Anda di halaman 1dari 90

PENGARUH STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

BUDIDAYA TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI


BUNGA KRISAN DI DESA LANGENSARI KECAMATAN
SUKARAJA SUKABUMI

BAMBANG YOGA PERDANA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul pengaruh standar
operasional prosedur budidaya terhadap pendapatan usahatani bunga krisan di
Desa Langensari Kecamatan Sukaraja Sukabumi adalah benar karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Bambang Yoga Perdana


NIM H34110008
ABSTRAK
BAMBANG YOGA PERDANA. Pengaruh Standar Operasional Prosedur
Budidaya Terhadap Pendapatan Usahatani Bunga Krisan di Desa Langensari
Kecamatan Sukaraja Sukabumi. Dibimbing oleh AMZUL RIFIN.

SOP budidaya krisan merupakan pedoman terperinci budidaya krisan yang


sesuai dengan prinsip GAP. Tujuan dari penelitian ini menganalisis pengaruh SOP
budidaya terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani krisan di Desa
Langensari Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Uji T independen terhadap
biaya, penerimaan dan pendapatan antara petani SOP dan non-SOP menunjukan
perbedaan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dimana biaya,
penerimaan dan pendapatan usahatani krisan petani SOP lebih tinggi dibanding
petani non-SOP. Begitu juga nilai R/C total petani SOP lebih tinggi dibanding
petani non-SOP, pada petani SOP sebesar 1.85 sedangkan pada petani non-SOP
sebesar 1.29.

Kata kunci: SOP,Biaya, Penerimaan, Pendapatan, R/C.

ABSTRACT

Standard operating procedure (SOP) of chrysanthemum cultivation is


detailed guidelines which are in accordance with GAP principles. The purpose of
this study is to analyze the effect of cultivation SOP on Chrysanthemum farmers
cost, revenue, and income in Lengensari Village, Sukaraja,Sukabumi. T-test
independent of cost, revenue and income between SOP farmers and Non-SOP
farmers indicated the significant differences at 95 percent level of confidence.
Cost, revenue, and income of SOP farmers is higher those of Non-SOP farmers,
likewise the value of R/C total of SOP farmers is higher that of Non-SOP farmers.
R/C total of SOP farmers is 1.85 and Non-SOP farmers is 1.29.

Key words : Standard operating procedure, Cost, Revenue, Income, R/C.


PENGARUH STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
BUDIDAYA TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI
BUNGA KRISAN DI DESA LANGENSARI KECAMATAN
SUKARAJA SUKABUMI

BAMBANG YOGA PERDANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
Pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MENEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul skripsi : Pengaruh Standar Operasional Prosedur Budidaya
Terhadap Pendapatan Usahatani Bunga Krisan di Desa
Langensari Kecamatan Sukaraja Sukabumi
Nama : Bambang Yoga Perdana
NIM : H34110008

Disetujui oleh

Dr Amzul Rifin, SP.MA


Pembimbing

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi


Ketua Departemen
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
merupakan hasil penelitian di lapangan yang dilaksanakan sejak bulan November
2014 sampai dengan bulan Februari 2015. Judul penelitian ini adalah Pengaruh
Standar Operasional Prosedur Budidaya terhadap Pendapatan Usahatani Bunga
Krisan di Desa Langensari Sukabumi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Amzul Rifin, SP.MA selaku
pembimbing, Dr Ir Ratna Winandi, MS dan Yanti Nuraeni Muflikh, SP selaku
dosen penguji yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ibu Ayang sebagai ibu kost di lokasi penelitian, Prof
Dr Budi Marwoto, MS. APU salah satu penyusun SOP budidaya krisan Badan
Penelitian Tanaman Hias, Bapak Yandi Rustandi selaku ketua Gapoktan Asri
Tani, Bapak H. Abdulah sebagai ketua RW Kampung Pasirhalang, Bapak Ujang
Saepuloh, Bapak Feri Ferdian, Bapak Ruslana, Farhat dan semua sahabat di
Kampung Pasirhalang yang telah memberi banyak informasi dan saran. Ungkapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua
Bapak Agus Koswara dan Ibu Erma Rohama serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya. Selain itu penulis juga berterimakasih kepada Riana
Puspa Putri yang telah banyak membantu selama penelitian, kepada teman-teman
Asrama Putra C1 lorong 7 (Ilham, Yaya, Tendy, David, Ikbal, Dana dll), teman-
teman Agribisnis angkatan 48, Teman-teman satu bimbingan skripsi (Opal,
Gilang, Kibo, Pingkan, Poppy) dan semua sahabat di IPB yang tidak bisa
disebutkan satu-satu. Terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015


Bambang Yoga Perdana
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
KERANGKA PEMIKIRAN 7
Kerangka Pemikiran Teoritis 7
Konsep Usahatani 7
Penerimaan Usahatani 8
Biaya Usahatani 8
Pendapatan Usahatani 9
Efisiensi Usahatani (R/C ratio) 9
Uji T Dua Sampel 10
Standar Operasional Prosedur Budidaya Krisan 10
Pedoman Budidaya yang Baik 11
Kerangka Pemikiran Operasional 12
METODE PENELITIAN 13
Lokasi dan Waktu Penelitian 13
Jenis dan Sumber Data 13
Metode Pengumpulan Data 13
Metode Pengolahan Data 13
Analisis Pendapatan Usahatani 13
Analisis Efisiensi Usahatani 14
Uji T Independen 14
Penilaian Penerapan SOP/GAP 16
Definisi Operasional dan Asumsi Dasar 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18
Gambaran Umum Desa Langensari 18
Kondisi Geografis 18
Kondisi Sosial 19
Karakteristik Petani Responden 20
Usia 20
Tingkat Pendidikan 21
HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Deskripsi Penerapan SOP Budidaya Krisan Petani Desa Langensari 22
Penilaian Tingkat Penerapan SOP Petani Krisan Desa Langensari 23
Kriteria Anjuran (A) 24
Kriteria Sangat Anjuran (SA) 26
Kriteria Wajib (W) 28
Perbandingan Kegiatan Usahatani dan Pascapanen 29
Penyiapan Lokasi Budidaya Krisan 29
Penyiapan Greenhouse 30
Penyiapan Lahan 33
Penyiapan Stek Pucuk (Bibit) 34
Penanaman 35
Pemeliharaan Tanaman 36
Panen 39
Pascapanen 41
Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Krisan 43
Lahan 43
Bibit 44
Pupuk 45
Obat-Obatan 47
Peralatan 51
Tenaga Kerja 53
Struktur Biaya Usahatani Krisan 55
Struktur Penerimaan Usahatani Krisan 56
Analisis Pendapatan Usahatani Krisan 57
Analisis Efisiensi Usahatani 57
Uji T Independen 58
KESIMPULAN DAN SARAN 60
DAFTAR PUSTAKA 61
RIWAYAT HIDUP 76
DAFTAR TABEL

1 Produksi Tanaman Florikultura Indonesia (Bunga Hias) 1


2 Produksi, luas tanam dan jumlah greenhouse budidaya krisan Jawa 2
Barat
3 Kategori penilaian penerapan SOP/GAP 16
4 Spesifikasi lahan Desa Langensari 18
5 Pekerjaan penduduk Desa Langensari 19
6 Pendidikan Penduduk Desa Langensari 20
7 Perbandingan usia petani SOP dan non-SOP 21
8 Tingkat pendidikan petani SOP dan non-SOP 21
9 Perbandingan rata-rata penerapan anjuran petani SOP dan non-SOP 23
10 Perbandingan penerapan kriteria anjuran (A) petani SOP dan non-SOP 25
11 Perbandingan penerapan kriteria sangat anjuran (SA) petani SOP dan non- 27
SOP
12 Perbandingan penerapan kriteria wajib (W) petani SOP dan non-SOP 29
13 Investasi konstruksi greenhouse petani SOP dan non-SOP 31
14 Investasi sarana pendukung greenhouse 32
15 Pengoprasian jaringan penyinaran (lampu) Petani SOP dan non-SOP 37
16 Konsumsi energi listrik per siklus produksi petani SOP dan non-SOP 37
17 Pemanenan bunga petani SOP dan non-SOP 39
18 Hasil panen bunga krisan per 500 m2 berdasarkan grade petani SOP dan 40
non-SOP
19 Hasil penen bunga krisan berdasarkan tipe bunga petani SOP dan non- 40
SOP
20 Kegiatan pascapanen bunga krisan 41
21 Perbandingan perlakuan pascapanen petani SOP dan non-SOP 42
22 Biaya pascapanen petani SOP dan non-SOP 42
23 Luas lahan budidaya bunga krisan petani SOP dan non-SOP 43
24 Status kepemilikan lahan petani SOP dan non-SOP 43
25 Sumber perolehan bibit petani SOP dan non-SOP 44
26 Penggunaan bibit petani SOP dan non-SOP per lahan 500 m2 44
27 Aplikasi pupuk kandang dan kapur pertanian petani SOP dan non-SOP 45
28 Penggunaan pupuk cair petani SOP dan non-SOP 47
29 Penggunaan faktor produksi obat-obatan 47
30 Jenis pestisida petani SOP dan non-SOP 48
31 Perbandingan penggunaan ZPT petani SOP dan non-SOP 50
32 Peralatan produksi usahatani bunga krisan petani SOP dan non-SOP 52
33 Perbandingan penggunaan tenaga kerja petani SOP dan non-SOP per 54
500 m2 per musim tanam
34 Penerimaan usahatani krisan per 500 m2 selama musim tanam 2014 56
35 Analisis pendapatan petani SOP dan non-SOP 57
36 Analisis efisiensi usahatani petani SOP dan non-SOP 58
37 Tests of Normality Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani SOP dan 58
non-SOP
38 Uji T independen biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-SOP 59
DAFTAR GAMBAR

1 Penyiapan greenhouse 30
2 Daya Lampu neon petani SOP dan non-SOP 32
3 Penyiapan tanah 34
4 Penyiapan stek pucuk 35
5 Penanaman bunga krisan 36
6 Proses pemanenan bunga krisan 41
7 Penggunaan pupuk kimia padat petani SOP dan non-SOP 46
8 Perbandingan harga beli pupuk padat kimia 46
9a Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP 49
9b Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP 49
10 Penggunaan pestisida padat petani SOP dan non-SOP 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Syarat Mutu Bunga Krisan Potong 63


2 Kriteria Waktu Panen 64
3 Luas Lahan Budidaya Krisan Kab. Sukabumi 64
4 Investasi peralatan sarana pendukung per 500 m2 greenhouse 65
5 Format Penilaian GAP Dasar-dasar Usahatani 66
6 Format Penilaian GAP Dasar-dasar Budidaya 67
7 Format Penilaian GAP Kegiatan budidaya tanaman hias dan bunga 69
8 Format Penilaian GAP Alsintan, Pengaduan, Pencatatan dan Evaluasi 70
Internal
9 Perbandingan struktur biaya petani SOP dan non-SOP 71
10 SOP Penyiapan Sarana dan Prasarana Produksi krisan 72
11 SOP Proses Produksi budidaya krisan 72
12 SOP Panen dan Pascapanen 74
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Standar operasional prosedur (SOP) budidaya krisan adalah acuan teknis


terperinci budidaya krisan yang produktif, efisien dan ramah lingkungan dalam
rangka peningkatan produktivitas, mutu hasil dan keuntungan ekonomis bagi
petani secara berkelanjutan. Acuan teknis ini memuat mengenai tatacara
penyiapan sarana dan prasarana produksi, proses produksi, panen dan penanganan
pasca panen, penentuan standar mutu hingga pencatatan. SOP budidaya krisan
merupakan pedoman budidaya yang baik dan benar untuk menghasilkan produk
yang bermutu tinggi, efisien dan ramah lingkungan. SOP budidaya krisan juga
memudahkan penelusuran prosedur manakala terjadi penyimpangan dalam proses
produksi, sehingga kesalahan proses produksi dapat diperbaiki untuk mendapat
produk dengan standar mutu yang telah ditetapkan (Direktorat Budidaya dan
Pascapanen Florikultura, 2013).
Bunga krisan adalah salah satu komoditas unggulan subsektor florikultura
Indonesia. Sebagai salah satu komoditas unggulan, dari subsistem produksi bunga
krisan memerlukan acuan teknis agar proses produksi dapat berjalan efektif dan
efisien, sehingga dalam hal ini peran SOP budidaya krisan menjadi sangat
penting. Diharapkan dengan adanya SOP budidaya krisan dapat mempertahankan
aspek keberlanjutan usaha, meningkatkan produktivitas, dan juga menjadikan
Indonesia sebagai sentra produksi krisan yang berdaya saing tinggi.
Produksi dan sumbangan devisa krisan terhadap Indonesia cukup tinggi
dibanding bunga potong lainnya. Tabel 1 memperlihatkan total produksi sembilan
bunga potong Indonesia, krisan adalah bunga dengan produksi tertinggi dibanding
bunga potong lainnya sejak tahun 2009 sampai tahun 2014. Produksi bunga krisan
mengalami pertumbuhan rata-rata 34.85 persen per tahun sejak 2009 hingga 2014.
Bahkan pada tahun 2014 produksi bunga krisan potong mencapai 57.33 persen
dari total produksi sembilan bunga potong lainnya.
Tabel 1 Produksi Tanaman Florikultura Indonesia (Bunga Hias)
Jenis Produksi Tanaman Florikultura (Tangkai)
Tanaman 2014 2013 2012 2011 2010 2009
Anggrek 24 633 789 20 277 071 20 727 891 15 490 256 14 050 445 16 205 949
Anthurium 2 310 154 4 044 012 6 731 211 4 724 730 7 655 542 3 833 100
Anyelir 2 962 777 3 164 326 5 299 671 5 130 332 7 607 588 5 320 824
Gerbera 7 545 255 7 735 806 9 854 787 10 543 445 9 693 487 5 185 586
Gladiol 1 874 470 2 581 063 3 417 580 5 448 740 10 064 082 9 775 500
Heliconia 1 162 666 2 043 579 3 306 604 2 791 257 2 961 385 4 124 174
Krisan 425 855 467 387 208 754 397 651 571 305 867 882 185 232 970 107 847 072
Mawar 172 512 474 152 066 469 68 624 998 74 319 773 82 351 332 60 191 362
Sedap Malam 104 007 708 104 975 942 101 197 847 62 535 465 59 298 954 51 047 807
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)
2

Dilihat dari nilai ekonominya, kontribusi krisan terhadap devisa negara pada
Desember 2013 adalah sebesar 71 459 USD kemudian pada periode Januari 2014
kontribusinya menjadi 64 122 USD. Nilai ini merupakan sumbangan devisa
terbesar kedua setelah anggrek pada subsektor florikultura (PUSDATIN, 2014).
Sentra produksi krisan Indonesia terletak di Jawa Barat, yang menyumbang
48 persen produksi krisan nasional (BPS, 2013). Tabel 2 menunjukan sentra
produksi krisan di Jawa Barat tersebar di beberapa wilayah kabupaten, salah
satunya di Sukabumi. Saat ini budidaya krisan Kabupaten Sukabumi menempati
produksi terbesar kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Cianjur.

Tabel 2 Produksi, luas tanam dan jumlah greenhouse budidaya krisan Jawa
Barat
Jumlah Luas Tanam Produksi/Musim
Kabupaten/Kota
Greenhouse (m2) (Tangkai)
Cianjur 1 210 812 000 41 834 240
Sukabumi 526 250 000 12 880 000
Bandung Barat 189 103 250 5 225 000
Bogor 26 18 000 777 500
Bandung 32 17 200 775 336
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Jawa Barat (2013)

Kemudian di Kabupaten Sukabumi itu sendiri, sentra produksinya terletak


di Desa Langensari. Kontribusi luas tanam budidaya krisan Desa Langensari
mencapai 36.27 persen dari total luas tanam yang ada di Kabupaten Sukabumi
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sukabumi, 2013).
Dalam rangka meningkatkan produksi krisan Desa Langensari, Balai
Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Sukaraja Sukabumi
bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) dan Gapoktan Asri
Tani Jaya Desa Langensari melaksanakan transfer teknologi berupa pengenalan
budidaya krisan yang baik dan benar sesuai dengan SOP. Ketiga pihak tersebut
bekerjasama melakukan introduksi SOP budidaya krisan melalui perannya
masing-masing, BP3K berperan sebagai penyebar informasi melalui penyuluhan
mengenai cara budidaya sesuai dengan SOP, pihak BP3K rutin melaksanakan
penyuluhan setiap hari rabu dengan mengumpulkan para ketua Poktan serta
anggotanya di Desa Langensari. Balithi berperan melaksanakan penelitian dan
pengembangan bunga krisan, hasil dari penelitian itu sendiri dintroduksikan
kepada petani dibantu oleh pihak BP3K dan Gapoktan Asri Tani Jaya Desa
Langensari untuk diterapkan dalam budidayanya. Sebenarnya proses introduksi
dan penyuluhan mengenai praktek budidaya sesuai SOP sudah sejak lama
dilakukan oleh pihak BP3K sebelum kerjasama yang dilakukan dengan pihak
Gapoktan Asri Tani Jaya dan Balithi, namun sejak awal tahun 2014 proses
introduksi SOP budidaya krisan semakin rutin dilaksanakan dengan
mengumpulkan petani serta kunjungan langsung ke lapangan untuk
menyosialisasikan praktek budidaya yang baik dan benar.
Walaupun introduksi SOP budidaya krisan sudah rutin dilaksanakan, namun
tingkat penerapan SOP budidaya krisan petani Desa Langensari masih rendah.
Penerapan SOP budidaya krisan yang masih rendah menyebabkan produksi bunga
3

krisan petani Desa Langensari tidak bermutu. Sehingga ketika bunga tersebut
dijual harganya menjadi rendah, yang akhirnya pendapatan petani pun menjadi
rendah.

Perumusan Masalah

Bentuk tidak diterapkannya SOP oleh petani Desa Langensari dapat dilihat
mulai dari proses penyiapan sarana prasaran, proses produksi hingga panen dan
pascapanen. Dalam penyiapan sarana prasaran misalnya saja penyiapan
greenhouse. Masih banyak petani yang tidak mengikuti SOP terutama pada bahan
penutup dinding greenhouse yang digunakan. Bahan penutup dinding greenhouse
anjuran SOP adalah bahan yang dapat menjaga sirkulasi udara, seperti yang
terbuat dari net screen atau ram kawat. Namun saat ini banyak petani yang masih
menggunakan plastik sebagai bahan penutup dinding greenhouse, bahkan ada
yang tidak menggunakan penutup dinding sama sekali. Dalam proses produksi
bentuk tidak diterapkannya SOP terlihat dari pemberian pupuk dan kapur petanian
yang tidak sesuai dosis anjuran, penggunaan bibit tidak berkualitas dan sanitasi
lingkungan yang tidak dilakukan dengan cara yang benar. Kemudian dalam
pascapanen bentuk tidak diterapkannya SOP dapat terlihat dari perlakuan bunga
krisan setelah panen yang kurang baik sehingga menyebabkan banyak bunga yang
rusak sebelum sampai ke konsumen.
Dampak langsung tidak diterapkannya SOP oleh petani krisan Desa
Langensari menjadikan mutu krisan yang dihasilkan menjadi rendah. Mutu yang
rendah membuat harga jual menjadi murah yang akhirnya penerimaan petani
menurun. Rendahnya mutu juga mengakibatkan kuantitas penjualan krisan
berkurang, karena bunga krisan bermutu rendah cenderung mudah rusak saat
dilakukan perlakuan pada saat panen dan pascapanen sehingga tidak banyak
bunga yang dapat dijual. Selain itu krisan mutu rendah juga membuat petani
kebingungan mencari pembeli, karena banyak konsumen yang tidak mau
menerima bunga dengan kualitas rendah. Disisi lain, tingkat kesegaran bunga
krisan hanya dapat bertahan satu sampai dua minggu setelah panen, jika semakin
lama dibiarkan maka mutunya akan semakin menurun. Keadaan ini memaksa
petani menjual bunga krisan yang sudah dipanen walaupun dengan harga yang
rendah. Pada akhirnya dengan tidak diterapkannya SOP membuat usaha budidaya
krisan menjadi kurang menguntungkan.
Dampak lebih lanjut, karena usaha budidaya krisan kurang menguntungkan
banyak petani krisan Desa Langensari meninggalkan usahanya dan mengganti
dengan menanam komoditas lain. Bahkan ada sebagian petani yang beralih
profesi menjadi tukang ojek, karyawan pabrik dan kerja cathering. Keadaan ini
menambah rentetan masalah yang dihadapi petani, karena dengan trend beralih
profesi menyebabkan tenaga kerja menjadi sulit didapatkan terutama untuk
budidaya tanaman krisan. Tidak hanya sampai disitu, sulitnya mendapatkan
tenaga kerja membuat tenaga kerja yang sudah ada menjadi naik harganya.
Hasilnya untuk memproduksi bunga krisan akan membutuhkan biaya lebih tinggi
dari sebelumnya. Jika diasumsikan modal petani tetap maka dengan semakin
tingginya harga tenaga kerja akan membuat produksi secara keseluruhan menurun
4

di Desa Langensari. Oleh karena itu penerapan SOP budidaya krisan perlu
digalakan agar tidak terjadi permasalahan seperti yang saat ini terjadi.
Berdasarkan permasalahan di atas diketahui bahwa SOP budidaya
mempengaruhi mutu bunga yang akhirnya diduga berdampak pula terhadap
pendapatan usahatani dan produksi bunga krisan Desa Langensari. Tingkat
penerapan SOP budidaya krisan petani Desa Langensari masih rendah karena ada
anggapan dengan menerapkan SOP budidaya hanya menambah biaya seperti
untuk penggunaan bibit berkualitas, sistem penerangan yang prima, penggunaan
pestisida berkualitas, hingga manajemen tenaga kerja yang efektif. Namun disisi
lain penerapan SOP budidaya juga dipercaya dapat meningkatkan penerimaan
petani melalui peningkatan harga jual dari produksi krisan bermutu yang
dihasilkan. Sehingga muncul keraguan apakah penerapan SOP budidaya krisan
terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani atau menurukan pendapatan
petani akibat peningkatan biaya operasional. Oleh karena itu belum dapat
dibuktikan apakah penerapan SOP memberikan dampak positif atau sebaliknya
terhadap pendapatan usahatani bunga krisan. Untuk itu peningkatan penerimaan
dan biaya terkait penerapan SOP budidaya krisan perlu dianalisis lebih mendalam,
untuk memberikan informasi yang lengkap apakah penerepan SOP ini akan
menguntungkan atau tidak jika dlihat dari pendapatan usahatani yang dihasilkan.
Berdasarkan permasalahan tersebut rumusan masalah yang ingin diteliti adalah:
1. Bagaimana pengaruh SOP budidaya terhadap biaya, penerimaan dan
pendapatan usahatani bunga krisan di Desa Langensarai Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Sukabumi?
2. Bagaimana perbandingan biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani
krisan antara petani yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan
SOP budidaya krisan di Desa Langensarai Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Sukabumi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka


tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisis pengaruh SOP budidaya terhadap biaya, penerimaan dan
pendapatan usahatani bunga krisan di Desa Langensari Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Sukabumi.
2. Membandingakan biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani bunga
krisan petani yang menerapan SOP dan yang tidak menerapakan SOP
budidaya krisan di Desa Langensari Kecamatan Sukaraja Kabupaten
Sukabumi.

