang datang belibur ke Bali. Seniman yang
cerdik/menghargai kesenian unsur-unsur seni pertujukan yang diperuntukan
kepada turistik itu, sudah dikemas dengan cara mempilter bentuk kesenian
tersebut dengan penataan baru (imitasi), walaupun masih berpijak pada tarian
yang sudah ada maupun terpaksa mengambil unsur kesenian klasik. Unsur-unsur
kesenian yang dikemas itu diantaranya pemadatan penyajian, yang terdiri dari;
struktur penyajian, meliputi elemen-elemen penyajian garapan; gerak, waktu, dan
ruang maupun alat musiknya tidak lagi utuh seperti sediakala. Gerak, yaitu
pengurangan intentitas, kualitasnya; waktu, berkurangnya dorasi dipertunjukan;
ruang, menyangkut bidang/tempat pentas tidak memadai lagi; musik, dari jumlah
instrumen yang komplit, menjadi kurang komplit. Pernyataan ini menandakan
penurunan bobot seni pertunjukan dan sekaligus menjadi sebuah pengorbanan
identitas pertunjukan kesenian Bali.
Seni pertunjukan turistik pada hakekatnya adalah produk budaya Bali
modern yang lahir dari kandungan kepariwisataan. Kesenian ini muncul sejak Bali
kedatangan turis-turis asing dari Eropa, Amerika dan lain-lainnya. Pertunjukan
Bali sudah sejajak lama untuk menghibur orang asing, namun bagi seniman
profesi noris bagi seniman panggung Bali merupakan yang baru. yang muncul
mulai sekitar tahun 1930-an (Dibia,1997:31).
Sebelum melangkah pada fungsi kesenian Bali, terlebihdulu penulis
uraikan fungsi kesenian Indonesia, oleh Edi Sedyawati (1981 dalam Rai S,
2007:4) dapat dibedakan menjadi Tujuh: (1) untuk memanggil kekuatan gaib, (2)
mengundang roh agar hadir di tempat pemujaan, (3) menjemput roh-roh baik, (4)
peringatan terhadap nenek moyang, (5) mengiringi upacara perputaran waktu, (6)
15
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
mengiringi upacara siklus hidup dan (7) untuk mengungkapkan alam semesta.
Dalam seni pertunjukan tidak bisa lepas dengan musik, maka secara mengkusus
fungsi seni musik oleh Alan Mariam bukunya The Anthropology Of Music (1964),
menyatakan bahwa ada Sepuluh fungsi seni, yaitu: (1) sebagai ekspresi emosional,
(2) kenikmatan estetis. (3) sebagi hiburan, (4) sebagi alat komunikasi, (5) sebgai
persembahan simbolik, (6) sebagi respon fisik, (7) sebagai menjaga norma kepada
masyarakat, (8) sebagai untuk pengukuhan intitusi, (9) sebagai stabilitas
kebudayaan, (10) sebagai sarana intergritas masyarakat.
Selanjtnya Nyoman Sadwika (2013:52) dalam Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Seni, menyebutkan fungsi seni Sekar Alit sebagai Sarana Pembelajaran Budi
Pekerti yang intinya untuk menjaga stabilitas bangsa, sekaligus untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional. Kusus untuk fungsi kesenian Bali, yang masih
lestari sampai saat ini adalah mencakup fungsi kesenian menyeluruh, tapi lebih
cendrung menggunakan pendapat Edi Sedyawati. Selanjutnya karena ada
penerapan penyajian seni pertunjukan di masyarakat Bali yang sering baur (rancu)
di pulau Dewata ini, yakni (sulit membedakan), yang mana kesenian sakral,
untuk wali dan tontonan dan yang mana sebagi hiburan (Blih-Balihan)?. Dengan
itu kesenian Bali dapat dipilah atas tiga fungsi, yaitu: sebagai kesenian Wali,
sebagai Bebali dan sebagai Balih-Balihan (Keputusan Seminar Seni Sakral Dan
Ppofan Bidang Tari Bali, 1971). Kesenian toristik ini adalah tergolong kesenian
Balih-Balihan (secular arts form), yaitu kesenian umumnya tidak terikat dari
unsur kesenian Wali dan Bebali, bahkan kadang-kadang jauh melampaui batas
tradisi. Keterikatan yang dominan pada pertunjukan turistik Bali adalah aktor
harus mengikuti kemauan/ kebutuhan dan selera wisatawan.
Fungsi kesenian yang lebih mengkhusus lagi dalam kehidupan manusia
adalah dapat memperhalus jiwa (Suarta, 2015) Rektor IKIP PGRI Bali, dalam
sambutan acara Dies Natalis Ke-32 dan Wisuda Sarjana Ke-35 IKIP PGRI Bali di
Grend Bali Beach Sanur- Bali. Oleh Didik Nini Towok (seniman) dan Bambang
Seiawan (ahli bedah syaraf) (2005:49), yaitu dapat menyeimbangkan otak
sebelah kanan dan kiri. Setelah ditelaah secara mendalam beberapa pendapat di
atas, dapat diartikan tujuan mempelajari seni di samping mempunyai fungsi ganda
tapi dapat juga mempunyai makna yang berati dalam pendidkan seni, sekaligus
16
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
pelestariannya. Yang artinya dalam pelestarian seni, yang beruraiantasi pada unsur
keindahan yang merupakan cerminan jiwa yang dapat terpancar melaui sikap yang
luwes (lentur).
Tempat-tempat pertunjukan yang umum digunakan untuk pementasan
turistik adalah kawasan daerah wisata yang dominan, seperti daerah Badung dan
Gianyar dan di kota Madya Denpasar. Sedangkan daerah lainnya merupakan
pertunjukan turis non regular atau merupakan pertunjukan skunder, karena di
samping faktor fasilitas yang terbatas, tapi juga ditentukan oleh jauh dari
jangkauan tempat turis itu menginap. Asal mula kesenian yang ikut andil pada
pertunjukan di daerah Badung, Gianyar dan Kodya Denpasar tersebut didatangkan
dari daerah Tabanan, seperti pertunjukan dramatari Tektekan, Okokan dan
Wayang Kulit; dari daerah Negara adalah kesenian Jegogan. Begitu juga
sebaliknya, apabila di daerah Tabanan, Negara maupun daerah Kelungkung dan
Karangasem memerlukan kesenian yang ada di Kabupaten Badung, Gianyar dan
Kodya Denpasar, bisa pentas di kabupaten ini.
Jadi, sebagian besar pertunjukan turistik masih merupakan bentuk-bentuk
kesenian klasik tradisional Bali yang diangkat dari bentuk yang biasa disajikan
sebagaii tontonan masyarakat Bali, dan ada pula diangkat dari bentuk-bentuk
upacara ritual (Picard,1996 dalam Dibia 1976:31). Bentuk-benuk kesenian yang
umum dipertujukan itu, seperti musik, tari, teater tradisional Bali. Semuanya
sudah mengalami proses penggodogan yang rumit, dengan tujuan untuk
mempertahankan keaslian kesakralan kesenian Bali. Dan yang jelas dengan
pengemasan baru seni untuk tontonan turistik sudah bebeda dengan pertunjukan
yang biasa ditontonkan oleh masyarakat Bali pada umumnya.
17
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
18
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
19
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Tari Joged Bumbung, tari jogged bumbung adalah salah satu tari
pergaulan (secular dance) yang paling populer di kalangan masyarakat Bali.
Kustumnya menyerupai tari Legong Kraton (tanpa baju), dalam perkembangannya
sekarang mengunakan baju kebaya yang ketat. Sedangkan pemain lawan jenisnya
(pengibing) berpakaian bebas dan sekaligus menyangkut gerakan yang
ditampilkan mempunyai unsur-unsur kebebas pula, asalkan sesuai dengan irama
lagu iringan tari joged itu. Penampilannya dewasa ini juga mengalami
perkembangan, terutama dari segi musiknya menggunakan kendang Sunda (Jabar)
yang berjumlah tiga buah (besar-kecil) yang dipadukan dengan kendang Bali.
tentang lagu digunakan mengikuti lagu nasional yang sedang ngepop. Menurut I
Wayan Kaler, bahwa tari ini mulai muncul di daerah Singaraja tahun 30-an,
berkembang pesat 1945-an. Tetapi saying dalam popularitasnya sekarng, banyak
sekaa Joged Bumbung salah persepsi tentang keindahan identitas Joged itu
sendiri, yaitu gerak yang eroik difariasi dengan teknis berkelebihan. Fenomena ini
disebut Joged porno yang sangat merugikan untuk pelestariannya.
Sendratari Ramayana, sendratari Rayana muncul sekitar tahun 60-an
dikenal dengan sendratari ballet, yaitu berbentk kemasan baru meringkas dari
segala bagian yang dorasinya mencukupi untuk keperluan tamu. Penggarap
sendratari ini adalah seniman I Wayan Beratha guru Konser Patori Karawitan
Indonesia (KOKAR). Teknis penggarapannya menggabungkan unsur-unsur seni
pewayangan Jawa dan Bali, seperti dramatari Gambuh, Wayang Wong, tari legong
diciptakan tahun 1969. Dengan ekseisnya sendratari ini di Bali, maka sampai
sekarangpun masih disegani oleh tamu dan masyarakat pendukungnya, oleh
karena antara jalinan gerak dan tarinya serasi. Begitu pula pemadatan unsur dari
elemen-elemen lainnya seperti penataan kustum yang simpel, dan struktur
penyajiannya sangat padat penuh denga daya hidup.
Tari Godogan, tari godogan yang lazim disebut Frog Dance adalah
perkembangan tiga puluh tahun berikutnya yang setara dengan perkembangan tari
Tektekan (Tektekan Dance) dengan, seni Jegog, Topeng, wayang Kulit dan
Gambuh. Tari Kodok dengan iringan Genggong (jaw harp), yang terbuat dari
cabang pohon enau yang kering ditata sedemikian rupa. Umumnya menggunakan
lakon Godogan dari Galuh Daha(cerita Panji). Tata pakaiannya untuk Dewi
20
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
21
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
yang dianggap menarik adalah musik pengiringnya, yaitu memakai seruling besar
dan gerak tarinya mencerminkan ketinggian budaya dari jaman Bali klasik di
masa lampau. Yang jelas kesenian ini tidak lagi banyak memegang pakem yang
adiluhung, tetapi sudah berubah mengikuti kemauan turis itu sendiri, baik struktur
penyajiannya dan waktu yang singkat.
22
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2.4 Analisis
Di balik ramainya pertunjukan kesenian turistik, banyak orang
berkementar, tidak rela kesenian Bali dikorbankan. Seperti pendapat Kayam
(1981); seni pertunjukan Bali dijajankan. Bandem, (1997:152) Tari Bali,
Bukan Sekuntum Kamboja di Lobi Hotel-hotel, dan banyak pendapat lainnya
lagi kurang sependapat. Yang intinya kesenian Bali kini sudah
dikomersialisasikan, karena ada kebutuhan mendasar yang lebih kompleks, yaitu
sebagai penunjang kebutuhan ekonomi daerah.
Komersialisasi dan sekularisasi adalah sebuah risiko yang mau dan tidak
mau harus ditanggung dan dihadapi oleh masyarakat Bali, kesenian tradisinya
dijadikan pertunjukan turistik dan telah menjadikan komoditas pariwisata.
Kesenian pada dasarnya diciptakan penuh rasa pengabdian kepada masyarakat
(adat) (bersifat ngayah), dengan tata penyajian yang sesuai dengan alam Bali,
harus dikemas sedemikian rupa untuk memenuhuhi pasar-wisata. Bagi orang
membidangi bisnis, mereka tetap berprinsif menegakan sistem prinsif ekonomis
yaitu dengan bekerja sedikit mendapat imblan yang banyak. Kebanyakan
mereka tanpa berpikir panjang tidak (bercermin ke belakang); bagaimana nenek
moyang kita dalam preodeisasinya untuk pencapaian kesuksesan sampai saat ini,
meniti tentang tonggak-tonggak sejarah Bali (konteks) kesenian Bali sampai bisa
mapan saat ini? Proses panjang lainnya adalah, bagaimana Bali sebelum Abad
Masehi samapai pemehaman Dinasti Agung Bali di Bali?. lihat
23
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
24
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Bhatara Sakti (Siwa Pasupati). Karena bentuk wujud kesenian serta fungsinya
berbeda dengan barong kedengkling dari daerah Gianyar. Kaitannya istilah
ngelawang untuk daerah Tabanan menyebutnya ngunya atau memberi
penugrahan (keselamatan) terhadap pendukungnya pada setiap Kabupaten se-
Bali Tengah (terkecuali Kabupaten Buleleng dan Karangasem) sampai pelosok
desa didatangi. Lalu tentang upah bukan bukan sebagai faktor utama oleh grup
tersebut, tetapi berbentuk sosial, yaitu disebut sesari, sesuai dengan
kemampuan dan sukarela mereka menyertai sesari di atas sesajen (dana punia).
Dimana fenomena ini oleh masyarakat Bali adalah bagaian dari ajaran etika yang
wajib ada pada setiap manusia. Jadi perlu ditegaskan di sini kesenian Bhatara
Nawa Sanga bukan barong kedengkling yang ada di Gianyar. Kesenian ini
adalah tergolong kesenian sakral, (bukan seperti kesenian Barong
Bangkung/Bangkal ngelawang yang ada di beberapa daerah Bali).
Pertunjukan bayaran pada perkembangan selanjutnya yang pernah ngetren
dan bertahan lama di kalangan masyarakat Bali adalah; pertunjukan Arja,
Sendratari Ramayana, Drama Gong, Topeng (prembon), dan yang masih terkenal
dan bertahan sekarang adalah pertunjukan Wayang Kulit Ceng Blonk dari desa
Belayu-Tabanan. Dimana pertunjukan ini sudah mempunyai standarisasi mutu
dibarengi target harga, karena kepawaiannya memainkan wayang serta elemen
lainnya seperti tata lampu dan musiknya sangat mendukung.
Kemudian sekularisasi yang dimaksud di atas adalah hilangnya nilai-nilai,
makna identitas sakral/religius sudah ditiadakan, terbukti hanya sebagain kecil
saja masih menggunakan sarana upacara Hindu pada pertunjukan tersebut.
Dengan itu membuktikan bahawa kepercayaan bisa disebutkan sudah
menipis/luntur. Dengan lunturnya kepercayaan itu akan berarti juga taksu
(kekuatan di luar nalar akal sehat manusia) yang datang dari Tuhan juga jarang
menghampirinya. Menegaskan pendapat I Wayan Dibia (1997:38), bahwa
kesenian turistik yang tidak mengandung nilai-nilai religius tidak bisa disebut
seni profan. Menurut ajaran Hindu oleh Gusti Nengah Ariana, (2014) dalam
seminar Nasional ISI Denpasar; dengan sarana banten/sesajen, walaupun tidak
diucapkan, sudah mengandung arti atau makna tertentu dari sesajen tersebut.
Yang jelas kesenian pertunjukan turistik di Bali masih mengandung nilai-nilai
25
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
riligi, karena masih berakar kesenian tradisional, dan ini merupakan ilham dari
yang maha kuasa, Tri Sakti (Tri Wisesa) yaitu manifestasi Tuhan yang
menciptakan musik sebagai patrne seni pertunjukan utamanya. Dengan demikian,
maka orang Bali bergelut dengan seni, umumnya mereka mempunyai tempat
sembahyang khusus, yang disebut Pelinggih Taksu.
Penonton turistik lebih mengutamakan daya tarik visual dari pada bentuk
isi kesenian itu, maka kesenian untuk turistik cendrung sebagai seni intertainment
(hiburan seni profan). Dan kemauan tamu yang lainnya yang paling utama di seni
adalah ketepatan waktu yang dapat memuaskan mereka. Lalu tentang hal-hal
yang terkait dengan bagaimana dengan proses panjang keberadaan sejarah seni
pertunjukan Indonesia dari masa Pra-Sejarah sampai jaman Orda baru/saat ini
dalam pencapaian tujuan mulia, lihat (Suedarsono, 2010) dalam buku Pertunjukan
Indonesia, hal itu tidak mau digubris oleh wisatawan. Dan yang menjadi
kenangan yang sulit dilupakan adalah menyangkut rasa (pisikologis) pemain
cendrung diabaikan,baik menyangkut dan terkait tempat pertunjukan yang kurang
memadai, maupun pengorbanan waktu aktor yang bukan sedikit cendrung
diabaikan begitu saja. Maka dalam realita itu penulis dapat garis bawahi sebagai
berikut.
26
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
music, lighting dan penguasan stage menyeluruh. Sifat positif lainnya adalah
dapat membantu kesejahtraan seniman untuk lebih kretif lagi. Jadi, dengan masih
utuhnya pertunjukan yang berkualitas, dapat dijadikan bahan acuan dalam
mengkaji dan titik pijak dalam garapan baru; kemudian dapat mendukung
kehidupan kesenian secara efektif; dapat merangsang bagi pelaku seni untuk
melanjutkan bakat seninya ke jenjang yang lebih tinggi, serta bagi yang kurang
pengetahuan seninya dapat tertular oleh lingkungannya itu sendiri. Ini ditegaskan
oleh I Made Darmada (2015:5), dalam Orasi Ilmiahnya; Ekonomi Kreatif Dalam
Bali Vogenic Culture Menuju Kkreativitas Kehidupan. Pada Dies Natalis ke-32
dan Sarjana ke-35 Wisuda IKIP PGRI Bali, menyatakan; lingkungan masyarakat
Bali sangat lekat dengan aktivitas, adat, budaya, dan keagamaan yang merupakan
tatanan kehidupan yang bersinergi untuk memenuhi kesejahteraan baik secara
sosial, ekonomi dan religius. Halt ersebut memberikan tantangan bagi orang Bali
yang harus menyapkan diri untuk selalu belajar, berkarya dan persembahan serta
semua itu menuntut kreativitas. Lebih lanjut Sumandyo Hadi, Dibia, Tri Guna,
Arya Sugiarta (2014) dalam Seminar Seni Nasional ISI Denapasar, berpendapat,
dengan adanya kreativitas kesenian tradisional berbentuk kerakyatan, maupun
kerajaan/Kraton adalah dapat bermanfaat untuk dijadikan penyajian penelitian dan
mempertahankan serta mengembangkan kesenian tersebut. Walaupun demikian
adanya kita mesti ingat dengan kata filsafat oleh Nengah Arnawa (2016), bahwa
yang tinggi itu akan turun, yaitu ditentukan oleh seiring dengan jalannya waktu.
Maka sesuai dengan ungkapan Ida Bagus Gunadha (2012:195-196) Guru Besar
Pasca Sarjana UNHI Denpasar, dalam bukunya Aneka Politik Hindu dalam hal
yang berketidak ketentuan dalam kehidupan ini di jaman ini, maka dari itu yang
penting berbuat berkarya dengan baik. Tanpa berkarya tidak ada hasil, hasil itu
yang paling pintar menghitung adalah Tuhan itu sendiri. Jadi Tuhan itulah
penentu, atas hasil perbuatan manusia.
27
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
memiliki sarana dan perlengkapan yang memadai; kondisi pertunjukan yang tidak
utuh. Jika ini terus berlanjut, secara automatis tidak layak dijual kepada tamu dan
menjadi efek besar terhadap citra kesenian Bali, dan sekaligus mutu yang kurang
menguntungkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi panutan oleh generasi
muda berikutnya.
Akibat dari kodisi pertunjukan turistik yang mentradisi yang berkesan
tidak baik, maka terjadi anggapan oleh masyarakat pendukung berbagai pihak
cendrung menampikan apa adanya. Semua ini juga terkait dengan pemandu
wisaata, para pelaku dan pengelola termasuk penjual dari kesenian ini sangat tidak
memperhatikan efeknya kedepan. Perlu diketahui menurut pengalaan penulis,
tidak semua turistik kini yang menyaksikan kesenian Bali hawam adanya, karena
di Negara mereka sendiri sudah ada kesenian Bali. Sepeti di Kalipornia-Amerika
yang disebut grup seni Sekar Jaya; di Jepang, terlebih lagi di daerah Indonesia
sendiri yang telah banyak mendirikan Lembaga pormal seni. Untuk itu mereka
tahu kesenian yang punya mutu dan kesenian kurang bermutu. Jadi, pemandu
wisata tidak kehilangan tamu, grup kesenian tidak kehilangan pelanggan, kiranya
langkah yang baik dilakukan antara kedua belah pihak; antara pemandu pariwisata
dengan grup kesenian bersinergi untuk bekerja sama dapat mempertankan mutu
kesenian Bali. Dimana intinya para grup kesenian Bali harus tetap menunjukan
kebolehannya secara the best quqlity kepada para wisatawan. Menurut I Wayan
Dana dan Rikrik Setiawan (2015) dalam Seminar Seni Nasional ISI Denpasar
menambahkan, berusaha yang lebih bersifat luas dan mendalam jauh lebih berarti
dari pada aktivitas terbatas, imbauan ini karena mengingat persaingan yang
semakin kompleks dan global. Sebagai peghujung penegaasan ini pendapat I
Nyoman Suarta (2015) Rektor IKIP PGRI Bali, pada acara Rapat Dosen dapat
penulis rekam; dimana akan ada sifat meyerah, disitu akan berhenti segalanya.
