DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul pengaruh standar
operasional prosedur budidaya terhadap pendapatan usahatani bunga krisan di
Desa Langensari Kecamatan Sukaraja Sukabumi adalah benar karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
ABSTRACT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
Pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MENEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul skripsi : Pengaruh Standar Operasional Prosedur Budidaya
Terhadap Pendapatan Usahatani Bunga Krisan di Desa
Langensari Kecamatan Sukaraja Sukabumi
Nama : Bambang Yoga Perdana
NIM : H34110008
Disetujui oleh
Disetujui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
merupakan hasil penelitian di lapangan yang dilaksanakan sejak bulan November
2014 sampai dengan bulan Februari 2015. Judul penelitian ini adalah Pengaruh
Standar Operasional Prosedur Budidaya terhadap Pendapatan Usahatani Bunga
Krisan di Desa Langensari Sukabumi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Amzul Rifin, SP.MA selaku
pembimbing, Dr Ir Ratna Winandi, MS dan Yanti Nuraeni Muflikh, SP selaku
dosen penguji yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ibu Ayang sebagai ibu kost di lokasi penelitian, Prof
Dr Budi Marwoto, MS. APU salah satu penyusun SOP budidaya krisan Badan
Penelitian Tanaman Hias, Bapak Yandi Rustandi selaku ketua Gapoktan Asri
Tani, Bapak H. Abdulah sebagai ketua RW Kampung Pasirhalang, Bapak Ujang
Saepuloh, Bapak Feri Ferdian, Bapak Ruslana, Farhat dan semua sahabat di
Kampung Pasirhalang yang telah memberi banyak informasi dan saran. Ungkapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua
Bapak Agus Koswara dan Ibu Erma Rohama serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya. Selain itu penulis juga berterimakasih kepada Riana
Puspa Putri yang telah banyak membantu selama penelitian, kepada teman-teman
Asrama Putra C1 lorong 7 (Ilham, Yaya, Tendy, David, Ikbal, Dana dll), teman-
teman Agribisnis angkatan 48, Teman-teman satu bimbingan skripsi (Opal,
Gilang, Kibo, Pingkan, Poppy) dan semua sahabat di IPB yang tidak bisa
disebutkan satu-satu. Terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
KERANGKA PEMIKIRAN 7
Kerangka Pemikiran Teoritis 7
Konsep Usahatani 7
Penerimaan Usahatani 8
Biaya Usahatani 8
Pendapatan Usahatani 9
Efisiensi Usahatani (R/C ratio) 9
Uji T Dua Sampel 10
Standar Operasional Prosedur Budidaya Krisan 10
Pedoman Budidaya yang Baik 11
Kerangka Pemikiran Operasional 12
METODE PENELITIAN 13
Lokasi dan Waktu Penelitian 13
Jenis dan Sumber Data 13
Metode Pengumpulan Data 13
Metode Pengolahan Data 13
Analisis Pendapatan Usahatani 13
Analisis Efisiensi Usahatani 14
Uji T Independen 14
Penilaian Penerapan SOP/GAP 16
Definisi Operasional dan Asumsi Dasar 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18
Gambaran Umum Desa Langensari 18
Kondisi Geografis 18
Kondisi Sosial 19
Karakteristik Petani Responden 20
Usia 20
Tingkat Pendidikan 21
HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Deskripsi Penerapan SOP Budidaya Krisan Petani Desa Langensari 22
Penilaian Tingkat Penerapan SOP Petani Krisan Desa Langensari 23
Kriteria Anjuran (A) 24
Kriteria Sangat Anjuran (SA) 26
Kriteria Wajib (W) 28
Perbandingan Kegiatan Usahatani dan Pascapanen 29
Penyiapan Lokasi Budidaya Krisan 29
Penyiapan Greenhouse 30
Penyiapan Lahan 33
Penyiapan Stek Pucuk (Bibit) 34
Penanaman 35
Pemeliharaan Tanaman 36
Panen 39
Pascapanen 41
Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Krisan 43
Lahan 43
Bibit 44
Pupuk 45
Obat-Obatan 47
Peralatan 51
Tenaga Kerja 53
Struktur Biaya Usahatani Krisan 55
Struktur Penerimaan Usahatani Krisan 56
Analisis Pendapatan Usahatani Krisan 57
Analisis Efisiensi Usahatani 57
Uji T Independen 58
KESIMPULAN DAN SARAN 60
DAFTAR PUSTAKA 61
RIWAYAT HIDUP 76
DAFTAR TABEL
1 Penyiapan greenhouse 30
2 Daya Lampu neon petani SOP dan non-SOP 32
3 Penyiapan tanah 34
4 Penyiapan stek pucuk 35
5 Penanaman bunga krisan 36
6 Proses pemanenan bunga krisan 41
7 Penggunaan pupuk kimia padat petani SOP dan non-SOP 46
8 Perbandingan harga beli pupuk padat kimia 46
9a Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP 49
9b Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP 49
10 Penggunaan pestisida padat petani SOP dan non-SOP 50
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dilihat dari nilai ekonominya, kontribusi krisan terhadap devisa negara pada
Desember 2013 adalah sebesar 71 459 USD kemudian pada periode Januari 2014
kontribusinya menjadi 64 122 USD. Nilai ini merupakan sumbangan devisa
terbesar kedua setelah anggrek pada subsektor florikultura (PUSDATIN, 2014).
Sentra produksi krisan Indonesia terletak di Jawa Barat, yang menyumbang
48 persen produksi krisan nasional (BPS, 2013). Tabel 2 menunjukan sentra
produksi krisan di Jawa Barat tersebar di beberapa wilayah kabupaten, salah
satunya di Sukabumi. Saat ini budidaya krisan Kabupaten Sukabumi menempati
produksi terbesar kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Cianjur.
Tabel 2 Produksi, luas tanam dan jumlah greenhouse budidaya krisan Jawa
Barat
Jumlah Luas Tanam Produksi/Musim
Kabupaten/Kota
Greenhouse (m2) (Tangkai)
Cianjur 1 210 812 000 41 834 240
Sukabumi 526 250 000 12 880 000
Bandung Barat 189 103 250 5 225 000
Bogor 26 18 000 777 500
Bandung 32 17 200 775 336
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Jawa Barat (2013)
krisan petani Desa Langensari tidak bermutu. Sehingga ketika bunga tersebut
dijual harganya menjadi rendah, yang akhirnya pendapatan petani pun menjadi
rendah.
Perumusan Masalah
Bentuk tidak diterapkannya SOP oleh petani Desa Langensari dapat dilihat
mulai dari proses penyiapan sarana prasaran, proses produksi hingga panen dan
pascapanen. Dalam penyiapan sarana prasaran misalnya saja penyiapan
greenhouse. Masih banyak petani yang tidak mengikuti SOP terutama pada bahan
penutup dinding greenhouse yang digunakan. Bahan penutup dinding greenhouse
anjuran SOP adalah bahan yang dapat menjaga sirkulasi udara, seperti yang
terbuat dari net screen atau ram kawat. Namun saat ini banyak petani yang masih
menggunakan plastik sebagai bahan penutup dinding greenhouse, bahkan ada
yang tidak menggunakan penutup dinding sama sekali. Dalam proses produksi
bentuk tidak diterapkannya SOP terlihat dari pemberian pupuk dan kapur petanian
yang tidak sesuai dosis anjuran, penggunaan bibit tidak berkualitas dan sanitasi
lingkungan yang tidak dilakukan dengan cara yang benar. Kemudian dalam
pascapanen bentuk tidak diterapkannya SOP dapat terlihat dari perlakuan bunga
krisan setelah panen yang kurang baik sehingga menyebabkan banyak bunga yang
rusak sebelum sampai ke konsumen.
Dampak langsung tidak diterapkannya SOP oleh petani krisan Desa
Langensari menjadikan mutu krisan yang dihasilkan menjadi rendah. Mutu yang
rendah membuat harga jual menjadi murah yang akhirnya penerimaan petani
menurun. Rendahnya mutu juga mengakibatkan kuantitas penjualan krisan
berkurang, karena bunga krisan bermutu rendah cenderung mudah rusak saat
dilakukan perlakuan pada saat panen dan pascapanen sehingga tidak banyak
bunga yang dapat dijual. Selain itu krisan mutu rendah juga membuat petani
kebingungan mencari pembeli, karena banyak konsumen yang tidak mau
menerima bunga dengan kualitas rendah. Disisi lain, tingkat kesegaran bunga
krisan hanya dapat bertahan satu sampai dua minggu setelah panen, jika semakin
lama dibiarkan maka mutunya akan semakin menurun. Keadaan ini memaksa
petani menjual bunga krisan yang sudah dipanen walaupun dengan harga yang
rendah. Pada akhirnya dengan tidak diterapkannya SOP membuat usaha budidaya
krisan menjadi kurang menguntungkan.
Dampak lebih lanjut, karena usaha budidaya krisan kurang menguntungkan
banyak petani krisan Desa Langensari meninggalkan usahanya dan mengganti
dengan menanam komoditas lain. Bahkan ada sebagian petani yang beralih
profesi menjadi tukang ojek, karyawan pabrik dan kerja cathering. Keadaan ini
menambah rentetan masalah yang dihadapi petani, karena dengan trend beralih
profesi menyebabkan tenaga kerja menjadi sulit didapatkan terutama untuk
budidaya tanaman krisan. Tidak hanya sampai disitu, sulitnya mendapatkan
tenaga kerja membuat tenaga kerja yang sudah ada menjadi naik harganya.
Hasilnya untuk memproduksi bunga krisan akan membutuhkan biaya lebih tinggi
dari sebelumnya. Jika diasumsikan modal petani tetap maka dengan semakin
tingginya harga tenaga kerja akan membuat produksi secara keseluruhan menurun
4
di Desa Langensari. Oleh karena itu penerapan SOP budidaya krisan perlu
digalakan agar tidak terjadi permasalahan seperti yang saat ini terjadi.
Berdasarkan permasalahan di atas diketahui bahwa SOP budidaya
mempengaruhi mutu bunga yang akhirnya diduga berdampak pula terhadap
pendapatan usahatani dan produksi bunga krisan Desa Langensari. Tingkat
penerapan SOP budidaya krisan petani Desa Langensari masih rendah karena ada
anggapan dengan menerapkan SOP budidaya hanya menambah biaya seperti
untuk penggunaan bibit berkualitas, sistem penerangan yang prima, penggunaan
pestisida berkualitas, hingga manajemen tenaga kerja yang efektif. Namun disisi
lain penerapan SOP budidaya juga dipercaya dapat meningkatkan penerimaan
petani melalui peningkatan harga jual dari produksi krisan bermutu yang
dihasilkan. Sehingga muncul keraguan apakah penerapan SOP budidaya krisan
terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani atau menurukan pendapatan
petani akibat peningkatan biaya operasional. Oleh karena itu belum dapat
dibuktikan apakah penerapan SOP memberikan dampak positif atau sebaliknya
terhadap pendapatan usahatani bunga krisan. Untuk itu peningkatan penerimaan
dan biaya terkait penerapan SOP budidaya krisan perlu dianalisis lebih mendalam,
untuk memberikan informasi yang lengkap apakah penerepan SOP ini akan
menguntungkan atau tidak jika dlihat dari pendapatan usahatani yang dihasilkan.