TINJAUAN PUSTAKA
Krisan adalah tanaman perdu dengan sebutan lain seruni atau bunga emas
(golden flower), pertama kali didudidayakan di Cina sebagai tanaman hias dan
obat (Oktavia, 2002). Bunga potong krisan merupakan komoditas unggulan
subsetor florikultura yang banyak diminati dekorator, florist, hotel, restoran
5

maupun rumah tangga. Kebutuhan bunga krisan dalam rangkaian bunga mencapai
30 sampai 65 persen, penggunaannya yang tinggi karena bentuk mahkota dan
warna yang bagus, bunga ini juga termasuk murah harganya. Masa panen tanaman
ini cukup singkat, sekitar 3-4 bulan kuncup bunga sudah bermunculan (Direktorat
Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2013). Saat ini bunga potong krisan
dipasar nasional cukup populer dan menduduki urutan tertinggi kedua setelah
anggrek (PUSDATIN, 2014). Pemasaran bunga krisan di Indonesia melalui
beberapa saluran tataniaga, Purwono (2014) melakukan analisis tataniaga bunga
krisan di Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur hasilnya menunjukan terdapat
empat saluran tataniaga bunga krisan. saluran yang memberikan keuntungan
terbesar pada petani adalah saluran III yaitu dari petani ke pedagang besar (grosir)
dan terakhir ke konsumen akhir. Dimana dengan saluran tersebut petani
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 473 per tangkai dengan nilai marjin sebesar
Rp. 1 313 per tangkai.
Kualitas dan mutu bunga krisan potong adalah faktor yang sangat
mempengaruhi harga jual (Sari, 2010). Karena mutu adalah faktor yang
menentukan segmen pasar yang akhirnya berpengaruh terhadap harga jual yang
diterima petani. Krisan dengan kualitas tinggi dengan grade AA atau A biasanya
untuk segmen pasar ekonomi kelas atas, semakin berkualitas harganya akan
semakin tinggi (Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2013). Untuk
itu peningkatan produksi bunga krisan harus disertai dengan perbaikan teknologi
budidaya atau Standar Operasional prosedur (SOP) untuk meningkatkan mutu
produksi dan harga jual produk. Menurut Sandriawati, et al (2013) Terdapat
beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya
bunga krisan potong seperti luas lahan, pendidikan formal, pendidikan Non
Formal, tingkat partisifasi dalam kelompk tani, sumber informasi, tingkat
kosmopolitan, sifat usahatani, keadaan kelompok tani dan kearifan penyuluh.
Faktor internal dan eksternal kategori tinggi yang berpengaruh terhadap penerapan
teknologi budidaya adalah pendidikan non formal, tingkat partisifasi petani dalam
kelompok tani, sumber informasi dan keadaan kelompok tani.
Standar operasional prosedur (SOP) budidaya krisan dapat menjadi acuan
dasar bagi petani untuk mendapat produk krisan potong yang baik, bermutu
tinggi, efisien dan ramah lingkungan (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012).
Penerapan SOP budidaya yang baik dan benar akan menentukan mutu produk
yang dihasilkan, karena dalam SOP budidaya krisan dimuat tatacara penyiapan
sarana dan prasarana produksi, proses produksi, panen dan pasca panen,
penentuan standar mutu hingga pencatatan (Direktorat Budidaya dan Pascapanen
Florikultura, 2012). Salah satu aspek penting dalam SOP budidaya adalah
penanganan panen serta pasca panen, hasil bunga krisan potong memiliki rata-rata
persentase grade A (54.2%) lebih tinggi dibandingkan dengan persentase
B(22.8%) dan grade C (18.3%) dengan penanganan panen dan pasca panen yang
baik (Syaifurrahmah, 2011). Aspek penting dalam penanganan pascapanen adalah
peningkatan kesegaran bunga krisan, menurut Suradinata (2012) penggunaan
Benzyl Amino Purine (BAP) dapat meningkatkan kesegaran bunga krisan.
Penggunaan BAP mampu mempertahankan kualitas bunga krisan dengan cara
menghambat terjadinya proses perubahan warna mahkota dan cakram bunga,
memperpanjang bunga cakram mekar dan memperpanjang lama bunga mekar.
Penelitian lain tentang mempertahankan kesegaran bunga krisan pada proses
6

pascapanen juga dilakukan oleh Wiraatmaja, et al (2007). Hasil penelitiannya


menunjukan penggunaan larutan perendam sukrosa dan asam sitrat pada
konsentrasi yang tepat dapat meningkatkan kesegaran bunga krisan. konsentrasi
asam sitrat yang optimal terhadap lama kesegaran bunga krisan pada masing-
masing konsentrasi sukrosa adalah 365 ppm, 285 ppm dan 344 ppm dengan lama
kesegaran bunga 9.34 hari, 12.61 hari dan 11.91 hari dan 10.23 hari. sedangkan
konsesntrasi sukrosa yang optimal terhadap lama kesegaran bunga krisan pada
masing-masing konsentrasi asam sitrat adalah 2.82%, 3.33% dan 2.07% dengan
lama kesegaran 11.33 hari, 11.88 hari, 13.02 hari dan 9.93 hari.
SOP budidaya penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya bunga
potong krisan, karena SOP budidaya berpengaruh terhadap mutu bunga yang
dihasilkan. Dan mutu bunga itu sendiri pada akhirnya akan mempengaruhi
pendapatan usahatani. Sehingga dalam hal dapat dikatakan bahwa SOP budidaya
berpengaruh terhadap pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani perlu
dilakukan untuk menghitung seberapa besar penerimaan petani dalam
berusahatani yang dikurangi dengan biaya. Besarnya pendapatan usahatani
merupakan ukuran keberhasilan usahatani. Petani dapat mengetahui gambaran
keadaan aktual usahatani melalui analisis pendapatan usahatani, sehingga dapat
melakukan evaluasi dalam perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan
datang (Cempaka, 2013). Diterapkan atau tidaknya SOP budidaya berpengaruh
terhadap pendapatan usahatani, untuk itu perlu dibandingkan pendapatan
usahatani antara usaha budidaya krisan menggunakan SOP dan non-SOP. Metode
perbandingan pendapatan usahatani dapat dilihat dari komponen penerimaan,
biaya serta efisiensi usahatani yang dapat dilihat dari nilai R/C rationya
(Poetryani, 2011).
Perbandingan pendapatan usahatani tanaman hias bunga potong terkait
dengan penerapan SOP pernah dilakukan oleh Wulandari (2009), dimana hasilnya
menunjukan bahwa budidaya bunga hias potong dengan menerapkan SOP terbukti
lebih efisien dibandingkan yang tidak menerapkan SOP yang terlihat dari nilai
R/C ratio-nya yang lebih besar. Selanjutnya untuk membuktikan perbedaan antara
pendapatan usahatani yang dilakukan dengan metode berbeda dapat dilakukan
dengan serangkaian uji statistik. Penelitian lain yang juga terkait dengan SOP
budidaya juga dilakukan oleh Maharani (2012), hasilnya menunjukan pendapatan
rata-rata per hektar petani pisang mas kirana di Kecamatan Sendoro Kabupaten
Lumajang Jember yang menerapkan SOP budidaya lebih tinggi dari yang tidak
menerapkan SOP budidaya. Begitupun hasil dari penelitian Lisanti (2014),
menunjukan usahatani tomat berbasis standar operasional prosedur (SOP) lebih
efektif dan efisien dibanding dengan usahatani tomat konvensional. Hal ini
dibuktikan dengan nilai pendapatan dan nilai R/C ratio petani SOP yang lebih
tinggi dibandingkan dengan usahatani tomat petani konvensional.
Penelitian lain yang juga masih terkait dengan standar operasional prosedur
pada komoditas pertanian juga pernah dilakukan oleh Widianingsih (2008).
Komoditas yang diteliti adalah Pepaya California, dimana hasilnya menunjukan
tingkat pendapatan atas biaya total usahatani pepaya petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP. Hal ini dikarenakan produksi petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP. Begitupun nilai R/C ratio petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP, dimana pada petani SOP R/C ratio tunai bernilai 3.26
sementara R/C ratio total bernilai 3.02 sedangkan pada petani non-SOP R/C ratio
7

tunai bernilai 3.06 sementara R/C ratio total bernilai 2.46. Begitupun penelitian
Hartati (2010) juga masih mengenai penerapan SOP, komoditas yang diteliti
adalah mangga gedong gincu di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa
Barat. Hasilnya menunjukan terdapat perbedaan keragaan usahatani antara petani
SOP dan non-SOP. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada aktivitas pemupukan,
pemangkasan, penyiangan, pengairan, pengendalian OPT, pemanenan hingga
pascapanen. Dari segi biaya, petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP.
Namun dari segi penerimaan petani SOP juga lebih tinggi dibanding petani non-
SOP, hal ini dikarenakan petani SOP dapat melakukan pemanenan diluar musim
karena penerapan standar operasional prosedur (SOP). Kemudian penelitian
terkait penerapan SOP pada komoditas petanian juga dilakukan oleh Dalimunthe
(2008), komoditas yang diteliti adalah Nenas. Hasilnya menunjukan bahwa
penerapan SOP terbukti dapat meningkatkan produksi dan produktivitas serta
kualitas hasil yang akan meningkatkan harga jual bagi petani. Begitupun jika
dilihat dari nilai pendapatan, pendapatan atas biaya total petani nenas SOP sebesar
Rp. 22 635 500 sementara pendapatan atas biaya tunai Rp. 36 400 500 sedangkan
pada petani non-SOP pendapatan total sebesar Rp. 17 720 000 sementara
pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 26 165 000.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Usahatani
Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan sumberdaya yang ada dengan efektif dan efisien untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Efektif bila petani
menggunakan sumberdaya yang ada sebaik-baiknya dan efisien jika pemanfaatan
sumberdaya menghasilkan output yang melebihi input (Soekartawi, 2006).
Analisis usahatani bermanfaat tidak hanya untuk petani tetapi juga untuk
penyuluh pertanian, para mahasiswa dan juga pihak lain yang berkepentingan
terhadap analisis usahatani. Menurut Soekartawi, et al (2011) ada empat elemen
penting yang diperlukan dalam penelitian usahatani yang efektif yaitu: 1)
pengetahuan yang cukup mengenai teori, 2) pengetahuan praktis, 3) strategi
penelitian yang efetif dan sumberdaya penelitian yang cukup, 4) administrasi
penelitian.
Usahatani juga dapat diartikan bagaimana seseorang mengusahakan dan
mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai
modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Usahatani merupakan
ilmu yang mempelajari cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan
mengkoordinasikan faktor produksi sehingga menghasilkan produksi seefektif dan
seefisien mungkin (Suratiyah, 2006). Kemudian usahatani juga dapat dikatakan
sebagai ilmu terapan yang mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya
secara efisien dan efektif pada suatu usaha pertanian agar diperoleh hasil
maksimal (Shinta, 2011).
8

Penerimaan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah nilai dari perkalian antara total produksi
dengan harga satuan produk usahatani (Hernanto, 1991). Total produksi dalam
usahatani dapat berupa produk yang dijual maupun produk yang tidak dijual.
Produk yang tidak dijual misalnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga,
digunakan kembali dalam usahatani, produk yang digunakan untuk pembayaran
dan produk yang disimpan digudang pada akhir tahun (Soekartawi, 2011).
Sehingga dalam hal ini penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Penerimaan tunai (PT)
Penerimaan tunai usahatani adalah nilai produk yang dijual petani.
Penerimaan total (TR)
Nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik nilai produk
yang dijual (PT) maupun nilai produk yang tidak dijual (PNJ).

Berdasarkan uraian di atas penerimaan usahatani dapat dirumuskan sebagai


berikut:
TR =PxQ
= P x (KJ + KNJ)
= (P*KJ) + (P*KNJ)
= PT + PNT

Keterangan:
P = harga produk
Q = produksi total (KJ + KNJ)
KJ = produk yang dijual
KNJ = produk yang tidak dijual
PT = penerimaan tunai
PNT = penerimaan tidak tunai

Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai dalam
proses produksi tetapi tidak termasuk tenaga kerja petani. Kemudian dalam ilmu
usahatani biaya juga dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap dan tidak terpengaruh oleh
jumlah produksi, contohnya adalah biaya untuk pajak. Biaya variabel adalah biaya
yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi, contohnya biaya untuk tenaga
kerja, pupuk dan lain-lain (Soekartawi 2006, 2011).
Pengembangan konsep biaya dalam usahatani juga dikemukakan Hernanto
(1991), bahwa biaya usahatani dapat juga diklasifikasikan menjadi biaya tunai dan
biaya non-tunai. Biaya tunai didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan
untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani, seperti biaya pembelian sarana
produksi, biaya pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan serta biaya upah tenaga
kerja. Biaya non-tunai merupakan nilai pemakaian barang dan jasa yang
dihasilkan yang berasal dari usahatani itu sendiri, seperti penggunaan tenaga kerja
dalam keluarga, penggunaan pupuk kompos yang berasal serasah daun komoditas
yang diusahakan, penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri dan lain
sebagainya.
9

Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara total penerimaan dan semua
biaya. Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani
dari pengunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri
atau modal pinjaman yang diinvestasikan dalam kegiatan usahtani (Soekartawi
2006, 2011).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan dan biaya dalam
usahatani (Suratiyah, 2011), yaitu:
Faktor internal dan faktor eksternal
Faktor internal seperti umur petani, pendidikan, pengalaman,
keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Faktor
eksternal seperti input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan
dan harga)
Faktor manajemen
Petani sebagai manajer harus dapat mengambil berbagai pertimbangan
ekonomi sehingga dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Mengingat
faktor internal tertentu dan faktor eksternal yang selalu berubah-ubah.
Pendapatan usahatani merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat
dipakai membandingkan penampilan beberapa usahatani (Soekartawi, 2011).
Namun perlu diperhatikan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu menunjukan
usahatani berjalan efisien, karena bisa saja pendapatan usahatani yang besar juga
diimbangi oleh biaya yang besar pula. Sehingga dalam proses pembandingan
penampilan usahatani perlu digunakan ukuran efisiensi usahatani seperti R/C
ratio.

Efisiensi Usahatani (R/C ratio)


Retern cost ratio atau R/C ratio adalah perbandingan antara penerimaan dan
biaya (Soekartawi, 2006). Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut:
a= R/C
R= Py*Y
C= FC + VC
a= ((Py* Y)/(FC+VC))

Keterangan:
R = penerimaan
C = biaya
Py = harga output
Y = output
FC = biaya tetap
VC = biaya tidak tetap (variable cost)

Nilai R/C ratio dapat menunjukan ukuran efisiensi suatu usahatani. Semakin
besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan. Rasio antara besar
penerimaan dengan total biaya (R/C) dalam usahatani bisa digunakan untuk
melihat apakah kegiatan usahatani menguntungkan (profitable) atau tidak. Nilai
R/C menunjukan besaran penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang
dikeluarkan dalam produksi usahatani. Jika nilai R/C meningkat maka
menunjukan adanya peningkatan penerimaan dan semakin efisien biaya yang
10

digunakan. Nilai R/C > 1, menujukan bahwa penerimaan lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkan sehingga usaha menguntungkan atau profitable untuk
dijalankan. Nilai R/C = 1, menunjukkan bahwa penerimaan sama dengan biaya
yang dikeluarkan atau usaha berada pada posisi impas. Sedangkan nilai R/C < 1,
menunjukkan bahwa penerimaan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan
sehingga usaha yang dijalankan tidak menguntungkan.

Uji T Dua Sampel


Berdasarkan hubungan antar populasinya, uji t dapat digolongkan kedalam
dua jenis uji, yaitu dependent sample t-test dan independent sample t-test.
Dependent sample t-test adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk
membandingkan rata-rata dua grup yang saling berpasangan. Sampel berpasangan
dapat diartikan sebagai sebuah sampel dengan subjek yang sama namun
mengalami dua pengukuran yang berbeda, contohnya pengukuran sebelum dan
sesudah dilakukan sebuah perlakuan. Kemudian untuk Independent sample t-test
adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk membandingkan rata-rata dua grup
yang tidak saling berpasangan atau tidak saling berkaitan. Tidak saling
berpasangan dapat diartikan bahwa penelitian dilakukan untuk dua subjek sampel
yang berbeda.
Penggunaan uji-t yang membandingkan dua buah mean perlu diperhatikan
bentuk hipotesis yang membandingkan kedua mean tersebut. Menurut Nazir
(2003) ada tiga cara untuk merumuskan hipotesis, yaitu:
Ho : u1 = u2, dengan hipotesis alternatif HA : u1 u2
Ho : u1 > u2, dengan HA : u1 u2
Ho : u1 < u2, dengan HA : u1 u2
Hipotesis yang sering digunakan adalah hipotesis pertama, yaitu hipotesis
yang menyatakan bahwa mean dari populasi 1 sama dengan mean populasi 2,
dengan hipotesis alternatif bahwa mean populasi 1 tidak sama dengan populasi 2.
Ini namanya adalah hipotesis nul. Uji-t perlu dilakukan karena perbedaan dua
mean yang terlihat berbeda secara nominal belum tentu berbeda secara statistik.

Standar Operasional Prosedur Budidaya Krisan


Kesadaran masyarakat internasional terhadap keamanan dan lingkungan
semakin meningkat. Begitu pula pada komoditas krisan, tidak hanya produksi
yang berkualitas baik yang diperhatikan tetapi juga aspek lingkungan dalam
melakukan produksi bunga krisan menjadi aspek yang sangat penting. Dalam
sistem perdangan internasional, hal ini menjadi isu penting yang digunakan
sebagai barier non tarif oleh negara-nagara maju terhadap produk dari negara-
negara berkembang. Kondisi ini dapat diantisipasi oleh negara berkembang seperti
Indonesia dengan memproduksi bunga krisan dengan menerapkan SOP agar dapat
memenuhi preferensi konsumen internasional.
Tuntutan konsumen global saat ini tidak saja diarahkan pada peningkatan
mutu, tetapi juga proses produksi yang ramah lingkungan maka dari itu prosedur
proses produksi yang baik dan benar serta ramah lingkungan menjadi sangat
penting. Pada subsektor florikultura, khususnya pada komoditas krisan terdapat
Standar operasional prosedur (SOP) budidaya krisan yang diperlukan untuk
menjaga 1) produktivitas, 2) kelestarian lingkungan, 3) keamanan dan
keselamatan petani dan 4) keamanan konsumen. Dengan mengacu pada SOP
11

budidaya petani dapat memenuhi standar mutu sesuai dengan preferensi


konsumen dalam negeri maupun internasional (Direktorat Budidaya dan Pasca
Panen Florikultura, 2012). Dalam SOP budidaya krisan terdapat acuan teknis
mulai dari penyiapan saran dan prasarana, proses produksi, panen dan pasca
panen, standar mutu hingga pencatatan.
Standar operasional prosedur (SOP) krisan merupakan acuan dasar bagi
pelaksanaaan budidaya krisan di lapangan. Dengan mengacu pada SOP, petani
dapat membudidayakan krisan potong secara baik dan benar untuk menghasilkan
produk bermutu tinggi yang efisien dan ramah lingkungan. Penerapan SOP
merupakan indikator menuju produk yang berdaya saing sehingga penjaminannya
melalui telusur balik dari prinsip-prinsipnya dapat dilakukan dengan jelas
(Direktorat Budidaya dan Pasca Panen Florikultura, 2012).
Krisan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor
yang memberi kontribusi terhadap devisa negara. Saat ini peluang pangsa pasar
internasional bagi bunga krisan Indonesia masih terbuka lebar. Pasokan bunga
krisan di pasar dunia didominasi oleh pelaku usaha yang berasal dari Belanda,
Colombia dan Italy yang mencapai total ekspor lebih dari 60 persen dari
perdagangan dunia. Indonesia juga memiliki peluang besar menjadi pengekspor
bunga krisan karena beberapa daerah Indonesia memiliki lahan yang luas serta
iklim dan cuaca yang cukup baik untuk tumbuh perkembangan bunga krisan.
Untuk menjadi pelaku usaha yang berdaya saing pada komoditas bunga krisan
Indonesia sudah memiliki peluang dari segi lingkungan, kemudian untuk
mewujudkan Indonesia menjadi produsen krisan yang berdaya saing juga perlu
didukung dari teknik produksi yaitu harus dilakukan dengan cara yang baik dan
benar. Budidaya krisan yang baik dan benar salah satunya dapat dilakukan dengan
menerapkan SOP budidaya krisan, sehingga dalam hal ini SOP budidaya krisan
menjadi sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen krisan
yang berdaya saing.

Pedoman Budidaya yang Baik (Good Agricultural Practices On Floriculture)


Pada era perdagangan global saat ini, baik pada sektor pertanian maupun
sektor lainnya tidak lagi mengandalkan hambatan tarif tetapi sudah lebih
cenderung pada hambatan teknis berupa persyaratan mutu, sanitary dan
phytosanitary. Kondisi ini menuntut produsen untuk meningkatkan daya saing
produknya agar dapat membentengi arus barang dari luar mengusai pasar dalam
negeri. Khusus pada sektor florikultura tepatnya komoditas krisan, salah satu
tanaman subsektor florikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan prospek
yang cerah sebagai komoditas ekspor maupun pemasaran dalam negeri.
Berhubungan dengan tuntutan perdagangan global saat ini, juga diperlukan
peningkatan kualitas serta produksi yang ramah lingkungan untuk mencegah
masuknya produk luar negeri menguasai pasar bunga krisan dalam negeri. Salah
satu solusi dari tuntutan tersebut adalah dengan menerapkan budidaya florikultura
yang baik (good agricultural practices on floriculture).
Tujuan dari diterpakannya budidaya florikulturan yang baik khusus pada
komoditas krisan tidak hanya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
tetapi juga untuk meningkatkan daya saing serta aspek keberlanjutan usaha
dengan memperhatikan aspek lingkungan. Ruang lingkup terlaksananya budidaya
yang baik mencakup beberapa aspek, yaitu mulai dari dasar usahatani, dasar
12

budidaya, teknik budidaya tanaman hias, peralatan dan mesin, pengaduan,


pencatatan hingga evaluasi internal.

Kerangka Pemikiran Operasional

Tujuan akhir yang ingin diperoleh petani dalam usahanya adalah pendapatan
yang maksimum. Namun mutu bunga krisan yang dihasilkan petani Desa
Langensari masih beragam, karena penerapan SOP yang belum diterapkan secara
menyeluruh oleh petani Desa Langensari. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi
tingkat pendaptan yang diterima oleh para petani. Karena setiap mutu memiliki
segmen pasar yang berbeda, yang pada akhirnya juga mempengaruhi harga.
Berdasarkan uraian tersebut, kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini
dapat dilihat gambar dibawah ini:
13

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Langensari Kecamatan Sukaraja Kabupaten


Sukabumi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan bahwa Desa Langensari merupakan salah satu sentra
produksi bunga krisan yang cukup besar produksinya baik skala kabupaten
maupun nasional. Penelitian disentra produksi bunga krisan menjadi penting,
karena produksi bunga krisan dilokasi ini juga mempengaruhi produksi nasional.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2014 sampai Februari 2015.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan petani bunga krisan
Desa Langensari. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur terkait
seperti data dari BPS, Dinas Pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Indonesia, Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura serta BP3K
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi.

Metode Pengumpulan Data

Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu dengan melakukan


wawancara kepada petani krisan Desa Langensari. Selain itu, pengumpulan data
juga dilakukan dengan pengamatan langsung proses budidaya bunga krisan di
lokasi penelitian. Petani responden dalam penelitian ini berjumlah 35 orang.

Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif


dijabarkan secara deskriptif yaitu mengenai gambaran umum dan kondisi usaha
budidaya krisan. Sedangkan data kuantitatif diolah dengan menggunakan program
Microsoft Excel dan SPSS versi 11.5.

Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dan total biaya.


Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai
dan pendapatan atas biaya total.
Pendapatan atas biaya tunai dirumuskan sebagai berikut:

=
14

Keterangan:
tunai = Pendapatan Tunai usahatani krisan
TR = penerimaan total usahatani
BTU = biaya tunai usahatani krisan
Pendapatan atas biaya total dirumuskan sebagai berikut:

=
Keterangan:

total = pendapatan total usahatani krisan


TR = Penerimaan total usahatani krisan
BTO = Biaya Total

Analisis Efisiensi Usahatani

Pendapatan yang besar tak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Oleh
karena itu analisa pendapatan perlu diikuti dengan pengukuran efisiensi. R/C rasio
merupakan salah satu ukuran efisiensi yang menggambarkan penerimaan untuk
tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio).
Pengukuran efisiensi masing-masing usahatani terhadap setiap penggunaan
satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio antara jumlah penerimaan
dengan jumlah biaya (R/C). R/C rasio yang dihitung dalam analisis ini terdiri dari
R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total, yang secara sederhana dapat
diturunkan dari rumus:

Keterangan:
R = Revenue atau penerimaan budidaya krisan (Rp)
C = Cost atau pengeluaran/biaya budidaya krisan (Rp)

Nilai R/C secara teoritis menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan akan memperoleh penerimaan, jika R/C rasio >1 maka kegiatan
usahatani menguntungkan untuk dijalankan. Akan tetapi apabila R/C <1 maka
kegiatan usahatani tidak menguntungkan untuk dijalankan.

Uji T Independen

Uji beda yang digunakan dalam penelitian ini adalah Independent Samples
T test. Uji statistik ini berguna untuk melihat perbedaan biaya, penerimaan dan
pendapatan antara petani yang menerapkan SOP dan petani yang tidak
menerapkan SOP budidaya bunga krisan. Dengan cara menguji perbedaan mean
15

pendapatan dari dua sampel yang saling bebas atau tidak berhubungan. Dimana
peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam dari sampel bebas tersebut,
asumsi lain yang digunakan pada pengujian ini adalah sampel menyebar normal.
Menurut Sugiyono (2013) terdapat dua formula uji-t independen, yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Rumus 1: seperated varian Rumus 2: polled varian

= =
2 2 ( 1) 2 + ( 1) 2 1 1
+ ( + )


+ 2

Varian dan Standar deviasi pendapatan petani (SOP dan non SOP) dicari
dengan rumus (Nazir, 2003):
( )2 ( )2
= =
1 1

= =

Menurut Sugiyono (2013) ketentuan penggunaan rumus pada uji t-


independen di atas adalah sebagai berikut:
Bila jumlah anggota sampel = , dan varian homogen ( =
) maka dapat digunakan rumus separated varian maupun pooled
variance (rumus 1 dan 2). Untuk melihat t-tabel digunakan dk = +
2.
Bila , variance homogen ( = ) maka dapat digunakan rumus
pooled varian (rumus 2). Derajat kebebasannya dk = + 2.
Bila = , varian tidak homogen ( ) dapat digunakan rumus
separated varian maupun pooled variance (rumus 1 dan 2). Dengan dk =
1 atau 1.
Bila dan varian tidak homogen ( ) digunakan rumus
separated varian (rumus 1). Harga t sebagai pengganti t-tabel dihitung
dari selisih harga t-tabel dengan dk ( 1) dan dk ( 1) dibagi dua
dan kemudian ditambahkan dengan harga t yang terkecil.
Keterangan
= rata-rata biaya/penerimaan/pendapatan kelompok petani yang
menerapkan SOP
= rata-rata biaya/penerimaan/pendapatan kelompok petani non SOP
pi = biaya/penerimaan/pendapatan petani ke-i
= varian biaya/penerimaan/pendapatan kelompok petani SOP
= varian biaya/penerimaan/pendapatan kelompok petani non-SOP
= standar deviasi biaya/penerimaan/pendapatan kelompok petani SOP
= standar deviasi biaya/penerimaan/pendapatan kelompok petani non SOP
= banyaknya petani yang menerapkan SOP
= banyaknya petani non SOP
16

Adapun hipotesis dapat dituliskan sebagai berikut:


Ho : Biaya/penerimaan/pendapatan petani menerapkan SOP =
biaya/penerimaan/pendapatan petani tidak menerapkan SOP
H1 : Biaya/penerimaan/pendapatan petani menerapkan SOP
biaya/penerimaan/pendapatan petani tidak menerapkan SOP
Kesimpulan terhadap hipotesis, tolak Ho bila nilai t hitung > t tabel atau saat
P value < sebaliknya terima Ho bila nilai t hitung < t tabel atau saat P value > .

Penilaian Penerapan SOP/GAP

Penerapan SOP petani dinilai menggunakan format penilaian pedoman


budidaya florikultura yang baik (good agricultural practices on floriculture),
kemudian untuk penilaian teknik budidaya spesifik komoditas krisan digunakan
standar operasional prosedur (SOP) budidaya krisan potong yang diterbitkan oleh
Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Direktorat Jenderal Hortikultura
Kementerian Pertanian.
Ruang lingkup penilaian penerapan good agricultural practices on
floriculture meliputi aspek dasar-dasar usahatani, dasar-dasar budidaya, teknik
budidaya tanaman hias dan bunga, alat dan mesin pertanian, pangaduan,
pencatatan dan yang terakhir evaluasi internal. Dimana dari aspek tersebut dirinci
menjadi beberapa kegiatan dan kegiatan-kegiatan itu sendiri terdapat beberapa
anjuran yang harus diikuti. Secara keseluruhan terdapat 101 anjuran yang sudah
mencakup seluruh aspek. Dari 101 anjuran tersebut memiliki beberapa kriteria,
yaitu kriteria A yang artinya dianjurkan untuk dilaksanakan yang berjumlah 27,
kriteria SA yang artinya sangat dianjurkan untuk diikuti berjumlah 63 dan kriteria
W yang artinya anjuran yang wajib diikuti berjumlah 11. Format lengkap
penilaian penerapan GAP dapat dilihat pada lampiran 5 sampai 8.
Penerapan GAP oleh petani dinilai untuk 101 anjuran yang ada pada
pedoman budidaya florikultura yang baik. Dimana jika tingkat penerapan anjuran
telah sesuai diberi nilai satu dan jika tidak sesuai diberikan nilai nol. Hasil
penilaian itu dikumulatif dan dibuat persentase. Kemudian untuk hasil
penilaiannya, dikategorikan menjadi lulus, lulus dengan syarat perbaikan dan
tidak lulus. Tabel 3 memperlihatkan bahwa petani dikatakan lulus atau tergolong
petani SOP jika mengikuti minimal 40 persen kriteria anjuran A, 60 persen
kriteria anjuran SA dan 100 persen kriteria anjuran W.