Yang dapat diartikan kita hidup harus bekerja untuk kehidupan, bukan hanya
untuk hidup.
Yang menjadi permasalahan bidang pendidikan kini, khususnya bagi
mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik sebagai
generasi penerus bangsa. Mendapat sorotan tajam. Menurut pendapat Pande
Wayan Bawa (2012), Nengah Arnawa, (2013), Nyoman Astawan (2014)
28
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
29
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
kesenian yang terkait kesejahtraan seniman; Bagi pemandu wisata, sebaiknya juga
memikirkan nasib kesenian Bali untuk bisa bertahan kualitas penyajiannya; begiu
juga bagi pengelola seni ataupun penjual seni dan aktor seni, hendaknya tidak
hanya bisa menjual seni saja, tetapi mau meningkatkan mutu pertunjukannya.
Semua ini tidak hanya juga untuk kehidupan kesenian saja, tetapi lebih mengakar
pada kehidupan dan penghidupan manusia (konteks) kebudayaan secara umum.
Inti dari pengertian ini boleh disebutkan, dalam pertunjukan turistik Bali ada dua
konsep kehidupan Ruwe Binedha yang tidak boleh dipisahkan, untuk dapat
menemukan keseimbangan itu.
Berkenaan dengan tersebut di atas, ada dua cara pembaruan penggarapan yang
dapat menarik kiranya untuk pertunjukan turistik; pertama, mengacu pada realitas
Sendratari Ramayana sebagai pijakan kongkrit yang idial sampai kini bisa sebagai
bahan banding. Ke dua memasukan ide-ide baru yang belum sama sekali pernah
dipertunjukan (orisinil).
Pertunjukan Sendratari Ramayana Ballet yang pada unsur bagian-baginnya
ada pemadatan struktur penyajian, terkait dorasi, Banyak penokohan, terkait
beraneka kustum, isi cerita singkat, dinamika penyajian padat, musik iringannya
serasi dan kustumnya klasik.
Pertunjukan Kreasi Baru, yaitu dalam pemilihan tema; penata/actor punya
didikasi tinggi, punya keyakinan, orisinalias, royalitas, mengacu pada fungsi,
tempat pertunjukan dan perlengkapan-perlengkapan. Pendapat I Wayan Beratha
(almarhum), seorang tokoh seni pertunjukan Bali serba bisa mengatakan; dalam
mengarap seni untuk bisa bersaing dengan tari klasik, hendaknya harus bisa paling
tidak memedai mutu kesenian itu, dan yang lainnya berani melawan hambatan-
hambatan yang ada pada konsep garapan gerak, ruang dan waktu.
Hal yang terkait adalah sebuah pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana bisa
pendukung seni kepariwisataan tidak menjadi bosan, atas kesejahteraan hidupnya
kurang terpenuhi oleh pihak pemakai?
DAFTAR PUSTAKA
30
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Didik Nini Towok Dan Bambang Setiawan. 2005. Otak Para Pemimpin Kita dan
Carut-Marutnya Keadaan Bangsa.Yogyakarta: PT Marih Media.
Darmaya, Ketut. 2010. Pustaka Bali Tonggak-Tonggak Sejarah Bali. Singa Raja.
Gema Aliansi Pemerhati Bali Utara.
Dana, I Wayan dan Rikrik Setiawan. 2015. Makalah Seni Sebagai Ekonomi
ASIAN. Denpasar: Seminar Seni Nasional ISI.Bali.
Edi Sedyawati dan Rai S. I Wayan.1971. Seminar Seni Profan Bidang Tari.
Denpasar: Dinas Kesenian Provinsi Bali.
Geettz dan Dibia. 1997. Mudra No.5 TH V. Denpasar: Sekolah Seni Indonesia
(STSI).
Sudarsono dan Rai S. 2006. Peranan Seni Dalam Pembangunan Pariwisata Bali.
Denpasar: Pembinaan Seni Pertunjukan Tontonan Wisata, Oleh Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali.
Suarta, I Wayan. 2009. Buku Ajar Seni Pertunjukan Indonesia. Denpasar: ISI
Bali.
31
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Sumandyo Hadi, Y. 2014. Tari Tradisi Kerakyatan dan Kraton Dapat Sebagai
Sumber Inpirasi Pengkajian Dan Pencitaan. Denpasar: Seminar Nasional
ISI Bali.
Sadwiaka, I Nyoman. 2013. Esensi Sekar Alit Sebagai Sarana Pembelajaran Budi
Pekerti. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni Stilistetika. Denpasar:
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Bali.
Mantra, Ida Bagus. Rai S. 1994. Kebudayaan Bali Dalam Pariwisat Budaya.
Denpasar: Porum Sanggar Seni Untuk Tontonan Wisata, Dinas Kesenian
Provinsi Bali.
Merriam, Alan P. 1964 The Antropology of Music. IL. North Western University
Press.
32
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Oleh
Ni Putu Laras Purnamasari
Program Studi Pendidikan Seni Rupa
Fakultas Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
ABSTRAK
Penciptaan karya seni ini terispirasi oleh keindahan alam Kintamani, yang
berada di Kabupaten Bangli, Bali. Sebagai salah satu destinasi favorit wisata di
Bali, Kintamani memiliki potensi wisata alam yang sangat menarik untuk
dikunjungi, antara lain wisata Gunung Batur yang menawarkan suasana sejuk
berpadu dengan hijaunya air Danau Batur. Sawah dan ladang yang ditanami aneka
bunga, sayur, dan buah-buahan, mencerminkan suburnya tanah Kintamani.
Berkaitan denga hal tersebut penulis ingin berpartisipasi dalam menciptakan
desain motif batik baru, yang berorientasi pada pencarian karakter khas Kintamani
atau yang dapat mencerminkan budaya lokal dan potensi alam daerah tersebut.
Penciptaan desain motif batik khas Kintamani dilakukan dengan cara
melakukan penelitian terhadap potensi yang ada di daerah Kintamani, seperti
kondisi geografis, tanaman unggulan, dan binatang khas yang dibudidayakan di
Kintamani. Dari penelitian tersebut kemudian dilakukan pendataan, dilanjutkan
dengan evaluasi, dan melakukan penciptaan motif batik baru khas Kintamani.
Desain batik ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam
menciptakan seni kerajinan baru khususnya di daerah Kintamani berupa batik,
agar nantinya menjadi pemicu semangat kreatifitas, yang mampu menciptakan
industri kreatif yang mampu bersaing di Indonesia.
Kata kunci: penciptaan, motif batik, Kintamani
Abstract
Nowadays, batik has become Indonesias cultural heritage which is
recognized by the whole world. Evidenced by the issuance of UNESCO certificate
stating unequivocally that batik is an intangible cultural heritage of humanity.
This has attracted the author attention to explore and creatively creating a new
batik design oriented by the natural beauty of Indonesia especially the nature of
Kintamani, Bangli Regency, Bali.
As one of favorite tourism destination in Bali, Kintamani has some
potential natural attractions that are worth visiting, including Mount Batur which
offers a cool atmosphere blends with the green water of Lake Batur. Ricefields
and the land are planted with some flowers, vegetables, and fruits reflect
Kintamani soil fertility. Related to this, the author wanted to participate in
creating new batik design which is oriented to the distinctive character of
Kintamani or to reflect the local culture and natural potential of this area.
The creation of distinctive batik design of Kintamani done by doing
research on potential things in Kintamani area, such as geographical conditions,
33
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
superior plants, and unique cultivated animals in Kintamani. From this study then
carried out the data collection, followed by evaluation, and performed the
creation of new batik design typical of Kintamani. This batik design is expected to
be a contribution in art, in creating new craft such as batik especially in
Kintamani area, so that later will trigger the creativity and capable to create
creative industries able to compete in Indonesia.
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia batik sudah merupakan bagian
dari budaya dan seni tradisi yang telah ada sejak beberapa abad silam. Dalam
perjalanannya, seni batik telah mengalami pasang surut seirama dengan
perkembangan dan keinginan masyarakat. Beberapa tahun terakhir batik kembali
mengalami kebangkitan, mendapat perhatian masyarakat, bahkan batik juga
kembali menjadi trend busana diberbagai kalangan masyarakat. UNESCO selaku
organisasi tertinggi dunia di bidang kebudayaan, di bawah naungan PBB telah
mengeluarkan sertifikat pengakuan batik sebagai warisan budaya Indonesia pada
tanggal 2 Oktober 2009. Sertifikat tersebut menyebutkan bahwa batik adaah
warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi (Masterpieces of the
Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity) dari Indonesia (Asti Musman
& Ambar B. Arini, 2011: 1). Hal ini telah membuktikan bahwa saat ini batik
tidak hanya menjadi perhatian masyarakat Indonesia saja, namun juga menjadi
perhatian masyarakat di seluruh dunia.
Beberapa pemerintah daerah di Indonesia mulai menggalakkan berbagai
kompetisi mengenai batik. Dengan tujuan terciptanya desain-desain baru yang
dinamis, dan sesuai dengan keinginan konsumen yang selalu menginginkan
adanya inovasi dan kreasi. Lingkungan pendidikan terutama pendidikan seni juga
sangat ditunggu peran ilmiahnya, untuk berperan serta dalam upaya melestarikan
kesenian batik di Indonesia. Melalui penciptaan karya seni ini penulis mencoba
untuk memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah, melalui pengembangan desain
motif batik baru khas Kintamani yang kreatif dan inovatif.
Kintamani adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bangli, Bali. Daerah
ini sebagian besar merupakan dataran tinggi pegunungan yang hijau dan sejuk.
34
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Seperti dataran tinggi pada umumnya, Kintamani juga merupakan daerah subur
yang mudah ditanami berbagai jenis tanaman, baik sayuran, buah, dan bunga. Hal
ini merupakan dampak dari letusan Gunung Batur beberapa puluh tahun silam.
Banyak material-material yang keluar ketika gunung bererupsi, yang
menyebabkan lahan tersebut menjadi subur. Danau Batur yang berada tepat di
kaki Gunung Batur juga menjadi ekosistem bagi biota air maupun darat. Banyak
ikan yang hidup di dalamnya, bahkan dibudidayakan. Potensi alam Kintamani
yang menyajikan keindahan sangat menarik perhatian penulis dan menjadi
inspirasi, untuk diwujudkan dalam bentuk motif batik khas Kintamani.
35
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
bentuk yang indah, terkesan dekoratif namun tidak meninggalkan ciri khas asli
objek. Bentuk dekoratif dapat diciptakan melalui penggubahan bentuk dengan
cara teknik deformasi. Deformasi yaitu perubahan susunan bentuk yang dilakukan
dengan sengaja, untuk kepentingan seni yang sering terkesan sangat kuat/besar,
sehingga terkadang tidak lagi berwujud figure semula atau sebenarnya. Hal ini
dapat memunculkan figure/karakter baru yang lain dari sebelumnya. Deformasi
diciptakan dengan cara stilisasi (penggayaan), destruksi (perusakan), simplifikasi
(penyederhanaan), distorsi (pembiasan) (Susanto, 2011: 98).
Dalam penciptaan motif batik, disamping mengusahakan terciptanya
keindahan visual juga harus memikirkan mengenai jiwa dari motif yang
diciptakan. Jiwa motif adalah arti atau makna dari motif tersebut secara
keseluruhan atau dengan kata lain arti symbol yang terkandung didalamnya. Jiwa
atau symbol yang terkandung dalam motif, sesuai dengan sifat visualnya juga
harus menggambarkan suatu keindahan, yaitu hal yang baik dan bersifat luhur
(Susanto, 1980:283)
2 Metode Penciptaan
Dalam penciptaan karya batik ini mengacu pada metode yang
dikemukakan oleh SP Gustami yaitu terdiri dari tiga tahap, enam langkah
penciptaan seni.
a) Tahap pertama adalah eksplorasi yang meliputi langkah pertama, yaitu
pengembaraan jiwa, pengamatan lapangan, penggalian sumber referensi
dan informasi untuk menentukan tema dan rumusan masalah. Langkah
kedua yaitu penggalian teori, data, dan referensi visual, berikut pengolahan
36
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Eksplorasi
Metode ini diawali dengan melakukan pengamatan lingkungan disekitar
wilayah Kintamani, guna memperoleh pengetahuan dan informasi tentang hal-hal
yang berhubungan dengan sumber ide penciptaan dan proses perwujudan yang
akan dijalani. Adapun kegiatan yang akan dilakukan meliputi:
1) Pengumpulan informasi dan pengamatan mengenai potensi unggulan
daerah Kintamani sebagai sumber ide.
2) Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh.
3) Mengembangkan berfikir non linier, membuka ruang-ruang imajiner.
Perancangan
Setelah data diperoleh langkah selanjutnya adalah membuka ruang
imajinasi, untuk mencari bentuk-bentuk motif baru yang berbeda dari motif batik
lainnya dan menunjukkan kekhasan daerah Kintamani.
Pembentukan
a) Pembuatan sketsa alternative pada kertas HVS
37
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
38
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
tersebut merupakan jenis Arabika, yang terkenal dengan kopi yang memiliki
kualitas tinggi. Dilihat dari segi budidayanya, kopi dari Kintamani tahan hama dan
penyakit, berbuah banyak dengan produktivitas tinggi, dan memiliki cita rasa kopi
yang khas.
Kopi berasal dari bahasa latin caffea, anggota keluarga rubeaceae, tetapi
sampai saat ini masih banyak pertentangan para ahli mengenai pengklasifikasian
kopi, karena banyak ragam dari tanaman ini. Terdapat 25 jenis kopi, namun hanya
dua yang terkenal yaitu kopi Arabika dan kopi Robusta. Secara umum tanaman
kopi tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan tumbuh pada ketinggian 200-600
meter di atas permukaan laut.
Potensi unggulan daerah Kintamani yang lain selain bidang pertanian yang
subur, adalah potensi pariwisata khususnya wisata alam. Wilayah Kintamani
berada pada jalan provinsi, yang dapat ditempuh dari kota Denpasar menuju arah
utara, ke kota Singaraja, sejauh 23 km dengan lama perjalanan kurang lebih dua
jam menggunakan kendaraan bermotor. Setelah memasuki wilayah Kitamani,
akan tersaji pemandangan alam penggunungan, dengan hamparan tanah pertanian
yang subur dan menyejukkan mata. Umumnya wisatawan akan singgah disebuah
tempat yang bernama Penelokan. Sesuai dengan namanya yang dalam bahasa Bali
berarti tempat untuk melihat-lihat, dari tempat ini wisatawan akan menyaksikan
pemandangan Gunung Batur yang tinggi dan megah dengan hamparan bebatuan
hitam, serta pemandangan Danau Batur.
Gunung Batur merupakan gunung berapi aktif yang berada di kecamatan
Kintamani, kabupaten Bangli, Bali, dan terletak di sebelah barat laut Gunung
Agung. Gunung Batur telah meletus beberapa kali, tercatat dalam sejarah mulai
tahun 1804, dan paling dasyat terjadi pada tahun 1926 yang membuat aliran lahar
panas dan menimbun Desa Batur beserta Pura Ulun Danu Batur. Gunung ini
memiliki kaldera besar yang berukuran 13,8x10 km, yang tertutup dari segala arah
dan merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Di dalam kaldera tersebut
terdapat danau yang berbentuk bulan sabit, yang dinamakan Danau Batur.
Danau Batur merupakan danau terbesar di pulau Bali. Air danau berasal
dari air hujan dan rembesan-rembesan air dari pegunungan di sekitarnya. Danau
ini menjadi sumber mata air bagi penduduk di sekitarnya, serta sebagai habitat
39
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
bagi ekosistem yang ada di dalamnya. Danau Batur memiliki fungsi sebagai
sumber keanekaragaman hayati baik biota darat maupun biota air. Potensi
kekayaan alam inilah yang mengundang sejumlah penduduk untuk berprofesi
sebagai nelayan. Masyarakat sekitar danau selama ini memang menggantungkan
hidup pada Danau Batur. Selain dimanfaatkan sebagai objek wisata, Danau Batur
juga dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat budidaya ikan Nila dan Mujair
dengan cara membuat keramba-keramba apung. Air danau juga dimanfaatkan
untuk menyiram tanaman bawang yang di budidayakan oleh warga setempat,
dengan cara menyedotnya menggunakan mesin penyedot air.
Tercatat beberapa jenis tumbuhan air hidup di sekitar Danau Batur antara
lain Eceng Gondok, Gangang, dan Kangkung air, sedangkan ikan air tawar yang
hidup di danau terdiri dari berbagai jenis. Ikan-ikan tersebut antara lain, ikan Mas,
ikan Nila, ikan Mujair, ikan Nyalyan, ikan gabus, dan ikan lele.
40
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
kearah ujung, serta mengikuti bentuk daun. Demikian juga bentuk buah kopi yang
berukuran kecil dan bergerombol, sehingga secara keseluruhan bentuk daun dan
buah menjadi tampak indah. Terutama bentuk buah yang bergerombol seolah
diusun mengikuti bentuk ranting. Warna buah juga berwarna warni, tidak
seluruhnya didominasi dengan satu warna. Ada warna hijau yang menandakan
bahwa buah kopi masih mentah, ada yang berwarna merah yang mengartikan
bahwa buah tersebut mulai matang, dan warna hitam yang menandakan buah kopi
siap untuk dipanen. Dalam menstilisasi tanaman kopi menjadi motif batik, secara
bentuk harus diolah sedemikian rupa agar tidak terlihat kaku seperti bentuk
aslinya.
Selain tanaman kopi sejauh mata memandang, ladang menguning oleh
buah jeruk yang bergelantungan. Kulit jeruk yang kuning menandakan bahwa
buah jeruk telah siap untuk dipanen. Jeruk memang sangat cocok ditanam
didaerah dataran tinggi dan berhawa sejuk. Selain dapat tumbuh subur, buah yang
dihasilkan juga akan lebat. Hal ini tentu juga sangat dipengaruhi oleh faktor tanah
atau media tanamnya. Jeruk Siam adalah jenis jeruk yang banyak dibudidyakan di
daerah kintamani. Ciri khas buahnya berbentuk bulat, berkulit tipis, dengan
permukaan halus, licin, dan mengkilap, jika dibuka kulit buah menempel lebih
dekat dengan daging. Dasar buah berleher pendek dengan puncak berlekuk. Bulir
jeruk berbentuk agak panjang dan sangat berair. Biji jeruk berukuran kecil, namun
Jeruk Siam sangat jarang memiliki biji buah. Daun berbentuk oval dengan ujung
daun dan pangkal yang runcing, serta urat daun yang menyebar. Warna bunga
putih menyerupai bunga melati, dengan bentuk yang kecil dan mungil. Seperti
halnya tanaman kopi, dalam menstilisasinya harus diolah sedemikian rupa agar
motif terlihat luwes dan menarik.
Mengunjungi Kintamani tidak akan lengkap rasanya jika tidak menikmati
hidangan khas daerah ini, yaitu MuJair Menyatnyat. Hidangan ini belakangan
hadir menjadi primadona kuliner di Bali. Diolah dengan racikan bumbu khas Bali,
kemudian dimatangkan dengan cara di nyat-nyat, yang dalam bahasa Bali berarti
dimasak dengan air sampai bumbu meresap dan menyisakan sedikit air. Seperti
ikan air tawar lainnya, ikan Mujair dapat diolah menjadi beraneka jenis masakan
yang nikmat dan menggugah selera. Banyak yang berpendapat bahwa rasa ikan
41
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Mujair Danau Batur berbeda dengan ikan Mujair atau Nila yang dikembangkan di
daerah lain. Ikan mujair di Danau Batur dibudidayakan di keramba-keramba yang
dikelola oleh masyarakat sekitar danau, seperti desa Songan, Kedisan, dan
Trunyan.
Ikan Mujair hidup secara berkelompok di perairan tawar yang tenang,
maka tidak heran jika ikan Mujair banyak hidup di kawasan Danau Batur. Air
danau memang cenderung tenang karena sumber air merupakan rembesan dari air
tanah yang ada disekitar danau, atau dari air hujan. Ikan jenis ini juga dapat
tumbuh dengan cepat, sehingga tidak butuh waktu lama bagi para patani ikan
untuk memanennya.
Mujair memiliki ukuran sedang, dengan panjang maksimum sekitar 40 cm.
