TESIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya lah saya mampu menyelesaikan tesis sekaligus seluruh proses
pendidikan saya pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit
Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dengan rendah hati saya
menyadari bahwa selesainya proses ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu izinkanlah saya mengucapkan terima kasih, penghargaan,
dan rasa hormat atas bantuan, masukan, doa serta dukungan dari pihak-pihak
berikut:
Kepada Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) yang telah memberikan
kesempatan untuk menjadi bagian dari civitas akademika Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia sejak S1 sampai PPDS. Nama FKUI
akan selamanya saya jaga sampai akhir hayat saya. Kepada Dr. dr.
Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, Direktur RSCM saat ini
sekaligus Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam terdahulu, dan guru
yang saya hormati atas kesempatan untuk menimba ilmu di RSCM.
Kepada Dr. dr. Dadang Makmun, SpPD, K-GEH selaku Ketua
Departemen Ilmu Penyakit Dalam saat ini dan juga Dr. dr. Imam
Subekti, SpPD, K-EMD selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam
yang terdahulu atas segala bimbingan dan bantuannya selama saya
menjadi PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam.
Kepada Ketua Program Studi Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam saat ini,
Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, MSc, SpPD, K-Ger dan Ketua Program
Studi Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam yang terdahulu dr. Aida Lydia,
PhD, SpPD, K-GH, serta seluruh staf dan koordinator pendidikan SP-
1 atas semua kerja keras dan perhatian yang dicurahkan untuk membantu
kami melewati proses pendidikan ini. Ucapan terima kasih khusus juga
saya ungkapkan kepada dr. Aida Lydia, PhD, SpPD, K-GH yang juga
merupakan pembimbing akademik saya selama proses PPDS. Dokter
adalah sosok ibu yang selalu bisa memberi ketenangan, semangat, dan
panduan setiap saya menghadapi masalah.
vi
Universitas Indonesia
Kepada Ketua Divisi Hepatobilier, Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD, K-
GEH dan Ketua Divisi Endokrin Metabolik, Dr. dr. Em Yunir, SpPD,
K-EMD yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di divisi
yang bersangkutan.
Terima kasih saya haturkan kepada dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH,
pembimbing utama penelitian ini dan seorang guru yang selalu saya
jadikan panutan dalam hidup. Kata-kata saja tidak akan cukup untuk
menyampaikan betapa saya berterima kasih dan bersyukur atas semua
ilmu, bimbingan, motivasi, dan waktu yang telah dokter bagikan kepada
saya dari sejak 7 tahun lalu saat saya baru mulai magang di Divisi
Hepatobilier. Dari anda saya belajar banyak hal, termasuk konsep untuk
selalu kritis dalam menilai setiap masalah dan dedikasi yang sangat tinggi
terhadap ilmu dan pendidikan. Semoga Allah membalas semua budi baik
yang dokter berikan kepada saya.
Kepada dr. Wismandari Wisnu, SpPD, K-EMD sebagai pembimbing
saya dalam penelitian ini, terima kasih atas kesediaan, masukan, dan
waktu yang dokter berikan dalam penyusunan tesis pada khususnya ini
dan pendidikan saya pada umumnya. Semoga saya bisa selalu
menerapkan pola pikir dokter yang selalu jeli dalam menilai kejanggalan-
kejanggalan yang ada dalam karya ilmiah.
Kepada Dr. dr. Cleopas Martin Rumende, SpPD, K-P sebagai
pembimbing metodologi dan statistic penelitian ini, terima kasih atas
semua waktu dan ide yang dokter curahkan demi terlaksananya penelitian
ini. Saya akan selalu mengingat semua wejangan yang dokter sampaikan,
baik dalam sesi bimbingan maupun dalam pertemuan-pertemuan PO-
KMK.
Terima kasih kepada para Staf Pengajar di Divisi Hepatobilier, dr.
Unggul Budihusodo, SpPD, K-GEH, Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD,
K-GEH, dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH, Dr. dr. Andri S. Sanityoso
Sulaiman, SpPD, K-GEH, Dr. dr. C. Rinaldi Lesmana, SpPD, K-
GEH, dr. Juferdy Kurniawan, SpPD, K-GEH, dr. Chyntia Oliva M.,
SpPD, dan dr. Kemal F. Kalista, SpPD atas semua masukan,
vii
Universitas Indonesia
kesempatan, dan bantuan yang diberikan sejak proses pengajuan proposal,
pengambilan sampel, hingga penyusunan naskah akhir tesis ini, serta
selama proses magang dan pendidikan saya. Merupakan suatu
kebanggaan bahwa saya pernah terlibat secara intensif di Divisi ini.
Mudah-mudahan suatu hari kelak saya bisa mengikuti jejak dokter
sekalian.
Kepada para Guru Besar, Ketua Divisi dan Staf Pengajar di lingkungan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, baik di RSCM maupun di rumah
sakit jejaring, atas bimbingannya selama proses pendidikan saya, saya
ucapkan banyak terima kasih.
Terima kasih kepada Mbak Raras, Mbak Sri, Mbak Biyah, Bu Esih
dan Mas Bembi yang juga banyak membantu selama penyusunan tesis
ini. Kepada staf poli dan prosedur hepatologi yang telah membantu saya
selama proses pengambilan sampel, Bu Sumiati, Bu Neneng, Bu
Maryani, Bu Yuni, Kak Marsini, Mas Jupri, Mas Emong, dan Mas
M. Nur, juga Mas Tegar di bagian pendaftaran. Kepada seluruh
karyawan di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan FKUI,
terutama Mba Olla dan Mba Ana, yang telah membantu terlaksananya
banyak diskusi dan bimbingan. Kepada Ibu Yanti, Mas Heri, Mbak
Aminah, dan Mbak Rizka atas semua bentuk perhatian, bantuan, dan
waktu yang dicurahkan untuk membantu saya terus maju selama
menjalani PPDS-1 ini.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada seluruh perawat, pekarya,
ahli gizi, dan petugas di lingkungan RSCM dan RS jejaring atas
bantuan dan kerjasamanya. Kepada pasien-pasien di RSCM dan RS
jejaring terutama pasien subjek penelitian ini. Tanpa guru-guru seperti
anda sekalian, niscaya tidak akan ada dokter yang bisa bekerja dengan
baik.
Kepada dr. Nabila yang telah membantu proses pengumpulan data
penelitian ini. Saya selalu mendoakan anda mencapai cita-cita anda di
masa depan. Kepada rekan seperjuangan saya dalam mengumpulkan
sampel, dr. Anggilia Stephanie dan dr. Juliyanti Fu, terima kasih atas
viii
Universitas Indonesia
semua kerja sama dan bantuan yang anda berikan. Kepada seluruh PPDS
yang selama pengambilan sampel sedang stase di divisi hepatologi dan
metabolik endokrin, terima kasih atas semua pengertian dan bantuan yang
diberikan.
Saudara-saudara saya dari PPDS Ilmu Penyakit Dalam angkatan Juli
2012, dr. Ahmad yusran, dr. Anandhara Indriani K, dr. Anindia
Larasati, dr. Ardhi Rahman Ahani, dr. Ario Perbowo Putra, Christy
Efiyanti, dr. Dewi Mira Ratih, dr. Jerry Eddya Putra Boer, dr. Laras
Budiyani, dr. Muhammad Alkaff, dr. Myra Puspitasari, dr. Reza
Yogaswara, dr. Ruth Vonky Rebecca, dr. Ryan Herardi, dan dr.
Subhan Rumoning, terima kasih atas semua kisah, tawa, air mata,
kebersamaan, dan persaudaraan yang kita bagi selama 5 tahun ini. Ada
terlalu banyak kisah bersama kalian yang selamanya akan saya kenang.
Semoga persaudaraan dan silaturahmi terus bisa terjaga di antara kita dan
semoga program Makan Malam Lelaki dapat terus terlaksana secara
rutin di masa depan.
Terima kasih saya ucapkan kepada para senior dan teman sejawat
sesama peserta PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FKUI, terutama teman-
teman dekat saya dr. Stella Ilone, dr. Radhiyatam Mardhiyah, SpPD,
dr. Catarina Budyono, SpPD, dan dr. Vidya Sari yang selalu bersedia
mendengarkan segala keluh kesah dan membantu saya di saat susah.
Akhirnya kepada keluarga dan sahabat-sahabat saya yang tentu memiliki
peranan yang sama penting, bila bukan lebih penting, dari nama-nama
yang telah saya sebutkan sebelumnya. Ucapan terima kasih yang pertama
dan terutama saya ucapakan kepada adik kandung sekaligus sahabat
terbaik saya, dr. Antonius Rio Adi Nugraha. Terima kasih atas semua
dukungan yang diberikan, termasuk menyetir saat saya kelelahan sehabis
jaga malam dan membawakan baju bila saya mendadak harus jaga.
Semoga anda bisa segera menyelesaikan pendidikan anda dengan lancar.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada kedua orang tua saya, dr. Bing
Wantoro, MS, SpOk dan dr. Monica Eka Inachrisma atas segala
dukungan dan kasih sayang yang ditunjukan. Berkat bimbingan anda
ix
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
ABSTRAK
xii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS . Error! Bookmark not defined.
PERYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............ Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN .............................. Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI Error! Bookmark
not defined.
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Error! Bookmark not
defined.
ABSTRAK ............................................................................................................ x
ABSTRACT ......................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN xx
xiv
Universitas Indonesia
4.3.1. Populasi Target .................................................................................. 25
4.3.2. Populasi Terjangkau .......................................................................... 25
4.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel......................................................... 25
4.5. Besar sampel ............................................................................................. 25
4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................... 28
4.6.1. Kriteria Inklusi................................................................................... 28
4.6.2. Kriteria Eksklusi ................................................................................ 28
4.6.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Khusus Profil Fibrosis ....................... 28
4.7. Persetujuan Penelitian .............................................................................. 28
4.8. Alur Penelitian .......................................................................................... 29
4.9. Rencana Kerja Penelitian ......................................................................... 29
4.10. Rencana Analisis dan Pengolahan Data ................................................. 30
4.11. Pelaporan Hasil Penelitian ...................................................................... 31
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
xvi
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
xvii
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
xviii
Universitas Indonesia
SPSS Statistical Package for the Social Sciences
SREBP-1 Sterol Regulatory Element Binding Protein-1
USG Ultrasonografi
TLRs Toll-Like Receptors
TNF Tumor Necrosis Factor
VLDL Very Low-Density Lipoprotein
xix
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
xx
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
2
Pemeriksaan ini sendiri bersifat non invasif dan jauh lebih aman daripada biopsi,
dengan tingkat akurasi yang cukup baik.6
Hubungan antara NAFLD dengan penyakit metabolik telah lama diteliti.
Sebagian ahli bahkan setuju bahwa NAFLD merupakan spektrum hati dari
sindrom metabolik. Data yang ada menunjukkan bahwa pada populasi diabetes
melitus tipe 2, prevalensi NAFLD mencapai 69%, sementara prevalensi diabetes
melitus pada populasi NAFLD mencapai 33-50%. Penelitian tersebut sendiri
dilakukan di Amerika, di mana sebagian besar populasi merupakan ras kaukasia.1,
2
Prevalensi NAFLD pada pasien obes yang menderita diabetes melitus bisa
mencapai 70%.7
Meskipun prevalensi NAFLD pada pasien diabetes cukup tinggi dan
adanya NAFLD sendiri bisa meningkatkan mortalitas dan morbiditas, belum ada
panduan yang merekomendasikan penapisan rutin NAFLD pada pasien dengan
diabetes melitus. Hal tersebut didasarkan pada kurangnya penelitian mengenai
manfaat dan kerugian penapisan pada populasi ini. Di Indonesia sendiri belum
ada data mengenai prevalensi NAFLD dan faktor-faktor yang memengaruhinya
pada populasi diabetes melitus. Data mengenai derajat fibrosis pada populasi ini
juga masih belum tersedia. Padahal derajat fibrosis sendiri diketahui berhubungan
dengan mortalitas dan morbiditas.5 Usia, lama diabetes, indeks massa tubuh,
lingkar pinggang, kadar HbA1C, HDL, dan trigliserida merupakan faktor-faktor
yang telah diketahui mempengaruhi kejadian NAFLD pada pasien diabetes
melitus di penelitian-penelitian di luar negeri, sementara penelitian mengenai
faktor risiko fibrosis berat pada populasi ini masih jarang dikerjakan.8 Tidak
adanya data ini menimbulkan kurangnya pengertian tenaga medis tentang
pentingnya penapisan NAFLD pada populasi diabetes melitus. Tingkat kesadaran
tenaga kesehatan tentang NAFLD sendiri juga masih tergolong rendah sehingga
pasien diabetes jarang sekali diperiksakan untuk NAFLD. Penelitian ini dibuat
dengan tujuan menilai besarnya masalah NAFLD pada populasi diabetes melitus
di Indonesia. Pada penelitian ini juga akan dicari faktor-faktor yang
memengaruhi kejadian dan derajat fibrosis NAFLD pada populasi ini.
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
4
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Universitas Indonesia
6
epidemiologi yang sama juga dapat ditemukan pada populasi Asia. Prevalensi
NAFLD cenderung dipengaruhi usia, dengan usia tua lebih rentan terhadap
NAFLD. Pasien pria juga umumnya mengalami NAFLD pada usia yang lebih
awal daripada wanita. Pola prevalensi NAFLD di Asia juga mengikuti pola
penyebaran obesitas. Populasi yang tinggal di Asia Timur, Selatan, atau Tenggara
cenderung memiliki tingkat obesitas yang rendah (prevalensi tertinggi 14% di
Malaysia), sementara populasi Asia Barat memiliki tingkat obesitas yang hampir
menyamai negara-negara Barat (prevalensi tertinggi 42% di Kuwait). Daerah
Asia Barat juga merupakan daerah dengan prevalensi diabetes yang tinggi.
Kuwait dan Arab Saudi bahkan masuk dalam daftar 10 negara dengan prevalensi
diabetes tertinggi di dunia. Dengan adanya kedua data tersebut, tidak
mengherankan bila prevalensi NAFLD lebih banyak di negara-negara Asia Barat.
Meskipun begitu, dalam kategori jumlah penduduk absolut yang menderita DM,
Tiongkok, India, Indonesia, dan Jepang masuk dalam peringkat 10 besar dunia.13
Telaah lain pada populasi Asia menyatakan bahwa risiko NAFLD meningkat
pada jenis kelaim laki-laki dan pada usia yang lebih tua. Ras Melayu dan India
juga ternyata lebih berisiko terkena NAFLD daripada ras Tionghoa. Pengaruh
urbanisasi dan lokasi tinggal pasien terhadap NAFLD masih belum bisa terbukti.
Beberapa parameter sindrom metabolik, seperti obesitas sentral dan diabetes
melitus juga diketahui meningkatkan risiko NAFLD pada populasi Asia. Telaah
ini juga menyebutkan beberapa faktor yang baru-baru ini diketahui meningkatkan
risiko NAFLD, seperti hipotiroidisme, kadar vitamin D yang rendah, obstructive
sleep apnea, dan variasi genetik.14 Untuk populasi Indonesia sendiri, data awal
mengenai prevalensi NAFLD didapat dari studi pada daerah sub-urban yang
dipublikasikan pada tahun 2002 oleh Hasan et al. Dari studi yang melibatkan
55.000 populasi umum tersebut, didapatkan data bahwa 30% populasi mengalami
perlemakan hati. Dari jumlah tersebut 65% pasien merupakan laki-laki dan 57%
pasien berusia 41-55 tahun.3 Studi yang lebih baru dipublikasikan pada tahun
2015 oleh Lesmana et al dan melibatkan 1054 pasien yang menjalani medical
checkup rutin. Prevalensi NAFL diketahui mencapai 51%. Analisis multivariat
pada populasi tersebut menujukkan adanya hubungan antara NAFL dengan jenis
kelamin pria, usia di atas 35 tahun, Indeks Massa Tubuh (IMT) 35, trigliserida
150 mg/dL, High-Density Lipoprotein (HDL)<40 mg/dL untuk pria dan <50
Universitas Indonesia
7
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
jarak dari diagnosis NAFLD (dengan derajat fibrosis ringan) sampai KHS
mencapai 26 tahun, namun jarak ini bisa berkurang menjadi 10-16 tahun pada
pasien dengan fibrosis berat atau sirosis.25 Kesimpulan yang serupa juga
ditemukan pada penelitian-penelitian lain yang menunjang bahwa derajat fibrosis
yang tinggi berhubungan dengan risiko karsinoma hepatoselular yang lebih
besar.17, 26
Prevalensi KHS yang disebabkan NASH bervariasi tergantung pola
epidemiologis etiologi penyakit hati kronik di tiap-tiap lokasi. Data dari Jepang
menyebutkan bahwa NASH bertanggung jawab terhadap 2,0% dari seluruh kasus
KHS sementara data di negara-negara barat menunjukkan kisaran 3,8-13%.27
Data lain juga menyebutkan kejadian Karsinoma Hepatosluler (KHS) pada pasien
NAFLD berkisar antara 10-13% dalam 5 tahun.23 Walaupun masih jauh dari
angka kejadian KHS pada pasien hepatitis C kronik (30,5% dalam 5 tahun),
angka tersebut cukup mendekati tingkat kejadian KHS akibat penyakit hati
alkoholik (12,5% dalam 5 tahun).27, 28
Studi-studi terbaru juga menunjukkan
bahwa karsinoma hepatoselular bisa muncul pada pasien dengan NASH yang
belum mengalami sirosis.Salah satu studi dari Jepang bahkan menyatakan bahwa
49% kasus karsinoma hepatoselular pada NASH terjadi pada pasien yang belum
mengalami sirosis.24, 29
Universitas Indonesia
10
observer yang cukup tinggi dalam menilai derajat fibrosis, inflamasi lobular, dan
interpretasi adanya ballooning.6, 18
Ketiga komponen tersebut merupakan hal
penting dalam diagnosis NASH. Pemeriksaan tersebut juga dianggap tidak
praktis dan memerlukan biaya yang lebih tinggi. Berdasarkan pemikiran tersebut,
beberapa pemeriksaan non invasif telah dikembangkan untuk menilai derajat
fibrosis pada NAFLD.18 Beberapa parameter laboratorium seperti rasio AST
dengan ALT, rasio AST dengan platelet (APRI), gamma GT, dan kadar feritin
serum telah lama dikembangkan sebagai prediktor pada berbagai penyakit hati
kronik. Dengan menggunakan data laboratorium dan klinis tersebut, beberapa
skor prediktor fibrosis pada NAFLD telah dikembangkan, termasuk skor BARD
(IMT, APRI, dan adanya diabetes), FIB-4 (AST, ALT, platelet), Fibrometer
(usia, berat badan, gula darah puasa, AST, ALT, feritin, platelet), dan NAFLD
Fibosis Score (usia, hiperglikemia, IMT, platelet, albumin, rasio AST/ALT).