Tabel 3 Kategori penilaian penerapan SOP/GAP


Skor Kriteria Anjuran (%)
Kategori penilaian
A SA W
Lulus (petani SOP) 40 60 100
Lulus dengan catatan perbaikan < 40 < 60 100
Tidak lulus 0-100 0-100 <100%
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura
17

Definisi Operasional dan Asumsi Dasar

1. Krisan adalah tanaman hias yang berasal dari spesies Dendranthema


grandiflora Tzvelev termasuk dalam Familia Asterales, Ordo Asterales,
Classis Dicotyledoneae, Subdivisio Angiospermae dan Divisio Spermatophyta
(Marwoto, 2012).
2. Standar operasional prosedur (SOP) budidaya krisan potong adalah acuan
teknis terperinci budidaya krisan potong yang produktif, efisien dan ramah
lingkungan sesuai prinsip GAP dalam rangka peningkatan produktivitas, mutu
hasil dan keuntungan ekonomis bagi petani secara berkelanjutan.
3. Petani Krisan SOP/Petani SOP adalah petani yang telah mempraktekan
budidaya krisan sesuai anjuran SOP budidaya krisan potong dan secara
penilaian telah dinyatakan lulus memenuhi 100 persen kategori kegiatan wajib
(W), memenuhi minimal 60 persen kategori kegiatan sangat anjuran (SA)
serta memenuhi kategori kegiatan minimal 40 persen kegiatan kategori
anjuran (A) pada format penilaian Budidaya Florikultura yang Baik (Good
Agricultural Practices on Floriculture) yang diterbitkan oleh Direktorat
Budidaya dan Pascapanen Florikultura Kementrian Pertanian.
4. Petani non-SOP adalah petani yang belum mempraktekan budidaya krisan
sesuai anjuran SOP dan secara penilaian belum memenuhi 100 persen kategori
kegiatan wajib (W), 60 persen kategori kegiatan sangat anjuran (SA) serta 40
persen kegiatan anjuran (A) pada format penilaian Budidaya Florikultura yang
Baik (Good Agricultural Practices on Floriculture) yang diterbitkan oleh
Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Kementrian Pertanian.
5. Tingkat penerapan SOP petani dinilai oleh peneliti dengan menggunakan
format penilaian Budidaya Florikultura yang Baik (Good Agricultural
Practices on Floriculture) dan buku Standar Operasional Prosedur Budidaya
Krisan Potong yang diterbitkan oleh Direktorat Budidaya dan Pascapanen
Florikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementrian pertanian.
6. Greenhouse atau rumah lindung budidaya krisan adalah tempat budidaya
tanaman krisan beratap yang dapat dibuat dari berbagai jenis bahan untuk
mencegah terpaan curah hujan dan sinar matahari yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman krisan.
7. Luas lahan greenhouse budidaya krisan yang dianalisis pada penelitian ini
adalah 500 m2. Dengan pertimbangan luas greenhouse rata-rata yang dimiliki
para petani Desa Langensari adalah seluas 500 m2.
8. Perlakuan seorang petani terhadap beberapa greenhouse yang dimilikinya
diasumsikan sama.
9. Satu siklus produksi budidaya krisan ditetapkan 3.5 bulan atau 105 hari.
Waktu satu siklus produksi ditetapkan demikian atas dasar pertimbangan rata-
rata penyelesaian mulai dari menanam bibit sampai dengan bunga habis
18

dipanen (satu siklus produksi) di daerah penelitian adalah selama 3.5 bulan
atau 105 hari.
10. Harga input serta output yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
harga yang berlaku pada saat penelitian dan dinyatakan konstan.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Umum Desa Langensari

Kondisi Geografis
Desa Langensari merupakan salah satu dari sembilan desa yang berada di
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Desa ini memiliki batas-
batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Taman Nasional Gede Pangrango
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pasirhalang
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cisarua dan Desa Limbangan
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Salawi dan Desa Margaluyu
Kondisi iklim Desa Langensari adalah iklim tropik dengan tipe iklim B
(Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan 2 805 mm dan hari hujan 144
hari, suhu udara berkisar antara 20-30 oC dengan kelembaban udara 85-89 persen.
Bentuk lahan Desa Langensari bergelombang hingga gunung. Bentuk
bergelombang sampai berbukit dengan lereng 15-40 persen seluas 42.7 persen
dan berbukit sampai bergunung dengan lereng lebih dari 40 persen seluas 25.9
persen.
Tabel 4 menunjukan total luas lahan Desa Langensari adalah 454 Ha yang
terbagi menjadi Tanah sawah, tanah kering (tegal / ladang dan pemukiman), tanah
perkebunan, fasilitas umum dan hutan. Pemanfaatan paling besar adalah untuk
tanah sawah yaitu sebesar 32.38 persen dan untuk tegal atau ladang sebesar 28.63
persen. Hal ini menunjukan Desa Langensari memiliki potensi sektor pertanian
yang cukup besar. Jenis tanaman yang dibudidayakan di Desa Langensari
dikelompokan menjadi tiga sektor utama, yaitu tanaman pangan seperti padi dan
jagung, tanaman bunga (florikultura) dan tanaman sayuran (hortikultura).

Tabel 4 Spesifikasi lahan Desa Langensari


Spesifikasi lahan Satuan Desa Langensari
Tanah sawah
- Sawah irigasi desa Ha 147
Tanah kering
- Tegal / ladang Ha 130
- pemukiman Ha 38
Tanah perkebunan
- Rakyat Ha 36
- Negara Ha 75
Fasilitas umum
19

Lanjutan Tabel 4 Spesifikasi lahan Desa Langensari


Spesifikasi lahan Satuan Desa Langensari
- Kas Desa Ha 12
Langensari
- lapangan Ha 2
- perkantoran Ha 2
pemerintah
Tanah hutan
- hutan lindung Ha 12
Total Luas Ha 454
Sumber: Profil Desa Langensari (2014)

Potensi sektor pertanian Desa Langensari juga didukung oleh kondisi


masyrakatnya yang sebagian besar bermata pencaharian di sektor pertanian. Tabel
5 menunjukan warga Desa Langensari yang bekerja pada sektor pertanian
sebanyak 47.62 persen yaitu sebagai petani, buruh tani dan peternak. Dimana
yang bekerja sebagai petani sebanyak 7.45 persen, sebagai buruh tani 38.56
persen yang juga menempati urutan pertama dari jenis pekerjaan lainnya dan
sebagai peternak sebanyak 1.61 persen.

Tabel 5 Pekerjaan penduduk Desa Langensari


Pekerjaan Jumlah Persentase
Petani 194 7.45
Buruh tani 1 004 38.56
Buruh/Swasta 654 25.12
Pegawai Negeri 29 1.11
Pengrajin 6 0.23
Pedagang 216 8.29
Peternak 42 1.61
Montir 4 0.15
TNI/POLRI 4 0.15
Kontraktor 1 0.04
Tukang Batu 16 0.61
Tukang Kayu 34 1.31
Guru Swasta 8 0.31
Pengangguran 392 15.05
Total 2 604 100
Sumber: Profil Desa Langensari (2014)

Kondisi Sosial
Jumlah penduduk Desa Langensari sebanyak 9 504 jiwa. Jumlah ini terdiri
dari laki-laki 4 807 jiwa dan perempuan 4 697 jiwa dengan jumlah keluarga
sebanyak 2 843. Dari segi pendidikan setengah masyarakat Desa Langensari
merupakan tamatan sekolah dasar atau sederajat (SD) yaitu sebanyak 50.27
persen. Kemudian yang tidak tamat SD sebanyak 13.99 persen, SLTP sederajat
20

19.51 persen, SLTA sederajat 14.37 persen dan hanya sebagian kecil yang
mengenyam bangku kuliah yaitu sebanyak 1.87 persen (Tabel 6).

Tabel 6 Pendidikan Penduduk Desa Langensari


Kriteria Pendidikan Jumlah Persentase
Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 404 6.74
Pernah sekolah SD tetapi tidak tamat 435 7.25
Tamat SD /Sederajat 3 015 50.27
SLTP /sederajat 1 170 19.51
SLTA/Sederajat 862 14.37
D1 52 0.87
D2 6 0.10
D3 37 0.62
S1 17 0.28
Total 5998 100
Sumber: Profil Desa Langensari (2014)

Karakteristik Petani Responden

Petani responden dalam penelitian ini berjumlah 35 orang dan semua


merupakan warga Desa Langensari. setelah dilakukan penilaian terhadap teknik
budidayanya, terdapat 10 orang petani yang tergolong menerapkan SOP dan 25
sisanya tergolong tidak menerapkan SOP (Non SOP). Karakteristik petani
responden digolongkan berdasarkan usia dan tingkat pendidikan.
Pengklasifikasian tersebut dilakukan karena dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi teknik budidaya usahatani krisan termasuk penerapan SOP oleh
petani.

Usia
Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas bekerja,
untuk itu perlu dideskripsikan usia petani yang menjadi responden. Tabel 7
menunjukan perbandingan usia petani SOP dan non-SOP. Persentase usia petani
yang menerapkan SOP umumnya lebih tinggi pada usia-usia muda, sebaliknya
petani non-SOP persentase usia petaninya lebih tinggi pada usia-usia yang sudah
relatif tua (diatas 50 tahun) yaitu sebanyak 36 persen. Hal ini dikarenakan, petani
berusia muda cenderung lebih aktif mengikuti pertemuan dan pelatihan yang
dilakukan oleh pihak Gapoktan maupun BP3K mengenai cara budidaya yang baik
dan benar sesuai SOP. Pada usia yang relatif muda mereka cenderung lebih aktif
sehingga pertemuan terkait cara budidaya yang baik dan benar sesuai SOP
cenderung lebih banyak mereka dapatkan, sehingga pengetahuan mengenai cara
budidaya sesuai SOP cenderung lebih banyak mereka dapatkan. Sebaliknya petani
berusia relatif tua (diatas 50 tahun) cenderung lebih pasif dan malas dalam
mengikuti pertemuan dan pelatihan yang dilakukan baik oleh Gapoktan maupun
BP3K mengenai cara budidaya yang baik dan benar sesuai SOP. Sehingga tingkat
21

penerapan dan pengetahuannya mengenai budidaya sesuai SOP cenderung lebih


rendah dibanding petani berusia muda. Oleh karena itu petani yang menerapkan
SOP cenderung menyebar pada usia-usia muda sedangkan petani non-SOP
menyebar pada petani dengan usia yang relatif sudah tua.

Tabel 7 Perbandingan usia petani SOP dan non-SOP


Usia SOP Non SOP
(Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%)
20-30 2 20 4 16
31-40 3 30 7 28
41-50 3 30 5 20
>50 2 20 9 36
10 100 25 100
Sumber: Profil Desa Langensari (2014)

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan dan tingkat penerapan
teknologi dalam melakukan kegiatan usahatani. Begitupula dalam hal ini, tingkat
pendidikan juga berpengaruh terhadap penerapan SOP. Tabel 8 memperlihatkan
baik petani SOP maupun non-SOP sebagian besar tingkat pendidikannya adalah
SD. Pada petani SOP tingkat pendidikan SD sebanyak 50 persen sedangkan petani
non-SOP sebanyak 68 persen. Sedangkan Persentase tingkat pendidikan SMP dan
SMA petani SOP cenderung lebih besar dibanding petani non-SOP. Persentase
tingkat pendidikan SMP petani SOP sebesar 20 persen sedangkan petani non-SOP
sebesar 12 persen. Untuk persentase tingkat pendidikan SMA petani SOP sebesar
30 persen sedangkan petani non-SOP sebesar 20 persen.
Sehingga terlihat semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar pula
kemungkinan petani tersebut menerapkan SOP. Walaupun saat ini sebagian besar
tingkat pendidikan petani SOP maupun non-SOP adalah SD namun jika kita
bandingkan antara petani SOP dan non-SOP, tingkat pendidikan petani SOP
secara persentase lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Terlihat dari nilai
persentase tingkat pendidikan SMP dan SMA petani SOP yang lebih tinggi
dibanding petani non-SOP.

Tabel 8 Tingkat pendidikan petani SOP dan non-SOP


SOP Non SOP
Pendidikan
Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase(%)
SD 5 50 17 68
SMP 2 20 3 12
SMA 3 30 5 20
10 100 25 100
Sumber: Profil Desa Langensari (2014)
22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Penerapan SOP Budidaya Krisan Petani Desa Langensari

Penerapan SOP budidaya krisan petani Desa Langensari umumnya masih


rendah. Bentuk tidak diterapkannya SOP dapat dilihat mulai dari proses
penyiapan sarana prasaran, proses produksi, panen hingga pascapanen. Dalam
penyiapan sarana prasarana contoh tidak diterapkannya SOP dapat terlihat pada
penyiapan greenhouse, masih banyak petani yang tidak mengikuti anjuran SOP
terutama pada penggunaan dinding greenhouse. Menurut anjuran SOP dinding
greenhouse seharusnya adalah bahan yang dapat menjaga sirkulasi udara
sekaligus dapat menahan serangga perusak bunga, bahan dinding greenhouse
anjuran adalah net screen atau ram kawat. Namun kenyataannya saat ini banyak
petani yang hanya menggunakan plastik sebagai dinding greenhousenya bahkan
ada yang tidak berpenutup dinding sama sekali. Tentu dengan hanya
menggunakan plastik sebagai dinging greenhouse pertumbuhan bunga krisan
menjadi tidak optimal karena sirkulasi udara dalam greenhouse menjadi tidak
baik, apalagi greenhouse yang tidak berpenutup sama sekali, serangga perusak
bunga krisan akan sangat mudah keluar masuk kedalam greenhouse tanpa ada
yang menghalangi. Banyak dinding greenhouse petani Desa Langensari yang
tidak sesuai anjuran SOP dikarenakan net screen atau ram kawat (bahan anjuran
SOP) harganya relatif mahal sehingga banyak petani yang tidak mampu
membelinya. Kemudian pada proses produksi bentuk tidak diterapkannya SOP
terlihat dari pemberian pupuk tidak sesuai dosis anjuran, penggunaan bibit yang
tidak berkualitas dan sanitasi lingkungan yang belum dilakukan dengan benar.
Dari kegiatan panen dan pascapanen bentuk tidak diterapkannya SOP dapat
terlihat dari perlakuan bunga krisan yang kurang baik yang menyebabkan bunga
banyak yang rusak sebelum sampai ke konsumen.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penerapan SOP masih banyak
tidak diterapkan. Pertama, anjuran SOP masih dianggap kurang praktis untuk
dilaksanakan. Banyak petani mengganggap anjuran dalam SOP terlalu banyak
kegiatan dan bertele-tele sehingga mengakibatkan petani merasa tidak perlu
mengikutinya. Kedua, penerapan SOP dianggap hanya menambah biaya tanpa
memberikan imbalan pendapatan yang seimbang jika diterapkan. Ketiga,
lemahnya pengetahuan petani mengenai manfaat penerapan SOP budidaya krisan.
Proses introduksi SOP budidaya krisan di Desa Langensari sebenarnya telah
dilakukan oleh beberapa pihak yaitu diantaranya Balithi, BP3K dan juga
Gapoktan Asri Tani Jaya. Bahkan sampai saat ini Gapoktan Asri Tani Jaya
bekerja sama dengan pihak BP3K Kecamatan Sukaraja Sukabumi rutin
melaksanakan pertemuan dan penyuluhan pada hari rabu yang dimulai sejak awal
tahun 2014. Pertemuan dan penyuluhan tersebut salah satunya bertujuan
memperkenalkan SOP budidaya krisan agar terwujud budidaya krisan yang baik
dan benar.
Walaupun introduksi SOP rutin dilaksanakan setiap minggu namun tetap
saja budidaya krisan petani Desa Langensari masih banyak yang belum sesuai
SOP. Akibatnya kualitas bunga krisan yang dihasilkan petani Desa Langensari
menjadi kurang baik, hal ini akhirnya menyebabkan usaha budidaya krisan yang
23

dijalankan petani Desa Langensari menjadi kurang menguntungkan. Dampak


lebih lanjut, karena usaha budidaya krisan kurang menguntungkan banyak petani
krisan Desa Langensari meninggalkan usahanya dan mengganti dengan menanam
komoditas lain. Bahkan ada sebagian petani yang beralih profesi menjadi tukang
ojek, karyawan pabrik dan kerja cathering. Keadaan ini menambah rentetan
masalah yang dihadapi petani, karena dengan trend beralih profesi menyebabkan
tenaga kerja menjadi sulit didapatkan terutama untuk budidaya tanaman krisan.
Tidak hanya sampai disitu, sulitnya mendapatkan tenaga kerja membuat tenaga
kerja yang sudah ada menjadi naik harganya. Hasilnya untuk memproduksi bunga
krisan akan membutuhkan biaya lebih tinggi dari sebelumnya. Jika diasumsikan
modal petani tetap maka dengan semakin tingginya harga tenaga kerja akan
membuat produksi secara keseluruhan menurun di Desa Langensari.

Penilaian Tingkat Penerapan SOP Petani Krisan Desa Langensari

Petani digolongkan SOP apabila memenuhi minimal 40 persen kriteria


anjuran (A), 60 persen kriteria sangat anjuran (SA) dan 100 persen kriteria wajib
(W). Setelah dilakukan penilaian penerapan SOP terhadap 35 petani krisan di
Desa Langensari, terdapat sepuluh petani yang dinyatakan lulus dan 25 lainnya
dinyatakan tidak lulus. Sepuluh petani yang lulus penilaian itulah yang kemudian
disebut sebagai petani SOP sedangkan 25 petani lainnya yang tidak lulus
digolongkan sebagai petani non-SOP.
Secara keseluruhan skor penilaian kriteria anjuran petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP. Tabel 9 menunjukan skor petani SOP untuk kriteria
anjuran (A) rata-rata sebesar 54 persen sedangkan pada petani non-SOP 50
persen. Pada kriteria sangat anjuran (SA) rata-rata skor petani SOP 65 persen
sedangkan pada petani non-SOP hanya 49 persen. Pada kriteria wajib skor petani
SOP senilai 100 persen sedangkan pada petani non-SOP senilai 67 persen.

Tabel 9 Perbandingan rata-rata penerapan anjuran petani SOP dan non-SOP


Kriteria kelulusan (%) Petani Desa Langensari (%)
Kriteria anjuran
Lulus Tidak lulus Petani SOP Petani non-SOP
Anjuran (A) 40 < 40 54 50
Sangat anjuran (SA) 60 < 60 65 49
Wajib (W) 100 < 100 100 67

Secara keseluruhan terdapat 101 anjuran yang terdapat dalam pedoman


budidaya florikultura yang baik (good agricultural practices on floriculture). Dari
101 anjuran tersebut dibagi menjadi tiga kriteria yaitu A, SA dan W. Kriteria A
artinya dianjurkan untuk dilaksanakan, kriteria ini minimal 40 persen harus diikuti
petani untuk menjadi SOP. Kriteria SA artinya sangat dianjurkan untuk
dilaksanakan, kriteria ini minimal 60 persen harus diikuti petani untuk menjadi
SOP. Kemudian yang terakhir kriteria W yang artinya wajib dilaksanakan, kriteria
ini harus 100 persen diikuti petani untuk menjadi petani SOP, apabila terdapat
satu saja anjuran kriteria W tidak dilaksanakan petani dapat menjadikannya
menjadi tidak SOP. Secara lengkap semua isi anjuran pedoman budidaya
24

florikultura yanb baik (good agricultural practices on floriculture) dapat dilihat


pada Lampiran 6 sampai Lampiran 8. Pada Lampiran 6 sampai Lampiran 8
terlihat setiap anjuran telah diberi nomor urut dari 1 sampai 101, dimana setiap
anjuran telah memiliki kriteria masing-masing yaitu A, SA dan W. Adapun untuk
hasil penilaian penerapan setiap anjuran berdasarkan kriteria (A, SA dan W) oleh
petani responden dapat dilihat pada Tabel 10, 11 dan 12. Tabel 10 menampilkan
hasil penilaian anjuran untuk yang kriteria A, Tabel 11 menampilkan hasil
penilaian anjuran kriteria SA dan Tabel 12 menampilkan penilaian anjuran untuk
kriteria W.

Kriteria Anjuran (A)


Kriteria anjuran (A) yang banyak tidak diterapkan oleh petani baik dari
kelompok SOP maupun non-SOP adalah nomor 4, 9, 22, 29, 30, 76, 77, 100 dan
101. Terlihat dari nilai persentasenya yang bernilai nol (Tabel 10). Begitu pula
dengan anjuran nomor 69 juga belum banyak diterapkan oleh petani, terlihat dari
nilainya yang hanya 3 persen. Anjuran SOP nomor 4 adalah kegiatan pemetaan
dalam usaha budidaya krisan, dalam SOP menganjurkan petani memiliki peta
lokasi budidaya krisan yang mereka miliki. Namun keadaan dilapangan
menunjukan semua petani Desa Langensari baik dari kelompok SOP maupun non-
SOP belum ada yang memiliki peta lokasi lahan budidaya krisan, sehingga nilai
anjuran nomor 4 bernilai nol. Anjuran nomor 9 adalah kegiatan analisis dampak
lingkungan, anjuran nomor 9 bernilai nol karena semua petani Desa Langensari
belum ada yang melakukan analisis dampak lingkungan sebelum pembukaan
lahan budidaya krisan. Anjuran nomor 22 adalah kegiatan penanganan
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, anjuran tersebut bernilai nol karena
semua petani Desa Langensari belum ada yang memiliki tempat khusus
penyimpanan baju dan perlengkapan perlindungan kerja. Anjuran nomor 30
adalah kegiatan penggunaan benih yaitu pada aspek mutu, anjuran tersebut
bernilai nol karena semua petani Desa Langensari tidak ada yang menyimpan
label benih yang digunakannnya, sedangkan pada SOP budidaya krisan
menganjurakan agar label benih yang digunakan disimpan agar dapat menjadi
bukti petani menggunakan benih bersertifikasi. Anjuran SOP nomor 76 dan 77
adalah kegiatan fumigasi tanah, dalam SOP menganjurakan waktu, bahan aktif,
metode aplikasi, operator dan interval fumigasi tanaman harus dicatat. Namun
keadaan dilapangan menunjukan semua petani krisan Desa Langensari yang
menjadi responden tidak ada yang memiliki catatan fumigasi sehingga nilai
anjuran nomor 76 dan 77 bernilai nol. Kemudian kegiatan nomor 100 dan 101
adalah evaluasi internal, SOP budidaya krisan menganjurkan terdapat bukti atau
catatan evaluasi internal yang dilakukan secara periodik. Namun semua petani
Desa Langensari yang menjadi responden dalam penelitian tidak ada yang
memiliki catatan atau bukti lainnya mengenai evaluasi internal, sehingga nilai
anjuran nomor 100 dan 101 bernilai nol.
Anjuran SOP yang juga masih rendah penerapannya adalah nomor 66, 69
dan 78. Anjuran nomor 66 adalah kegiatan mengenai penanganan peralatan, SOP
budidaya menganjurkan tersedianya panduan penggunaan peralatan aplikasi
pestisida untuk menjamin proses pencampuran dilakukan dengan prosedur yang
benar. Namun untuk saat ini masih sedikit petani yang memiliki panduan tersebut,
25

dari kelompok SOP sebesar 20 persen dan kelompok non-SOP sebanyak 16


persen atau dari seluruh petani yang menjadi responden hanya sebanyak 17 persen
yang memiliki panduan penggunaan peralatan seperti yang diajurkan SOP.
Kemudian anjuran nomor 69 adalah kegiatan pengairan yaitu aspek penanganan
limbah, SOP budidaya menganjurkan tersedianya fasilitas pengelolaan limbah.
Namun saat ini masih sedikit petani yang memiliki fasilitas tersebut, dari
kelompok petani SOP sekalipun hanya 10 persen yang memiliki fasilitas tersebut,
sedangkan dari kelompok non-SOP tidak ada yang memiliki fasilitas penanganan
limbah seperti yang dianjurkan SOP budidaya. Secara keseluruhan petani yang
menjadi responden hanya 3 persen yang memiliki fasilitas penangan limbah
seperti yang dianjurkan SOP budidaya. Kemudian anjuran 78 adalah kegiatan
pemupukan dalam pemenuhan nutrisi tanaman, SOP budidaya menganjurkan
tersedianya hasil analisa tanah sebelum melakukan pemupukan. Namun petani
krisan Desa Langensari hanya sedikit yang melakukan analisa seperti yang
dianjurkan SOP sebelum melakukan pemupukan dari kelompok petani SOP
sebanyak 40 persen dan dari kelompok petani non-SOP sebenyak 16 persen atau
dari seluruh petani yang menjadi responden hanya sebanyak 23 persen yang
melakukan analisa tanah sebelum pemupukan (Tabel 10).
Tabel 10 Perbandingan penerapan kriteria anjuran (A) petani SOP dan non-SOP
Kegiatan Nomor Anjuran Petani SOP Petani Non-SOP Total Petani
Pemilihan lokasi 1 100 100 100
2 100 100 100
Pemetaan 4 0 0 0
Kesuburan lahan 5 100 96 97
AMDAL 9 0 0 0
Keselamatan dan
Kesehatan tenaga 22 0 0 0
kerja
Media tanam 25 100 100 100
27 100 100 100
Mutu benih 28 100 100 100
29 0 0 0
30 0 0 0
Penyimpanan
38 80 80 80
pupuk
Kompetensi
43 90 96 94
pemupukan
Peralatan
perlindungan 66 20 16 17
tanaman
Pengairan 69 10 0 3
Pemilihan benih 74 100 100 100
Sterilisasi media 75 100 100 100
Fumigasi tanah 76 0 0 0
77 0 0 0
Penggunaan
pupuk (kebutuhan 78 40 16 23
nutrisi)
26

Lanjutan Tabel 10 Perbandingan penerapan kriteria anjuran (A) petani SOP dan non-
SOP
Kegiatan Nomor Anjuran Petani SOP Petani Non-SOP Total Petani
Penggunaan
pupuk (kebutuhan 79 90 92 91
nutrisi)
Penanganan
84 90 20 40
bahan kimia
Pengemasan 86 100 32 51
Penggunaan
92 100 100 100
alsintan
Perawatan
93 90 68 74
alsintan
Bukti evaluasi
100 0 0 0
internal
Bukti tindak
101 0 0 0
perbaikan

Kriteria Sangat Anjuran (SA)


Seperti diperlihatkan pada Tabel 9, petani SOP untuk kriteria sangat
anjuran sudah menerapkan 65 persen dan dapat dinyatakan lulus untuk kriteria ini.
Sedangkan petani kelompok non-SOP untuk kriteria sangat anjuran baru
menerapkan sebanyak 49 persen dan belum dapat dinyatakan lulus SOP karena
minimal kriteria sangat anjuran harus diterapkan sebesar 60 persen. Pada Tabel 11
menunjukan anjuran SOP yang termasuk dalam kriteria sangat anjuran umumnya
masih banyak yang belum diterapkan oleh petani Desa Langensari. Dari 63
anjuran yang termasuk dalam kriteria sangat anjuran terdapat 13 anjuran yang
tidak diterapkan sama sekali oleh semua petani baik itu dari kelompok petani SOP
maupun kelompok petani non-SOP. Kemudian terdapat 9 kriteria sangat anjuran
yang penerapannya masih kurang dari 20 persen. Adapun anjuran SOP yang tidak
diterapkan sama sekali petani krisan Desa Langensari misalnya anjuran nomor 17
yaitu kegiatan mengenai penanganan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja,
dalam SOP budidaya menganjurkan prosedur penanganan kecelakaan kerja
dipajang di tempat kerja, namun tidak ada petani Desa Langensari yang memajang
prosedur seperti yang dianjurkan SOP budidaya tersebut. Kemudian anjuran SOP
nomor 57, 58 dan 59 menganjurkan petani memiliki pedoman penanggulangan
kecelakaan akibat keracunan pestisida, fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat
dan tanda pereingatan potensi bahaya yang terletak di lokasi kerja dan mudah
dibaca, namun tidak ada petani Desa Langensari yang memiliki pedoman seperti
dianjurkan SOP dilokasi kerja/kebunnya. Begitu juga anjuran nomor 64 tidak ada
petani Desa Langensari yang menerapkannya, anjuran nomor 64 mengintruksikan
petani harus mengkalibarasi peralatan aplikasi pestisida secara berkala, namun
tidak ada petani yang melakukan kalibrasi terhadap peralatan aplikasi pestisida
yang mereka miliki. Kemudian anjuran nomor 71 dan 72 juga tidak ada peteni
responden yang menerapkannya, anjuran 71 dan 72 menginstruksikan petani
memiliki dokumen tertulis hasil pengawasan berupa catatan kegiatan selama
proses budidaya, namun tidak ada petani responden yang memiliki dokumen
seperti yang diinstruksikan SOP budidaya tersebut. Anjuran nomor 80
menginstruksikan petani memiliki toilet sebagai tempat mencuci tangan dan
peralatan agar kebersihannya selalu terjaga, namun tidak ada petani yang memiliki
27

fasilitas toilet di kebunnya. Anjuran nomor 94 masih terkait dengan kalibrasi


peralatan dan mesin yang dimiliki petani, anjuran nomor 94 juga masih belum ada
petani yang menerapkan seperti yang dianjurkan SOP budidaya sehingga nilainya
masih nol. Kemudian anjuran nomor 95, 96, 97 dan 99 adalah anjuran SOP
budidaya yang menginstruksikan petani memiliki catatan, dokumen, sistem
pencatatan yang selalu diperbarui secara berkala, namun tidak ada petani
responden yang memiliki catatan, dokumen maupun sistem pencatatan seperti
yang dianjurkan SOP budidaya tersebut.