Bentuk badannya pipih dengan kombinasi warna hitam, keabu-abuan, kecoklatan
dan sedikit warna kuning. Badannya bersisik tipis, dan memiliki duri tajam pada
bagian sirip punggungnya. Bagian kepala berbentuk kerucut dan oval pada bagian
depan, menyerupai Ikan Nila. Matanya berwarna hitam kemerahan dan sedikit
kecoklatan. Pada bagian ekor sedikit memanjang, berbentuk seperti kipas dengan
warna yang menyerupai warna sirip. Dalam transformasi bentuk dan warna ikan
Mujair ke dalam motif batik, harus dikombinasikan dengan warna yang sesuai
agar terlihat harmonis. Hal ini harus dilakukan karena secara keseluruhan ikan
tersebut berwarna kehitaman, sedangkan warna hitam adalah warna yang
mendominasi seluruh warna, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam
mengkomposisikan warna.
Imam Buchori Zaenudin menegaskan bahwa, desain bukan sekedar
keterampilan dalam membuat barang, tetapi merupakan suatu proses berpikir
secara sistematis untuk mencapai mutu yang lebih baik, meliputi mutu material,
teknik, bentuk performasi, baik sebagian maupun keseluruhan. (Zaenudin, 1986:
80-81). Untuk itu dibutuhkan kematangan dalam pembuatan desain motif batik
Kintamani, agar nantinya dapat berkembang dan menjadi industri kreatif bagi
masyarakat di sekitarnya. Langkah ini juga ditempuh untuk memberikan stimulan
atau semangat kreatifitas kepada masyarakat Kintamani, dalam upaya
pengembangan produk kerajinan baru berupa batik.
42
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
43
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
44
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Gb.3. Desain batik khas Kintamani 1 hasil pengembangan bentuk tanaman kopi
45
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Gb.5. Desain batik khas Kintamani 4 hasil pengembangan bentuk ikan air tawar
dan ganggang hijau
46
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Gb.7. Desain batik Kintamani hasil pengembangan bentuk ikan mujair dan
ganggang
Gb.8. Gambar alam Kintamani, Gunung dan Danau Batur (kiri atas), ladang jeruk
(kanan atas), ladang bunga Gemitir (bawah)
47
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
4 Penutup
Kintamani menyimpan banyak sekali potensi alam yang dapat diwujudkan
kedalam sebuah motif batik. Setelah melalui tahapan dalam proses penciptaan
serta pertimbangan yang matang, akhirnya beberapa desain batik khas Kintamani
dapat diselesaikan. Dengan memanfaatkan teknik menggambar cat air, karya
desain ini terselesaikan dengan baik dan hasilnya menyerupai batik sesungguhnya.
Warna-warna yang digunakan dalam karya ini cenderung mengarah pada warna-
warna kontras, dengan harapan dapat menjadi kombinasi yang segar, bergairah,
dan dinamis, seperti dinamika masyarakat Kintamani. Alam perbukitan yang hijau
menyimpan banyak cadangan air, sehingga alam Kintamani menjadi sangat subur,
tanaman kopi dan jeruk, tidak henti-hentinya memberikan buah yang melimpah.
Sayur-sayuran yang ditanam menampakkan kesegaran, serta bunga yang
berwarna-warni. Ikan juga menjadi salah satu potensi alam yang diunggulkan,
sehingga layak untuk diciptakan menjadi bagian dari desain motif batik khas
Kintamani. Tidak menutup kemungkinan jika nantinya desain batik yang
diciptakan, direalisasikan menjadi sebuah produk batik yang memiliki nilai seni
sekaligus nilai jual, sehingga dapat menciptakan sebuah peluang usaha baru yang
dapat bersaing dalam industri kreatif di Indonesia.
48
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Daftar Pustaka
Elliot, Inger Mc Cabe. 1984. Batik Fabled Cloth of Java, Clarkson N. Potter, Inc,
New York.
Gustami, SP. 2004. Proses Penciptaan Karya Seni Kriya Untaian Metodologi,
Program Pascasajana ISI, Yogyakarta.
Kusrianto, Adi. 2013. Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaan, Penerbit ANDI,
Yogyakarta.
Musman, Asti dan Ambar B. Arini. 2011. Batik Warisan Adi Luhung Nusantara,
G- Media, Yogyakarta.
Papanek, Victor. 1973. Design for The Real World, Bantam Books, Toronto, New
York, London.
Susanto, Mikke. 2011. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa,
Dicti Art Lab, Yogyakarta.
Susanto, Sewan. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik dan
Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen
Pendidikan RI, Yogyakarta.
49
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
oleh
Luh De Liska, S.Pd., M.Pd.
Abstrak
Pendekatan artistik dalam supervisi pembelajaran merupakan pendekatan
yang menyadarkan pada kepekaan, persepsi dan pengetahuan supervisor sebagai
sarana untuk mengapresiasi kejadian-kejadian pembelajaran yang bersifat Subtle
(halus) dan sangat bermakna di dalam kelas. Supervisi pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan artistik, dalam menangkap pembelajaran berusaha
menerobos keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan ilmiah.
Menyingkap pembelajaran dengan sekaligus menjangkau latar psikologi dan
sosiologik pelakunya. Pendekatan supervisi seperti ini, manusia merupakan
instrumen untuk mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Pendekatan
artistik dalam supervisi pembelajaran merupakan pendekatan yang menyadarkan
pada kepekaan, persepsi dan pengetahuan supervisor sebagai sarana untuk
mengapresiasi kejadian-kejadian pembelajaran yang bersifat Subtle (halus) dan
sangat bermakna di dalam kelas.
Abstract
Artistic approach in the supervision of learning is an approach that
brought on the sensitivity, perception and knowledge of supervisors as a means to
appreciate the events that are learning Subtle (fine) and very meaningful in the
classroom. Supervision of learning by using an artistic approach, in capturing the
learning attempted to break through the limitations that are owned by a scientific
approach. Revisiting learning the background while reaching psychological and
sociologically culprit. Supervision approach, man is an instrument to find out
what is really going on. Its main objective is to improve the quality of education in
schools. Artistic approach in the supervision of learning is an approach that
brought on the sensitivity, perception and knowledge of supervisors as a means to
appreciate the events that are learning Subtle (fine) and very meaningful in the
classroom.
50
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
1 Pendahuluan
Artistik disini adalah sebuah pendekatan supervisi yang terletak pada
sensitivitas, persepsi, dan pengetahuan supervisor sebagai sebuah cara
mengapresiasikan kejadian-kejadian yang terjadi di ruang kelas dan yang
mengeksploitasi potensi bahasa yang puitis, ekpresif dan metaforis untuk
menyampaikan pada guru juga pada orang lain yang keputusannya mempengaruhi
apa yang terjadi di sekolah mengenai apa yang telah diobservasi. Pendekatan
supervisi seperti ini, manusia merupakan instrumen untuk mengetahui apa yang
sebenarnya tengah terjadi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di sekolah. Demikian juga dengan kerja seorang supervisor, ketika
melihat seorang guru mengajar, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama
adalah yang berkaitan dengan karakter dan kualitas pengajaran sebagai suatu
keseluruhan dan juga berbagai macam bagian yang ada didalamnya. Hal kedua
adalah bahwa setiap guru mempunyai gaya dan kekuatan mereka sendiri. Seorang
supervisor yang berorientasi artistik mampu mengenali gaya tersebut dan akan
membantu guru tersebut mengembangkan gaya tersebut ke arah yang positif.
Di sisi apresiatif, pendekatan artisitik pada supervisi mempunyai dua tujuan dalam
menilai kinerja, yaitu pendekatan ini mengapresiasi kualitas kinerja secara
keseluruhan dan pendekatan ini juga akan mengapresiasi karakter pengajaran yang
berbeda.
2 Pembahasan
2.1 Definisi Pendekatan Artistik dalam Supervisi Pembelajaran
Pendekatan artistik dalam supervisi pembelajaran adalah pendekatan yang
menyadarkan pada kepekaan, persepsi dan pengetahuan supervisor sebagai sarana
untuk mengapresiasi kejadian-kejadian pembelajaran yang bersifat subtle (halus)
dan sangat bermakna di dalam kelas. Pembelajaran di dalam kelas, dengan
demikian dilihat secara espresif, puitis dan bahkan dengan menggunakan bahasa
sirnbol dan kiasan. Faktr-faktor yang mempengaruhi kegiatan pembelajaran di
dalam kelas diamati secara teliti. Pendekatan artistik ini mencoba menempatkan
supervisor sebagai instrurnen observasi untuk mendapatkan data dalam rangka
mengambil langkah-langkah supervisi. Oleh karena supervisor sendiri yang
51
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
1) Kesalahan Perhitungan
Kesalahan perhitungan (fallacy of additivity) ini timbul karena kejadian-
kejadian khusus dalam perilaku pembelajaran (inidence of particular teaching
behavior), dihitung sebagai kesuksesan pembelajaran. Misalnya saja pemberian
contoh dan pemberian penguat, baik positif maupun negatif. Dapat dikatakan,
guru yang frekuensi pemberian penguatan positifnya banyak dipandang lebih
berhasil dibandingkan dengan guru yang sedikit saja memberikan penguat.
Demikian juga yang dalam memberikan banyak contoh lebih baik dengan guru
yang ketika mengajar hanya sedikit memberikan contoh. Kesalahan perhitungan
ini juga terjadi pada kasus inisiatif bertanya. Manakala inisiatif bertanya itu
berasal dari siswa, maka umumnya diperhitungkan sebagai berhasil dibandingkan
dengan kalau inisiatif bertanya siswa itu berasal dari guru. Kesalahan-kesalahan
demikian itu dapat dideret pada kejadian-kejadian pembelajaran yang lainnya.
Dalam sudut pandang pendekatan artistik, kesuksesan pembelajaran tidak dapat
dipandang dari berapa kali seorang guru memberikan penguat kepada siswanya,
berapa banyak guru memberikan contoh dalam rnengajarnya, dari mana inisiatif
bertanya para siswa itu berasal. Banyaknya penguatan yang diberikan kepada
siswa, tidak selalu lebih baik dengan sedikit penguatan. Inisiatif bertanya siswa
yang berasal dari guru, tidak selalu lebih jelek dibandingkan dengan siswa.
52
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2) Kesalahan Komposisi
Kesalahan komposisi (fallacies of compotition) dapat dilihat dari
kenyataan, bahwa kualitas pembelajaran lebih dilihat dari penjumlahan skor dan
yang dihasilkan oleh variabel-variabelnya. Variabel-variabel tersebut dijabarkan
ke dalam sub variabel-variabel dan indikator-indikator. Dalam indikator-indikator
di sini, lainnya diberi skala 1 sampai dengan skala 10 atau sesuai dengan
kebutuhan (sebab bisa jadi 7,5 atau 4). Jika jumlah skor yang didapatkan tidak
kurang dari standar, maka pembelajaran tersebut dipandang sebagai berhasil,
demikian sebaliknya.
Pernyataan yang muncul kemudian adalah jika guru ternyata supervisor
atau mendapatkan skor tinggi dalam suatu variabel, subvariabel atau indikator
tertentu, sementara mendapatkan skor yang sangat rendah pada variabel,
subvariabel dan indikator yang lain. Dapatkah misa1nya, jika guru tersebut
timpang dalam perolehan skor-nya (dalam suatu variabel tertentu sangat tinggi
sementara dalam variabel yang lain sargat rendah), dikatakan sebagai berhasil,
hanya karena dalam jumlahnya skor tersebut berada di atas standar. Kelemahan
demikian akan lebih tampak, jika guru A dalam suatu variabel, subvariabel atau
indikator pernbelajarannya mendapatkan skor yang ekstrem, misalnya saja 10 dan
2. Padahal jika kedua skor tersebut dijumlahkan dan kemudian dibagi dua maka
skor akhir yang didapatkan adalah 6. Hal ini berbeda dengan misalnya saja, guru
B tersebut pada suatu variabel, subvariabel atau indikator pembelajaran yang satu
53
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
3) Kesalahan Konkretisasi
Kesalahan konkretisasi ini disebabkan tertipunya pendekatan ilmiah pada
tampilan-tampilan pembelajaran yang tampak, atau yang bersifat lahiriah.
Pembelajaran yang merupakan perpaduan dan unsur-unsurnya yang tampak dan
unsur-unsurnya yang tak tampak, digeneralisasi sebagai sesuatu yang tampak saja.
Padahal jiwa atau roh pembelajaran yang sesungguhnya justru tidak tampak, lebih
penting dibandingkan dengan yang tampak. Tampilan-tampilan pembelajaran
54
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
55
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
4) Kesalahan Urus
Kesalahan urus pendekatan ilmiah dalam supervisi pembelajaran dapat
dilihat dari terbatasnya urusan-urusan pembelajaran pada hal-hal yang berada di
luar kelas, yang sedikit ataupun banyak, mempunyai kadar intervensi terhadap
pembelajaran yang sedang berlangsung. Hal ini oleh pendekatan ilmiah hanya
dipandang dengan sebelah mata. Kelas sebagai bagian dari sekolah secara
keseluruhan, dalam sudut pandang pendekatan ilmiah, seolah-olah dianggap
terisolasi, tidak terpengaruh sarna sekali oleh kehidupan sekolah. Pengaruh
sekolah terhadap kehidupan kelas, meskipun mungkin diakui, seolah-olah tidak
dilihat. Dalam realitasnya, kelas yang di dalamnya terjadi interaksi antara guru
dengan siswa yang mempunyai latar kehidupan yang berbeda-beda dan
kemungkinan senantiasa berubah, dalam pendekatan ilmiah dipandang sebagai
sesuatu yang biasa saja, dan tidak terpengaruh oleh jalannya. Pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran dipandang terlepas sama sekali dari variabel-variabel
luar. Bagaimana keadaan sekolah, keadaan peralatan yang tersedia, bagaimana
kelengkapan perpustakaan sekolah, suasana keseharian di sekolah, dipandang
tidak punya hubungan dengan pembelajaran. Tidak mengherankan jika dalam
pelaksanaan supervisi pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah
khususnya dalam memberikan penilaian atas keberhasilan pembelajaran, tidak
pernah melihat kaitan faktor-faktor yang berada di luar kelas seperti yang
disebutkan tadi. Dalam pandangan pendekatan artistik, apa yang berada di luar
kelas dan bahkan juga diluar sekolah, dipandang mempunyai pengaruh terhadap
pembelajaran yang mungkin sedang diberlangsungkan di kelas. Kehidupan kelas,
selain dipengaruhi oleh variabel-variabel yang berada di dalam kelas, juga
ditentukan oleh variabel-variabel luar kelas bahkan variabel luar sekolah. Oleh
karena itu, bagaimana kehidupan guru di rumah, keadaan sosial ekonominya, dan
bahkan keharmonisan rumah tangganya, dipandang berpengaruh terhadap
pembelajaran-pembelajaran yang diberlangsungkan.
Demikian juga kehidupan siswa, yang dalam pembelajaran senantiasa
berinteraksi dengan guru, juga mempunyai pengaruh terhadap pembelajaran.
Dalam keadaan siswa lapar karena tidak punya uang saku, dalam keadaan rumah
tangga orang tua siswa tidak rnempunyai literatur yang mesti dipelajari, sedang
56
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
broken home, dalam keadaan rumahtangga orang tuaswa sedang broken home,
mustahil hal tersebut tidak mempengaruhi belajarnya. Oleh karena itu, pendekatan
artistik melihat bahwa kehidupan para pelaku pembelajaran (guru dan siswa) di
luar sekolah, kehidupan masyarakat sekitar sekolah, kondisi dan situasi sekolah,
patut dikaji jika seorang supervisor akan memberikan layanan supervisi
pembelajaran di sekolah tersebut.
57
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
berrnanfaat bagi karya-karya yang ia hasi1kan. Yang patut dicatat di sini adalah
justru bukan soal apakah komentar, saran, kritik, dan refleksi yang diberikan oleh
pelatih tersebut masukan yang selain untuk dipahami, dijadikan bahan banding,
juga dijadikan sebagai sesuatu yang memberikan masukan
Tatkala seorang supervisor mengobservasi pelajaran di kelas, tidak
bermaksud mendapatkan data pembelajaran yang kompleks itu dari segi apa
adanya, dari variabel mananya, melainkan pada saat observasi itu, ia baru
mendapatkan aksentuasi perhatiannya. Hasil pengamatannya dari waktu ke waktu
terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung, bisa saja dihasilkan hal-hal yang
berbeda, sebab karakteristik pembelajaran senantiasa berkembang, tidak berada
dalam keadaan menetap. Kadar partisipasi guru dalam proses belajar mengajar
kadang kala tinggi, dan kadang kala rendah. Demikian juga para siswanya.
Meskipun demikian, supervisor harus tetap mencapai maksud supervisi, yaitu
mengapresiasi karakteristik dan kualitas penampilan pembelajaran secara utuh.
58
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
akibat dari intervensi hal-hal yang mungkin berasal dari luar kelas bahkan luar
sekolah), observasi dilakukan dalam proses yang cukup lama. Lamanya proses
observasi inilah yang memberikan kemungkinan bagi ditempatkannya
peristiwa-peristiwa pembelajaran dalam konteks yang sebenarnya;
5. memerlukan hubungan yang baik dan menyenangkan antara supervisor dan
guru. Melalui hubungan yang semacam ini suasana dialogis dan akrab akan
tercipta;
6. memerlukan kemampuan penggunaan bahasa yang dapat menggali potensi-
potensi guru. Penguasaan ini diperlukan karena guru-guru yang berpotensi,
adakalanya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan potensinya.
Kesulitan-kesulitan tersebut bisa disebabkan oleh hal-hal intern yang berasal
dari dirinya sendiri, atau sifat dan potensi tersebut yang sukar diekspresikan.
Dan bahkan bisa jadi disebabkan oleh terbatasnya kemampuan bahasa yang
dimiliki untuk mengekspresikan, serta terbatasnya medium-medium ekspresi;
7. memerlukan kemampuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan
setiap peristiwa pembelajaran yang terjadi. Sebab, apa-apa yang signifikan
dalam pendidikan tidak dapat ditentukan sekadar melalui tes-tes statistik. Tes
statistik tidak dapat menangkap nilai dan makna, melainkan hanya dapat
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mungkin atau probabilitas saja;
8. menerima kenyataan bahwa supervisor, dengan segala kelebihan dan keku
rangannya, kepekaan dan pengalamannya, merupakan instrumen pokok.
Berarti, dialah yang menberikan makna atas segala kejadian pembelajaran
yang diamati.
59
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
60
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
61
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
secara menyeluruh, jika orang yang melukiskan di sini adalah orang yang turut
mengapresiasi terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung. Lukisan
demikian juga akan dapat dibuat lebih lengkap, jika yang membuat adalah orang
yang bukan pelaku pembelajaran. Narasi yang dibuat oleh mereka yang
mengapresiasi pembelajaran demikian, juga tidak dilebih-lebihkan dan dikurang-
kurangi. Meskipun demikian, jika dilakukan oleh supervisor yang berbeda, bisa
menghasilkan narasi yang berbeda juga.
Kelima, penyampaian hasil interpretasi mengajar yang sudah dinarasikan
oleh supervisor kepada guru ini dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Yang
terpenting, dalam penyarnpaian ini, supervisor harus memberikan informasi
kepada guru, bahwa hasil interpretasi ini bukannya untuk diterima atau ditolak,
melainkan itu adalah yang terjadi senyatanya dalam pembelajaran. Bersamaan
dengan penyampaian hasil interpretasi ini, supervisor memberikan kritik-kritik ala
kritik seni (bukan kritik negatif) kepada guru. Berarti, krtik yang diberikan oleh
supervisor tidak menvonis mergajar guru, melainkan sebagai refleksi atas hasil
pengamatan pembelajaran yang telah dilakukannya secara intensif.
Keenam, balikan dari guru terhadap supervisi yang dilakukan oleh
supervisor. Dalam balikan ini, bisa terjadi semacam diskusi dan dapat juga tidak.
Supervisor dan guru, secara berganti dapat mengemukakan visi mereka masing-
masing atas pembelajaran yang diberlangsungkan. Dari penyampaian visi masing-
masing tersebut, akan dapat meningkatkan kegiatan pembelajaran.
3 Simpulan
Pendekatan artistik (artistic approach) dalam supervisi pembelajaran ini
muncul, sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap supervisi pembelajaran yang
menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach). Supervisi pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan artistik, dalam menangkap pembelajaran
berusaha menerobos keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan
ilmiah. Berusaha menyingkap pembelajaran dengan sekaligus menjangkau latar
psikologi dan sosiologik pelakunya. Adanya anggapan bahwa manusia itu secara
psikologik berbeda, mengharuskan penyelaman yang berbeda-beda sesuai dengan
kepelbagainya. Jaring-jaring instrumen baku yang dipersiapkan terlebih dahulu,
62
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Daftar Pustaka
63
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
oleh:
Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn.,M.Sn
IKIP PGRI Bali
Abstract
Barong Kedingkling is sacred dance performances at the time ngelawang in
Bangli regency is one manifestation of the Hindu practice of aesthetic value of
art. Manners of a society that has lasted harmoniously listed in the form of social
life such as tolerance, compassion, spirit of mutual cooperation in the lives that
have been nurtured continuously, maintained and preserved and adapted to the
nature of mind that today requires an increase in the progress of the people of
Bali in general and in particular Bangli Regency.