Beberapa skor lain bahkan menggunakan pemeriksaan penanda biologis yang
lebih canggih seperti Enhanced Liver Fibrosis Panel yang menggunakan kadar
hyaluronan, tissue inhibitors of metalloproteinase-1, dan N-terminal propeptide
of type III pro-collagen. Cytokeratin-18 adalah pemeriksaan laboratorium lain
yang juga sedang dikembangkan sebagai penanda fibrosis pada NAFLD. Data
yang ada menunjukkan kemampuan yang cukup baik dari penanda tersebut.18, 20
Elastrografi transien adalah metode penilaian fibrosis secara non invasif
yang dikembangkan oleh perusahaan Echosens di Perancis dengan nama dagang
Fibroscan. Pemeriksaan tersebut mengandalkan prinsip penilaian hantaran
gelombang getar pada jaringan hati. Gelombang getar tersebut dihasilkan lewat
transducer khusus yang ditempelkan secara tegak lurus dengan hati. Kecepatan
hantar gelombang tersebutakan berbanding lurus dengan tingkat kekerasan
jaringan yang diperiksa. Semakin keras jaringan tersebut, semakin cepat
gelombang getar berjalan. Dalam konteks hati, tingkat kekerasan tersebut akan
berbanding lurus dengan derajat fibrosis di hati. Elastografi transien memiliki
beberapa keuntungan bila dibandingkan biopsi, yaitu sifatnya yang non invasif,
hasil yang lebih objektif, dan besar jaringan hati yang dinilai kira-kira 100 kali
lebih besar daripada sampel biopsi.Hasil akhir elastografi transien diukur dalam
satuan kPa dan merupakan median dari 10 pemeriksaan yang valid. Hasil yang
dianggap bisa digunakan adalah apabila didapatkan minimal 10 kali pemeriksaan
Universitas Indonesia
11
Iga
Hati
Alat elastografi
transien
Transduser
Dinding dada
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
teori tersebut, NASH disebabkan oleh 2 kejadian utama dalam metabolisme hati
(two hit). Kejadian yang pertama (first hit) terjadi saat resistensi insulin
menyebabkan penumpukan trigliserida di hati.9 Kejadian kedua (second hit)
mencakup produksi radikal bebas yang merupakan hasil oksidasi asam lemak di
hati.9, 36
Keberadaan radikal bebas tersebut akan menyebabkan stres oksidatif
yang lalu akan memicu pelepasan sitokin proinflamasi dan pengaktifan sel
stellata yang tentunya akan berakhir dengan fibrosis hati.36 Teori two hit
hypothesis tersebut, walaupun cukup bisa menjelaskan sebgian besar proses
patogenesis NASH, ternyata masih belum cukup baik. Beberapa penelitian
terbaru ternyata menunjukkan bahwa patogenesis NASH ternyata berhubungan
dengan banyak faktor lain (multifaktorial). Kumpulan zat yang dinamakan
adipositokin (mencakup adiponektin, leptin, resitin, dan visfain) dan disekresikan
oleh jaringan lemak putih ternyata juga memegang peranan penting dalam
patogenesis NASH. Jaringan tersebut terutama berkaitan dengan obesitas sentral
atau viseral.9, 16
Pada kondisi normal, kelebihan lemak tubuh akan disimpan di jaringan
lemak yang terutama bearada di daerah sentral. Namun pada kondisi obesitas,
sel-sel adiposit di jaringan tersebutakan mensekresikan sitokin-sitokin pro
inflamasi seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan C-C motif Ligand 2(CCL-2).
Pencetus pasti respon inflamasi tersebut masih belum diketahui, namun
pertumbuhan sel adiposit yang terlalu cepat diduga menyebabkan kematian sel
sehingga terjadi reaksi inflamasi. Kedua sitokin pro inflamasi tersebut akan
menarik makrofag ke jaringan adiposit sehingga memperparah inflamasi. Respon
tersebut juga akan menimbulkan efek resistensi insulin di jaringan lemak
sehingga memicu proses lipolisis. Adiposit sendiri juga akan kehilangan
kemampuan mensekresikan adiponektin, senyawa yang berperan dalam
lipogenesis di jaringan lemak. Trigliserida dan asam lemak bebas yang
dilepaskan oleh adiposittersebut akhirnya akan sampai ke hati, di mana TNF dan
CCL-2 justru akan merangsang penumpukan lemak di jaringan hati. Lewat
mekanisme tersebut, gangguan di jaringan adiposa berhasil mencetuskan steatosis
di hati. Meskipun begitu, transfer lemak dari jaringan lemak tersebut hanya
memberi kontribusi minor terhadap steatosis hati. Komponen penambahan lemak
hati yang terbesar justru didapat dari proses lipogenesis de novo. Proses tersebut
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
dengan sistem skor yang menyertakan parameter usia, IMT, gangguan toleransi
glukosa, rasio AST/ALT, kadar trombosit, dan kadar albumin. Meskipun begitu
skor ini masih harus divalidasi pada skala yang lebih luas.57
Hubungan antara NAFLD dengan diabetes dan sindrom metabolik lainnya
dapat dijelaskan lewat pendekatan patofisiologi kedua kondisi tersebut yang
hampir serupa. Pasien dengan diabetes dan sindrom metabolik seringkali diawali
dengan peningkatan massa lemak tubuh, terutama lemak viseral. Menurunnya
kerja insulin akibat resistensi insulin di reseptor sel-sel adiposit akan
menyebabkan tidak adanya inhibisi lipolisis. Akibatnya akan terjadi peningkatan
kadar asam lemak bebas darah dari proses lipolisis. Asam lemak bebas
tersebutakan ditangkap oleh hati dan diubah menjadi trigliserida. Peningkatan
trigliserida yang disertai penurunan kemampuan oksidasi lemak oleh hati (juga
disebabkan resistensi insulin) akan menimbulkan penumpukan lemak di hati.
Peningkatan glukosa pada kondisi diabetes melitus juga semakin menyediakan
substrat sebagai bahan dasar pembentukan trigliserida. Gangguan sekresi Very
Low Density Lipoprotein (VLDL) yang juga merupakan efek resistensi insulin
akan semakin memperparah penumpukan lemak di hati. Penumpukan lemak di
hati tersebut merupakan langkah pertama dalam patofisiologi NAFLD dan NASH
yang telah dijelaskan di atas.42
Hubungan antara NAFLD dan DM terbukti berjalan timbal balik. Pada
satu studi observasi 11 tahun, insidensi diabetes baru lebih tinggi pada kelompok
pasien yang sudah mengalami NAFLD. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
kesamaan patofisiologi tersebut, selain juga pentingnya peran hati dalam proses
regulasi gula darah.58 DM, seperti obesitas, tampaknya juga merupakan faktor
risiko independen untuk terjadinya KHS. Sebuah studi oleh El-Serag pada
populasi Barat menunjukkan peningkatan insidensi KHS pada kelompok pasien
dengan diabetes melitus (incidence rate 2,39 vs 0,87 per 10.000 orang-tahun,
p<0,05). Pasien dengan diabetes dianggap 2,16 kali lebih berisiko terjangkit KHS
daripada populasi normal.59 Kombinasi antara DM dan obesitas meningkatkan
risiko KHS bahkan lebih jauh lagi. Sebuah studi pada populasi pasien hepatitis B
dan hepatitis C kronik menunjukkan bahwa obesitas dan diabetes masing-masing
meningkatkan risiko KHS sebesar 3,5 kali dari populasi normal. Namun
kombinasi keduanya akan meningkatkan risiko KHS sampai 11,8 kali.60
Universitas Indonesia
21
Resistensi Insulin
Kolesterol
intrahepatik
Keterangan:
Inflamasi = jalur yang
diaktifkan
= topik utama
penelitian
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
- Usia
- Lama diabetes Kejadian
- Indeks massa tubuh
NAFLD pada
- Lingkar pinggang
- HbA1C DM tipe 2
- HDL
- Trigliserida
22
Universitas Indonesia
23
Universitas Indonesia
24
diambil
8 HDL Kadar HDL dalam serum Pemeriksaan 40 mg/dL untuk pria Nominal
pasien yang diperiksa laboratorium dan 50 mg/dL untuk
minimal dalam 3 bulan wanita tanpa terapi
sebelum data diambil medikamentosa atau di
<40 mg/dL untuk pria
dan <50 mg/dL untuk
wanita dengan atau
tanpa terapi
medikamentosa*
9 Trigliserida Kadar trigliserida dalam Pemeriksaan <150 mg/dL tanpa Nominal
serum pasien yang laboratorium terapi medikamentosa
diperiksa minimal dalam atau 150
3 bulan sebelum data mg/dLdengan atau
diambil tanpa terapi
medikamentosa*
*Terapi medikamentosa yang dimaksud mencakup obat golongan statin atau fibrat
Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.3.Populasi Studi
4.3.1. Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2
dewasa.
25
Universitas Indonesia
26
n= Z2x PQ
d2
catatan:
n = besar sampel
Z= 1.96 ( = 5%; hipotesis dua arah)
P = proporsi menurut literatur 0,691
Q = 1-P 0,31
d = tingkat presisi absolut 0,1
Besar sampel minimal untuk mengukur proporsi fibrosis berat pada pasien
diabetes tipe 2 dengan NAFLD bisa dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
n= Z2x PQ
d2
catatan:
n = besar sampel
Z= 1.96 ( = 5%; hipotesis dua arah)
P = proporsi menurut literatur 0,20435
Q = 1-P 0,796
d = tingkat presisi absolut 0,1
Universitas Indonesia
27
n = (Z2P(1-P) + ZP1(1-P1)+(P2(1-P2))2
(P1-P2)2
Catatan:
n = besar sampel tiap kelompok
Z= 1.64 ( = 5%; hipotesis satu arah)
Z= 0.84 ( = 20%; hipotesis satu arah)
P1 = proporsi faktor risiko pada populasi NAFLD menurut literatur atau
penilaian klinis
P2 = proporsi faktor risiko pada populasi bukan NAFLD menurut literatur atau
penilaian klinis
P = (P1+P2)/2 0,231
Perhitungan untuk tiap faktor risiko dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:
Berdasarkan perhitungan untuk tiap faktor risiko di atas, besar sampel minimal
untuk penelitian ini adalah 152 orang.
Universitas Indonesia
28
Khusus untuk masalah profil fibrosis, kriteria inklusi adalah pasien NAFLD pada
penelitian sebelumnya, sementara pasien dieksklusikan bila elastografi transien
tidak bisa dikerjakan pada pasien.
Universitas Indonesia
29
Universitas Indonesia
30
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Subjek penelitian
(n=186)
F0-F2 F3-F4
(n=51) (n=17)
32
Universitas Indonesia
33
Variabel Total
NAFLD
Ya 84 (45,2)
Tidak 102 (54,8)
Jenis Kelamin
Laki-laki (%) 82 (44,1)
Perempuan (%) 104 (55,9)
Usia, median dalam tahun (min-max) 58,5 (23-77)
<40 12 (6,5)
40 174 (93,5)
IMT, median dalam kg/m2 (min-max) 25,65 (17,97-40,00)
<25 82 (44,1)
25 104 (55,9)
Lingkar Pinggang, median dalam cm (min-max) 94 (68-125)
Normal 31 (16,7)
Meningkat 155 (83,3)
Pria 95,5 (68-125)
Normal 25 (30,5)
Meningkat 57 (69,5)
Wanita 93 (73-120)
Normal 6 (5,8)
Meningkat 98 (94,2)
Lama DM, median dalam bulan (min-max) 96 (1-360)
<5 tahun 72 (38,7)
5 tahun 114 (61,3)
HDL, median dalam mg/dL (min-max) 47 (8-91)
Normal 29 (15,6)
Rendah 157 (84,4)
Pria 44 (25-74)
Normal 16 (19,5)
Meningkat 66 (80,5)
Wanita 51 (8-91)
Normal 13 (12,5)
Meningkat 91 (87,5)
Trigliserida, median dalam mg/dL (min-max) 126 (38-1114)
Normal 31 (16,7)
Tinggi 155 (83,3)
HbA1C, median dalam % (min-max) 7,45 (4,9-13,2)
<7,0 64 (34,4)
7,0 122 (65,6)
Derajat Fibrosis (Pada Pasien NAFLD)
F0-F2 (Ringan) 51 (75,0)
F3-F4 (Berat) 17 (25,0)
Universitas Indonesia
34
Sebaran data untuk semua variabel dalam penelitian ini terdistribusi tidak normal
berdasarkan uji kenormalan, maka median dengan angka minimal dan maksimal
digunakan dalam pemaparan karakteristik dasar. Sebagian besar subjek dalam
penelitian ini berusia di atas 40 tahun, dengan median usia 59 tahun. Proporsi
pasien wanita dengan pria cukup berimbang pada penelitian ini. Sebagian besar
pasien memiliki lama diabetes melitus di atas 5 tahun, dengan median 96 bulan.
Hal yang cukup menarik dari data karakteristik dasar ini meskipun data IMT
menunjukkan hasil yang cukup seimbang antara proporsi pasien yang obes dan
tidak obes, data lingkar pinggang menunjukkan bahwa proporsi pasien yang
mengalami obesitas sentral ternyata cukup tinggi (83,3%). Rerata lingkar
pinggang pasien pada penelitian ini juga cukup tinggi (94 cm).
Sebagian besar pasien juga memiliki kadar trigliserida yang tinggi
(83,3%) dan HDL yang rendah (84,4%) atau menggunakan terapi medikamentosa
untuk menjaga kedua parameter ini. Hal ini cukup sesuai dengan gambaran
pasien diabetes melitus yang cenderung memiliki masalah sindrom metabolik
lainnya. Data HbA1C menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar pasien
sudah menderita diabetes melitus dalam waktu yang lama, kendali gula darah
untuk penyakit ini masih belum tercapai dengan baik. Hanya 34,4% pasien yang
memiliki kadar HbA1C di bawah 7,0% (rata-rata 7,45%).
Sebanyak 84 (45,2%) pasien dalam studi kami terbukti mengalami
NAFLD. Sementara dari semua pasien yang menjalani elastografi transien, 17
pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis berat.
Universitas Indonesia
35
Universitas Indonesia
36
Hasil yang didapat dari analisis multivariat menunjukkan bahwa IMT merupakan
satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian NAFLD pada pasien
diabetes melitus dengan odd ratio (OR) 2,989 dan 95% confidence interval
1,625-5,499. Hasil ini bersifat independen terhadap pengaruh variabel-variabel
lainnya.
5.5. Profil Derajat Fibrosis pada Pasien Diabetes Melitus dengan NAFLD
Untuk menilai derajat fibrosis pada pasien DM dengan NAFLD, kami melakukan
elastografi transien pada pasien-pasien yang diketahui mengalami NAFLD pada
penelitian kami. Hasil yang didapat akan ditampilkan secara deskriptif dalam
bentuk tabel. Sebanyak 16 pasien tidak bisa menjalani pemeriksaan elastografi
transien sehingga total pasien yang dievaluasi adalah 68 pasien. Hal ini terutama
disebabkan ketidakberhasilan pengambilan data meskipun pemeriksaan sudah
dikerjakan menggunakan probe XL. Hasil nilai ALT dan AST yang di atas 5 kali
nilai normal bisa merancukan hasil pemeriksaan elastografi transien, namun pada
penelitian ini, tidak ada subjek dengan nilai AST dan ALT setinggi itu. Dari
semua pasien NAFLD yang menjalani pemeriksaan elastografi transien, sebanyak
17 orang (25,0%) berada pada kondisi fibrosis berat, sementara 51 orang (75,0%)
mengalami fibrosis ringan atau tidak mengalami fibrosis sama sekali. Gambaran
karakteristik pasien berdasarkan derajat fibrosisnya dapat ditemukan pada tabel
5.4.
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia
BAB 6
DISKUSI
38
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
Sebagian besar pasien dalam studi kami, baik yang mengalami NAFLD
maupun tidak, mengalami obesitas sentral. Namun tingkat kejadian obesitas
sentral ini lebih tinggi pada populasi NAFLD (90,5% pada NAFLD vs 77,5%
pada non-NAFLD, p=0,018). Namun pada analisis multivariat, obesitas sentral
ternyata tidak berhubungan dengan NAFLD. Sebaliknya, obesitas yang diukur
dengan parameter IMT lebih banyak ditemukan pada populasi NAFLD daripada
non-NAFLD yang tetap memiliki signifikansi bahkan pada uji multivariat (70,2%
vs 44,1%, OR 2,989; 95% CI 1,625-5,499; p<0,001). Hasil yang menunjukan
bahwa IMT pasien NAFLD lebih tinggi daripada pasien tanpa NAFLD ini sesuai
dengan data dari beberapa studi di luar negeri.8, 64 Studi oleh Trovato et al yang
melibatkan 532 pasien NAFLD dan 667 pasien kontrol berhasil menunjukan
adanya hubungan IMT yang tinggi dengan kejadian NAFLD (OR=9,861; 95%
CI= 7,546-12,861; p<0,001).64 Sementara penelitian oleh Wang et al berhasil
menunjukkan bahwa prevalensi NAFLD meningkat pada kelompok IMT yang
lebih tinggi (81,95 pada kelompok obes vs 0,4% pada kelompok gizi kurang).62
Seperti halnya obesitas sentral, sebagian besar pasien pada penelitian ini
memiliki parameter sindrom metabolik yang lain, terlepas dari apakah yang
bersangkutan menderita NAFLD atau tidak. Sebanyak 89,3% pasien NAFLD
memiliki kadar HDL yang terganggu, sebanding dengan jumlah 80,4% pada
populasi tidak NAFLD (p=0,096). Sebagian besar pasien diabetes melitus dengan
NAFLD juga memiliki kadar trigliserida yang tinggi, namun sebanding dengan
pasien yang tidak mengalami NAFLD (85,7% vs 81,4%, p=0,429). Proporsi
pasien yang memiliki kadar HbA1C di atas 7,0% lebih tinggi pada populasi
NAFLD daripada tidak NAFLD, namun perbedaan ini tidak signifikan secara
statistik (70,2% vs 61,8%, p=0,226). Studi oleh Amirkalali et al menunjukan
bahwa seperti studi kami, adanya sindrom metabolik (termasuk obesitas sentral,
hipertrigliseridemia, HDL yang rendah, dan gangguan toleransi glukosa)
merupakan prediktor NAFLD yang kuat (OR: 4,328; 95%CI=3,08-4,92).65 Studi
oleh Lesmana et al juga menunjukan bahwa IMT >25, HDL yang rendah,
hipertrigliseridemia, merupakan prediktor NAFLD pada populasi umum.15 Data
dari studi lain oleh Trovato et al dan Yang et al juga menunjukan bahwa
parameter resistensi insulin dan sindrom metabolik yang tinggi berhubungan
dengan kejadian NAFLD.64, 66
Universitas Indonesia
41
Sebuah studi yang serupa pernah dikerjakan pada tahun 2008 oleh Leite et
al. Sejalan dengan hasil yang kami dapat, studi ini juga menujukkan bahwa baik
kendali gula darah dan HDL tidak berhubungan dengan peningkatan risiko
NAFLD pada pasien diabetes melitus. Kadar trigliserida (OR= 3,7-4,1; 95% CI=
1,2-13,3) dan obesitas sentral (OR= 4,8; 95% CI= 1,9-12,2) memang
berhubungan dengan kejadian NAFLD, namun indikator NAFLD yang paling
kuat pada studi ini adalah IMT (OR= 7,1; 95% CI= 3,0-17,0).8 Temuan ini sesuai
dengan studi kami yang juga menemukan bahwa IMT merupakan prediktor
terkuat NAFLD pada populasi diabetes melitus tipe 2.
Studi pada populasi Sudan oleh Almobarak et al menemukan bahwa pada
populasi DM, usia dan kadar HbA1C tidak berhubungan dengan kejadian
NAFLD. Namun studi ini menunjukkan adanya hubungan antara kejadian
NAFLD dengan kadar HDL yang rendah, hipertrigliseridemia, obesitas sentral,
dan IMT yang tinggi.63 Data lain pada populasi diabetes melitus Nigeria yang
dipublikasikan oleh Olusanya et al juga menunjukan adanya hubungan NAFLD
pada DM dengan obesitas sentral dan HDL yang rendah. Kedua hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian kami. Meskpiun begitu peneliti ini juga menemukan
bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar trigliserida dengan NAFLD.61 Studi
lain yang dikerjakan pada populasi Kaukasia dengan diabetes melitus di Polandia
oleh Trojak et al menemukan bahwa lingkar pinggang yang tinggi dan HDL yang
rendah merupakan prediktor NAFLD pada pasien diabetes melitus (p=0,007 dan
p=0,003 berurutan). Namun studi ini juga menemukan bahwa HbA1C dan
trigliserida tidak berhubungan denga kejadian NAFLD.67 Adanya perbedaan hasil
yang didapat kemungkinan berhubungan dengan perbedaan karakteristik populasi
penelitian, di mana studi oleh Almobarak dan Olusanya dikerjakan pada populasi
Afrika, sementara studi oleh Trojak dikerjakan di Eropa. Seperti yang telah
dijabarkan di atas, kejadian NAFLD sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial
dan ras populasi yang diteliti. Selain itu, hasil yang masih bertentangan ini
menunjukan bahwa masih banyak faktor yang belum diketahui yang mendasari
kejadian NAFLD pada pasien dengan diabetes melitus. Tampaknya faktor-faktor
ini tidak hanya berhubungan dengan parameter metabolik.
Hasil yang didapat pada penelitian kami menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara parameter sindrom metabolik yang umum, termasuk
Universitas Indonesia
42
obessitas sentral, kadar HbA1C, kadar HDL, dan kadar trigliserida dengan
kejadian NAFLD pada pasien diabetes melitus. Hal ini tentu bertentangan dengan
sebagian besar literatur yang menilai bahwa komponen-komponen tersebut
merupakan prediktor kuat terjadinya NAFLD.15, 65 Meskipun begitu, semua studi
sebelumnya lebih banyak melihat hubungan itu pada populasi umum, bukan pada
pasien dengan diabetes melitus. Apabila kita menilai secara deskriptif saja, hasil
yang didapat pada penelitian ini sebetulnya sejalan dengan apa yang dipaparkan
studi-studi sebelumnya, yaitu tingginya kejadian obesitas sentral, tingginya
kejadian dislipidemia, dan tingginya HbA1C yang tidak terkontrol pada pasien-
pasien NAFLD. Apabila dibandingkan dengan populasi normal, angka-angka ini
tentu akan memberikan perbedaan yang signifikan. Namun dalam studi ini kami
menemukan bahwa tingginya angka kejadian sindrom metabolik ini juga bisa
ditemukan pada pasien diabetes melitus yang tidak mengalami NAFLD. Panduan
dari American Diabetic Association menegaskan tingginya kejadian obesitas,
terutama obesitas sentral pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa.
Sementara HbA1C yang tinggi merupakan salah satu kriteria diagnosis pasien
diabetes melitus.68 Hal ini juga sesuai dengan hasil studi kami yang menemukan
tingginya proporsi pasien yang mengalami obesitas sentral (83,3%), bahkan pada
populasi bukan NAFLD, sementara proporsi pasien yang mengalami peningkatan
IMT tidak setinggi proporsi yang mengalami peningkatan lingkar pinggang. Hal
ini kemungkinan menyebabkan perbedaan yang signifikan pada parameter IMT
dan tidak signifikan pada parameter lingkar pinggang. Dari segi usia, pasien
diabetes tipe 2 juga lebih banyak ditemui pada populasi pasien yang lebih tua,
dengan rata-rata usia saat terdiagnosis 46 tahun.69 Sementara data dari Pakistan
yang dipublikasikan pada tahun 2016 menemukan bahwa dislipidemia dapat
ditemukan pada 97,18% pasien diabetes melitus laki-laki 87,15% pasien dibetes
melitus perempuan. Pola dislipidemia yang paling sering ditemukan antara lain
trigliserida yang tinggi dan HDL yang rendah.70 Kondisi ini sesuai dengan data
keseluruhan pasien diabetes melitus pada penelitian kami, baik pada pasien
NAFLD maupun tidak NAFLD. Hal ini tentu bisa dijelaskan lewat mekanisme
kerja kedua kondisi ini (NAFLD dan diabetes melitus) yang sama-sama
melibatkan resistensi insulin.42 Mekanisme yang menyebabkan gangguan
parameter metabolik pada populasi umum yang menderita NAFLD sudah
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
sindrom metabolik. Hipotesis ini sendiri didukung beberapa studi yang memang
masih sedikit. Lebih jauh lagi, telaah ini juga menyampaikan hipotesis bahwa
mungkin NAFLD tidak berhubungan sama sekali dengan sindrom metabolik.72
Beberapa data yang dipaparkan menunjukan bahwa faktor genetik, seperti mutasi
pada gen diacylglycerol acyltransferase 2 atau patatin-like phospholipase 3
mampu mencetuskan steatosis hati tanpa mencetuskan resistensi insulin.73, 74
Pada akhirnya penumpukan lemak di hati ini yang justru memicu resistensi
insulin. Dengan belum adanya data prevalensi gangguan genetik ini pada
populasi NAFLD, masih belum bisa disimpulkan pula berapa proporsi pasien
NAFLD yang kemungkinan tidak berhubugan dengan sindrom metabolik.
Apabila proporsi ini ternyata besar, hal ini cukup mendukung hasil penelitian
kami kali ini.
6.3. Profil Derajat Fibrosis NAFLD pada Populasi Diabetes Melitus Tipe 2
Kami melakukan pemeriksaan elastografi transien pada 68 pasien diabetes
melitus tipe 2 yang terbukti mengalami NAFLD. Hasil yang kami dapat
menunjukkan adanya kejadian fibrosis berat pada 25,0% pasien dengan NAFLD.
Angka ini lebih tinggi daripada hasil dari Sudan yang menunjukan bahwa fibrosis
berat hanya ditemukan pada 14,3% populasi diabetes melitus dengan NAFLD.63
Studi yang menilai derajat fibrosis pada pasien NAFLD masih jarang
dikerjakan. Studi yang ada pun seringkali hanya dikerjakan pada populasi umum,
sehingga hasil studi kami merupakan salah satu data awal penilaian derajat
fibrosis pada kelompok pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Populasi NAFLD
pada studi kami didominasi oleh pasien pria, baik pada populasi fibrosis ringan
sedang dan fibrosis berat. Sebagian besar pasien juga berusia di atas 40 tahun,
dengan rata-rata usia 55,88 tahun pada kelompok fibrosis ringan sedang dan
57,29 tahun pada kelompok fibrosis berat. Pasien pasien pada studi kami juga
sebagian besar mengalami obesitas, baik yang diukur dengan IMT (rata-rata 28,6
kg/m2 pada kelompok fibrosis ringan sedang dan 27,75 kg/m2 pada kelompok
fibrosis berat) ataupun lingkar pinggang (rata-rata 98,66 cm pada kelompok
fibrosis ringan sedang dan 98,06 cm pada kelompok fibrosis berat). Dalam hal
lama DM, sebagian besar pasien telah memiliki DM selama lebih dari 5 tahun,
baik pada fibrosis ringan sedang maupun berat. Abnormalitas nilai HDL,
Universitas Indonesia
45
trigliserida, dan HbA1C juga dialami sebagian besar pasien pada kedua
kelompok ini.
Sebuah studi oleh Baba et al yang dipublikasikan pada tahun 2011
menunjukan bahwa derajat fibrosis hati (yang diukur dengan elastografi transien)
pada populasi umum dewasa sehat (14% di antaranya menderita NAFLD)
ternyata dipengaruhi oleh IMT. Derajat fibrosis pada studi ini dikatakan tidak
dipengaruhi oleh parameter lain seperti usia atau jenis kelamin. Studi ini tidak
sepenuhnya bisa dibandingkan dengan studi kami, terutama dalam hal subjek
penelitian, di mana studi kami terdiri seluruhnya dari pasien NAFLD dengan
diabetes melitus sementara studi ini melibatkan pasien NAFLD pada populasi
umum. Selain itu, pasien pada studi ini juga rata-rata memiliki IMT normal,
dengan rerata IMT 22,1, sementara rerata IMT penelitian kami adalah 26,29
untuk seluruh populasi.21
Kwok et al pada tahun 2015 memublikasikan hasil pemeriksaan
elastografi transien pada 1918 pasien diabetes dengan NAFLD di Korea.
Mengingat studi ini adalah satu-satunya studi yang dikerjakan pada populasi
NAFLD dengan DM dan memiliki subjek populasi Asia, studi ini sebatulnya
merupakan studi yang paling bisa dibandingkan dengan penelitian kami. Kwok et
al menemukan tingkat peningkatan kekerasan hati sebanyak 20,6% pada pasien
DM dengan NAFLD. Angka ini lebih kecil daripada temuan pada studi kami,
yaitu 25,0%. Namun pada studi ini, elastografi transien dikerjakan pada semua
populasi DM, sementara studi kami, elastografi transien dikerjakan hanya pada
pasien yang sudah terbukti NAFLD. Dari semua pasien pada studi Kwok, hanya
72,8% yang mengalami NAFLD. Populasi pasien dengan fibrosis berat pada studi
Kwok memiliki karakteristik yang serupa dengan studi kami dalam parameter
usia (rata-rata 61,2 tahun vs 57,29 tahun pada studi kami), lama DM (rata-rata
139,2 bulan vs 108 bulan), IMT (rata-rata 29,3 kg/m2 vs 27,75 kg/m2), lingkar
pinggang (rata-rata 99,5 cm vs 98,06 cm), HDL (rata-rata 46,3 mg/dL vs 47,13
mg/dL), dan HbA1C (rata-rata 7,5% vs 7,5%). Perbedaan karakteristik dengan
populasi kami hanya ditemukan pada komponen trigliserida (rata-rata 57,9 mg/dL
vs 147 mg/dL). Artinya, baik pada penelitian kami maupun penelitian Kwok,
sebagian besar pasien DM dengan NAFLD yang memiliki fibrosis berat
merupakan pasien berusia tua, dengan lama DM yang lama, obes, dan memiliki
Universitas Indonesia
46
kadar HDL dan HbA1C yang kurang baik. Namun, baik pada studi kami maupun
Kwok, karakteristik ini sebetulnya juga bisa ditemukan pada populasi DM
dengan NAFLD yang memiliki fibrosis ringan sedang. Kwok juga menyatakan
bahwa peningkatan kekerasan hati pada populasi diabetes melitus tipe 2 dewasa
dipengaruhi oleh lama diabetes melitus yang lebih lama, IMT yang lebih tinggi,
peningkatan ALT, peningkatan rasio albumin: kreatinin urin sewaktu, dan HDL
yang rendah.35 Baik studi kami maupun studi Kwok et al menggunakan batasan
fibrosis berat yang sama. Pentingnya menggunakan batasan yang sesuai
ditunjukan oleh studi lain yang menyatakan bahwa hanya pasien dengan derajat
fibrosis berat (F3 dan F4) yang memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi (HR
3,3; CI 2,27-4,76; P<0,001).5
Seperti hasil dari paparan sebelumnya mengenai hubungan variabel-
variabel yang ada dengan kejadian NAFLD, studi-studi dari luar umumnya belum
bisa mencapai kesepakatan mengenai parameter metabolik mana saja yang dapat
digunakan untuk memrediksi tingkat keparahan fibrosis pada pasien diabetes
melitus dengan NAFLD. Hal ini juga didukung telaah literatur yang memang
belum menemukan hubungan sebab akibat antara fibrosis dan sindrom
metabolik.71 Studi mengenai derajat fibrosis hati yang dikhususkan pada populasi
NAFLD dikerjakan oleh Marchesini et al pada tahun 2003. Pada studi yang
melibatkan 304 pasien NAFLD ini, ditemukan bahwa adanya sindrom metabolik
diketahui berhubungan dengan kejadian fibrosis berat (OR = 3,5; 95%CI= 1,1-
11,2).56 Penelitian lain oleh van der Poorten et al menemukan bahwa tingginya
volume lemak viseral merupakan prediktor fibrosis berat pada 38 pasien NAFLD
yang diteliti (OR= 2,9; CI= 1,4-6,3, P = 0,006).75 Studi lain oleh Singh
menemukan bahwa derajat fibrosis pada NAFLD dipengaruhi jenis kelamin
perempuan, kadar fosfatase alkali, kadar LDL, dan kadar kolesterol total. Hasil
ini bertentangan dengan 2 studi lainnya karena parameter obesitas (baik yang
diukur lewat IMT maupun lingkar pinggang), kendali gula darah, trigliserida,
ataupun HDL terbukti tidak berhubungan dengan derajat fibrosis.55 Namun
semua studi ini dikerjakan pada populasi umum. Bahkan Marchesini dalam
studinya mengeksklusikan pasien dengan diabetes melitus. Hal ini merupakan
pembeda utama studi kami dengan studi sebelumnya.
Universitas Indonesia
47
Walaupun pada studi ini kami tidak melakukan analisis statistik, namun
pembandingan karakteristik metabolik pasien dengan fibrosis ringan sedang dan
fibrosis berat memang menunjukan karakteristik yang hampir identik. Hal ini
tentu sesuai dengan telaah literatur yang telah dijabarkan sebalumnya.
Universitas Indonesia
48
tertentu saja, misalnya HbA1C yang hanya menggambarkan kadar gula darah
dalam 3 bulan terakhir, padahal proses terjadinya NAFLD membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Hasil analisis subgrup mengenai derajat fibrosis juga diambil
dari sampel pasien NAFLD yang bisa menjalani pemeriksaan elastografi transien
saja sehingga rentan bias, baik dari segi jumlah sampelnya maupun dari segi
seleksi. Keterbatasan lain adalah dalam hal profil derajat fibrosis, di mana data
sebelumnya mengenai populasi NAFLD pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia masih belum diketahui dengan jelas.
Universitas Indonesia
49
Universitas Indonesia
50
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Prevalensi NAFLD pada pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa yang
berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 45,2%.
2. Proporsi fibrosis berat pada pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa yang
mengalami NAFLD dan berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta adalah 25,0%, sementara fibrosis ringan sedang atau tanpa fibrosis
ditemukan pada 75,0% pasien.
3. Indeks Massa Tubuh di atas 25 kg/m2 merupakan satu-satunya komponen
dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian NAFLD pada pasien
diabetes melitus tipe 2. Tidak ditemukan hubungan antara usia, lingkar
pinggang, lama DM, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C dengan kejadian
NAFLD pada pasien diabetes melitus.
7.2. Saran
1. Penapisan terhadap ada tidaknya NAFLD sebaiknya dikerjakan pada
semua pasien diabetes tipe 2 dewasa yang berobat ke rumah sakit.
Penapisan harus lebih ditekankan pada pasien dengan IMT di atas 25
kg/m2, mengingat populasi ini memiliki risiko NAFLD yang lebih tinggi.
2. Perlu dilakukan penelitian khusus dengan metode prospektif mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian fibrosis berat pada pasien
diabetes melitus tipe 2 dewasa yang mengalami NAFLD.
Universitas Indonesia
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K, et al. The
diagnosis and management of non-alcoholic fatty liver disease: practice Guideline by
the American Association for the Study of Liver Diseases, American College of
Gastroenterology, and the American Gastroenterological Association. Hepatology.
2012 Jun;55(6):2005-23.
2. Abd El-Kader SM, El-Den Ashmawy EM. Non-alcoholic fatty liver disease: The
diagnosis and management. World J Hepatol. 2015 Apr 28;7(6):846-58.
3. Hasan I, Gani RA, R M. Prevalence and risk factors for nonalcoholic fatty liver in
Indonesia. (Abstract) J Gastroenterol Hepatol. 2002;17(suppl):A30.
4. Azzam H, Malnick S. Non-alcoholic fatty liver disease - the heart of the matter. World
J Hepatol. 2015 Jun 8;7(10):1369-76.
5. Ekstedt M, Hagstrom H, Nasr P, Fredrikson M, Stal P, Kechagias S, et al. Fibrosis
stage is the strongest predictor for disease-specific mortality in NAFLD after up to 33
years of follow-up. Hepatology. 2015 May;61(5):1547-54.
6. Wong GL. Transient elastography: Kill two birds with one stone? World J Hepatol.
2013 May 27;5(5):264-74.
7. Stefan N, Haring HU. The metabolically benign and malignant fatty liver. Diabetes.
2011 Aug;60(8):2011-7.
8. Leite NC, Salles GF, Araujo AL, Villela-Nogueira CA, Cardoso CR. Prevalence and
associated factors of non-alcoholic fatty liver disease in patients with type-2 diabetes
mellitus. Liver Int. 2009 Jan;29(1):113-9.
9. Vuppalanchi R, Chalasani N. Nonalcoholic fatty liver disease and nonalcoholic
steatohepatitis: Selected practical issues in their evaluation and management.
Hepatology. 2009 Jan;49(1):306-17.
10. Lee JY, Kim KM, Lee SG, Yu E, Lim YS, Lee HC, et al. Prevalence and risk factors
of non-alcoholic fatty liver disease in potential living liver donors in Korea: a review
of 589 consecutive liver biopsies in a single center. J Hepatol. 2007 Aug;47(2):239-44.
11. Williams CD, Stengel J, Asike MI, Torres DM, Shaw J, Contreras M, et al. Prevalence
of nonalcoholic fatty liver disease and nonalcoholic steatohepatitis among a largely
middle-aged population utilizing ultrasound and liver biopsy: a prospective study.
Gastroenterology. 2011 Jan;140(1):124-31.
12. Povero D, Feldstein AE. Novel Molecular Mechanisms in the Development of Non-
Alcoholic Steatohepatitis. Diabetes Metab J. 2016 Feb;40(1):1-11.
13. Ashtari S, Pourhoseingholi MA, Zali MR. Non-alcohol fatty liver disease in Asia:
Prevention and planning. World J Hepatol. 2015 Jul 8;7(13):1788-96.
14. Seto WK, Yuen MF. Nonalcoholic fatty liver disease in Asia: emerging perspectives. J
Gastroenterol. 2017 Feb;52(2):164-74.
15. Lesmana CR, Pakasi LS, Inggriani S, Aidawati ML, Lesmana LA. Development of
non-alcoholic fatty liver disease scoring system among adult medical check-up
patients: a large cross-sectional and prospective validation study. Diabetes Metab
Syndr Obes. 2015;8:213-8.
16. Niederau C. NAFLD and NASH in Hepatology, a clinical textbook. Duesseldorf:
Flying Publisher. 2009: 419-428.
17. Takuma Y, Nouso K. Nonalcoholic steatohepatitis-associated hepatocellular
carcinoma: our case series and literature review. World J Gastroenterol. 2010 Mar
28;16(12):1436-41.
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
Universitas Indonesia
55
Universitas Indonesia
56
RINGKASAN
Universitas Indonesia
57
Sebanyak 191 pasien diabetes melitus tipe 2 berhasil diikutsertakan dalam penelitian
in, namun 5 pasien dieksklusikan karena data tidak lengkap atau memenuhi kriteria
eksklusi sehingga analisis dikerjakan pada 186 pasien. Dari jumlah ini, 84 pasien (45,2%)
pasien dalam studi kami terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil
dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis
berat. Analisis univariat menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian
NAFLD dengan IMT (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar pinggang
(PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018). Namun pada uji multivariat, IMT merupakan
satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian NAFLD (OR=2,989;
95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi NAFLD pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dewasa yang berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah
45,2%, dengan fibrosis berat ditemukan pada 25,0% dari jumlah ini. Indeks Massa Tubuh
merupakan satu-satunya komponen dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian
NAFLD pada pasien diabetes melitus tipe 2. Faktor usia, lingkar pinggang, lama DM,
kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C tidak menunjukan hubungan dengan kejadaian
NAFLD pada studi ini.
Universitas Indonesia
58
SUMMARY
Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is a spectrum of liver disease which was
marked by hepatic fat accumulation. This condition is closely correlated to metabolic
syndrome. Just like metabolic syndrome, the prevalence of NAFLD alsorises in recent
years. Patients with type 2 diabetes mellitus are especially at higher risk of NAFLD, with
prevalence in this population was reorted to be as high as 69%. The correlation between
NAFLD and metabolic syndrome began with insulin resistance, a condition that all
diabetes patients had. Insulin resistance is also the trigger for hepatic fat accumulation,
which in turns will cause NAFLD. This fat accumulation will then undergoes oxidation
process to cause inflammation. At this point the patient is said to have Non-Alcoholoic
Steatohepatitis (NASH). This process will then be followed by activation of hepatic stellate
cells which will trigger fibrosis and might lead to cirrhosis.
NAFLD itself will increase mortality and morbidity risk. This is especially
significant in patients with advanced fibrosis. Several studies regarding factors related to
the risk of NAFLD and the risk of advanced fibrosis in type 2 diabetes patients have been
conducted in various countries with varying results. Most reports stated that some
metabolic parameters such as body mass index, waist circumference, level of blood HDL,
triglyceride, and HbA1C are related to the presence of NAFLD and severe fibrosis. Other
reports also stated that age and duration of diabetes are also related to both variables.
Data from Indonesian population, however, are still lacking. The aim of this study is to
understand the prevalence and fibrosis profile of NAFLD in diabetes mellitus and factors
associated with it.
This study was a cross sectional study on adult type 2 diabetes patients treated in
the endocrinology and metabolic outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Patients who gave their consent were interviewed and examined. Data collected from each
patient included age, duration of diabetes, diabetic or lipid lowering medication taken,
body mass index, waist circumference, HDL, triglyceride, HbA1C, HBsAg, and anti-HCV.
Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine the presence of
NAFLD. Patients with NAFLD were further tested with transient elastography to assess
their degree of liver fibrosis. Samples were then categorized according to the existence of
NAFLD as dependent variable and according to age (below or above 40 years old),
duration of diabetes (below or above 5 years), body mass index (below or above 25,0),
waist circumference (below or above 90 cm for male and 80 cm for female), HbA1C level
(below or above 7,0), HDL level (above 40 for male and 50 for female, with no history of
medication for dyslipidemia, or below 40 for male and 50 for female with or without
history of medication for dyslipidemia), and triglyceride level (below 150 with no history of
medication for dyslipidemia, or above 150 with or without history of medication for
dyslipidemia). Chi square or Fischers-Exact test was used for bivariate analysis and
logistic regression was used for multivariate analysis.
We included 191 patients with type 2 diabetes as our study subjects. Five patients
were excluded due to incomplete data or fulfillment of exclusion criteria, so in the end 186
patients were included in our analysis. Among these subjects, 84 patients (45,2%) were
found to have NAFLD on ultrasound examination. Transient elastography were carried out
in 68 patients, among whom 17 persons (25,0%) were found to have adanced fibrosis.
Univariate analysis showed significant correlation between the presence of NAFLD with
BMI (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) and waist circumference (PR=2,368;
Universitas Indonesia
59
95%CI= 1,117-5,017; p=0,018). Multivariate analysis, however, showed that only BMI is
correlated with the presence of NAFLD (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
This study showed that the prevalence of NAFLD among type 2 diabetes mellitus
patients in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta was 45,2%, among whom severe
fiborosis were detected in 25,0%. Body Mass Index is the only factor in this study that
showed significant association with the occurrence of NAFLD in type 2 diabetes patients.
Other aspects, such as age, waist circumference, duration of diabetes, HDL, triglyceride,
and HbA1C did not showed any significant associations with NAFLD.
Universitas Indonesia
60
LAMPIRAN
Nomor telepon / HP
Pekerjaan pasien
Anggotakeluarga lain yang bisadihubungi
Status pernikahan
Tempat/tanggal lahir
Usia (tahun)
Jenis kelamin
Penanda hepatitis virus
HBsAg Reaktif / nonreaktif
Anti HCV Reaktif / nonreaktif
Riwayatpenyakit lain
Riwayat mengkonsumsialkohol
Jenis
Jumlah
Kebiasaanmerokok
Jumlah batang/hari
Lama merokok
Aktivitasfisik menit / minggu
Tinggi Badan
BeratBadan
IMT
Lingkarpinggang
Universitas Indonesia
61
Riwayat hipertensi
Tekanan darah terakhir
Riwayatkeganasandalam 5 tahunterakhir
Riwayat stroke
Riwayatdislipidemia
Riwayatpenyakitjantungkoroner
Penyakitginjalkronik
Diabetes mellitus tipe 2 Ya / Tidak
Lama terdiagnosis DM
Obat yang sedangdikonsumsi:
Obat DM
Penurunkolesterol/TG
Obat lain
Hasil USG
Ekogenisitas liver dibandingkandenganginjal?
Ekogenisitaspankreasdibandingkandengan
liver?
Sesuai fatty pancreas?
Jenis Probe M / XL
Nilai CAP dB /m2
NilaiFibroscan . kPa
IQR
Sesuaidengan F1 / F2 / F3 / F4
Trigliserida
Kolesterol HDL
Kolesterol LDL
Kolesterol total
DPL
Universitas Indonesia
62
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
GGT
Albumin
Bilirubin
PT
Amilase
Lipase
Hba1C
GDP
HOMA-IR
Asam urat
Natrium
Kalium
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
Universitas Indonesia
65
ABSTRAK
Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) meningkat pada
pasien dengan diabetes melitus (DM) tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum
pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat
fibrosisnya.
Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa
yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan
secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa
tubuh (IMT), lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi
abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan
NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji
Chi Square atau Fischers-Exact digunakan untuk analisis univariat dan regresi logistik
digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien
(45,2%) terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68
pasien NAFLD, dengan 17 pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis
univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721;
p<0,001) dan lingkar pinggang (PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018) antara
kelompok NAFLD dan tidak. Namun pada uji multivariat, IMT merupakan satu-satunya
faktor yang berbeda bermakna antara kedua kelompok (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499;
p<0,001).
Kesimpulan: Prevalensi NAFLD pada pasien DM tipe 2 di RSCM mencapai 45,2%,
dengan 25,0% di antaranya mengalami fibrosis berat. IMT merupakan satu-satunya
komponen dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian NAFLD.
Kata Kunci: NAFLD, diabetes melitus, fibrosis
ABSTRACT
Background: Risk of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is increased in patients
with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in
diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data regarding fibrosis profile in
this population is also unknown.
Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non-Alcoholic Fatty Liver
Disease in diabetes mellitus and factors associated with it.
Universitas Indonesia
66
Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in the
endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done
consecutively. Data collected comprised of age, duration of diabetes, body mass index
(BMI), waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C. Abdominal ultrasonography
was conducted to every patient to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD
underwent transient elastography to assess their degree of liver fibrosis. Collected data
were analyzed in univariate and multivariate manner.
Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed in 84
patients (45,2%). Transient elastography were carried out in 68 patients, with advanced
fibrosis were found in 17 patients (25,0%. Univariate analysis showed significant
differences between BMI (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) and waist
circumference (PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018) of patients with or without
NAFLD. However, only BMI showed significance difference between the groups on
multivariate analysis (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Conclusion: Prevalence of NAFLD among diabetic patients in this study was 45,2%,
among whom 25,0% had advanced fibrosis. BMI was the only factor associated with the
occurrence of NAFLD.
Universitas Indonesia
67
Universitas Indonesia
68
25,0), lingkar pinggang (<90 atau 90 NAFLD, sebanyak 16 pasien tidak bisa
cm untuk pria dan 80 cm untuk wanita), menjalani pemeriksaan elastografi
kadar HbA1C (<7,0 atau 7,0), HDL (di transien.Sebagian besar subjek dalam
atas 40 untuk pria dan 50 untuk wanita penelitian ini berusia di atas 40 tahun,
tanpa terapi medikamentosa atau di dengan median 58 tahun. Proporsi
bawah 40 untuk pria dan 50 untuk pasien wanita dengan pria cukup
wanita dengan atau tanpa terapi berimbang. Sebagian besar pasien
medikamentosa), dan trigliserida (di memiliki lama diabetes melitus di atas 5
bawah 150 mg/dL tanpa terapi tahun, dengan median 96 bulan. Data
medikamentosa atau di atas 150 mg/dL IMT menunjukkan hasil yang cukup
dengan atau tanpa terapi seimbang antara proporsi pasien yang
medikamentosa) sebagai variabel bebas. obes dan tidak obes, dengan data
Uji Chi Square atau Fischers-Exact lingkar pinggang menunjukkan bahwa
digunakan untuk analisis bivariat dan proporsi pasien yang mengalami
regresi logsitik digunakan untuk analisis obesitas sentral tinggi (83,3%). Rerata
multivariat. lingkar pinggang pasien pada penelitian
ini juga cukup tinggi (94 cm).Sebagian
HASIL besar pasien juga memiliki kadar
Sebanyak 191 pasien kami ikut sertakan trigliserida yang tinggi (83,3%) dan
dalam studi ini. Sebanyak 5 pasien HDL yang rendah (84,4%) atau
memenuhi kriteria eksklusi sehingga menggunakan terapi medikamentosa
pada akhirnya sebanyak 186 pasien untuk menjaga kedua parameter ini.
diikutsertakan dalam pengolahan Hanya 34,4% pasien yang memiliki
data.Dari jumlah ini, 84 pasien (45,2%) kadar HbA1C di bawah 7,0% (rata-rata
pasien dalam studi kami terbukti 7,45%).Karakteristik dasar seluruh
mengalami NAFLD. Dari seluruh subjek penelitian dapat dilihat pada
pasien yang terbukti mengalami tabel 1.
Universitas Indonesia
69
Analisis univariat menunjukan antara usia, lama DM, kadar HDL, kadar
bahwa tidak terdapat hubungan bermakna trigliserida, dan kadar HbA1C pasien
Universitas Indonesia
70
yang menderita NAFLD dengan yang 5,017; p=0,018). Hasil lengkap uji
tidak menderita NAFLD. Hubungan yang univariat mengenai faktor-faktor yang
bermakna hanya ditemukan untuk berubungan dengan kejadian NAFLD
variabel IMT (PR=1,878; 95% CI= pada penelitian ini dapat dilihat pada
1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar tabel 2.
pinggang (PR=2,368; 95% CI= 1,117-
Hasil yang didapat dari analisis pada pasien diabetes melitus dengan odd
multivariat menunjukkan bahwa IMT ratio (OR) 2,989 dan 95% confidence
merupakan satu-satunya faktor yang interval 1,625-5,499. Hasil regresi
berhubungan dengan kejadian NAFLD logistik ini dapat dilihat pada tabel 3.
Universitas Indonesia
71
Universitas Indonesia
72
Universitas Indonesia
73
pasien NAFLD dan 667 pasien kontrol juga menemukan bahwa tidak terdapat
berhasil menunjukan adanya hubungan hubungan antara kadar trigliserida
IMT yang tinggi dengan kejadian dengan NAFLD.10 Studi lain yang
NAFLD.15 Sementara penelitian oleh dikerjakan pada populasi Kaukasia
Wang et al berhasil menunjukkan dengan diabetes melitus menemukan
bahwa prevalensi NAFLD meningkat bahwa lingkar pinggang yang tinggi
pada kelompok IMT yang lebih dan HDL yang rendah merupakan
tinggi.16 prediktor NAFLD pada pasien diabetes
Seperti halnya obesitas sentral, melitus. Namun studi ini juga
sebagian besar pasien pada penelitian menemukan bahwa HbA1C dan
ini memiliki parameter sindrom trigliserida tidak berhubungan dengan
metabolik yang lain, terlepas dari ada kejadian NAFLD.17 Hasil yang masih
tidaknya NAFLD. Tidak ditemukan bertentangan ini menunjukan bahwa
perbedaan antara parameter HDL, masih banyak faktor yang belum
trigliserida, maupun HbA1C antara diketahui yang mendasari kejadian
kedua kelompok pada studi kami. NAFLD pada pasien dengan diabetes
Sebuah studi yang serupa pernah melitus.
dikerjakan pada tahun 2008 oleh Leite Hasil yang didapat pada
et al. Sejalan dengan hasil yang kami penelitian kami yang menunjukkan
dapat, studi ini menujukkan bahwa baik bahwa tidak terdapat hubungan antara
kendali gula darah dan HDL tidak parameter sindrom metabolik yang
berhubungan dengan peningkatan risiko umum dengan kejadian NAFLD pada
NAFLD pada pasien diabetes melitus. pasien diabetes melitus tentu
Indikator NAFLD yang paling kuat bertentangan dengan banyakliteratur.8,
18
pada studi ini adalah IMT (OR= 7,1; Meskipun begitu, semua studi
95% CI= 3,0-17,0).7 Temuan ini sesuai sebelumnya lebih banyak melihat
dengan studi kami.Berbeda dengan hubungan itu pada populasi umum,
hasil kami, data lain pada populasi bukan pada pasien dengan diabetes
diabetes melitus Nigeria menunjukan melitus. Apabila kita menilai secara
adanya hubungan NAFLD pada DM deskriptif saja, hasil yang didapat pada
dengan obesitas sentral dan HDL yang penelitian ini sebetulnya sejalan dengan
rendah. Meskpun begitu peneliti ini apa yang dipaparkan studi-studi
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
Universitas Indonesia
76
Universitas Indonesia
77
Universitas Indonesia