Berdasarkan permasalahan tersebut rumusan masalah yang ingin diteliti adalah:
1. Bagaimana pengaruh SOP budidaya terhadap biaya, penerimaan dan
pendapatan usahatani bunga krisan di Desa Langensarai Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Sukabumi?
2. Bagaimana perbandingan biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani
krisan antara petani yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan
SOP budidaya krisan di Desa Langensarai Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Sukabumi?
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Krisan adalah tanaman perdu dengan sebutan lain seruni atau bunga emas
(golden flower), pertama kali didudidayakan di Cina sebagai tanaman hias dan
obat (Oktavia, 2002). Bunga potong krisan merupakan komoditas unggulan
subsetor florikultura yang banyak diminati dekorator, florist, hotel, restoran
5
maupun rumah tangga. Kebutuhan bunga krisan dalam rangkaian bunga mencapai
30 sampai 65 persen, penggunaannya yang tinggi karena bentuk mahkota dan
warna yang bagus, bunga ini juga termasuk murah harganya. Masa panen tanaman
ini cukup singkat, sekitar 3-4 bulan kuncup bunga sudah bermunculan (Direktorat
Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2013). Saat ini bunga potong krisan
dipasar nasional cukup populer dan menduduki urutan tertinggi kedua setelah
anggrek (PUSDATIN, 2014). Pemasaran bunga krisan di Indonesia melalui
beberapa saluran tataniaga, Purwono (2014) melakukan analisis tataniaga bunga
krisan di Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur hasilnya menunjukan terdapat
empat saluran tataniaga bunga krisan. saluran yang memberikan keuntungan
terbesar pada petani adalah saluran III yaitu dari petani ke pedagang besar (grosir)
dan terakhir ke konsumen akhir. Dimana dengan saluran tersebut petani
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 473 per tangkai dengan nilai marjin sebesar
Rp. 1 313 per tangkai.
Kualitas dan mutu bunga krisan potong adalah faktor yang sangat
mempengaruhi harga jual (Sari, 2010). Karena mutu adalah faktor yang
menentukan segmen pasar yang akhirnya berpengaruh terhadap harga jual yang
diterima petani. Krisan dengan kualitas tinggi dengan grade AA atau A biasanya
untuk segmen pasar ekonomi kelas atas, semakin berkualitas harganya akan
semakin tinggi (Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2013). Untuk
itu peningkatan produksi bunga krisan harus disertai dengan perbaikan teknologi
budidaya atau Standar Operasional prosedur (SOP) untuk meningkatkan mutu
produksi dan harga jual produk. Menurut Sandriawati, et al (2013) Terdapat
beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya
bunga krisan potong seperti luas lahan, pendidikan formal, pendidikan Non
Formal, tingkat partisifasi dalam kelompk tani, sumber informasi, tingkat
kosmopolitan, sifat usahatani, keadaan kelompok tani dan kearifan penyuluh.
Faktor internal dan eksternal kategori tinggi yang berpengaruh terhadap penerapan
teknologi budidaya adalah pendidikan non formal, tingkat partisifasi petani dalam
kelompok tani, sumber informasi dan keadaan kelompok tani.
Standar operasional prosedur (SOP) budidaya krisan dapat menjadi acuan
dasar bagi petani untuk mendapat produk krisan potong yang baik, bermutu
tinggi, efisien dan ramah lingkungan (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012).
Penerapan SOP budidaya yang baik dan benar akan menentukan mutu produk
yang dihasilkan, karena dalam SOP budidaya krisan dimuat tatacara penyiapan
sarana dan prasarana produksi, proses produksi, panen dan pasca panen,
penentuan standar mutu hingga pencatatan (Direktorat Budidaya dan Pascapanen
Florikultura, 2012). Salah satu aspek penting dalam SOP budidaya adalah
penanganan panen serta pasca panen, hasil bunga krisan potong memiliki rata-rata
persentase grade A (54.2%) lebih tinggi dibandingkan dengan persentase
B(22.8%) dan grade C (18.3%) dengan penanganan panen dan pasca panen yang
baik (Syaifurrahmah, 2011). Aspek penting dalam penanganan pascapanen adalah
peningkatan kesegaran bunga krisan, menurut Suradinata (2012) penggunaan
Benzyl Amino Purine (BAP) dapat meningkatkan kesegaran bunga krisan.
Penggunaan BAP mampu mempertahankan kualitas bunga krisan dengan cara
menghambat terjadinya proses perubahan warna mahkota dan cakram bunga,
memperpanjang bunga cakram mekar dan memperpanjang lama bunga mekar.
Penelitian lain tentang mempertahankan kesegaran bunga krisan pada proses
6
tunai bernilai 3.06 sementara R/C ratio total bernilai 2.46. Begitupun penelitian
Hartati (2010) juga masih mengenai penerapan SOP, komoditas yang diteliti
adalah mangga gedong gincu di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa
Barat. Hasilnya menunjukan terdapat perbedaan keragaan usahatani antara petani
SOP dan non-SOP. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada aktivitas pemupukan,
pemangkasan, penyiangan, pengairan, pengendalian OPT, pemanenan hingga
pascapanen. Dari segi biaya, petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP.
Namun dari segi penerimaan petani SOP juga lebih tinggi dibanding petani non-
SOP, hal ini dikarenakan petani SOP dapat melakukan pemanenan diluar musim
karena penerapan standar operasional prosedur (SOP). Kemudian penelitian
terkait penerapan SOP pada komoditas petanian juga dilakukan oleh Dalimunthe
(2008), komoditas yang diteliti adalah Nenas. Hasilnya menunjukan bahwa
penerapan SOP terbukti dapat meningkatkan produksi dan produktivitas serta
kualitas hasil yang akan meningkatkan harga jual bagi petani. Begitupun jika
dilihat dari nilai pendapatan, pendapatan atas biaya total petani nenas SOP sebesar
Rp. 22 635 500 sementara pendapatan atas biaya tunai Rp. 36 400 500 sedangkan
pada petani non-SOP pendapatan total sebesar Rp. 17 720 000 sementara
pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 26 165 000.
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Usahatani
Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan sumberdaya yang ada dengan efektif dan efisien untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Efektif bila petani
menggunakan sumberdaya yang ada sebaik-baiknya dan efisien jika pemanfaatan
sumberdaya menghasilkan output yang melebihi input (Soekartawi, 2006).
Analisis usahatani bermanfaat tidak hanya untuk petani tetapi juga untuk
penyuluh pertanian, para mahasiswa dan juga pihak lain yang berkepentingan
terhadap analisis usahatani. Menurut Soekartawi, et al (2011) ada empat elemen
penting yang diperlukan dalam penelitian usahatani yang efektif yaitu: 1)
pengetahuan yang cukup mengenai teori, 2) pengetahuan praktis, 3) strategi
penelitian yang efetif dan sumberdaya penelitian yang cukup, 4) administrasi
penelitian.
Usahatani juga dapat diartikan bagaimana seseorang mengusahakan dan
mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai
modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Usahatani merupakan
ilmu yang mempelajari cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan
mengkoordinasikan faktor produksi sehingga menghasilkan produksi seefektif dan
seefisien mungkin (Suratiyah, 2006). Kemudian usahatani juga dapat dikatakan
sebagai ilmu terapan yang mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya
secara efisien dan efektif pada suatu usaha pertanian agar diperoleh hasil
maksimal (Shinta, 2011).
8
Penerimaan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah nilai dari perkalian antara total produksi
dengan harga satuan produk usahatani (Hernanto, 1991). Total produksi dalam
usahatani dapat berupa produk yang dijual maupun produk yang tidak dijual.
Produk yang tidak dijual misalnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga,
digunakan kembali dalam usahatani, produk yang digunakan untuk pembayaran
dan produk yang disimpan digudang pada akhir tahun (Soekartawi, 2011).
Sehingga dalam hal ini penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Penerimaan tunai (PT)
Penerimaan tunai usahatani adalah nilai produk yang dijual petani.
Penerimaan total (TR)
Nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik nilai produk
yang dijual (PT) maupun nilai produk yang tidak dijual (PNJ).
Keterangan:
P = harga produk
Q = produksi total (KJ + KNJ)
KJ = produk yang dijual
KNJ = produk yang tidak dijual
PT = penerimaan tunai
PNT = penerimaan tidak tunai
Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai dalam
proses produksi tetapi tidak termasuk tenaga kerja petani. Kemudian dalam ilmu
usahatani biaya juga dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap dan tidak terpengaruh oleh
jumlah produksi, contohnya adalah biaya untuk pajak. Biaya variabel adalah biaya
yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi, contohnya biaya untuk tenaga
kerja, pupuk dan lain-lain (Soekartawi 2006, 2011).
Pengembangan konsep biaya dalam usahatani juga dikemukakan Hernanto
(1991), bahwa biaya usahatani dapat juga diklasifikasikan menjadi biaya tunai dan
biaya non-tunai. Biaya tunai didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan
untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani, seperti biaya pembelian sarana
produksi, biaya pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan serta biaya upah tenaga
kerja. Biaya non-tunai merupakan nilai pemakaian barang dan jasa yang
dihasilkan yang berasal dari usahatani itu sendiri, seperti penggunaan tenaga kerja
dalam keluarga, penggunaan pupuk kompos yang berasal serasah daun komoditas
yang diusahakan, penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri dan lain
sebagainya.
9
Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara total penerimaan dan semua
biaya. Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani
dari pengunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri
atau modal pinjaman yang diinvestasikan dalam kegiatan usahtani (Soekartawi
2006, 2011).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan dan biaya dalam
usahatani (Suratiyah, 2011), yaitu:
Faktor internal dan faktor eksternal
Faktor internal seperti umur petani, pendidikan, pengalaman,
keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Faktor
eksternal seperti input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan
dan harga)
Faktor manajemen
Petani sebagai manajer harus dapat mengambil berbagai pertimbangan
ekonomi sehingga dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Mengingat
faktor internal tertentu dan faktor eksternal yang selalu berubah-ubah.
Pendapatan usahatani merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat
dipakai membandingkan penampilan beberapa usahatani (Soekartawi, 2011).
Namun perlu diperhatikan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu menunjukan
usahatani berjalan efisien, karena bisa saja pendapatan usahatani yang besar juga
diimbangi oleh biaya yang besar pula. Sehingga dalam proses pembandingan
penampilan usahatani perlu digunakan ukuran efisiensi usahatani seperti R/C
ratio.