Key words: Barong Kedingkling, estetic art
1 PENDAHULUAN
Pementasan tarian sakral Barong Kedingkling pada saat ngelawang di
Kabupaten Bangli merupakan salah satu perwujudan pengamalan nilai estetika
seni Hindu. Tata krama kehidupan masyarakat yang telah berlangsung secara
harmonis yang tercantum dalam wujud kehidupan sosial masyarakat seperti
toleransi, tenggang rasa, semangat gotong royong dalam kehidupan yang telah
dibina secara terus menerus, dipertahankan dan dilestarikan serta disesuaikan
dengan alam pikiran yang dewasa ini menghendaki peningkatan kemajuan
masyarakat Bali pada umumnya dan Kabupaten Bangli pada khususnya. Dengan
demikian, dalam mewujudkan rasa aman, tentram, damai dan sejahtera lahir
batin dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang dalam hal ini menyangkut
eksistensi desa pakraman adalah berlandasakan tiga hubungan yang serasi dan
selaras, yaitu hubungan yang serasi antara krama desa dengan Sang Hyang Widhi
(Parahyangan), hubungan serasi antar krama desa dengan karma desa sendiri
(Pawongan), dan hubungan serasi krama desa dengan lingkungan (Palemahan).
Ketiga hubungan inilah yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap kehidupan
manusia (Wiana,2007: 59).
64
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2 PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Barong Kedingkling di Kabupaten Bangli
Membahas tentang bentuk Barong Kedingkling yang terdapat di
Kabupaten Bangli peneliti terfokus pada bentuk fisik dari Barong tersebut, hal ini
dilakukan karena peneliti dalam hal ini meneliti keberadaan Barong Kedingkling
dalam konteks ngalawang. Mengenai bentuk Barong Kedingkling di Kabupaten
Bangli yang terletak di tiga Kecamatan yakni Kecamatan Bangli, Kecamatan
Tembuku, dan Kecamatan Susut, tidak jauh berbeda karena konsep yang diusung
dalam pementasan Barong Kedingkling semuanya sama yakni mengambil dari
penokohan cerita Ramayana. Tokoh-tokohnyapun sama yakni Tualen, Merdah,
Sugriwa, Hanuman, Anggada, Anila, dan Sampati. Barong Kedingkling tidak
mengisahkan tentang konsep Rwa Bhinneda atau konsep baik dan buruk. Barong
Kedingkling menggunakan konsep pewayangan Ramayana yang diperankan oleh
tokoh-tokoh pengikut Sang Rama yang diapresiasi sebagai tokoh yang memiliki
kekuatan positif. Karena dalam lakon cerita, tokoh-tokoh ini mengiringi
perjalanan Sang Rama yang menegakkan keadilan atau kebajikan. Dalam tokoh
pewayangan ini tak satupun tampak pengikut dari Rahwana yang dalam lakon
cerita Ramayana merupakan tokoh yang jahat atau kebatilan.
Tapel-tapel yang dikenakan oleh penarinya dibuat semirip mungkin
dengan para tokoh dalam pewayangan. Tapel ini dicat sedemikian rupa sesuai
65
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
dengan warna khas tokohnya di antaranya tapel Tualen yang dicat hitam pekat,
Tapel Merdah dengan warna merah muda, Tapel Hanuman dengan warna Putih,
Tapel Anila dengan warna biru, Tapel Anggada dengan warna oranye yang dihiasi
corak loreng seperti bulu macan, Tapel Sugriwa dan Sampati dengan warna
oranye polos. Selain menggunakan tapel, penari Barong Kedingkling juga
menggunakan seragam yang terbuat dari daun pohon brasok seperti layaknya
Barong-Barong lainnya. Seragam inilah yang turut membedakan peran dalam
pementasan Barong Kedingkiling. Dalam observasi yang dilakukan peneliti di
lapangan, menemukan seragam yang digunakan penari Barong Kedingkling terdiri
dari dua warna yakni putih dan hitam, terkecuali tokoh Tualen dan Merdah yang
menggunakan busana layaknya busana masyarakat sehari-hari, Hanuman dan
Anila menggunakan seragam berwarna putih. Sedangkan Sugriwa, Anggada dan
Sampati menggunakan seragam berwarna hitam. Keberadaan warna-warna
seragam Barong Kedingkling tersebut dapat dilihat secara jelas pada gambar di
bawah ini.
Gambar 1
Perbedaan kostum pada Barong Kedingkling
66
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
67
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
1) Matur piuning
Sebelum Pamangku nedunang Barong, hal yang pertama kali dilakukan
adalah matur piuning ke hadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa bahwa akan
melakukan prosesi ngalawang. Matur piuning yang dilaksanakan Pamangku
bertujuan meminta ijin dan keselamatan dalam perjalanan ketika melakukan
prosesi ngalawang. Matur piuning juga bertujuan untuk meminta ijin untuk
nendunang Ida Bhatara.
2) Nedunang
Setelah matur piuning kemudian dilanjutkan dengan nedunang Ida
Bhatara. Proses nendunang Ida Bhatara ini sesungguhnya dilaksanakan dengan
mengeluarkan barong dari gedong panyimpenan. Umumnya di Kabupaten Bangli,
Barong distanakan atau ditempatkan di Pura. Panedunan Ida Bhatara ini dihadiri
oleh seluruh masyarakat Desa yang akan mengikuti prosesi ngalawang. Setelah
semua masyarakat hadir di Pura, barulah dilaksanakan panedunan Ida Batara
berupa Barong oleh para Pamangku atau pendeta yang memiliki wewenang dalam
Pura tersebut.
3) Persiapan
Setelah prosesi nendunang Ida Bhatara, kemudian dilanjutkan dengan
proses persiapan. Masyarakat bersiap-siap melakukan perjalanan ngalawang,
persiapan tersebut antara lain mempersiapkan para penari Barong dengan
memasangkan kostum Barong Kedingkling, mempersiapkan para pengiring yang
akan mundut atau membawa perlengkapan seperti kober atau bendera, tedung atau
payung, tombak dan berbagai atribut lainnya yang mengiringi prosesi ngalawang.
Setelah semuanya siap dan tapel atau wajah Barong Kedingkling sudah
dipasangkan, barulah diatur barisan antara penari Barong dan pembawa atribut
seperti tedung dan kober tadi. Pada umumnya Barong Kedingkling berada di
tengah-tengah antara pamundut tedung dan kober, ketika barisan sudah rapi
barulah dilengkapi dengan barisan para panabuh gambelan dan pengiring prosesi
ngalawang yang berada di barisan paling belakang.
4) Ngalawang
Setelah semua persiapan dirasa sudah cukup, barulah prosesi ngalawang
dimulai. Saat prosesi ngalawang berlangsung, Barong Kedingkling berada pada
68
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
barisan paling depan yang diapit oleh pamundut tedung dan kober beserta atribut
ngalawang lainnya. Dalam perjalanan ngalawang Barong Kedingkling, panabuh
gambelan secara terus menerus menyuarakan gambelannya seraya berjalan dari
satu pintu ke pintu lainnya sesuai dengan pengertian ngalawang tadi. Gambelan
yang digunakan dalam prosesi ngalawang Barong Kedingkling biasanya berupa
tabuh bebatelan yang merupakan jajaran dari alat musik pukul yang disebut
dengan klentong, bila dirangkai bunyi gambelannya adalah nongkling, nongkling,
nongkling begitu seterusnya. Karena suara gambelannya demikian maka Barong
ini disebut juga Barong Nongnongkling, Kedingkling, atau blas-blasan.
Di masing-masing pintu, masyarakat sudah menanti kedatangan Barong
Kedingkling, ketika mulai terdengar adanya suara gambelan pengiring prosesi
ngalawang ini. Saat Barong Kedingkling mulai tampak, dengan sigap masyarakat
mempersiapkan sarana panyapa atau ngupah yakni pada umumnya dengan
menghaturkan canang sari atau canang taksu berikut dengan sesarinya. Canang
ini dihaturkan ketika Barong Kedingkling sudah akan melewati pintu masuk
rumah masyarakat. Canang ini merupakan perwujudan rasa sujud bhakti
masyarakat terhadap sasuunan Barong Kedingkling. Setelah canang dihaturkan,
Barong Kedingkling akan menari di depan pintu atau lawangan masyarakat yang
menghaturkannya. Pada umumnya, bentuk tarian Barong Kedingkling menirukan
gerakan monyet yaitu melompat atau kedangklang-kedingkling, menggaruk-garuk,
dan bercanda satu dengan yang lainnya. Sehingga penamaan Barong Kedingkling
ini pun diambil dari tarian Barong tersebut.
Tarian Barong Kedingkling di depan pintu atau lawangan ini dipercaya
oleh masyarakat akan memberikan berkah kesucian dan keselamatan si pemilik
rumah dari kekuatan negatif yang bersifat gaib. Barong Kedingkling akan menari
beberapa menit di depan pintu masuk rumah masyarakat, di sinilah letak
kemeriahan tradisi ngalawang yakni masyarakat dengan antusiasmenya yang
tinggi menyaksikan dan berpartisipasi dalam prosesi ngalawang. Setelah Barong
Kedingkling selesai menari di depan pintu si panyapa tadi, Barong Kedingkling-
pun mulai beranjak menuju pintu-pintu bahkan menuju dari satu Desa ke Desa
lainnya untuk melakukan hal yang sama, yakni melakukan tarian di depan pintu
atau lawangan masyarakat yang memberikannya panyapa.
69
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Sebelum meninggalkan pintu tersebut atau pintu sang panyapa tadi, salah
seorang dari masyarakat yang merupakan sekaa atau pengiring Barong
Kedingkling mengambil sesari berupa uang yang diletakkan di atas canang tadi.
Sesari ini kemudian diletakkan di dalam sebuah kotak atau tas, sesari ini tidak
ditentukan secara pasti jumlahnya, sebab sesari merupakan persembahan yang
tulus ikhlas dari masyarakat. Sesari yang dipersembahkan tadi pada umumnya
digunakan oleh masyarakat atau sekaa Barong Kedingkling sebagai dana punia
atau persembahan secara tulus ikhlas yang kemudian dimanfaatkan untuk
perbaikan Pura atau perbaikan dari Pratima Barong Kedingkling bila suatu saat
ada yang mulai rusak. Bahkan bila hasilnya cukup banyak sesari ini akan di
bagikan kepada sekaa atau pengiring Barong Kedingkling.
5) Masineb
Setelah dari pagi hari melakukan perjalanan, prosesi ngalawang berakhir
ketika hari sudah mulai senja, jika matahari sudah mulai condong ke barat, prosesi
ngalawang akan mulai dihentikan dan Barong Kedingkling akan menempuh
perjalanan menuju Pura, tempat Barong ini distanakan. Ketika sampai di pamedal
Pura atau pintu masuk Pura arak-arakan Barong Kedingkling disambut dengan
canang pamendak, canang ini diapresiasi sebagai sarana menyambut datangnya
Ida sasuunan Barong Kedingkling. Setelah melalui berbagai upacara ritual di
Pura, Barong Kedingkling kembali kasineb atau disimpan dalam gedong
panyimpenan.
2.3 Makna Estetika Seni Hindu Seni Tari Sakral Barong Kedingkling di
Kabupaten Bangli
Estetika (aesthetics) berasal dari kata estetis dalam bahasa yunani dapat
diartikan sebagai rasa nikmat indah yang timbul melalui pencerapan paca indra.
Ida Bagus Mantra dalam majalah Cintamani mengatakan bahwa yang selama ini
cendrung untuk diartikan dengan pengertian seni yang sempit, harus dimaknai
dengan keindahan yang dapat merangsang dan mendorong manusia untuk
berkreasi dan bersikap dinamis untuk mencapai kepuasan batin dan mempertajam
intuisinya.
70
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
71
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
72
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
73
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
mengenai karya seni dengan bobot dari suatu karya seni, ini dimaksudkan isi atau
makna yang disajikan dengan semangat yang tinggi. Bobot ini dapat ditangkap
langsung oleh panca indra atau secara tidak langsung setelah menghayati apa yang
ditangkap. Pada dasarnya setiap karya seni atau pristiwa kesenian mengandung
tiga aspek yang mendasar yaitu: 1) wujud atau rupa (iperance) yang meliputi
bentuk (from), dan susunan (structure), 2) bobot atau isi (conten, substance) yang
meliputi susunan (mood), gagasan (idea) dan pesan (massage), dan 3) penampilan
(presentation) yang meliputi bakat (talen), ketrampilan (skill) dan saran.
Estetika khususnya Hindu di Bali, tertadat tiga konsep yang disebut
dengan tri wisesa yaitu antara lain: satyam (kebenaran), siwam (kesucian),
sundaram (keindahan). hal ini di maksudkan untuk mencapai ruang estetika
metafisika, agar mampu meneropong roh yang terhanyut oleh keindahan (lango)
dengan objek ritual magis, yaitu penyucian sang diri (khataris). Disinilah estetika
telah masuk pada ruang kesunyian (suwung), disinilah jiwa telah lebar menyatu
dengan Dwa keindahan yang abadi (Granoka, 1998: 28).
Pelaksanaan tradisi Ngalawang terkandung nilai seni budaya baik dalam
waktu pelaksanaan yang diiringi dengan seni suara yang merupakan simbol dari
ketulus ikhlasan hati dari masyarakat Bangli. Sehubungan dengan tradisi
ngalawang yang menggunakan media Barong Kedingkling, nilai seni yang dapat
di dalamnya yaitu merupakan suatu unsur keindahaan. Keindahan seni yang dapat
di lihat dalam tradisi ngalawang yaitu sebuah persembahan yang di bentuk
sedemikian rupa, dimana persebahan ini di sebut dengan banten yang terdiri dari
hasil bumi berupa buah, daun, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini dibentuk serta
di susun sangat rapi yang dihiasi dengan daun kelapa yang dibentuk mulai dari
reringgitan, canang sari yang juga dihiasi dengan bungga. Sehingga,
menghasilkan kreatifitas seni yang indah. Banten inilah yang dipersembahkan
ketika Sesuwunan Barong Kedingkling ngalawang di depan-depan rumah
masyarakat Bangli.
Kesenian tersebut merupakan perwujudan kreatifitas manusia
dipersembahkan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dalam Cudamani (1993: 29)
dijelaskan hubungan antara upacara keagamaan dengan seni adalah sebagai
berikut : Pada dasarnya umat melaksanakan yadnya, didorong oleh rasa bhakti
74
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
yang tulus ikhlas. Dari rasa bhakti itu mengalir rasa seni, sebab dalam bhakti itu
ada rasa atau keinginan unuk mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, oleh
karena itu umat Hindu tidak segan-segan meluangkan waktunya untuk berkorban
dan berbuat yadnya yang betul-bentul indah dan penuh nilai seni, hal ini dapat
dilihat bagaimana megahnya dan indahnya Pura, indahnya bentuk sesajen,
merdunya suara tabuh dan gambelan, merdunya lagu-lagu pujaan (kekidngan),
dan mempesonanya tari-tarian. Jadi singkatnya upacara yadnya tidak bisa lepas
dari unsur-unsur seni.
Kesenian memegang peran penting dan tidak dapat dipisahkan
keberadaannya dari upacara keagamaan Hindu di Kabupaten Bangli. Kesenian
terutama tetabuhan berupa gambelan yang mengiringi Barong Kedingkling saat
prosesi ngalawang meberikan suatu nuansa yang amat terkesan tradisional karena
gambelan yang mengiringi Barong Kedingkling sangat sederhana yakni dengan
tabuh Gamelan Batel dimana tabuh bebatelan bila dirangkai bunyi gambelannya
adalah nongkling, nongkling, nongkling begitu seterusnya. Keindahan yang
timbul dari perpaduan suara gambelan tersebut memberikan nuansa yang hening
dan menghantarkan suatu pikiran yang positif bagi masyarakat menuju pada
kesucian. Kesenian gambelan juga mampu menimbulkan keindahan yang
menembus ketergugahan perasaan sehingga memberikan suatu keindahan bagi
yang melihat dan mendengarkanya serta membangkitkan perasaan estetis manusia
(Bandem, 2013: 101).
Tetabuhan yang bersifat magis atau sakral merupakan perwujudan rasa
bhakti manusia untuk menarik kekuatan magis agar memberikan kesejahteraan
hidup bagi masyarakat kususnya di Kabupaten Bangli. Tabuh yang dinikmati
dengan rasa, dikatakan sebagai seni atau bernilai estetis tinggi. Tetabuhan
memiliki nuansa estetis yang dapat menghantarkan pikiran yang suci dalam
memuja Tuhan dan ungkapan seninya lebih banyak didorong oleh keyakinan
(Bandem, 2013: 98).
Buku pengantar agama Hindu di jelaskan seni tari pun bisa bertahan dan
hidup berkembang karena agama Hindu. Seni dan keidahan, Tuhan adalah yang
terindah, Siwanataraja yang menjadi symbol pesta kesenian Bali, adalah tarian
klasik , tarian siwa pada waktu menciptakan alam semesta ini dengan penuh
75
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
keindahan (Cundamani, 1993: 35). Dalam penjelasan ini dapat diketahui bahwa
tarian merupakan suatu unsur keindahan, begitu pula halnya tarian yang di
lawangkan pada saat dilaksanakan tradisi ngalawang Barong Kedingkling di
Kabupaten Bangli juga merupakan suatu unsur keindahan yang dapat menghibur
serta dinikmati oleh masyarakat, selain unsur keindahan juga memberikan unsur
kekuatan magis pada tarian tersebut.
Selain itu, unsur keindahan yang terdapat dalam tradisi ngalawang Barong
Kedingkling yaitu hiasan yang terdapat pada areal tapel atau wajah Barong
Kedingkling yang terdiri dari pernak-pernik seperti permata dan pecahan cermin
dengan berbagai motif yang indah. Selain hal tersebut keindahan juga tampak
pada perlengkapan ngalawang Barong Kedingkling yang terdiri dari umbul-umbul
(penjor yang terbuat dari kain), tombak, serta tedung yang dibawa oleh
pengiringnya sehingga lengkapnya unsur seni yang memberikan suasana
keindahan dan unsur magis (Punia, Wawancara 8 Juni 2014).
Buku pengantar agama Hindu disebutkan hiasan seni janur yang beraneka
ragam, penjor atau tedung, lamak dan perlengkapan-perlengkapan lainnya
mengandung simbol dan penuh dengan kreasi seni, seni pahat dan seni ukir dapat
di slamatkan di Bali, karena agam Hindu yang dianut adalah bhakti marga
(Cudamani, 1993:35). Dari penjeasan ini dapat di ketehui bahwa semua sarana
yang terdapat dalam prosesi ngalawang Barong Kedingkling pada dasarnya
memiliki suatu kreasi seni serta memiliki makna yang diwujudkan ke dalam
simbo-simbol. Kesemua kreasi seni ini dapat di pertahankan karena umat
menjungjung tinggi simbol-simbol yang ada dengan jalan bahkti yang
implementasinnya melalui upacara tertentu.
Seperti halnya kreasi seni yang ada serta digunakan pada saat
dilaksanakannya suatu prosesi ngalawang juga memiliki suatu makna tersendiri,
hal ini bisa bertahan serta lestari, dikarenakan masyarakat atau umat Hindu di
Kabupaten Bangli selalu menjaga serta menjunjung tinggi makna dari simbol
tersebut. Karena sarana serta perlengkapan yang digunakan pada saat
melaksanakan ngalawang Barong Kedingkling diyakini suatu benda yang suci
sebab sudah melalui proses sakralisasi. Benda-benda tersebut juga dipuja oleh
umat Hindu di Kabupaten Bangli, ini terbukti pada saat dilaksanakan ngalawang,
76
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
3 PENUTUP
Berdasarkan penyajian hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat disimpulkan, bahwasanya prosesi Ngalawang Barong Kedingkling di
Kabupaten Bangli di awali dengan matur piuning, dilaksanakan Pamangku
bertujuan meminta ijin dan keselamatan dalam perjalanan ketika melakukan
prosesi ngalawang. Dilanjutkan dengan nedunang Ida Batara yang dihadiri oleh
seluruh masyarakat Desa yang akan mengikuti prosesi ngalawang. Setelah Ida
Bhatara tedung, masyarakat bersiap-siap melakukan perjalanan ngalawang,
dengan mempersiapkan tape,l mengatur barisan antara penari Barong dan
pembawa atribut seperti tedung, kober, dan gambelan. Setelah siap barulah
prosesi ngalawang dimulai. Saat Barong Kedingkling mulai tampak, dengan
sigap masyarakat mempersiapkan sarana panyapa atau ngupah yang dihaturkan
ketika Barong Kedingkling sudah akan melewati pintu atau lawangan masyarakat
panyapanya. Setelah canang dihaturkanBarong Kedingkling akan menari di depan
pintu atau lawangan masyarakat yang menghaturkannya. Setelah selesai menari
sesari yang terdapat pada canang sari diambil oleh salah satu sekaa Barong
Kedingkling. Ketika hari sudah mulai senja, prosesi ngalawang Barong
77
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Daftar Pustaka
Bandem, I Made. 1981. Kaja and Kelod. Balinese Dance in Transition. Kuala
Lumpur : Oxford University Press.