Tabel 11 Perbandingan penerapan kriteria sangat anjuran (SA) petani SOP dan non-SOP
No Petani
No Petani Petani Total Petani Total
Kegiatan Kegiatan anjura Non-
Anjuran SOP Non-SOP Petani SOP Petani
n SOP
Pemilihan lokasi 3 10 0 3 Penyimpanan 55 50 48 49
pestisida
Penyiapan lahan 8 100 100 100 56 0 4 3

Isu lingkungan 10 100 96 97 57 0 0 0

11 80 84 83 58 0 0 0

Kompetensi 13 100 100 100 59 0 0 0


tenaga kerja
14 60 8 23 Penanganan 60 80 8 29
wadah pestisida
15 100 100 100 61 10 0 3

Keselamatan 16 50 0 14 62 100 100 100


dan kesehatan
tenaga kerja 17 0 0 0 Peralatan 63 100 96 97
penyemprotan
18 20 0 6 64 0 0 0

19 90 76 80 65 100 100 100

20 10 4 6 Pengairan 67 100 96 97

Penyiapan lahan 23 100 100 100 68 100 100 100

24 100 100 100 70 100 100 100

Perlakuan benih 31 100 68 77 Pengawasan 71 0 0 0

Teknik 32 70 24 37 72 0 0 0
menanam
Jenis pupuk 33 100 100 100 Kebersihan 80 0 0 0

34 100 92 94 81 90 68 74

35 90 60 69 Kualitas air 82 100 68 77


pascapanen
36 100 100 100 Penanganan 83 90 56 66
bahan kimia
Penyimpanan 39 100 72 80 85 20 4 9
pupuk
41 100 68 77 Pengemasan 87 100 32 51

42 100 28 49 Penyimpanan 89 90 36 51

Kompetensi 44 100 84 89 Kompetensi 90 100 44 60


pemupukan
Jenis pestisida 45 20 0 6 Tempat 91 100 40 57
pengemasan
46 100 100 100 Kalibrasi alat 94 0 0 0

48 100 100 100 Catatan 95 0 0 0


pengaduan
49 100 100 100 96 0 0 0

Penyimpanan 50 100 88 91 97 0 0 0
pestisida
51 100 84 89 pencatatan 98 50 0 14

53 90 84 86 99 0 0 0

54 100 96 97
28

Kriteria Wajib (W)


Secara keseluruhan terdapat 11 anjuran SOP yang termasuk dalam kriteria
wajib untuk dilaksanakan. Wajib untuk dilaksanakan artinya setiap petani harus
mengikuti semua anjurannya agar dapat menjadi petani SOP, apabila ada satu saja
dari anjuran yang bersifat wajib ini tidak dilaksanakan dapat menjadikan petani
menjadi tidak SOP, karena anjuran yang besifat wajib ini harus 100 persen
dilaksanakan. Untuk petani SOP semua anjuran wajib umumnya sudah semua
petaninya melaksanakan sesuai anjuran, namun untuk petani non-SOP ada
beberapa anjuran yang masih banyak tidak diterapkan oleh petaninya, bahkan ada
pula anjuran yang tidak diterapkan sama sekali oleh petaninya seperti anjuran
nomor 12 dan 88. Anjuran nomor 12 adalah kegiatan mengenai penanganan
limbah, SOP budidaya menganjurkan petani memiliki tempat pembuangan limbah
yang letaknya terpisah dari lokasi produksi untuk mencegah risiko pencemaran.
Namun banyak petani dari kelompok non-SOP yang tidak memiliki tempat
pembuangan limbah seperti yang dianjurkan SOP, sehingga pembuangan limbah
seperti daun yang terserang penyakit masih dibuang dalam greenhouse sebagai
tempat produksi krisan. Tentu hal ini membahayakan tanaman krisan, karena
semakin tinggi kemungkinan terkontaminasi oleh penyakit dari limbah daun
berpenyakit tersebut. Kemudian anjuran nomor 88 adalah kegiatan pengemasan,
SOP budidaya menganjurkan produk diberikan label yang menjelaskan identitas
produk. Namun tidak ada petani dari kelompok non-SOP yang melakukan
pelabelan pada saat penanganan pascapanen sehingga nilai anjuran nomor 88
bernilai nol. Secara umum anjuran nomor 12 dan 88 adalah anjuran kriteria wajib
yang paling banyak tidak diterapkan oleh petani Desa Langensari, terlihat dari
nilai persentasenya yang hanya 29 persen. Anjuran nomor 12 dan 88 dari kriteria
wajib juga merupakan anjuran SOP yang menyebabkan banyak petani krisan Desa
Langensari menjadi tidak SOP (Tabel 12).
Anjuran SOP lainnya dari kriteria wajib yang masih banyak tidak diterapkan
petani Desa Langensari adalah nomor 21 dan 52 yang terlihat dari persentase
petani yang menerapkannya masih kurang dari 70 persen dari total petani krisan
Desa Langensari yang menjadi responden. Anjuran nomor 21 adalah kegiatan
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, SOP budidaya menganjurkan pekerja
harus menggunakan peralatan dan perlengkapan pelindung keselamatan. Namun
masih banyak petani Desa Langensari yang tidak menggunakan peralatan
pelindung saat melakukan pekerjaannya di kebun, terutama dari kelompok petani
non-SOP. Kemudian anjuran nomor 52 adalah kegiatan penyimpanan pestisida,
SOP menganjurkan pestisida harus disimpan ditemapat aman dan terpisah dari
produk pertanian. Namun masih banyak petani yang menyimpan pestisida di
sembarang tempat seperti di lemari rumah, ruang tamu, wc dan tempat lainnya
yang dapat membahayakan petani dan keluarganya. Anjuran SOP wajib yang
belum 100 persen diterapkan petani namun sudah cukup banyak adalah anjuran
nomor 37, 40 dan 73. Anjuran tersebut sudah cukup banyak diterapkan terlihat
dari nilai persentase petani yang menerapkannya sudah lebih dari 70 persen dari
total petani Desa Langensari yang menjadi responden. Adapun anjuran SOP wajib
yang sudah seluruhnya diterapkan petani krisan Desa Langensari adalah anjuran
nomor 6,7 26 dan 47 (Tabel 12).
29

Tabel 12 Perbandingan penerapan kriteria wajib (W) petani SOP dan non-SOP

Kegiatan Nomor Anjuran Petani SOP Petani non-SOP Total Petani

Penyiapan lahan 6 100 100 100


7 100 100 100
Pengolahan
12 100 0 29
limbah
Keselamatan dan
kesehatan tenaga 21 100 48 63
kerja
Media tanam 26 100 100 100
Jenis pupuk 37 100 96 97
Penyimpanan
40 100 88 91
pupuk
Kompetensi
perlindungan 47 100 100 100
tanaman
Penyimpanan
52 100 40 57
pestisida
Pemilihan benih 73 100 68 77
pengemasan 88 100 0 29

Perbandingan Kegiatan Usahatani dan Pascapanen

Secara umum kegiatan usahatani krisan terdiri dari penyiapan lokasi


budidaya, penyiapan greenhouse, penyiapan lahan, penyiapan stek pucuk,
penanaman, pemeliharaan dan panen. Sedangkan kegiatan pascapanen terdiri dari
sortasi, grading, pengikatan, perendaman, pembungkusan koran tangkai bunga,
pembungkusan kuntum bunga dan pengepakan. Adapun perbandingan kegitan
usahatani dan pascapanen krisan petani SOP dan non-SOP dijelaskan dibawah ini.

Penyiapan Lokasi Budidaya Krisan


Penyiapan lokasi budidaya krisan baik petani SOP maupun non-SOP
umumnya sudah sesuai anjuran SOP. Karena lokasi budidaya terletak pada daerah
agroekologi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan krisan. Desa
Langensari adalah salah satu lokasi budidaya cukup baik untuk tanaman krisan.
Kondisi tanah yang subur di Desa Langensari sangat mendukung tumbuh dan
perkembangan bunga krisan. Selain itu suhu yang dingin yang berkisar antara 15-
30 oC, curah hujan yang cukup yaitu berkisar antara 2 805 mm per tahun serta
intensitas peninaran matahari yang baik di desa ini juga menjadikan pertumbuhan
krisan berlangsung baik. Selain itu belum adanya pabrik serta masih sedikitnya
lahan yang digunakan untuk pemukiman penduduk membuat kondisi lahan Desa
Langensari masih belum banyak tercemar oleh limbah bahan berbahaya dan
beracun. Keadaan ini juga membuat lahan di Desa Langensari masih produktif
untuk ditanami krisan dan juga komoditas pertanian lainnya. Umumnya tidak
30

terdapat perbedaan yang berarti antara kelompok petani SOP maupun non-SOP
dalam penyiapan lokasi budidaya krisan. Karena baik petani SOP maupun non-
SOP lokasi budidayanya masih terletak pada daerah yang sama yaitu Desa
Langensari.

Penyiapan Greenhouse
Umumnya baik petani SOP maupun non-SOP seluruhnya sudah
menggunakan greenhouse dalam budidaya bunga krisan. Perbedaannya terletak
pada konstruksi bangunan serta sarana pendukung greenhouse pada keduanya.
Dari segi penggunaan bahan konstruksi greenhouse petani SOP menggunakan
gombong lebih banyak dari pada petani non-SOP. Gombong itu sendiri adalah
bambu berukuran besar yang digunakan sebagai tiang kerangka greenhouse.
Penggunaan gombong pada petani SOP lebih banyak disebabkan sebagian besar
kerangka tiang greenhousenya menggunakan gombong atau bambu besar
sedangkan pada petani non-SOP kerangka tiang greenhousenya tidak seluruhnya
menggunakan gombong melainkan dicampur dengan menggunakan bambu kecil.
Oleh karena itu penggunaan bambu kecil petani non-SOP lebih banyak yaitu
384.06 batang sedangkan pada petani SOP sebanyak 379.29 batang. Bambu kecil
itu sendiri umumnya digunakan untuk keperluan atap greenhouse karena
ukurannya yang lebih kecil. Namun karena alasan ekonomis ada sebagian petani
yang menggunakannya untuk keperluan tiang kerangka greenhouse (Tabel 13).
Proses penyiapan greenhouse diperlihatkan Gambar 1.

Gambar 1 Penyiapan greenhouse

Bahan penutup atap greenhouse petani bunga krisan Desa Langensari


umumnya menggunakan plastik UV. Tabel 13 menunjukan petani SOP rata-rata
menggunakan jumlah yang lebih tinggi yaitu 152.86 kg sedangkan petani non-
SOP sebanyak 144.78 kg. Hal ini disebabkan perbedaan jenis plastik UV yang
digunakan petani SOP dan non-SOP. Dari segi jenis umumnya plastik UV yang
digunakan petani adalah UV 8 dan UV 12. Rata-rata petani SOP menggunakan
UV 12 sedangkan petani non-SOP menggunakan UV 8 sebagai penutup atap
greenhousenya. Kedua jenis plastik UV ini memiliki ketebalan yang berbeda
dimana plastik UV 12 lebih tebal dibanding plastik UV 8. Sehingga penggunaan
pada luasan yang sama, plastik UV 12 akan lebih berat dibandingkan plastik UV
8. Tambang, kawat dan paku adalah bahan yang digunakan untuk mengikat dan
menyambung antar kerangka bangunan greenhouse. Penggunaan untuk ketiga
31

bahan ini baik petani SOP maupun non-SOP tidak jauh berbeda seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Investasi konstruksi greenhouse petani SOP dan non-SOP


Rataan Penggunaan per 500 m2
Jenis Investasi
Petani SOP Petani non-SOP
Gombong / bambu besar 42.98 39.17
(btg)
Bambu kecil (btg) 379.29 384.06
Plastik UV (Kg) 152.86 144.78
Tambang (kg) 0.70 0.10
Kawat (Kg) 7.24 8.95
Paku (Kg) 13.76 14.40

Tabel 14 menunjukan petani SOP menggunakan net screen jauh lebih tinggi
yaitu 199.43 m sedangkan petani non-SOP hanya menggunakan 39.33 m. Net
screen itu sendiri adalah bahan penutup dinding greenhouse yang terbuat dari net
atau ram kawat untuk melindungi tanaman krisan dari serangga. Petani non-SOP
tidak banyak yang menggunakan net screen dikarenakan keterbatasan biaya,
karena harga net screen yang cukup mahal.
Sarana investasi pendukung lainnya adalah kabel yang berguna untuk
memasang sarana pencahayaan dalam greenhouse. Umumnya terdapat dua jenis
kabel yang digunakan yaitu kabel 2.5 inci dan kabel 1.5 inci. Terlihat pada Tabel
14 penggunaan kabel 2.5 inci pada petani SOP lebih banyak yaitu 60 m sedangkan
petani non-SOP sebanyak 12 m. Sedangkan untuk kabel 1.5 inci penggunaan
untuk petani SOP lebih sedikit yaitu sebanyak 228.81 m sedangkan pada petani
non-SOP sebanyak 254.02 m. Petani SOP memilih menggunakan kabel 2.5 inchi
karena alasan ketahanan dan kekuatan kabel sedangkan petani non-SOP lebih
banyak menggunakan kabel berukuran 1.5 inci karena harga kabel yang lebih
murah.
Sarana investasi pendukung greenhouse lainnya yang terlihat berbeda yaitu
penggunaan kepala lampu dan lampu. Penggunaan kepala lampu petani SOP lebih
banyak dibandingkan petani non-SOP. Rata-rata penggunaan kepala lampu petani
SOP adalah 33.39 unit sedangkan pada petani non-SOP sebanyak 30.3 unit.
Perbedaan penggunaan kepala lampu berhubungan erat dengan penggunaan
lampu, karena lampu dan kepala lampu merupakan satu paket. Angka penggunaan
kepala lampu juga menunjukan jumlah penggunaan lampu dalam satu greenhouse,
yang artinya petani SOP dalam satu greenhouse lebih banyak menggunakan
lampu dibandingkan petani non-SOP. Dari segi jenis lampu, umumnya ada dua
jenis lampu yang digunakan petani krisan Desa Langensari yaitu lampu pijar dan
lampu neon. Petani SOP lebih banyak menggunakan jenis lampu neon yaitu
sebanyak 31.89 unit sedangkan petani non-SOP menggunakan lampu neon
sebanyak 26.25 unit. Sebaliknya petani non-SOP lebih banyak menggunakan
lampu pijar yaitu sebanyak 3.8 unit sedangkan petani SOP menggunakan lampu
pijar sebanyak 1.5 unit. Petani SOP lebih banyak memilih lampu neon karena
alasan hemat energi dan lebih murah beban listriknya sedangkan petani non-SOP
lebih memilih lampu pijar karena alasan harga lampu yang lebih murah.
32

Kemudian dari segi daya lampu, untuk lampu neon yang digunakan petani SOP
umumnya adalah yang 18 watt sedangkan petani non-SOP umumnya
menggunakan lampu neon 20 watt. Untuk lampu pijar petani SOP seluruhnya
menggunakan lampu pijar 25 watt sedangkan petani non-SOP sebagian besar
menggunakan lampu pijar 5 watt yaitu sebanyak 67 persen, sedangkan sisanya
menggunakan lampu 25 watt yaitu sebanyak 33 persen (Gambar 2).

Gambar 2 Daya lampu neon (watt) petani SOP dan non-SOP

Terdapat pula sarana pendukung greenhouse yang hanya digunakan oleh


petani SOP sedangkan petani non-SOP tidak menggunakan sama sekali yaitu
timer, dimana penggunaan timer untuk petani SOP yaitu sebesar 0.2 unit.
Penggunaan jaring, stop kontak dan MCB umumnya tidak memperlihatkan
perbedaan yang berarti baik petani SOP maupun petani non-SOP.

Tabel 14 Investasi sarana pendukung greenhouse


Sarana Pendukung Rataan Penggunaan per 500 m2
Greenhouse Petani SOP Petani non-SOP
Jaring (Kg) 9.90 9.58
Pancuh/tiang jaring (btg) 242.71 239.22
Net Screen (m) 199.43 39.33
Kabel dalam greenhouse
- kabel 2,5 inchi (m) 60.00 12.00
- Kabel 1,5 inchi (m) 228.81 254.02
Kepala lampu (unit) 33.39 30.30
33

Lanjutan Tabel 14 Investasi sarana pendukung greenhouse


Sarana Pendukung Rataan Penggunaan per 500 m2
Greenhouse Petani SOP Petani non-SOP
Lampu
- lampu pijar (unit) 1.50 3.80
- Lampu Neon (unit) 31.89 26.25
Stop kontak (unit) 1.04 1.20
Timer (unit) 0.20 0.00
MCB (unit) 1.04 1.20

Penyiapan greenhouse baik petani kelompok SOP maupun non-SOP belum


ada yang menerapkan anjuran SOP secara keseluruhan. Bentuk ketidaksesuaian
anjuran SOP dapat dilihat pada penggunaan bahan tiang kerangka greenhouse dan
sarana pendukung greenhouse. Bahan kerangka tiang greenhouse menurut anjuran
SOP seharusnya adalah bahan yang kokoh dan kuat, dalam hal ini seharusnya
bahan tiang kerangka greenhouse harusnya adalah gombong (bambu besar) yang
sudah cukup tua agar kuat digunakan dan tahan lama. Namun realisasi petani di
daerah penelitian masih banyak yang menggunakan bambu kecil sebagai tiang
kerangka greenhouse, yang seharusnya digunakan untuk keperluan atap
greenhouse. Hal ini mengakibatkan greenhouse tidak berdiri kokoh dan mudah
rubuh bila terkena terpaan angin. Selain itu penggunaan bambu berukuran kecil
juga mengharuskan petani melakukan penggantian tiang greenhouse setiap 1-2
tahun (reinvestasi) karena bambu berukuran kecil lebih cepat keropos.
Bentuk ketidaksesuaian anjuran SOP pada sarana pendukung greenhouse
terlihat pada penggunaan lampu dan timer. Menurut anjuran SOP seharusnya jenis
lampu yang digunakan, jika lampu neon hemat energi haruslah yang memiliki
daya 18 watt, jika lampu neon biasa 40 watt dan jika lampu pijar 100 watt. Namun
kenyataannya penggunaan lampu petani kelompok SOP sekalipun masih banyak
yang tidak sesuai anjuran SOP seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Kemudian
dari pemasangan lampu, baik pada petani SOP maupun non-SOP umumnya
memasang lampu dengan jarak 3-5 meter antar lampu. Padahal jika menurut
anjuran SOP seharusnya jarak pemasangan antar lampu seharusnya 2 x 2.5 m.
Kemudian untuk penggunaan timer pada kelompok petani SOP sekalipun hanya
sebagian kecil yang menggunakan timer (Tabel 14). Menurut anjuran SOP
seharusnya instalasi pencahaayaan menggunakan timer karena dapat menghemat
konsumsi energi listrik, menghemat biaya tenaga kerja dalam penghidupan lampu
dan agar pengoprasian lampu dapat dilakukan dengan metode siklik.

Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan bunga krisan Petani Desa Langensari meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengukuran pH tanah, pengolahan tanah, pengairan tanah,
pemberian pupuk kandang dan kapur pertanian hingga pembuatan bedengan dan
saluran irigasi. Pengukuran pH dilakukan sebelum pengolahan tanah
menggunakan pH meter. Petani SOP pada umumnya melakukan pengukuran pH
tanah walaupun tidak rutin pada setiap siklus produksi, pengukuran umumnya
hanya dilakukan sekali dalam satu tahun. Petani SOP melakukan pengukuran pH
tanah dengan alasan untuk mengetahui dosis aplikasi kapur pertanian pada lahan.
34

Sedangkan petani non-SOP umumnya tidak melakukan pengukuran pH tanah,


pertimbangan dosis aplikasi kapur pertanian petani non-SOP didasarkan pada
pengamatan pertumbuhan tanaman saat produksi sebelumnya.
Setelah pengukuran pH kegiatan selanjutnya adalah pengolahan tanah.
Kegiatan pengolahan tanah meliputi pembersihan gulma, mencangkul,
menggemburkan dan meratakan tanah. Dalam pengolahan tanah umumnya tidak
terdapat perbedaan antara petani SOP maupun non-SOP. Proses penyiapan tanah
diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Penyiapan tanah

Kemudian setelah pengolahan tanah lahan kembali diairi (pengairan tanah).


Pada saat pengairan inilah juga dilakukan aplikasi pupuk kandang dan kapur
pertanian. Pupuk kandang dan kapur pertanian diaplikasi saat pengairan agar
dapat terserap kedalam tanah. Kemudian lahan dibiarkan selama satu minggu
sampai air pada tanah mengering. Pembuatan bedengan dan saluran irigasi
dilakukan terakhir, yaitu setelah air pada tanah mengering dari proses pengairan
sebelumnya. Pada umumnya bedengan dibuat dengan ukuran lebar 1 m, tinggi 25-
30 cm, panjangnya menyesuaikan kondisi lahan sedangkan jarak antar bedengan
diatur 40-50 cm. Untuk irigasi dibuat dengan ukuran lebar 40 cm dan kedalaman
30-60 cm sedangkan panjangnya menyesuaikan kondisi lahan. Umumnya untuk
pembuatan bedengan dan irigasi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
petani SOP dan non-SOP. Penyiapan lahan usahatani krisan kelompok petani SOP
maupun non-SOP dapat dikatakan sudah sesuai anjuran SOP, baik petani SOP
maupun non-SOP pada penyiapan lahan sudah 100 persen sesuai. Walaupun
petani non-SOP umumnya tidak melakukan pengukuran pH, namun aspek
penilaian penyiapan lahan lainnya sudah cukup baik.

Penyiapan Stek Pucuk (Bibit)


Kegiatan penyiapan stek pucuk dimulai dari penyiapan media pengakaran,
proses pengakaran dan panen stek pucuk berakar. Terdapat perbedaan media
pengakaran yang digunakan petani SOP dan non-SOP. Dimana media pengakaran
yang digunakan petani SOP adalah arang sekam sedangkan petani non-SOP
adalah tanah dari dalam greenhouse yang telah diayak. Kemudian untuk proses
pengakaran stek pucuk itu sendiri dilakukan dalam greenhouse, umumnya proses
pengakaran berlangsung selama 14 hari. Selama proses pengakaran, stek pucuk
diaplikasi zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang pengakaran. Selain itu
35

stek pucuk yang dalam proses pengakaran juga diberi penyinaran tambahan untuk
mempercepat proses tumbuhnya akar. Pemanenan stek pucuk berakar dilakukan
setelah proses pengakaran berlangsung kurang lebih 14 hari, pemanenan stek
pucuk berakar dilakukan manual menggunakan tangan dengan melakukan
pencabutan secara hati-hati. Pada proses pengakaran dan panen stek pucuk
umumnya tidak terdapat perbedaan antara petani SOP maupun non-SOP, karena
dari segi metode dan tahap kegiatan keduanya hampir sama. Penyiapan stek pucuk
diperlihatkan pada gambar 4.

Gambar 4 Penyiapan stek pucuk

Bentuk penerapan SOP yang tidak sesuai anjuran pada kegiatan penyiapan
stek pucuk hanya terlihat pada penyiapan media tanam pengakaran kelompok
petani non-SOP. dimana menurut SOP seharusnya media tanam harusnya berasal
dari sekam, namun petani non-SOP menggunakan tanah ayakan dari dalam
greenhouse.