Keterangan:
R = penerimaan
C = biaya
Py = harga output
Y = output
FC = biaya tetap
VC = biaya tidak tetap (variable cost)
Nilai R/C ratio dapat menunjukan ukuran efisiensi suatu usahatani. Semakin
besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan. Rasio antara besar
penerimaan dengan total biaya (R/C) dalam usahatani bisa digunakan untuk
melihat apakah kegiatan usahatani menguntungkan (profitable) atau tidak. Nilai
R/C menunjukan besaran penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang
dikeluarkan dalam produksi usahatani. Jika nilai R/C meningkat maka
menunjukan adanya peningkatan penerimaan dan semakin efisien biaya yang
10
digunakan. Nilai R/C > 1, menujukan bahwa penerimaan lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkan sehingga usaha menguntungkan atau profitable untuk
dijalankan. Nilai R/C = 1, menunjukkan bahwa penerimaan sama dengan biaya
yang dikeluarkan atau usaha berada pada posisi impas. Sedangkan nilai R/C < 1,
menunjukkan bahwa penerimaan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan
sehingga usaha yang dijalankan tidak menguntungkan.
Tujuan akhir yang ingin diperoleh petani dalam usahanya adalah pendapatan
yang maksimum. Namun mutu bunga krisan yang dihasilkan petani Desa
Langensari masih beragam, karena penerapan SOP yang belum diterapkan secara
menyeluruh oleh petani Desa Langensari. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi
tingkat pendaptan yang diterima oleh para petani. Karena setiap mutu memiliki
segmen pasar yang berbeda, yang pada akhirnya juga mempengaruhi harga.
Berdasarkan uraian tersebut, kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini
dapat dilihat gambar dibawah ini:
13
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan petani bunga krisan
Desa Langensari. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur terkait
seperti data dari BPS, Dinas Pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Indonesia, Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura serta BP3K
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi.
=
14
Keterangan:
tunai = Pendapatan Tunai usahatani krisan
TR = penerimaan total usahatani
BTU = biaya tunai usahatani krisan
Pendapatan atas biaya total dirumuskan sebagai berikut:
=
Keterangan:
Pendapatan yang besar tak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Oleh
karena itu analisa pendapatan perlu diikuti dengan pengukuran efisiensi. R/C rasio
merupakan salah satu ukuran efisiensi yang menggambarkan penerimaan untuk
tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio).
Pengukuran efisiensi masing-masing usahatani terhadap setiap penggunaan
satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio antara jumlah penerimaan
dengan jumlah biaya (R/C). R/C rasio yang dihitung dalam analisis ini terdiri dari
R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total, yang secara sederhana dapat
diturunkan dari rumus:
Keterangan:
R = Revenue atau penerimaan budidaya krisan (Rp)
C = Cost atau pengeluaran/biaya budidaya krisan (Rp)
Nilai R/C secara teoritis menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan akan memperoleh penerimaan, jika R/C rasio >1 maka kegiatan
usahatani menguntungkan untuk dijalankan. Akan tetapi apabila R/C <1 maka
kegiatan usahatani tidak menguntungkan untuk dijalankan.
Uji T Independen
Uji beda yang digunakan dalam penelitian ini adalah Independent Samples
T test. Uji statistik ini berguna untuk melihat perbedaan biaya, penerimaan dan
pendapatan antara petani yang menerapkan SOP dan petani yang tidak
menerapkan SOP budidaya bunga krisan. Dengan cara menguji perbedaan mean
15
pendapatan dari dua sampel yang saling bebas atau tidak berhubungan. Dimana
peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam dari sampel bebas tersebut,
asumsi lain yang digunakan pada pengujian ini adalah sampel menyebar normal.
Menurut Sugiyono (2013) terdapat dua formula uji-t independen, yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Rumus 1: seperated varian Rumus 2: polled varian
= =
2 2 ( 1) 2 + ( 1) 2 1 1
+ ( + )
+ 2
Varian dan Standar deviasi pendapatan petani (SOP dan non SOP) dicari
dengan rumus (Nazir, 2003):
( )2 ( )2
= =
1 1
= =
dipanen (satu siklus produksi) di daerah penelitian adalah selama 3.5 bulan
atau 105 hari.
10. Harga input serta output yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
harga yang berlaku pada saat penelitian dan dinyatakan konstan.
Kondisi Geografis
Desa Langensari merupakan salah satu dari sembilan desa yang berada di
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Desa ini memiliki batas-
batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Taman Nasional Gede Pangrango
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pasirhalang
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cisarua dan Desa Limbangan
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Salawi dan Desa Margaluyu
Kondisi iklim Desa Langensari adalah iklim tropik dengan tipe iklim B
(Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan 2 805 mm dan hari hujan 144
hari, suhu udara berkisar antara 20-30 oC dengan kelembaban udara 85-89 persen.
Bentuk lahan Desa Langensari bergelombang hingga gunung. Bentuk
bergelombang sampai berbukit dengan lereng 15-40 persen seluas 42.7 persen
dan berbukit sampai bergunung dengan lereng lebih dari 40 persen seluas 25.9
persen.
Tabel 4 menunjukan total luas lahan Desa Langensari adalah 454 Ha yang
terbagi menjadi Tanah sawah, tanah kering (tegal / ladang dan pemukiman), tanah
perkebunan, fasilitas umum dan hutan. Pemanfaatan paling besar adalah untuk
tanah sawah yaitu sebesar 32.38 persen dan untuk tegal atau ladang sebesar 28.63
persen. Hal ini menunjukan Desa Langensari memiliki potensi sektor pertanian
yang cukup besar. Jenis tanaman yang dibudidayakan di Desa Langensari
dikelompokan menjadi tiga sektor utama, yaitu tanaman pangan seperti padi dan
jagung, tanaman bunga (florikultura) dan tanaman sayuran (hortikultura).
Kondisi Sosial
Jumlah penduduk Desa Langensari sebanyak 9 504 jiwa. Jumlah ini terdiri
dari laki-laki 4 807 jiwa dan perempuan 4 697 jiwa dengan jumlah keluarga
sebanyak 2 843. Dari segi pendidikan setengah masyarakat Desa Langensari
merupakan tamatan sekolah dasar atau sederajat (SD) yaitu sebanyak 50.27
persen. Kemudian yang tidak tamat SD sebanyak 13.99 persen, SLTP sederajat
20
19.51 persen, SLTA sederajat 14.37 persen dan hanya sebagian kecil yang
mengenyam bangku kuliah yaitu sebanyak 1.87 persen (Tabel 6).
Usia
Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas bekerja,
untuk itu perlu dideskripsikan usia petani yang menjadi responden. Tabel 7
menunjukan perbandingan usia petani SOP dan non-SOP. Persentase usia petani
yang menerapkan SOP umumnya lebih tinggi pada usia-usia muda, sebaliknya
petani non-SOP persentase usia petaninya lebih tinggi pada usia-usia yang sudah
relatif tua (diatas 50 tahun) yaitu sebanyak 36 persen. Hal ini dikarenakan, petani
berusia muda cenderung lebih aktif mengikuti pertemuan dan pelatihan yang
dilakukan oleh pihak Gapoktan maupun BP3K mengenai cara budidaya yang baik
dan benar sesuai SOP. Pada usia yang relatif muda mereka cenderung lebih aktif
sehingga pertemuan terkait cara budidaya yang baik dan benar sesuai SOP
cenderung lebih banyak mereka dapatkan, sehingga pengetahuan mengenai cara
budidaya sesuai SOP cenderung lebih banyak mereka dapatkan. Sebaliknya petani
berusia relatif tua (diatas 50 tahun) cenderung lebih pasif dan malas dalam
mengikuti pertemuan dan pelatihan yang dilakukan baik oleh Gapoktan maupun
BP3K mengenai cara budidaya yang baik dan benar sesuai SOP. Sehingga tingkat
21
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan dan tingkat penerapan
teknologi dalam melakukan kegiatan usahatani. Begitupula dalam hal ini, tingkat
pendidikan juga berpengaruh terhadap penerapan SOP. Tabel 8 memperlihatkan
baik petani SOP maupun non-SOP sebagian besar tingkat pendidikannya adalah
SD. Pada petani SOP tingkat pendidikan SD sebanyak 50 persen sedangkan petani
non-SOP sebanyak 68 persen. Sedangkan Persentase tingkat pendidikan SMP dan
SMA petani SOP cenderung lebih besar dibanding petani non-SOP. Persentase
tingkat pendidikan SMP petani SOP sebesar 20 persen sedangkan petani non-SOP
sebesar 12 persen. Untuk persentase tingkat pendidikan SMA petani SOP sebesar
30 persen sedangkan petani non-SOP sebesar 20 persen.
Sehingga terlihat semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar pula
kemungkinan petani tersebut menerapkan SOP. Walaupun saat ini sebagian besar
tingkat pendidikan petani SOP maupun non-SOP adalah SD namun jika kita
bandingkan antara petani SOP dan non-SOP, tingkat pendidikan petani SOP
secara persentase lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Terlihat dari nilai
persentase tingkat pendidikan SMP dan SMA petani SOP yang lebih tinggi
dibanding petani non-SOP.
Lanjutan Tabel 10 Perbandingan penerapan kriteria anjuran (A) petani SOP dan non-
SOP
Kegiatan Nomor Anjuran Petani SOP Petani Non-SOP Total Petani
Penggunaan
pupuk (kebutuhan 79 90 92 91
nutrisi)
Penanganan
84 90 20 40
bahan kimia
Pengemasan 86 100 32 51
Penggunaan
92 100 100 100
alsintan
Perawatan
93 90 68 74
alsintan
Bukti evaluasi
100 0 0 0
internal
Bukti tindak
101 0 0 0
perbaikan
Tabel 11 Perbandingan penerapan kriteria sangat anjuran (SA) petani SOP dan non-SOP
No Petani
No Petani Petani Total Petani Total
Kegiatan Kegiatan anjura Non-
Anjuran SOP Non-SOP Petani SOP Petani
n SOP
Pemilihan lokasi 3 10 0 3 Penyimpanan 55 50 48 49
pestisida
Penyiapan lahan 8 100 100 100 56 0 4 3
11 80 84 83 58 0 0 0
20 10 4 6 Pengairan 67 100 96 97
Teknik 32 70 24 37 72 0 0 0
menanam
Jenis pupuk 33 100 100 100 Kebersihan 80 0 0 0
34 100 92 94 81 90 68 74
42 100 28 49 Penyimpanan 89 90 36 51
Penyimpanan 50 100 88 91 97 0 0 0
pestisida
51 100 84 89 pencatatan 98 50 0 14
53 90 84 86 99 0 0 0
54 100 96 97
28
Tabel 12 Perbandingan penerapan kriteria wajib (W) petani SOP dan non-SOP
terdapat perbedaan yang berarti antara kelompok petani SOP maupun non-SOP
dalam penyiapan lokasi budidaya krisan. Karena baik petani SOP maupun non-
SOP lokasi budidayanya masih terletak pada daerah yang sama yaitu Desa
Langensari.
Penyiapan Greenhouse
Umumnya baik petani SOP maupun non-SOP seluruhnya sudah
menggunakan greenhouse dalam budidaya bunga krisan. Perbedaannya terletak
pada konstruksi bangunan serta sarana pendukung greenhouse pada keduanya.
Dari segi penggunaan bahan konstruksi greenhouse petani SOP menggunakan
gombong lebih banyak dari pada petani non-SOP. Gombong itu sendiri adalah
bambu berukuran besar yang digunakan sebagai tiang kerangka greenhouse.