Darmawan, I Putu Aryasa. 2010. Esensi Teologis Barong Bulu Goak Di Pura
Dalem Kutuh Desa Adat Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung. Skripsi. Denpasar: IHDN.
78
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Djelantik, Anak agung Made. 1990. Pengantar Ilmu Estetika. Jilid I. Denpasar:
Sekolah Tinggi seni Indonesia.
Granoka, Ida Wayan Oka. 1998. Memori Bajra Sandi, Perburuan Kaprana Jiwa.
Denpasar: Sanggar Bajra sandi.
79
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan keterampilan
berargumentasi lisan mahasiswa dalam presentasi tugas kelompok pada mata
kuliah bahasa Indonesia di kelas IB Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari
dan Musik, (2) mendeskripsikan kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa saat
berargumentasi lisan dalam presentasi tugas kelompok pada mata kuliah bahasa
Indonesia di kelas IB Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik, dan
(3) mendeskripsikan respons mahasiswa terhadap penugasan berargumentasi
lisan dalam tugas presentasi melalui tugas kelompok pada mata kuliah bahasa
Indonesia di kelas IB Program studi Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa kelas IB Program Studi
Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik yangberjumlah 26 orang mahasiswa.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskripitif kualitatif-kuantitatif.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, metode tes,
metode wawancara, dan metode angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
keterampilan berargumentasi lisan mahasiswa dalam presentasi tugas kelompok
pada mata kuliah bahasa Indonesia di kelas IB Program Studi Pendidikan Seni
Drama Tari dan Musik, tergolong baik, (2) dalam mata kuliah bahasa Indonesia
dengan model presentasi tugas kelompok, mahasiswa mengalami berbagai
kendala antara lain, materi yang dipelajari saat presentasitugas kelompok
dirasasulit,mahasiswa mengalami kesulitan dalam bekerja secaraberkelompok,
dan mahasiswa merasa malu saat menyampaikan argumentasi, dan
(3)pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia dengan model presentasi tugas
kelompok direspons positif oleh mahasiswa.
Abstract
This study aims to (1) describe oral argument skills of students in the
presentation of the task group on Indonesian subjects in the classroom IB Study
Program of Dramatic Arts Education Dance and Music, (2) describe the obstacles
faced by students when arguing an oral presentation group assignments on
subjects Indonesian in class IB Study Program of Dramatic Arts Education Dance
and Music, and (3) describe the response assignment of students to argue in the
80
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
oral presentation tasks through the task group on Indonesian subjects in class IB
Study Program Dramatic Arts Education Dance and Music.
Subjects in this study were students of class IB Study Program of Dramatic
Arts Education Dance and Music amounting to 26 students. This study used a
qualitative research design deskripitif-quantitative. Data collection methods used
were observation, test methods, the method of interview and questionnaire. The
results showed that (1) the skills to argue orally students in the presentation of the
task group on subjects Indonesian in class IB Study Program of Dramatic Arts
Education Dance and Music, classified as good, (2) in the course of Indonesian
model presentation of the task group, student encounter many obstacles, among
others, the material studied during the presentation the group's task is it hard,
students have difficulty in working in groups, and students feel embarrassed when
presenting arguments, and (3) learning courses Indonesian model presentation of
the task group responded positively by students.
1 Pendahuluan
Pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia di tingkat perguruan tinggi
khususnya pada Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari dan musik
merupakan mata kuliah umum. Walaupun demikian, pembelajaran mata kuliah
bahasa Indonesia memerlukan strategi agar mahasiswa mampu memahami materi
yang disajikan oleh dosen. Dalam mengajar, dosen mata kuliah bahasa
Indonesia,tidak cukup hanya menggunakan satu metode saja. Pemilihanmodel
pembelajaran juga sangat penting karena mahasiswa memerlukan situasi dan
kondisi yang tepat dalam belajar. Dalam pembelajaran mata kuliah bahasa
Indonesia, metode yang sering digunakan adalah metode ceramah, motede
pemodelan, metode diskusi, dan metode tanya jawab.
Berdasarkan hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan, pembelajaran
mata kuliah bahasa Indonesia di kelas IB Program Studi Pendidikan Seni Drama
Tari dan Musik berjalan sesuai dengan rencana pembelajaran yang dibuat. Dosen
menggunakanmetode diskusi tugas kelompok yang dirancang dengan presentasi
sehingga mahasiswa dapat aktif memberikan masukan ataupun sanggahan melalui
argumen yang mereka ungkapkan. Cara seperti inidilakukan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara mahasiswa. Diharapkan
dengan model dan metode seperti ini, mahasiswa dapatberperan aktif dalam
menyampaikanpendapat dan mengasah keterampilan berbicaranya. Materi yang
81
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
diberikan kepada mahasiswa ialah mengenai paragraf atau alenia. Materi ini
menjadi fokus dalam dua kali pertemuan, dengan durasi waktu 4 x 45 Menit.
Pembelajaran keterampilan berargumentasi lisan dalam presentasi tugas
kelompok mahasiswa dalam mata kuliah bahasa Indonesia di kelas IB Program
Studi Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik dilaksanakanmelalui beberapa
tahapan. Setiap pertemuan terdapat tiga kali tahapan pembelajaran yang
dilaksanakan, yakni tahap kegiatan awal, tahap kegiatan inti, dan tahap kegiatan
akhir. Pada pertemuanpertama, tahap awal, dosenmemasukiruang kelas dan
memberikan salam. Dosen mengecekkehadiranmahasiswa dengan mengabsen
mahasiswa satu persatu. Kemudian, dosen mengecek kesiapan mahasiswa untuk
mengikuti pembelajaran. Dosen menyiapkan media dan materi pembelajaran yang
akan disampaiakan. Bersamaan dengan itu pula, dosen membacakan sebuah
paragraf di depan kelas, yang mengarah pada materi pembelajaran tentang
paragraf. Dosen membacakan kembali sebuah paragraf, kemudian bertanya
kepada mahasiswatentang apa yang telah disampaikan dan
mahasiswadiinstruksikan untuk memberikan sebuah komentarterhadap isi
paragraf yang telah disampaikan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk
merangsangmahasiswa dengan materi yang akan disampaikan. Selanjutnya,
diadakan suatu apersepsiuntuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa.
Apersepsi dilakukan dengan cara bertanyakepada mahasiswa terkait materi
mengenai paragraf. Mahasiswa ditanyakan mengenai pengertian paragraf, jenis
paragraf, dan langkah-langkah dalam menulis sebuah paragraf.
Sebelum menginjak pada kegiatan inti, disampaikan pulastandar
kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pembelajaran. Pada saat akan
memasuki kegiatan inti, dilakukan eksplanasi. Dosen menyampaikan materi
mengenaiparagraf. Penyampaian materi dilakukan dengan menggunakan power
point. Materiyang disampaikan adalah pengertian paragraf, jenis-jenis paragraf,
dan langkah-langkah yang dilakukan dalam menulis sebuah paragraf. Selanjutnya,
dilakukaneklporasi untuk memancing pemahaman mahasiswa mengenai paragraf
dengan memberikan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan paragraf.
Kemudian mahasiswadiiinstruksikan untukmembentuk kelompok, yang
masing-masing kelompok terdiri dari 2 orang anggota kelompok. Mahasiswa
82
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
83
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
84
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2 Landasan Teori
2.1 Pengertian Berbicara
Keterampilan berbicara adalah seni tentang berbicara berbicara yang
dimiliki seseorang. Seni berbicara ini dimiliki seseorang secara alami atau pun
dengan menggunakan latihan khusus. Keterampilan berbicara merupakan seni
tentang berbicara yang merupakan sarana komunikasi dengan bahasa lisan
meliputi proses penyampaian pikiran, ide, gagasan dengan tujuan melaporkan,
menghibur, atau meyakinkan orang lain.
Menurut Tarigan (2008:16) keterampilan berbicara adalah kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pengertian
85
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
86
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
87
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
88
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
89
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
3. Taktik Provokasi
Taktik ini memaksa lawan bicara untuk berbicara terus terang. Ini adalah
satu model pertanyaan agresif, yang sering dipergunakan oleh para
wartawan.
4. Taktik Mencakup
Taktik ini melihat argumentasi lawan dengan satu pengamatan yang
mencakup dan lebih tinggi, sehingga dengan argumentasi itu sendiri
dilemahkan dan tidak berlaku untuk dirinya sendiri
5. Taktik Memotong
Taktik ini dipergunakan untuk mengontrol pembicara yang berbicara terlalu
banyak, pembicaraannya dipotong dengan tiba-tiba dengan alasan untuk
menyampaikan sesuatu yang penting.
c. Taktik Negasi
1. Taktik "tidak"
Taktik ini menyangkal pendapat lawan bicara secara langsung, karena
menuntut penjelasan yang tuntas.
2. Taktik Kontradiksi
Taktik ini mengemukakan pernyataan kontradiktoris (pertentangan secara
esensial) atas apa yang dikatakan lawan bicara.
3 Metode Penelitian
3.1 Metode Oberservasi
Menurut Subagyo (2004:63) observasi adalah pengamatan yang dilakukan
secara sengaja, sistematika mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis
untuk kemudian dilakukan pencatatan. Metode observasi dilakukan untuk
mengamati kegiatan mahasiswa dan mengumpulkan data-data tentang
keterampilan berargumentasi lisan dalam presentasi tugas kelompok pada
pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia.
Pada penelitian ini, bentuk metode observasi digunakan adalah obeservasi
nonpartisipatif. Observasi dilakukan peneliti dengan tidak terlibat atau berperan
langsung ketika observasi berlangsung. Peneliti hanya mengamati dan mencatat
kegiatan pada saat presentasi yang berlangsung di kelas IB Program Studi
90
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik. Dalam observasi, peneliti hanya
menggunakan catatan lapanganyang berupa hasil pengamatan di kelas saat proses
belajar berlangsung.
3.3 MetodeAngket
Djojosuroto (2004:79) mengatakan bahwa angket merupakancara
pengumpulan data melaluiformulir-formulir yang berisi tentang pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang atau sekumpulan
orang untuk mendapatkan jawaban, tanggapan, atau informasi yang
diperlukan. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket
berstruktur atau tertutup, yaitu responden menjawab pertanyaan berdasarkan
jumlah pilihan jawaban yang telah disediakan. Pemberian angket ini dimaksudkan
data tentang respon mahasiswa terhadap penugasan berargumentasi lisan dalam
tugas presentasimelalui tugas kelompok pada pembelajaran mata kuliah bahasa
Indonesia.Dalam pengisian angket, mahasiswa hanya mengisi tanda check-list
pada tabel yang terdapat dalam lembar angket yang telah disiapkan oleh peneliti.
Dalam lembar angket tersebut terdapat tabel yang berisikan pernyataan berupa
hal-hal atau unsur-unsur tentang model pembelajaran yang telah diterapkan.
Sebelum mengisi angket, peneliti akan memberikan arahan/petunjuk pengisian
kepada mahasiswa serta penjelasan tiap butir ranah yang ada dalam angket
tersebut.
91
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
4 Pembahasan
Hasil keterampilan berargumentasi lisan oleh mahasiswa dalam
pembelajaranmata kuliah bahasa Indonesia melalui peresentasi tugas kelompok
adalah sebagai berikut : dari 26 orang mahasiswa di kelas IB Program Studi
Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik, 10 orang mahasiswa atau 27,5% yang
memperoleh nilai 85 sampai 88, yang tergolong sangat baik, dan 16 orang
mahasiswa atau 72,5% yang memperoleh nilai 75 sampai 84, yang tergolong
baik. Rata-rata nilai hasil argumentasi mahasiswa melalui prensentasi tugas
kelompok dalam pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia adalah 82,15,
yang tergolong baik.
Pada pertemuan kedua, dilakukan tes kepada mahasiswa. Dengan
membagikan lembar soal kepada mahasiswa.Lembar soal ini telah dipersiapkan
92
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
93
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
94
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
5 Penutup
Pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia dengan model presentasi tugas
kelompok padamahasiswa kelas IB Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari
dan Musik, masih tampak adanya kendala-kendala yang dialami mahasiswa saat
presentasi maupun menyampaikan argumentasi. Kendala yang dialami mahasiswa
saat presentasi maupun berargumentasi, fokus pada materi yang sulit dipahami
karena tidak ada persiapan dari rumah, kurangnya kekompakan dalam kelompok,
rasa malu saat presentasi danberargumentasi karena mahasiswa takut ditertawai,
takut dipojokkan, dan takut salah karena mahasiswa merasa cemas saat
menyampaikan argumen mereka, suasana yang kurang kondusif, kurangnya
kerjasama antar kelompok saat sesi tanya jawab, minimnya waktu yang tersedia,
dan keadaan fasilitas yang masih terbatas.
Untuk menentukan respon mahasiswa secara keseluruhan terhadap model
penugasan berargumentasi lisan dalam tugas presentasi melalui tugas kelompok
pada pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia, dapat diketahui berdasarkan
kriteria. Respons positif mahasiswa menunjukkan keberhasilan model presentasi
tugas kelompok dalam pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh penerapan model seperti ini, memudahkan mahasiswa
menyampaikan argumen mereka. Pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia
dengan model presentasi tugas kelompok direspon positif oleh mahasiswa. Hal ini
terbukti dari pengisian angket yang menunjukkan skor maksimal dari siswa. Dari
26mahasiswa yang mengisi angket, terdapat 18mahasiswa yang memberikan
respon sangat positif dan 8 mahasiswa yangmemberikan respon positif. Jadi,
secara keseluruhan mahasiswa meresponpositif terhadap model penugasan
berargumentasi lisan dalam tugas presentasi melalui tugas kelompok pada
pembelajaran mata kuliah bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
95
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
96
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Oleh:
I Ketut Lanus S.Sn., M.Si.
IKIP PGRI Bali
Abstract
Gamelan Balaganjur is a traditional musical art that is often used in a
performance that is both sacred and profane. Apart from Gamelan Balaganjur
terminolgi these functions can not be separated from the aesthetic value (beauty)
contained in the play or in any game of musical instruments integrated into a
single entity that carries on dimenasi beauty. Seen from the player (drummer) of
Gamelan Balaganjur often performed by young people who are members of
Hindu Balinese community called Sekaa Gong Balaganjur.
Key words: Balaganjur, estetika art
1 Pendahuluan
Salah satu ragam gamelan yang paling popular di Bali adalah Balaganjur.
Balaganjur merupakan seni musik tradisional Bali yang populer dikalangan
masyarakat Bali. Seni Balaganjur tersebut pada umumnya sering dipentaskan
dalam dimensi sakral dan profan tergantung pada situasi dan fungsi pementasan.
Dibia (2012:1) menjelaskan bahwa pertunjukan seni musik Balaganjur
dipentaskan biasa dalam setiap event seni, seperti PKB (Pesta Kesenian Bali),
mengiringi pawai Ogoh-Ogoh dan sejenisnya, dan event tersebut dapat dikatakan
sebagai Balaganjur dalam fungsi profan. Adapun dalam event sakral (wali)
tersebut biasanya difungsikan sebagai pengiring upacara pecaruan atau tawur atau
dalam upacara Bhuta Yaja.
Merujuk pada uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa Gamelan Balaganjur
merupakan seni musik tradisonal yang sering digunakan dalam setiap pementasan
yang bersifat sakral dan profan. Terlepas dari terminolgi fungsi tersebut Gamelan
Balaganjur tidak dapat dipisahkan dari nilai estetika (keindahan) yang terkandung
di dalam pementasannya atau dalam setiap permainan alat musiknya yang terpadu
menjadi satu kesatuan yang membawa pada dimenasi keindahan. Dicermati dari
pemain (penabuh) dari Gamelan Balaganjur sering dipentaskan oleh anak muda
97
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Hindu yang tergabung dalam komunitas tradisional Bali yang disebut dengan
Sekaa Gong Balaganjur. Komunitas tersebut membuat wadah berupa Sekaa Gong
Balaganjur yang di dalamnya ada sebuah hal yang mengedukasi Sekaa Truna. Hal
tersebut semakin mebuat Gamelan Balaganjur semakin berkembang secara
dinamis dan inovatif serta kreatif tetapi tidak mengkesampingkan nilai estetika
yang selalu dimunculkan dalam setiap aktivitas berkesenian di Bali.
Khusus di Kota Denpasar, Gamelan Balaganjur sering dipentaskan dalam
setiap perayaan dan pawai ogoh-ogoh dan sejenisnya. Namun, dalam ruang sakral
Gamelan Balaganjur juga sering dipentaskan pada saat perayaan Bhuta Yaja.
Dalam penelitian ini, pementasan Gamelan Balaganjur pada saat upacara Bhuta
Yaja dikaji dengan menggali unsur keindahan di dalamnya. Sebab Gamelan
Balaganjur banyak mengandung daya keindahan (estetik) dalam hubungannya
dengan upacara yaja.
2 Pembahasan
2.1 Bentuk Gamelan Balaganjur
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pementasan Gamelan
Balaganjur sering dipentaskan dalam ruang sakral dan profan. Dalam ruang
sakral, gamelan atau kerawitan jenis ini sering dipentaskan dalam setia upacara
yajna, khususnya Bhuta Yajna, yakni dalam tawur dan pecaruan. Demikian pula
dalam ruang profan, Gamelan Balaganjur sering dipentaskan dalam seni
pertunjukan, seperti mengiringi pawai ogoh-ogoh maupun dalam Pesta Kesenian
Bali. Dibia (2010) menjelaskan bahwasanya Gamelan Balaganjur merupakan seni
kerawitan yang dapat dihubungkan dengan upacara keagamaan dapat pula
dihubungkan atau dipentaskan sebagai balih-balihan.
Khusus dalam konteks penelitian ini, akan dideskripsikan pementasan
Gamelan Balaganjur dalam ruang sakral yang berhubungan dengan ritual upacara
Bhuta Yajna dan dalam kaitanya dengan nilai estetika seni pementasannya. Tidak
menutup kemungkinan juga akan bersingungan dengan estetika seni Hindu yang
koheren dengan ajaran agama Hindu. Sebagaimana dijelaskan Dibia (2012:107)
menjelaskan bahwa Balaganjur adalah salah satu dari sedikitnya sepuluh jenis
gamelan golongan kuno yang hingga sekarang masih tetap eksis di Bali. Hingga
98
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
kini ada dua pengertian berbeda yang melekat dengan gamelan prosesi ini.
Pertama, music pengusir bhuta-kala sehingga gamelan ini disebut dengan
kalaganjur. Kedua, musik pembangkit semangat sehingga disebut dengan
balaganjur. Berkenaan dengan hal tersebut, berikut dijelaskan struktur
gamelannya sebagai berikut.
a. Instrumen Musik
Seperangkat alat musik tradisional Bali disebut dengan barungan
(Dibia,2012). Barungan Balaganjur dibentuk oleh sejumlah instrumen musik dan
yang paling dominan adalah alat-alat berpencon, seperti: gong, kempul, bende,
reyong, kajar, tawa-tawa, dan kempli. Selanjutnya barungan juga didominasi oleh
alat-alat yang berbentuk piringan, seperti ceng-ceng kopyak dan sepasang kendang
lanang dan wadon. Salah satu cirri khas dari musik Balaganjur terlihat pada
permainan ceng-ceng kopyak yang menggunakan pola kekilitan (interlocking)
tiga jenis yang terdiri atas pukulan polos yang sejalan dengan pukulan kajar,
pukulan sangsih yang mendahului pukulan kajar, dan sanglot yang bermain di
tengah-tengah untuk mengikat atau merangkul kedua pukulan di atas (polos dan
sangsih).
Didbia (2012); Bandem (2011) menjelaskan bahwasanya perubahan yang
cukup mendasar dari gamelan Balaganjur belakangan ini adalah yang
menyangkut fungsi dan statusnya. Dari gamelan yang dahulunya digunakan dalam
ruang sakral telah menjadi pengiring gamelan secara mandiri. Dengan adanya
perubahan struktur gamelan pun bergeser terlebih tabuh yang digunakan sekarang
lebih variatif. Khusus tabuh, banyak sudah berinovasi sehingga muncul beragam
variasi, terlebih gamelan ini dilombakan dalam setiap event-event tertentu.
Sebagaimana menurut Dibia (2012:107), lebih banyak gamelan Balaganjur sudah
menggunakan struktur komposisi formal dengan rasa musical yang semakin
mendekati kebyar (ngebyar). Oleh karena itu, penambahan instrumen musik tidak
dapat dihindarkan lagi.