Penanaman
Sebelum penanaman stek pucuk dimulai, terlebih dahulu dipasang jaring
pada bedengan. Jaring dibentangkan pada kedua ujung bedengan dan diikat pada
tiang yang telah disiapkan di kedua ujungnya. Jaring yang digunakan pada
umumnya berukuran 10 x 10 cm. Jaring ini berguna sebagai patokan saat
penanaman, selain itu jaring juga berguna menjaga kelurusan batang tanaman
saat sudah mulai meninggi. Pada umumnya penanaman stek pucuk bunga krisan
baik petani SOP maupun non-SOP tidak dilakukan serentak. Satu greenhouse
biasanya dilakukan penanaman sebanyak 2-5 kali penanaman. Penanaman tidak
dilakukan serentak, pertama karena ketersediaan bibit, sebagian besar bibit krisan
petani diperoleh dari pengindukan sendiri dimana dari pengindukan bibit tersebut
dalam satu kali panen tidak bisa menutupi kebutuhan satu greenhouse. Alasan lain
penanaman tidak dilakukan serentak adalah agar pemanenan nantinya bisa
dilakukan beberapa kali. Karena jika panen dilakukan serentak petani akan
mengalami kesulitan dalam proses penjualannya, karena sulit sekali menemukan
konsumen yang mau membeli dalam jumlah besar sekaligus. Proses penanaman
bunga krisan diperlihatkan Gambar 5.
36

Gambar 5 Penanaman bunga krisan

Perbedaan pada proses penanaman terdapat pada jumlah stek pucuk yang
ditanam petani SOP dan non-SOP. Dimana petani SOP dapat menanam jumlah
stek pucuk yang lebih banyak dibanding petani non-SOP walaupun dalam satu
greenhouse dengan ukuran yang sama. Untuk greenhouse berukuran 500 m2,
petani SOP dapat menanam 29 357 stek pucuk sedangkan pada petani non-SOP
hanya dapat menanam sebanyak 25 733 stek pucuk. Petani SOP dapat menanam
dalam jumlah lebih banyak karena menanam dengan jarak 10 x 10 cm secara
konsisten, selain itu ketersedian bibit petani kelompok SOP juga lebih terjamin
karena melakukan pembibitan sendiri. Sebaliknya petani non-SOP hanya dapat
menanam lebih sedikit stek pucuk dikarenakan menanam dengan jarak yang tidak
konsisten.
Pada proses penanaman baik petani SOP maupun non-SOP belum ada yang
menerapkan anjuran SOP secara keseluruhan. Menurut anjuran SOP seharusnya
penanaman dilakukan dengan jarak 12.5 x 12.5 cm namun kenyataan petani SOP
sekalipun menanam dengan jarak 10 x 10 cm. Selain itu menurut anjuran SOP
setelah penanam seharusnya diaplikasi pupuk NPK (1:1:1) dengan dosis 12.5 kg
per 500 m2, namun kenyataannya kelompok petani SOP sekalipun tidak
melakukan aplikasi pupuk setelah penanaman. Aplikasi pupuk umumnya baru
dilakukan petani seminggu setelah penanaman.

Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman krisan meliputi beberapa kegiatan, yaitu pemupukan,
penyiraman, pengoprasian jaringan penyinaran, penyemprotan, penyiangan
gulma, pemberian ZPT, pemotesan kuncup (menul), perompesan daun senescens
dan sanitasi lingkungan. Baik pada petani SOP maupun non-SOP umumnya masa
pemupukan bunga krisan dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase pemupukan dasar,
pemupukan fase vegetatif dan pemupukan fase generatif. Pemupukan dasar
dilakukan saat pengolahan tanah. Pemupukan fase vegatatif yaitu pemupukan
yang dilakukan sejak bibit ditanam sampai timbul tunas bunga, biasanya pada
umur kurang lebih dua bulan. Sedangkan pemupukan masa generatif yaitu
pemupukan yang dilakukan sejak tanaman krisan sudah timbul tunas bunga
sampai dengan masa panen. Metode aplikasi pemupukan baik pada petani SOP
maupun non-SOP umumnya dengan cara dicairkan dan ditabur.
Baik petani SOP maupun non-SOP rata-rata melakukan penyiraman
sebanyak 3-4 kali per minggu. Namun pada musim kemarau penyiraman bisa
dilakukan setiap hari sebaliknya pada musim hujan penyiraman bisa lebih jarang
dilakukan. Alat yang digunakan untuk penyiraman pada petani SOP ada yang
37

menggunakan emrat atau gembor namun ada pula yang menggunakan mesin
power sprayer sedangkan petani non-SOP seluruhnya penyiraman menggunakan
emrat atau gembor. Penyiraman pada umumnya dilakukan pada pagi hari yaitu
sekitar pukul 08.00 hingga pukul 10.00.
Pengoprasian jaringan penyinaran bunga krisan petani Desa Langensari
dilakukan pada malam hari, umumnya pengoprasian dilakukan antara pukul
07.00 malam sampai 05.00 pagi. Dari segi metode pengoprasian tidak ada satupun
petani baik SOP maupun non-SOP yang menggunakan metode siklik.
Pengoprasian lampu selama satu siklus produksi antara petani SOP dan non-SOP
umumnya tidak berbeda jauh, petani SOP menghidupkan lampu per siklus
produksi selama 29.5 hari dan petani non-SOP 30.2 hari. Perbedaan pengoprasian
jaringan penyinaran antara petani SOP dan non-SOP terlihat pada lama
pengoprasian lampu dalam satu malam, dimana petani non-SOP menghidupkan
lampu lebih lama dibanding petani SOP. Dalam satu malam penghidupan lampu
pada petani non-SOP rata-rata selama 7.64 jam sedangkan pada petani SOP hanya
selama 5.3 jam (Tabel 15).
Tabel l5 Pengoprasian jaringan penyinaran (lampu) Petani SOP dan non-SOP
Lama penyinaran
Keterangan
Petani SOP Petani non-SOP
Dalam satu malam (jam) 5.30 7.64
Per satu siklus produksi (hari) 29.50 30.20
Total per siklus produksi (jam) 156.35 230.72

Setelah memperhitungkan jumlah, jenis, daya dan lama pengoprasian lampu


pada petani SOP dan non-SOP. Maka konsumsi energi listrik pada jaringan
penyinaran greenhouse petani SOP dan non-SOP dapat dihitung. Tabel 16
memperlihatkan perbandingan konsumsi energi listrik petani SOP dan non-SOP,
dimana konsumsi energi listrik petani SOP lebih rendah dibanding petani non-
SOP.

Tabel 16 Konsumsi energi listrik per siklus produksi petani SOP dan non-SOP
Konsumsi Energi listrik (KWH)
Jenis Lampu
Petani SOP Petani non-SOP
Neon 83.80 120.44
Pijar 6.75 10.91
Total 90.55 131.35

Kegiatan Pengendalian OPT umumnya dilakukan seminggu sekali baik pada


petani SOP maupun non-SOP dengan penyemprotan pestisida. Namun saat
banyak hama menyerang penyemprotan pestisida dilakukan lebih sering
sebaliknya jika hama yang menyerang tidak terlalu banyak penyemprotan
pestisida lebih jarang dilakukan. Alat yang digunakan untuk penyemprotan
pestisida pada petani SOP ada yang menggunakan hand sprayer dan ada pula
yang menggunakan mesin power sprayer, sedangkan pada petani non-SOP
seluruhnya penyemprotan pestisida menggunakan handsprayer. Tabel 33
38

menunjukan penggunaan tenaga kerja pada kegiatan penyiraman dan


pengendalian OPT petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani SOP, dimana
penggunaan tenaga kerja petani non-SOP untuk penyiraman sebesar 16.52 HOK
dan pengendalian OPT 5.19 HOK sedangkan pada petani SOP penyiraman
sebesar 15.84 HOK dan pengendalian OPT 4.84 HOK. Hal ini dikarenakan
penggunaan mesin power sprayer pada petani SOP dapat menghemat penggunaan
tenaga kerja, karena dengan power sprayer penyiraman dan pengendalian OPT
dapat lebih cepat diselesaikan. Untuk pemberian ZPT tanaman krisan pada petani
SOP lebih sering dilakukan dibanding petani non-SOP. Dimana penggunaan
tenaga kerja untuk pemberian ZPT pada petani SOP sebesar 1.22 HOK sedangkan
pada petani non-SOP hanya sebesar 0.66 HOK (Tabel 33). Aplikasi ZPT baik
pada petani SOP maupun non-SOP umumnya dilakukan dengan metode
penyemprotan, untuk sebagian petani aplikasi ZPT ada yang berbarengan dengan
penyemprotan pestisida.
Pada kegiatan pengendalian gulma, petani SOP lebih sering melakukan
penyiangan gulma dibandingkan petani non-SOP. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan tenaga kerja petani SOP yang lebih besar dibanding petani non-SOP.
Tabel 33 menunjukan penggunaan tenaga kerja penyiangan gulma petani SOP
sebesar 2.86 HOK sedangkan pada petani non-SOP hanya sebesar 2.38 HOK. Hal
ini dikarenakan petani SOP lebih intensif melakukan pengendalian gulma
dibanding petani non-SOP. Untuk kegiatan pemotesan kuncup, petani SOP lebih
sering melakukan dibanding petani non-SOP. Penggunaan tenaga kerja untuk
pemotesan kuncup pada petani SOP sebesar 2.59 HOK sedangkan pada petani
non-SOP sebesar 2.23 HOK. Hal ini dikarenakan petani SOP lebih banyak
memproduksi bunga tipe standar, dimana untuk melakukan hal itu pemotesan
kuncup menjadi lebih sering dilakukan.
Petani non-SOP cenderung lebih sering melakukan perompesan daun
senescens dibanding petani SOP. Tabel 33 menunjukan penggunaan tenaga kerja
kegiatan perompesan petani non-SOP sebesar 0.6 HOK sedangkan pada petani
SOP hanya sebesar 0.54 HOK. Hal ini dikarenakan jumlah daun menguning dan
terserang penyakit pada petani non-SOP lebih banyak dibanding petani SOP,
sehingga mengakibatkan perompesan daun senescens lebih sering dilakukan. Dari
tatacara penanganan limbah daun hasil perompesan, pada petani SOP umumnya
limbah hasil perompesan dibuang pada tempat khusus di luar greenhouse,
sedangkan pada petani non-SOP limbah hasil perompesan ada yang dibuang
diluar greenhouse namun ada pula yang membuang limbah hasil perompesan di
dalam greenhouse. Hal ini yang menyebabkan jumlah daun menguning dan
terserang penyakit pada petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani SOP.
Kemudian untuk kegiatan sanitasi lingkungan, petani SOP lebih sering melakukan
sanitasi lingkungan dibanding petani non-SOP. Bentuk sanitasi lingkungan yang
dilakukan yaitu pembersihan lingkungan disekitar greenhouse, pembersihan
saluran irigasi, penyingkiran kotoran pada atap greenhouse, pemberantasan semak
dan pembersihan gudang serta alat yang digunakan untuk kegiatan produksi.
Proses pemeliharaan krisan baik petani SOP maupun non-SOP belum
seluruhnya sesuai dengan anjuran SOP. Bentuk ketidaksesuaian dengan anjuran
SOP dapat dilihat terutama dari pengoprasian jaringan penyinaran. Pengoprasian
penyinaran menurut SOP seharusnya dilakukan dengan metode siklik (gelap-
terang secara bergantian), pengoprasian 4-5 jam yang dilakukan pukul 22.00-
39

02.00 atau pukul 23.00-03.00. Namun kenyataannya petani SOP sekalipun tidak
ada yang mengoperasikan lampu dengan metode siklik, selain itu pengoprasian
lampu umumnya tidak dilakukan sesuai dengan waktu yang dianjurkan dalam
SOP. Lama waktu pengoprasian lampu petani SOP umumnya juga lebih lama
dibanding yang dianjurkan SOP (Tabel 15).

Panen
Pada kegiatan panen secara umum terdapat petani yang melakukan
pemanenan sendiri dan terdapat pula petani yang tidak melakukan pemanenan.
Petani yang tidak melakukan pemanenan dikarenakan melakukan sistem
penjualan borongan, sehingga pemanenan dilakukan pemborong. Tabel 17
memperlihatkan petani SOP seluruhnya melakukan panen sendiri, sedangkan
petani non-SOP sebagian besar tidak melakukan panen yaitu sebanyak 52 persen
karena melakukan penjualan secara borongan. Penjualan dengan sistem borongan
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya karena dapat mengurangi
biaya pengeluaran untuk pengobatan dan tenaga kerja. Karena apabila suatu
greenhouse sudah diborong maka untuk urusan pengobatan, perawatan tanaman
dan pemanenan seluruhnya akan menjadi tanggung jawab pemborong. Sebaliknya
sistem borongan juga memiliki kekurangan, yaitu harga jual bunga krisan menjadi
lebih rendah.

Tabel 17 Pemanenan bunga petani SOP dan non-SOP


SOP non-SOP
Pemanenan
Jumlah persentase Jumlah persentase
Panen sendiri 10 100 12 48
Tidak panen (borongan) 0 0 13 52
Total 10 100 25 100

Tabel 18 memperlihatkan hasil panen bunga krisan baik petani SOP maupun
non-SOP dapat dikelompokan menjadi empat grade atau kelas mutu, yaitu grade
AA, A, B dan C. Sedangkan off grade adalah bunga yang tidak termasuk pada
grade manapun. Jika kita bandingkan hasil panen bunga berdasarkan grade antara
petani SOP dan non-SOP, secara umum hasil panen petani SOP untuk grade A, B
dan C lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Sedangkan untuk jumlah hasil
panen klasifikasi off grade petani non-SOP lebih tinggi dibandingkan petani SOP.
Petani non-SOP tidak ada yang menghasilkan grade AA sebaliknya petani SOP
tidak ada hasil panen bunganya yang termasuk dalam klasifikasi off grade. Petani
SOP paling banyak memproduksi bunga krisan kualitas B, sedangkan petani non-
SOP sebagian besar bunganya masuk pada klasifikasi off grade.
40

Tabel 18 Hasil panen bunga krisan per 500 m2 berdasarkan grade petani SOP dan
non-SOP
Petani SOP Petani non-SOP
Produksi
Jumlah (ikat) Persentase (%) Jumlah (ikat) Persentase (%)
Grade AA 120 4.54 - -
Grade A 701 26.55 119 5.14
Grade B 1 005 38.06 437 18.87
Grade C 815 30.86 487 21.03
Off grade - - 1 273 54.97

Hasil panen bunga krisan petani SOP dan non-SOP dibagi menjadi dua tipe,
yaitu tipe standar dan spray. Seperti telah disebutkan sebelumnya petani SOP
lebih banyak menghasilkan bunga tipe standar dibandingkan tipe spray,
sebaliknya petani non-SOP lebih banyak menghasilkan bunga tipe spray
dibanding tipe standar. Petani SOP lebih banyak menghasilkan bunga tipe standar
karena alasan harga jual dan permintaan pasar yang lebih tinggi dibanding tipe
spray. Sebaliknya petani non-SOP lebih banyak menghasilkan bunga tipe spray
karena alasan lebih mudah dan praktis, karena proses pemotesan kuncup lebih
jarang dilakukan dalam memproduksi bunga tipe spray.

Tabel 19 Hasil penen bunga krisan berdasarkan tipe bunga petani SOP dan non-
SOP
Tipe Bunga Petani SOP (%) Petani non-SOP (%)
Standar 67.36 48.08
Spray 32.64 51.92
Total 100 100

Rata-rata waktu pemanenan bunga krisan adalah 100 hari setelah tanam
(HST). Pemanenan bunga dalam satu greenhouse rata-rata dilakukan 1-5 kali
penen sampai habis, dengan selang waktu pamanenan seminggu sekali. Metode
pemanenan bunga krisan umumnya dilakukan dengan cara pencabutan batang
hingga akar. Setelah itu batang dipotong dari akar sepanjang 5 cm. Kemudian
bunga dikumpulkan dan diikat menggunakan karet gelang, biasanya satu ikat
berjumlah 10 tangkai bunga. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan yang berarti
antara petani SOP dan non-SOP. Proses pemanenan bunga krisan diperlihatkan
Gambar 6.
41

Gambar 6 Proses pemanenan bunga krisan

Pada proses pemanenan baik kelompok petani SOP maupun non-SOP tidak
seluruhnya sesuai dengan anjuran SOP terutama dari segi kebersihan panen.
Menurut anjuran SOP di kebun produksi haruslah tersedia toilet agar kebersihan
pekerja saat panen terjaga, tersedianya toilet di kebun juga agar hasil panen dapat
langsung dibersihkan. Namun kenyataan pada kelompok petani SOP sekalipun
tidak ada kebunnya yang tersedia fasilitas toiet.

Pascapanen
Seluruh petani SOP melakukan pascapanen sedangkan petani non-SOP yang
melakukan pascapanen hanyak sebanyak 48 persen sedangkan sisanya yaitu 52
persen tidak melakukan kegiatan pascapanen (Tabel 20).

Tabel 20 Kegiatan pascapanen bunga krisan


Petani SOP Petani non-SOP
Uraian
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Melakukan pascapanen 10 100 12 48
Tidak melakukan pascapanen 0 0 13 52
Total 10 100 25 100

Apabila diuraikan per kegiatan dalam pascapanen, terdapat perbedaan


perlakuan pascapanen antara petani SOP dan non-SOP. Seperti ditunjukan Tabel
21 seluruh petani SOP melakukan kegiatan sortasi, grading, pengikatan,
perendaman dan pembungkusan koran. Sedangkan untuk kegiatan pembungkusan
kuntum bunga dan pengepakan hanya 40 persen petani SOP yang melakukannya.
Sedangkan pada petani non-SOP untuk kegiatan sortasi, grading, pengikatan dan
perendaman hanya dilakukan oleh 48 persen petaninya. Untuk pembungkusan
bunga menggunakan koran hanya dilakukan oleh 40 persen petaninya sedangkan
untuk kegiatan pembungkusan kuntum bunga dan pengepakan hanya dilakukan
sebagian kecil petaninya yaitu sebanyak 4 persen petani.
42

Tabel 21 Perbandingan perlakuan pascapanen petani SOP dan non-SOP


Petani SOP Petani non-SOP
Kegiatan
Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%)
Sortasi 100 0 48 52
Grading 100 0 48 52
Pengikatan 100 0 48 52
Perendaman 100 0 48 52
Pembungkusan koran 100 0 40 60
pembungkusan kuntum bunga 40 60 4 96
Pengepakan 40 60 4 96

Secara keseluruhan nilai biaya kegiatan pascapanen petani SOP lebih besar
dibanding petani non-SOP. Nilai pengeluaran yang terlihat berbeda signifikan
antara petani SOP dan non-SOP adalah untuk karet gelang dan koran. Dimana
pengeluaran petani SOP untuk karet gelang sebesar Rp. 244 286 dan koran Rp.
168 804 sedangkan pada petani non-SOP pengeluaran untuk karet gelang hanya
sebesar Rp. 95 329 dan koran sebesar Rp. 54 428. Adapula pengeluaran yang
hanya terdapat pada petani SOP sedangkan pada petani non-SOP tidak ada yaitu
untuk kertas buram dan keranjang (Tabel 22).

Tabel 22 Biaya pascapanen petani SOP dan non-SOP


Petani SOP Petani non-SOP
Keperluan Pascapanen Harga Nilai Harga Nilai
Jumlah Jumlah
(Rp/satuan) (Rp) (Rp/satuan) (Rp)
Koran (kg) 29.36 5 750 168 804 9.63 5 650 54 428
Kertas buram (rim) 0.20 25 000 5 000 - -
Kertas HVS (rim) 0.57 31 667 17 944 0.13 32 500 4 333
Karet gelang (kg) 4.29 57 000 244 286 1.67 57 083 95 329
Tali rapia (gulung atau unit) 2.25 2 700 6 069 0.82 1 200 984
Selotip (unit) 0.62 5 000 3 119 0.03 5 000 167
Kardus (unit) 7.44 3 750 27 893 2.00 3 000 6 000
Keranjang (unit) 3.20 5 000 16 024 - -
Total 489 138 106 813

Hasil penilaian penangan pascapanen petani SOP dan non-SOP menunjukan


perlakuan pascapanen kelompok petani SOP belum seluruhnya sesuai anjuran
terutama pada kegiatan penanganan bahan kimia pascapanen dan penyimpanan.
Kegiatan perlakuan bahan kimia pascapanen menurut anjuran SOP seharusnya
terdapat dokumen jelas dan memadai yang mencatat perlakuan pascapanen
termasuk penggunaan bahan kimia, namun kenyataannya kelompok petani krisan
SOP sekalipun tidak ada yang memiliki catatan perlakuan pascapanen yang
memadai. Kemudian kegiatan penyimpanan pada pascapanen juga masih belum
sesuai anjuran SOP, karena masih ada sebagian petani yang ruang penyimpanan
bunga krisannya tidak bisa menjaga kesegaran bunga krisan selama penanganan
pascapanen.
43

Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Krisan

Lahan
Lahan yang digunakan untuk usahatani krisan baik petani SOP maupun non-
SOP beragam. Lahan paling luas yang dimiliki petani responden di daerah
penelitian adalah 17 000 m2 sedangkan yang paling kecil adalah seluas 300 m2.
Walaupun jumlah petani SOP lebih sedikit dibanding petani non-SOP,
namun total lahan usahatani krisan petani SOP lebih luas dibanding petani non-
SOP. Hal ini menunjukan rata-rata luas lahan usahatani krisan yang dimiliki
petani SOP lebih besar dibanding petani non-SOP, dimana petani SOP rata-rata
seluas 6 990 m2 sedangkan petani non-SOP 1 882 m2. Nilai standar deviasi luas
lahan petani SOP sebesar 5 305 m2 sedangkan pada petani non-SOP sebesar 1 726
m2, nilai ini menunjukan seberapa bervariasinya luas lahan yang dimiliki petani
pada kelompok masing-masing. Lahan paling luas yang dimiliki petani dari
kelompok SOP seluas 17 000 m2 sedangkan lahan paling kecil seluas 1 500 m2.
Untuk petani non-SOP lahan paling luas yang dimiliki petaninya adalah 6 600 m2
sedangkan yang paling kecil 300 m2 (Tabel 23).

Tabel 23 Luas lahan budidaya bunga krisan petani SOP dan non-SOP
Luas Lahan Tanaman Krisan (m2)
Uraian
Petani SOP Petani non-SOP
Rata-rata 6 990 1 882
Luas lahan per greenhouse 500 500
Standar deviasi 5 305 1 726
Max 17 000 6 600
Min 1 500 300
Total lahan usahatani krisan 66 300 47 050
Jumlah petani 10 25

Status kepemilikan lahan baik petani SOP maupun non-SOP kepimilikannya


ada yang milik sendiri dan sewa. Status kepemilikan lahan perlu diketahui untuk
melihat jenis biaya lahan yang dikeluarkan dari masing-masing kelompok petani.
Dalam menjalankan usahatani krisan, petani SOP lebih banyak menggunakan
lahan sewa dibandingkan menggunakan lahan milik sendiri. Sebaliknya petani
non-SOP lebih banyak menggunakan lahan milik sendiri dibanding lahan sewa
dalam menjalankan usahatani krisannya (Tabel 24).

Tabel 24 Status kepemilikan lahan petani SOP dan non-SOP


Petani SOP Petani non-SOP
Status Kepemilikan
Lahan Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(m2) (%) (m2) (%)
Milik sendiri 27 900 42 25 900 55
Sewa 38 400 58 21 150 45
Total 66 300 100 47 050 100
44

Bibit
Sumber perolehan bibit bunga krisan secara umum berasal dari budidaya
sendiri dan beli. Tabel 25 memperlihatkan sumber perolehan bibit petani SOP dan
non-SOP, dimana untuk bibit petani SOP semua berasal dari budidaya sendiri
sedangkan untuk petani non-SOP bibit yang berasal dari budidaya sendiri 52
persen dan beli sebesar 48 persen. Sumber perolehan bibit perlu diketahui karena
mempengaruhi biaya perolehan bibit masing-masing petani. Dimana pada
umumnya biaya perolehan bibit yang berasal dari budidaya sendiri lebih murah
dibanding beli (Tabel 25).

Tabel 25 Sumber perolehan bibit petani SOP dan non-SOP


Petani SOP Petani non-SOP
Sumber Perolehan
Bibit Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(orang) (%) (orang) (%)
Budidaya sendiri 10 100 13 52
Beli 0 0 12 48
Total 10 100 25 100

Terdapat perbedaan jumlah penggunaan bibit krisan antara petani SOP dan
non-SOP. Tabel 26 memperlihatkan rata-rata jumlah penggunaan bibit petani SOP
lebih tinggi dibandingkan petani non-SOP, dimana jumlah penggunaan petani
SOP sebanyak 29 357 tangkai sedangkan petani non-SOP sebanyak 25 733
tangkai per lahan 500 m2. Petani SOP dapat menanam bibit lebih banyak pada
luasan yang sama dikarenakan jarak tanam konsisten yaitu 10 x 10 cm dalam satu
greenhouse. Selain itu petani SOP umumnya sumber perolehan bibitnya 100
persen merupakan hasil pengindukan sendiri, sehingga ketersediaan bibit lebih
terjamin dan dapat menanam seluruh greenhouse dengan hasil bibit pengindukan
sendiri tersebut. Sebaliknya petani non-SOP menanam dengan jarak yang tidak
konsisten, terkadang ditemukan jarak 10 x 10 cm namun terkadang juga lebih.
Selain itu ketersediaan bibit petani non-SOP 48 persen merupakan diperoleh dari
hasil pembelian (Tabel 25). Dimana jika melakukan pembelian bibit artinya
memerlukan modal awal yang besar, sedangkan petani non-SOP itu sendiri tidak
memiliki modal yang cukup jika harus menutup kebutuhan satu greenhouse secara
penuh. Maka dari itu petani non-SOP hanya dapat menanam jumlah bibit yang
lebih sedikit.

Tabel 26 Penggunaan bibit petani SOP dan non-SOP per lahan 500 m2
Uraian Petani SOP Petani non-SOP
Jumlah (tangkai) 29 357 25 733
Harga perolehan (Rp/tangkai) 49 61

Adapun tingkat penerapan anjuran SOP kelompok petani SOP maupun non-
SOP pada pada penggunaan bibit/benih, dapat dikatakan belum seluruhnya sesuai
anjuran. Menurut SOP seharusnya benih adalah varietas unggul yang dilepas
menteri pertanian, mempunyai surat keterangan mutu dan memiliki lebel yang
45

jelas. Namun kenyataannya penggunaan benih petani SOP sekalipun umumya


menggunakan benih yang tidak memiliki lebel keterangan mutu yang jelas.

Pupuk
Secara umum pupuk yang digunakan petani krisan Desa Langensari ada
yang berwujud padat dan berwujud cair. Penggunaan pupuk berwujud padat dapat
dikelompokan menjadi pupuk padat organik dan pupuk padat kimia. Pupuk padat
organik yang digunakan adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam
yang sudah dicampur dengan sekam (postal). Pupuk kandang biasa diaplikasikan
petani saat pengolahan tanah bersamaan dengan aplikasi kapur pertanian atau
yang sering disebut dengan aplikasi pupuk dasar.
Rataan dosis aplikasi pupuk kandang petani SOP lebih sedikit dibanding
petani non-SOP. Sedangkan untuk dosis aplikasi kapur pertanian, rata-rata dosis
aplikasi petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Dosis aplikasi kapur
petanian pada petani SOP lebih tinggi karena sebagian besar yaitu 90 persen
petani mengaplikasikan kapur pada saat penyiapan lahan sedangkan petani non-
SOP hanya 80 persen petaninya yang mengaplikasikan kapur pertanian pada saat
penyiapan lahan (Tabel 27).

