Anda di halaman 1dari 2

PUASA DAN EKONOMI SPIRITUAL

Oleh
Ahmad Syarif H, M.A.
(Penikmat Islamic Studies)

Menggapai pahala dan memperoleh pandangan positif di


mata Tuhan dari semua aktifitas yang dilakukan merupakan harapan semua pemeluk
agama, begitu juga seorang muslim. Bulan ramadhan yang sering dianggap sebagai
Bulan Allah, di banyak kalangan masyarakat merupakan momentum untuk
merengkuh semua kebajikan dan kebaikan di mata Allah. Bulan ramadhan sering
dianggap sebagai bulan penghapus dosa, karena katanya di bulan ini semua kebaikan
akan diganjar sepuluh kali lipat pahala kebaikan yang dilakukan di luar bulan
ramadhan. Tidak hanya itu, pahala yang dilakukan selama bulan ramadhan apalagi
jika ditambah dengan tergapainya malam lailatul qadar, maka pahala ibadah dan amal
kebajikan selama bulan ramadhan akan bisa menyamai amalan selama 80 tahun.

Pemahaman keagamaan seperti tersebut di atas banyak kita dengar beredar di tengah
masyarakat, baik masyarakat awam maupun yang berpendidikan. Bahkan hal tersebut
juga banyak beredar di kalangan para juru dakwah yang nota bene paham akan ajaran
islam . Melihat hal ini, ternyata masyarakat muslim dan juru dakwah hingga hari ini
terus mengganggap bahwa bulan suci ramadhan dan ibadah yang dilakukan di
dalamnya sebagai sebuah peristiwa ekonomi spiritual. Bulan ramadhan sebagai salah
satu bulan suci umat islam dianggap sebagai suatu bulan dimana Allah seakan
mengobral pahala bagi mereka yang melakukan semua amal kebajikan dan kebaikan.
Dan sebaliknya, Allah seakan memberi diskon besar-besaran terhadap dosa yang telah
dilakukan oleh umat manusia pada bulan-bulan sebelumnya. Mengikuti pola pikir
ekonomi spiritual ini, maka tak heran jika banyak masyarakat mengatakan
mumpung ada diskon, segeralah berbelanja sebanyak-banyaknya, mumpung bulan
ramadhan, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya.

Dari fenomena ini, muncul sebuah pertanyaan, apakah benar bulan Ramadhan adalah
masa dimana pahala diobralkan dan dosa-dosa didiskonkan? Bukankah tujuan dari
puasa yang dilaksanakan di bulan ramadhan tersebut hanya semata-mata untuk
menggapai titel muttaqin (orang yang bertakwa). Kalo memang iya, lalu apa makna
bertaqwa tersebut?

Jika kita memahami hakikat ibadah dalam islam, maka kita akan banyak menemukan
pemahaman yang mengatakan bahwa ibadah adalah sikap tunduk, pasrah, dan patuh
hanya kepada Allah dalam semua aspek kehidupan sebagai bentuk rasa syukur akan
nikmat yang telah Allah anugerahkan ke manusia. Allah merupakan tujuan dan tempat
diarahkan semua aktifitas tersebut. Karena ibadah merupakan bentuk pengabdian total
seorang hamba yang tidak lupa kepada sang Khalik, maka sudah semestinya ia
dilakukan dalam setiap waktu dan tempat tanpa menunggu disediakannya tempat dan
waktu tertentu untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, bulan Ramadhan sejatinya
bukanlah waktu yang khusus untuk beribadah dengan melupakan peran penting setiap
waktu yang ada di bulan-bulan selain ramadhan.

Titel Bulan Allah yang disematkan ke bulan Ramadhan itu tidak lain adalah karena
ibadah puasa itu sifatnya tak terindrawi yang tak jarang kelakuan ibadah yang
dikerjakan ini hanya diketahui oleh Allah dan pelakunya, sehingga ia oleh Allah
dianggap spesial dibanding bulan-bulan lain selain ramadhan.

Derajat taqwa sebagai tujuan pelaksanaan ibadah seperti yang tersebut dalam QS. Al-
Baqarah (2): 185, secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa ibadah puasa
sejatinya merupakan ujian dan latihan bagi manusia untuk menghadapi semua
permasalahan hidup dan kehidupan yang sedang dilakoni. Ujian-ujian kehidupan
tersebut, terkadang ada yang bersifat individual, komunal, atau bahkan bersifat
nasional. Secara individual misalnya, sejauh mana kita bisa menata dan menahan
emosi, nafsu,dan semua keinginan diri yang bisa merendahkan harkat dan martabat
kemanusiaan kita. Sedangkan komunal misalnya terlihat dari sejauh mana kita bisa
menghargai perbedaan yang ada di sekeliling kita, sejauh mana kita peka terhadap
penderitaan orang lain di sekeliling kita dan permasalahan-permasalahan sosial
komunal lainnya. sedangkan di level nasional misalkan tercermin pada sejauh mana
perhatian dan kepekaan kita terhadap permasalahan nasional yang sampai hari ini
belum juga tuntas, seperti kemiskinan, kebodohan, dan lain-lain.

Masalah-masalah tersebut di atas, adalah ujian dan latihan kemanusiaan bagi seorang
yang berpuasa, di mana nantinya bagi mereka yang lulus sangat berhak untuk
menyandang titel muttaqin (orang yang bertaqwa) seperti yang termaktub dalam QS.
Al-Baqarah ayat 185 di atas. Karena kata muttaqin (orang bertaqwa), meminjam
istilah Yusuf Ali, tidak lain adalah omnipresent, yakni menghadirkan sifat keilahian
dalam keseharian. Menjadi toleran karena Tuhan Maha Penyayang (Ar-Rahman);
Menjadi Pemurah karena Tuhan Maha Pemurah (Ar-Rahim); sebaliknya menghindari
kekerasan karena hanya Dia yang berhak menjadi Maha Pemaksa (Al-Jabar),
menghindari keangkuhan dan kesombongan karena hanya Dia yang berhak berlaku
Sombong (al-Mutakabbir).

Dari pemahaman ini, semoga ibadah puasa kita membekas dalam sendi-sendi
kehidupan sosial, tidak hanya membekas pada sisi kehidupan individual kita. []

Anda mungkin juga menyukai