Terlepas dari pergeseran tersebut, setiap pementasan Gamelan Balaganjur
pada ritual Bhuta Yajna di Kota Denpasar masih tetap mempertahankan struktur
pakem dengan menggunakan instrumen musik berpencon. Dalam komposisi
tabuh pun tidak banyak berubah. Dibia (2012:110), dalam uraianya menjelaskan
99
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
100
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
1) Satyam
Satyam adalah kebenaran, kejujuran, kebajikan dan sejenis dengan itu
(Dibia,2003: 97). Semua kesenian Bali mengandung unsur kebenaran, dan
kebenaran yang absolut merupakan sumber keindahan (estetik) itu sendiri.
Diantara banyak kesenian tersebut, Gamelan Balaganjur yang dimainkan oleh
sekaa gong Balaganjur yang terdiri dari warga sekaa truna secara emperikal
mengandung nilai satyam di dalamnya. Hal tersebut dapat dilihat dari Gamelan
Gong Balaganjur digunakan sebagai gamelan pengiring yajna. Dalam konteks ini,
Gong Balaganjur adalah media sakral, dan dijadikan pelengkap upacara wali.
Nilai satyam yang terkandung dalam Gamelan Balaganjur sudah pasti
berhubungan dengan pelaksaan upacara yajna, khususnya Bhuta Yajna.
101
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2) Siwam
Siwam adalah kesucian, dan identik dengan hal yang bersifat sakralistik.
Sivam sebagaimana mitologi dewa-dewi Hindu merupakan dewa tertinggi, dan
beliau sebagai yang yang melahirkan (utpeti), memelihara (sthiti) dan mapralina
(pralaya) sumber segalanya simbolisasi dari tarian Siwa Nataraja. Demikian juga
Gamelan Balaganjur identik dengan hal yang bersifat suci, seperti sebelum
pementasan Gamelan Balaganjur diberikan persembahan, penglukatan dan
upakara lainnya agar gamelan menjadikan hal yang tersucikan. Belum lagi
Balaganjar selalu dipentaskan untuk upacara Bhuta Yadnya, Tawur Kesanga,
Pecaruan dan sejenisnya sehingga semua menjadikan tersucikan.
3) Sundaram
Sundaram artinya keindahan, dan melalui keindahan seseorang akan
masuk dalam sebuah wilayah pengelaman tentang estetika. Pengalaman estetika
inilah memunculkan rasa keindahan yang secara tidak langsung dapat
memperhalus budhi seseorang. Rasa keindahan sebagaimana menurut teori rasa
merupakan buah dari pengalaman estetik yang akan dapat memunculkan bhava
getaran spiritual (Sukayasa,2008: 23). Dengan demikian melalui pengalaman
estetik seseorang akan dapat bertransformasi menjadi lebih baik, dan dalam
konteks ini pengalaman estetik dapat dialami oleh penabuh maupun masyarakat
Hindu di Kota Denpasar ketika melaksanakan upacara Bhuta Yajna. Sebagaimana
dijelaskan dalam lontar Prakempa dan Aji Gurnita, bahwa setiap nada gamelan
yang dimainkan sesungguhnya adalah semion suara yang dapat memanggil Ista
Dewata (Donder,2008).
Jadi, selain memang suara atau nada tabuh Gamelan Balaganjur yang
mengeluarkan suara yang indah, nada yang dikeluarkan juga dapat mengeluarkan
suara (gelombang) yang sesuai dengan gelombang alam semesta. Gelombang
inilah secara saintifik dapat selaras dengan nada ritmik alam yang seimbang.
Selain memang secara emik, nada komposisi tabuh dapat menghadirkan kekuatan
dewata. Selain itu, istilah estetika dalam kesenia Bali sangat dekat maknanya
dengan lengut, pangus, hidup, metaksu, adung, dan sebagainya. Dalam
102
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
lingkungan kesenian Bali ada berapa bentuk estetika, menurut Bandem (1996 :
18) ada di sebutkan, yaitu : (1) keseimbangan (simetris, sejajar): dua, tiga, empat,
lima, delapan, sembilan dan seterusnya. (2) campuran: terdiri dari berbagai unsur
yang disatukan ke dalam satu wadah: mozaik, prembon, campur sari dan
sebagainya. (3) totalitas (saling keterkaitan) sehingga memberikan kepuasan
yang lengkap, meliputi : kenikmatan bayu (energy), sabda (voice or sound), idep
(thought). (4) rame (riuh rendah, hiruk pikuk). (5) suwung atau sunia atau kosong.
Kelima bentuk estetika tersebut merupakan prinsip yang terefleksikan pada saat
penabuh memainkan Gamelan Balaganjur pada ritual Bhuta Yajna di Kota
Denpasar. Untuk lebih jelaskan akan diuraikan bentuk estetika Hindu yang
diterapkan, seperti berikut.
1) Keseimbangan
Keseimbangan ini sangat penting depertahankan dalam dunia berkesenian.
Keseimbangan merupakan prinsip estetik yang mendasar, terlebih dalam Gamelan
Balaganjur. Penabuh ketika memainkan instrumen Balaganjur selalu
menunjukkan keseimbangan irama masing-masing instrumen yang berbeda
iramanya tetapi dengan keteraturan irama yang seimbang. Bunyi instrumen
pongang, reyong, kendang, cengceng, bende, kempur dan gong besar semua harus
dapat memepertahankan keseimbangan ketukan nada agar menghasilkan
perpaduan instrumen yang indah. Perpaduan dari berbagai instrumen Balaganjur
akan dapat memberikan efek keseimbangan diri bagi pelaku seni dan penikmat.
Instrumen tersebut dianalogikan sebagai instrumen (indria) yang ada dalam dir
manusia yang harus diseimbangkan dengan baik agar manusia dapat mencapai
keindahan, harmoni dan selaras dalam kehidupan.
2) Campuran
Bentuk keindahan yang selanjutnya adalah campuran yang terdiri dari
gabungan dari berbagai unsur yang berbeda tetapi menjadi satu kesatuan yang
indah. Gamelan Balaganjur merupakan wadah (mozaik) berkesenian yang di
dalamnya ada beragam bentuk dan bunyi dari berbagai instrumen. Berbagai
instrumen yang dimainkan oleh penabuh terdiri dari bebagai instrumen dan nada
103
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
atau bunyi yang berbeda tetapi dipadukan dengan baik hingga memunculkan
sebuah nada yang indah dan penuh dengan semangat. Makna dari perbedaan
selanjutnya dipadukan akan dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi
penabuh Gamelan Balaganjur. Perbedaaan (kebhinekaan) adalah sebuah
kewajaran dan perbedaan adalah keindahan. Dengan demikian semangat
multikulturalisme akan terbangun dalam diri pelaku kesenian Balaganjur
demikian juga yang menikmati kesenian tersebut.
3) Totalitas
Totalitas dalam konteks bentuk esetik adalah semangat yang membawa
pada kepuasan sabda, bayu dan idep. Secara mendasar gamelan Balaganjur
merupakan bentuk kesenian yang dapat memberikan kepuasan dan menjadikan
manusia semangat dan termotivasi dalam berkehidupan. Sebagaimana diketahui
bahwa gamelan ini tergolong jenis gamelan dengan irama yang varitaif, terkadang
melonjak keras dan cepat terkadang lembut dengan irama cengceng dan kendang
serta reyong yang serasi dan indah. Prinsip totalitas yang dimunculkan dalam
gamelan ini dapat memberikan kepuasan baik kepuasan sabda (suara) yang dapat
memberikan bayu (tenaga/semangat) dan idep (ketenangan pikiran).
4) Rame
Bentuk rame (ramya) merupakan prinsip yang mendasar dalam gamelan
Balaganjur. Meskipun isntrumennya sedikit tetapi nada atau irama gamelan yang
dimunculkan selalu terdengar rame, riuh dan membawa magnet tersendiri
sehingga menjadi hiruk pikuk. Balaganjur sejatinya sebuah musik tradisional Bali
yang selalu dapat memunculkan rame dalam situasi dan kondisi eksternal dan
internal diri. Bentuk rame yang dimunculkan melalui instrumen Balaganjur akan
dapat memberikan dampak bagi warga sekaa bahwa kehidupan adalah dipenuhi
dengan ramya yang sebenarnya adalah keindahan.
5) Suwung
Bentuk suwung atau sunya adalah kekosongan atau sepi, sunyi dan
sejenisnya. Suwung merupakan bentuk estetik dalam kesenian Bali yang sangat
104
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
prinsip. Hal tersebut dikarenakan suwung merupakan titik jeda setelah rame atau
ramya. Suwung merupakan puncak pengalaman estetik bagi Penabuh Gamelan
Balaganjur atau pelaku seni setelah menikmati bentuk keriuhan, dan pada saat
suwung ini akan dirasakan keindahan yang luar biasa berupa keheningan.
Keheningan ini adalah puncak dari berbagai bentuk keindahan sebelumnya.
Keheningan ini akan dapat dirasakan penabuh Balaganjur sebagai pelaku seni
demikian juga masyarakat Hindu di Kota Denpasar sebagai penikmat seni.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suwung merupakan pucak dari pada
pengalaman estetika yang berwujud pada keheningan bathin. Keheningan ada
dalam fase jeda atau berakhirnya tabuh Balaganjur, yang sebelumnya ada fase
riuh yang membangkitkan ekstase emosional. Dengan kembali kepada keheningan
sebagai pertanda bahwa telah berakhirnya upacara yaja dengan harapan
harmonis sakala dan niskala.
Beberapa prinsif estetika tersebut di atas selalu dimunculkan dalam setiap
pementasan Gamelan Balaganjur. Prnsif keseimbangan (simetris, sejajar): dua,
tiga, empat, lima, delapan, sembilan dan seterusnya selalu dimunculkan dalam
nada dan ritme Balaganjur yang muncul dalam lebut dan kerasnya nada. Artinya,
tempo nada keras dan cepat akan dilanjutkan dengan nada pelan dan lebut. Keras-
lembut tentunya sebagai sebuah prinsif keseimbangan. Selanjutnya prinsif
campuran adalah terdiri dari berbagai unsur yang disatukan ke dalam satu wadah:
mozaik, prembon, campur sari dan sebagainya. Pun demikian Gamelan
Balaganjur merupakan satu kesatuan nada instrumen yang dipadukan sehingga
melahirkan ritme gamelan yang indah.
Adapun prinsif totalitas (saling keterkaitan) sehingga memberikan
kepuasan yang lengkap, meliputi : kenikmatan bayu (energy), sabda (voice or
sound), idep (thought). Nampaknya gamelan Balaganjur menyiratkan ekspresi
totalitas karena gamelan tersebut dapat membangkitkan sabda, bayu dan idep.
Selanjutnya prinsif ramya atau rame (riuh rendah, hiruk pikuk) pun nampak pada
Gamelan Balaganjur dan terakhir adalah prinsif suwung atau sunia atau kosong.
105
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
3. PENUTUP
Berdasarkan rumusan masalah dan penyajian hasil penelitian di atas, dapat
disimpulkan bahwa bentuk Gamelan Balaganjur yang dipentaskan pada saat ritual
Bhuta Yajna terdiri dari beberapa instrumen, seperti gong, bende, reyong, kajar,
tawa-tawa, kempli, ceng-ceng kopyak dan kendang. Selanjutnya penabuh
umumnya biasa-biasa saja sebagai pengiring upacara yajna, dan tidak
sedemonstratif seperti Balaganjur inovatif. Selanjutnya, estetika seni dalam
pementasan Gamelan Balaganjur pada ritual Bhuta Yajna di Kota Denpasar tidak
terlepas dari estetika dalam kesenian Hindu, seperti satyam, siwam dan sundaram.
Selain itu, nilai estetika seni dalam Gamelan Balaganjur berhubungan dengan
lima prinsif, yakni prinsif keseimbangan, campuran, prinsif totalitas, prinsif
ramya atau rame dan terakhir adalah prinsif suwung atau sunia atau kosong.
Daftar Pustaka
Bandem I Made.2013. Gamelan Bali Diatas Panggung Sejarah. Denpasar:
STIKOM Bali.
,1996. Teori Estetika Hindu Dalam Berkesenian. Denpasar: ISI.
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Format-format Kuantitatif
dan Kualitatif. Surabaya : Airlangga Universitas Press.
106
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
107
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
oleh:
I Ketut Muada, S.Sn.,M.Sn.
Abstract
1 PENDAHULUAN
Dalam fungsinya sebagai seni sakral (wali) wayang kulit seringkali
dipentaskan dalam sebuah upacara keagamaan Hindu di Bali. Watra (2006:45-46)
menyatakan bahwa wayang dapat dipentaskan dalam setiap upacara panca
yadnya. Salah satunya adalah Wayang Sapuh Leger yang dipentaskan pada saat
upacara Bayuh Oton. Upacara bayuh oton adalah jenis upacara manusa yadnya
yang dimaknai untuk meruwat anak yang lahir di Tumpek Wayang.
Demikian juga dengan tempek wayang merupakan tumpek yang terakhir
dari enam jenis upacara tumpek yang ada. Wuku Wayang adalah wuku yang kedua
puluh tujuh merupakan kombinasi antara sanisncara/sabtu (hari terakhir dari
sapta wara), kajeng (terakhir dari tri wara), dan kliwon (terakhir dari panca
wara). Tumpek ini diyakini merupakan tumpek yang paling keramat di antara
tumpek-tumpek yang lainnya terutama dari sudut pandang magis. Tumpek ini, juga
disebut tumpek ringit. Oleh karena itu orang yang lahir pada tumpek ini demi
keselamatannya harus diruwat atau diupacarai bayuh oton dengan pertunjukan
wayang Sapuh Leger. Ini merupakan kepercayaan orang Bali sehingga tidak perlu
dilakukan diskusi dalam kekacauan akal karena akal memang tidak menjangkau
108
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
109
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2 PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Pementasan Wayang Sapuh Leger
Wayang Sapuh Leger adalah pertunjukan wayang kulit parwa yang bersifat
sakral untuk upacara manusa yadnya. Pertunjukan ini dipentaskan dalam upacara
khusus (bayuh oton), yaitu upacara untuk anak yang lahir pada tumpek wayang.
Pementasan ini bertujuan untuk melenyapkan malapetaka yang mungkin akan
menimpa anak bersangkutan dari pengaruh buruk (kecemaran) tumpek wayang.
Dalam kaitannya dengan seni sakral (wali) sesungguhnya ada tiga jenis
pertunjukan wayang yaitu, Wayang Sapuh Leger, Wayang Lemah, dan Wayang
Sudamala. Ketiganya dianggap sakral karena memiliki persamaan fungsi yaitu
ngruwat. Namun diantara ketiga wayang itu, Wayang Sapuh Leger yang paling
istimewa. Kenyataan tersebut didukung oleh ciri-ciri spesifik yang dimilikinya
sebagai berikut.
1) Wayang Sapuh Leger menggunakan tokoh antagonis, yaitu Bhatara
Kala sebagai tokoh kuncinya. Bhatara Kala dalam mitosnya diyakini
ada dan sangat menakutkan serta berbahaya. Mitos ini mengisahkan
tentang kelahiran dan perjalanan Dewa Kala (anak Dewa Siwa) yang
memangsa anak/orang yang lahir pada wuku/tumpek wayang;
2) Alat-alat perlengkapan dan sesajen (banten) meliputi, pohon pisang
(gedebong) berikut buah dan jantungnya (biu lalung) serta
perlengkapan sarana wayang seperti layar (kelir), lampu (blencong),
kotak wayang (kropak) semuanya dililit dengan benang tenun (tukelan)
berisi uang bolong (uang kepeng Cina) 250 biji. Seluruh perangkat
wayang dan dalang termasuk iringannya (gamelan Gender)
disediakan sesajen yang besar dan rumit;
3) Wayang Sapuh Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang
yang telah disucikan (Ki Mangku Dalang/ Sang Empu Leger) dan
memahami isi lontar Dharma Pewayangan dan lontar Sapuh Leger.
Selain itu seorang dalang harus paham akan puja mantram sakralisasi
diri dan sesajen-sesajen serta menguasai beberapa dewastawa yang ada
hubungannya dengan pembuatan air suci (tirta panglukatan).
110
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
111
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Terjemahan:
112
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
jauh lebih besar dan harus nanggap wayang serta diselesaikan oleh Dalang yang
ahli untuk itu. Dalang itu disebut Sang Mpu Leger. Adapun jenis upakara
bebanten yang diperlukan terdiri atas beberapa jenis sebagai berikut.
1. Mendirikan sanggah tutuan, dengan persembahan suci 2 soroh.
2. Di bawahnya dipersembahkan 1 soroh babangkit lengkap dengan guling
dan gelar sanga.
3. Caru Panca Sata 1 (satu) unit.
4. Banten tebasan bagi yang dibayuh.
5. Mendirikan Laapan sudut 3 dengan mempersembahkan suci 1 soroh,
sasantun 1, uang kepeng, sebuah nasi penek putih lima buah, dengan
daging ayam putih.
6. Sebuah sanggah cucuk 3 (tiga) buah ditempatkan pada batas kelir wayang
2, dengan lamak gantung-gantungan, banten dananan, kembang payas,
lenga wangi, burat wangi.
7. Banten untuk wayang; suci 1 soroh dengan dagingnya itik.
8. Satu pulagembal, sekar taman, canan pajengan, canang pengraos.
9. Sesantun serba empat, uang kepeng 1.700
10. Peras, Penyeneng, Segehan agung ditempatkan pada sebuah dulang,
dagingnya betutu.
11. Tirta panglukatan Sang Mpu Leger ditempatkan pada sebuah dulang,
dagingnya betutu.
12. Bunga 11 warna, duri-duri, sam-sam, dan wija kuning.
113
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
114
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
115
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
merupakan upaya mendidik agar masyarakat memahami bahwa setiap orang lahir
dengan membawa pengaruh dan buruk. Pengaruh baik dan buruk ini berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup yang bersangkutan sampai akhir hayatnya.
Umat yang menonton pertunjukan tersebut juga diarahkan agar tetap
menjaga kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan. Bentuk pementasan dari
pertunjukan im cukup sederhana sehingga menggiring pikiran manusia dalam
pikiran yang suci. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang yang
menyaksikan pementasan wayang kulit sapuh leger dijauhkan dari pikiran-pikiran
yang negatif atau porno, bandingkan dengan tari hiburan lainnya seperti joged
bwnbung, tentu akan sangat berbeda. Artinya, aspek berpikir suci (manacika
parisudha) diajarkan dalam pementasan wayang kulit sapuh leger. Pementasan
wayang kulit sapuh Ieger dalam upacara bayuh oton, bukan sematamata
ditujukan kepada yang menyelenggarakan, tetapi juga bagi masyarakat penonton.
Mengingat di dalamnya sarat dengan pesan moral agar mereka bisa mengambil
tauladan dalam bertingkah laku dalain kehidupan sehani-hari.
Wayang kulit sapuh leger adalah seni pertunjukan dengan lakon yang
mengetengahkan dialog di dalamnya. Dialog tersebut terjadi antara tokoh-tokoh
wayang misalnya, Bhatara Kala, Bhatara Guru, Twalen, dan lain-lain. Dialog itu
tentunya berdasarkan norma-norma misalnya, ada sor-singgih basa, tata krama
bertutur kata yang merupakan bagian utama dipelajari dalam etika Hindu dan
kebudayaan Bali sebagaimana dijelaskan dalarn Sarasarnuccava, sioka 75 tentang
etika bertutur kata, yakni tidak mencaci maki, tidak berkata-kata kasar, tidak
menfitnah, dan tidak ingkar terhadap janji. Etika selalu dikaitkan dengan
hubungan manusia dengan manusia lainnya, hidup serasi, selaras, dan seimbang di
dalam masyarakat Bertutur kata merupakan hal yang harus diperhatikan dalam
berintraksi dengan masyarakat lainnya karena kata-kata menduduki peranan
penting yang darinya lahir kebahagiaan juga derita bagi manusia Hal ini
dijelaskan dalam kakawin Nitisastra sebagai berikut.
wasista nimitanta manernu laksmi/
wasista nimitanta manumu duhka/
wasista nimitanta manemu mitra/
wasista nimitanta pati kapangguh/
116
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Terjemahan:
117
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
118
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
119
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
yang jahat atau tidak baik. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan orang Bali,
bahwa sifat baik, buruk, bijak atau jahat itu hanya dapat berlaku dengan
perantaraan mental dan perbuatan manusia.
Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat. Dalam mitos
diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Bhatara Kala yang tak
tertandingi oleh para dewa. Ini memberi petunjuk bahwa kuasa keteraturan,
kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari dewa sebenarya selalu terancam oleh
kuasa ketidakteraturan, kekacauan atau aspek negatif dalam diri manusia. Bhatara
Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat
melenyapkannya sama sekali karena Kala adalah aspek angkara atau negatif yang
bersumber dari pada dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi
angkara atau aspek negatif dalam diri manusia diperagakan melalui pentas dengan
membatasi waktu-waktu makannya (siang dan malam hari serta kelahiran pada
tumpek wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Batara Guru yang menjelma
menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa keangkara-murkaan
dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian.