Tabel 27 Aplikasi pupuk kandang dan kapur pertanian petani SOP dan non-SOP
Petani SOP Petani non-SOP
Keterangan Pengguna Persentase Dosis Pengguna Persentase Dosis
(orang) (%) (kg) (orang) (%) (kg)
Pupuk
10 100 982.98 24 96 1017.02
kandang
Kapur
9 90 68.81 20 80 46.43
pertanian

Secara keseluruhan penggunaan pupuk padat kimia petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP untuk semua jenis pupuk, terkecuali untuk pupuk urea
dimana penggunaan petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani SOP. Pupuk
padat kimia yang tinggi penggunaannya baik pada petani SOP maupun non-SOP
adalah pupuk phonska dan urea. Untuk pupuk phonska penggunaan petani SOP
lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Perbedaan paling signifikan antara petani
SOP dan non-SOP terlihat pada penggunaan pupuk NPK, dimana petani SOP
lebih tinggi penggunaannya yaitu sebesar 16.17 kg sedangkan pada petani non-
SOP hanya 5.31 kg. Ada juga jenis pupuk yang hanya digunakan oleh petani SOP
yaitu pupuk ZA, dimana penggunaannya sebanyak 1.5 kg (Gambar 7).
46

Jumlah non-SOP Jumlah SOP


0,00
ZA (Kg) 1,50
2,95
KCl (Kg) 3,50
5,31
NPK (Kg) 16,17
1,80
TSP (Kg) 2,40
2,69
KNO3 (Kg) 3,82
21,48
Urea (Kg) 17,83
5,26
Mutiara (Kg) 6,21
19,27
Phonska (Kg) 19,36

Gambar 7 Penggunaan pupuk kimia padat petani SOP dan non-SOP

Secara umum harga beli untuk semua jenis pupuk padat kimia petani SOP
dan non-SOP hampir sama, terkecuali untuk pupuk NPK. Dimana harga beli
pupuk NPK petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani SOP. Hal ini
dikarenakan pembelian petani SOP untuk pupuk NPK dalam jumlah yang lebih
besar dibanding petani non-SOP, sehingga dapat membeli dengan harga yang
lebih murah (Gambar 8).

Harga non-SOP Harga SOP


2.200
2.733
2.560
3.538
2.420
3.333
3.350
3.000
2.860
2.450
2.471
9.625
9.750
2.960
2.410

Gambar 8 Perbandingan harga beli pupuk padat kimia


47

Pupuk cair yang digunakan petani krisan Desa Langensari secara umum
adalah pupuk cair organik. Tabel 28 memperlihatkan jenis, jumlah dan harga
pupuk cair organik yang digunakan petani SOP dan non-SOP. Jenis pupuk cair
yang digunakan petani SOP dan non-SOP berbeda, dimana petani SOP
menggunakan pupuk cair Sukatani B dan urin kelinci sedangkan petani non-SOP
menggunakan pupuk cair EM4 dan sukatani D.

Tabel 28 Penggunaan pupuk cair petani SOP dan non-SOP


Jenis Pupuk Cair Petani SOP Petani non-SOP
Jumlah (liter) Harga (Rp) Jumlah (liter) Harga (Rp)
Em4 - - 0.42 22 000
Sukatani B 0.2 23 000 - -
Sukatani D - - 0.12 20 000
Urin kelinci 0.4 60 000 - -

Tingkat penerapan anjuran SOP kelompok petani SOP pada kegiatan


pemupukan dari segi jenis pupuk, tata cara penyimpanan pupuk dan kompetensi
pemupukan umumnya sudah sesuai dengan anjuran. Namun pada kegiatan
penggunaan pupuk untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi hanya sebagian yang
sesuai anjuran SOP. Hal ini dikarenakan pada kegiatan pemenuhan nutrisi
terdapat anjuran yang mengharuskan aplikasi pemupukan berdasarkan
perhitungan dari penanaman hingga panen dan hal ini umumnya tidak dilakukan
oleh petani SOP maupun non-SOP.

Obat-Obatan
Pestisida yang digunakan petani krisan Desa Langensari ada yang berwujud
padat dan cair. Secara umum penggunaan pestisida petani SOP baik yang
berwujud padat maupun cair lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Hal ini
dikarenakan petani SOP lebih intensif melakukan pengobatan dibandingkan petani
non-SOP untuk menjaga kualitas bunga krisan yang dihasilkan. Penggunaan
pestisida petani SOP yang berwujud padat sebanyak 525 gr dan yang berwujud
cair sebanyak 797.71 ml. Sedangkan penggunaan pestisida petani non-SOP yang
berwujud padat sebanyak 263.33 gr dan yang berwujud cair sebanyak 716.26 ml.
Begitu juga dari segi biaya, pengeluaran petani SOP untuk pestisida berwujud
padat maupun cair lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Biaya petani SOP
untuk pestisida berwujud padat sebesar Rp. 51 400 sedangkan yang berwujud cair
sebesar Rp. 389 549. Sedangkan pengeluaran petani non-SOP untuk pestisida
berwujud padat sebesar Rp. 37 340 dan yang berwujud cair sebesar Rp. 323 971
(Tabel 29).

Tabel 29 Penggunaan faktor produksi obat-obatan


Petani SOP Petani non-SOP
Jenis
Harga Biaya Harga Biaya
Pestisida Dosis Dosis
(Rp/dosis) (Rp) (Rp/dosis) (Rp)
Padat (gr) 525.00 97.905 51 400 263.33 141.80 37 340
Cair (ml) 797.71 488.330 389 549 716.26 452.31 323 971
48

Terdapat tiga jenis pestisida yang digunakan petani krisan Desa Langensari
yaitu jenis insektisida, fungisida dan bakterisida. Secara keseluruhan untuk
insektisida dan fungisida penggunaan petani SOP lebih tinggi dibanding petani
non-SOP baik itu yang berwujud padat maupun yang berwujud cair. Untuk
pestisida berwujud cair yang paling banyak digunakan adalah jenis insektisida
baik itu oleh petani SOP maupun non-SOP. Sedangkan pestisida berwujud padat
yang paling banyak digunakan adalah berjenis fungisida baik oleh petani SOP
maupun non-SOP. Sedangkan untuk bakterisida hanya digunakan petani SOP
dalam jumlah kecil yaitu yang berwujud padat sebanyak 5 gr (Tabel 30).

Tabel 30 Jenis pestisida petani SOP dan non-SOP


Wujud cair (ml) Wujud padat (gr)
Jenis Pestisida
SOP non-SOP SOP non-SOP
Insektisida 699.71 650.93 20.00 5.67
Fungisida 98.00 65.33 500.00 257.67
Bakterisida 0.00 0.00 5.00 0.00
Total 797.71 716.26 525.00 263.33

Gambar 9a dan 9b memperlihatkan penggunaan merek dagang pestisida cair


petani SOP dan non-SOP. Untuk jenis insektisida cair yang paling banyak
digunakan petani SOP berurutan dari yang paling banyak sampai paling sedikit
adalah merek dagang Marshal, Biothion, Agrimec, Demolish, Dursban, Decis,
Matador dan confidor. Sedangkan penggunaan fungisida cair petani SOP dari
yang paling banyak sampai yang paling sedikit adalah merek dagang Previcur,
Anvil, Amistar top dan Score. Kemudian untuk petani non-SOP penggunaan
insektisida cair berurutan dari yang paling banyak sampai paling sedikit adalah
merek dagang Marshal, Dursban, Agrimec, Demolish, Biothion, Decis, Larvin,
Manuver, Confidor, Dagger dan Movento. Untuk penggunaan fungisida cair
petani non-SOP hanya menggunakan Anvil (57.33 ml) dan Amistar top (8 ml).
Secara keseluruhan lima merek dagang insektisida cair yang paling banyak
digunakan baik petani SOP maupun non-SOP adalah merek dagang Marshal,
Dursban, Agrimec, Demolish dan Biothion. Sedangkan untuk fungisida cair empat
urutan terbanyak digunakan baik petani SOP maupun non-SOP adalah merek
dagang Anvil, Previcur, Amistar top dan Score. Menurut hasil penelitian
pemilihan merek dagang insektisida dan fungisida cair dipengaruhi oleh hama
penyakit yang menyerang, tingkat kekebalan hama penyakit, pengalaman
pemakaian obat petani dan harga merek dagang pestisida itu sendiri.
49

SOP non-SOP
206,17
181,24
157,62
150,00
123,81 117,62
103,33
90,36 88,50

50,00 33,33
34,67 20,00
15,00 8,00
0,00

Marshal Biothion Agrimec Demolish Dusrban Previcur Decis Amistar


(ml) * (ml) * (ml) * (ml) * (ml) * (ml) ** (ml) * top (ml)
**

Gambar 9a Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP. *insektisida,
**fungisida.

57,33 SOP non-SOP

20,00
15,00
8,00
8,00 6,00 4,00 4,00 4,00 8,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Anvil (ml) Score matador Confidor Dagger Larvin Movento manuver


** (ml) ** (ml) * (ml) * (ml)* (ml) * (ml) * (ml) *

Gambar 9b Merek dagang pestisida cair petani SOP dan non-SOP. *insektisida,
**fungisida.

Gambar 10 menunjukan penggunaan merek dagang pestisida padat petani


SOP dan non-SOP. Untuk insektisida padat yang digunakan petani SOP hanya
Metindo yaitu sebanyak 20 gr. Sedangkan penggunaan fungisida padat merek
dagang Dithane dan Ziflo penggunaannya sama banyak yaitu 200 gr. Kemudian
untuk bakterisida yang digunakan petani SOP hanya merek dagan Agreft yaitu
sebanyak 5 gr. Sedangkan penggunaan insektisida padat petani non-SOP yang
digunakan adalah Metindo sebanyak 4 gr dan Proclaim 1.67 gr. Untuk fungisida
padat yang digunakan petani non-SOP yang paling banyak digunakan adalah
antracol sebanyak 133.33 gr disusul oleh Dithane sebanyak 65 gr dan Ziflo
sebanyak 59.33 gr. Sedangkan untuk jenis bakterisda tidak digunakan petani non-
SOP.
50

200,00 200,00 SOP non-SOP

133,33

100,00
65,00
59,33

20,00 4,00
5,00 0,00 0,00
1,67

Dithane (gr) Ziflo (gr) ** antracol (gr) Metindo agrept (gr) Proclaim
** ** (gr) * *** (gr) *

Gambar 10 Penggunaan pestisida padat petani SOP dan non-SOP. *insektisida,


**fungisida, ***bakterisida.

Selain pestisida jenis obat-obatan lain yang digunakan petani krisan Desa
Langensari adalah zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT yang digunakan ada yang
berwujud padat dan cair. Tabel 31 menunjukan secara keseluruhan dari segi jenis
merek dagang penggunaan ZPT antara petani SOP dan non-SOP hampir sama,
terkecuali untuk satu merek dagang yang tidak digunakan oleh petani SOP namun
digunakan oleh petani non-SOP yaitu Supergro. Dari segi penggunaan jenis ZPT
cair yang paling banyak digunakan petani SOP adalah Atonik yaitu sebanyak 50
ml sedangkan untuk petani non-SOP adalah Supergro sebanyak 50 ml. Dari segi
harga beli untuk jenis Cabrio, progib dan Atonik petani SOP lebih rendah
dibanding petani non-SOP. Hal tersebut dikarenakan petani SOP membeli
kemasan yang lebih besar untuk ketiga jenis ZPT tersebut sehingga bisa
mendapatkan harga yang lebih murah. Untuk ZPT berwujud padat yang
digunakan adalah merek dagang Gibgro, dimana penggunaan petani SOP lebih
tinggi dibanding petani non-SOP.

Tabel 31 Perbandingan penggunaan ZPT petani SOP dan non-SOP


Petani SOP Petani non-SOP
Jenis ZPT Harga Harga
Penggunaan Penggunaan
(Rp/satuan) (Rp/satuan)
Cabrio (ml) 20.00 750 37.33 756
Progib (ml) 6.00 833 6.00 889
Atonik (ml) 50.00 80 16.67 100
Supergro (ml) - - 50.00 50
Gibgro (gr) 16.90 2 500 4.10 2 500
51

Tingkat penerapan anjuran SOP pada aspek obat-obatan kelompok petani


SOP untuk kriteria kompetensi dan keterampilan pengaplikasian pestisida pada
umumnya sudah sesuai anjuran. Begitu juga pada kriteria penggunaan jenis
pestisida umumnya kelompok petani SOP sudah sesuai anjuran. Adapun aspek
obat-obatan yang banyak belum sesuai anjuran SOP adalah kriteria prinsip
perlindungan, penyimpanan pestisida, penanganan wadah pestisida dan peralatan
aplikasi pestisida. Pada prinsip perlindungan belum banyak sesuai anjuran
dikarenakan umumnya petani belum menerapkan prinsip pengendalian hama
terpadu (PHT), sedangkan PHT itu sendiri adalah prinsip perlindungan hama yang
dianjuran SOP. Sedangkan pada aspek penyimpanan pestisida tingkat penerapan
belum banyak sesuai anjuran SOP dikarenakan penyimpanan pestisida oleh petani
masih banyak yang sembarangan dan belum memiliki tempat penyimpanan yang
khusus. Begitupula untuk aspek penanganan wadah pestisida belum banyak sesuai
anjuran, dikarenakan wadah pestisida sering dibuang sembarangan di kebun dan
jarang dilakukan penanganan lebih lanjut. Sedangkan pada aspek peralatan
aplikasi belum banyak sesuai anjuran SOP dikarenakan peralatan aplikasi
pestisida jarang dikalibrasi.

Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam usahatani krisan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu peralatan yang digunakan untuk kegiatan produksi dan peralatan yang
digunakan sebagai sarana pendukung greenhouse. Peralatan yang digunakan
untuk kegiatan produksi diantaranya hand sprayer, cangkul, kored, parang, tray,
emrat, ember, gunting panen, gunting semai dan drum plastik. Sedangkan
peralatan yang digunakan sebagai sarana pendukung greenhouse secara lengkap
diperlihatkan pada lampiran 4.
Baik dari segi jumlah penggunaan maupun nilai investasi untuk semua jenis
peralatan produksi petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Kemudian
jika kita bandingkan umur ekonomis semua jenis peralatan produksi petani SOP
juga lebih lama dibanding petani non-SOP. Hal ini dikarenakan petani SOP
melakukan perawatan yang lebih baik pada peralatan produksinya dibanding
petani non-SOP, sehingga peralatan produksinya dapat bertahan lebih lama.
Secara keseluruhan dari segi nilai investasi maupun penyusutan peralatan
produksi untuk petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Nilai investasi
peralatan produksi petani SOP sebesar Rp. 2 693 491 sedangkan pada petani non-
SOP sebesar Rp. 1 209 353. Kemudian dari total nilai penyusutan peralatan
produksi, nilai penyusutan petani SOP lebih besar yaitu Rp. 115 612 dan petani
non-SOP sebesar Rp. 65 804. Hal ini dikarenakan jumlah penggunaan untuk
semua jenis peralatan produksi petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-
SOP, sehingga menghasilkan total nilai investasi dan penyusutan yang lebih besar
pula. Selain itu petani SOP menggunakan power sprayer sedangkan petani non-
SOP tidak ada yang menggunakan power spayer, sehingga nilai penyusutan
peralatan petani SOP menjadi lebih tinggi (Tabel 32).
52

Tabel 32 Peralatan produksi usahatani bunga krisan petani SOP dan non-SOP
Petani SOP

Jenis Peralatan Umur Penyusutan


Jumlah (unit) Harga (Rp) Nilai (Rp) ekonomis per musim
(Tahun) tanam (Rp)
Hand sprayer 2.45 360 000 881 143 8.70 29 540
Cangkul 3.41 39 375 134 438 4.78 8 207
Kored 2.44 25 625 62 598 5.00 3 652
Parang 1.94 30 000 58 286 5.50 3 091
Tray 10.85 7 375 80 001 2.60 8 974
Emrat 2.61 77 500 202 607 4.60 12 846
Ember 3.44 9 200 31 674 4.10 2 253
Gunting panen 2.64 66 250 175 089 5.00 10 214
gunting semai 2.18 33 750 73 446 5.20 4 120
Drum plastik 0.57 166 250 94 208 4.25 6 465
Power Sprayer 0.30 3 000 000 900 000 10.00 26 250
Total 2 693 491 115 612
Petani non-SOP
Hand sprayer 1.62 348 043 564 493 7.52 21 894
Cangkul 2.03 40 238 81 779 4.52 5 277
Kored 1.76 27 895 48 962 4.77 2 992
Parang 1.74 32 273 56 216 5.12 3 202
Tray 4.76 8 850 42 084 2.52 4 867
Emrat 2.05 84 333 173 044 4.52 11 166
Ember 3.00 8 727 26 215 4.04 1 891
Gunting panen 1.85 64 762 119 810 4.48 7 807
gunting semai 1.93 33 750 65 250 4.32 4 410
Drum plastik 0.18 175 000 31 500 4.00 2 297
Total 1 209 353 65 804

Peralatan yang digunakan sebagai sarana pendukung greenhouse


diantaranya jaring, pancuh, net screen, lampu, kabel, kepala lampu, timer dan
MCB. Lampiran empat menunjukan secara lengkap nilai investasi dan penyusutan
untuk peralatan pendukung greenhouse. Dimana jika kita lihat dari nilai investasi
peralatan pendukung greenhouse terdapat perbedaan yang besar untuk net screen,
lampu neon dan kabel 2.5 inci antara petani SOP dan non-SOP. Nilai investasi
petani SOP untuk net screen sebesar Rp. 1 196 580, sedangkan pada petani non-
SOP nilai investasi net screen hanya sebesar Rp. 228 114. Hal ini dikarenakan
penggunaan net screen petani SOP jauh lebih tinggi dibanding petani non-SOP.
Kemudian investasi lampu neon pada petani SOP sebesar Rp. 1 040 411
sedangkan pada petani non-SOP hanya sebesar Rp. 822 491. Hal ini dikarenakan
penggunaan jumlah lampu dalam satu greenhouse petani non-SOP lebih sedikit
dibanding petani SOP. Selain itu perbedaan nilai investasi pada lampu neon juga
dikarenakan banyaknya petani non-SOP yang menggunakan lampu pijar sebagai
ganti lampu neon untuk sarana penerangan bunga krisan. Kemudian nilai investasi
53

peralatan pendukung greenhouse lainnya yang besar perbedaannya yaitu pada


kabel 2.5 inci, dimana untuk petani SOP sebesar Rp. 120 000 sedangkan pada
petani non-SOP sebesar Rp. 23 604. Hal ini dikarenakan petani non-SOP lebih
banyak menggunakan kabel yang berukuran lebih kecil yaitu kabel 1.5 inci karena
harganya lebih murah. Ada juga peralatan pendukung greenhouse yang hanya
digunakan oleh petani SOP sedangkan pada petani non-SOP tidak menggunakan
sama sekali yaitu timer. Dimana jumlah penggunaan timer untuk petani SOP
adalah sebesar 0.2 unit dengan nilai investasi Rp. 20 000. Kemudian dari total
nilai investasi dan penyusutan peralatan pendukung greenhouse petani SOP lebih
besar dibanding petani non-SOP. Untuk petani SOP total nilai investasinya
sebesar Rp. 3 699 628 dan nilai total penyusutannya sebesar Rp. 436 442
sedangkan pada petani non-SOP total nilai investasinya sebesar Rp. 2 405 372 dan
total nilai penyusutannya sebesar Rp. 357 315 (Lampiran 4).
Tingkat penerapan anjuran SOP kelompok petani SOP pada penggunaan
peralatan, sarana dan mesin pertanian (Alsintan) umumnya sudah sesuai anjuran.
Begitu juga dengan perawatan Alsintan pada umumnya sudah sesuai dengan
anjuran SOP. Adapun aspek pada Alsintan yang belum sesuai anjuran SOP adalah
pada kegiatan kalibrasi alat, hal ini dikarenakan tidak ada satupun petani baik
SOP maupun non-SOP yang melakukan kalibrasi Alsintan.

Tenaga Kerja
Berdasarkan sumbernya tenaga kerja yang digunakan petani krisan Desa
Langensari berasal dari luar keluarga (TKLK) dan yang berasal dari dalam
keluarga (TKDK). Dari jenis kelamin, tenaga kerja yang digunakan dalam
usahatani krisan berasal dari tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Seperti
diperlihatkan pada Tabel 33 secara keseluruhan penggunaan tenaga kerja per 500
m2 per musim tanam petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Dimana
penggunaan tenaga kerja untuk petani SOP sebesar 51.71 HOK sedangkan pada
petani non-SOP sebesar 46.37 HOK. Apabila kita perhatikan total penggunaan
tenaga kerja per kegiatan, perbedaan yang signifikan terlihat pada kegiatan panen
dan pascapanen antara petani SOP dan non-SOP. Dimana untuk petani SOP pada
kegiatan panen menggunakan tenaga kerja sebesar 3.11 HOK sedangkan pada
petani non-SOP sebesar 1.02 HOK. Perbedaan ini dikarenakan seluruh petani SOP
melakukan panen sendiri sedangkan petani non-SOP sebagian besar tidak
melakukan panen yaitu 52 persen (Tabel 17). Petani non-SOP tidak melakukan
penen dikarenakan melakukan penjualan secara borongan sehingga kegiatan
pemanenan bunga dilakukan oleh pemborong. Kemudian penggunaan tenaga
kerja pada pascapanen petani SOP sebesar 2.06 sedangkan pada petani non-SOP
hanya sebesar 0.39 HOK. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani SOP
melakukan pascapanen sedangkan petani non-SOP sebagian besar tidak
melakukan pascapanen (Tabel 20).
54

Tabel 33 Perbandingan penggunaan tenaga kerja petani SOP dan non-SOP per
500 m2 per musim tanam
Penggunaan Tenaga Kerja (HOK)
SOP Non-SOP
Kegiatan
TKLK TKDK TKLK TKDK
Total Total
HKP HKW HKP HKW HKP HKW HKP HKW
Penyiapan
0.77 0.00 0.23 0.13 1.12 0.27 0.09 0.66 0.27 1.29
stek pucuk
Penyiapan
7.67 0.00 1.58 0.00 9.25 3.70 0.00 5.44 0.00 9.14
lahan
Penanaman
0.53 1.54 0.11 0.24 2.42 0.28 1.21 0.54 0.35 2.38
stek pucuk
Penyulaman 0.00 0.11 0.11 0.00 0.22 0.00 0.00 0.03 0.00 0.03
Pemupukan 2.43 0.10 1.01 0.20 3.74 1.22 0.00 1.72 0.10 3.04
Penyiraman 8.58 0.00 7.26 0.00 15.84 2.72 0.00 13.80 0.00 16.52
Penyinaran
0.03 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 0.00 0.39 0.01 0.40
(lampu)
Pengendalian
4.08 0.00 0.76 0.00 4.84 1.60 0.00 3.58 0.00 5.19
OPT
Penyiangan
1.15 1.62 0.00 0.09 2.86 0.38 1.09 0.75 0.16 2.38
gulma
Pemberian
0.26 0.00 0.96 0.00 1.22 0.11 0.00 0.49 0.07 0.66
zpt
Pemotesan
0.30 1.23 0.70 0.36 2.59 0.08 0.78 0.89 0.48 2.23
kuncup
Perompesan
0.13 0.15 0.15 0.10 0.54 0.00 0.20 0.27 0.13 0.60
daun
Sanitasi
1.55 0.00 0.08 0.00 1.62 0.28 0.00 0.84 0.00 1.11
lingkungan
Panen 1.97 0.00 1.15 0.00 3.11 0.52 0.00 0.51 0.00 1.02
Pascapanen 1.29 0.00 0.53 0.25 2.06 0.14 0.00 0.22 0.03 0.39
30.72 4.76 14.86 1.36 11.28 3.37 30.12 1.60
Total 51.71 46.37
35.48 16.23 14.65 31.72

Apabila dibandingkan penggunaan tenaga kerja berdasarkan sumbernya,


petani SOP lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK),
sedangkan petani non-SOP lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam
keluarga (TKDK). Kemudian berdasarkan jenis kelamin, baik petani SOP maupun
non-SOP lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria dibanding wanita dalam
usahataninya.
Pada kelompok petani SOP penerapan anjuran SOP aspek ketenagakerjaan
pada kriteria kompetensi umumnya sudah sesuai anjuran. Karena pada umumnya
tenaga kerja sudah memiliki keahlian dalam budidaya krisan dan tenaga kerja
yang digunakan umumnya juga sudah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan baik dari segi umur, jam kerja dan upah. Aspek ketenagakerjaan yang
umumnya belum sesuai anjuran SOP adalah pada kriteria keselamatan tenaga
kerja, hal ini dikarenakan belum banyak petani yang mengikuti pelatihan K3
seperti yang dianjurkan SOP dan banyaknya pekerja yang belum mengenakan
55

baju peralatan pelindung sesuai anjuran SOP saat bekerja terutama saat
menangani pestisida.

