Oleh Ahmad Syarif H (Penikmat Islamic Studies, dan Pengajar di UIN Raden Fatah Palembang)
Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan,
ketertindasan, ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih merupakan realitas keseharian sebagian besar umat Islam di banyak belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan. Banyak hal bisa dituding sebagai sebab, baik berupa anasir absolut maupun struktural-sistemik. Namun, terlepas apapun penyebab utama dari realitas dimaksud, impotensi umat Islam menghadapi kenyataan ini tentu ironis demi menyadari betapa sesungguhnya Islam sarat akan spirit revolusioner yakni nilai-nilai moral yang membebaskan, yang mendorong ke arah terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, layak, dan manusiawi. Banyak alasan yang bisa disebut mengapa ketakberdayaan itu berlarut. Salah satunya ialah ketiadaan motivasi religius. Sejauh menyangkut lan-vital ajaran Islam sendiri, fakta ketakberdayaan umat itu memang berkait rekat dengan ketiadaan motivasi religius yang mampu berperan sebagai motivator perubahan, yang berperan transformatif dan menggerakkan mereka untuk membebaskan diri dari semrawut realitas sosial tak mengenakkan. Ketiadaan motivasi religius itu membuat apa yang kita sebut transformasi sosial secara total nyaris tak pernah berlangsung secara signifikan di dunia Islam, termasuk di tengah umat islam di negeri ini. Lalu bagaimana mencari motivasi religious bervisi revolusioner-transformatif tersebut? jika kita melihat lebih mendalam terkait sikap umum umat islam yang terkesan pasrah akan nasib dan keadaan serta jauh dari semangat juang untuk hidup lebih layak dan berkemajuan, setidaknya hal tersebut dipengaruhi oleh pola pemahaman teologis yang sangat bersifat teosentris. Artinya pola pemahaman keagamaan umat islam sangat didominasi oleh hal-hal yang bersifat vertical (hal-hal yang hanya berhubungan dengan Tuhan). Aspek ibadah dan pemahaman akan konsep-konsep taqwa, iman, islam dan ihsan serta kesalehan dan ketaatan sangat didominasi oleh pola pikir melangit ini. Sehingga kemudian hal-hal keduniawian yang merupakan fakta yang sedang dihadapi dan dirasakan dalam kehidupan mereka sekarang seakan terlepas dari unsur-unsur religiusitas (doktrin keagamaan). Fakta ini terlihat misalkan dari mewabahnya pemahaman yang masih sangat dalam melekat pada setiap umat islam di negeri ini yang menganggap bahwa barometer kesalehan dan atau ketaqwaan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa sering seorang muslim pergi ke masjid, ke Mekkah, atau melakukan ibadah ritual lainnya. Sangat jarang ,untuk mengatakan tidak, penilaian kesalehan dan ketaqwaan tersebut ditujukan pada mereka yang peduli lingkungan, peduli anak yatim, atau kepada para aktivis pembela keadilan dan pembela hak-hak manusia yang sedang dizalimi. Hemat penulis, pola pemahaman keagamaan serta konsep-konsep teologis yang mendasari pemikiran teosentris di atas perlu dirumus ulang agar sejalan dengan semangat pembebasan. Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses reflektif-kritis secara teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-Quran dan hadits) dan pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual). Dalam hal itu, setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang mendesak untuk dirumus-ulang dalam kerangka paradigma transformatif yang berpihak pada kepentingan pembelaan pembebasan kaum mustadlafn (orang-orang yang belum beruntung secara sosial dan ekonomi). Pertama, konsep Tawhd. Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam keseluruhan teologi Islam klasik. Dalam konteks pembebasan, tawhd harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran adanya unity of godhead, kesatuan ketuhanan. Keyakinan atasnya menurunkan konsep penegas adanya unity of creation, kesatuan penciptaan. Dalam konteks sosial-horisontal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan adanya unity of mankind, kesatuan kemanusiaan. Kesadaran teologis akan kesatuan kemanusiaan menegaskan bahwa tawhd menolak segenap bentuk penindasan atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu menghendaki adanya unity of guidance (kesatuan pedoman hidup; al-Quran dan hadits) bagi orang-orang Mukmin. Dengan demikian tawhd secara konseptual memberi arahan kepada adanya unity of purpose of life (kesatuan tujuan hidup), bergerak menuju muara tunggal, Allah swt. Pemahaman tawhd sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasan manusia dari ketertindasan, merupakan salah satu aqdah ilhiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tawhd semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna mn, nilai kufr dan sebutan kfir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Muslim searah dengan kepentingan praksis pembebasan. Kedua, konsep Keadilan Sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial via struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi lantaran proses sejarah manusia. Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah taqdir Tuhan, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula semata akibat ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatif, dan menindas. Ketiga, konsep Spiritualitas Pembebasan. Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas di satu sisi, dan atas fungsi utama ajaran Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Proses reflektif itu bermuara pada satu titik: spiritualitas pembebasan. Ialah yang sesungguhnya mewarnai seluruh bangunan paradigmatik teologi Islam yang transformatif dan membebaskan ini. Pembebasan dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tapi juga ia harus diarahkan pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu seperti ia harus mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian. Dengan berteologi seperti tersebut di atas kita bisa berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih menggembirakan. Dalam pada itu Islam sebagai entitas nilai maupun agama (organized religion) akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Sebab, di sana ia mengemuka lebih sebagai verb daripada sebagai noun, yang bergerak dinamis-inspiratif mengarah pada upaya perwujudan-pemenuhan keadilan sosial. Melalui rekonstruksi teologi itu, Islam sebagai entitas ajaran harus mengambil jalan mengubah dunia untuk mengubah manusia dan bukan mengubah manusia untuk mengubah dunia. Dan, yang pasti, dengan cara berteologi demikian iman kita akan menjadi iman yang hidup, dinamis. Sementara di sisi berbarengan, diharapkan silang-sengkarut tema- tema perdebatan kalm Abad Pertengahan tidak lagi menguras habis energi umat, tapi secara kreatif beralih mendorong pada pengembangan suatu pemikiran teologis yang lebih aktual dan peduli pada derita kemanusiaan. Kiranya degan mereformulasi pemahaman teologis keberislaman seperti tersebut di atas, kesadaran akan betapa beragama itu sebenarnya adalah untuk manusia dan bukan untuk Tuhan seperti yang selama ini kita yakini, akan segera terwujud dan mewujud dalam perilaku kita sehari-hari. Wallahu Alamu []