Keteraturan dan kesucian itu secara tepat dan rapi diperagakan dalam
pentas Wayang Sapuh Leger dengan lakon Dewa Kala yang dilengkapi dengan
aneka ragam sesajen yang secara simbolik mewakili anak yang diruwat dan secara
total menyerahkan diri kepada Tuhan. Upacara lukatan/ruwatan dengan
pementasan wayang sarat dengan nilai-nilai luhur yang didalamnya terkandung
nilai pendidikan, moral, dan etika yang disampaikan secara simbolik metaforik.
Penyampaian pesan-pesan secara simbolik dimaksudkan agar nilai-nilai yang
diungkapkan dapat terpelihara kelestariannya, ini tentu akan sangat berbeda
apabila suatu pesan itu disampaikan sebagai informasi biasa.
Sebagai contoh, lahirnya Batara Kala sebagai akibat tak terkendalinya
nafsu birahi Batara Guru terbadap Dewi Uma ketika berada di atas punggung
lembu Andini. Cerita mi menurut Gunarta (45 tahun) jelas mengandung nilai etika
dan moral agar orang dalam segala tindakan dan perilaku tidak melanggar tata
susila atau norma-norma yang berlaku. Pesan seperti ini tentu akan berbeda
apabila hanya disampaikan dalam bentuk perintah atau larangan dengan misalnya
mengatakan jangan berbuat cabul, yang setelah terdengar beberapa saat orang
120
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
121
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
pencuci lainnya; (c) perkataan yang kotor harus diajarkan berkata-kata yang baik,
kata-kata halus dan budi bahasa yang baik; dan (d) pikiran yang kotor dan tidak
baik harus diperbaiki dan disucikan dengan membaca mantra dan kitab-kitab suci
Weda. ini juga bisa menjadi dasar pertimbangan bagi dilaksanakannya upacara
bayuh oton dengan pementasan wayang kulit sapuh leger dalam masyarakat
Hindu di bali termasuk masyarakat Hindu di Kota Denpasar. Seperti juga
ditegaskan oleh Purwa (51 tahun) bahwa pikiran kotor tidak dapat dibersihkan
dengan air seperti mencuci pakaian, tetapi haruslah dilakukan dengan membaca
kitab suci. Mengingat seorang anak yang lahir tidak bisa membaca maka
di1akukanlah bayuh oton dengan pemamentasan wayang kulit sapuh leger
khusnya bagi yang lahir pada saniscara (sabtu) wuku wayang (tumpek wayang).
Upacara bayuh oton dilaksanakan bagi anak yang lahir pada saniscara
(sabtu) wuku wayang (tumpek wayang) juga dengan alasan bahwa anak yang lahir
pada wuku tersebut dikatakan salah wadi, atau dianggap kelahiran salah. Murna
(65 tahun) dalam wawancara, 23 Mei 2009 menegaskan bahwa kelahiran salah
merupakan mengakuan akan adanya pengaruh buruk path setiap kelahiran. Makna
yang terkandung dan ungkapan mi adalah sebuah penyadaran bahwa kelahiran
manusia sesungguhnya papa karena setiap manusia lahir akibat ikatan karma yang
membelenggunya. Dalam keyakinan Hindu bahwa ikatan karmalah yang
membelenggu jiwa manusia sehingga dia harus lahir kembali berulang-ulang
sampai sang atman sadar akan hakikatnya, mencapai moksa. Dalam kelahirannya
manusia membawa karma wasana masing-masing dan inilah yang menyebabkan
kualitas manusia yang satu berbeda dengan yang lainnya. Kualitas diri yang
dibawa sejak lahir ini sesungguhnya yang akan menjadi potensi-potensi alamiah
manusia dan selanjutnya dikembangkan melalui proses pendidikan dan
pembelajaran sampai manusia itu menemukan jati dirinya yang akan berguna bagi
kehidupan jasmani dan rohaninya.
Pelaksanaan upacara bayuh oton atau upacara ruwatan pada umumnya
bermakna penyucian rohani sang anak dengan menghilangkan semua potensi
negatif yang dilambangkan sebagai Sanghyang Kala. Hal ini dapat dilihat dan
makna mantra-mantra yang digunakan dalam pelaksanaan upacara bayuh oton
yang pada dasarnya permohonan tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi Wasa
122
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
agar berkenan menghilangkan segala mala dan papa dari anak yang diupacara.
Ruwatan dilakukan dengan menggunakan empat jenis wayang, yaitu Tualen,
Kakayonan, Bhatara Guru, dan Sang Hyang Acintya. Tualen adalah simbol orang
tua, kakayonan adalah simbol dari alam semesta atau juga sebagai simbol pikiran
(kayun), Bhatara Guru adalah simbol sumber dan pengetahuan, dan Sanghyang
Acintya adalah simbol kekosongan, keadaan suci nirmala. Dalam melukat dengan
wayang digunakan empat jenis wayang, yaitu Tualen, Kekayonan, Bhatara Guru,
dan Sang Hyang Acintya yang memunculkan daya estetik yang tinggi. Semua
sosok wayang tersebut adalah sebuah simbologi agar yang diruat menjadi
dinetralkan melalui pengalaman estetik.
Boleh jadi simbol-simbol ini bermakna estetik bahwa penyucian dimulai
dari menyucikan benih kelahiran sang anak dan saudara empat (nyama pat) yang
lahir bersamanya dari rahim sang ibu, yaitu ari-ari, darah, air ketuban, dan pusar
sebagai sebuah siklus keindahan. Penyucian selanjutnya adalah mensucikan
pikiran sang anak dari pengaruh-pengaruh negatif sehingga nantinya mampu
menerima semua pengetahuan yang benar. Ketika semua pengetahuan yang benar
telah dimiliki oleh sang anak maka anak dalam kondisi suci, laksana kertas putih
bersih yang di atasnya dapat dituliskan pengetahuan apapun. Oleh karena upacara
ini adalah suci tentunya pengetahuan yang akan didapatkan adalah pengetahuan
yang benar. Artinya, pengetahuan yang benar hanya mungkin didapatkan jika
pikiran telah terbebas dari pengaruh-pengaruh negatif yang disebut sampah-
sampah pikiran.
Untuk menghilangkan semua sampah-sampah pikiran yang dapat
menghalangi munculnya potensi-potensi positif anak maka Hindu mengajarkan
pelaksanaan upacara keagamaan, yaitu upacara bayuh oton. Oleh karena diyakini
bahwa saniscara (sabtu) wuku wayang (tumpek wayang) membawa pengaruh
negatif pada kelahiran maka upacara bayuh oton bagi anak yang lahir pada
saniscara (sabtu) wuku wayang (tumpek wayang) dirangkaikan dengan
penientasan wayang kulit sapuh leger. Jadi, nilai pendidikan Hindu dalam upacara
bayuh oton dengan pementasan wayang kulit sapuh leger adalah pengembangan
potensi anak, yaitu usaha sadar dan terencana dari umat Hindu untuk
123
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
menghilangkan semua pengaruh negatif dalam diri anak sehingga potensi alamiah
yang dimiliki anak mampu dikembangkan melalui proses pendidikan Iebih lanjut.
Tujuan pendidikan seperti telah dirumuskan dalam Undang-Undang
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah agar peserta didik memimiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negana.
Pada prinsipnya tujuan tersebut tidak berbeda dengan tujuan pendidikan Hindu,
yaitu membentuk anak yang suputra. Tujuan ini berusaha diwujudkan oleh
masyarakat Hindu di Bali melalui pelaksanaan upacara manusa yadnya. Suputra
merupakan tujuan akhir dari pelaksanaan semua jenis upacara manusa yajna.
Seperti dijelaskan oleh Putra (2002) bahwa manusa yajna itu adalah ritual Agama
Hindu yang juga disebut Sarira Samskara, yaitu upacara untuk menyucikan
manusia sejak dalam kandungan ibu hingga perkawinannya dengan tujuan untuk
memanusiakan manusia, yaitu dengan menginisiasi manusia dari satu tahap hidup
sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status kemanusiaannya sampai menjadi
seorang anak yang suputra.
Usaha untuk menjadikan anak yang suputra menurut Hindu tidak hanya
melalui upacara-upacara keagamaan saja, melainkan juga melalui pendidikan
umum, baik formal, nonformal maupun informal. Sejalan dengan ini Sukarma
(2005) mengatakan bahwa pendidikan Hindu mencakup dua ranah ilmu, yaitu
ilmu-ilmu yang berguna bagi kehidupan (gelar urip) dan ilmu-ilmu spiritual
(gelar pati). Kedua hal ini mesti dipelajari oleh peserta didik untuk mencapai
kecerdasan intelektual (intellectual quotion), kecerdasan emosional (emotional
quotion), dan kecerdasan spiritual (spiritual quotion). Oleh karena itu Hindu
mengembangkan sebuah model pendidikan yang mengedepankan keseimbangan
antara niskala dan sekala. Pendidikan secara niskala (supra natural) dilakukan
melalui upacara keagamaan, khususnya manusa yadnya, sedangkan pengelahuan
aplikatif atau sekala dilakukan melalui pengembangan kognitif, afektif, dan
psikomotor yang didapatkan dari lembaga-lembaga pendidikan. Melalui dua
model pendidikan inilah maka suputra yang diharapkan dapat terwujud, yaitu
anak yang bijaksana, beriman, cerdas, sehat jasmani dan rohani, serta sikap hidup
mandiri. Tujuan inilah yang sesungguhnya ingin dicapai melalui upacara bayuh
124
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
oton dengan pementasan wayang kulit sapuh leger. Hal ini dapat dilihat dari
mantra yang digunakan dalam upacara bayuh oton sebagai berikut.
Om Sembah kepada Sang Amituru Kaki Bhagawan, Kaki Panyarikan,
Nini Panyarikan, demikian juga Hyang Dorakala hamba mohon
kepadaMu agar orang yang diupacarai (dibayuh oton) mendapat
suatu kebahagiaan, panjang urnur, sempurna, bebas dari penderitaan dan
dosa, tidak mengalami nasib buruk, serta lepas darin segala mala petaka
yang dibayuh oton, panjang umur dan sukses selalu.
3 PENUTUP
Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bentuk pementasan wayang Sapuh Leger meliputi tahapan-tahapan seperti berikut.
Pertama, terlebih dahulu dilaksanakan upacara prayascitta atau penyucian
kepada seluruh palinggih. Kedua, upacara inti dalam rangkaian upacara bayuh
oton. Selanjutnya dipentaskan oleh dalang samirana, dengan lakon Sudamala dan
terkahir pengelukatan. Pendidikan estetika seni Hindu yang terkandung dalam
125
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
pementasan wayang Sapuh Leger pada upacara bayuh oton, yakni pendidikan
yang berpusat pada aspek satyam, di mana wayang Sapuh Leger adalah sebagai
bagian dari prosesi yajna yang berhubungan dengan peningkatan status manusia
atau dewatanisasi. Selanjutnya, pendidikan berpusat pada aspek siwam atau
kesucian secara eksplisit disebutkan bahwa pementasan wayang Sapuh Leger
adalah sebagai media penyucian (pengeruatan). Adapun berikutnya adalah
pendidikan estetik berpusat pada keindahan, dan jelas bahwa dalam lakon wayang
selalu memunculkan nilai estetik.
Daftara Pustaka
Arwati, Ni Made Sri. 2005. Manusa Yadnya (Upacara Bayi Lahir Sampai
Ngotonin). Denpasar. Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana
Kehidupan Beragama Propinsi Bali.
Bali Post. Minggu 2 April 2006 hal. 11. UNESCO Beri Penghargaan Kepada
Wayang.
Bandem, I Made & I Wayan Dibya. 1984. Kesenian Bali. Denpasar: STSI
Denpasar
Denpost (10 Denpasar 2005) menulis judul, Thanatos Negatif, Faktor Orang
Bunuh Diri. Denpasar.
Denpost, Minggu 20 Agustus 2006. Upacara Bayuh Oton: Ketika Sang Kumara
diburu Sang Kala.
Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1996, Kamus bahasa
Indonesia-Bali, Denpasar: tanpa penerbit.
126
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Gunadha, Ida Bagus. 2006. Agama Hindu dan Kebudayaan Bali. Makalah.
Denpasar: HIS Tours & Travels.
127
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
oleh
Abstrak
Upaya menekan dampak negatif era globalisasi melalui peningkatan dan
pengembangan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal seperti masatua,
merupakan salah satu pengajaran bahasa dan sastra sekaligus pembentukan
karakter anak telah dilakukan di sekolah taman kanak-kanak khususnya di
Denpasar. Hal ini menimbulkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian
terhadap keterampilan masatua guru taman kanak-kanak tersebut.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu, 1) bagaimanakah
keterampilan masatua guru TK se-Kota Denpasar tahun pelajaran 2015/2016?, 2)
kesulitan-kesulitan apakah yang dialami guru taman TK saat masatua?, dan 3)
faktor apakah yang mempengaruhi kesulitan guru TK dalam masatua?. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui tingkat keterampilan guru TK di Kota
Denpasar dalam masatua dan kesulitan-kesulitan berikut faktor yang
mempengaruhi kesulitan guru TK khususnya di Kota Denpasar dalam masatua.
Guna mendukung hal tersebut di atas, diperlukan landasan teori seperti: 1)
berbicara, 2) manfaat berbicara, 3) langkah-langkah berbicara, 4) berbicara sesuai
anggah-ungguhing basa Bali, 5) apresiasi sastra, 5) kegiatan dalam apresiasi
sastra, 6) tahap-tahap apresiasi sastra, 7) cerita rakyat (satua), 8) pengertian cerita
rakyat, 9) ciri-ciri satua, 10) fungsi satua, 11) pengertian masatua, 12) hal-hal
yang harus diperhatikan agar menjadi pendongeng yang baik, 13) hal-hal yang
harus diperhatikan saat mendongeng, dan 14) kriteria penilaian mendongeng.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode tes, metode
observasi, teknik rekam, metode kuesioner, dan metode wawancara. Data yang
diperoleh diolah dengan metode analisis deskriptif kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan masatua guru TK
tergolong baik. Kesulitan-kesulitan yang dialami guru yaitu pemilihan diksi,
penggunaan anggah-ungguhing basa, penegasan istilah sulit, minimnya
media/alat pengajaran, penokohan, minimnya referensi cerita, dan kesulitan
meringkas cerita. Faktor penyebab kesulitan guru masatua yaitu faktor
pendidikan, faktor bahasa, faktor penokohan, dan faktor sarana dan prasarana
pembelajaran.
128
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Abstract
Efforts to suppress the negative effects of globalization through the
improvement and development of character building based on local wisdom
called as masatua, is one of the teaching of language and literature at the same
time the formation of character has been done at the school kindergartens,
especially in Denpasar. This raises the interest the author to conduct research on
masatua skills of kindergarten teachers are.
The problems discused in this study, namely 1) how is masatua skills of
Denpasar kindergarten teachers of lessons 2015/2016? 2) what kind of difficulties
they are have when masatua? 3) whether the factors that affect the difficulty
kindergarten teacher when masatua. The research objective was to determine the
skill level of kindergarten teacher in Denpasar in masatua and difficulties
following factors influencing the difficulty kindergarten teacher, especially in
Denpasar in masatua.
To support the above, the necessay theoretical basis, such as 1) speech, 2)
the benefits of speaking, 3) measures speaking, 4) speaks according anggah-
ungguhing basa Bali, 4) appreciation of literature, 5) activities in the
appreciation of literature, 6) stages appreciation of literature, 7) folklore (satua),
8) understanding folklore, 9) characteristics of balinese folklore (satua), 10) the
function of satua, 11) understanding masatua,12) things that must be considered
to be a good storyteller, 12) things that must be considered when storytelling, and
14) the assesment criteria storytelling. The methods used in data collection is test
method, the method of observation, recording techniques, questionnaires and
interview method. The data obtained were processed by the method of quantitative
descriptive analysis.
The results showed that the kindergarten teacher masatuai skills quite
well. The difficulties experienced by teachers are the choice of diction, usage of
anggah-ungguhing basa,confirmation of difficult term, the lack of media/teaching
tools, the characterizations, the lack of reference stories, and the difficulty of
summarizing the story. Factors causing difficulties kindergarten teachers when
masatua are the education factor, the language factor, characterization factor,
and factors of learning facilities and infrastructure.
1 Pendahuluan
Dampak negatif era globalisasi seiring pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat memudarkan nilai-nilai karakter adiluhung
generasi muda Bali yang berkembang melalui adat dan tradisi termasuk
menggeser keberadaan bahasa daerah Bali sebagai akar budaya Bali. Berbagai
upaya harus dilakukan untuk membentuk dan membangun kembali karakter
generasi muda Bali yang telah ternoda tersebut, salah satunya dengan
mengedepankan bahasa Ibu dalam berkomunikasi sehari-hari di samping bahasa
129
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
130
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
2 Metode Penelitian
Menurut Sugiyono (2014: 2), metode penelitian pada dasarnya merupakan
cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara
ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu 1)
rasional ( masuk akal), 2) empiris, (diamati oleh indera manusia), dan 3)
sistematis ( langkah-langkah yang dipergunakan bersifat logis). Sehubungan
dengan hal tersebut, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1)
metode penentuan subjek penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian, (3)
metode pengumpulan data, dan (4) metode pengolahan data.
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah guru-guru taman kanak-
kanak se-Kota Denpasar tahun pelajaran 2015/2016, sedangkan objek
penelitiannya adalah keterampilan bercerita (masatua) bahasa Bali. Dalam
penentuan subjek penelitian dibicarakan dua hal yaitu populasi dan sampel
penelitian. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2014).
Jadi, populasi tidak hanya menyangkut individu, akan tetapi termasuk objek dan
benda-benda alam lainnya, meliputi seluruh karakteristik yang dimiliki oleh
subjek dan objek penelitian.
Berdasarkan pernyataan di atas, yang dijadikan populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh sekolah taman kanak-kanak se-Kota Denpasar tahun pelajaran
2015/2016, sebagaimana tabel 2.1 berikut.
Jumlah Sekolah
No Kecamatan Jumlah Gugus (TK)
(1) (2) (3) (4)
1 Denpasar Timur 10 73
2 Denpasar Utara 9 73
3 Denpasar Selatan 9 69
4 Denpasar Barat 9 75
Jumlah 37 290
131
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Tabel 2.2 Sampel Penelitian Guru Taman Kanak-kanak Se-Kota Denpasar Tahun
Pelajaran 2015/2016
132
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
133
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Tabel 2.3 Skor Maksimal Ideal (SMI) Keterampilan Bercerita Bahasa Bali Guru
Taman Kanak-kanak Se-Kota Denpasar Tahun Pelajaran 2015/2016
134
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Tingkat penguasaan tersebut akan tercermin pada tinggi rendahnya skor mentah
yang dicapai.
Tabel 2.4 Kriteria Predikat Keterampilan Guru Bercerita (Masatua) bahasa Bali
Se-Kota.Denpasar Tahun Pelajaran 2015/2016
3 Pembahasan
Berdasarkan analisis data di atas, Adapun hasil penilaian (tes) terhadap 30
orang guru taman kanak-kanak yang dijadikan sampel penelitian dapat dilihat
pada tabel 3.1 berikut.
135
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Tabel. 3.1 Skor Standar dan Predikat yang Dicapai oleh Guru Taman Kanak-
.kanak Se-Kota Denpasar Tahun Pelajaran 2015/2016
Dapat diketahui jumlah skor standar (X) adalah 2160 dan jumlah sampel
penelitian adalah 30 orang. Sehingga berdasarkan rumus di atas, skor rata-rata
yang diperoleh adalah 72. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
keterampilan bercerita (masatua) bahasa Bali guru taman kanak-kanak se-Kota
Denpasar tahun pelajaran 2015/2016 adalah berpredikat baik karena angka 72
berada pada rentang nilai 71 - 85 dalam kriteria predikat.
136
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
Dari hasil kuesioner yang dilakukan terhadap guru taman kanak-kanak se-
Kota Denpasar tahun pelajaran 2015/2016 dalam bercerita (masatua) bahasa Bali
dapat diketahui bahwa semua guru taman kanak-kanak (100%) pernah dan senang
menyimak cerita (satua) bahasa Bali. Walaupun demikian, sebagian dari mereka
(20%) kurang memahami maksud dari cerita yang disimak. Menurut sebagian
besar dari mereka (93%), bercerita (masatua) bahasa Bali itu sulit karena mereka
sebagian besar (93%) tidak pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang
keterampilan bercerita. Mereka beranggapan bahwa, keterampilan bercerita
termasuk bercerita (masatua) bahasa Bali perlu diajarkan kepada guru termasuk
calon guru taman kanak-kanak.
Semua guru taman kanak-kanak gemar bercerita. Kegiatan bercerita
bahkan sering dilakukan kepada anak didiknya di sekolah. Namun, hanya
sebagian dari mereka (37%) yang sering bercerita (masatua) bahasa Bali karena
menurut sebagian besar dari mereka (93%) bercerita (masatua) bahasa Bali lebih
sulit dari bercerita dalam bahasa Indonesia (mendongeng). Menurut mereka,
adanya alat bantu pengajaran atau semacam alat peraga akan dapat memudahkan
mereka dalam bercerita. Kesulitan dalam memahami maksud cerita yang
dibawakan menjadi kendala yang berarti bagi guru taman kanak-kanak dalam
bercerita, mengingat kegemaran anak-anak mendengarkan cerita (satua) bahasa
Bali menjadi salah satu syarat mutlak pentingnya pengajaran bercerita (masatua)
137
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
bahasa Bali dilakukan kepada anak usia dini di sekolah, disamping hal-hal lain
yang seharusnya dapat diajarkan dan ditanamkan lewat pengajaran bercerita
(masatua) bahasa Bali.
Data hasil wawancara dikumpulkan bertujuan untuk lebih memperdalam
data kuesioner tentang kesulitan-kesulitan dan faktor-faktor penyebab kesulitan
guru taman kanak-kanak se-Kota Denpasar tahun pelajaran 2015/2016 dalam
bercerita (masatua) bahasa Bali.
Berdasarkan hasil analisis data wawancara , dapat diketahui kesulitan-
kesulitan yang dihadapi guru taman kanak-kanak se-Kota Denpasar tahun
pelajaran 2015/2016 dalam bercerita (masatua) bahasa Bali dapat dilihat pada
tabel 3.3 berikut.
Jumlah Persentase
No. Bentuk Kesulitan yang Dihadapi Guru TK Guru
(1) (2) (3) (4)
1 Pemilihan diksi 30 100%
2 Penggunaan anggah-ungguhing basa Bali 28 93%
3 Penegasan pada istilah-istilah sulit 25 83%
4 Minimnya alat peraga 22 70%
5 Penggambaran tokoh/penokohan 20 67%
6 Minimnya referensi/buku cerita 18 60%
7 Kesulitan meringkas cerita 5 17%
138
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
4 Penutup
4.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap guru taman kanak-kanak se-
Kota Denpasar tahun pelajaran 2015/2016 dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Keterampilan guru taman kanak-kanak dalam bercerita (masatua) bahasa
Bali se-Kota Denpasar tahun pelajaran 2015/2016 tergolong baik. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai rata-rata yang diperoleh guru dari hasil tes yaitu 72.
Angka 72 berada pada rentang nilai 71 - 85 dalam kriteria predikat
keterampilan guru bercerita (masatua) bahasa Bali.
2) Kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru taman kanak-kanak se-Kota
Denpasar tahun pelajaran 2015/2016 dalam bercerita (masatua) bahasa
Bali antara lain, (1) pemilihan diksi (100%), (2) penggunaan anggah-
ungguhing basa Bali (93%), (3) penegasan pada istilah-istilah sulit (83%),
(4) minimnya media/alat peraga yang sesuai dengan tema cerita (70%), (5)
penggambaran tokoh/penokohan (67%), (6) Minimnya referensi/buku
cerita (60%), dan (7) kesulitan meringkas cerita (17%).
3) Faktor penyebab kesulitan guru taman kanak-kanak se-Kota Denpasar
tahun pelajaran 2015/2016 dalam bercerita (masatua) bahasa Bali antara
lain (1) faktor bahasa (100%), (2) faktor pendidikan (93%), (3) faktor
sarana dan prasarana pembelajaran (70%), dan (4) faktor penokohan
(67%).
1.2 Saran-saran
Dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan sekaligus pembentukan
karakter anak melalui pengajaran bahasa dan sastra Bali khususnya satua Bali,
maka sebagai tindak lanjut dari penelitian yang dilaksanakan ada beberapa saran
yang disampaikan seperti berikut.
1) Lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) ataupun instansi terkait
lainnya agar senantiasa berupaya membentuk serta menciptakan tenaga
pendidik yang profesional dengan menanamkan dan mengembangkan
setiap potensi yang dimiliki oleh setiap guru ataupun calon guru,
khususnya guru taman kanak-kanak, salah satunya keterampilan bercerita
139
Stilistetika Tahun V Volume 9, November 2016
ISSN 2089-8460
DAFTAR RUJUKAN
Narbuko, Cholid., & Abu Achmadi. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara.
140
REPRESENTASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN ANTIKORUPSI PADA
CERPEN KARYA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 3 DENPASAR
TAHUN PEMBELAJARAN 2015/2016
oleh
Abstrak
Penelitian ini mengungkap representasi nilai-nilai pendidikan antikorupsi pada
cerpen karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar tahun pembelajaran 2015/2016.
Penelitian ini secara khusus mempunyai dua tujuan, yaitu pertama, mengetahui tema
minor cerpen karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar tahun pembelajaran
2015/2016. Kedua, untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan antikorupsi yang terkandung
dalam cerpen karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar tahun pembelajaran
2015/2016.
Penelitian ini berpijak pada teori wacana, pendidikan antikorupsi, dan cerpen.
Ketiga teori tersebut menjadi dasar penelitian ini. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan pragmatik. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah penugasan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kartu dan pencatatan, metode yang
digunakan untuk menganalisis data adalah deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini, cerpen-cerpen karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar
merepresentasikan empat bentuk korupsi, meliputi pertama, korupsi di pemerintahanan
dengan persentase 36%, kedua, korupsi di sekolah dengan persentase 30%, ketiga,
korupsi di perusahaan-perusahaan swasta dengan persentase 28%, dan keempat, korupsi
di rumah dengan persentase 6%. Dalam penelitian ini juga ditemukan sembilan nilai
pendidikan antikorupsi, yaitu kejujuran kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung
jawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Nilai yang paling banyak
ditemukan dalam cerpen siswa adalah nilai kejujuran.
Abstract
The research uncovers the representation of the values of anti-corruption
education in the short stories written by the eleventh graders of SMA Negeri 3
Denpasar Academic Year 2015/2016. The research has two specific aims, first to
find out the minor theme of the short stories written by the eleventh graders of
SMA Negeri 3 Denpasar Academic Year 2015/2016; second to find out the values
of anti-corruption education contained in the short stories written by the students.
141
The research was conducted on the basis of the theories of discourse, anti-
corruption education and short stories. The main method used in the research was
descriptive-qualitative with a pragmatic approach. The method of collecting data
was assignment with card and recording techniques. The method of analyzing
data was descriptive analysis.
The results of the research showed that the short stories written by the
eleventh graders of SMA Negeri 3 Denpasar represented four types of corruption,
namely first, corruption within the government with the percentage of 36%,
second, corruption in schools with the percentage of 30%, third corruption in
private companies with the percentage of 28% and fourth corruption in family
setting with the percentage of 6%. The research also found nine values of anti-
corruption education, namely honesty, care, independence, discipline,
responsibility, hard work, modesty, bravery, and justice. The most prominent
values found in the students short stories was honesty.
1 Pendahuluan
Dewasa ini kasus korupsi di Indonesia kian merebak. Korupsi tidak hanya
terjadi pada pemerintahan pusat, tetapi juga menyebar sampai ke daerah-daerah.
Kasus korupsi menjerat para menteri, gubernur, bupati, anggota DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat), DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), hakim, jaksa,
rektor, kepala sekolah, tokoh masyarakat di berbagai daerah, bahkan sampai ke
tingkat RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga).
Korupsi di Indonesia telah membudaya bahkan telah lahir sejak zaman
dahulu. Nyaris tak ada ruang di negeri ini yang bebas dari korupsi. Menurut
Nurdin (2014: 19), korupsi memang telah menjadi persoalan yang amat kronis.
Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah
kasus yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan modus yang
beragam. Kasus-kasus itu ada yang terekspos media, ada yang terselubung, dan
ada yang tidak muncul di permukaan. Tidaklah mengherankan jika Indonesia
berada di antara negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia.
Pada tahun 2002, Transparency International (TI) yang berbasis di
Berlin menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup keempat di dunia dari 113
negara yang diteliti. Menurut laporan harian Kompas pada tahun 2010, Indonesia
merupakan negara terkorup di Asia (Nurdin, 2014: 20).
142
Kenyataan di atas menjadi sebuah ironi, mengingat Indonesia merupakan
negara yang berasaskan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pentingnya memotong budaya korupsi sudah seharusnya ditanamkan dalam
kehidupan kita sejak dini. Tindakan korupsi ini terjadi karena krisis moral yang
tertanam pada setiap individu anak bangsa. Untuk itu, perlu diajarkan pendidikan
antikorupsi pada semua jenjang pendidikan.
Pendidikan menjadi target pemerintah untuk bisa memotong budaya
korupsi karena sejatinya pendidikan itu merupakan salah satu jalan yang bisa
ditempuh untuk pembentukan karakter. Oleh karena itu, sejak tahun 2012 Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
membuat program pendidikan antikorupsi di jenjang pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi (Wibowo, 2013: 37). Dengan diberlakukannya pendidikan
antikorupsi diharapkan anak-anak bisa menjadi pelopor pemberantas korupsi.
Agar bisa berjalan optimal, pendidikan antikorupsi sudah seharusnya didukung
oleh semua elemen bangsa. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi akan lebih
baik jika diselipkan di semua mata pelajaran. Salah satunya adalah mata pelajaran
bahasa Indonesia.
Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia siswa dituntut untuk menguasai
empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Di antara keempat keterampilan tersebut, keterampilan menulis merupakan
keterampilan terakhir yang penting dikuasai siswa. Dalam keterampilan menulis
guru bisa menyelipkan pelajaran antikorupsi.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA terdapat materi menulis.
Salah satunya adalah menulis cerpen. Menulis cerpen merupakan suatu wadah
bagi siswa untuk berkreativitas menuangkan semua ide atau gagasanya secara
imajinatif dengan mengombinasikan pengalaman kehidupan sehari-hari. Salah
satu langkah menumbuhkan kesadaran pentingnya menanamkan nilai-nilai
antikorupsi pada siswa adalah melalui sastra, yaitu mengajak siswa memproduksi
cerpen bertema antikorupsi. Melalui kegiatan menulis cerpen kita bisa mengetahui
pandangan siswa terhadap fenomena korupsi yang kian merebak.
Penelitian ini mengkaji nilai-nilai pendidikan antikorupsi pada cerpen
karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar. Pemilihan SMA Negeri 3
143
Denpasar didasari beberapa faktor, yakni pertama, SMA 3 Denpasar merupakan
salah satu sekolah yang memiliki reputasi sangat baik; kedua, kegiatan bersastra
cukup terjaga; ketiga, kampanye nilai-nilai anti korupsi sering dilakukan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis menyimpulkan
beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kecenderungan
tematik cerpen karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar tahun pelajaran
2015/2016?; (2) Bagaimanakah nilai-nilai antikorupsi yang terkandung dalam
cerpen karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar tahun pelajaran 2015/2016?.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi sastra siswa,
menggali potensi sastra siswa, melahirkan penulis-penulis muda yang berjiwa
jujur, dan mampu untuk mengkampanyekan nilai-nilai pendidikan antikorupsi.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menggambarkan internalisasi nilai-nilai
pendidikan antikorupsi pada siswa, menambah pengetahuan dan meningkatkan
kualitas berkreativitas siswa dalam dunia sastra dengan memasukkan unsur-unsur
sosial yang kian mencuat pada masyarakat sebagai suatu protes. Selain itu, Hasil
penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat luas dengan mengetahui
persepsi siswa terhadap korupsi. Masyarakat juga turut menyikapi kasus korupsi
dan ikut memberantas budaya korupsi dimulai dari pribadi masing-masing.
2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis pandangan deskriptif kualitatif. Menurut
Sukmadinata ( 2013: 60), penelitian deskriptif kualitatif sebagai suatu penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa,
aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual
maupun kelompok. Objek penelitian ini adalah kecenderungan tematik cerpen
siswa dan nilai-nilai pendidikan antikorupsi pada cerpen siswa. Instrumen utama
dalam penelitian ini adalah penulis sendiri dengan mengunakan kartu data untuk
mencatat tematik dan nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen siswa.
Populasi pada penelitian ini sebanyak 293 buah cerpen. Peneliti
mengunakan Purposive sampel dalam pengambilan sampel dengan kriteria
sebagai berikut; (1) Cerpen harus mengandung keutuhan sebuah teks cerpen.
Keutuhan yang dimaksud yaitu dalam sebuah cerpen harus memiliki unsur
144
pembangun secara lengkap; (2) cerpen itu harus mengandung nilai-nilai
pendidikan antikorupsi; (3). originalitas cerpen atau cerpen tidak terindikasi
plagiat. Berdasarkan kriteria pengambilan sampel di atas maka dalam penelitian
ini peneliti mengambil 50 cerpen yang memenuhi kriteria tersebut.
Metode pengumpulan data yaitu dokumentasi. Teknik pengumpulan data
mengunakan teknik baca, teknik catat dan kartu data. Untuk memperoleh data
dalam cerpen karya siswa peneliti harus membaca terlebih dahulu data yang akan
diperlukan dalam penelitian. Setelah cerpen karya siswa dibaca, dan memperoleh
data terkait nilai-nilai antikorupsi kemudian dicatat. Dalam kartu data berisikan
kutipan pernyataan tentang nilai-nilai antikorupsi. Kartu data dibuat dengan cara
membaca terlebih dahulu teks yang akan diteliti. Kutipan-kutipan terkait nilai-
nilai pendidikan antikorupsi kemudian dicatat dan di masukan ke dalam kartu
data. Teknik ini digunakan agar data yang berhasil dikumpulkan terjamin
kebenarannya dan berfungsi menghindari terjadinya kesalahan akibat faktor
kelupaan, mengingat terbatasnya kemampuan daya ingat penulis. Cerpen-cerpen
dibedah dengan mengunakan pendekatan pragmatik. Penyajian hasil analisis data
dalam penelitian ini dilakukan dengan metode formal dan metode informal.
Metode formal yaitu penyajian hasil analisis data dengan mengunakan bagan.
Metode Informal yaitu penyajian hasil pengelolaan data dengan mengunakan kata-
kata, rangkaian kalimat.
145
Persepsi siswa mengenai korupsi di sekolah berada pada peringkat kedua
dengan persentase 30%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa cenderung menulis
sesuai dengan apa yang mereka alami dan rasakan dalam kegiatan sekolah, artinya
tindakan korupsi masih banyak terjadi di sekolah dengan pelaku yang berbeda-
beda mulai dari siswa, pengurus OSIS, bendahara, kepala sekolah, dan penjaga
sekolah.
Persepsi siswa mengenai korupsi di perusahaan-perusahaan swasta.
Cerpen tentang korupsi di perusahaan-perusahaan swasta berada pada peringkat
ketiga dengan persentase 28%. Dengan persentase yang cukup tinggi ini
menunjukkan bahwa siswa juga beranggapan bahwa banyak terjadi korupsi di
dunia pekerjaan terutama di perusahaan-perusahaan swasta, artinya tindakan
korupsi juga merajalela di perusahaan-perusahaan swasta menjadi suatu sorotan
yang perlu di telusuri dan dibenahi.
Persepsi siswa mengenai korupsi di rumah berada pada peringkat terakhir
dengan persentase yang sangat kecil yakni 6%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa
kurang menyadari hal-hal kecil di dalam lingkungan keluarga yang berkaitan
dengan kasus korupsi, artinya siswa tidak menyadari akan sebagian aktivitas di
rumah yang terkadang sudah masuk dalam kategori korupsi.
Keempat bentuk korupsi tersebut dikemas secara menarik oleh siswa
dalam sebuah cerpen dengan mengunakan gaya bahasa yang mudah dipahami.
Tokoh-tokoh cerita juga disajikan secara beragam mulai dari tokoh protagonis dan
tokoh tambahanan yang menggambarkan keteladanan menanamkan nilai-nilai
pendidikan antikorupsi, sedangkan tokoh-tokoh antagonis yang tidak pantas
diidolakan juga dikemas secara menarik karakter tokohnya sehinga membuat
pembaca ingin terus membaca jalan cerita cerpen. Alur dan teknik penceritaan
dalam cerpen siswa, yaitu alur maju, alur mundur dan alur campuran. Pilihan diksi
dalam cerpen siswa mudah dipahami oleh pembaca. Di bawah ini akan
digambarkan karakteristik cerpen karya siswa.
Nilai-nilai pendidikan antikorupsi pada cerpen-cerpen karya siswa kelas
XI SMA Negeri 3 Denpasar mencerminkan realitas sosial yang terjadi pada
kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan semua nilai pendidikan antikorupsi
yang di kampanyekan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tergambar
146
pada cerpen-cerpen siswa. Namun demikian, nilai kejujuran paling banyak
ditemukan dalam semua cerpen siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
siswa tentang korupsi sudah cukup baik karena kejujuran berkaitan erat dengan
korupsi. Selanjutnya nilai-nilai pendidikan antikorupsi yang banyak ditemukan
dalam cerpen siswa, yaitu nilai kerja keras, kepedulian tanggung jawab,
kesederhanaan dan keadilan dan kedisiplinan. Keenam nilai pendidikan
antikorupsi tersebut lumayan banyak ditemukan pada cerpen siswa. Dua nilai
antikorupsi yang paling minim ditemukan dalam cerpen siswa, yaitu nilai
keberanian dan kemandirian. Kedua nilai tersebut hanya ditemukan pada tiga
cerpen.
4 Penutup
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, cerpen-cerpen karya siswa kelas XI SMA
Negeri 3 Denpasar Tahun Pelajaran 2015/2016 sangat kuat berisi tentang korupsi.
Pada umumnya tema mayor dalam cerpen karya siswa semuanya membahas
tentang korupsi, karena peneliti mengarahkan siswa membuat cerpen bertema
korupsi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setelah dianalis semua cerpen
ditemukan tema minor dari masing-masing cerpen siswa, yakni korupsi di
pemerintahan dengan persentase 36%, korupsi di sekolah dengan persentase 30%,
korupsi di perusahaan swasta dengan persentase 28%, dan korupsi di rumah
dengan persentase 6%. Nilai-nilai pendidikan antikorupsi pada cerpen-cerpen
karya siswa kelas XI SMA Negeri 3 Denpasar mencerminkan realitas sosial yang
terjadi pada kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan semua nilai pendidikan
antikorupsi yang di kampanyekan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
tergambar pada cerpen-cerpen siswa. Namun demikian, nilai kejujuran paling
banyak ditemukan dalam semua cerpen siswa. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan siswa tentang korupsi sudah cukup baik karena kejujuran berkaitan
erat dengan korupsi. Selanjutnya nilai-nilai pendidikan antikorupsi yang banyak
ditemukan dalam cerpen siswa, yaitu nilai kerja keras, kepedulian tanggung
jawab, kesederhanaan dan keadilan dan kedisiplinan. Keenam nilai pendidikan
antikorupsi tersebut lumayan banyak ditemukan pada cerpen siswa. Dua nilai
147
antikorupsi yang paling minim ditemukan dalam cerpen siswa, yaitu nilai
keberanian dan kemandirian. Kedua nilai tersebut hanya ditemukan pada tiga
cerpen.
4.2 Saran-saran
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, melalui tulisan
ini disampaikan beberapa saran yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas
menulis cerpen terutama bertajuk korupsi. Adapun saran-saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut.
Pertama, bagi siswa agar bisa mengasah kemampuan menulis cerpen
secara terus-menerus agar bisa mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Selain itu,
siswa dapat mengeksplorasi kemampuan tentang gejala-gelaja sosial yang ada di
masyarakat.
Kedua, bagi pembaca bisa mengetahui peresepsi siswa tentang korupsi.
Hampir sebagian dari mereka menganggap korupsi hanya semata-mata
mengambil uang yang bukan hak milik mereka. Pada cerpen-cerpen yang
dianalisis ditemukan bahwa korupsi adalah hal yang menjijikkan dan akan
berdampak buruk pada karir dan masa depan.
Ketiga, guru bahasa Indonesia yang mengajar di tempat penelitian ini
disarankan untuk memberikan pelatihan yang lebih banyak kepada siswa dalam
kegiatan menulis cerpen. Guru juga harus menjelaskan bentuk-bentuk korupsi
lainnya agar siswa mengetahui secara terperinci bentuk-bentuk serta dampak dari
perbuatan korupsi. Lebih lanjut guru dapat memilih cerpen bertema korupsi agar
bisa memberikan manfaat positif bagi siswa sehingga siswa tidak hanya
memperoleh hiburan saja, tetapi juga mendapatkan ilmu pengetahuan.
Keempat, bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang
sama agar dapat mengembangkan penelitian ini dari aspek atau sudut pandang
lain.
148
Daftar Pustaka
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana, Teori, Metode, dan Penerapannya pada
Wacana Media. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Karmini, Ni Nyoman. 2012. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Poststukturalisme Persfektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
149