Struktur Biaya Usahatani Krisan

Secara keseluruhan total biaya usahatani krisan yang dikeluarkan petani


SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP, total biaya petani SOP sebesar Rp. 8
487 307 sedangkan pada petani non-SOP total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.
7 168 436. Biaya total itu sendiri dibagi menjadi menjadi biaya tunai dan biaya
non-tunai. Biaya tunai usahatani krisan terdiri atas biaya lahan, benih, pupuk,
kapur pertanian, obat-obatan, listrik, perlengkapan dan tenaga kerja luar keluarga.
Biaya non-tunai terdiri atas biaya tenaga kerja dalam keluarga dan penyusutan.
Biaya tunai petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP, biaya tunai petani
SOP mencapai Rp. 6 046 803 atau 71.25 persen dari biaya total sedangkan pada
petani non-SOP biaya tunai sebesar Rp. 4 222 033 atau 58.90 persen dari biaya
total. Sebaliknya biaya non-tunai petani non-SOP lebih tinggi dibanding petani
SOP, biaya non-tunai petani non-SOP sebesar Rp. 2 946 403 atau 41.10 persen
dari biaya total sedangkan pada petani SOP biaya non-tunai sebesar Rp. 2 440 504
atau 28.75 persen dari biaya total.
Baik pada petani SOP maupun non-SOP biaya terbesar dalam menjalankan
usahatani krisan adalah untuk tenaga kerja. Pada petani SOP biaya tenaga kerja
mencapai 33.63 persen dari biaya total sedangkan pada petani non-SOP sebesar
33.02 persen dari biaya total. Sebagian besar biaya tenaga kerja petani SOP
digunakan untuk tenaga kerja luar keluarga yaitu sebesar 68.62 persen dari total
biaya tenaga kerja, sebaliknya pada petani non-SOP sebagian besar biaya tenga
kerja adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga yaitu sebesar 68.41 persen dari
total biaya tenaga kerja. Biaya terbesar kedua petani SOP adalah biaya penyusutan
greenhouse, peralatan produksi dan peralatan pendukung greenhouse. Biaya
penyusutan pada petani SOP mencapai 18.20 persen dari biaya total biaya.
Sedangkan pada petani non-SOP biaya terbesar kedua untuk bibit yaitu sebesar
21.91 persen dari biaya total. Biaya terbesar ketiga petani SOP adalah untuk bibit
yaitu sebesar 16.94 persen, sedangkan biaya terbesar ketiga petani non-SOP untuk
penyusutan sebesar 18.52 persen dari biaya total.
Urutan biaya terbesar keempat baik pada petani SOP maupun non-SOP
adalah untuk biaya lahan. Pada petani SOP biaya lahan mencapai 11.56 persen
sedangkan pada petani non-SOP biaya lahan sebesar 9.12 persen dari biaya total.
Biaya terbesar kelima petani SOP adalah biaya obat-obatan yaitu sebesar 5.98
persen sedangkan pada petani non-SOP biaya urutan kelima adalah untuk pupuk
yaitu sebesar 6.43 persen dari biaya total. Biaya terbesar keenam petani SOP
untuk perlengkapan yaitu sebesar 5.76 persen sedangkan pada petani non-SOP
adalah untuk biaya obat-obatan yaitu sebesar 5.71 persen. Biaya terbesar urutan
ketujuh petani SOP adalah untuk pupuk yaitu sebesar 5.75 persen sedangkan pada
petani non-SOP adalah untuk listrik yaitu sebesar 2.48 persen dari biaya total.
Biaya terbesar urutan kedelapan petani SOP adalah untuk listrik yaitu sebesar 1.44
persen sedangkan pada petani non-SOP adalah untuk perlengkapan yaitu sebesar
2.24 persen dari biaya total. Dan untuk biaya terkecil dalam menjalankan
usahatani krisan baik pada petani SOP maupun non-SOP adalah untuk kapur
56

pertanian, pada petani SOP biaya kapur sebesar 0.72 persen sedangkan pada
petani non-SOP biaya kapur sebesar 0.58 persen. Perincian struktur biaya petani
SOP dan non-SOP dapat dilihat pada lampiran 9.

Struktur Penerimaan Usahatani Krisan

Penerimaan usahatani krisan petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-
SOP. penerimaan petani SOP mencapai Rp. 15 698 631 sedangkan pada petani
non-SOP hanya sebesar Rp. 9 242 621. Penerimaan petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP dikarenakan produktivitas petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP. Dalam lahan 500 m2 petani SOP dapat menghasilkan 2
642 ikat atau 26 420 tangkai bunga sedangkan pada petani non-SOP hanya dapat
menghasilkan 2 316 ikat atau 23 160 tangkai bunga. Perbedaan total penerimaan
petani SOP dan non-SOP juga disebabkan oleh kualitas atau grade bunga yang
dihasilkan keduanya, dimana dari kualitas itu sendiri berpengaruh terhadap harga
jual. pada petani SOP Bunga kualitas B adalah yang paling banyak diproduksi
yaitu mencapai 38.05 persen dari total produksi, yang dijual dengan harga Rp. 6
150. Sedangkan pada petani non-SOP kualitas bunga terbanyak yang diproduksi
adalah klasifikasi off grade yaitu sebesar 54.96 persen dari total produksi, yang
dijual dengan harga Rp. 3 993. Petani SOP menghasilkan bunga krisan kualitas
AA sebanyak 120 ikat sedangkan petani non-SOP tidak menghasilkan bunga
krisan kualitas AA (Tabel 34).
Jika kita perhatikan dari segi harga jual bunga krisan, petani SOP dapat
menjual bunga krisan per ikat dengan harga lebih tinggi dibanding petani non-
SOP walaupun pada kualitas yang sama. Hal tersebut dikarenakan hasil panen
bunga pada petani SOP dilakukan penanganan pascapanen seperti pembungkusan
menggunakan kertas HVS atau koran sehingga harga jual bunga menjadi lebih
tinggi. Perbedaan harga jual juga disebabkan oleh tipe bunga, yaitu tipe bunga
standar dan spray yang diproduksi petani SOP dan non-SOP. Dimana untuk petani
SOP lebih banyak memproduksi tipe bunga standar dan harga bunga tipe standar
itu sendiri umumnya lebih tinggi dibanding tipe spray (Tabel 19). Selain itu
perbedaan harga jual juga disebabkan perbedaan tujuan penjualan antara petani
SOP dan non-SOP.

Tabel 34 Penerimaan usahatani krisan per 500 m2 selama musim tanam 2014
Jumlah (ikat) Harga (Rp/ikat) Penerimaan (Rp)
Produksi
Petani SOP
Grade AA 120 10 000 1 200 000
Grade A 701 8 600 6 032 286
Grade B 1 005 6 150 6 183 679
Grade C 815 2 800 2 282 667
Off grade - - -
Total 2 641 15 698 631
57

Lanjutan Tabel 34 Penerimaan usahatani krisan per 500 m2 selama musim


tanam 2014
Jumlah (ikat) Harga (Rp/ikat) Penerimaan (Rp)
Produksi
Petani non-SOP
Grade AA - - -
Grade A 119 6 950 827 050
Grade B 437 5 045 2 203 182
Grade C 487 2 318 1 130 067
Off grade 1 273 3 993 5 082 322
Total 2 316 9 242 621

Analisis Pendapatan Usahatani Krisan

Secara keseluruhan keuntungan atas biaya total dan keuntunga atas biaya
tunai petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Keuntungan atas biaya
toal petani SOP mencapai Rp. 7 211 324 sedangkan pada petani non-SOP hanya
sebesar Rp. 2 074 185. Keuntungan atas biaya total diperoleh dari hasil
pengurangan total penerimaan atas biaya total. Kemudian untuk keuntungan atas
biaya tunai petani SOP sebesar Rp. 9 651 828 sedangkan pada petani non-SOP
hanya sebesar Rp. 5 020 588. Keuntungan atas biaya tunai diperoleh dari
pengurangan total penerimaan dengan biaya tunai. Keuntungan atas biaya tunai
memperlihatkan kemampuan usahatani yang dijalankan untuk menghasilkan uang
tunai. Sehingga dalam hal ini kemampuan menghasilkan uang tunai usahatani
krisan petani SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP (Tabel 35).

Tabel 35 Analisis pendapatan petani SOP dan non-SOP


Nilai (Rp)
Komponen
Petani SOP Petani non-SOP
Total Penerimaan 15 698 631 9 242 621
Biaya tunai 6 046 803 4 222 033
Biaya non-tunai 2 440 504 2 946 403
Total biaya 8 487 307 7 168 436
Pendapatan atas biaya tunai 9 651 828 5 020 588
Pendapatan atas biaya total 7 211 324 2 074 185

Analisis Efisiensi Usahatani


Usaha budidaya bunga krisan petani Desa Langensari secara keseluruhan
menguntungkan untuk dijalankan, baik itu petani yang tergolong SOP maupun
non-SOP. Karena jika dilihat dari nilai R/C ratio sudah lebih besar dari satu.
Namun bila kita bandingkan, usahatani bunga krisan yang dijalankan petani SOP
lebih efisien dibanding petani non-SOP. Hal ini diperlihatkan oleh nilai R/C ratio
petani SOP yang lebih tinggi dibanding petani non-SOP baik itu untuk R/C atas
biaya tunai maupun R/C atas biaya total (Tabel 36). R/C atas biaya tunai petani
58

SOP bernilai 2.60 menunjukan setiap 1 rupiah biaya tunai yang dikeluarkan
petani SOP akan menghasilkan penerimaan sebesar 2.60 rupiah. Sedangkan R/C
atas biaya total petani SOP sebesar 1.85 menunjukan setiap 1 rupiah untuk biaya
total yang dikeluarkan petani SOP akan menghasilkan penerimaan sebesar 1.85
rupiah. Kemudian nilai R/C atas biaya tunai petani non-SOP sebesar 2.19
menunjukan setiap 1 rupiah biaya tunai yang dikeluarkan petani non-SOP akan
menghasilkan penerimaan sebesar 2.19 rupiah. Dan nilai R/C atas biaya total
petani non-SOP sebesar 1.29 menunjukan setiap 1 rupiah atas biaya total yang
dikeluarkan petani non-SOP akan menghasilkan penerimaan sebesar 1.29 rupiah.

Tabel 36 Analisis efisiensi usahatani petani SOP dan non-SOP


Nilai
Komponen
Petani SOP Petani non-SOP
R/C atas biaya total 1.85 1.29
R/C atas biaya tunai 2.60 2.19

Uji T Independen

Uji T independen digunakan untuk melihat signifikansi perbedaan biaya,


penerimaan dan pendapatan antara petani SOP dan non-SOP. Sebelum melakukan
uji T independen terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data biaya, penerimaan
dan pendapatan petani SOP dan non-SOP. Tabel 37 memperlihatkan output SPSS
hasil uji normalitas data biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-
SOP, apabila data berjumlah besar (n>50) maka uji Kolmogorov-Smirnov yang
digunakan sebaliknya jika jumlah data kecil (n<50) maka uji Shapiro-Wilk yang
digunakan. Karena jumlah data kurang dari 50 maka nilai signifikansi Shapiro-
Wilk yang digunakan. Bila nilai Signifikansi Shapiro-Wilk lebih besar dari 0.05
maka data diasumsikan berdistribusi normal sebaliknya jika nilai signifikansi
lebih kecil dari 0.05 data pendapatan tidak berdistribusi normal. Hasil uji
menunjukan baik pada petani SOP maupun non-SOP semua nilai signifikansi
Shapiro-Wilk lebih besar dari 0.05 maka data biaya, penerimaan dan pendapatan
petani SOP dan non-SOP diasumsikan berdistribusi normal.

Tabel 37 Tests of Normality Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Petani SOP dan
non-SOP
Petani Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Biaya SOP 0.197 10 0.200* 0.900 10 0.221
non-SOP 0.089 25 0.200* 0.979 25 0.867
Penerimaan SOP 0.147 10 0.200* 0.898 10 0.207
non-SOP 0.145 25 0.186 0.932 25 0.098
Pendapatan SOP 0.182 10 0.200(*) 0.894 10 0.186
non-SOP 0.164 25 0.082 0.960 25 0.408
* This is a lower bound of the true significance.
a Lilliefors Significance Correction
59

Setelah diketahui data menyebar normal maka syarat pertama dari uji T
telah terpenuhi. Selanjutnya Tabel 38 memperlihatkan signifikansi perbedaan
biaya, penerimaan dan pendapatan antara petani SOP dan non-SOP. Pada tabel
tersebut terdapat dua baris (sel), sel pertama dengan asumsi variance biaya,
penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-SOP sama sedangkan pada sel
kedua dengan asumsi variance kedua kelompok tersebut berbeda. Untuk memilih
sel mana yang akan digunakan dapat dilihat pada kolom levenes test, jika nilai
signifikansi lebih besar dari 0.05 maka asumsinya variancenya sama sebaliknya
jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0.05 maka variance tidak
sama. Dari kolom levenes test menunjukan variance kelompok petani SOP dan
non-SOP adalah sama karena nilai signifikansi untuk biaya, penerimaan dan
pendapatan secara berurutan 0.272, 0.148 dan 0.370 sehingga sel yang akan
dibaca adalah sel dengan asumsi variance sama.
Dari kolom uji T menunjukan nilai signifikansi sama dengan 0.000 untuk
biaya, penerimaan dan pendapatan. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari =
0.05 berarti asumsi H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-SOP berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95 persen.

Tabel 38 Uji T independen biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP dan
non-SOP

Biaya usahatani krisan petani SOP lebih besar dibanding petani non-SOP
dan secara statistik berbeda nyata dengan biaya yang dikeluarkan petani non-SOP,
hal ini dikarenakan petani SOP lebih intensif melakukan perawatan bunga krisan.
Kemudian dari hasil perawatan yang lebih intensif itu petani SOP dapat
menghasilkan bunga dengan kualitas yang lebih baik dibanding petani non-SOP
sehingga harga jual bunga krisan petani SOP juga menjadi lebih tinggi dibanding
petani non-SOP. Hal inilah yang menyebabkan penerimaan dan pendapatan petani
SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Dimana rata-rata penerimaan
usahatani krisan petani SOP sebesar Rp. 15 698 631 sedangkan pada petani non-
SOP sebesar Rp. 9 242 621 (Tabel 34). Kemudian untuk rata-rata pendapatan total
petani SOP sebesar Rp. 7 211 324 sedangkan petani non-SOP sebesar Rp. 2 074
185 (Tabel 35). Secara statistik penerimaan dan pendapatan petani SOP dan non-
SOP berbeda nyata.
60

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penilaian tingkat penerapan SOP terhadap 35 petani krisan Desa


Langensari menghasilkan 10 petani lulus kriteria SOP dan 25 tidak lulus kriteria
SOP. Rata-rata skor penilaian kriteria anjuran petani kelompok SOP untuk
anjuran (A) 54 persen, sangat anjuran (SA) 65 persen dan wajib (W) 100 persen.
Sedangkan skor penilaian penerapan SOP petani kelompok non-SOP untuk
anjuran (A) 50 persen, sangat anjuran (SA) 49 persen dan wajib (W) 67 persen.
Setelah dilakukan uji T independen pada biaya, penerimaan dan
pendapatan dapat disimpulkan tingkat biaya, penerimaan dan pendapatan antara
petani SOP dan non-SOP berbeda signifikan pada tarap kepercayaan 95 persen.
Dimana tingkat biaya, penerimaan dan pendapatan petani SOP lebih tinggi
dibanding petani non-SOP. Hal ini menunjukan penerapan SOP dapat
meningkatkan biaya karena melakukan perawatan yang lebih intensif namun disisi
lain penerapan SOP juga meningkatkan penerimaan dan pendapatan melalui
peningkatan mutu dan harga jual bunga krisan yang dihasilkan. Nilai R/C petani
SOP lebih tinggi dibanding petani non-SOP. Nilai R/C petani SOP sebesar 1.85
sedangan pada petani non-SOP sebesar 1.29, nilai ini juga menunjukan usahatani
krisan yang dijalankan petani SOP lebih efisien dibanding petani non-SOP.

Saran

Petani hendaknya melakukan praktek budidaya yang baik sesuai SOP


karena menurut hasil perhitungan praktek budidaya sesuai SOP akan lebih
menguntungkan. Kepada aparat pemerintahan Desa Langensari seperti BP3K,
Kepala Desa dan Gapoktan Asri Tani Jaya hendaknya melakukan sosialisasi SOP
budidaya krisan lebih giat lagi dan merangkul semua petani yang ada di Desa
Langensari karena ada sebagian petani krisan Desa Langensari saat diwawancara
yang mengeluhkan tidak mengetahui program penyuluhan yang dilakukan karena
kurangnya sosialisasi. Penyuluhan hendaknya ditekankan pada aspek-aspek
penting yang terdapat dalam anjuran SOP, seperti pelabelan pada aspek
penanganan pascapanen dan penangan limbah karena masih banyak petani yang
belum sesuai anjuran. Kepada pembuat SOP hendaknya merancang anjuran SOP
yang dapat diikuti oleh semua kalangan petani, baik petani skala besar maupun
kecil, menurut hasil pengamatan sampai saat ini dilapangan sebagian besar petani
yang menerapkan SOP sebagian besar didominasi oleh petani berskala besar
sedangkan petani beskala kecil umumnya masih sedikit yang dapat menerapkan
SOP. Kemudian anjuran SOP hendaknya disusun dengan kata-kata yang mudah
dimengerti oleh petani, tidak bertele-tele dan tidak terlalu banyak kegiatan.
Karena sebagian petani di lapangan mengeluhkan anjuran SOP yang terlalu
banyak anjuran yang terkadang membuat petani malas mengikutinya.
61

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
tanaman krisan 2009-2013. Jakarta: BPS pusat.
Cempaka, Dessy Ratna. 2013. Analisis Pendapatan Usahatani Sayuran di Desa
Panundaan Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat. [skripsi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Dalimunthe, Siti Fatimah. 2008. Analisis Usahatani Nenas (Ananas Cosmosus (l.)
Merr) dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) (KASUS: Desa
Cipelang Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten. 2013. Kelompok Tani Krisan
Kabupaten Sukabumi. Sukabumi. Indonesia.
Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura. 2013. Profil Krisan. Jakarta.
Indonesia.
------------------------.2014. Pedoman Budidaya Florikultura yang baik (good
agricultural practices on floriculture). Jakarta. Indonesia.
Hartati, Dewi Sri. 2010. Implikasi Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP)
terhadap Pendapatan Petani Mangga Gedong Gincu di Kecamatan Sedong,
Kabupaten Cirebon Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Hernanto F. 1991. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kementrian Pertanian.2013. Profil Krisan. Jakarta. Indonesia.
Lisanti, Yudithia. 2014. Analisis Usahatani Tomat Berbasis Standar Operasional
Prosedur (SOP) di Kecamatan Lembang, Bandung Barat. [Skripsi]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Maharani, Ariq Dewi. 2012. Pengaruh SOP terhadap Pendapatan Petani Pisang
Mas Kirana di Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jember [skripsi].
Jember (ID). Universitas Jember.
Marwoto, Budi. 2012. Standar Operasional Prosedur Budidaya Krisan Potong.
Jakarta. Indonesia.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Oktavia, Nurul Zulfah. 2002. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Budidaya
Tanaman Krisan di Pt. Agrobumi Puspa Sari Sukabumi. [skripsi]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Poetryani, Antari. 2011. Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Organik
dengan Anorganik. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Purwono, Joko, et al. 2014. Analisis Tataniaga Bunga Krisan di Kecamatan 1
Cugenang Kabupaten Cianjur [jurnal]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Indonesia. 2014. Neraca Perdagangan
Subsektor Florikultura Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Sandriawati, et al. 2013. faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
penerapan teknologi budidaya bunga krisan potong di desa hargobinangun
kecamatan pakem kabupaten sleman. [Jurnal]. Surakarta (ID). Universitas
Sebelas Maret.
62

Sari, Ayu Nina. 2010. Pencapaian Standar Mutu dan Kualitas Produksi Bunga Pot
Krisan di PT. Saung Mirwan. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: Penerbit Universitas Brawijaya.

Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta: Penerbit UI.


Soekartawi, et al. 2011. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan
Petani Kecil. Jakarta: Penerbit UI.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed methods). Bandung:
Alfabeta.
Suradinata, Yayat Rochayat. 2012. Penggunaan Benzyl Amino Purine (BAP)
untuk Meningkatkan Kesegaran Bunga Krisan [jurnal]. Bandung (ID).
Universitas Padjadjaran.
Suratiyah, Ken. 2011. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Syifaurrahmah. 2011. Pengelolaan Panen dan Pasca Panen Bunga Krisan Potong
di PT. Alam Indah Bunga Nusantara, Cipanas Cianjur Jawa Barat
[skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Widianingsih, Artati. 2008. Analisis Usahatani dan Pemasaran Pepaya California
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (Kasus di Desa Pasirgaok,
Kecamatan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Wiraatmaja, I Wayan, et al. Memperpanjang Kesegaran Bunga Potong Krisan
(Dendranthema grandiflora Tzvelev.) dengan Larutan Perendam Sukrosa
dan Asam Sitrat [Jurnal]. Denpasar (ID). Universitas Undayana.
Wulandari, Sekar Nur. 2009. Pendapatan Usahatani dan Pembangunan Usaha
Hias Daun Potong di Bogor [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
63

LAMPIRAN

Lampiran 1 Syarat Mutu Bunga Krisan Potong


Kelas Mutu
No Jenis Uji Satuan
AA A B C
1 Panjang Tangkai
Minimum
-tipe spray cm 76 70 61 Asalan
-tipe standar cm
*aster cm 76 70 61 Asalan
*kancing cm 76 70 61 Asalan
*santini cm 60 55 50 Asalan
2 Diameter tangkai bunga
-tipe standar, aster dan mm >5 4.1-5 3--4 Asalan
kancing
-santini mm >4 3.5-4 3-3.5 Asalan
3 Diameter bunga setengah
menkar
-tipe standar mm >80 71-80 60-70 Asalan
-tipe spray mm
*aster mm >40 >40 >40 Asalan
*kancing mm >35 >35 >35 Asalan
*santini mm >30 >30 >30 Asalan
4 jumlah kuntum bunga 1/2
mekar per tangkai
-tipe spray kuntum >6 >6 >6 Asalan
5 kesegaran bunga segar segar segar Asalan
6 Benda asing/kotoran % 3 5 10 >10
maksimal
7 keadaan tangkai bunga kuat, kuat, kuat, Asalan
lurus lurus lurus
tidak tidak tidak
pecah pecah pecah
8 kesegaran kultivar seragam seragam seragam Seragam
9 daun pada 2/3 bagian lengkap lengkap lengkap Asalan
tangkai bunga dan dan dan
seragam seragam seragam
10 penanganan pasca panen mutlak perlu perlu Asalan
sperlu
64

Lampiran 2 Kriteria Waktu Panen


Musim Musim
Normal
Varietas Warna Kemarau Penghujan
(hari)
(hari) (hari)
Reagan (spray) putih, kuning, 100 90 105-110
pink, salem,
ungu, orange
Puma (spray) putih, kuning 100 85 105
Fiji (standar) putih, kuning, 100 85 105
pink, orange
Jaguar (standar) merah, ungu 90 80 100
Euro (spray) putih 95 85 105
Captiva (standar) ungu 110 100 125
Remix (spray) merah, putih, 100 90 110
pink
Yoko Ono (spray) hijau 100 90 110
Tawn Talk (spray) kuning 100 90 110
Sheena (standar) putih, kuning 110 95 120
Shamrock (standar) hijau 110 95 120

Lampiran 3 Luas Lahan Budidaya Krisan Kab. Sukabumi


Nama Kelompok Jumlah
Desa Luas Lahan (m2)
Tani Anggota
Palasari Jaya Ds. Sudajaya Girang 16 20 000
Anugerah Ds. Sudajaya Girang 44 10 000
Sinar Pelangi Ds. Sudajaya Girang 15 5 000
Mustika Bumi Ds. Perbawati 15 30 000
Lembur Tani Ds. Perbawati 37 5 000
Tani Jaya II Ds. Sukajaya 61 15 000
Asri Tani Ds. Langensari 20 11 000
Sedap Malam Ds. Sukamekar 20 7 000
Tunas Bunga Ds. Langensari 20 5 000
Sakura Ds. Langensari 20 30 000
Itikurih Ds. Langensari 20 50 000
Albino Ds. Langensari 20 20 000
KWT krisan Ds. Langensari 20 2 500
Abadi Ds. Langensari 20 50 000
Sejati Tani Ds. Limbangan 20 4 000
Florist Ds. Girijaya 11 50 000
Rahayu Ds. Girijaya 13 40 000
Rukun Tani Ds. Girijaya 7 30 000
Jabon Ds. Tangkil 8 20 000
Mekar Sari Ds. Girijaya 9 20 000
Rahayu I Ds. Pasir Doton 13 30 000
65

Mandiri Ds. Girijaya 9 10 000

Lampiran 4 Investasi peralatan sarana pendukung per 500 m2 greenhouse


Umur Penyusutan Per
Sarana Pendukung Harga
Jumlah Nilai (Rp) Ekonomis Musim Produksi
Greenhouse (Rp/satuan)
(tahun) (Rp)
Petani SOP
Jaring (Kg) 9.9 45 000 445 500 3.80 34 194
Pancuh/tiang jaring (btg) 242.71 1 313 318 678 1.40 66 391
Net Screen (m) 199.43 6 000 1 196 580 5.40 64 630
Kabel dalam greenhouse
- kabel 2,5 inchi (m) 60 2 000 120 000 4.50 7 778
- Kabel 1,5 inchi (m) 228.81 1 643 375 935 2.13 51 599
Kepala lampu (unit) 33.39 3 889 129 854 3.80 9 967
Lampu
- lampu pijar (unit) 1.5 3 500 5 250 1.00 1 531
- Lampu Neon (unit) 31.89 32 625 1 040 411 1.60 189 658
Stop kontak (unit) 1.04 9 167 9 534 2.80 993
Timer (unit) 0.2 100 000 20 000 2.50 2 333
MCB (unit) 1.04 36 429 37 886 1.50 7 367
Total 3 699 628 436 442
Petani non-SOP
Jaring (Kg) 9.58 47 083 451 055 3.60 36 544
Pancuh/tiang jaring (btg) 239.22 1 339 320 316 1.72 54 317
Net Screen (m) 39.33 5 800 228 114 5.29 12 587
Kabel dalam greenhouse 0
- kabel 2,5 inchi (m) 12 1 967 23 604 4.00 1 721
- Kabel 1,5 inchi (m) 254.02 1 482 376 458 2.17 50 677
Kepala lampu (unit) 30.3 3 870 117 261 3.72 9 194
Lampu 0
- lampu pijar (unit) 3.8 2 667 10 135 1.00 2 956
- Lampu Neon (unit) 26.25 31 333 822 491 1.35 177 985
Stop kontak (unit) 1.2 7 525 9 030 2.72 968
Timer (unit) 0 0 0
MCB (unit) 1.2 39 091 46 909 1.32 10 365
Total 2 405 372 357 315
66