Penggunaan gombong pada petani SOP lebih banyak disebabkan sebagian besar
kerangka tiang greenhousenya menggunakan gombong atau bambu besar
sedangkan pada petani non-SOP kerangka tiang greenhousenya tidak seluruhnya
menggunakan gombong melainkan dicampur dengan menggunakan bambu kecil.
Oleh karena itu penggunaan bambu kecil petani non-SOP lebih banyak yaitu
384.06 batang sedangkan pada petani SOP sebanyak 379.29 batang. Bambu kecil
itu sendiri umumnya digunakan untuk keperluan atap greenhouse karena
ukurannya yang lebih kecil. Namun karena alasan ekonomis ada sebagian petani
yang menggunakannya untuk keperluan tiang kerangka greenhouse (Tabel 13).
Proses penyiapan greenhouse diperlihatkan Gambar 1.
bahan ini baik petani SOP maupun non-SOP tidak jauh berbeda seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 13.
Tabel 14 menunjukan petani SOP menggunakan net screen jauh lebih tinggi
yaitu 199.43 m sedangkan petani non-SOP hanya menggunakan 39.33 m. Net
screen itu sendiri adalah bahan penutup dinding greenhouse yang terbuat dari net
atau ram kawat untuk melindungi tanaman krisan dari serangga. Petani non-SOP
tidak banyak yang menggunakan net screen dikarenakan keterbatasan biaya,
karena harga net screen yang cukup mahal.
Sarana investasi pendukung lainnya adalah kabel yang berguna untuk
memasang sarana pencahayaan dalam greenhouse. Umumnya terdapat dua jenis
kabel yang digunakan yaitu kabel 2.5 inci dan kabel 1.5 inci. Terlihat pada Tabel
14 penggunaan kabel 2.5 inci pada petani SOP lebih banyak yaitu 60 m sedangkan
petani non-SOP sebanyak 12 m. Sedangkan untuk kabel 1.5 inci penggunaan
untuk petani SOP lebih sedikit yaitu sebanyak 228.81 m sedangkan pada petani
non-SOP sebanyak 254.02 m. Petani SOP memilih menggunakan kabel 2.5 inchi
karena alasan ketahanan dan kekuatan kabel sedangkan petani non-SOP lebih
banyak menggunakan kabel berukuran 1.5 inci karena harga kabel yang lebih
murah.
Sarana investasi pendukung greenhouse lainnya yang terlihat berbeda yaitu
penggunaan kepala lampu dan lampu. Penggunaan kepala lampu petani SOP lebih
banyak dibandingkan petani non-SOP. Rata-rata penggunaan kepala lampu petani
SOP adalah 33.39 unit sedangkan pada petani non-SOP sebanyak 30.3 unit.
Perbedaan penggunaan kepala lampu berhubungan erat dengan penggunaan
lampu, karena lampu dan kepala lampu merupakan satu paket. Angka penggunaan
kepala lampu juga menunjukan jumlah penggunaan lampu dalam satu greenhouse,
yang artinya petani SOP dalam satu greenhouse lebih banyak menggunakan
lampu dibandingkan petani non-SOP. Dari segi jenis lampu, umumnya ada dua
jenis lampu yang digunakan petani krisan Desa Langensari yaitu lampu pijar dan
lampu neon. Petani SOP lebih banyak menggunakan jenis lampu neon yaitu
sebanyak 31.89 unit sedangkan petani non-SOP menggunakan lampu neon
sebanyak 26.25 unit. Sebaliknya petani non-SOP lebih banyak menggunakan
lampu pijar yaitu sebanyak 3.8 unit sedangkan petani SOP menggunakan lampu
pijar sebanyak 1.5 unit. Petani SOP lebih banyak memilih lampu neon karena
alasan hemat energi dan lebih murah beban listriknya sedangkan petani non-SOP
lebih memilih lampu pijar karena alasan harga lampu yang lebih murah.
32
Kemudian dari segi daya lampu, untuk lampu neon yang digunakan petani SOP
umumnya adalah yang 18 watt sedangkan petani non-SOP umumnya
menggunakan lampu neon 20 watt. Untuk lampu pijar petani SOP seluruhnya
menggunakan lampu pijar 25 watt sedangkan petani non-SOP sebagian besar
menggunakan lampu pijar 5 watt yaitu sebanyak 67 persen, sedangkan sisanya
menggunakan lampu 25 watt yaitu sebanyak 33 persen (Gambar 2).
Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan bunga krisan Petani Desa Langensari meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengukuran pH tanah, pengolahan tanah, pengairan tanah,
pemberian pupuk kandang dan kapur pertanian hingga pembuatan bedengan dan
saluran irigasi. Pengukuran pH dilakukan sebelum pengolahan tanah
menggunakan pH meter. Petani SOP pada umumnya melakukan pengukuran pH
tanah walaupun tidak rutin pada setiap siklus produksi, pengukuran umumnya
hanya dilakukan sekali dalam satu tahun. Petani SOP melakukan pengukuran pH
tanah dengan alasan untuk mengetahui dosis aplikasi kapur pertanian pada lahan.
34
stek pucuk yang dalam proses pengakaran juga diberi penyinaran tambahan untuk
mempercepat proses tumbuhnya akar. Pemanenan stek pucuk berakar dilakukan
setelah proses pengakaran berlangsung kurang lebih 14 hari, pemanenan stek
pucuk berakar dilakukan manual menggunakan tangan dengan melakukan
pencabutan secara hati-hati. Pada proses pengakaran dan panen stek pucuk
umumnya tidak terdapat perbedaan antara petani SOP maupun non-SOP, karena
dari segi metode dan tahap kegiatan keduanya hampir sama. Penyiapan stek pucuk
diperlihatkan pada gambar 4.
Bentuk penerapan SOP yang tidak sesuai anjuran pada kegiatan penyiapan
stek pucuk hanya terlihat pada penyiapan media tanam pengakaran kelompok
petani non-SOP. dimana menurut SOP seharusnya media tanam harusnya berasal
dari sekam, namun petani non-SOP menggunakan tanah ayakan dari dalam
greenhouse.
Penanaman
Sebelum penanaman stek pucuk dimulai, terlebih dahulu dipasang jaring
pada bedengan. Jaring dibentangkan pada kedua ujung bedengan dan diikat pada
tiang yang telah disiapkan di kedua ujungnya. Jaring yang digunakan pada
umumnya berukuran 10 x 10 cm. Jaring ini berguna sebagai patokan saat
penanaman, selain itu jaring juga berguna menjaga kelurusan batang tanaman
saat sudah mulai meninggi. Pada umumnya penanaman stek pucuk bunga krisan
baik petani SOP maupun non-SOP tidak dilakukan serentak. Satu greenhouse
biasanya dilakukan penanaman sebanyak 2-5 kali penanaman. Penanaman tidak
dilakukan serentak, pertama karena ketersediaan bibit, sebagian besar bibit krisan
petani diperoleh dari pengindukan sendiri dimana dari pengindukan bibit tersebut
dalam satu kali panen tidak bisa menutupi kebutuhan satu greenhouse. Alasan lain
penanaman tidak dilakukan serentak adalah agar pemanenan nantinya bisa
dilakukan beberapa kali. Karena jika panen dilakukan serentak petani akan
mengalami kesulitan dalam proses penjualannya, karena sulit sekali menemukan
konsumen yang mau membeli dalam jumlah besar sekaligus. Proses penanaman
bunga krisan diperlihatkan Gambar 5.
36
Perbedaan pada proses penanaman terdapat pada jumlah stek pucuk yang
ditanam petani SOP dan non-SOP. Dimana petani SOP dapat menanam jumlah
stek pucuk yang lebih banyak dibanding petani non-SOP walaupun dalam satu
greenhouse dengan ukuran yang sama. Untuk greenhouse berukuran 500 m2,
petani SOP dapat menanam 29 357 stek pucuk sedangkan pada petani non-SOP
hanya dapat menanam sebanyak 25 733 stek pucuk. Petani SOP dapat menanam
dalam jumlah lebih banyak karena menanam dengan jarak 10 x 10 cm secara
konsisten, selain itu ketersedian bibit petani kelompok SOP juga lebih terjamin
karena melakukan pembibitan sendiri. Sebaliknya petani non-SOP hanya dapat
menanam lebih sedikit stek pucuk dikarenakan menanam dengan jarak yang tidak
konsisten.
Pada proses penanaman baik petani SOP maupun non-SOP belum ada yang
menerapkan anjuran SOP secara keseluruhan. Menurut anjuran SOP seharusnya
penanaman dilakukan dengan jarak 12.5 x 12.5 cm namun kenyataan petani SOP
sekalipun menanam dengan jarak 10 x 10 cm. Selain itu menurut anjuran SOP
setelah penanam seharusnya diaplikasi pupuk NPK (1:1:1) dengan dosis 12.5 kg
per 500 m2, namun kenyataannya kelompok petani SOP sekalipun tidak
melakukan aplikasi pupuk setelah penanaman. Aplikasi pupuk umumnya baru
dilakukan petani seminggu setelah penanaman.
Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman krisan meliputi beberapa kegiatan, yaitu pemupukan,
penyiraman, pengoprasian jaringan penyinaran, penyemprotan, penyiangan
gulma, pemberian ZPT, pemotesan kuncup (menul), perompesan daun senescens
dan sanitasi lingkungan. Baik pada petani SOP maupun non-SOP umumnya masa
pemupukan bunga krisan dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase pemupukan dasar,
pemupukan fase vegetatif dan pemupukan fase generatif. Pemupukan dasar
dilakukan saat pengolahan tanah. Pemupukan fase vegatatif yaitu pemupukan
yang dilakukan sejak bibit ditanam sampai timbul tunas bunga, biasanya pada
umur kurang lebih dua bulan. Sedangkan pemupukan masa generatif yaitu
pemupukan yang dilakukan sejak tanaman krisan sudah timbul tunas bunga
sampai dengan masa panen. Metode aplikasi pemupukan baik pada petani SOP
maupun non-SOP umumnya dengan cara dicairkan dan ditabur.
Baik petani SOP maupun non-SOP rata-rata melakukan penyiraman
sebanyak 3-4 kali per minggu. Namun pada musim kemarau penyiraman bisa
dilakukan setiap hari sebaliknya pada musim hujan penyiraman bisa lebih jarang
dilakukan. Alat yang digunakan untuk penyiraman pada petani SOP ada yang
37
menggunakan emrat atau gembor namun ada pula yang menggunakan mesin
power sprayer sedangkan petani non-SOP seluruhnya penyiraman menggunakan
emrat atau gembor. Penyiraman pada umumnya dilakukan pada pagi hari yaitu
sekitar pukul 08.00 hingga pukul 10.00.
Pengoprasian jaringan penyinaran bunga krisan petani Desa Langensari
dilakukan pada malam hari, umumnya pengoprasian dilakukan antara pukul
07.00 malam sampai 05.00 pagi. Dari segi metode pengoprasian tidak ada satupun
petani baik SOP maupun non-SOP yang menggunakan metode siklik.
Pengoprasian lampu selama satu siklus produksi antara petani SOP dan non-SOP
umumnya tidak berbeda jauh, petani SOP menghidupkan lampu per siklus
produksi selama 29.5 hari dan petani non-SOP 30.2 hari. Perbedaan pengoprasian
jaringan penyinaran antara petani SOP dan non-SOP terlihat pada lama
pengoprasian lampu dalam satu malam, dimana petani non-SOP menghidupkan
lampu lebih lama dibanding petani SOP. Dalam satu malam penghidupan lampu
pada petani non-SOP rata-rata selama 7.64 jam sedangkan pada petani SOP hanya
selama 5.3 jam (Tabel 15).
Tabel l5 Pengoprasian jaringan penyinaran (lampu) Petani SOP dan non-SOP
Lama penyinaran
Keterangan
Petani SOP Petani non-SOP
Dalam satu malam (jam) 5.30 7.64
Per satu siklus produksi (hari) 29.50 30.20
Total per siklus produksi (jam) 156.35 230.72
Tabel 16 Konsumsi energi listrik per siklus produksi petani SOP dan non-SOP
Konsumsi Energi listrik (KWH)
Jenis Lampu
Petani SOP Petani non-SOP
Neon 83.80 120.44
Pijar 6.75 10.91
Total 90.55 131.35
02.00 atau pukul 23.00-03.00. Namun kenyataannya petani SOP sekalipun tidak
ada yang mengoperasikan lampu dengan metode siklik, selain itu pengoprasian
lampu umumnya tidak dilakukan sesuai dengan waktu yang dianjurkan dalam
SOP. Lama waktu pengoprasian lampu petani SOP umumnya juga lebih lama
dibanding yang dianjurkan SOP (Tabel 15).
Panen
Pada kegiatan panen secara umum terdapat petani yang melakukan
pemanenan sendiri dan terdapat pula petani yang tidak melakukan pemanenan.
Petani yang tidak melakukan pemanenan dikarenakan melakukan sistem
penjualan borongan, sehingga pemanenan dilakukan pemborong. Tabel 17
memperlihatkan petani SOP seluruhnya melakukan panen sendiri, sedangkan
petani non-SOP sebagian besar tidak melakukan panen yaitu sebanyak 52 persen
karena melakukan penjualan secara borongan. Penjualan dengan sistem borongan
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya karena dapat mengurangi
biaya pengeluaran untuk pengobatan dan tenaga kerja. Karena apabila suatu
greenhouse sudah diborong maka untuk urusan pengobatan, perawatan tanaman
dan pemanenan seluruhnya akan menjadi tanggung jawab pemborong. Sebaliknya
sistem borongan juga memiliki kekurangan, yaitu harga jual bunga krisan menjadi
lebih rendah.
Tabel 18 memperlihatkan hasil panen bunga krisan baik petani SOP maupun
non-SOP dapat dikelompokan menjadi empat grade atau kelas mutu, yaitu grade
AA, A, B dan C. Sedangkan off grade adalah bunga yang tidak termasuk pada
grade manapun. Jika kita bandingkan hasil panen bunga berdasarkan grade antara
petani SOP dan non-SOP, secara umum hasil panen petani SOP untuk grade A, B
dan C lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Sedangkan untuk jumlah hasil
panen klasifikasi off grade petani non-SOP lebih tinggi dibandingkan petani SOP.
Petani non-SOP tidak ada yang menghasilkan grade AA sebaliknya petani SOP
tidak ada hasil panen bunganya yang termasuk dalam klasifikasi off grade. Petani
SOP paling banyak memproduksi bunga krisan kualitas B, sedangkan petani non-
SOP sebagian besar bunganya masuk pada klasifikasi off grade.
40
Tabel 18 Hasil panen bunga krisan per 500 m2 berdasarkan grade petani SOP dan
non-SOP
Petani SOP Petani non-SOP
Produksi
Jumlah (ikat) Persentase (%) Jumlah (ikat) Persentase (%)
Grade AA 120 4.54 - -
Grade A 701 26.55 119 5.14
Grade B 1 005 38.06 437 18.87
Grade C 815 30.86 487 21.03
Off grade - - 1 273 54.97
Hasil panen bunga krisan petani SOP dan non-SOP dibagi menjadi dua tipe,
yaitu tipe standar dan spray. Seperti telah disebutkan sebelumnya petani SOP
lebih banyak menghasilkan bunga tipe standar dibandingkan tipe spray,
sebaliknya petani non-SOP lebih banyak menghasilkan bunga tipe spray
dibanding tipe standar. Petani SOP lebih banyak menghasilkan bunga tipe standar
karena alasan harga jual dan permintaan pasar yang lebih tinggi dibanding tipe
spray. Sebaliknya petani non-SOP lebih banyak menghasilkan bunga tipe spray
karena alasan lebih mudah dan praktis, karena proses pemotesan kuncup lebih
jarang dilakukan dalam memproduksi bunga tipe spray.
Tabel 19 Hasil penen bunga krisan berdasarkan tipe bunga petani SOP dan non-
SOP
Tipe Bunga Petani SOP (%) Petani non-SOP (%)
Standar 67.36 48.08
Spray 32.64 51.92
Total 100 100
Rata-rata waktu pemanenan bunga krisan adalah 100 hari setelah tanam
(HST). Pemanenan bunga dalam satu greenhouse rata-rata dilakukan 1-5 kali
penen sampai habis, dengan selang waktu pamanenan seminggu sekali. Metode
pemanenan bunga krisan umumnya dilakukan dengan cara pencabutan batang
hingga akar. Setelah itu batang dipotong dari akar sepanjang 5 cm. Kemudian
bunga dikumpulkan dan diikat menggunakan karet gelang, biasanya satu ikat
berjumlah 10 tangkai bunga. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan yang berarti
antara petani SOP dan non-SOP. Proses pemanenan bunga krisan diperlihatkan
Gambar 6.
41
Pada proses pemanenan baik kelompok petani SOP maupun non-SOP tidak
seluruhnya sesuai dengan anjuran SOP terutama dari segi kebersihan panen.
Menurut anjuran SOP di kebun produksi haruslah tersedia toilet agar kebersihan
pekerja saat panen terjaga, tersedianya toilet di kebun juga agar hasil panen dapat
langsung dibersihkan. Namun kenyataan pada kelompok petani SOP sekalipun
tidak ada kebunnya yang tersedia fasilitas toiet.
Pascapanen
Seluruh petani SOP melakukan pascapanen sedangkan petani non-SOP yang
melakukan pascapanen hanyak sebanyak 48 persen sedangkan sisanya yaitu 52
persen tidak melakukan kegiatan pascapanen (Tabel 20).
Secara keseluruhan nilai biaya kegiatan pascapanen petani SOP lebih besar
dibanding petani non-SOP. Nilai pengeluaran yang terlihat berbeda signifikan
antara petani SOP dan non-SOP adalah untuk karet gelang dan koran. Dimana
pengeluaran petani SOP untuk karet gelang sebesar Rp. 244 286 dan koran Rp.
168 804 sedangkan pada petani non-SOP pengeluaran untuk karet gelang hanya
sebesar Rp. 95 329 dan koran sebesar Rp. 54 428. Adapula pengeluaran yang
hanya terdapat pada petani SOP sedangkan pada petani non-SOP tidak ada yaitu
untuk kertas buram dan keranjang (Tabel 22).
Lahan
Lahan yang digunakan untuk usahatani krisan baik petani SOP maupun non-
SOP beragam. Lahan paling luas yang dimiliki petani responden di daerah
penelitian adalah 17 000 m2 sedangkan yang paling kecil adalah seluas 300 m2.
Walaupun jumlah petani SOP lebih sedikit dibanding petani non-SOP,
namun total lahan usahatani krisan petani SOP lebih luas dibanding petani non-
SOP. Hal ini menunjukan rata-rata luas lahan usahatani krisan yang dimiliki
petani SOP lebih besar dibanding petani non-SOP, dimana petani SOP rata-rata
seluas 6 990 m2 sedangkan petani non-SOP 1 882 m2. Nilai standar deviasi luas
lahan petani SOP sebesar 5 305 m2 sedangkan pada petani non-SOP sebesar 1 726
m2, nilai ini menunjukan seberapa bervariasinya luas lahan yang dimiliki petani
pada kelompok masing-masing. Lahan paling luas yang dimiliki petani dari
kelompok SOP seluas 17 000 m2 sedangkan lahan paling kecil seluas 1 500 m2.
Untuk petani non-SOP lahan paling luas yang dimiliki petaninya adalah 6 600 m2
sedangkan yang paling kecil 300 m2 (Tabel 23).
Tabel 23 Luas lahan budidaya bunga krisan petani SOP dan non-SOP
Luas Lahan Tanaman Krisan (m2)
Uraian
Petani SOP Petani non-SOP
Rata-rata 6 990 1 882
Luas lahan per greenhouse 500 500
Standar deviasi 5 305 1 726
Max 17 000 6 600
Min 1 500 300
Total lahan usahatani krisan 66 300 47 050
Jumlah petani 10 25
Bibit
Sumber perolehan bibit bunga krisan secara umum berasal dari budidaya
sendiri dan beli. Tabel 25 memperlihatkan sumber perolehan bibit petani SOP dan
non-SOP, dimana untuk bibit petani SOP semua berasal dari budidaya sendiri
sedangkan untuk petani non-SOP bibit yang berasal dari budidaya sendiri 52
persen dan beli sebesar 48 persen. Sumber perolehan bibit perlu diketahui karena
mempengaruhi biaya perolehan bibit masing-masing petani. Dimana pada
umumnya biaya perolehan bibit yang berasal dari budidaya sendiri lebih murah
dibanding beli (Tabel 25).
Terdapat perbedaan jumlah penggunaan bibit krisan antara petani SOP dan
non-SOP. Tabel 26 memperlihatkan rata-rata jumlah penggunaan bibit petani SOP
lebih tinggi dibandingkan petani non-SOP, dimana jumlah penggunaan petani
SOP sebanyak 29 357 tangkai sedangkan petani non-SOP sebanyak 25 733
tangkai per lahan 500 m2. Petani SOP dapat menanam bibit lebih banyak pada
luasan yang sama dikarenakan jarak tanam konsisten yaitu 10 x 10 cm dalam satu
greenhouse. Selain itu petani SOP umumnya sumber perolehan bibitnya 100
persen merupakan hasil pengindukan sendiri, sehingga ketersediaan bibit lebih
terjamin dan dapat menanam seluruh greenhouse dengan hasil bibit pengindukan
sendiri tersebut. Sebaliknya petani non-SOP menanam dengan jarak yang tidak
konsisten, terkadang ditemukan jarak 10 x 10 cm namun terkadang juga lebih.
Selain itu ketersediaan bibit petani non-SOP 48 persen merupakan diperoleh dari
hasil pembelian (Tabel 25). Dimana jika melakukan pembelian bibit artinya
memerlukan modal awal yang besar, sedangkan petani non-SOP itu sendiri tidak
memiliki modal yang cukup jika harus menutup kebutuhan satu greenhouse secara
penuh. Maka dari itu petani non-SOP hanya dapat menanam jumlah bibit yang
lebih sedikit.
Tabel 26 Penggunaan bibit petani SOP dan non-SOP per lahan 500 m2
Uraian Petani SOP Petani non-SOP
Jumlah (tangkai) 29 357 25 733
Harga perolehan (Rp/tangkai) 49 61
Adapun tingkat penerapan anjuran SOP kelompok petani SOP maupun non-
SOP pada pada penggunaan bibit/benih, dapat dikatakan belum seluruhnya sesuai
anjuran. Menurut SOP seharusnya benih adalah varietas unggul yang dilepas
menteri pertanian, mempunyai surat keterangan mutu dan memiliki lebel yang
45
Pupuk
Secara umum pupuk yang digunakan petani krisan Desa Langensari ada
yang berwujud padat dan berwujud cair. Penggunaan pupuk berwujud padat dapat
dikelompokan menjadi pupuk padat organik dan pupuk padat kimia. Pupuk padat
organik yang digunakan adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam
yang sudah dicampur dengan sekam (postal). Pupuk kandang biasa diaplikasikan
petani saat pengolahan tanah bersamaan dengan aplikasi kapur pertanian atau
yang sering disebut dengan aplikasi pupuk dasar.
Rataan dosis aplikasi pupuk kandang petani SOP lebih sedikit dibanding
petani non-SOP. Sedangkan untuk dosis aplikasi kapur pertanian, rata-rata dosis
aplikasi petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Dosis aplikasi kapur
petanian pada petani SOP lebih tinggi karena sebagian besar yaitu 90 persen
petani mengaplikasikan kapur pada saat penyiapan lahan sedangkan petani non-
SOP hanya 80 persen petaninya yang mengaplikasikan kapur pertanian pada saat
penyiapan lahan (Tabel 27).
Tabel 27 Aplikasi pupuk kandang dan kapur pertanian petani SOP dan non-SOP
Petani SOP Petani non-SOP
Keterangan Pengguna Persentase Dosis Pengguna Persentase Dosis
(orang) (%) (kg) (orang) (%) (kg)
Pupuk
10 100 982.98 24 96 1017.02
kandang
Kapur
9 90 68.81 20 80 46.43
pertanian
Secara keseluruhan penggunaan pupuk padat kimia petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP untuk semua jenis pupuk, terkecuali untuk pupuk urea
dimana penggunaan petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani SOP. Pupuk
padat kimia yang tinggi penggunaannya baik pada petani SOP maupun non-SOP
adalah pupuk phonska dan urea. Untuk pupuk phonska penggunaan petani SOP
lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Perbedaan paling signifikan antara petani
SOP dan non-SOP terlihat pada penggunaan pupuk NPK, dimana petani SOP
lebih tinggi penggunaannya yaitu sebesar 16.17 kg sedangkan pada petani non-
SOP hanya 5.31 kg. Ada juga jenis pupuk yang hanya digunakan oleh petani SOP
yaitu pupuk ZA, dimana penggunaannya sebanyak 1.5 kg (Gambar 7).
46
Secara umum harga beli untuk semua jenis pupuk padat kimia petani SOP
dan non-SOP hampir sama, terkecuali untuk pupuk NPK. Dimana harga beli
pupuk NPK petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani SOP. Hal ini
dikarenakan pembelian petani SOP untuk pupuk NPK dalam jumlah yang lebih
besar dibanding petani non-SOP, sehingga dapat membeli dengan harga yang
lebih murah (Gambar 8).
Pupuk cair yang digunakan petani krisan Desa Langensari secara umum
adalah pupuk cair organik. Tabel 28 memperlihatkan jenis, jumlah dan harga
pupuk cair organik yang digunakan petani SOP dan non-SOP. Jenis pupuk cair
yang digunakan petani SOP dan non-SOP berbeda, dimana petani SOP
menggunakan pupuk cair Sukatani B dan urin kelinci sedangkan petani non-SOP
menggunakan pupuk cair EM4 dan sukatani D.
Obat-Obatan
Pestisida yang digunakan petani krisan Desa Langensari ada yang berwujud
padat dan cair. Secara umum penggunaan pestisida petani SOP baik yang
berwujud padat maupun cair lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Hal ini
dikarenakan petani SOP lebih intensif melakukan pengobatan dibandingkan petani
non-SOP untuk menjaga kualitas bunga krisan yang dihasilkan. Penggunaan
pestisida petani SOP yang berwujud padat sebanyak 525 gr dan yang berwujud
cair sebanyak 797.71 ml. Sedangkan penggunaan pestisida petani non-SOP yang
berwujud padat sebanyak 263.33 gr dan yang berwujud cair sebanyak 716.26 ml.
Begitu juga dari segi biaya, pengeluaran petani SOP untuk pestisida berwujud
padat maupun cair lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Biaya petani SOP
untuk pestisida berwujud padat sebesar Rp. 51 400 sedangkan yang berwujud cair
sebesar Rp. 389 549. Sedangkan pengeluaran petani non-SOP untuk pestisida
berwujud padat sebesar Rp. 37 340 dan yang berwujud cair sebesar Rp. 323 971
(Tabel 29).
Terdapat tiga jenis pestisida yang digunakan petani krisan Desa Langensari
yaitu jenis insektisida, fungisida dan bakterisida. Secara keseluruhan untuk
insektisida dan fungisida penggunaan petani SOP lebih tinggi dibanding petani
non-SOP baik itu yang berwujud padat maupun yang berwujud cair. Untuk
pestisida berwujud cair yang paling banyak digunakan adalah jenis insektisida
baik itu oleh petani SOP maupun non-SOP. Sedangkan pestisida berwujud padat
yang paling banyak digunakan adalah berjenis fungisida baik oleh petani SOP
maupun non-SOP. Sedangkan untuk bakterisida hanya digunakan petani SOP
dalam jumlah kecil yaitu yang berwujud padat sebanyak 5 gr (Tabel 30).
SOP non-SOP
206,17
181,24
157,62
150,00
123,81 117,62
103,33
90,36 88,50
50,00 33,33
34,67 20,00
15,00 8,00
0,00
Gambar 9a Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP. *insektisida,
**fungisida.
20,00
15,00
8,00
8,00 6,00 4,00 4,00 4,00 8,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Gambar 9b Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP. *insektisida,
**fungisida.
133,33
100,00
65,00
59,33
20,00 4,00
5,00 0,00 0,00
1,67
Dithane (gr) Ziflo (gr) ** antracol (gr) Metindo agrept (gr) Proclaim
** ** (gr) * *** (gr) *
Selain pestisida jenis obat-obatan lain yang digunakan petani krisan Desa
Langensari adalah zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT yang digunakan ada yang
berwujud padat dan cair. Tabel 31 menunjukan secara keseluruhan dari segi jenis
merek dagang penggunaan ZPT antara petani SOP dan non-SOP hampir sama,
terkecuali untuk satu merek dagang yang tidak digunakan oleh petani SOP namun
digunakan oleh petani non-SOP yaitu Supergro. Dari segi penggunaan jenis ZPT
cair yang paling banyak digunakan petani SOP adalah Atonik yaitu sebanyak 50
ml sedangkan untuk petani non-SOP adalah Supergro sebanyak 50 ml. Dari segi
harga beli untuk jenis Cabrio, progib dan Atonik petani SOP lebih rendah
dibanding petani non-SOP. Hal tersebut dikarenakan petani SOP membeli
kemasan yang lebih besar untuk ketiga jenis ZPT tersebut sehingga bisa
mendapatkan harga yang lebih murah. Untuk ZPT berwujud padat yang
digunakan adalah merek dagang Gibgro, dimana penggunaan petani SOP lebih
tinggi dibanding petani non-SOP.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam usahatani krisan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu peralatan yang digunakan untuk kegiatan produksi dan peralatan yang
digunakan sebagai sarana pendukung greenhouse. Peralatan yang digunakan
untuk kegiatan produksi diantaranya hand sprayer, cangkul, kored, parang, tray,
emrat, ember, gunting panen, gunting semai dan drum plastik. Sedangkan
peralatan yang digunakan sebagai sarana pendukung greenhouse secara lengkap
diperlihatkan pada lampiran 4.
Baik dari segi jumlah penggunaan maupun nilai investasi untuk semua jenis
peralatan produksi petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Kemudian
jika kita bandingkan umur ekonomis semua jenis peralatan produksi petani SOP
juga lebih lama dibanding petani non-SOP. Hal ini dikarenakan petani SOP
melakukan perawatan yang lebih baik pada peralatan produksinya dibanding
petani non-SOP, sehingga peralatan produksinya dapat bertahan lebih lama.
Secara keseluruhan dari segi nilai investasi maupun penyusutan peralatan
produksi untuk petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Nilai investasi
peralatan produksi petani SOP sebesar Rp. 2 693 491 sedangkan pada petani non-
SOP sebesar Rp. 1 209 353. Kemudian dari total nilai penyusutan peralatan
produksi, nilai penyusutan petani SOP lebih besar yaitu Rp. 115 612 dan petani
non-SOP sebesar Rp. 65 804. Hal ini dikarenakan jumlah penggunaan untuk
semua jenis peralatan produksi petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-
SOP, sehingga menghasilkan total nilai investasi dan penyusutan yang lebih besar
pula. Selain itu petani SOP menggunakan power sprayer sedangkan petani non-
SOP tidak ada yang menggunakan power spayer, sehingga nilai penyusutan
peralatan petani SOP menjadi lebih tinggi (Tabel 32).
52
Tabel 32 Peralatan produksi usahatani bunga krisan petani SOP dan non-SOP
Petani SOP
Tenaga Kerja
Berdasarkan sumbernya tenaga kerja yang digunakan petani krisan Desa
Langensari berasal dari luar keluarga (TKLK) dan yang berasal dari dalam
keluarga (TKDK). Dari jenis kelamin, tenaga kerja yang digunakan dalam
usahatani krisan berasal dari tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Seperti
diperlihatkan pada Tabel 33 secara keseluruhan penggunaan tenaga kerja per 500
m2 per musim tanam petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Dimana
penggunaan tenaga kerja untuk petani SOP sebesar 51.71 HOK sedangkan pada
petani non-SOP sebesar 46.37 HOK. Apabila kita perhatikan total penggunaan
tenaga kerja per kegiatan, perbedaan yang signifikan terlihat pada kegiatan panen
dan pascapanen antara petani SOP dan non-SOP. Dimana untuk petani SOP pada
kegiatan panen menggunakan tenaga kerja sebesar 3.11 HOK sedangkan pada
petani non-SOP sebesar 1.02 HOK. Perbedaan ini dikarenakan seluruh petani SOP
melakukan panen sendiri sedangkan petani non-SOP sebagian besar tidak
melakukan panen yaitu 52 persen (Tabel 17). Petani non-SOP tidak melakukan
penen dikarenakan melakukan penjualan secara borongan sehingga kegiatan
pemanenan bunga dilakukan oleh pemborong. Kemudian penggunaan tenaga
kerja pada pascapanen petani SOP sebesar 2.06 sedangkan pada petani non-SOP
hanya sebesar 0.39 HOK. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani SOP
melakukan pascapanen sedangkan petani non-SOP sebagian besar tidak
melakukan pascapanen (Tabel 20).
54
Tabel 33 Perbandingan penggunaan tenaga kerja petani SOP dan non-SOP per
500 m2 per musim tanam
Penggunaan Tenaga Kerja (HOK)
SOP Non-SOP
Kegiatan
TKLK TKDK TKLK TKDK
Total Total
HKP HKW HKP HKW HKP HKW HKP HKW
Penyiapan
0.77 0.00 0.23 0.13 1.12 0.27 0.09 0.66 0.27 1.29
stek pucuk
Penyiapan
7.67 0.00 1.58 0.00 9.25 3.70 0.00 5.44 0.00 9.14
lahan
Penanaman
0.53 1.54 0.11 0.24 2.42 0.28 1.21 0.54 0.35 2.38
stek pucuk
Penyulaman 0.00 0.11 0.11 0.00 0.22 0.00 0.00 0.03 0.00 0.03
Pemupukan 2.43 0.10 1.01 0.20 3.74 1.22 0.00 1.72 0.10 3.04
Penyiraman 8.58 0.00 7.26 0.00 15.84 2.72 0.00 13.80 0.00 16.52
Penyinaran
0.03 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 0.00 0.39 0.01 0.40
(lampu)
Pengendalian
4.08 0.00 0.76 0.00 4.84 1.60 0.00 3.58 0.00 5.19
OPT
Penyiangan
1.15 1.62 0.00 0.09 2.86 0.38 1.09 0.75 0.16 2.38
gulma
Pemberian
0.26 0.00 0.96 0.00 1.22 0.11 0.00 0.49 0.07 0.66
zpt
Pemotesan
0.30 1.23 0.70 0.36 2.59 0.08 0.78 0.89 0.48 2.23
kuncup
Perompesan
0.13 0.15 0.15 0.10 0.54 0.00 0.20 0.27 0.13 0.60
daun
Sanitasi
1.55 0.00 0.08 0.00 1.62 0.28 0.00 0.84 0.00 1.11
lingkungan
Panen 1.97 0.00 1.15 0.00 3.11 0.52 0.00 0.51 0.00 1.02
Pascapanen 1.29 0.00 0.53 0.25 2.06 0.14 0.00 0.22 0.03 0.39
30.72 4.76 14.86 1.36 11.28 3.37 30.12 1.60
Total 51.71 46.37
35.48 16.23 14.65 31.72
baju peralatan pelindung sesuai anjuran SOP saat bekerja terutama saat
menangani pestisida.
pertanian, pada petani SOP biaya kapur sebesar 0.72 persen sedangkan pada
petani non-SOP biaya kapur sebesar 0.58 persen. Perincian struktur biaya petani
SOP dan non-SOP dapat dilihat pada lampiran 9.
Penerimaan usahatani krisan petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-
SOP. penerimaan petani SOP mencapai Rp. 15 698 631 sedangkan pada petani
non-SOP hanya sebesar Rp. 9 242 621. Penerimaan petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP dikarenakan produktivitas petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP. Dalam lahan 500 m2 petani SOP dapat menghasilkan 2
642 ikat atau 26 420 tangkai bunga sedangkan pada petani non-SOP hanya dapat
menghasilkan 2 316 ikat atau 23 160 tangkai bunga. Perbedaan total penerimaan
petani SOP dan non-SOP juga disebabkan oleh kualitas atau grade bunga yang
dihasilkan keduanya, dimana dari kualitas itu sendiri berpengaruh terhadap harga
jual. pada petani SOP Bunga kualitas B adalah yang paling banyak diproduksi
yaitu mencapai 38.05 persen dari total produksi, yang dijual dengan harga Rp. 6
150. Sedangkan pada petani non-SOP kualitas bunga terbanyak yang diproduksi
adalah klasifikasi off grade yaitu sebesar 54.96 persen dari total produksi, yang
dijual dengan harga Rp. 3 993. Petani SOP menghasilkan bunga krisan kualitas
AA sebanyak 120 ikat sedangkan petani non-SOP tidak menghasilkan bunga
krisan kualitas AA (Tabel 34).
Jika kita perhatikan dari segi harga jual bunga krisan, petani SOP dapat
menjual bunga krisan per ikat dengan harga lebih tinggi dibanding petani non-
SOP walaupun pada kualitas yang sama. Hal tersebut dikarenakan hasil panen
bunga pada petani SOP dilakukan penanganan pascapanen seperti pembungkusan
menggunakan kertas HVS atau koran sehingga harga jual bunga menjadi lebih
tinggi. Perbedaan harga jual juga disebabkan oleh tipe bunga, yaitu tipe bunga
standar dan spray yang diproduksi petani SOP dan non-SOP. Dimana untuk petani
SOP lebih banyak memproduksi tipe bunga standar dan harga bunga tipe standar
itu sendiri umumnya lebih tinggi dibanding tipe spray (Tabel 19). Selain itu
perbedaan harga jual juga disebabkan perbedaan tujuan penjualan antara petani
SOP dan non-SOP.
Tabel 34 Penerimaan usahatani krisan per 500 m2 selama musim tanam 2014
Jumlah (ikat) Harga (Rp/ikat) Penerimaan (Rp)
Produksi
Petani SOP
Grade AA 120 10 000 1 200 000
Grade A 701 8 600 6 032 286
Grade B 1 005 6 150 6 183 679
Grade C 815 2 800 2 282 667
Off grade - - -
Total 2 641 15 698 631
57
Secara keseluruhan keuntungan atas biaya total dan keuntunga atas biaya
tunai petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Keuntungan atas biaya
toal petani SOP mencapai Rp. 7 211 324 sedangkan pada petani non-SOP hanya
sebesar Rp. 2 074 185. Keuntungan atas biaya total diperoleh dari hasil
pengurangan total penerimaan atas biaya total. Kemudian untuk keuntungan atas
biaya tunai petani SOP sebesar Rp. 9 651 828 sedangkan pada petani non-SOP
hanya sebesar Rp. 5 020 588. Keuntungan atas biaya tunai diperoleh dari
pengurangan total penerimaan dengan biaya tunai. Keuntungan atas biaya tunai
memperlihatkan kemampuan usahatani yang dijalankan untuk menghasilkan uang
tunai. Sehingga dalam hal ini kemampuan menghasilkan uang tunai usahatani
krisan petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP (Tabel 35).
SOP bernilai 2.60 menunjukan setiap 1 rupiah biaya tunai yang dikeluarkan
petani SOP akan menghasilkan penerimaan sebesar 2.60 rupiah. Sedangkan R/C
atas biaya total petani SOP sebesar 1.85 menunjukan setiap 1 rupiah untuk biaya
total yang dikeluarkan petani SOP akan menghasilkan penerimaan sebesar 1.85
rupiah. Kemudian nilai R/C atas biaya tunai petani non-SOP sebesar 2.19
menunjukan setiap 1 rupiah biaya tunai yang dikeluarkan petani non-SOP akan
menghasilkan penerimaan sebesar 2.19 rupiah. Dan nilai R/C atas biaya total
petani non-SOP sebesar 1.29 menunjukan setiap 1 rupiah atas biaya total yang
dikeluarkan petani non-SOP akan menghasilkan penerimaan sebesar 1.29 rupiah.
Uji T Independen
Tabel 37 Tests of Normality Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani SOP dan
non-SOP
Petani Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Biaya SOP 0.197 10 0.200* 0.900 10 0.221
non-SOP 0.089 25 0.200* 0.979 25 0.867
Penerimaan SOP 0.147 10 0.200* 0.898 10 0.207
non-SOP 0.145 25 0.186 0.932 25 0.098
Pendapatan SOP 0.182 10 0.200(*) 0.894 10 0.186
non-SOP 0.164 25 0.082 0.960 25 0.408
* This is a lower bound of the true significance.
a Lilliefors Significance Correction
59
Setelah diketahui data menyebar normal maka syarat pertama dari uji T
telah terpenuhi. Selanjutnya Tabel 38 memperlihatkan signifikansi perbedaan
biaya, penerimaan dan pendapatan antara petani SOP dan non-SOP. Pada tabel
tersebut terdapat dua baris (sel), sel pertama dengan asumsi variance biaya,
penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-SOP sama sedangkan pada sel
kedua dengan asumsi variance kedua kelompok tersebut berbeda. Untuk memilih
sel mana yang akan digunakan dapat dilihat pada kolom levenes test, jika nilai
signifikansi lebih besar dari 0.05 maka asumsinya variancenya sama sebaliknya
jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0.05 maka variance tidak
sama. Dari kolom levenes test menunjukan variance kelompok petani SOP dan
non-SOP adalah sama karena nilai signifikansi untuk biaya, penerimaan dan
pendapatan secara berurutan 0.272, 0.148 dan 0.370 sehingga sel yang akan
dibaca adalah sel dengan asumsi variance sama.
Dari kolom uji T menunjukan nilai signifikansi sama dengan 0.000 untuk
biaya, penerimaan dan pendapatan. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari =
0.05 berarti asumsi H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-SOP berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95 persen.
Tabel 38 Uji T independen biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP dan
non-SOP
Biaya usahatani krisan petani SOP lebih besar dibanding petani non-SOP
dan secara statistik berbeda nyata dengan biaya yang dikeluarkan petani non-SOP,
hal ini dikarenakan petani SOP lebih intensif melakukan perawatan bunga krisan.
Kemudian dari hasil perawatan yang lebih intensif itu petani SOP dapat
menghasilkan bunga dengan kualitas yang lebih baik dibanding petani non-SOP
sehingga harga jual bunga krisan petani SOP juga menjadi lebih tinggi dibanding
petani non-SOP. Hal inilah yang menyebabkan penerimaan dan pendapatan petani
SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Dimana rata-rata penerimaan
usahatani krisan petani SOP sebesar Rp. 15 698 631 sedangkan pada petani non-
SOP sebesar Rp. 9 242 621 (Tabel 34). Kemudian untuk rata-rata pendapatan total
petani SOP sebesar Rp. 7 211 324 sedangkan petani non-SOP sebesar Rp. 2 074
185 (Tabel 35). Secara statistik penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-
SOP berbeda nyata.
60
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
tanaman krisan 2009-2013. Jakarta: BPS pusat.
Cempaka, Dessy Ratna. 2013. Analisis Pendapatan Usahatani Sayuran di Desa
Panundaan Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat. [skripsi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Dalimunthe, Siti Fatimah. 2008. Analisis Usahatani Nenas (Ananas Cosmosus (l.)
Merr) dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) (KASUS: Desa
Cipelang Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. 2013. Kelompok Tani Krisan
Kabupaten Sukabumi. Sukabumi. Indonesia.
Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura. 2013. Profil Krisan. Jakarta.
Indonesia.
------------------------.2014. Pedoman Budidaya Florikultura yang baik (good
agricultural practices on floriculture). Jakarta. Indonesia.
Hartati, Dewi Sri. 2010. Implikasi Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP)
terhadap Pendapatan Petani Mangga Gedong Gincu di Kecamatan Sedong,
Kabupaten Cirebon Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Hernanto F. 1991. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kementrian Pertanian.2013. Profil Krisan. Jakarta. Indonesia.
Lisanti, Yudithia. 2014. Analisis Usahatani Tomat Berbasis Standar Operasional
Prosedur (SOP) di Kecamatan Lembang, Bandung Barat. [Skripsi]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Maharani, Ariq Dewi. 2012. Pengaruh SOP terhadap Pendapatan Petani Pisang
Mas Kirana di Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jember [skripsi].
Jember (ID). Universitas Jember.
Marwoto, Budi. 2012. Standar Operasional Prosedur Budidaya Krisan Potong.
Jakarta. Indonesia.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Oktavia, Nurul Zulfah. 2002. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Budidaya
Tanaman Krisan di Pt. Agrobumi Puspa Sari Sukabumi. [skripsi]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Poetryani, Antari. 2011. Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Purwono, Joko, et al. 2014. Analisis Tataniaga Bunga Krisan di Kecamatan 1
Cugenang Kabupaten Cianjur [jurnal]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Indonesia. 2014. Neraca Perdagangan
Subsektor Florikultura Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Sandriawati, et al. 2013. faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya bunga krisan potong di desa hargobinangun
kecamatan pakem kabupaten sleman. [Jurnal]. Surakarta (ID). Universitas
Sebelas Maret.
62
Sari, Ayu Nina. 2010. Pencapaian Standar Mutu dan Kualitas Produksi Bunga Pot
Krisan di PT. Saung Mirwan. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: Penerbit Universitas Brawijaya.
LAMPIRAN
Lampiran 7 Format penilaian GAP Kegiatan budidaya tanaman hias dan bunga
Penerapan
Kriteria Kegiatan Anjuran
Y T
Benih/varietas Pemilihan benih 73. Petani memahami kualitas dan spesifikasi benih
(W)
74. Pemilihan benih sesuai dengan preferensi pasar
(A)
Pengolahan lahan Sterilisasi media 75. Dilakukan sterilisasi media (A)
dan media tanam
Fumigasi tanah 76. Tersedia rekomendasi tanah di fumigasi (A)
77. Interval fumigasi dan waktu tanam harus dicatat
(A)
Penggunaan Kebutuhan 78. Tanaman dan tanah diberi pupuk untuk
pupuk nutrisi meminimalkan kekurangan nutrisi. Tersedia hasil
analisa tanah sebelum dilakukan pemupukan (A)
79. Aplikasi pemupukan berdasarkan perhitungan
kebutuhan tanaman (A)
Panen Kebersihan 80. Tersedia fasilitas toilet dan tempat mencuci
tangan yang bersih (SA)
81. Wadah hasil panen yang digunakan dalam
keadaan baik, bersih dan tidak terkontaminasi
(SA)
Perlakuan pasca Kualitas air 82. Pencucian menggunakan air bersih (tidak
panen pascapanen berwarna, tidak berbau, tidak terkontaminasi)
(SA)
Penanganan 83. Bahan kimia yang digunakan dalam proses
bahan kimia pascapanen terdaftar dan diijinkan (SA)
84. Penggunaan bahan kimia untuk perlakuan
pascapanen hanya dilakukan jika tidak ada
alternatif lain (A)
85. Tersedia dokumen yang jelas dan memadai
tentang penggunaan perlakuan pascapanen (SA)
Pengemasan 86. Pengemasan dan pengepakan yang dilakukan bisa
melindungi produk dari kerusakan dan
kontaminan (A)
87. Tempat pengemasan bersih, bebas dari hama dan
kontaminasi (SA)
88. Kemasan diberi label yang menjelaskan identitas
produk (W)
Penyimpanan 89. Ruang penyimpanan mampu melindungi produk
dari kerusakan dan kontaminan (SA)
Kompetensi 90. Petani mampu menunjukan pengetahuan dan
keterampilan mengaplikasi bahan kimia (SA)
Tempat 91. Tepat pengemasan terpisah dari tempat
pengemasan penyimpanan pupuk dan pestisida (SA)
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura
70
Lampiran 8 Format Penilaian GAP Alsintan, Pengaduan, Pencatatan dan Evaluasi Internal
Penerapan
Kriteria Kegiatan Anjuran
Y T
Sarana, Penggunaan alsintan 92. Penggunaan alsintan dilakukan secara tepat (A)
peralatan dan
Perawatan alsintan 93. Alsintan dirawat secara teratur (A)
mesin
pertanian Kalibrasi alat 94. Peralatan dan mesin terkait dengan pengukuran
dikalibrasi secara berkala (SA)
Pengaduan Catatan keluhan 95. Tersedia catatan tentang keluhan konsumen
konsumen (SA)
Catatan langkah 96. Tersedia catatan mengenai langkah koreksi dari
koreksi keluhan keluhan konsumen (SA)
konsumen
Dokumen tindak 97. Terdapat dokumen tindak lanjut dari pengaduan
lanjut (SA)
Pencatatan Sistem pencatatan 98. Tersedia sistem pencatatan yang mudah
yang mudah ditelusuri ditelusuri (SA)
A Tunai
1 Lahan m2 500 1 963 981 250 500 1 307 653 667
Bibit krisan (stek
2 tangkai 29 357 49 1 438 500 25 733 61 1 570 505
pucuk)
3 Pupuk organik
Padat kg 982.98 241 236 897 1 017.02 244 247 900
Cair liter 0.60 47 667 28 600 0.54 21 556 11 640
4 Pupuk kimia
Padat kg 71.32 3 125 222 902 58.76 3 424 201 211
5 Kapur pertanian kg 68.81 890 61 240 46.43 889 41 270
6 Obat-obatan
- Pestisida
Padat gr 525.00 98 51 400 263.33 142 37 340
Cair ml 797.71 488 389 546 716.26 452 323 972
- ZPT
Padat gr 16.90 2 500 42 250 4.10 2 500 10 250
Cair ml 76.00 316 23 998 110.00 343 37 722
7 Listrik kwh 90.55 1 352 122 427 131.35 1 352 177 581
8 Perlengkapan 47.92 10 207 489 138 14.29 11 284 161 242
9 TKLK
HKP HOK 30.72 55 200 1 695 701 11.28 51 048 575 815
HKW HOK 4.76 55 200 262 953 3.37 51 048 171 918
Total Biaya Tunai 6 046 803 4 222 033
B Non-Tunai
1 TKDK
HKP HOK 14.86 55 200 820 503 30.12 51 048 1 537 681
HKW HOK 1.36 55 200 75 228 1.60 51 048 81 443
2 Penyusutan
Peralatan produksi 115 612 65 804
Peralatan
436 442 357 315
pendukung GH
Greenhouse 992 719 904 161
Total Biaya Non-
Tunai
2 440 504 2 946 403
C TOTAL BIAYA 8 487 307 7 168 436
72
irigasi dan alat pemasangan dipilih sesuai jenis dan fungsi. Panjang saluran
irigasi mempertimbangkan kondisi lahan dan karakteristik tanaman.
Pemasangan Net berguna untuk menopang batang krisan agar tidak mudah rebah.
net Menjaga krisan tetap lurus guna memnuhi standar mutu yang
ditetapkan. Net dipasang berdasarkan jarak tanam krisan potong dan
dinaikan sesuai dengan stadia dan umur tanaman.
Pengoprasian Waktu pengoprasian pukul 22.00-02.00 atau 23.00-03.00. Intensitas
jaringan cahaya 75-100 lux atau setara dengan cahaya lampu pijar 75-100 watt.
penyinaran Pengaturan pola siklik 7.5 menit terang, 22.5 menit gelap. Dilakukan
selama 8 periode siklus.
Pengukuran Pengukuran dilakukan meliputi pH, EC dan kelembaban tanah.
sifat kimia Peralatan terdiri dari pH meter, EC meter dan hydrometer. EC
tanah (Electric conductivity) menunjukan kandungan garam dalam tanah dan
atau kadar air tanah akibat pelarutan bahan kimia. pH menunjukan
derajat keasaman tanah. Hygrometer mengukur kelembaban tanah.
Pemberian Kapur yang digunakan adalah dolomit yang mengandung Ca dan Mg.
kapur Pemberian dilakukan dengan cara disebar rata dan diinkubasi selama
pertanian dua minggu. Dolomit diberikan sebanyak 5.02 ton/ha untuk pH tanah
awal 5.2, 4.08 ton untuk pH tanah awal 5.4.
Pemberian Bertujuan memperbaiki sifat fisik tanah, menyediakan hara makro dan
pupuk mikro bagi tanaman, serta merangsang pertumbuhan mikroorganisme
kandang yang menguntungkan tanaman. Pupuk kandang berupa kotoran kuda,
kambing maupun kotoran ayam yang telah terdekomposisi. Pupuk
kandang diberikan 20-30 ton/ha yang diberikan pada bedengan.
Pemilihan Varietas yang digunakan adalah yang tahan terhaadap OPT, produktif
varietas dan dan diterima pasar yaitu bertipe standar, spray, berbunga tunggal,
penyiapan stek anemone, pompon, atau dekoratif.
pucuk Stek pucuk berasal dari tanaman induk sehat yang masih produktif.
Stek pucuk dipanen setelah berukura 6 cm, diameter tangkai 4 mm,
berdaun minimal 3 helai dengan pucuk sempurna, bebas OPT dan
virus. Stek pucuk kemudian direndam dalam larutan Chlorotalonyl (2
g/l). Media pengakaran terbuat daru campuran kompos, sekam bakar
dan pupuk kandang (1:1:1). Media tersebut disterilkan dengan uas
panas 80o C selama 4 jam dan dikeringkan selama 2 x 24 jam
kemudian letakan pada bak berukuran lebar 80 cm. Pangkal stek pucuk
dicelupkan pada campuran hormon IBA dan IAA (1:1) dengan
konsentrsi 0.1 mg/l. Stek pucuk dipanen 14 hari setelah benih ditanam.
Penanaman Penanaman mencakup kegiatan penyiraman, penyiapan stek pucuk
stek pucuk siap tanam dan penanaman stek pucuk. Peralatan yang digunakan
berupa koret, wadah, nampan, dan skop. Sebelum stek ditanam
terlebih dahulu lahan disiram hingga basah sampai kedalaman 20 cm.
Metode penanaman dapat dengan cara tangan atau alat tanam, stek
pucuk ditanam dengan jarak 12.5 x 12.5 cm. Pada tahap ini juga
diberikan pupuk NPK (1:1:1) dengan dosis 250 kg/ha.
Penyiraman Penyiraman dilakukan dengan tujuan mengganti air yang hilang akibat
tanaman respirasi dan transpirasi serta menjaga kelembaban media dan udara
guna menjaga kesegaran tanaman. Penyiraman dilakukan hingga basah
di bagian sistem perakaran. Metode penyiraman dapat dilakukan
74
RIWAYAT HIDUP