Lampiran 5 Format Penilaian GAP Dasar-dasar Usahatani


Penerapan
Kriteria Kegiatan Anjuran
Y T
Lahan Pemilihan lokasi 1. Lahan usaha berada di daerah sentra
produksi sesuai RUTR/RDTRD
komoditas (A).
2. Lokasi lahan usaha sesuai dengan peta
perwilahan komoditas (A).
3. Ada catatan riwayat penggunaan lahan
(SA)
Pemetaan 4. Tersedia peta/denah lokasi lahan (A).
Kesuburan lahan 5. Tingkat kesuburan lahan cukup baik (A)
Penyiapan lahan 6. Lahan bebas dari bahan B3 (W)
7. Kemiringan lahan kurang dari 30 persen
atau bila sampai 40 persen harus diikuti
dengan melakukan tindakan konservasi
(W)
8. Penyiapan lahan atau media tanam
dilakukan dengan cara menghidarkan
terjadinya erosi (SA)
Kelestarian Analisis dampak 9. Dilakukan analisis dampak lingkungan
lingkungan lingkungan sebelum pembukaan lahan (A)
Isu lingkungan 10. Petani memahami dampak usahataninya
terhadap kelestarian lingkungan
11. Penambahan bahan kimia dalam
penyiapan lahan dan media tidak
mencemari lingkungan (SA)
Pengolahan 12. Tersedia tempat pembuangan limbah
limbah yang letaknya terpisah dari lokasi
produksi untuk mencegah terjadinya
risiko cemaran pada produk dan
lingkungan (W).
Tenaga kerja, Kompetensi 13. Tenaga kerja memiliki keahlian,
keselamatan dan tenaga kerja keterampilan dan kompetensi dibidang
kesehatan budidaya dan keselamatan kerja (SA).
14. Tenaga kerja mendapat pelatihan sesuai
bidang dan tanggung jawabnya (SA)
15. Tenaga kerja memenuhi peraturan
ketenagakerjaan (SA)
Keselamatan dan 16. Pekerja yang menangani peralatan
kesehatan tenaga berbahaya harus mengikuti pelatihan
kerja keamanan dan keselamatan kerja (SA)
17. Prosedur penanganan kecelakaan kerja
dipajang di tempat kerja (SA)
18. Tersedia fasilitas sanitasi dan P3K di
lokasi tempat produksi kebun (SA).
19. Pekerja mengetahui peraturan tentang
keselamatan kerja, dan tata cara
pencegahann (SA)
20. Pekerja yang menangani pestisida
menjalani pengecekan kesehatan secara
berkala (SA)
21. Pekerja harus menggunakan peralatan
dan perlengkapan atau pelindung
keselamatan kerja sesuai dengan anjuran
(W)
67

22. Tersedia tempat untuk menyimpan


baju/perlengkapan pelindung kerja (A).
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura

Lampiran 6 Format Penilaian GAP Dasar-dasar Budidaya


Penerapan
Kriteria Kegiatan Anjuran
Y T
Lahan Penyiapan lahan 23. Dilakukan tindakan untuk mempertahankan
kesuburan tanah (SA).
24. Penyiapan lahan tanam dilakukan dengan cara yang
dapat menghindari terjadinya pemadatan tanah
(SA)
Media tanam 25. Media tanam diketahui sumbernya (A)
26. Media tanam tidak mengandung cemaran B3 (W)
27. Media tanam yang digunakan tidak mengandung
OPT (A)
Penggunaan Mutu benih 28. Benih yang ditanam merupakan varietas unggul
benih komersial (A)
29. Benih memiliki surat keterangan mutu (A)
30. Label benih disimpan (A)
Perlakuan benih 31. Penggunaan bahan kimia untuk perlakuan benih
sesuai anjuran (SA)
Penanaman Teknik menanam 32. Penanaman sudah dilakukan sesuai dengan teknik
budidaya anjuran (SA)
Pemupukan Jenis pupuk 33. Pupuk terdaftar atau diizinkan oleh pemerintah
(SA)
34. Penggunaan pupuk organik yang telah
terdekompoisisi dan layak digunakan (SA)
35. Pemupukan sesuai anjuran (SA)
36. Penggunaan pupuk tidak mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan (SA)
37. Kotoran manusia tidak digunakan sebagai pupuk
(W)
Penyimpanan pupuk 38. Pupuk disimpan pada tempat yang bersih, bersih
dan tidak lembab (A)
39. Pupuk disimpan pada tempat yang terlindung dari
sinar matahari, hujan, air dan api (SA)
40. Pupuk disimpan pada tempat yang aman dan
terpisah dari produk pertanian (W)
41. Pupuk yang berbentuk cair, granular, dan bubuk
disipan pada tempat yang benar yang
meminimalkan risiko pencemaran lahan produksi
dan sumber air (SA)
42. Pupuk disimpan dengan cara yang benar dan
mengurangi risiko pencemaran lingkungan (SA).
kompetensi 43. Petani mampu menunjukan pengetahuan dan
keterampilan pemupukan (SA)
44. Aplikasi cara pemupukan berdasarkan rekomendasi
para ahli, dosis/konsentrasi, jenis, frekuensi (SA)
Perlindungan prinsip perlindungan 45. Pengendalian OPT sesuai prinsip PHT (SA)
tanaman 46. Penggunaan pestisida sesuai dengan anjuran
rekomendasi dan aturan pakai (SA)
kompetensi 47. Pelaku mampu menunjukan pengetahuan dan
keterampilan mengaplikasi pestisida (W)
pestisida 48. Pestisida yang digunakan terdaftar dan diijinkan,
bila untuk tujuan ekspor disesuaikan dengan
peraturan negara tujuan (SA)
49. Pestisida yang digunakan belum kadaluarsa (SA)
68

penyimpanan pestisida 50. Pestisida disimpan di tempat yang kokoh (SA)


51. Pestisida disimpan di tempat yang berventilasi baik
(SA)
52. Pestisida disimpan di tempat aman dan terpisah
dari produk pertanian (W)
53. Pestisida disimpan di tempat dengan pencahayaan
baik untuk memastikan agar label dapat dibaca
jelas (SA)
54. Pestisida disimpan pada kemasan asli (SA)
55. Pestisida cair diletakan terpisah dari pestisida
bubuk (SA)
56. Tempat penyipanan pestisida mampu menahan
tumpahan (SA)
57. Terdapat pedoman penanggulangan kecelakaan
akibat keracunan pestisida yang terletak pada lokasi
yang mudah dibaca (SA).
58. Terdapat fasilitas untuk mengatasi keadaan darurat
(SA)
59. Tanda-tanda peringatan potensi bahaya pestisida
diletakan pada tempat yang mudah dilihat dan
strategis (SA)
penanganan wadah 60. Wadah bekas pestisida ditangani dengan benar agar
pestisida tidak mencemari lingkungan (SA)
61. Wadah bekas pestisida dirusak afar tidak digunakan
untuk keperluan lain (SA)
62. Kelebihan pestisida dalam tabung penyemprotan
digunakan untuk pengendalian di tempat lain (SA)
peralatan 63. Peralatan aplikasi pestisida dirawat secara teratur
agar selalu berfungsi dengan baik (SA)
64. Peralatan aplikasi pestisda dikalibrasi secara
berkala untuk menjaga keakurasian (SA)
65. Tersedia peralatan yang memadai untuk menakar
dan mencampur pestisida (SA)
66. Tersedia panduan penggunaan peralatan dan
aplikasi pestisida (A)
Pengairan pengairan 67. Ketersedian air sesuai dengan kebutuhan tanaman
(SA)
68. Air yang digunakan untuk irigasi tidak
mengandung limbah B3 (SA)
69. Terdapat fasilitas pengelolaan limbah (A)
70. Penggunaan air pengairan tidak bertentangan
dengan kepentingan umum (SA)
Pengawasan pengawasan 71. Tersedia dokumen hasi pengawasan internal
terhadap penerapan GAP florikultura (SA)
pencatatan 72. Tersedia catatan tentang kegiatan mulai dari jenis
varietas, mutu benih, tnggal kadaluarsa, jenis, dosis
pupuk, waktu dan frekuensi pemupukan, bahan
aktif pestisida, cara aplikasi, dosis, waktu
pengairan, frekuensi, penggunaan bahan kimia,
dosis, waktu, aplikasi, alasan penggunaan (SA)
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura
69

Lampiran 7 Format penilaian GAP Kegiatan budidaya tanaman hias dan bunga
Penerapan
Kriteria Kegiatan Anjuran
Y T
Benih/varietas Pemilihan benih 73. Petani memahami kualitas dan spesifikasi benih
(W)
74. Pemilihan benih sesuai dengan preferensi pasar
(A)
Pengolahan lahan Sterilisasi media 75. Dilakukan sterilisasi media (A)
dan media tanam
Fumigasi tanah 76. Tersedia rekomendasi tanah di fumigasi (A)
77. Interval fumigasi dan waktu tanam harus dicatat
(A)
Penggunaan Kebutuhan 78. Tanaman dan tanah diberi pupuk untuk
pupuk nutrisi meminimalkan kekurangan nutrisi. Tersedia hasil
analisa tanah sebelum dilakukan pemupukan (A)
79. Aplikasi pemupukan berdasarkan perhitungan
kebutuhan tanaman (A)
Panen Kebersihan 80. Tersedia fasilitas toilet dan tempat mencuci
tangan yang bersih (SA)
81. Wadah hasil panen yang digunakan dalam
keadaan baik, bersih dan tidak terkontaminasi
(SA)
Perlakuan pasca Kualitas air 82. Pencucian menggunakan air bersih (tidak
panen pascapanen berwarna, tidak berbau, tidak terkontaminasi)
(SA)
Penanganan 83. Bahan kimia yang digunakan dalam proses
bahan kimia pascapanen terdaftar dan diijinkan (SA)
84. Penggunaan bahan kimia untuk perlakuan
pascapanen hanya dilakukan jika tidak ada
alternatif lain (A)
85. Tersedia dokumen yang jelas dan memadai
tentang penggunaan perlakuan pascapanen (SA)
Pengemasan 86. Pengemasan dan pengepakan yang dilakukan bisa
melindungi produk dari kerusakan dan
kontaminan (A)
87. Tempat pengemasan bersih, bebas dari hama dan
kontaminasi (SA)
88. Kemasan diberi label yang menjelaskan identitas
produk (W)
Penyimpanan 89. Ruang penyimpanan mampu melindungi produk
dari kerusakan dan kontaminan (SA)
Kompetensi 90. Petani mampu menunjukan pengetahuan dan
keterampilan mengaplikasi bahan kimia (SA)
Tempat 91. Tepat pengemasan terpisah dari tempat
pengemasan penyimpanan pupuk dan pestisida (SA)
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura
70

Lampiran 8 Format Penilaian GAP Alsintan, Pengaduan, Pencatatan dan Evaluasi Internal
Penerapan
Kriteria Kegiatan Anjuran
Y T
Sarana, Penggunaan alsintan 92. Penggunaan alsintan dilakukan secara tepat (A)
peralatan dan
Perawatan alsintan 93. Alsintan dirawat secara teratur (A)
mesin
pertanian Kalibrasi alat 94. Peralatan dan mesin terkait dengan pengukuran
dikalibrasi secara berkala (SA)
Pengaduan Catatan keluhan 95. Tersedia catatan tentang keluhan konsumen
konsumen (SA)
Catatan langkah 96. Tersedia catatan mengenai langkah koreksi dari
koreksi keluhan keluhan konsumen (SA)
konsumen
Dokumen tindak 97. Terdapat dokumen tindak lanjut dari pengaduan
lanjut (SA)
Pencatatan Sistem pencatatan 98. Tersedia sistem pencatatan yang mudah
yang mudah ditelusuri ditelusuri (SA)

Kebaharuan catatan 99. Catatan dan dokumentasi selalu diperbaharui


(SA)
Evaluasi Bukti evaluasi internal 100. Terdapat bukti bahwa evaluasi internal
internal dilakukan secara periodik (SA)
Bukti tindak perbaikan 101. Tersedia catatan tindakan perbaikan sesuai
dengan hasil evaluasi (A)
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura
71

Lampiran 9 Perbandingan struktur biaya petani SOP dan non-SOP


Petani SOP Petani non-SOP

No Keterangan Satuan Nilai Nilai


Harga Harga
Unit (Rp/500 Unit (Rp/500
(Rp/satuan) (Rp/satuan)
m2) m2)

A Tunai
1 Lahan m2 500 1 963 981 250 500 1 307 653 667
Bibit krisan (stek
2 tangkai 29 357 49 1 438 500 25 733 61 1 570 505
pucuk)
3 Pupuk organik
Padat kg 982.98 241 236 897 1 017.02 244 247 900
Cair liter 0.60 47 667 28 600 0.54 21 556 11 640
4 Pupuk kimia
Padat kg 71.32 3 125 222 902 58.76 3 424 201 211
5 Kapur pertanian kg 68.81 890 61 240 46.43 889 41 270
6 Obat-obatan
- Pestisida
Padat gr 525.00 98 51 400 263.33 142 37 340
Cair ml 797.71 488 389 546 716.26 452 323 972
- ZPT
Padat gr 16.90 2 500 42 250 4.10 2 500 10 250
Cair ml 76.00 316 23 998 110.00 343 37 722
7 Listrik kwh 90.55 1 352 122 427 131.35 1 352 177 581
8 Perlengkapan 47.92 10 207 489 138 14.29 11 284 161 242
9 TKLK
HKP HOK 30.72 55 200 1 695 701 11.28 51 048 575 815
HKW HOK 4.76 55 200 262 953 3.37 51 048 171 918
Total Biaya Tunai 6 046 803 4 222 033
B Non-Tunai
1 TKDK
HKP HOK 14.86 55 200 820 503 30.12 51 048 1 537 681
HKW HOK 1.36 55 200 75 228 1.60 51 048 81 443
2 Penyusutan
Peralatan produksi 115 612 65 804
Peralatan
436 442 357 315
pendukung GH
Greenhouse 992 719 904 161
Total Biaya Non-
Tunai
2 440 504 2 946 403
C TOTAL BIAYA 8 487 307 7 168 436
72

Lampiran 10 SOP Penyiapan Sarana dan Prasarana Produksi krisan


Kriteria Langkah-langkah
Penyiapan Ketinggian tempat yang dianjurkan 600-1200 m dpl. Keadaan
Lokasi bertekstur liat, subur, berdrainase baik, tidak mengandung OPT, pH
tanah 6,2-6,7. Suhu lokasi yang optimum untuk pertumbuhan krisan
siang hari rata-rata 22-28o C. Kelembaban udara pertumbuhan awal
90-95 % dan pada tanaman muda-dewasa 70-85%. Kemiringan tanah
harus kurang dari 10%
Penyiapan Bentuk atap green house bisa melengkung, segitiga, bentuk A, gergaji
Green house atau setengah silinder. Bahan penuup atap dapat berasal dari kaca,
plastik UV, plastik gelombang PVC, acrylic, dan policarbonate.
Kemudian untuk bahan kerangka bisa dari kayu, bambu,
besi,alumunium atau beton. Ketinggian yang disarnkan 3-4,5 m dari
permukaan tanah, lebar dan penjang menyesuaikan keadaan lahan.
Untuk bahan penutup dinding bisa dari net atau ram kawat.
Penyiapan Saluran irigasi meliputi saluran primer, sekunder, dan tertier.
Sarana Irigasi Penyiapan sarana irigasi juga meliputi penyiapan sumber air, saluran
pemberian air, dan saluran air. Alat yang digunakan dalam proses ini
meliputi cangkul, garpu tanah, water pas, gergaji besi, selang, tang,
obeng, nozle.
Sarana Tanaman krisan membutuhkan fotoperioditas lebih dari 14.5 jam
Instalasi untuk menjaga pertumbuhan vegetatif. Maka diperlukan pencahayaan
Pencahayaan tambahan pada malam hari 4-5 jam. Penyiapan sarana pencahaayaan
meliputi penyiapan sumber arus listrik, distribusi aliran, panel listrik,
distribusi listrik, sistem penyinaran dan pemutusan arus di kebun.
Jaringan penyinaran dihitung berdasarkan kebutuhan, disesuaikan
dengan kondisi lahan dan kondisi tanaman. Jarak lampu diatur dengan
jarak 2 m x 2,5 m.
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura

Lampiran 11 SOP Proses Produksi budidaya krisan


Kriteria Langkah-Langkah
Pengolahan Pengolahan tanah meliputi pembersihan gulma dan sisa tanaman,
tanah pencangkulan dan pembajakan dan perataan tanah. Alat yang
digunakan berupa cangkul, atau traktor dan garpu tanah. Pada tahap ini
meliputi pengaturan drainase dan aerasi anah ditujukan agar tidak
terjadi genangan dan mempermudah pertukaran udara. Lahan
dicangkul dengan kedalaman 30 cm kemudian bongkahan tanahnya
dihancurkan.
Sterilisasi Membersihkan OPT pada tanah menggunakan bahan kimia volatile,
tanah uap panas, perendaman, solarisasi tanah. Bahan kimia dipilih yang
tidak membahayakan kehidupan mikroflora dan mikrofauna tanah.
Pembuatan Lebar bedengan 1.0-1.25 m panjang bedengan menyesuaikan luas
bedengan lahan, sarana jalan antar bedengan 40-50 cm.
Jaringan Saluran irigasi meliputi saluran primer, sekunder dan tersier. Bahan
73

irigasi dan alat pemasangan dipilih sesuai jenis dan fungsi. Panjang saluran
irigasi mempertimbangkan kondisi lahan dan karakteristik tanaman.
Pemasangan Net berguna untuk menopang batang krisan agar tidak mudah rebah.
net Menjaga krisan tetap lurus guna memnuhi standar mutu yang
ditetapkan. Net dipasang berdasarkan jarak tanam krisan potong dan
dinaikan sesuai dengan stadia dan umur tanaman.
Pengoprasian Waktu pengoprasian pukul 22.00-02.00 atau 23.00-03.00. Intensitas
jaringan cahaya 75-100 lux atau setara dengan cahaya lampu pijar 75-100 watt.
penyinaran Pengaturan pola siklik 7.5 menit terang, 22.5 menit gelap. Dilakukan
selama 8 periode siklus.
Pengukuran Pengukuran dilakukan meliputi pH, EC dan kelembaban tanah.
sifat kimia Peralatan terdiri dari pH meter, EC meter dan hydrometer. EC
tanah (Electric conductivity) menunjukan kandungan garam dalam tanah dan
atau kadar air tanah akibat pelarutan bahan kimia. pH menunjukan
derajat keasaman tanah. Hygrometer mengukur kelembaban tanah.
Pemberian Kapur yang digunakan adalah dolomit yang mengandung Ca dan Mg.
kapur Pemberian dilakukan dengan cara disebar rata dan diinkubasi selama
pertanian dua minggu. Dolomit diberikan sebanyak 5.02 ton/ha untuk pH tanah
awal 5.2, 4.08 ton untuk pH tanah awal 5.4.
Pemberian Bertujuan memperbaiki sifat fisik tanah, menyediakan hara makro dan
pupuk mikro bagi tanaman, serta merangsang pertumbuhan mikroorganisme
kandang yang menguntungkan tanaman. Pupuk kandang berupa kotoran kuda,
kambing maupun kotoran ayam yang telah terdekomposisi. Pupuk
kandang diberikan 20-30 ton/ha yang diberikan pada bedengan.
Pemilihan Varietas yang digunakan adalah yang tahan terhaadap OPT, produktif
varietas dan dan diterima pasar yaitu bertipe standar, spray, berbunga tunggal,
penyiapan stek anemone, pompon, atau dekoratif.
pucuk Stek pucuk berasal dari tanaman induk sehat yang masih produktif.
Stek pucuk dipanen setelah berukura 6 cm, diameter tangkai 4 mm,
berdaun minimal 3 helai dengan pucuk sempurna, bebas OPT dan
virus. Stek pucuk kemudian direndam dalam larutan Chlorotalonyl (2
g/l). Media pengakaran terbuat daru campuran kompos, sekam bakar
dan pupuk kandang (1:1:1). Media tersebut disterilkan dengan uas
panas 80o C selama 4 jam dan dikeringkan selama 2 x 24 jam
kemudian letakan pada bak berukuran lebar 80 cm. Pangkal stek pucuk
dicelupkan pada campuran hormon IBA dan IAA (1:1) dengan
konsentrsi 0.1 mg/l. Stek pucuk dipanen 14 hari setelah benih ditanam.
Penanaman Penanaman mencakup kegiatan penyiraman, penyiapan stek pucuk
stek pucuk siap tanam dan penanaman stek pucuk. Peralatan yang digunakan
berupa koret, wadah, nampan, dan skop. Sebelum stek ditanam
terlebih dahulu lahan disiram hingga basah sampai kedalaman 20 cm.
Metode penanaman dapat dengan cara tangan atau alat tanam, stek
pucuk ditanam dengan jarak 12.5 x 12.5 cm. Pada tahap ini juga
diberikan pupuk NPK (1:1:1) dengan dosis 250 kg/ha.
Penyiraman Penyiraman dilakukan dengan tujuan mengganti air yang hilang akibat
tanaman respirasi dan transpirasi serta menjaga kelembaban media dan udara
guna menjaga kesegaran tanaman. Penyiraman dilakukan hingga basah
di bagian sistem perakaran. Metode penyiraman dapat dilakukan
74

dengan irigasi tetes, rembes dan atau curahan.


Pemupukan Pupuk meliputi pupuk makro, pupuk mikro dan pupuk organik. Jenis
pupuk yang diberikan terdiri dari unsur hara makro yang mengandung
(N, P, K, Ca, Mg, S, Na, Cl, Fe, Mn, Mo, Cu, Zn dan Bo). Pupuk
didistribusikan melalui jaringan irigasi atau diberikan langsung ke
bedengan khusunya jenis granul yang tidak larut.
Pengendalian Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan pestisida yang
OPT mencakup fungisida, insektisida, bakterisida, akarisida, dan
nematisida. Penyemprotan mengikuti arah angin.
Pengendalian Kegiatan meliputi penyiangan gulma di petakan pertanaman dan
gulma sekitarnya dengan metode fisik/mekanik atau menggunakan bahan
kimia selektif. Peralatan yang diunakan meliputi koret, pacul, golok,
wadah penampungan, sprayer.
Pemberian Tujuan pemberian ZPT menyeragamkan masa pembungaan,
ZPT memperbaiki penampilan tanaman dan meningkatkan mutu. ZPT yang
diberikan mencakup sitokinin, auksin, kinetin, giberelin, dan golongan
retardan (penghambat tumbuh.
Pemotesan Pemotesan kuncup dapat dilakukan dengan ujung jari degngan cara
kuncup bunga memlintir dan menarik kuncup bunga. Kumpulkan dan buang kuncup
bunga yang telah dipotes. Tujuan pemotesan memperbaiki kondisi dan
kualitas keragaan bunga selama masa pertumbuhan dan perkembangan
lapangan.
Perompesan Daun senescens adalah daun tua, menguning dan biasanya terserang
daun penyakit karat. Daun daun diperiksa pada setiap tanaman dan yang
senescens menunjukan penguningan dirompes. Perompesan dilakukan bersamaan
dengan pengendalian penyakit.
Sanitasi Sanitasi lingkungan adalah kegiatan memilihara kebersihan
lingkungan lingkungan produksi krisan potong agar kesehatan tanaman terjaga dan
mengurangi akumulasi OPT. Lahan dibersihkan secara mekanik dari
gulma dan kotoran, pembersihan lahan dapat dilakukan dengan
mengaplikasikan bahan kimia dengan mengikuti prosedur K3
(kesehatan, kemanan dan keselamatan).
Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura

Lampiran 12 SOP Panen dan Pascapanen


Kriteria Langkah-langkah
Penentuan Kriteria saat panen ditetapkan berdasarkan persentase kemekaran
waktu panen bunga. Bunga tipe spray dipanen ketika kemekaran telah mencapai 70
persen, sedangkan bunga tipe standar dipanen ketika telah mekar
sempurna. Adapun keterangan lebih rinci dapat dilihat di lampiran.
Pemanenan Panen dilakukan sesuai stadia panen dan waktu pemanenan dilakukan
bunga krisan disaat yang tepat. Tangkai bunga krisan dipotong pada 5 cm dari
permukaan tanah. Kemudian masukan dalam ember berisi air. Hasil
panen segera angkut ke tempat penampungan sementara. Alat yang
digunakan berupa pisau, gunting stek dan wadah.
Sortasi dan Sortasi dan grading dilakukan dengan mengelompokan produk dan
Grading diberi label menurut kebutuhan pasar. Produk yang tidak memenuhi
75

spesifikasi kualitas disortir. Produk yang lolos sortasi dan grading


disatukan untuk disimpan pada tempat penampungan.
Perendaman Rendam tangkai bunga dalam larutan pengawet. Larutan pengawet
tangkai bunga dibuat dengan melarutkan dalam wadah berisi air. Alat yang
digunakan dalam proses perendaman wadah, bahan pengawet kimia
(senyawa reduktan, anti transpiran, anti bakteri dan sumber
karbohidrat).
Penyimpanan Penyimpanan dilakukan untuk mempertahankan mutu bunga krisan
Bunga sebelum dipasarkan. Ruang penyimpanan adalah lingkungan yang
telah diatur kondisi atmosfir, suhu dan kelembabannya. Penyimpanan
dapat dilakukan di ruang pendingin jika tersedia.
Pengemasan Spesifikasi jumlah bunga per satuan kemasan ditentukan sebanyak 10
dan s/d 20 tangkai setiap kemasan. Bunga digolongkan berdasarkan
Pengepakan kualitas yang sama untuk setiap kemasan. Pengemasan dan
pengepakan ditentukan berdasarkan tujuan melindungi bunga krisan
dari kondisi lingkungan selama transportasi dan peningkatan nilai
tambah. Kemasan dan pak produk diberi label
Standar Mutu Standar mutu krisan potong mengacu pada standar mutu krisan
Indonesia menurut SNI No. 01-4478 hasil konvensi seluruh
stakeholder di dalam negeri yang dibakukan dan diberlakukan sejak
tahun 1998 (Direktorat Budidaya dan Pasca Panen Florikultura, 2012).
Standar mutu bunga potong krisan dapat dilihat pada lampiran 1.
Pencatatan Mengacu pada prinsip GAP (good agriculture practices) budidaya
krisan diwajibkan melakukan pencatatan semua perlakuan yang
diberikan, khusunya untuk penggunaan bahan kimia. Hal ini berguna
mengidentifikasi penyimpangan tindakan yang dilakukan dan
memberikan acuan perbaikan sedini mungkin.
Komponen pencatatan meliputi:
Nama dan alamat petani
Jenis dan varietas tanaman krisan
Perlakuan dalam proses produksi
Penggunaan sarana produksi
Jenis, dosis, cara aplikasi dan waktu aplikai (pupuk dan pestisida)
Serangan OPT
Stadia pertumbuhan dan perkembangan
Panen (waktu panen, cara panen, jumlah bunga yang dipanen)
Pasca panen (pengankutan, penyimpanan, cara pengemasan, dan
pengepakan)
Aplikasi bahan pengawet (jenis bahan kimia, nama dagang, cara
dan waktu aplikasi)
Pemberian label

Sumber: Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura Ditjen Hortikultura


76

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sambas Kalimantan Barat pada tanggal 5 Januari


1993 dari ayah Agus Koswara dan ibu Erma Rohama. Penulis adalah putra
keempat dari lima bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Garut
dan pada tahun yang sama penulis lulus SNMPTN undangan dan diterima di
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum
Ekonomi Umum TPB pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014, menjadi tim
pengajar bimbingan belajar Simple Study. Adapun prestasi penulis dalam bidang
akademik sebagai Juara Umum ke-2 SMP Negeri 2 Bayongbong lulusan tahun
2008, Juara Umum ke-1 SMA Negeri 6 Garut lulusan tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai