Anda di halaman 1dari 98

PREVALENSI DAN PROFIL FIBROSIS PASIEN NON-

ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE PADA DIABETES


MELLITUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN

TESIS

Ignatius Bima Prasetya


NPM: 1206234591

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
FEBRUARI 2017
PREVALENSI DAN PROFIL FIBROSIS PASIEN NON-
ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE PADA DIABETES
MELLITUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Ignatius Bima Prasetya


NPM: 1206234591

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
FEBRUARI 2017
ii
Universitas Indonesia
iii
Universitas Indonesia
iv
Universitas Indonesia
v
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya lah saya mampu menyelesaikan tesis sekaligus seluruh proses
pendidikan saya pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit
Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dengan rendah hati saya
menyadari bahwa selesainya proses ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu izinkanlah saya mengucapkan terima kasih, penghargaan,
dan rasa hormat atas bantuan, masukan, doa serta dukungan dari pihak-pihak
berikut:
Kepada Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) yang telah memberikan
kesempatan untuk menjadi bagian dari civitas akademika Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia sejak S1 sampai PPDS. Nama FKUI
akan selamanya saya jaga sampai akhir hayat saya. Kepada Dr. dr.
Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, Direktur RSCM saat ini
sekaligus Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam terdahulu, dan guru
yang saya hormati atas kesempatan untuk menimba ilmu di RSCM.
Kepada Dr. dr. Dadang Makmun, SpPD, K-GEH selaku Ketua
Departemen Ilmu Penyakit Dalam saat ini dan juga Dr. dr. Imam
Subekti, SpPD, K-EMD selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam
yang terdahulu atas segala bimbingan dan bantuannya selama saya
menjadi PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam.
Kepada Ketua Program Studi Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam saat ini,
Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, MSc, SpPD, K-Ger dan Ketua Program
Studi Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam yang terdahulu dr. Aida Lydia,
PhD, SpPD, K-GH, serta seluruh staf dan koordinator pendidikan SP-
1 atas semua kerja keras dan perhatian yang dicurahkan untuk membantu
kami melewati proses pendidikan ini. Ucapan terima kasih khusus juga
saya ungkapkan kepada dr. Aida Lydia, PhD, SpPD, K-GH yang juga
merupakan pembimbing akademik saya selama proses PPDS. Dokter
adalah sosok ibu yang selalu bisa memberi ketenangan, semangat, dan
panduan setiap saya menghadapi masalah.

vi
Universitas Indonesia
Kepada Ketua Divisi Hepatobilier, Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD, K-
GEH dan Ketua Divisi Endokrin Metabolik, Dr. dr. Em Yunir, SpPD,
K-EMD yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di divisi
yang bersangkutan.
Terima kasih saya haturkan kepada dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH,
pembimbing utama penelitian ini dan seorang guru yang selalu saya
jadikan panutan dalam hidup. Kata-kata saja tidak akan cukup untuk
menyampaikan betapa saya berterima kasih dan bersyukur atas semua
ilmu, bimbingan, motivasi, dan waktu yang telah dokter bagikan kepada
saya dari sejak 7 tahun lalu saat saya baru mulai magang di Divisi
Hepatobilier. Dari anda saya belajar banyak hal, termasuk konsep untuk
selalu kritis dalam menilai setiap masalah dan dedikasi yang sangat tinggi
terhadap ilmu dan pendidikan. Semoga Allah membalas semua budi baik
yang dokter berikan kepada saya.
Kepada dr. Wismandari Wisnu, SpPD, K-EMD sebagai pembimbing
saya dalam penelitian ini, terima kasih atas kesediaan, masukan, dan
waktu yang dokter berikan dalam penyusunan tesis pada khususnya ini
dan pendidikan saya pada umumnya. Semoga saya bisa selalu
menerapkan pola pikir dokter yang selalu jeli dalam menilai kejanggalan-
kejanggalan yang ada dalam karya ilmiah.
Kepada Dr. dr. Cleopas Martin Rumende, SpPD, K-P sebagai
pembimbing metodologi dan statistic penelitian ini, terima kasih atas
semua waktu dan ide yang dokter curahkan demi terlaksananya penelitian
ini. Saya akan selalu mengingat semua wejangan yang dokter sampaikan,
baik dalam sesi bimbingan maupun dalam pertemuan-pertemuan PO-
KMK.
Terima kasih kepada para Staf Pengajar di Divisi Hepatobilier, dr.
Unggul Budihusodo, SpPD, K-GEH, Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD,
K-GEH, dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH, Dr. dr. Andri S. Sanityoso
Sulaiman, SpPD, K-GEH, Dr. dr. C. Rinaldi Lesmana, SpPD, K-
GEH, dr. Juferdy Kurniawan, SpPD, K-GEH, dr. Chyntia Oliva M.,
SpPD, dan dr. Kemal F. Kalista, SpPD atas semua masukan,

vii
Universitas Indonesia
kesempatan, dan bantuan yang diberikan sejak proses pengajuan proposal,
pengambilan sampel, hingga penyusunan naskah akhir tesis ini, serta
selama proses magang dan pendidikan saya. Merupakan suatu
kebanggaan bahwa saya pernah terlibat secara intensif di Divisi ini.
Mudah-mudahan suatu hari kelak saya bisa mengikuti jejak dokter
sekalian.
Kepada para Guru Besar, Ketua Divisi dan Staf Pengajar di lingkungan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, baik di RSCM maupun di rumah
sakit jejaring, atas bimbingannya selama proses pendidikan saya, saya
ucapkan banyak terima kasih.
Terima kasih kepada Mbak Raras, Mbak Sri, Mbak Biyah, Bu Esih
dan Mas Bembi yang juga banyak membantu selama penyusunan tesis
ini. Kepada staf poli dan prosedur hepatologi yang telah membantu saya
selama proses pengambilan sampel, Bu Sumiati, Bu Neneng, Bu
Maryani, Bu Yuni, Kak Marsini, Mas Jupri, Mas Emong, dan Mas
M. Nur, juga Mas Tegar di bagian pendaftaran. Kepada seluruh
karyawan di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan FKUI,
terutama Mba Olla dan Mba Ana, yang telah membantu terlaksananya
banyak diskusi dan bimbingan. Kepada Ibu Yanti, Mas Heri, Mbak
Aminah, dan Mbak Rizka atas semua bentuk perhatian, bantuan, dan
waktu yang dicurahkan untuk membantu saya terus maju selama
menjalani PPDS-1 ini.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada seluruh perawat, pekarya,
ahli gizi, dan petugas di lingkungan RSCM dan RS jejaring atas
bantuan dan kerjasamanya. Kepada pasien-pasien di RSCM dan RS
jejaring terutama pasien subjek penelitian ini. Tanpa guru-guru seperti
anda sekalian, niscaya tidak akan ada dokter yang bisa bekerja dengan
baik.
Kepada dr. Nabila yang telah membantu proses pengumpulan data
penelitian ini. Saya selalu mendoakan anda mencapai cita-cita anda di
masa depan. Kepada rekan seperjuangan saya dalam mengumpulkan
sampel, dr. Anggilia Stephanie dan dr. Juliyanti Fu, terima kasih atas

viii
Universitas Indonesia
semua kerja sama dan bantuan yang anda berikan. Kepada seluruh PPDS
yang selama pengambilan sampel sedang stase di divisi hepatologi dan
metabolik endokrin, terima kasih atas semua pengertian dan bantuan yang
diberikan.
Saudara-saudara saya dari PPDS Ilmu Penyakit Dalam angkatan Juli
2012, dr. Ahmad yusran, dr. Anandhara Indriani K, dr. Anindia
Larasati, dr. Ardhi Rahman Ahani, dr. Ario Perbowo Putra, Christy
Efiyanti, dr. Dewi Mira Ratih, dr. Jerry Eddya Putra Boer, dr. Laras
Budiyani, dr. Muhammad Alkaff, dr. Myra Puspitasari, dr. Reza
Yogaswara, dr. Ruth Vonky Rebecca, dr. Ryan Herardi, dan dr.
Subhan Rumoning, terima kasih atas semua kisah, tawa, air mata,
kebersamaan, dan persaudaraan yang kita bagi selama 5 tahun ini. Ada
terlalu banyak kisah bersama kalian yang selamanya akan saya kenang.
Semoga persaudaraan dan silaturahmi terus bisa terjaga di antara kita dan
semoga program Makan Malam Lelaki dapat terus terlaksana secara
rutin di masa depan.
Terima kasih saya ucapkan kepada para senior dan teman sejawat
sesama peserta PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FKUI, terutama teman-
teman dekat saya dr. Stella Ilone, dr. Radhiyatam Mardhiyah, SpPD,
dr. Catarina Budyono, SpPD, dan dr. Vidya Sari yang selalu bersedia
mendengarkan segala keluh kesah dan membantu saya di saat susah.
Akhirnya kepada keluarga dan sahabat-sahabat saya yang tentu memiliki
peranan yang sama penting, bila bukan lebih penting, dari nama-nama
yang telah saya sebutkan sebelumnya. Ucapan terima kasih yang pertama
dan terutama saya ucapakan kepada adik kandung sekaligus sahabat
terbaik saya, dr. Antonius Rio Adi Nugraha. Terima kasih atas semua
dukungan yang diberikan, termasuk menyetir saat saya kelelahan sehabis
jaga malam dan membawakan baju bila saya mendadak harus jaga.
Semoga anda bisa segera menyelesaikan pendidikan anda dengan lancar.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada kedua orang tua saya, dr. Bing
Wantoro, MS, SpOk dan dr. Monica Eka Inachrisma atas segala
dukungan dan kasih sayang yang ditunjukan. Berkat bimbingan anda

ix
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Ignatius Bima Prasetya


Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam
Judul : Prevalensi dan Profil Fibrosis Pasien Non-Alcoholic Fatty Liver
Disease pada Diabetes Mellitus dan Faktor-faktor yang
Berhubungan

Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) meningkat


pada pasien dengan diabetes melitus (DM) tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor
yang berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di
Indonesia belum pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga
masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD
serta derajat fibrosisnya.
Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2
dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan
sampel dilakukan secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia,
lama diabetes, indeks masa tubuh (IMT), lingkar pinggang, kadar HDL,
trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi abdomen dikerjakan pada semua pasien
untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan NAFLD lalu menjalani
pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji Chi Square
atau Fischers-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik
digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84
pasien (45,2%) terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil
dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien (25,0%) terbukti
mengalami fibrosis berat. Analisis univariat menunjukan perbedaan signifikan
IMT (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar pinggang
(PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018) antara kelompok NAFLD dan tidak.
Namun pada uji multivariat, IMT merupakan satu-satunya faktor yang berbeda
bermakna antara kedua kelompok (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Kesimpulan: Prevalensi NAFLD pada pasien DM tipe 2 di RSCM mencapai
45,2%, dengan 25,0% di antaranya mengalami fibrosis berat. IMT merupakan
satu-satunya komponen dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian
NAFLD.
Kata Kunci: NAFLD, diabetes melitus, fibrosis

xii
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Ignatius Bima Prasetya


Study Program : Ilmu Penyakit Dalam
Tittle : Prevalence and Fibrosis Profile of Non-Alcoholic Fatty Liver
Disease in Diabetes Mellitus and Factors Associated with It

Background: Risk of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is increased


in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased
risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data
regarding fibrosis profile in this population is also unknown.
Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non-Alcoholic Fatty
Liver Disease in diabetes mellitus and factors associated with it.
Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in
the endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Sampling was done consecutively. Data collected comprised of age, duration of
diabetes, body mass index (BMI), waist circumference, HDL, triglyceride, and
HbA1C. Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine
the presence of NAFLD. Patients with NAFLD underwent transient elastography
to assess their degree of liver fibrosis. Collected data were analyzed in univariate
and multivariate manner.
Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed
in 84 patients (45,2%). Transient elastography were carried out in 68 patients,
with advanced fibrosis were found in 17 patients (25,0%. Univariate analysis
showed significant differences between BMI (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721;
p<0,001) and waist circumference (PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018)
of patients with or without NAFLD. However, only BMI showed significance
difference between the groups on multivariate analysis (OR=2,989;
95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Conclusion: Prevalence of NAFLD among diabetic patients in this study was
45,2%, among whom 25,0% had advanced fibrosis. BMI was the only factor
associated with the occurrence of NAFLD.
Keywords: NAFLD, diabetes melitus, fibrosis

xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS . Error! Bookmark not defined.
PERYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............ Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN .............................. Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI Error! Bookmark
not defined.
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Error! Bookmark not
defined.
ABSTRAK ............................................................................................................ x
ABSTRACT ......................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN xx

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 3
1.4. Hipotesis Penelitian .................................................................................... 3
1.5. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
1.5.1. Tujuan Umum ...................................................................................... 4
1.5.2. Tujuan Khusus ..................................................................................... 4
1.6. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
1.6.1. Manfaat dalam Bidang Pelayanan ....................................................... 4
1.6.2. Manfaat dalam Bidang Pendidikan dan Penelitian .............................. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5


2.1. Definisi dan Epidemiologi NAFLD ........................................................... 5
2.2. Diagnosis NAFLD dan Penilaian Derajat Fibrosis .................................... 9
2.3. Patofisiologi NAFLD ............................................................................... 12
2.4. NAFLD dengan DM dan Sindrom Metabolik Lainnya ............................ 16
2.5. Kerangka Teori ......................................................................................... 21

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............. 22


3.1. Kerangka Konsep ..................................................................................... 22
3.2. Identifikasi Variabel ................................................................................. 22
3.3. Definisi Operasional ................................................................................. 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ..................................................................... 25


4.1. Desain Penelitian ...................................................................................... 25
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 25
4.3.Populasi Studi ............................................................................................ 25

xiv
Universitas Indonesia
4.3.1. Populasi Target .................................................................................. 25
4.3.2. Populasi Terjangkau .......................................................................... 25
4.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel......................................................... 25
4.5. Besar sampel ............................................................................................. 25
4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................... 28
4.6.1. Kriteria Inklusi................................................................................... 28
4.6.2. Kriteria Eksklusi ................................................................................ 28
4.6.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Khusus Profil Fibrosis ....................... 28
4.7. Persetujuan Penelitian .............................................................................. 28
4.8. Alur Penelitian .......................................................................................... 29
4.9. Rencana Kerja Penelitian ......................................................................... 29
4.10. Rencana Analisis dan Pengolahan Data ................................................. 30
4.11. Pelaporan Hasil Penelitian ...................................................................... 31

BAB 5 HASIL PENELITIAN........................................................................... 32


5.1. Perekrutan Subjek ..................................................................................... 32
5.2. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian ...................................................... 33
5.3. Analisis Perbandingan Karakteristik Pasien DM Dengan atau tanpa
NAFLD ............................................................................................................ 34
5.4. Analisis Multivariat Tambahan Perbandingan Karakteristik Pasien DM
Dengan atau tanpa NAFLD ............................................................................ 35
5.5. Profil Derajat Fibrosis pada Pasien Diabetes Melitus dengan NAFLD ... 36

BAB 6 DISKUSI ................................................................................................ 38


6.1. Prevalensi NAFLD pada Populasi Diabetes Melitus Tipe 2 .................... 38
6.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian NAFLD pada Populasi
Diabetes Melitus .............................................................................................. 39
6.3. Profil Derajat Fibrosis NAFLD pada Populasi Diabetes Melitus Tipe 2 . 44
6.4. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian .................................................... 47
6.5. Generalisasi Hasil Penelitian .................................................................... 48

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 50


7.1. Kesimpulan ............................................................................................... 50
7.2. Saran ......................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 51


RINGKASAN...................................................................................................... 56
SUMMARY .......................................................................................................... 58
LAMPIRAN ........................................................................................................ 60

xv
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 3.2. Definisi Operasional 23

Tabel 4.1. Perhitungan Besar Sampel untuk Tiap Variabel Bebas 27

Tabel 5.1. Karakteristik dasar Subjek Penelitian 33

Tabel 5.2. Analisis Univariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


NAFLD 35

Tabel 5.3. Regresi Logistik Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


NAFLD 36

Tabel 5.4. Profil Karakteristik Pasien NAFLD Berdasarkan Derajat Fibrosis 37

xvi
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Perjalanan Penyakit NAFLD 7

Gambar 2.2. Prinsip Kerja Elastografi Transien 11

Gambar 2.3. Kerangka Teori 21

Gambar 3.1. Kerangka Konsep 22

Gambar 4.1. Alur Penelitian 29

Gambar 6.1. Proses Perekrutan Subjek Penelitian 32

xvii
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN

AASLD American Association for the Study of Liver


Diseases
AST Aspartate Amino-Transaminase
ALT Alanine Amino-Transaminase
APRI AST Platelet Ratio Index
AUROC Area Under Receiver Operating Characteristic
CCL-2 (C-C motif) Ligand 2
CI Confidence Interval
DM Diabetes Melitus
DNA Deoxyribonucleic Acid
DPP-4 Dipeptidyl Peptidase-4
ECM Extra-Cellular Matrix
FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GLP-1 Glucagon Like peptide-1
HDL High-Density Lipoprotein
IMT Indeks Massa Tubuh
IL-1 Interleukin 1
JNK Jun N-terminal Kinase
KHS Karsinoma Hepatosluler
LDL Low-Density Lipoprotein
NAFL Non-Alcoholic Fatty Liver
NAFLD Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
NAS NAFLD Activity Score
NASH Non-Alcoholic Steatohepatitis
NF-B Nucleus Factor B
NNT Number Needed to Treat
OR Odd Ratio
ROC Receiver Operating Curve
ROS Reactive Oxygen Species
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

xviii
Universitas Indonesia
SPSS Statistical Package for the Social Sciences
SREBP-1 Sterol Regulatory Element Binding Protein-1
USG Ultrasonografi
TLRs Toll-Like Receptors
TNF Tumor Necrosis Factor
VLDL Very Low-Density Lipoprotein

xix
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Pengambilan Data 60

Lampiran 2. Persetujuan Etik FKUI 63

Lampiran 3. Persetujuan Etik RSCM 64

Lampiran 4. Manuskrip Publikasi 65

xx
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan suatu spektrum
penyakit yang ditandai adanya perlemakan di hati. Pemahaman tentang NAFLD
memang lebih terlambat berkembang bila dibandingkan penyakit hati lain, namun
dalam dekade belakangan ini mulai disadari pentingnya peran NAFLD dalam
menyebabkan penyakit hati tahap akhir. Di negara-negara Barat NAFLD bahkan
sudah dianggap sebagai bentuk penyakit hati kronik yang paling sering.
Prevalensi NAFLD pada populasi umum di Amerika Serikat dilaporkan
mencapai 24%, sementara data lain menyatakan angka 51%.1, 2
Di Indonesia
sendiri, prevalensi perlemakan hati pada satu studi mencapai 30% dari seluruh
populasi.3 Apabila tidak ditangani dengan baik, NAFLD akan meningkatkan
risiko sirosis hati, gagal hati dekompensata, dan karsinoma hepatoseluler.
Sebagai satu rangkaian spektrum penyakit, NAFLD merupakan proses yang
terdiri atas dua tahapan, yaitu Non-Alcoholic Fatty Liver (NAFL) dan Non-
Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Pasien dengan Non-Alcoholic Steatohepatitis
(NASH) pada akhirnya memiliki risiko sirosis 10-29% dalam waktu 10 tahun dan
dari jumlah itu sebanyak 4-27% akan berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler.2 Di sisi lain, adanya NAFLD sendiri merupakan faktor risiko
penyakit kardiovaskular yang independen dari adanya sindrom metabolik yang
lain. Insidensi penyakit jantung koroner pada populasi NAFLD mencapai 2-11%
dengan angka mortalitas 12-13%.4
Hal lain yang diketahui berhubungan dengan mortalitas adalah derajat
fibrosis pada NAFLD, dengan derajat fibrosis yang berat menunjukkan risiko
mortalitas yang lebih tinggi.5 Sampai saat ini pemeriksaan histopatologi masih
merupakan baku emas untuk menilai derajat fibrosis pada hati. Meskipun begitu,
biopsi merupakan tindakan yang rumit dengan adanya risiko mortalitas.1 Untuk
mengatasi masalah ini, beberapa metode penilaian derajat fibrosis hati secara
non-invasif telah dikembangkan, termasuk metode elastografi transien. Metode
ini mengandalkan prinsip penilaian hantaran gelombang getar pada jaringan hati.

Universitas Indonesia
2

Pemeriksaan ini sendiri bersifat non invasif dan jauh lebih aman daripada biopsi,
dengan tingkat akurasi yang cukup baik.6
Hubungan antara NAFLD dengan penyakit metabolik telah lama diteliti.
Sebagian ahli bahkan setuju bahwa NAFLD merupakan spektrum hati dari
sindrom metabolik. Data yang ada menunjukkan bahwa pada populasi diabetes
melitus tipe 2, prevalensi NAFLD mencapai 69%, sementara prevalensi diabetes
melitus pada populasi NAFLD mencapai 33-50%. Penelitian tersebut sendiri
dilakukan di Amerika, di mana sebagian besar populasi merupakan ras kaukasia.1,
2
Prevalensi NAFLD pada pasien obes yang menderita diabetes melitus bisa
mencapai 70%.7
Meskipun prevalensi NAFLD pada pasien diabetes cukup tinggi dan
adanya NAFLD sendiri bisa meningkatkan mortalitas dan morbiditas, belum ada
panduan yang merekomendasikan penapisan rutin NAFLD pada pasien dengan
diabetes melitus. Hal tersebut didasarkan pada kurangnya penelitian mengenai
manfaat dan kerugian penapisan pada populasi ini. Di Indonesia sendiri belum
ada data mengenai prevalensi NAFLD dan faktor-faktor yang memengaruhinya
pada populasi diabetes melitus. Data mengenai derajat fibrosis pada populasi ini
juga masih belum tersedia. Padahal derajat fibrosis sendiri diketahui berhubungan
dengan mortalitas dan morbiditas.5 Usia, lama diabetes, indeks massa tubuh,
lingkar pinggang, kadar HbA1C, HDL, dan trigliserida merupakan faktor-faktor
yang telah diketahui mempengaruhi kejadian NAFLD pada pasien diabetes
melitus di penelitian-penelitian di luar negeri, sementara penelitian mengenai
faktor risiko fibrosis berat pada populasi ini masih jarang dikerjakan.8 Tidak
adanya data ini menimbulkan kurangnya pengertian tenaga medis tentang
pentingnya penapisan NAFLD pada populasi diabetes melitus. Tingkat kesadaran
tenaga kesehatan tentang NAFLD sendiri juga masih tergolong rendah sehingga
pasien diabetes jarang sekali diperiksakan untuk NAFLD. Penelitian ini dibuat
dengan tujuan menilai besarnya masalah NAFLD pada populasi diabetes melitus
di Indonesia. Pada penelitian ini juga akan dicari faktor-faktor yang
memengaruhi kejadian dan derajat fibrosis NAFLD pada populasi ini.

Universitas Indonesia
3

1.2. Rumusan Masalah


NAFLD saat ini telah berkembang menjadi salah satu penyakit hati yang sering
dijumpai. Penyakit ini diketahui berhubungan dengan sindrom metabolik, yang
mencakup populasi diabetes melitus. Data pada populasi diabetes melitus di luar
negeri menunjukkan adanya peningkatan kejadian NAFLD pada populasi ini.
Meskipun begitu data pada populasi ini di Indonesia masih belum ada. Lebih jauh
lagi, belum ada data mengenai profil derajat fibrosis pada pasien diabetes melitus
dengan NAFLD. Berdasarkan pada latar belakang ini, peneliti merasa adanya
masalah mengenai belum adanya data mengenai prevalensi dan derajat fibrosis
NAFLD pada populasi diabetes melitus di RSCM pada khususnya dan Indonesia
pada umumnya. Data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
NAFLD pada populasi ini juga belum diketahui. Data-data ini akan berguna
untuk merekomendasikan perlu tidaknya penapisan rutin untuk NAFLD pada
populasi diabetes melitus di Indonesia, mengingat tingginya beban yang akan
ditanggung pasien dan tenaga medis bila NAFLD tidak ditata laksana dengan
segera.

1.3. Pertanyaan Penelitian


Masalah-masalah di atas memunculkan beberapa pertanyaan untuk diteliti dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Berapakah prevalensi NAFLD pada pasien diabetes melitus di RSCM?
2. Bagaimanakah profil derajat fibrosis NAFLD pada pasien diabetes
melitus di RSCM?
3. Apakah terdapat hubungan antara usia, lama diabetes, indeks massa
tubuh, lingkar pinggang, kadar HbA1C, HDL, dan trigliserida dengan
kejadian NAFLD pada pasien diabetes melitus di RSCM?

1.4. Hipotesis Penelitian


Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kami mengajukan beberapa
hipotesis, yaitu:
1. Terdapat hubungan antara usia, lama diabetes, indeks massa tubuh,
lingkar pinggang, kadar HbA1C, HDL, dan trigliserida dengan kejadian
NAFLD pada pasien diabetes melitus di RSCM.

Universitas Indonesia
4

1.5. Tujuan Penelitian


1.5.1. Tujuan Umum
Mengetahui prevalensi dan profil fibrosis pasien Non-Alcoholic Fatty Liver
Disease pada diabetes Mellitus dan faktor-faktor yang berhubungan.

1.5.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui hubungan antara usia, lama diabetes, indeks massa tubuh,
lingkar pinggang, kadar HbA1C, HDL, dan trigliserida dengan kejadian
NAFLD pada pasien diabetes melitus di RSCM.

1.6. Manfaat Penelitian


1.6.1. Manfaat dalam Bidang Pelayanan
1. Pengetahuan mengenai prevalensi dan profil fibrosis pasien Non-
Alcoholic Fatty Liver Disease pada diabetes mellitus dan faktor-faktor
yang berhubungan akan membantu klinisi mengenali pasien yang
memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dari
pemeriksaan-pemeriksaan sederhana.
2. Data prevalensi dan profil fibrosis NAFLD pada populasi diabetes melitus
yang juga didapat dari penelitian ini dapat menggambarkan besarnya
masalah pada populasi ini.
3. Berbekal pengetahuan ini, kebijakan penapisan yang sesuai dapat diambil
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan
kondisi ini.

1.6.2. Manfaat dalam Bidang Pendidikan dan Penelitian


Data mengenai prevalensi dan profil fibrosis pasien non-alcoholic fatty liver
disease pada diabetes mellitus dan faktor-faktor yang berhubungan yang didapat
dari penelitian ini akan menjadi data pertama untuk populasi Indonesia. Data ini
dapat digunakan sebagai landasan dari penelitian-penelitian selanjutnya.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Epidemiologi NAFLD


Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) adalah suatu spektrum dari
penyakit metabolik yang memengaruhi hati. NAFLD didefinisikan sebagai
adanya bukti penumpukan lemak (steatosis) di hati, baik secara histologis
ataupun pencitraan, tanpa adanya penyebab steatosis sekunder seperti konsumsi
alkohol berlebihan, penggunaan obat tertentu, dan penyakit herediter. NAFLD
dapat dibagi menjadi 2 stadium, yaitu Non-Alcoholic Fatty Liver (NAFL) dan
Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Pada NAFL, steatosis hati yang terjadi
tidak disertai adanya inflamasi dan kerusakan fungsi hati.1 Sementara NASH
adalah stadium yang lebih lanjut dari NAFLD di mana secara histologis bisa
didapatkan steatosis makrovesikular, inflamasi lobular, balloon degeneration dari
hepatosit, dan fibrosis pericellular zona-3.9 Walaupun steatosis hati bisa dinilai
lewat modalitas pencitraan, pembedaan NAFL dengan NASH hanya bisa
dikerjakan dengan pemeriksaan histopatologis.1 Sampai 15 tahun yang lalu,
NAFLD dan NASH masih dianggap sebagai kasus yang jarang ditemukan.
Namun, kombinasi peningkatan prevalensi populasi yang mengidap sindrom
metabolik serta meningkatnya pengetahuan tentang penyakit tersebut telah
memunculkan kondisi tersebut sebagai salah satu penyebab penyakit hati kronis
yang paling sering, baik di dunia Barat maupun Timur.2, 9
Prevalensi pasti NAFLD bervariasi antar daerah. Perbedaan tersebut juga
diperparah oleh belum adanya definisi NAFLD yang seragam sampai beberapa
waktu terakhir. Dua studi yang menggunakan kriteria histologis untuk
mendiagnosis NAFLD mendapatkan prevalensi 20% dan 51%, sementara bila
kriteria ultrasound yang digunakan, prevalensi NAFLD tercatat berkisar antara
17-46%.10-12 Secara global dapat dikatakan bahwa prevalensi NAFLD berkisar
antara 6,3-33%, tergantung daerah dan metode diagnosis yang digunakan.
Prevalensi NASH pada populasi umum diketahui berkisar antara 3-5%.1 Pada
populasi Asia, sebuah telaah sistematik yang dipublikasikan pada tahun 2015
menyatakan bahwa prevalensi NAFLD berada pada kisaran 15-20%. Angka
tersebut memang cenderung lebih rendah dari populasi Barat, namun pola

5
Universitas Indonesia
6

epidemiologi yang sama juga dapat ditemukan pada populasi Asia. Prevalensi
NAFLD cenderung dipengaruhi usia, dengan usia tua lebih rentan terhadap
NAFLD. Pasien pria juga umumnya mengalami NAFLD pada usia yang lebih
awal daripada wanita. Pola prevalensi NAFLD di Asia juga mengikuti pola
penyebaran obesitas. Populasi yang tinggal di Asia Timur, Selatan, atau Tenggara
cenderung memiliki tingkat obesitas yang rendah (prevalensi tertinggi 14% di
Malaysia), sementara populasi Asia Barat memiliki tingkat obesitas yang hampir
menyamai negara-negara Barat (prevalensi tertinggi 42% di Kuwait). Daerah
Asia Barat juga merupakan daerah dengan prevalensi diabetes yang tinggi.
Kuwait dan Arab Saudi bahkan masuk dalam daftar 10 negara dengan prevalensi
diabetes tertinggi di dunia. Dengan adanya kedua data tersebut, tidak
mengherankan bila prevalensi NAFLD lebih banyak di negara-negara Asia Barat.
Meskipun begitu, dalam kategori jumlah penduduk absolut yang menderita DM,
Tiongkok, India, Indonesia, dan Jepang masuk dalam peringkat 10 besar dunia.13
Telaah lain pada populasi Asia menyatakan bahwa risiko NAFLD meningkat
pada jenis kelaim laki-laki dan pada usia yang lebih tua. Ras Melayu dan India
juga ternyata lebih berisiko terkena NAFLD daripada ras Tionghoa. Pengaruh
urbanisasi dan lokasi tinggal pasien terhadap NAFLD masih belum bisa terbukti.
Beberapa parameter sindrom metabolik, seperti obesitas sentral dan diabetes
melitus juga diketahui meningkatkan risiko NAFLD pada populasi Asia. Telaah
ini juga menyebutkan beberapa faktor yang baru-baru ini diketahui meningkatkan
risiko NAFLD, seperti hipotiroidisme, kadar vitamin D yang rendah, obstructive
sleep apnea, dan variasi genetik.14 Untuk populasi Indonesia sendiri, data awal
mengenai prevalensi NAFLD didapat dari studi pada daerah sub-urban yang
dipublikasikan pada tahun 2002 oleh Hasan et al. Dari studi yang melibatkan
55.000 populasi umum tersebut, didapatkan data bahwa 30% populasi mengalami
perlemakan hati. Dari jumlah tersebut 65% pasien merupakan laki-laki dan 57%
pasien berusia 41-55 tahun.3 Studi yang lebih baru dipublikasikan pada tahun
2015 oleh Lesmana et al dan melibatkan 1054 pasien yang menjalani medical
checkup rutin. Prevalensi NAFL diketahui mencapai 51%. Analisis multivariat
pada populasi tersebut menujukkan adanya hubungan antara NAFL dengan jenis
kelamin pria, usia di atas 35 tahun, Indeks Massa Tubuh (IMT) 35, trigliserida
150 mg/dL, High-Density Lipoprotein (HDL)<40 mg/dL untuk pria dan <50

Universitas Indonesia
7

mg/dL untuk wanita, serta Alanine Amino-Transaminase(ALT) 36 U/L.


Berdasarkan hasil tersebut, peneliti pada studi tersebut juga memformulasikan
suatu model prediksi NAFL yang telah divalidasi dan memiliki area under
Receiver Operating Characteristic (ROC)0,822 (95% CI: 0,7840,860; P<0,001).
Dengan batas cut off diagnostik di atas 5, model tersebut memiliki sensitivitas
75,5% dan spesifisitas 70,3%.15
Penelitian-penelitian mengenai perjalanan penyakit NAFLD menyebutkan
bahwa 10% pasien NAFL akan menjadi NASH dalam 10 tahun. Dari jumlah
pasien NASH tersebut, 5-25%-nya akan menjadi sirosis dalam 10 tahun dan dari
pasien sirosis tersebut, 10%-nya akan menjadi karsinoma sel hati dalam 10 tahun.
NASH juga merupakan penyebab lebih dari 50% sirosis kriptogenik.16, 17
Data
lain menyebutkan bahwa 11% pasien NASH akan mengalami sirosis hati dan
40% akan meninggal karena semua penyebab dalam waktu 15 tahun. Sebanyak
7% pasien NASH akan meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan
hati.18 Data lain menyebutkan bahwa 30-90% pasien dengan obesitas akan
berkembang menjadi NAFL. Dari jumlah tersebut, 10-20% akan berkembang
menjadi NASH. Dari seluruh pasien NASH tersebut, 3-5% akan menjadi
sirosis.19 Perjalanan penyakit NAFLD dapat dilihat pada gambar 2.1.

Obesitas Steatosis NASH Sirosis KHS

Gambar 2.1. Perjalanan Penyakit NAFLD19

Universitas Indonesia
8

Secara umum disepakati bahwa NAFL memiliki progresifitas yang


lambat, namun ketika sudah sampai pada NASH, progresifitas untuk terjadinya
sirosis menjadi lebih cepat. Data yang ada juga mendukung bahwa pasien dengan
NAFLD memiliki angka mortalitas keseluruhan yang lebih tinggi dari populasi
umum. Sebagian besar mortalitas tersebut disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular, namun adanya NASH juga meningkatkan angka mortalitas akibat
penyakit hati. Hal tersebut tentu berhubungan dengan peningkatan risiko sirosis
dan karsinoma hepatoseluler pada pasien yang mengalami NASH.1 Penelitian
yang ada telah menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang diduga
memengaruhi progresifitas fibrosis pada NAFLD. Derajat fibrosis awal yang
rendah, indeks massa tubuh yang tinggi, dan adanya diabetes serta tanda
resistensi insulin lainnya termasuk beberapa faktor tersebut.18 Studi lain
menujukkan bahwa adanya riwayat diabetes melitus berhubungan dengan
beratnya derajat fibrosis pada pasien NAFLD.20 Data lain yang didapat dari
pemeriksaan elstografi transien pada populasi umum menunjukkan bahwa
fibrosis hati memiliki korelasi positif dengan IMT, berat badan, ketebalan lemak
subkutan, Aspartate Amino-Transaminase (AST), Alanine Amino-Transaminase
(ALT), dan rasio AST/platelet (APRI). Studi tersebut juga menujukkan bahwa
derajat fibrosis pasien NAFLD cenderung lebih tinggi daripada pasien yang tidak
mengalami NAFLD. Derajat fibrosis tertinggi ditemukan pada pasien NAFLD
dengan gangguan fungsi hati.21
Derajat fibrosis yang tinggi diketahui memiliki hubungan dengan tingkat
mortalitas dan morbiditas pasien.Derajat fibrosis hati selama ini dinilai dengan
menggunakan skala Metavir, yang berkisar dari skala F0 (tidak ada fibrosis)
sampai F4 (sirosis), dengan skala F3 dan F4 dianggap sebagai fibrosis berat.
Sebuah studi yang melibatkan 229 pasien NAFLD menunjukkan bahwa bila
dibandingkan dengan populasi umum, hanya pasien dengan derajat fibrosis berat
(F3 dan F4) yang memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi (Hazard Ratio 3,3;
CI 2,27-4,76; P<0,001). Peningkatan mortalitas tidak ditemukan pada pasien
dengan fibrosis ringan sedang (Hazard Ratio 1,41; CI 0,97-2,06; P<0,07).5 Data
lain juga menunjukkan bahwa kasus karsinoma hepatoselular pada NAFLD lebih
mudah terjadi pada pasien yang mengalami fibrosis berat (72%) dibandingkan
fibrosis ringan-sedang (28%).22-24 Salah satu literatur juga menyebutkan bahwa

Universitas Indonesia
9

jarak dari diagnosis NAFLD (dengan derajat fibrosis ringan) sampai KHS
mencapai 26 tahun, namun jarak ini bisa berkurang menjadi 10-16 tahun pada
pasien dengan fibrosis berat atau sirosis.25 Kesimpulan yang serupa juga
ditemukan pada penelitian-penelitian lain yang menunjang bahwa derajat fibrosis
yang tinggi berhubungan dengan risiko karsinoma hepatoselular yang lebih
besar.17, 26
Prevalensi KHS yang disebabkan NASH bervariasi tergantung pola
epidemiologis etiologi penyakit hati kronik di tiap-tiap lokasi. Data dari Jepang
menyebutkan bahwa NASH bertanggung jawab terhadap 2,0% dari seluruh kasus
KHS sementara data di negara-negara barat menunjukkan kisaran 3,8-13%.27
Data lain juga menyebutkan kejadian Karsinoma Hepatosluler (KHS) pada pasien
NAFLD berkisar antara 10-13% dalam 5 tahun.23 Walaupun masih jauh dari
angka kejadian KHS pada pasien hepatitis C kronik (30,5% dalam 5 tahun),
angka tersebut cukup mendekati tingkat kejadian KHS akibat penyakit hati
alkoholik (12,5% dalam 5 tahun).27, 28
Studi-studi terbaru juga menunjukkan
bahwa karsinoma hepatoselular bisa muncul pada pasien dengan NASH yang
belum mengalami sirosis.Salah satu studi dari Jepang bahkan menyatakan bahwa
49% kasus karsinoma hepatoselular pada NASH terjadi pada pasien yang belum
mengalami sirosis.24, 29

2.2. Diagnosis NAFLD dan Penilaian Derajat Fibrosis


Diagnosis adanya steatosis hati dapat dengan mudah didapat lewat pemeriksaan
ultrasonografi sederhana, di mana perlemakan hati akan memberi gambaran hati
yang lebih hiperekoik daripada parenkim ginjal. Namun diagnosis adanya NASH
tidak bisa dikerjakan lewat Ultrasonografi (USG), padahal pembedaan NASH
dari NAFL merupakan hal yang penting mengingat risiko morbiditas dan
mortalitas meningkat jauh pada kondisi NASH. Sampai saat ini pemeriksaan
histopatologi masih merupakan baku emas untuk menilai adanya inflamasi dan
fibrosis.1 Meskipun begitu, biopsi hanya mampu menilai kira-kira 1/50.000 dari
seluruh hepar dan merupakan tindakan yang menyakitkan dan memiliki
kemungkinan mortalitas (1 dalam 10.000-12.000 tindakan). Pemeriksaan tersebut
juga amat dipengaruhi kemampuan ahli histopatologis dalam membaca sediaan
yang ada. Data yang ada menunjukkan bahwa terdapat variabilitas intra dan inter-

Universitas Indonesia
10

observer yang cukup tinggi dalam menilai derajat fibrosis, inflamasi lobular, dan
interpretasi adanya ballooning.6, 18
Ketiga komponen tersebut merupakan hal
penting dalam diagnosis NASH. Pemeriksaan tersebut juga dianggap tidak
praktis dan memerlukan biaya yang lebih tinggi. Berdasarkan pemikiran tersebut,
beberapa pemeriksaan non invasif telah dikembangkan untuk menilai derajat
fibrosis pada NAFLD.18 Beberapa parameter laboratorium seperti rasio AST
dengan ALT, rasio AST dengan platelet (APRI), gamma GT, dan kadar feritin
serum telah lama dikembangkan sebagai prediktor pada berbagai penyakit hati
kronik. Dengan menggunakan data laboratorium dan klinis tersebut, beberapa
skor prediktor fibrosis pada NAFLD telah dikembangkan, termasuk skor BARD
(IMT, APRI, dan adanya diabetes), FIB-4 (AST, ALT, platelet), Fibrometer
(usia, berat badan, gula darah puasa, AST, ALT, feritin, platelet), dan NAFLD
Fibosis Score (usia, hiperglikemia, IMT, platelet, albumin, rasio AST/ALT).
Beberapa skor lain bahkan menggunakan pemeriksaan penanda biologis yang
lebih canggih seperti Enhanced Liver Fibrosis Panel yang menggunakan kadar
hyaluronan, tissue inhibitors of metalloproteinase-1, dan N-terminal propeptide
of type III pro-collagen. Cytokeratin-18 adalah pemeriksaan laboratorium lain
yang juga sedang dikembangkan sebagai penanda fibrosis pada NAFLD. Data
yang ada menunjukkan kemampuan yang cukup baik dari penanda tersebut.18, 20
Elastrografi transien adalah metode penilaian fibrosis secara non invasif
yang dikembangkan oleh perusahaan Echosens di Perancis dengan nama dagang
Fibroscan. Pemeriksaan tersebut mengandalkan prinsip penilaian hantaran
gelombang getar pada jaringan hati. Gelombang getar tersebut dihasilkan lewat
transducer khusus yang ditempelkan secara tegak lurus dengan hati. Kecepatan
hantar gelombang tersebutakan berbanding lurus dengan tingkat kekerasan
jaringan yang diperiksa. Semakin keras jaringan tersebut, semakin cepat
gelombang getar berjalan. Dalam konteks hati, tingkat kekerasan tersebut akan
berbanding lurus dengan derajat fibrosis di hati. Elastografi transien memiliki
beberapa keuntungan bila dibandingkan biopsi, yaitu sifatnya yang non invasif,
hasil yang lebih objektif, dan besar jaringan hati yang dinilai kira-kira 100 kali
lebih besar daripada sampel biopsi.Hasil akhir elastografi transien diukur dalam
satuan kPa dan merupakan median dari 10 pemeriksaan yang valid. Hasil yang
dianggap bisa digunakan adalah apabila didapatkan minimal 10 kali pemeriksaan

Universitas Indonesia
11

dengan tingkat kesuksesan pemeriksaan di atas 60% dan interquartile range to


the median (IQR/M) 0,3.6 Prinsip kerja elastografi transien dapat dilihat di
gambar 2.2.

Iga
Hati
Alat elastografi
transien

Transduser
Dinding dada

Gambar 2.2. Prinsip Kerja Elastografi Transien30

Elastografi transien telah cukup lama digunakan untuk menilai fibrosis


pada kondisi infeksi hepatitis B dan C dengan tingkat akurasi yang cukup baik.6
Penggunaan elastografi transien pada pasien NAFLD memang belum banyak
diteliti dan beberapa kendala seperti tingginya prevalensi obesitas pada populasi
NAFLD tentu akan menyulitkan pemeriksaan.1 Namun sebuah meta analisis yang
dipublikasikan padatahun 2011 menunjukkan bahwa penggunaan elastografi
transien untuk menilai fibrosis pada NAFLD akan menghasilkan sensitivitas 94%
dan spesifisitas 95% dengan AUROC 0,94 (0,90-0,99). Angka tersebut lebih baik
bila dibandingkan penggunaan NAFLD Fibrosis Score atau pengukuran kadar
cytokeratin-18.31 Data lain yang dipublikasikan pada tahun 2015 menunjukkan
bahwa dengan batas 12 kPa, elastografi transien dapat mendeteksi fibrosis derajat
3 dan 4 pada pasien NAFLD dengan sensitivitas 90%, spesifisitas 80%, nilai
prediktif positif 70%, nilai prediksi negatif 93%, dan AUROC 0,91. Sementara
NAFLD Fibrosis Score dengan batas 1,5 akan menghasilkan sensitivitas 100%,
spesifisitas 69%, nilai prediktif positif 80%, dan nilai prediksi negatif 100%.20

Universitas Indonesia
12

Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan ragam variasi antara 8,7-10,4 kPa


sebagai batas adanya fibrosis berat pada pasien NAFLD.32 Sementara itu, data
batas yang menghasilkan nilai prediksi positif tertinggi (72%) adalah batasan di
9,6 kPa. Maka batas tersebut yang direkomendasikan sebagai batas yang
digunakan.32, 33
Beberapa kelemahan elastografi transien adalah hasil yang bisa
dirancukan oleh penyebab pengerasan hati selain fibrosis. Kondisi tersebut
umumnya berupa inflamasi akut yang dipicu hepatitis viral atau kolestasis, dan
kongesti hepar. Data yang ada juga menunjukkan bahwa tingkat kesuksesan
pemeriksaan tersebut dipengaruhi IMT, dengan nilai di atas 30 akan menurunkan
tingkat kesuksesan secara signifikan. Hal tersebut diduga disebabkan adanya
lapisan lemak viseral yang tebal dan menghambat propagasi gelombang getar ke
hati.6 Penggunaan tranduser ukuran XL dikatakan dapat mengatasi masalah
tersebut. Transduser tersebutakan menghasilkan gelombang yang lebih sempit
dengan penetrasi yang lebih dalam sehingga mampu menembus lapisan lemak
yang tebal. Salah satu studi yang ada menunjukkan bahwa penggunaan transduser
XL memungkinkan didapatkannya hasil pemeriksaan elastografi transien yang
valid pada 56,9% pasien yang tidak bisa diperiksa dengan transduser ukuran M.
Untuk masalah hasil, tidak ada perbedaan bermakna antara hasil yang didapat
oleh kedua transduser tersebut. Dengan mengombinasikan keduanya, peneliti
pada studi tersebut mendapatkan hasil pemeriksaan yang valid pada 91,2% pasien
yang diperiksa.34 Penggunaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis
pada pasien diabetes melitus (DM) pernah diujikan pada 1918 pasien oleh Kwok
et al. Sebanyak 1884 pasien (98,2%) dapat memberikan hasil pemeriksaan yang
valid. Dari seluruh pasien tersebut, 1770 pasien diperiksa dengan transduser M
dan 114 pasien diperiksa dengan transduser XL.35

2.3. Patofisiologi NAFLD


Selama beberapa tahun terakhir, patofisiologi yang mendasari terjadinya NASH
telah dipelajari secara ekstensif. Salah satu hipotesis yang paling bisa diterima
adalah mekanisme two hit hypothesis yang dikemukakan oleh Day et al.
Hipotesis tersebut dilandasi pemikiran adanya pasien dengan perlemakan hati
saja yang tidak mengalami peradangan hati. Maka diduga bahwa kedua proses
tersebut terjadi secara berbeda dengan pencetus yang berbeda pula.36 Berdasarkan

Universitas Indonesia
13

teori tersebut, NASH disebabkan oleh 2 kejadian utama dalam metabolisme hati
(two hit). Kejadian yang pertama (first hit) terjadi saat resistensi insulin
menyebabkan penumpukan trigliserida di hati.9 Kejadian kedua (second hit)
mencakup produksi radikal bebas yang merupakan hasil oksidasi asam lemak di
hati.9, 36
Keberadaan radikal bebas tersebut akan menyebabkan stres oksidatif
yang lalu akan memicu pelepasan sitokin proinflamasi dan pengaktifan sel
stellata yang tentunya akan berakhir dengan fibrosis hati.36 Teori two hit
hypothesis tersebut, walaupun cukup bisa menjelaskan sebgian besar proses
patogenesis NASH, ternyata masih belum cukup baik. Beberapa penelitian
terbaru ternyata menunjukkan bahwa patogenesis NASH ternyata berhubungan
dengan banyak faktor lain (multifaktorial). Kumpulan zat yang dinamakan
adipositokin (mencakup adiponektin, leptin, resitin, dan visfain) dan disekresikan
oleh jaringan lemak putih ternyata juga memegang peranan penting dalam
patogenesis NASH. Jaringan tersebut terutama berkaitan dengan obesitas sentral
atau viseral.9, 16
Pada kondisi normal, kelebihan lemak tubuh akan disimpan di jaringan
lemak yang terutama bearada di daerah sentral. Namun pada kondisi obesitas,
sel-sel adiposit di jaringan tersebutakan mensekresikan sitokin-sitokin pro
inflamasi seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan C-C motif Ligand 2(CCL-2).
Pencetus pasti respon inflamasi tersebut masih belum diketahui, namun
pertumbuhan sel adiposit yang terlalu cepat diduga menyebabkan kematian sel
sehingga terjadi reaksi inflamasi. Kedua sitokin pro inflamasi tersebut akan
menarik makrofag ke jaringan adiposit sehingga memperparah inflamasi. Respon
tersebut juga akan menimbulkan efek resistensi insulin di jaringan lemak
sehingga memicu proses lipolisis. Adiposit sendiri juga akan kehilangan
kemampuan mensekresikan adiponektin, senyawa yang berperan dalam
lipogenesis di jaringan lemak. Trigliserida dan asam lemak bebas yang
dilepaskan oleh adiposittersebut akhirnya akan sampai ke hati, di mana TNF dan
CCL-2 justru akan merangsang penumpukan lemak di jaringan hati. Lewat
mekanisme tersebut, gangguan di jaringan adiposa berhasil mencetuskan steatosis
di hati. Meskipun begitu, transfer lemak dari jaringan lemak tersebut hanya
memberi kontribusi minor terhadap steatosis hati. Komponen penambahan lemak
hati yang terbesar justru didapat dari proses lipogenesis de novo. Proses tersebut

Universitas Indonesia
14

sendiri masih behubungan dengan transfer lemak dari jaringan adiposa,


mengingat tambahan asam lemak dari jaringan adiposa justru dimanfaatkan hati
sebagai energi untuk meningkatkan proses lipogenesis. Pada pasien dengan
steatosis, proses lipogenesis diketahui meningkat sampai 3 kali lipat individu
normal. Inisiator proses lipogenesis sendiri diregulasi oleh sterol regulatory
elementbinding protein-1 (SREBP-1), suatu faktor transkripsi yang diaktivasi
oleh insulin. Pada kondisi hiperinsulinemia seperti pada obesitas, aktivitas
SREBP-1 terbukti meningkat dan aktivasi tersebut pada akhirnya meningkatkan
proses lipogenesis. Namun SREBP-1 juga bisa diaktivasi oleh retikulum
endoplasma yang mengalami stres, misalnya pada kondisi asupan energi yang
tinggi di mana retikulum endoplasma dipacu untuk mensintesis banyak protein.
Mekanisme tersebut menjelaskan mengapa steatosis tetap terjadi ketika kadar
insulin sudah berkurang pada resitensi insulin lanjut.37-39
Langkah selanjutnya dalam patofisiologi NAFLD melibatkan kerusakan
sel-sel hati akibat steatosis. Beberapa jenis asam lemak seperti palmitat dan
stearat memang terbukti mampu membunuh hepatosit secara langsung lewat
aktivasi jun N-terminal kinase (JNK) dan memicu proses kematian mitokondria.
Beberapa metabolit dari asam lemak seperti lysophosphatidylcholine dan
ceramide juga diketahui memiliki kemampuan membunuh hepatosit seperti
prekursornya. Seperti halnya asam lemak bebas, kadar kolesterol yang berlebihan
juga berperan dalam kerusakan sel-sel hati. Namun peran kolesterol berupa
penurunan kemampuan sel hati dalam menghadapi stimulus racun. Kadar
kolesterol yang tinggi akan menyebabkan penumpukan senyawa tersebut di
membran mitokondria sel hati sehingga menurunkan permeabilitas mitokondria
dan menyebabkan kebocoran glutation dari mitokondria. Glutation berguna
dalam proses pertahanan terhadap stres oksidatif dan kekurangan senyawa
tersebutakan menyebabkan hepatosit lebih rentan terhadap cedera oksidatif,
terutama yang dimediasi TNF. Mekanisme kerusakan hepatosit yang lain
melibatkan adanya peningkatan oksidasi asam lemak bebas melalui mekanisme
yang telah dijelaskan di atas. Peningkatan oksidasi di mitokondria ini akan
menhasilkan hasil akhir berupa elektron bebas yang dalam kadar berlebihan akan
menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS). Senyawa tersebutakan memicu
stres oksidatif yang berakibat pada kerusakan mitokondria dan akhirnya pada

Universitas Indonesia
15

kerusakan hepatosit. Mekanisme yang serupa juga bisa ditemukan di peroksisom


dan mikrosom dari hepatosit. Kematian hepatosit ini pada akhirnya akan memicu
kaskade inflamasi. Selain mengundang sel-sel makrofag dari sirkulasi ke hati,
proses tersebut juga akan mengaktivasi sel Kupffer. Aktivasi tersebut dimulai
lewat ikatan senyawa bahaya (termasuk Deoxyribonucleic Acid (DNA) sel yang
rusak, endotoksin bakteri, dan senyawa asam lemak bebas itu sendiri) dengan
Toll-like receptors (TLRs) yang akan mengaktivasi Nucleus Factor B (NF-B)
dan berakhir pada aktivasi gen-gen yang mengkode sitokin-sitokin pro inflamasi
seperti TNF dan Interleukin 1 (IL-1). Proses tersebut juga melibatkan bantuan
dari caspase-1 dan inflamasom, terutama dalam proses sintesis IL-1. Pelepasan
kedua senyawa pro inflamasi tersebut membawa dua konsekuensi pada sel-sel
hati: penumpukan lebih banyak lemak di hati dan kerusakan sel-sel hati lewat
perekrutan lebih banyak monosit ke hati.37, 39 Mediator pro inflamasi lain yang
juga telah terbukti meningkat pada sindrom metabolik mencakup interleukin-6
dan C-reactive protein.38 Proses lain yang mendapat perhatian akhir-akhir ini
adalah peran lipotoksisitas dalam pelepasan vesikel ekstraselular oleh sel-sel
hepatosit. Beberapa asam lemak, seperti asam palmitat diketahui mampu
merangsang pelepasan vesikel-vesikel yang menghantarkan sinyal-sinyal pro-
angiogenetik lewat aktivasi endotel dan pelepasan vascular endothelial growth
factor. Vesikel-vesikel tersebut juga diketahui mengaktivasi sel stelata untuk lalu
memicu fibrosis, dan memanggil lebih banyak makrofag sehingga meningkatkan
respon inflamasi.25
Proses fibrosis hati sendiri dimulai lewat aktivasi sel stellata. Aktivasi
tersebut bisa disebabkan oleh respon langsung terhadap kerusakan sel atau respon
terhadap proses inflamasi yang ada. Sitokin-sitokin yang telah disebutkan di atas
(TNF dan IL-1) sebetulnya tidak merangsang aktivasi sel stellata secara
langsung, namun keduanya akan meningkatkan kesintasan sel stellata lewat jalur
NF-B. Aktivasi dari sel stellata akan mengaktivasi fibroblast dan memulai
proses fibrosis lewat jalur yang sama dengan penyakit hati lainnya. Khusus dalam
konteks NAFLD, beberapa senyawa yang berhubungan dengan obesitas ternyata
memegang peranan dalam aktivasi sel stellata. Leptin, yang ditemukan dalam
jumlah tinggi pada kondisi obesitas, terbukti mampu merangsang sel stellata
untuk memproduksi lebih banyak kolagen. Sebaliknya, adiponektin yang

Universitas Indonesia
16

diketahui berkurang dalam sindrom metabolik, justru berperan dalam menekan


aktivasi sel stellata.37
Faktor-faktor lain yang diduga juga memainkan peranan dalam
mencetuskan NASH mencakup kadar besi, genetik, sistem renin-angiotensin, dan
keberadaan bakteri usus. Secara umum dapat dikatakan bahwa mekanisme pasti
dari patogenesis NAFLD dan NASH masih belum diketahui secara jelas.9, 16

2.4. NAFLD dengan DM dan Sindrom Metabolik Lainnya


Gangguan toleransi glukosa telah lama diketahui sebagai salah satu komponen
penting dalam sindrom metabolik. Kondisi tersebut menandakan adanya proses
resistensi insulin yang terjadi pada pasien. Data dari organisasi kesehatan dunia
menunjukkan bahwa pada tahun 2014, sebanyak 422 juta orang dewasa di dunia
menderita diabetes melitus.Angka tersebut mengalami peningkatan drastis bila
dibandingkan dengan tahun 1980, di mana hanya 108 juta orang dewasa yang
terdiagnosis dengan diabetes melitus. Prevalensi global untuk penyakit ini juga
telah meningkat hamper 2 kali lipat sejak tahun 1980 (dari 4,7% menjadi 8,5%).40
Data dari Indonesia menunjukkan bahwa untuk daerah urban, prevalensi diabetes
melitus berkisar antara 5,7-14,7%. Pola yang sama juga ditemukan di Indonesia,
di mana angka tersebut mengalami kenaikan yang signifikan bila dibandingkan
data pada tahun 1980-an.41
Hubungan antara NAFLD dengan resistensi insulin merupakan topik yang
telah banyak diselidiki sejak lama.Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
prevalensi NAFLD cenderung meningkat pada pasien dengan tanda-tanda
resistensi insulin. Definisi umum dari sindrom metabolik melibatkan adanya 3
dari 5 kriteria ini: obsesitas sentral, toleransi gluksoa terganggu, peningkatan
trigliserida, kadar high density cholesterol (HDL) yang rendah, dan peningkatan
tekanan darah. Semua gejala tersebut merupakan manifestasi dari resistensi
insulin, suatu hal yang juga penting dalam patofisiologi NAFLD dan NASH.1, 35,
38, 42, 43
Patofisiologi yang mendasari resistensi insulin telah banyak berkembang
sejak kondisi tersebut pertama kali ditemukan. Konsep yang awal disajikan
adalah triumvirat, di mana resistensi insulin diduga disebabkan gangguan pada
sekresi insulin dari sel beta pankreas, adanya gangguan respon insulin di otot, dan
gangguan respon insulin di hati berkontribusi untuk mencetuskan manifestasi

Universitas Indonesia
17

yang disebut sindrom metabolik.Seiring perjalanan waktu, sel lemak (lipolisis


meningkat), saluran cerna (defisiensi inkretin), sel alfa (hiperglukagonemia),
ginjal (peningkatan reabsorbsi glukosa), dan otak (peningkatan resistensi
terhadap efek insulin) juga diketahui memiliki peran penting dalam patofisiologi
sindrom metabolik. Kedelapan organ tersebut merupakan ominous octet. Proses
resistensi insulin sebetulnya sudah dimulai sejak lama sebelum manifestasi
sindrom metabolik muncul. Fase pertama dalam proses tersebut adalah gangguan
utilisasi insulin di otot dan hepar. Namun pada fase awal ini kadar glukosa bisa
tetap berada dalam batas normal karena adanya peningkatan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Pada individu obes, penurunan sensitivitas insulin ini mencapai
28% dalam 6 tahun. Pada saat pasien mencapai fase toleransi glukosa terganggu,
kapasitas sel beta umumnya sudah mencapai batas maksimal sehingga pasien-
pasien tersebut akhirnya berkembang ke diabetes melitus.44 Sampai saat ini
belum ada studi pasti yang menilai kapan sebetulnya proses perlemakan hati
dimulai dalam spektrum tersebut. Namun proses tersebut diduga sudah dimulai
sebelum sindrom metabolik terbukti secara klinis. Penurunan berat badan juga
terbukti membantu dalam menurunkan tingkat keparahan NAFLD. Meta analisis
yang ada membuktikan bahwa pola makan rendah kalori, rendah lemak, dan
rendah asam lemak tak jenuh terbukti mampu menurunakan kadar transaminase
dan derajat steatosis.45 Target penurunan berat badan yang dicapai masih belum
bisa ditentukan dengan pasti, namun sebuah studi acak berganda menunjukkan
bahwa penurunan 7% dari berat badan yang dicapai lewat diet dan aktivitas fisik
intensif terbukti menurunkan derajat steatosis, inflamasi, ballooning, dan NAFLD
activity score (NAS).46 Studi lain menunjukkan bahwa penurunan 5% dari berat
badan akan menurunkan derajat steatosis, sementara penurunan 9% akan
memperbaiki steatosis, inflamasi, ballooning, dan NAS.47
Sebuah data dari Amerika menujukkan bahwa prevalensi NAFLD pada
populasi laki-laki obes di Amerika Serikat mencapai 50%, sementara prevalensi
NAFLD pada pasien obes yang menderita diabetes melitus bisa mencapai
70%.7,16 Panduan yang dikeluarkan American Association for the Study of Liver
Diseases (AASLD) pada tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi NAFLD pada
pasien dengan DM mencapai 69%, sementara prevalensi NAFLD pada
dislipidemia mencapai 50%.1 Data dari Malaysia yang dipublikasikan pada tahun

Universitas Indonesia
18

2015 menujukkan bahwa prevalensi NAFLD pasien diabetes melitus secara


umum mencapai 49,2%. Dalam penelitian tersebut juga diadapatkan bahwa
pasien NAFLD berhubungan dengan obesitas sentral dan tidak berhubungan
dengan obesitas umum yang dinilai dengan indeks massa tubuh. Hal tersebut
semakin memperkuat hubungan antara NAFLD dengan sindrom metabolik.48
Studi lain menunjukkan steatosis bisa ditemukan pada 72,8% pasien DM, dengan
jenis kelamin perempuan, IMT yang tinggi, trigliserida yang tinggi, gula darah
puasa yang tinggi, ALT yang tinggi, dan tidak menggunakan insulin sebagai
faktor-faktor yang meningkatkan risiko steastosis tersebut.49 Pengaruh jenis
kelamin dibantah oleh studi lain yang menyatakan justru pria memiliki faktor
risiko NAFLD yang lebihh tinggi, karena pria memiliki kadar trigliserida rata-
rata yang lebih tinggi dari wanita.35 Sebuah studi yang dikerjakan oleh Leite pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa kadar trigliserida yang tinggi, ALT yang tinggi,
IMT yang tinggi, dan adanya obesitas adalah faktor-faktor yang memengaruhi
kejadian NAFLD pada populasi DM.8 Dalam konteks dislipidemia, kadar
trigliserida yang tinggi dan HDL yang rendah tampaknya merupakan komponen
dislipidemia yang paling berhubungan dengan NAFLD. Data yang ada
menunjukkan prevalensi hipertrigliseridemia sebanyak 64% dan HDL rendah
pada 30-42% pasien NAFLD.38 Telaah lain oleh Seto et al menunjukan bahwa
pada populasi diabetes melitus Asia, risiko NAFLD meningkat seiring usia,
obesitas, dan tidak terkontrolnya gula darah.14
Eratnya hubungan tersebut diduga merupakan penyebab meningkatnya
prevalensi NAFLD pada dekade-dekade belakangan ini. Perubahan gaya hidup
masyarakat urban umum yang kurang memperhatikan kecukupan aktivitas fisik
dan pola makan pada akhirnya meningkatkan prevalensi sindrom metabolik dan
meningkatkan prevalensi NAFLD.42 Sementara itu NAFLD sendiri merupakan
faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. Sebuah studi yang
menilai lebih dari 2000 pasien dengan DM tipe 2 menunjukkan bahwa pasien
dengan NAFLD memiliki risiko penyakit kardiovaskular 2 kali lebih tinggi dari
pasien yang tidak memiliki NAFLD. Efek tersebut tampaknya terlepas dari
variabel lain, usia, merokok, kadar HbA1C, kadar Low-Density Lipoprotein
(LDL), dan lama diabetes.50 Peranan sindrom metabolik dalam kejadian NAFLD
juga dapat dilihat dari adanya perbaikan NAFLD pada pasien-pasien yang

Universitas Indonesia
19

mendapat terapi medikamentosa untuk sindrom metabolik. Beberapa studi


berhasil menujukan adanya perbaikan histologis pada pasien NAFLD yang
mendapat metformin, salah satu obat yang diketahui mampu memperbaiki
resistensi insulin.51 Sementara studi lain menunjukkan bahwa metformin tidak
memiliki efek pada perbaikan histopatologis NAFLD namun memiliki efek
terhadap perbaikan biokimia hati.52 Untuk golongan thiazolidindion,
rosiglitazone dan pioglitazone adalah 2 obat yang cukup sering diteliti. Sebuah
trial besar (The Fatty Liver Improvement with Rosiglitazone Therapy-FLIRT
Trial) pada tahun 2008 mencoba membandingkan pemberian rosiglitazone 4 mg
per hari untuk 1 bulan pertama dan 8 mg per hari untuk seterusnya sampai 1
tahun dengan kontrol. Pasien yang mendapatkan rosiglitazone ternyata
mengalami perbaikan steatosis secara histologis yang lebih baik dari kontrol
(47% vs 16%, p=0.014). Hasil yang sama didapatkan untuk parameter
normalisasi ALT (38% vs 7%, p=0.05).53 Beberapa studi kecil untuk menilai
efektivitas pioglitazone menyimpulkan bahwa obat tersebut cukup efektif dalam
memperbaiki resistensi insulin, parameter histologis, dan biokimia pasien
NASH.54
Peran sindrom metabolik dalam tingkat keparahan fibrosis pasien dengan
NAFLD masih belum banyak diteliti, namun sebuah studi yang melibatkan 1918
pasien DM menunjukkan bahwa peningkatan derajat fibrosis (diukur dengan
elastografi transien) dapat ditemukan pada 17,7% pasien. Sebanyak 94 pasien
menjalani biopsi hati (80%-nya mengalami peningkatan derajat fibrosis) dan
didapat bahwa 50% pasien berada pada derajat fibrosis F3-F4. Lama diabetes,
IMT yang lebih tinggi, peningkatan ALT, peningkatan albuminuria, dan
rendahnya kadar LDL diketahui berhubungan dengan derajat fibrosis tersebut.49
Data lain dari India menunjukkan bahwa jenis kelamin wanita, peningkatan kadar
fosfatase alkali, peningkatan kadar kolesterol total, dan peningkatan kadar LDL
merupakan prediktor independen perburukan derajat fibrosis pada pasien dengan
NAFLD.55 Sebuah analisis meta merangkum bahwa adanya sindrom metabolik
terbukti meningkatkan risiko fibrosis berat (Odd Ratio (OR), 3,5; 95% CI, 1,1-
11,2; P =0,032). Dari komponen sindrom metabolik, adanya DM dan IMT yang
tinggi terutama berhubungan dengan progresifitas fibrosis pada pasien NAFLD.56
Telaah lain menyatakan bahwa derajat fibrosis pada NAFLD dapat diprediksi

Universitas Indonesia
20

dengan sistem skor yang menyertakan parameter usia, IMT, gangguan toleransi
glukosa, rasio AST/ALT, kadar trombosit, dan kadar albumin. Meskipun begitu
skor ini masih harus divalidasi pada skala yang lebih luas.57
Hubungan antara NAFLD dengan diabetes dan sindrom metabolik lainnya
dapat dijelaskan lewat pendekatan patofisiologi kedua kondisi tersebut yang
hampir serupa. Pasien dengan diabetes dan sindrom metabolik seringkali diawali
dengan peningkatan massa lemak tubuh, terutama lemak viseral. Menurunnya
kerja insulin akibat resistensi insulin di reseptor sel-sel adiposit akan
menyebabkan tidak adanya inhibisi lipolisis. Akibatnya akan terjadi peningkatan
kadar asam lemak bebas darah dari proses lipolisis. Asam lemak bebas
tersebutakan ditangkap oleh hati dan diubah menjadi trigliserida. Peningkatan
trigliserida yang disertai penurunan kemampuan oksidasi lemak oleh hati (juga
disebabkan resistensi insulin) akan menimbulkan penumpukan lemak di hati.
Peningkatan glukosa pada kondisi diabetes melitus juga semakin menyediakan
substrat sebagai bahan dasar pembentukan trigliserida. Gangguan sekresi Very
Low Density Lipoprotein (VLDL) yang juga merupakan efek resistensi insulin
akan semakin memperparah penumpukan lemak di hati. Penumpukan lemak di
hati tersebut merupakan langkah pertama dalam patofisiologi NAFLD dan NASH
yang telah dijelaskan di atas.42
Hubungan antara NAFLD dan DM terbukti berjalan timbal balik. Pada
satu studi observasi 11 tahun, insidensi diabetes baru lebih tinggi pada kelompok
pasien yang sudah mengalami NAFLD. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
kesamaan patofisiologi tersebut, selain juga pentingnya peran hati dalam proses
regulasi gula darah.58 DM, seperti obesitas, tampaknya juga merupakan faktor
risiko independen untuk terjadinya KHS. Sebuah studi oleh El-Serag pada
populasi Barat menunjukkan peningkatan insidensi KHS pada kelompok pasien
dengan diabetes melitus (incidence rate 2,39 vs 0,87 per 10.000 orang-tahun,
p<0,05). Pasien dengan diabetes dianggap 2,16 kali lebih berisiko terjangkit KHS
daripada populasi normal.59 Kombinasi antara DM dan obesitas meningkatkan
risiko KHS bahkan lebih jauh lagi. Sebuah studi pada populasi pasien hepatitis B
dan hepatitis C kronik menunjukkan bahwa obesitas dan diabetes masing-masing
meningkatkan risiko KHS sebesar 3,5 kali dari populasi normal. Namun
kombinasi keduanya akan meningkatkan risiko KHS sampai 11,8 kali.60

Universitas Indonesia
21

2.5. Kerangka Teori

Resistensi Insulin

Obesitas Trigliserida Hipertensi Diabetes


Melitus
Usia Jaringan
HDL
Adiposit Lama DM

Kolesterol
intrahepatik

Keterangan:
Inflamasi = jalur yang
diaktifkan
= topik utama
penelitian

Gambar 2.3. Kerangka Teori

Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat dari gambar di bawah ini:

Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
- Usia
- Lama diabetes Kejadian
- Indeks massa tubuh
NAFLD pada
- Lingkar pinggang
- HbA1C DM tipe 2
- HDL
- Trigliserida

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Identifikasi Variabel


Variabel Terikat : Prevalensi NAFLD
Variabel Bebas : usia, lama diabetes, indeks massa tubuh, lingkar
pinggang, kadar HbA1C, HDL, dan trigliserida

22
Universitas Indonesia
23

3.3. Definisi Operasional


Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa istilah:

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Pengelompokan Jenis


Pengukuran Variabel
1 NAFLD Perlemakan pada hati Ultrasonografi Ada NAFLD dan tidak Nominal
yang ditunjukkan oleh dengan alat ada NAFLD
peningatan ekogenisitas USG GE
hati bila dibandingkan Healthcare
parenkim ginjal pada Logiq P6
pemeriksaan
untrasonografi
2 Profil Pembagian derajat elastografi Ringan-sedang: F0-F2 Ordinal
Derajat penumpukan jaringan transien (nilai transien
Fibrosis ikat di hati dengan alat elastografi <9,6 kPa)
Echosens Berat: F3-F4 (nilai
Fibroscan 502 transien elastografi
Touch 9,6 kPa)
3 Usia Usia pasien saat Anamnesis <40 tahun atau 40 Nominal
pemeriksaan tahun
4 Lama Jangka waktu dari sejak Anamnesis <5 tahun atau 5 tahun Nominal
diabetes awal pasien terdiagnosis
diabetes sampai saat
penelitian
5 Indeks Pembagian berat badan Antropometri <25 kg/m2 atau 25 Nominal
2
massa dalam kilogram dengan kg/m
tubuh kuadrat tinggi badan
dalam meter
6 Lingkar Diameter pinggang yang Pemeriksaan <90 cm atau 90 cm Nominal
pinggang diukur melewati fisik untuk pria dan <80 cm
umbilikus dan kedua atau 80 cm untuk
spina iliaca superior wanita
7 HbA1C Kadar HbA1C dalam Pemeriksaan <7,0 atau 7,0 Nominal
serum pasien yang laboratorium
diperiksa minimal dalam
3 bulan sebelum data

Universitas Indonesia
24

diambil
8 HDL Kadar HDL dalam serum Pemeriksaan 40 mg/dL untuk pria Nominal
pasien yang diperiksa laboratorium dan 50 mg/dL untuk
minimal dalam 3 bulan wanita tanpa terapi
sebelum data diambil medikamentosa atau di
<40 mg/dL untuk pria
dan <50 mg/dL untuk
wanita dengan atau
tanpa terapi
medikamentosa*
9 Trigliserida Kadar trigliserida dalam Pemeriksaan <150 mg/dL tanpa Nominal
serum pasien yang laboratorium terapi medikamentosa
diperiksa minimal dalam atau 150
3 bulan sebelum data mg/dLdengan atau
diambil tanpa terapi
medikamentosa*
*Terapi medikamentosa yang dimaksud mencakup obat golongan statin atau fibrat

Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini bersifat analitik observasional dan menggunakan desain potong
lintang untuk melihat prevalensi dan Prevalensi dan Profil Fibrosis Pasien Non-
Alcoholic Fatty Liver Disease pada Diabetes Mellitus dan Faktor-faktor yang
Berhubungan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian sudah dilaksanakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
pada bulan Oktober 2016 sampai dengan Januari 2017.

4.3.Populasi Studi
4.3.1. Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2
dewasa.

4.3.2. Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2
dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Oktober 2016 sampai dengan Januari 2017.

4.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel


Sampel adalah subyek penelitian yang merupakan bagian dari populasi
terjangkau yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dipilih
secara acak menggunakan metode consecutive sampling.

4.5. Besar sampel


Besar sampel minimal untuk mengukur prevalensi NAFLD pada pasien DM bisa
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

25
Universitas Indonesia
26

n= Z2x PQ
d2
catatan:
n = besar sampel
Z= 1.96 ( = 5%; hipotesis dua arah)
P = proporsi menurut literatur 0,691
Q = 1-P 0,31
d = tingkat presisi absolut 0,1

Perhitungan dengan rumus tersebut akan menghasilkan:


n = (1,96)2 x (0,69 x 0,31) 83
(0,1)2

Besar sampel minimal untuk mengukur proporsi fibrosis berat pada pasien
diabetes tipe 2 dengan NAFLD bisa dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
n= Z2x PQ
d2
catatan:
n = besar sampel
Z= 1.96 ( = 5%; hipotesis dua arah)
P = proporsi menurut literatur 0,20435
Q = 1-P 0,796
d = tingkat presisi absolut 0,1

Perhitungan dengan rumus tersebut akan menghasilkan:


n = (1,96)2 x (0,204 x 0,796) 63
(0,1)2

Besar sampel minimal untuk menguji faktor-faktor yang berhubungan dengan


kejadian NAFLD bisa dihitung dengan menggunakan rumus uji beda 2 proporsi
satu sisi berikut:

Universitas Indonesia
27

n = (Z2P(1-P) + ZP1(1-P1)+(P2(1-P2))2
(P1-P2)2
Catatan:
n = besar sampel tiap kelompok
Z= 1.64 ( = 5%; hipotesis satu arah)
Z= 0.84 ( = 20%; hipotesis satu arah)
P1 = proporsi faktor risiko pada populasi NAFLD menurut literatur atau
penilaian klinis
P2 = proporsi faktor risiko pada populasi bukan NAFLD menurut literatur atau
penilaian klinis
P = (P1+P2)/2 0,231

Perhitungan untuk tiap faktor risiko dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1. Perhitungan Besar Sampel untuk Tiap Variabel Bebas

Variabel P1 P2 Besar sampel 1 Besar sampel total


kelompok
IMT 25 0,35 0,15 72 144
HbA1C 7,0 0,48 0,25 68 136
HDL<40 (pria) 0,42 0,21 76 152
HDL<50 (wanita)
Trigliserida 150 0,64 0,30 33 66
Lingkar pinggang 90 0,5 0,16 29 58
(pria) dan 80 (wanita)
Lama diabetes (5 0,48 0,25 68 136
tahun)
Usia 40 tahun 0,28 0,10 73 146

Berdasarkan perhitungan untuk tiap faktor risiko di atas, besar sampel minimal
untuk penelitian ini adalah 152 orang.

Universitas Indonesia
28

4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.6.1. Kriteria Inklusi
Karakteristik umum yang perlu dipenuhi oleh sampel adalah:
1. Pasien dengan diabetes melitus tipe 2.
2. Pasien dapat dilakukan anamnesis.
3. Pasien memberikan persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini.

4.6.2. Kriteria Eksklusi


Pasien akan tidak dimasukkan ke dalam penelitian apabila:
1. Pasien memiliki kondisi lain yang dapat menyebabkan penyakit hati
kronik, seperti hepatitis B, atau hepatitis C
2. Pasien sedang mengonsumsi obat-obatan hepatoprotektor dalam 1
bulan terakhir
3. Pasien rutin mengonsumsi alkohol

4.6.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Khusus Profil Fibrosis

Khusus untuk masalah profil fibrosis, kriteria inklusi adalah pasien NAFLD pada
penelitian sebelumnya, sementara pasien dieksklusikan bila elastografi transien
tidak bisa dikerjakan pada pasien.

4.7. Persetujuan Penelitian


Seluruh sampel yang masuk dalam penelitian ini telah diberikan penjelasan
sebelumnya mengenai tujuan, prosedur yang akan dijalani, dan komplikasi yang
mungkin terjadi pada penelitian ini. Sampel hanya dapat berpartisipasi apabila
telah memberikan persetujuan secara tertulis.

Universitas Indonesia
29

4.8. Alur Penelitian

Gambar 4.1. Alur Penelitian

4.9. Rencana Kerja Penelitian


1. Consecutive sampling dilakukan di antara populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi
2. Pasien yang telah memberikan persetujuannya kemudian dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan. Data yang dikumpulkan dari anamnesis
mencakup usia, lama diabetes, dan jenis obat diabetes melitus dan
kolesterol yang diminum. Dari pemeriksaan fisik didapatkan indeks
massa tubuh, dan lingkar pinggang. Pemeriksaan darah dilakukan
untuk menilai kadar HDL, trigliserida, HbA1C, HBsAg, dan anti-
HCV apabila data-data tersebut belum pernah diperiksa dalam 1 bulan
terakhir. Data pemeriksaan penunjang dalam kurun waktu 1 bulan
terakhir bisa dicatat dari rekam medis.

Universitas Indonesia
30

3. Pasien kemudian dikirim ke ruang prosedur hepatologi untuk


dilakukan ultrasonografi.
4. Hasil pemeriksaan ultrasonografi dibaca oleh satu ahli penyakit hati
yang buta mengenai karakteristik pasien. Dari pembacaan ini akan
diputuskan apakah pasien mengalami NAFLD atau tidak.
5. Hasil data penelitian yang didapatkan dianalisis secara statistik untuk
dinilai hubungannya dengan kejadian NAFLD.
6. Pasien yang mengalami NAFLD dikirim ke ruang prosedur hepatologi
untuk pemeriksaan elastografi transien.
7. Hasil pemeriksaan elastografi transien dikelompokan menjadi fibrosis
ringan sedang dan fibrosis berat.

4.10. Rencana Analisis dan Pengolahan Data


Data dari hasil penelitian kemudian direkam dan diolah menggunakkan bantuan
SPSS for Windows v13.0. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.
Analisis data dilakukan dengan cara :
1. Prevalensi pasien NAFLD pada populasi diabetes melitus tipe 2 dimasukkan
ke dalam SPSS dan ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan
diagram.
2. Sampel yang didapat akan dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya NAFLD
sebagai variabel terikat. Sampel juga adakan dikelompokkan berdasarkan
usia, lama diabetes, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, kadar HbA1C,
HDL, dan trigliserida sebagai variabel bebas. Semua variabel lalu
dimasukkan ke dalam SPSS dan diolah dengan metode Chi Square atau
Fischers-Exact test untuk analisis univariat. Analisis multivariat dikerjakan
dengan metode regresi logistik dengan mengikutsertakan variabel-variabel
yang pada uji univariat memiliki nilai kemaknaan di bawah 0,25. Keluaran
yang didapat ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram.
3. Kelompok pasien NAFLD yang menjalani elastografi transien lalu
dikelompokan dengan pasien berdasarkan derajat fibrosis ke dalam kategori
fibrosis ringan (F0-F2) dan fibrosis berat (F3 dan F4). Data karakteristik
pasien kelompok ini berdasarkan derajat fibrosisnya akan ditampilkan secara
deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram.

Universitas Indonesia
31

4.11. Pelaporan Hasil Penelitian


Hasil penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian (laporan tesis)
dan artikel jurnal yang dipublikasikan pada jurnal kedokteran nasional atau
internasional. Hasil penelitian ini juga direncanakan untuk dipresentasikan dalam
forum ilmiah ilmu penyakit dalam yang terkait.

Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Perekrutan Subjek


Subjek penelitian adalah adalah pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa yang
berobat di poliklinik endokrin metabolik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Pengambilan sampel dilakukan sejak tanggal 15 November 2016
sampai dengan 21 Januari 2017. Dari proses ini didapatkan 191 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Semua pasien
menjalani proses anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
ultrasonografi. Pasien yang terbukti mengalami NAFLD lalu menjalani
pemeriksaan elastografi transien. Sebanyak 5 pasien tidak melengkapi
keseluruhan pemeriksaan atau memiliki HBsAg atau anti HCV positif sehingga
pada akhirnya sebanyak 186 pasien diikutsertakan dalam pengolahan data untuk
penelitian ini. Dari total 84 pasien yang terbukti mengalami NAFLD, sebanyak
16 pasien tidak bisa menjalani pemeriksaan elastografi transien karena masalah
teknis alat. Keseluruhan proses ini dapat dilihat pada gambar 6.1.

Pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa


(n=191)

Anamnesis, pemeriksaan fisik, Kelengkapan kurang atau tereksklusi


pemeriksaan laboratorium, dan USG (n=5)

Subjek penelitian
(n=186)

Tidak NAFLD NAFLD


(n=102) (n=84)

Tidak berhasil dikerjakan


Elastografi transien elastografi transien
(n=16)

Berhasil dikerjakan elastografi transien


(n=68)

F0-F2 F3-F4
(n=51) (n=17)

Gambar 6.1. Proses Perekrutan Subjek Penelitian

32
Universitas Indonesia
33

5.2. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian


Pada penelitian ini sebanyak 186 pasien dengan diabetes melitus tipe 2
dimasukan dalam analisis. Karakteristik dasar seluruh subjek penelitian dapat
dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Karakteristik dasar Subjek Penelitian

Variabel Total
NAFLD
Ya 84 (45,2)
Tidak 102 (54,8)
Jenis Kelamin
Laki-laki (%) 82 (44,1)
Perempuan (%) 104 (55,9)
Usia, median dalam tahun (min-max) 58,5 (23-77)
<40 12 (6,5)
40 174 (93,5)
IMT, median dalam kg/m2 (min-max) 25,65 (17,97-40,00)
<25 82 (44,1)
25 104 (55,9)
Lingkar Pinggang, median dalam cm (min-max) 94 (68-125)
Normal 31 (16,7)
Meningkat 155 (83,3)
Pria 95,5 (68-125)
Normal 25 (30,5)
Meningkat 57 (69,5)
Wanita 93 (73-120)
Normal 6 (5,8)
Meningkat 98 (94,2)
Lama DM, median dalam bulan (min-max) 96 (1-360)
<5 tahun 72 (38,7)
5 tahun 114 (61,3)
HDL, median dalam mg/dL (min-max) 47 (8-91)
Normal 29 (15,6)
Rendah 157 (84,4)
Pria 44 (25-74)
Normal 16 (19,5)
Meningkat 66 (80,5)
Wanita 51 (8-91)
Normal 13 (12,5)
Meningkat 91 (87,5)
Trigliserida, median dalam mg/dL (min-max) 126 (38-1114)
Normal 31 (16,7)
Tinggi 155 (83,3)
HbA1C, median dalam % (min-max) 7,45 (4,9-13,2)
<7,0 64 (34,4)
7,0 122 (65,6)
Derajat Fibrosis (Pada Pasien NAFLD)
F0-F2 (Ringan) 51 (75,0)
F3-F4 (Berat) 17 (25,0)

Universitas Indonesia
34

Sebaran data untuk semua variabel dalam penelitian ini terdistribusi tidak normal
berdasarkan uji kenormalan, maka median dengan angka minimal dan maksimal
digunakan dalam pemaparan karakteristik dasar. Sebagian besar subjek dalam
penelitian ini berusia di atas 40 tahun, dengan median usia 59 tahun. Proporsi
pasien wanita dengan pria cukup berimbang pada penelitian ini. Sebagian besar
pasien memiliki lama diabetes melitus di atas 5 tahun, dengan median 96 bulan.
Hal yang cukup menarik dari data karakteristik dasar ini meskipun data IMT
menunjukkan hasil yang cukup seimbang antara proporsi pasien yang obes dan
tidak obes, data lingkar pinggang menunjukkan bahwa proporsi pasien yang
mengalami obesitas sentral ternyata cukup tinggi (83,3%). Rerata lingkar
pinggang pasien pada penelitian ini juga cukup tinggi (94 cm).
Sebagian besar pasien juga memiliki kadar trigliserida yang tinggi
(83,3%) dan HDL yang rendah (84,4%) atau menggunakan terapi medikamentosa
untuk menjaga kedua parameter ini. Hal ini cukup sesuai dengan gambaran
pasien diabetes melitus yang cenderung memiliki masalah sindrom metabolik
lainnya. Data HbA1C menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar pasien
sudah menderita diabetes melitus dalam waktu yang lama, kendali gula darah
untuk penyakit ini masih belum tercapai dengan baik. Hanya 34,4% pasien yang
memiliki kadar HbA1C di bawah 7,0% (rata-rata 7,45%).
Sebanyak 84 (45,2%) pasien dalam studi kami terbukti mengalami
NAFLD. Sementara dari semua pasien yang menjalani elastografi transien, 17
pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis berat.

5.3. Analisis Perbandingan Karakteristik Pasien DM Dengan atau tanpa


NAFLD
Hasil pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa prevalensi NAFLD pada
penelitian ini mencapai 45,2%. Analisis univariat menunjukan bahwa tidak
terdapat hubungan bermakna antara usia, lama DM, kadar HDL, kadar
trigliserida, dan kadar HbA1C pasien yang menderita NAFLD dengan yang tidak
menderita NAFLD. Hubungan yang bermakna hanya ditemukan untuk variabel
IMT (PR=1,878; 95% CI= 1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar pinggang
(PR=2,368; 95% CI= 1,117-5,017; p=0,018). Hasil lengkap uji univariat

Universitas Indonesia
35

mengenai faktor-faktor yang berubungan dengan kejadian NAFLD pada


penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Analisis Univariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian NAFLD

Variabel Tidak NAFLD NAFLD PR 95% Confidence Interval Nilai p


Usia 1,647 0,514-5,280 0,395
<40 8 (7,8) 4 (4,8)
40 94 (92,2) 80 (95,2)
IMT 1,878 1,296-2,721 <0,001
<25 57 (55,9) 25 (29,8)
25 45 (44,1) 59 (70,2)
Lingkar Pinggang 2,368 1,117-5,017 0,018
Normal 23 (22,5) 8 (9,5)
Meningkat 79 (77,5) 76 (90,5)
Lama DM 0,737 0,513-1,058 0,097
<5 tahun 34 (33,3) 38 (45,2)
5 tahun 68 (66,7) 46 (54,8)
HDL 1,830 0,880-3,804 0,096
Normal 20 (19,6) 9 (80,4)
Rendah 82 (10,7) 75 (89,3)
Trigliserida 1,304 0,672-2,529 0,429
Normal 19 (18,6) 12 (14,3)
Tinggi 83 (81,4) 72 (85,7)
HbA1C 1,285 0,852-1,937 0,226
<7,0 39 (38,2) 25 (29,8)
7,0 63 (61,8) 59 (70,2)

5.4. Analisis Multivariat Tambahan Perbandingan Karakteristik Pasien DM


Dengan atau tanpa NAFLD
Analisis multivariat dikerjakan untuk menilai variabel yang memiliki hubungan
terkuat dengan kejadian NAFLD. Analisis multivariat ini dikerjakan dengan
metode regresi logistik berdasarkan hasil analisis univariat. Variabel yang
dimasukan dalam analisis adalah variabel-variabel yang memiliki nilai
kemaknaan di bawah 0,25 pada analisis univariat, yaitu IMT, lingkar pinggang,
lama DM, HDL, dan HbA1C. Pada setiap langkah, variabel yang memiliki
tingkat kemaknaan paling tidak signifikan akan dieksklusikan sampai didapat
variabel yang signifikan, terlepas dari pengaruh variabel-variabel lain. Langkah-
langkah pengolahan regresi logistik ini dapat dilihat pada tabel 5.3.

Universitas Indonesia
36

Tabel 5.3. Regresi Logistik Faktor-faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian NAFLD

Variabel Signifikansi (p) Odd Ratio (OR) 95%confidence interval


IMT <0,001 2,989 1,625-5,499

Hasil yang didapat dari analisis multivariat menunjukkan bahwa IMT merupakan
satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian NAFLD pada pasien
diabetes melitus dengan odd ratio (OR) 2,989 dan 95% confidence interval
1,625-5,499. Hasil ini bersifat independen terhadap pengaruh variabel-variabel
lainnya.

5.5. Profil Derajat Fibrosis pada Pasien Diabetes Melitus dengan NAFLD
Untuk menilai derajat fibrosis pada pasien DM dengan NAFLD, kami melakukan
elastografi transien pada pasien-pasien yang diketahui mengalami NAFLD pada
penelitian kami. Hasil yang didapat akan ditampilkan secara deskriptif dalam
bentuk tabel. Sebanyak 16 pasien tidak bisa menjalani pemeriksaan elastografi
transien sehingga total pasien yang dievaluasi adalah 68 pasien. Hal ini terutama
disebabkan ketidakberhasilan pengambilan data meskipun pemeriksaan sudah
dikerjakan menggunakan probe XL. Hasil nilai ALT dan AST yang di atas 5 kali
nilai normal bisa merancukan hasil pemeriksaan elastografi transien, namun pada
penelitian ini, tidak ada subjek dengan nilai AST dan ALT setinggi itu. Dari
semua pasien NAFLD yang menjalani pemeriksaan elastografi transien, sebanyak
17 orang (25,0%) berada pada kondisi fibrosis berat, sementara 51 orang (75,0%)
mengalami fibrosis ringan atau tidak mengalami fibrosis sama sekali. Gambaran
karakteristik pasien berdasarkan derajat fibrosisnya dapat ditemukan pada tabel
5.4.

Universitas Indonesia
37

Tabel 5.4. Profil Karakteristik Pasien NAFLD Berdasarkan Derajat Fibrosis

Variabel F0-F2 (ringan sedang) F3-F4 (berat)


Jenis Kelamin
Pria, n (%) 18 (35,5) 8 (47,1)
Wanita, n (%) 33 (64,7) 9 (52,9)
Usia, mean dalam tahun (SD) 55,88 (9,93) 57,29 (8,93)
<40, n (%) 4 (7,8) 0 (0)
40, n (%) 47 (92,2) 17 (100)
IMT, mean dalam kg/m2 (SD) 28,60 (4,35) 27,75 (4,42)
<25, n (%) 13 (25,5) 5 (29,4)
25, n (%) 38 (74,5) 12 (70,6)
Lingkar Pinggang, mean dalam cm (SD) 98,96 (9,80) 98,06 (10,02)
Normal, n (%) 3 (5,9) 3 (17,6)
Meningkat, n (%) 48 (94,1) 14 (82,4)
Lama DM, median dalam tahun (min-max) 72 (1-240) 108 (12-240)
<5 tahun, n (%) 25 (49,0) 6 (35,3)
5 tahun, n (%) 26 (51,0) 11 (64,7)
HDL, mean dalam mg/dL (SD) 46,53 (8,71) 47,13 (15,84)
Normal, n (%) 4 (7,8) 2 (11,8)
Rendah, n (%) 47 (92,2) 15 (88,2)
Trigliserida, median dalam mg/dL (min-max) 153 (75-692) 147 (93-377)
Normal, n (%) 6 (11,8) 3 (17,6)
Tinggi, n (%) 45 (88,2) 14 (82,4)
HbA1C, median dalam % (min-max) 7,8 (5,2-13,2) 7,5 (5,6-12,2)
<7,0, n (%) 18 (35,3) 2 (11,8)
7,0, n (%) 33 (64,7) 15 (88,2)

Universitas Indonesia
BAB 6
DISKUSI

6.1. Prevalensi NAFLD pada Populasi Diabetes Melitus Tipe 2


Dugaan keterkaitan NAFLD dengan resistensi insulin telah memunculkan
gagasan bahwa prevalensi NAFLD pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2
tentu akan lebih tinggi daripada populasi normal. Studi kali ini mendapatkan
angka prevalensi NAFLD pada populasi diabetes melitus tipe 2 setinggi 45,2%.
Angka ini memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka prevalensi
NAFLD pada populasi umum 17-46%.10, 11, 25 Apabila dikaitkan dengan populasi
Indonesia, studi dari Hasan et al telah membuktikan bahwa prevalensi NAFLD
pada populasi umum di Depok pada tahun 2002 mencapai 30%.3 Meskipun
begitu, angka ini lebih rendah dari yang didapat oleh Lesmana et al yang
mendapatkan prevalensi NAFLD setinggi 51% pada populasi umum Indonesia
yang akan menajalani pemeriksaan kesehatan rutin.15 Hasil yang kami dapat ini
juga cenderung mirip dengan hasil studi lain pada populasi pasien diabetes
melitus tipe 2. Data dari populasi Barat menujukkan bahwa prevalensi NAFLD
pada pasien diabetes melitus bisa mencapai 69%.1 Namun data dari Malaysia
memberikan angka yang lebih dekat dengan hasil penelitian kami, yaitu 49,2%.48
Data lain dari Nigeria menunjukkan prevalensi NAFLD yang hanya mencapai
16,7% pada pasien diabetes melitus. Namun angka ini sudah meningkat secara
signifikan bila dibandingkan prevalensi pada populasi non-diabetes melitus yang
hanya mencapai 1,2%.61 Perbedaan latar belakang subjek penelitian diduga
memengaruhi perbedaan hasil kami dengan studi ini. NAFLD diketahui
berhubungan dengan gaya hidup kurang aktivitas fisik yang terutama ditemukan
pada negara-negara maju. Pemikiran ini sesuai dengan hasil prvalensi NAFLD
yang tinggi pada negara Barat dan rendah di Afrika. Hal ini didukung hasil studi
yang menyatakan bahwa bahkan pola prevalensi NAFLD di Asia juga mengikuti
pola penyebaran obesitas, yang berhubungan dengan kondisi sosisoekonomik
daerah tersebut.13 Hal ini semakin menegaskan pentingnya penelitian pada
populasi Indonesia.

38
Universitas Indonesia
39

6.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian NAFLD pada


Populasi Diabetes Melitus
Karakteristik pasien NAFLD pada penelitian ini kurang lebih serupa dengan yang
didapat dari penelitian-penelitian lain. Populasi pada penelitian ini sedikit lebih
didominasi jenis kelamin perempuan (55,9% vs 44,1% pada seluruh populasi dan
56,0% vs 44,0% pada populasi NAFLD). Dua studi mengenai NAFLD di
Indonesia menyatakan bahwa NAFLD lebih banyak diderita oleh pria, dengan
studi oleh Hasan mendapatkan angka 65% proporsi pria pada pasien NAFLD dan
Lesmana mendapatkan proporsi pria 68,3%.3, 15 Meskipun begitu, pengaruh jenis
kelamin terhadap kejadian NAFLD tampaknya bervariasi dari setiap penelitian.
Studi dari Nigeria menunjukkan bahwa proporsi pria hanya 35,1% dari populasi
NAFLD, sementara studi lain dari Tiongkok mendapatkan proporsi laki-laki
43,5%.61, 62
Telaah terbaru terhadap pasien Asia memang menunjukan bahwa
proporsi NAFLD pada jenis kelamin laki-laki lebih besar daripada perempuan.14
Sesuai dengan studi oleh Hasan et al dan Lesamana et al, sebagian besar
pasien pada populasi kami juga berusia di atas 40 tahun (93,5%), dengan median
58,5 tahun.3, 15
Studi pada populasi umum oleh Lesmana et al menunjukkan
bahwa usia merupakan salah satu prediktor NAFLD.15 Telaah lain oleh Seto et al
juga menyatakan bahwa usia adalah salah satu faktor yang meningkatkan risiko
NAFLD pada populasi umum di Asia.14 Namun studi lain oleh Almobarak pada
pasien diabetes melitus menunjukkan bahwa usia tidak memiliki hubungan
dengan kejadian NAFLD.63 Hasil yang serupa juga ditemukan pada penelitian
kami, usia tidak berhubungan dengan kejadian NAFLD (p=0,335).
Baik pada populasi NAFLD maupun bukan NAFLD, sebagian besar
pasien penelitian kami memiliki lama DM di atas 5 tahun, namun tidak terdapat
perbedaan bermakna antara kedua kelompok ini. Hal ini menandakan proses
NAFLD tidak berkaitan dengan lama diagnosis DM. Literatur yang ada
menunjukkan bahwa proses NAFLD kemungkinan sudah terjadi sejak lama
sebelum DM terdiagnosis.45 Hal ini dapat menjelaskan mengapa variabel lama
DM tidak memengaruhi kejadian NAFLD. Hasil yang serupa juga didapat pada
penelitian oleh Almobarak et al yang menemukan tidak adanya hubungan
NAFLD dengan lama DM.63

Universitas Indonesia
40

Sebagian besar pasien dalam studi kami, baik yang mengalami NAFLD
maupun tidak, mengalami obesitas sentral. Namun tingkat kejadian obesitas
sentral ini lebih tinggi pada populasi NAFLD (90,5% pada NAFLD vs 77,5%
pada non-NAFLD, p=0,018). Namun pada analisis multivariat, obesitas sentral
ternyata tidak berhubungan dengan NAFLD. Sebaliknya, obesitas yang diukur
dengan parameter IMT lebih banyak ditemukan pada populasi NAFLD daripada
non-NAFLD yang tetap memiliki signifikansi bahkan pada uji multivariat (70,2%
vs 44,1%, OR 2,989; 95% CI 1,625-5,499; p<0,001). Hasil yang menunjukan
bahwa IMT pasien NAFLD lebih tinggi daripada pasien tanpa NAFLD ini sesuai
dengan data dari beberapa studi di luar negeri.8, 64 Studi oleh Trovato et al yang
melibatkan 532 pasien NAFLD dan 667 pasien kontrol berhasil menunjukan
adanya hubungan IMT yang tinggi dengan kejadian NAFLD (OR=9,861; 95%
CI= 7,546-12,861; p<0,001).64 Sementara penelitian oleh Wang et al berhasil
menunjukkan bahwa prevalensi NAFLD meningkat pada kelompok IMT yang
lebih tinggi (81,95 pada kelompok obes vs 0,4% pada kelompok gizi kurang).62
Seperti halnya obesitas sentral, sebagian besar pasien pada penelitian ini
memiliki parameter sindrom metabolik yang lain, terlepas dari apakah yang
bersangkutan menderita NAFLD atau tidak. Sebanyak 89,3% pasien NAFLD
memiliki kadar HDL yang terganggu, sebanding dengan jumlah 80,4% pada
populasi tidak NAFLD (p=0,096). Sebagian besar pasien diabetes melitus dengan
NAFLD juga memiliki kadar trigliserida yang tinggi, namun sebanding dengan
pasien yang tidak mengalami NAFLD (85,7% vs 81,4%, p=0,429). Proporsi
pasien yang memiliki kadar HbA1C di atas 7,0% lebih tinggi pada populasi
NAFLD daripada tidak NAFLD, namun perbedaan ini tidak signifikan secara
statistik (70,2% vs 61,8%, p=0,226). Studi oleh Amirkalali et al menunjukan
bahwa seperti studi kami, adanya sindrom metabolik (termasuk obesitas sentral,
hipertrigliseridemia, HDL yang rendah, dan gangguan toleransi glukosa)
merupakan prediktor NAFLD yang kuat (OR: 4,328; 95%CI=3,08-4,92).65 Studi
oleh Lesmana et al juga menunjukan bahwa IMT >25, HDL yang rendah,
hipertrigliseridemia, merupakan prediktor NAFLD pada populasi umum.15 Data
dari studi lain oleh Trovato et al dan Yang et al juga menunjukan bahwa
parameter resistensi insulin dan sindrom metabolik yang tinggi berhubungan
dengan kejadian NAFLD.64, 66

Universitas Indonesia
41

Sebuah studi yang serupa pernah dikerjakan pada tahun 2008 oleh Leite et
al. Sejalan dengan hasil yang kami dapat, studi ini juga menujukkan bahwa baik
kendali gula darah dan HDL tidak berhubungan dengan peningkatan risiko
NAFLD pada pasien diabetes melitus. Kadar trigliserida (OR= 3,7-4,1; 95% CI=
1,2-13,3) dan obesitas sentral (OR= 4,8; 95% CI= 1,9-12,2) memang
berhubungan dengan kejadian NAFLD, namun indikator NAFLD yang paling
kuat pada studi ini adalah IMT (OR= 7,1; 95% CI= 3,0-17,0).8 Temuan ini sesuai
dengan studi kami yang juga menemukan bahwa IMT merupakan prediktor
terkuat NAFLD pada populasi diabetes melitus tipe 2.
Studi pada populasi Sudan oleh Almobarak et al menemukan bahwa pada
populasi DM, usia dan kadar HbA1C tidak berhubungan dengan kejadian
NAFLD. Namun studi ini menunjukkan adanya hubungan antara kejadian
NAFLD dengan kadar HDL yang rendah, hipertrigliseridemia, obesitas sentral,
dan IMT yang tinggi.63 Data lain pada populasi diabetes melitus Nigeria yang
dipublikasikan oleh Olusanya et al juga menunjukan adanya hubungan NAFLD
pada DM dengan obesitas sentral dan HDL yang rendah. Kedua hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian kami. Meskpiun begitu peneliti ini juga menemukan
bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar trigliserida dengan NAFLD.61 Studi
lain yang dikerjakan pada populasi Kaukasia dengan diabetes melitus di Polandia
oleh Trojak et al menemukan bahwa lingkar pinggang yang tinggi dan HDL yang
rendah merupakan prediktor NAFLD pada pasien diabetes melitus (p=0,007 dan
p=0,003 berurutan). Namun studi ini juga menemukan bahwa HbA1C dan
trigliserida tidak berhubungan denga kejadian NAFLD.67 Adanya perbedaan hasil
yang didapat kemungkinan berhubungan dengan perbedaan karakteristik populasi
penelitian, di mana studi oleh Almobarak dan Olusanya dikerjakan pada populasi
Afrika, sementara studi oleh Trojak dikerjakan di Eropa. Seperti yang telah
dijabarkan di atas, kejadian NAFLD sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial
dan ras populasi yang diteliti. Selain itu, hasil yang masih bertentangan ini
menunjukan bahwa masih banyak faktor yang belum diketahui yang mendasari
kejadian NAFLD pada pasien dengan diabetes melitus. Tampaknya faktor-faktor
ini tidak hanya berhubungan dengan parameter metabolik.
Hasil yang didapat pada penelitian kami menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara parameter sindrom metabolik yang umum, termasuk

Universitas Indonesia
42

obessitas sentral, kadar HbA1C, kadar HDL, dan kadar trigliserida dengan
kejadian NAFLD pada pasien diabetes melitus. Hal ini tentu bertentangan dengan
sebagian besar literatur yang menilai bahwa komponen-komponen tersebut
merupakan prediktor kuat terjadinya NAFLD.15, 65 Meskipun begitu, semua studi
sebelumnya lebih banyak melihat hubungan itu pada populasi umum, bukan pada
pasien dengan diabetes melitus. Apabila kita menilai secara deskriptif saja, hasil
yang didapat pada penelitian ini sebetulnya sejalan dengan apa yang dipaparkan
studi-studi sebelumnya, yaitu tingginya kejadian obesitas sentral, tingginya
kejadian dislipidemia, dan tingginya HbA1C yang tidak terkontrol pada pasien-
pasien NAFLD. Apabila dibandingkan dengan populasi normal, angka-angka ini
tentu akan memberikan perbedaan yang signifikan. Namun dalam studi ini kami
menemukan bahwa tingginya angka kejadian sindrom metabolik ini juga bisa
ditemukan pada pasien diabetes melitus yang tidak mengalami NAFLD. Panduan
dari American Diabetic Association menegaskan tingginya kejadian obesitas,
terutama obesitas sentral pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa.
Sementara HbA1C yang tinggi merupakan salah satu kriteria diagnosis pasien
diabetes melitus.68 Hal ini juga sesuai dengan hasil studi kami yang menemukan
tingginya proporsi pasien yang mengalami obesitas sentral (83,3%), bahkan pada
populasi bukan NAFLD, sementara proporsi pasien yang mengalami peningkatan
IMT tidak setinggi proporsi yang mengalami peningkatan lingkar pinggang. Hal
ini kemungkinan menyebabkan perbedaan yang signifikan pada parameter IMT
dan tidak signifikan pada parameter lingkar pinggang. Dari segi usia, pasien
diabetes tipe 2 juga lebih banyak ditemui pada populasi pasien yang lebih tua,
dengan rata-rata usia saat terdiagnosis 46 tahun.69 Sementara data dari Pakistan
yang dipublikasikan pada tahun 2016 menemukan bahwa dislipidemia dapat
ditemukan pada 97,18% pasien diabetes melitus laki-laki 87,15% pasien dibetes
melitus perempuan. Pola dislipidemia yang paling sering ditemukan antara lain
trigliserida yang tinggi dan HDL yang rendah.70 Kondisi ini sesuai dengan data
keseluruhan pasien diabetes melitus pada penelitian kami, baik pada pasien
NAFLD maupun tidak NAFLD. Hal ini tentu bisa dijelaskan lewat mekanisme
kerja kedua kondisi ini (NAFLD dan diabetes melitus) yang sama-sama
melibatkan resistensi insulin.42 Mekanisme yang menyebabkan gangguan
parameter metabolik pada populasi umum yang menderita NAFLD sudah

Universitas Indonesia
43

teraktivasi oleh diabetes melitus sehingga keberadaan NAFLD tidak


menunjukkan ciri yang berbeda pada populasi diabetes melitus ini. Kami
menemukan bahwa parameter metabolik yang pada populasi umum bisa
digunakan untuk menilai risiko NAFLD, tidak bisa dijadikan patokan pada
populasi diabetes melitus karena pasien diabetes melitus sendiri sudah memiliki
gangguan dalam parameter-parameter tersebut. Telaah literatur terbaru juga
menyatakan bahwa belum ada penelitian yang bisa menjelaskan hubungan sebab
akibat sindrom metabolik dengan NAFLD.71 Artinya walaupun pasien NAFLD
dan diabetes melitus tipe 2 memiliki kesamaan dalam tingginya parameter
sindrom metabolik, keberadaan keduanya belum tentu meningkatkan parameter
sindrom metabolik ini menjadi lebih tinggi lagi.
Sebuah telaah oleh Lomonaco et al menyatakan bahwa derajat steatosis
lebih berhubungan dengan derajat disfungsi dan resistensi insulin jaringan
adiposit daripada jumlah sel lemak itu sendiri. Data yang dipaparkan pada telaah
ini menunjukkan bahwa populasi dengan tebal lemak yang sama belum tentu
memiliki tingkat disfungsi dan resistensi insulin adiposit yang sama. Steatosis
ternyata lebih tinggi pada pasien dengan tingkat disfungsi yang lebih tinggi,
meskipun tidak terdapat perbedaan pada tebal lemak kedua kelompok.49
Sementara parameter yang digunakan dalam penelitian ini, seperti lingkar
pinggang, lebih menekankan pada jumlah lemak dan bukan disfungsi sel lemak.
Hal ini bisa menjadi penjelasan lain mengenai mengapa pada studi kami tidak
ditemukan perbedaan bermakna dalam parameter sindrom metabolik antara
populasi NAFLD dan bukan NAFLD.
Kemungkinan lain yang menjelaskan hasil penelitian kami yang tidak
menunjukan perbedaan signifikan parameter sindrom metabolik antara pasien
NAFLD dan bukan NAFLD adalah hipotesis bahwa NAFLD bukan merupakan
bagian dari sindrom metabolik. Meskipun belum popular, sebuah telaah dari
Lonardo et al yang dipublikasikan pada tahun 2015 mencoba membahas secara
detail mengenai konsep ini. Hampir semua studi klinis yang menilai bahwa
NAFLD dilandasi resistensi insulin bersifat studi potong lintang. Hal ini tentu
tidak bisa menjelaskan hubungan sebab akibat seperti yang diharapkan. Maka
hipotesis bahwa NAFLD kemungkinan justru merupakan prekursor sindrom
metabolik juga sama kuatnya dengan hipotesis NAFLD merupakan manifestasi

Universitas Indonesia
44

sindrom metabolik. Hipotesis ini sendiri didukung beberapa studi yang memang
masih sedikit. Lebih jauh lagi, telaah ini juga menyampaikan hipotesis bahwa
mungkin NAFLD tidak berhubungan sama sekali dengan sindrom metabolik.72
Beberapa data yang dipaparkan menunjukan bahwa faktor genetik, seperti mutasi
pada gen diacylglycerol acyltransferase 2 atau patatin-like phospholipase 3
mampu mencetuskan steatosis hati tanpa mencetuskan resistensi insulin.73, 74

Pada akhirnya penumpukan lemak di hati ini yang justru memicu resistensi
insulin. Dengan belum adanya data prevalensi gangguan genetik ini pada
populasi NAFLD, masih belum bisa disimpulkan pula berapa proporsi pasien
NAFLD yang kemungkinan tidak berhubugan dengan sindrom metabolik.
Apabila proporsi ini ternyata besar, hal ini cukup mendukung hasil penelitian
kami kali ini.

6.3. Profil Derajat Fibrosis NAFLD pada Populasi Diabetes Melitus Tipe 2
Kami melakukan pemeriksaan elastografi transien pada 68 pasien diabetes
melitus tipe 2 yang terbukti mengalami NAFLD. Hasil yang kami dapat
menunjukkan adanya kejadian fibrosis berat pada 25,0% pasien dengan NAFLD.
Angka ini lebih tinggi daripada hasil dari Sudan yang menunjukan bahwa fibrosis
berat hanya ditemukan pada 14,3% populasi diabetes melitus dengan NAFLD.63
Studi yang menilai derajat fibrosis pada pasien NAFLD masih jarang
dikerjakan. Studi yang ada pun seringkali hanya dikerjakan pada populasi umum,
sehingga hasil studi kami merupakan salah satu data awal penilaian derajat
fibrosis pada kelompok pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Populasi NAFLD
pada studi kami didominasi oleh pasien pria, baik pada populasi fibrosis ringan
sedang dan fibrosis berat. Sebagian besar pasien juga berusia di atas 40 tahun,
dengan rata-rata usia 55,88 tahun pada kelompok fibrosis ringan sedang dan
57,29 tahun pada kelompok fibrosis berat. Pasien pasien pada studi kami juga
sebagian besar mengalami obesitas, baik yang diukur dengan IMT (rata-rata 28,6
kg/m2 pada kelompok fibrosis ringan sedang dan 27,75 kg/m2 pada kelompok
fibrosis berat) ataupun lingkar pinggang (rata-rata 98,66 cm pada kelompok
fibrosis ringan sedang dan 98,06 cm pada kelompok fibrosis berat). Dalam hal
lama DM, sebagian besar pasien telah memiliki DM selama lebih dari 5 tahun,
baik pada fibrosis ringan sedang maupun berat. Abnormalitas nilai HDL,

Universitas Indonesia
45

trigliserida, dan HbA1C juga dialami sebagian besar pasien pada kedua
kelompok ini.
Sebuah studi oleh Baba et al yang dipublikasikan pada tahun 2011
menunjukan bahwa derajat fibrosis hati (yang diukur dengan elastografi transien)
pada populasi umum dewasa sehat (14% di antaranya menderita NAFLD)
ternyata dipengaruhi oleh IMT. Derajat fibrosis pada studi ini dikatakan tidak
dipengaruhi oleh parameter lain seperti usia atau jenis kelamin. Studi ini tidak
sepenuhnya bisa dibandingkan dengan studi kami, terutama dalam hal subjek
penelitian, di mana studi kami terdiri seluruhnya dari pasien NAFLD dengan
diabetes melitus sementara studi ini melibatkan pasien NAFLD pada populasi
umum. Selain itu, pasien pada studi ini juga rata-rata memiliki IMT normal,
dengan rerata IMT 22,1, sementara rerata IMT penelitian kami adalah 26,29
untuk seluruh populasi.21
Kwok et al pada tahun 2015 memublikasikan hasil pemeriksaan
elastografi transien pada 1918 pasien diabetes dengan NAFLD di Korea.
Mengingat studi ini adalah satu-satunya studi yang dikerjakan pada populasi
NAFLD dengan DM dan memiliki subjek populasi Asia, studi ini sebatulnya
merupakan studi yang paling bisa dibandingkan dengan penelitian kami. Kwok et
al menemukan tingkat peningkatan kekerasan hati sebanyak 20,6% pada pasien
DM dengan NAFLD. Angka ini lebih kecil daripada temuan pada studi kami,
yaitu 25,0%. Namun pada studi ini, elastografi transien dikerjakan pada semua
populasi DM, sementara studi kami, elastografi transien dikerjakan hanya pada
pasien yang sudah terbukti NAFLD. Dari semua pasien pada studi Kwok, hanya
72,8% yang mengalami NAFLD. Populasi pasien dengan fibrosis berat pada studi
Kwok memiliki karakteristik yang serupa dengan studi kami dalam parameter
usia (rata-rata 61,2 tahun vs 57,29 tahun pada studi kami), lama DM (rata-rata
139,2 bulan vs 108 bulan), IMT (rata-rata 29,3 kg/m2 vs 27,75 kg/m2), lingkar
pinggang (rata-rata 99,5 cm vs 98,06 cm), HDL (rata-rata 46,3 mg/dL vs 47,13
mg/dL), dan HbA1C (rata-rata 7,5% vs 7,5%). Perbedaan karakteristik dengan
populasi kami hanya ditemukan pada komponen trigliserida (rata-rata 57,9 mg/dL
vs 147 mg/dL). Artinya, baik pada penelitian kami maupun penelitian Kwok,
sebagian besar pasien DM dengan NAFLD yang memiliki fibrosis berat
merupakan pasien berusia tua, dengan lama DM yang lama, obes, dan memiliki

Universitas Indonesia
46

kadar HDL dan HbA1C yang kurang baik. Namun, baik pada studi kami maupun
Kwok, karakteristik ini sebetulnya juga bisa ditemukan pada populasi DM
dengan NAFLD yang memiliki fibrosis ringan sedang. Kwok juga menyatakan
bahwa peningkatan kekerasan hati pada populasi diabetes melitus tipe 2 dewasa
dipengaruhi oleh lama diabetes melitus yang lebih lama, IMT yang lebih tinggi,
peningkatan ALT, peningkatan rasio albumin: kreatinin urin sewaktu, dan HDL
yang rendah.35 Baik studi kami maupun studi Kwok et al menggunakan batasan
fibrosis berat yang sama. Pentingnya menggunakan batasan yang sesuai
ditunjukan oleh studi lain yang menyatakan bahwa hanya pasien dengan derajat
fibrosis berat (F3 dan F4) yang memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi (HR
3,3; CI 2,27-4,76; P<0,001).5
Seperti hasil dari paparan sebelumnya mengenai hubungan variabel-
variabel yang ada dengan kejadian NAFLD, studi-studi dari luar umumnya belum
bisa mencapai kesepakatan mengenai parameter metabolik mana saja yang dapat
digunakan untuk memrediksi tingkat keparahan fibrosis pada pasien diabetes
melitus dengan NAFLD. Hal ini juga didukung telaah literatur yang memang
belum menemukan hubungan sebab akibat antara fibrosis dan sindrom
metabolik.71 Studi mengenai derajat fibrosis hati yang dikhususkan pada populasi
NAFLD dikerjakan oleh Marchesini et al pada tahun 2003. Pada studi yang
melibatkan 304 pasien NAFLD ini, ditemukan bahwa adanya sindrom metabolik
diketahui berhubungan dengan kejadian fibrosis berat (OR = 3,5; 95%CI= 1,1-
11,2).56 Penelitian lain oleh van der Poorten et al menemukan bahwa tingginya
volume lemak viseral merupakan prediktor fibrosis berat pada 38 pasien NAFLD
yang diteliti (OR= 2,9; CI= 1,4-6,3, P = 0,006).75 Studi lain oleh Singh
menemukan bahwa derajat fibrosis pada NAFLD dipengaruhi jenis kelamin
perempuan, kadar fosfatase alkali, kadar LDL, dan kadar kolesterol total. Hasil
ini bertentangan dengan 2 studi lainnya karena parameter obesitas (baik yang
diukur lewat IMT maupun lingkar pinggang), kendali gula darah, trigliserida,
ataupun HDL terbukti tidak berhubungan dengan derajat fibrosis.55 Namun
semua studi ini dikerjakan pada populasi umum. Bahkan Marchesini dalam
studinya mengeksklusikan pasien dengan diabetes melitus. Hal ini merupakan
pembeda utama studi kami dengan studi sebelumnya.

Universitas Indonesia
47

Walaupun pada studi ini kami tidak melakukan analisis statistik, namun
pembandingan karakteristik metabolik pasien dengan fibrosis ringan sedang dan
fibrosis berat memang menunjukan karakteristik yang hampir identik. Hal ini
tentu sesuai dengan telaah literatur yang telah dijabarkan sebalumnya.

6.4. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian pertama yang menilai prevalensi NAFLD pada
populasi diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Seperti yang telah dijabarkan di
atas, prevalensi NAFLD sangat dipengaruhi oleh latar belakang ras dan daerah.
Prevalensi NAFLD juga diketuhi meningkat pada populasi diabetes melitus.
Adanya data prevalensi ini dapat berguna untuk menggambarkan besarnya
masalah NAFLD pada populasi diabetes melitus. Hal ini diharapkan mampu
meningkatkan kewaspadaan tenaga medis di Indonesia terkait bahaya NAFLD
pada populasi diabetes melitus. Penelitian ini juga menilai faktor-faktor yang
berhubungan dengan ada tidaknya NAFLD. Kesemua variabel yang digunakan
adalah hal-hal yang umum diperiksa pada pasien diabetes melitus sehingga bisa
digunakan pada praktek sehari-hari. Penelitian ini juga menggambarkan profil
fibrosis pada pasien dengan NAFLD. Sepengetahuan kami, penelitian ini adalah
penelitian pertama yang melakukan analisis profil fibrosis pada populasi diabetes
melitus dengan NAFLD. Hasil yang kami dapatkan bisa dijadikan acuan untuk
kebijakan klinis maupun untuk penelitian selanjutnya.
Keterbatasan utama penelitian ini terletak pada desain potong lintang.
Meskipun mudah untuk dikerjakan, desain ini tidak bisa menentukan adanya
hubungan kausalitas antara variabel-variabel yang diteliti. Selain itu, proses
metabolik yang terlibat dalam patofisiologi NAFLD sesungguhnya sangat rumit.
Hal ini menyebabkan beberapa faktor yang mungkin merancukan penelitian ini
masih belum diketahui oleh dunia medis saat ini. Pasien yang menjalani
pemeriksaan elastografi transien juga cenderung sedikit jumlahnya, sehingga
analisis tidak bisa dikerjakan pada populasi ini. Keterbatasan lain penelitian ini
adalah metode diagnosis NAFLD yang hanya menggunakan pemeriksaan USG.
Meskipun cukup baik, pemeriksaan USG bukan merupakan baku emas diagnosis
NAFLD. Beberapa variabel yang dimasukan dalam studi ini juga hanya
menggambarkan keadaan resistensi insulin pada satu satuan waktu terbaru

Universitas Indonesia
48

tertentu saja, misalnya HbA1C yang hanya menggambarkan kadar gula darah
dalam 3 bulan terakhir, padahal proses terjadinya NAFLD membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Hasil analisis subgrup mengenai derajat fibrosis juga diambil
dari sampel pasien NAFLD yang bisa menjalani pemeriksaan elastografi transien
saja sehingga rentan bias, baik dari segi jumlah sampelnya maupun dari segi
seleksi. Keterbatasan lain adalah dalam hal profil derajat fibrosis, di mana data
sebelumnya mengenai populasi NAFLD pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia masih belum diketahui dengan jelas.

6.5. Generalisasi Hasil Penelitian


Generalisasi hasil penelitian ditujukan untuk menilai apakah penelitian ini dapat
diaplikasikan pada populasi yang lebih luas. Secara umum generalisasi penelitian
dilakukan dengan menilai validitas interna, validitas eksterna I, dan validitas
eksterna II. Validitas interna dinilai dengan melihat apakah subjek yang direkrut
dalam penelitian ini memenuhi kriteria pemilihan subjek yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penelitian ini melibatkan 186 pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Jumlah ini merupakan 122% dari jumlah
sampel minimal 152 orang. Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa
validitas interna penelitian ini baik.
Validitas eksterna I dinilai dengan melihat apakah subjek yang direkrut
dapat mewakili populasi terjangkau, yaitu pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa
yang berobat di poliklinik endokrin metabolik Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Oktober 2016 sampai dengan Desember
2016. Penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling terhadap pasien-
pasien di poliklinik endokrin metabolik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) sampai tercapai jumlah yang melebihi jumlah sampel minimal yang
dibutuhkan. Metode consecutive sampling merupakan metode yang dianggap
baik dalam merepresentasikan populasi terjangkau, maka dapat disimpulkan juga
bahwa validitas eksterna I penelitian ini baik.
Validitas eksterna II dinilai dengan menggunakan akal dan logika untuk
melihat apakah populasi terjangkau dapat mewakili populasi target, yaitu pasien
diabetes tipe 2 dewasa. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien-pasien
yang berobat di Sakit Cipto Mangunkusumo yang merupakan rumah sakit pusat

Universitas Indonesia
49

rujukan nasional. Lini utama pelayanan kesehatan pasien diabetes melitus


sebetulnya berada di fasilitas kesehatan tingkat pertama, sehingga berbeda
dengan pasien-pasien yang berobat ke rumah sakit tersier seperti RSCM. Namun
karakteristik dasar pada studi kami sebetulnya menunjukan karakteristik pasien
yang sesuai dengan karakteristik pasien diabetes melitus secara umum pada
Riskesdas. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa validitas eksterna II penelitian ini cukup baik.

Universitas Indonesia
50

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
1. Prevalensi NAFLD pada pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa yang
berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 45,2%.
2. Proporsi fibrosis berat pada pasien diabetes melitus tipe 2 dewasa yang
mengalami NAFLD dan berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta adalah 25,0%, sementara fibrosis ringan sedang atau tanpa fibrosis
ditemukan pada 75,0% pasien.
3. Indeks Massa Tubuh di atas 25 kg/m2 merupakan satu-satunya komponen
dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian NAFLD pada pasien
diabetes melitus tipe 2. Tidak ditemukan hubungan antara usia, lingkar
pinggang, lama DM, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C dengan kejadian
NAFLD pada pasien diabetes melitus.

7.2. Saran
1. Penapisan terhadap ada tidaknya NAFLD sebaiknya dikerjakan pada
semua pasien diabetes tipe 2 dewasa yang berobat ke rumah sakit.
Penapisan harus lebih ditekankan pada pasien dengan IMT di atas 25
kg/m2, mengingat populasi ini memiliki risiko NAFLD yang lebih tinggi.
2. Perlu dilakukan penelitian khusus dengan metode prospektif mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian fibrosis berat pada pasien
diabetes melitus tipe 2 dewasa yang mengalami NAFLD.

Universitas Indonesia
51

DAFTAR PUSTAKA

1. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K, et al. The
diagnosis and management of non-alcoholic fatty liver disease: practice Guideline by
the American Association for the Study of Liver Diseases, American College of
Gastroenterology, and the American Gastroenterological Association. Hepatology.
2012 Jun;55(6):2005-23.
2. Abd El-Kader SM, El-Den Ashmawy EM. Non-alcoholic fatty liver disease: The
diagnosis and management. World J Hepatol. 2015 Apr 28;7(6):846-58.
3. Hasan I, Gani RA, R M. Prevalence and risk factors for nonalcoholic fatty liver in
Indonesia. (Abstract) J Gastroenterol Hepatol. 2002;17(suppl):A30.
4. Azzam H, Malnick S. Non-alcoholic fatty liver disease - the heart of the matter. World
J Hepatol. 2015 Jun 8;7(10):1369-76.
5. Ekstedt M, Hagstrom H, Nasr P, Fredrikson M, Stal P, Kechagias S, et al. Fibrosis
stage is the strongest predictor for disease-specific mortality in NAFLD after up to 33
years of follow-up. Hepatology. 2015 May;61(5):1547-54.
6. Wong GL. Transient elastography: Kill two birds with one stone? World J Hepatol.
2013 May 27;5(5):264-74.
7. Stefan N, Haring HU. The metabolically benign and malignant fatty liver. Diabetes.
2011 Aug;60(8):2011-7.
8. Leite NC, Salles GF, Araujo AL, Villela-Nogueira CA, Cardoso CR. Prevalence and
associated factors of non-alcoholic fatty liver disease in patients with type-2 diabetes
mellitus. Liver Int. 2009 Jan;29(1):113-9.
9. Vuppalanchi R, Chalasani N. Nonalcoholic fatty liver disease and nonalcoholic
steatohepatitis: Selected practical issues in their evaluation and management.
Hepatology. 2009 Jan;49(1):306-17.
10. Lee JY, Kim KM, Lee SG, Yu E, Lim YS, Lee HC, et al. Prevalence and risk factors
of non-alcoholic fatty liver disease in potential living liver donors in Korea: a review
of 589 consecutive liver biopsies in a single center. J Hepatol. 2007 Aug;47(2):239-44.
11. Williams CD, Stengel J, Asike MI, Torres DM, Shaw J, Contreras M, et al. Prevalence
of nonalcoholic fatty liver disease and nonalcoholic steatohepatitis among a largely
middle-aged population utilizing ultrasound and liver biopsy: a prospective study.
Gastroenterology. 2011 Jan;140(1):124-31.
12. Povero D, Feldstein AE. Novel Molecular Mechanisms in the Development of Non-
Alcoholic Steatohepatitis. Diabetes Metab J. 2016 Feb;40(1):1-11.
13. Ashtari S, Pourhoseingholi MA, Zali MR. Non-alcohol fatty liver disease in Asia:
Prevention and planning. World J Hepatol. 2015 Jul 8;7(13):1788-96.
14. Seto WK, Yuen MF. Nonalcoholic fatty liver disease in Asia: emerging perspectives. J
Gastroenterol. 2017 Feb;52(2):164-74.
15. Lesmana CR, Pakasi LS, Inggriani S, Aidawati ML, Lesmana LA. Development of
non-alcoholic fatty liver disease scoring system among adult medical check-up
patients: a large cross-sectional and prospective validation study. Diabetes Metab
Syndr Obes. 2015;8:213-8.
16. Niederau C. NAFLD and NASH in Hepatology, a clinical textbook. Duesseldorf:
Flying Publisher. 2009: 419-428.
17. Takuma Y, Nouso K. Nonalcoholic steatohepatitis-associated hepatocellular
carcinoma: our case series and literature review. World J Gastroenterol. 2010 Mar
28;16(12):1436-41.

Universitas Indonesia
52

18. Arora A, Sharma P. Non-invasive Diagnosis of Fibrosis in Non-alcoholic Fatty Liver


Disease. J Clin Exp Hepatol. 2012 Jun;2(2):145-55.
19. Mndez-Snchez N, Arrese M, Zamora-Valds D, Uribe M. Current concepts in the
pathogenesis of nonalcoholic fatty liver disease. Liver International. 2007;27(4):423-
433.
20. Pathik P, Ravindra S, Ajay C, Prasad B, Jatin P, Prabha S. Fibroscan versus simple
noninvasive screening tools in predicting fibrosis in high-risk nonalcoholic fatty liver
disease patients from Western India. Ann Gastroenterol. 2015 Apr-Jun;28(2):281-6.
21. Baba M, Furuya K, Bandou H, Kasai K, Sadaoka K. Discrimination of individuals in a
general population at high-risk for alcoholic and non-alcoholic fatty liver disease based
on liver stiffness: a cross section study. BMC Gastroenterol. 2011;11:70.
22. Ascha MS, Hanouneh IA, Lopez R, Tamimi TA, Feldstein AF, Zein NN. The
incidence and risk factors of hepatocellular carcinoma in patients with nonalcoholic
steatohepatitis. Hepatology. 2010 Jun;51(6):1972-8.
23. Sanyal AJ, Banas C, Sargeant C, Luketic VA, Sterling RK, Stravitz RT, et al.
Similarities and differences in outcomes of cirrhosis due to nonalcoholic
steatohepatitis and hepatitis C. Hepatology. 2006 Apr;43(4):682-9.
24. Yasui K, Hashimoto E, Komorizono Y, Koike K, Arii S, Imai Y, et al. Characteristics
of patients with nonalcoholic steatohepatitis who develop hepatocellular carcinoma.
Clin Gastroenterol Hepatol. 2011 May;9(5):428-33; quiz e50.
25. Duan XY, Zhang L, Fan JG, Qiao L. NAFLD leads to liver cancer: do we have
sufficient evidence? Cancer Lett. 2014 Apr 10;345(2):230-4.
26. Hashimoto E, Yatsuji S, Tobari M, Taniai M, Torii N, Tokushige K, et al.
Hepatocellular carcinoma in patients with nonalcoholic steatohepatitis. J
Gastroenterol. 2009;44 Suppl 19:89-95.
27. Tokushige K, Hashimoto E, Kodama K. Hepatocarcinogenesis in non-alcoholic fatty
liver disease in Japan. J Gastroenterol Hepatol. 2013 Dec;28 Suppl 4:88-92.
28. Michelotti GA, Machado MV, Diehl AM. NAFLD, NASH and liver cancer. Nat Rev
Gastroenterol Hepatol. 2013 Nov;10(11):656-65.
29. Kawada N, Imanaka K, Kawaguchi T, Tamai C, Ishihara R, Matsunaga T, et al.
Hepatocellular carcinoma arising from non-cirrhotic nonalcoholic steatohepatitis. J
Gastroenterol. 2009;44(12):1190-4.
30. Ziol M, Handra-Luca A, Kettaneh A, et al. Non-invasive assessment of liver fibrosis
by stiffness measurement in patients with chronic hepatitis C. Hepatology.
31. Musso G, Gambino R, Cassader M, Pagano G. Meta-analysis: natural history of non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD) and diagnostic accuracy of non-invasive tests
for liver disease severity. Ann Med. 2011 Dec;43(8):617-49.
32. Festi D, Schiumerini R, Marzi L, Di Biase AR, Mandolesi D, Montrone L, et al.
Review article: the diagnosis of non-alcoholic fatty liver disease -- availability and
accuracy of non-invasive methods. Aliment Pharmacol Ther. 2013 Feb;37(4):392-400.
33. Stal P. Liver fibrosis in non-alcoholic fatty liver disease - diagnostic challenge with
prognostic significance. World J Gastroenterol. 2015 Oct 21;21(39):11077-87.
34. de Ledinghen V, Wong VW, Vergniol J, Wong GL, Foucher J, Chu SH, et al.
Diagnosis of liver fibrosis and cirrhosis using liver stiffness measurement: comparison
between M and XL probe of FibroScan(R). J Hepatol. 2012 Apr;56(4):833-9.
35. Kwok R, Choi KC, Wong GL, Zhang Y, Chan HL, Luk AO, et al. Screening diabetic
patients for non-alcoholic fatty liver disease with controlled attenuation parameter and

Universitas Indonesia
53

liver stiffness measurements: a prospective cohort study. Gut. 2016 Aug;65(8):1359-


68.
36. Adams LA, Angulo P. Treatment of non-alcoholic fatty liver disease. Postgrad Med J.
2006 May;82(967):315-22.
37. Duwaerts CC, Maher JJ. Mechanisms of Liver Injury in Non-Alcoholic
Steatohepatitis. Curr Hepatol Rep. 2014 Jun 1;13(2):119-29.
38. Paschos P, Paletas K. Non alcoholic fatty liver disease and metabolic syndrome.
Hippokratia. 2009 Jan;13(1):9-19.
39. Gaggini M, Morelli M, Buzzigoli E, DeFronzo RA, Bugianesi E, Gastaldelli A. Non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD) and its connection with insulin resistance,
dyslipidemia, atherosclerosis and coronary heart disease. Nutrients. 2013 May
10;5(5):1544-60.
40. World Health Organization. Global reports on diabetes. France: WHO. 2016.
41. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengendalian dan pencegahan
diabetes melitus tipe2 di indonesia. Jakarta: Perkeni. 2011.
42. Bhatt HB, Smith RJ. Fatty liver disease in diabetes mellitus. Hepatobiliary Surg Nutr.
2015 Apr;4(2):101-8.
43. Rivera CA. Risk factors and mechanisms of non-alcoholic steatohepatitis.
Pathophysiology. 2008 Aug;15(2):109-14.
44. Defronzo RA. Banting Lecture. From the triumvirate to the ominous octet: a new
paradigm for the treatment of type 2 diabetes mellitus. Diabetes. 2009 Apr;58(4):773-
95.
45. Wang RT, Koretz RL, Yee HF, Jr. Is weight reduction an effective therapy for
nonalcoholic fatty liver? A systematic review. Am J Med. 2003 Nov;115(7):554-9.
46. Promrat K, Kleiner DE, Niemeier HM, Jackvony E, Kearns M, Wands JR, et al.
Randomized controlled trial testing the effects of weight loss on nonalcoholic
steatohepatitis. Hepatology. 2010 Jan;51(1):121-9.
47. Harrison SA, Fecht W, Brunt EM, Neuschwander-Tetri BA. Orlistat for overweight
subjects with nonalcoholic steatohepatitis: A randomized, prospective trial.
Hepatology. 2009 Jan;49(1):80-6.
48. Chan WK, Tan AT, Vethakkan SR, Tah PC, Vijayananthan A, Goh KL. Low physical
activity and energy dense Malaysian foods are associated with non-alcoholic fatty liver
disease in centrally obese but not in non-centrally obese patients with diabetes
mellitus. Asia Pac J Clin Nutr. 2015;24(2):289-98.
49. Lomonaco R, Chen J, Cusi K. An Endocrine Perspective of Nonalcoholic Fatty Liver
Disease (NAFLD). Ther Adv Endocrinol Metab. 2011 Oct;2(5):211-25.
50. Targher G, Bertolini L, Rodella S, Tessari R, Zenari L, Lippi G, et al. Nonalcoholic
fatty liver disease is independently associated with an increased incidence of
cardiovascular events in type 2 diabetic patients. Diabetes Care. 2007 Aug;30(8):2119-
21.
51. Loomba R, Lutchman G, Kleiner DE, Ricks M, Feld JJ, Borg BB, et al. Clinical trial:
pilot study of metformin for the treatment of non-alcoholic steatohepatitis. Aliment
Pharmacol Ther. 2009 Jan;29(2):172-82.
52. Uygun A, Kadayifci A, Isik AT, Ozgurtas T, Deveci S, Tuzun A, et al. Metformin in
the treatment of patients with non-alcoholic steatohepatitis. Aliment Pharmacol Ther.
2004 Mar 1;19(5):537-44.
53. Ratziu V, Giral P, Jacqueminet S, Charlotte F, Hartemann-Heurtier A, Serfaty L, et al.
Rosiglitazone for nonalcoholic steatohepatitis: one-year results of the randomized

Universitas Indonesia
54

placebo-controlled Fatty Liver Improvement with Rosiglitazone Therapy (FLIRT)


Trial. Gastroenterology. 2008 Jul;135(1):100-10.
54. Belfort R, Harrison SA, Brown K, Darland C, Finch J, Hardies J, et al. A placebo-
controlled trial of pioglitazone in subjects with nonalcoholic steatohepatitis. N Engl J
Med. 2006 Nov 30;355(22):2297-307.
55. Singh DK, Sakhuja P, Malhotra V, Gondal R, Sarin SK. Independent predictors of
steatohepatitis and fibrosis in Asian Indian patients with non-alcoholic steatohepatitis.
Dig Dis Sci. 2008 Jul;53(7):1967-76.
56. Marchesini G, Bugianesi E, Forlani G, Cerrelli F, Lenzi M, Manini R, et al.
Nonalcoholic fatty liver, steatohepatitis, and the metabolic syndrome. Hepatology.
2003 Apr;37(4):917-23.
57. Rinella ME. Nonalcoholic fatty liver disease a systematic review. JAMA.
2015;313(22):2263-2273.
58. Adams LA, Waters OR, Knuiman MW, Elliott RR, Olynyk JK. NAFLD as a risk
factor for the development of diabetes and the metabolic syndrome: an eleven-year
follow-up study. Am J Gastroenterol. 2009 Apr;104(4):861-7.
59. El-Serag HB, Tran T, Everhart JE. Diabetes increases the risk of chronic liver disease
and hepatocellular carcinoma. Gastroenterology. 2004 Feb;126(2):460-8.
60. Polesel J, Zucchetto A, Montella M, Dal Maso L, Crispo A, La Vecchia C, et al. The
impact of obesity and diabetes mellitus on the risk of hepatocellular carcinoma. Ann
Oncol. 2009 Feb;20(2):353-7.
61. Olusanya TO, Lesi OA, Adeyomoye AA, Fasanmade OA. Non alcoholic fatty liver
disease in a Nigerian population with type II diabetes mellitus. Pan Afr Med J.
2016;24:20.
62. Wang L, Guo J, Lu J. Risk factor compositions of nonalcoholic fatty liver disease
change with body mass index in males and females. Oncotarget. 2016 Jun
14;7(24):35632-42.
63. Almobarak AO, Barakat S, Suliman EA, Elmadhoun WM, Mohamed NA, Abobaker
IO, et al. Prevalence of and predictive factors for nonalcoholic fatty liver disease in
Sudanese individuals with type 2 diabetes: Is metabolic syndrome the culprit? Arab J
Gastroenterol. 2015 Jun;16(2):54-8.
64. Trovato FM, Martines GF, Brischetto D, Trovato G, Catalano D. Neglected features of
lifestyle: Their relevance in non-alcoholic fatty liver disease. World J Hepatol. 2016
Nov 28;8(33):1459-65.
65. Amirkalali B, Poustchi H, Keyvani H, Khansari MR, Ajdarkosh H, Maadi M, et al.
Prevalence of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease and Its Predictors in North of Iran.
Iran J Public Health. 2014 Sep;43(9):1275-83.
66. Yang KC, Hung HF, Lu CW, Chang HH, Lee LT, Huang KC. Association of Non-
alcoholic Fatty Liver Disease with Metabolic Syndrome Independently of Central
Obesity and Insulin Resistance. Sci Rep. 2016 Jun 01;6:27034.
67. Trojak A, Walus-Miarka M, Wozniakiewicz E, Malecki MT, Idzior-Walus B.
Nonalcoholic fatty liver disease is associated with low HDL cholesterol and coronary
angioplasty in patients with type 2 diabetes. Med Sci Monit. 2013 Dec 16;19:1167-72.
68. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care. 2014 Jan;37 Suppl 1:S81-90.
69. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes: estimates
for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004 May;27(5):1047-53.

Universitas Indonesia
55

70. Sarfraz M, Sajid S, Ashraf MA. Prevalence and pattern of dyslipidemia in


hyperglycemic patients and its associated factors among Pakistani population. Saudi J
Biol Sci. 2016 Nov;23(6):761-6.
71. Mikolasevic I, Orlic L, Franjic N, Hauser G, Stimac D, Milic S. Transient elastography
(FibroScan((R))) with controlled attenuation parameter in the assessment of liver
steatosis and fibrosis in patients with nonalcoholic fatty liver disease - Where do we
stand? World J Gastroenterol. 2016 Aug 28;22(32):7236-51.
72. Lonardo A, Ballestri S, Marchesini G, Angulo P, Loria P. Nonalcoholic fatty liver
disease: a precursor of the metabolic syndrome. Dig Liver Dis. 2015 Mar;47(3):181-
90.
73. Kantartzis K, Machicao F, Machann J, Schick F, Fritsche A, Haring HU, et al. The
DGAT2 gene is a candidate for the dissociation between fatty liver and insulin
resistance in humans. Clin Sci (Lond). 2009 Mar;116(6):531-7.
74. Kantartzis K, Peter A, Machicao F, Machann J, Wagner S, Konigsrainer I, et al.
Dissociation between fatty liver and insulin resistance in humans carrying a variant of
the patatin-like phospholipase 3 gene. Diabetes. 2009 Nov;58(11):2616-23.
75. van der Poorten D, Milner KL, Hui J, Hodge A, Trenell MI, Kench JG, et al. Visceral
fat: a key mediator of steatohepatitis in metabolic liver disease. Hepatology. 2008
Aug;48(2):449-57.

Universitas Indonesia
56

RINGKASAN

Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan merupakan suatu spektrum


penyakit yang ditandai adanya perlemakan di hati. Kondisi ini diketahui berhubungan erat
dengan sindrom metabolik dan prevalensnya ikut meningkat seiring meningkatnya
prevalens sindrom metabolik. Populasi pasien dengan diabetes melitus tipe 2 merupakan
populasi dengan risiko NAFLD yang tinggi. Data yang ada menunjukan bahwa prvalens
NAFLD pada populasi ini bisa mencapai 69%. Hubungan antara NAFLD dengan diabetes
melitus tipe 2 didasari lewat mekanisme resistensi insulin. Pasien dengan sindrom
metabolik, termasuk diabetes melitus tipe 2, memiliki gangguan resistensi insulin. Kondisi
ini juga merupakan kondisi dasar tercetusnya penumpukan lemak di hati yang pada
akhirnya akan menimbulkan NAFLD. Seiring berjalannya waktu, lemak yang menumpuk
di hati akan mengalami oksidasi dan mencetuskan inflamasi. Pada kondisi ini, pasien
dikatakan mengalami Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Proses ini akan berujung
pada aktivasi sel stelata yang memulai proses fibrosis hati sampai sirosis hepatis.
NAFLD sendiri meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas pasien. Peningkatan
risiko ini terutama signifikan pada pasien yang mengalami fibrosis derajat berat. Beberapa
penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko NAFLD dan risiko
derajat fibrosis pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikerjakan pada populasi luar
negeri. Hasil yang ada umumnya masih bersifat heterogen, namun sebagian besar
menayatakan adanya peranan parameter metabolik seperti indeks massa tubuh, lingkar
pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C darah dalam mencetuskan NAFLD dan
fibrosisnya. Faktor usia dan lama diabetes juga ditemukan berhubungan dengan kedua
variabel itu pada beberapa penelitain lainnya. Sementara itu, data mengenai prevalensi dan
profil fibrosis NAFLD pada pasien diabetes tipe 2 di Indonesia sendiri belum pernah
diketahui sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Prevalensi dan Profil
Fibrosis Pasien Non-Alcoholic Fatty Liver Disease pada Diabetes Mellitus dan Faktor-
faktor yang Berhubungan.
Penelitian ini dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien diabetes melitus tipe
2 dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Pasien yang
telah memberikan persetujuannya kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan untuk
mengumpulkan data usia, lama diabetes, jenis obat diabetes melitus dan kolesterol yang
diminum, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, HDL, trigliserida, HbA1C, HBsAg, dan
anti-HCV. Pemeriksaan ultrasonografi lalu dikerjakan pada pasien untuk menentukan
pasien yang mengalami NAFLD. Pemeriksaan elastografi transien lalu dikerjakan pada
pasien yang mengalami NAFLD untuk menentukan derajat fibrosis ringan sedang dan
fibrosis berat. Sampel yang didapat akan dikelompokkan berdasarkan ada tidak nya
NAFLD sebagai variabel terikat dan berdasarkan usia (di bawah atau di atas 40 tahun),
lama diabetes (di bawah atau di atas 5 tahun), indeks massa tubuh (di bawah atau di atas
25,0), lingkar pinggang (di bawah atau di atas 100 cm untuk pria dan 90 cm untuk wanita),
kadar HbA1C (di bawah atau di atas 7,0), HDL (di atas 40 untuk pria dan 50 untuk wanita
tanpa terapi medikamentosa atau di bawah 40 untuk pria dan 50 untuk wanita dengan atau
tanpa terapi medikamentosa), dan trigliserida (di bawah 150 mg/dL tanpa terapi
medikamentosa atau di atas 150 mg/dL dengan atau tanpa terapi medikamentosa) sebagai
variabel bebas. Uji Chi Square atau Fischers-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan
regresi logsitik digunakan untuk analisis multivariat.

Universitas Indonesia
57

Sebanyak 191 pasien diabetes melitus tipe 2 berhasil diikutsertakan dalam penelitian
in, namun 5 pasien dieksklusikan karena data tidak lengkap atau memenuhi kriteria
eksklusi sehingga analisis dikerjakan pada 186 pasien. Dari jumlah ini, 84 pasien (45,2%)
pasien dalam studi kami terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil
dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis
berat. Analisis univariat menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara kejadian
NAFLD dengan IMT (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar pinggang
(PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018). Namun pada uji multivariat, IMT merupakan
satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian NAFLD (OR=2,989;
95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi NAFLD pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dewasa yang berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah
45,2%, dengan fibrosis berat ditemukan pada 25,0% dari jumlah ini. Indeks Massa Tubuh
merupakan satu-satunya komponen dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian
NAFLD pada pasien diabetes melitus tipe 2. Faktor usia, lingkar pinggang, lama DM,
kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C tidak menunjukan hubungan dengan kejadaian
NAFLD pada studi ini.

Universitas Indonesia
58

SUMMARY

Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is a spectrum of liver disease which was
marked by hepatic fat accumulation. This condition is closely correlated to metabolic
syndrome. Just like metabolic syndrome, the prevalence of NAFLD alsorises in recent
years. Patients with type 2 diabetes mellitus are especially at higher risk of NAFLD, with
prevalence in this population was reorted to be as high as 69%. The correlation between
NAFLD and metabolic syndrome began with insulin resistance, a condition that all
diabetes patients had. Insulin resistance is also the trigger for hepatic fat accumulation,
which in turns will cause NAFLD. This fat accumulation will then undergoes oxidation
process to cause inflammation. At this point the patient is said to have Non-Alcoholoic
Steatohepatitis (NASH). This process will then be followed by activation of hepatic stellate
cells which will trigger fibrosis and might lead to cirrhosis.
NAFLD itself will increase mortality and morbidity risk. This is especially
significant in patients with advanced fibrosis. Several studies regarding factors related to
the risk of NAFLD and the risk of advanced fibrosis in type 2 diabetes patients have been
conducted in various countries with varying results. Most reports stated that some
metabolic parameters such as body mass index, waist circumference, level of blood HDL,
triglyceride, and HbA1C are related to the presence of NAFLD and severe fibrosis. Other
reports also stated that age and duration of diabetes are also related to both variables.
Data from Indonesian population, however, are still lacking. The aim of this study is to
understand the prevalence and fibrosis profile of NAFLD in diabetes mellitus and factors
associated with it.
This study was a cross sectional study on adult type 2 diabetes patients treated in
the endocrinology and metabolic outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Patients who gave their consent were interviewed and examined. Data collected from each
patient included age, duration of diabetes, diabetic or lipid lowering medication taken,
body mass index, waist circumference, HDL, triglyceride, HbA1C, HBsAg, and anti-HCV.
Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine the presence of
NAFLD. Patients with NAFLD were further tested with transient elastography to assess
their degree of liver fibrosis. Samples were then categorized according to the existence of
NAFLD as dependent variable and according to age (below or above 40 years old),
duration of diabetes (below or above 5 years), body mass index (below or above 25,0),
waist circumference (below or above 90 cm for male and 80 cm for female), HbA1C level
(below or above 7,0), HDL level (above 40 for male and 50 for female, with no history of
medication for dyslipidemia, or below 40 for male and 50 for female with or without
history of medication for dyslipidemia), and triglyceride level (below 150 with no history of
medication for dyslipidemia, or above 150 with or without history of medication for
dyslipidemia). Chi square or Fischers-Exact test was used for bivariate analysis and
logistic regression was used for multivariate analysis.
We included 191 patients with type 2 diabetes as our study subjects. Five patients
were excluded due to incomplete data or fulfillment of exclusion criteria, so in the end 186
patients were included in our analysis. Among these subjects, 84 patients (45,2%) were
found to have NAFLD on ultrasound examination. Transient elastography were carried out
in 68 patients, among whom 17 persons (25,0%) were found to have adanced fibrosis.
Univariate analysis showed significant correlation between the presence of NAFLD with
BMI (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) and waist circumference (PR=2,368;

Universitas Indonesia
59

95%CI= 1,117-5,017; p=0,018). Multivariate analysis, however, showed that only BMI is
correlated with the presence of NAFLD (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
This study showed that the prevalence of NAFLD among type 2 diabetes mellitus
patients in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta was 45,2%, among whom severe
fiborosis were detected in 25,0%. Body Mass Index is the only factor in this study that
showed significant association with the occurrence of NAFLD in type 2 diabetes patients.
Other aspects, such as age, waist circumference, duration of diabetes, HDL, triglyceride,
and HbA1C did not showed any significant associations with NAFLD.

Universitas Indonesia
60

LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Pengambilan Data


Nama pasien
NRM
Alamat pasien

Nomor telepon / HP
Pekerjaan pasien
Anggotakeluarga lain yang bisadihubungi
Status pernikahan

Tempat/tanggal lahir
Usia (tahun)
Jenis kelamin
Penanda hepatitis virus
HBsAg Reaktif / nonreaktif
Anti HCV Reaktif / nonreaktif
Riwayatpenyakit lain
Riwayat mengkonsumsialkohol
Jenis
Jumlah
Kebiasaanmerokok
Jumlah batang/hari
Lama merokok
Aktivitasfisik menit / minggu

Tinggi Badan
BeratBadan
IMT
Lingkarpinggang

Universitas Indonesia
61

Riwayat hipertensi
Tekanan darah terakhir
Riwayatkeganasandalam 5 tahunterakhir
Riwayat stroke
Riwayatdislipidemia
Riwayatpenyakitjantungkoroner
Penyakitginjalkronik
Diabetes mellitus tipe 2 Ya / Tidak
Lama terdiagnosis DM
Obat yang sedangdikonsumsi:
Obat DM
Penurunkolesterol/TG
Obat lain

Hasil USG
Ekogenisitas liver dibandingkandenganginjal?
Ekogenisitaspankreasdibandingkandengan
liver?
Sesuai fatty pancreas?

Jenis Probe M / XL
Nilai CAP dB /m2
NilaiFibroscan . kPa
IQR
Sesuaidengan F1 / F2 / F3 / F4

Trigliserida
Kolesterol HDL
Kolesterol LDL
Kolesterol total
DPL

Universitas Indonesia
62

Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
GGT
Albumin
Bilirubin
PT
Amilase
Lipase
Hba1C
GDP
HOMA-IR
Asam urat
Natrium
Kalium

Universitas Indonesia
63

Lampiran 2. Persetujuan Etik FKUI

Universitas Indonesia
64

Lampiran 3. Persetujuan Etik RSCM

Universitas Indonesia
65

Lampiran 4. Manuskrip Publikasi


PREVALENSI DAN PROFIL FIBROSIS PASIEN NON-ALCOHOLIC FATTY
LIVER DISEASE PADA DIABETES MELLITUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN
Ignatius Bima Prasetya, Irsan Hasan, Wismandari Wisnu, Cleopas Martin Rumende
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo

ABSTRAK
Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) meningkat pada
pasien dengan diabetes melitus (DM) tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum
pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat
fibrosisnya.
Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa
yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan
secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa
tubuh (IMT), lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi
abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan
NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji
Chi Square atau Fischers-Exact digunakan untuk analisis univariat dan regresi logistik
digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien
(45,2%) terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68
pasien NAFLD, dengan 17 pasien (25,0%) terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis
univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721;
p<0,001) dan lingkar pinggang (PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018) antara
kelompok NAFLD dan tidak. Namun pada uji multivariat, IMT merupakan satu-satunya
faktor yang berbeda bermakna antara kedua kelompok (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499;
p<0,001).
Kesimpulan: Prevalensi NAFLD pada pasien DM tipe 2 di RSCM mencapai 45,2%,
dengan 25,0% di antaranya mengalami fibrosis berat. IMT merupakan satu-satunya
komponen dalam studi ini yang berhubungan dengan kejadian NAFLD.
Kata Kunci: NAFLD, diabetes melitus, fibrosis

ABSTRACT
Background: Risk of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is increased in patients
with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in
diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data regarding fibrosis profile in
this population is also unknown.
Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non-Alcoholic Fatty Liver
Disease in diabetes mellitus and factors associated with it.

Universitas Indonesia
66

Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in the
endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done
consecutively. Data collected comprised of age, duration of diabetes, body mass index
(BMI), waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C. Abdominal ultrasonography
was conducted to every patient to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD
underwent transient elastography to assess their degree of liver fibrosis. Collected data
were analyzed in univariate and multivariate manner.
Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed in 84
patients (45,2%). Transient elastography were carried out in 68 patients, with advanced
fibrosis were found in 17 patients (25,0%. Univariate analysis showed significant
differences between BMI (PR=1,878; 95%CI= 1,296-2,721; p<0,001) and waist
circumference (PR=2,368; 95%CI= 1,117-5,017; p=0,018) of patients with or without
NAFLD. However, only BMI showed significance difference between the groups on
multivariate analysis (OR=2,989; 95%CI=1,625-5,499; p<0,001).
Conclusion: Prevalence of NAFLD among diabetic patients in this study was 45,2%,
among whom 25,0% had advanced fibrosis. BMI was the only factor associated with the
occurrence of NAFLD.

Keywords: NAFLD, diabetes melitus, fibrosis

PENDAHULUAN Non-Alcoholic Steatohepatitis (NASH)


Non-Alcoholic Fatty Liver Disease pada akhirnya memiliki risiko sirosis
(NAFLD) merupakan suatu spektrum 10-29% dalam waktu 10 tahun, dengan
penyakit yang ditandai adanya 4-27% di antaranya akan menjadi
perlemakan di hati. Di negara-negara karsinoma hepatoseluler.2
Barat NAFLD sudah dianggap sebagai Derajat fibrosis yang berat
bentuk penyakit hati kronik yang paling menunjukkan risiko mortalitas yang
sering. Prevalensi NAFLD pada lebih tinggi pada pasien NAFLD.4
populasi umum di Amerika Serikat Pemeriksaan histopatologi masih
mencapai 24%-51%.1, 2
Di Indonesia merupakan baku emas untuk menilai
sendiri, prevalensi perlemakan hati pada derajat fibrosis pada hati. Meskipun
satu studi mencapai 30% dari seluruh begitu, biopsi merupakan tindakan yang
populasi.3 Sebagai satu rangkaian rumit dengan adanya risiko mortalitas.1
spektrum penyakit, NAFLD merupakan Oleh karena itu, beberapa metode
proses yang terdiri atas dua tahapan, penilaian derajat fibrosis hati secara
yaitu Non-Alcoholic Fatty Liver non-invasif telah dikembangkan,
(NAFL) dan Non-Alcoholic termasuk metode elastografi transien.
Steatohepatitis (NASH). Pasien dengan Metode ini mengandalkan prinsip

Universitas Indonesia
67

penilaian hantaran gelombang getar penapisan NAFLD pada populasi


pada jaringan hati. Pemeriksaan ini diabetes melitus. Penelitian ini dibuat
sendiri bersifat non invasif dan jauh dengan tujuan menilai besarnya masalah
lebih aman daripada biopsi, dengan NAFLD pada populasi diabetes melitus
tingkat akurasi yang cukup baik.5 di Indonesia.
Hubungan antara NAFLD
dengan penyakit metabolik telah lama
diteliti. Data yang ada menunjukkan METODE
bahwa pada populasi diabetes melitus Penelitian dikerjakan secara potong
tipe 2, prevalensi NAFLD mencapai lintang terhadap pasien diabetes melitus
69%, sementara prevalensi diabetes tipe 2 dewasa yang berobat di poliklinik
melitus pada populasi NAFLD endokrin metabolik Rumah Sakit Cipto
mencapai 33-50%. Penelitian tersebut Mangunkusumo (RSCM). Pengambilan
dilakukan di Amerika, di mana sebagian sampel dilakukan secara konsekutif.
besar populasi merupakan ras Pasien yang telah memberikan
kaukasia.1, 2
Prevalensi NAFLD pada persetujuan dilakukan anamnesis dan
pasien obes yang menderita diabetes pemeriksaan untuk mengumpulkan data
melitus bisa mencapai 70%.6 usia, lama diabetes, jenis obat diabetes
Usia, lama diabetes, indeks melitus dan kolesterol yang diminum,
massa tubuh, lingkar pinggang, kadar indeks massa tubuh, lingkar pinggang,
HbA1C, HDL, dan trigliserida HDL, trigliserida, dan HbA1C.
merupakan faktor-faktor yang telah Ultrasonografi lalu dikerjakan untuk
diketahui mempengaruhi kejadian menentukan pasien yang dengan
NAFLD pada pasien diabetes melitus di NAFLD. Pemeriksaan elastografi
studi-studi luar negeri.7 Di Indonesia transien lalu dikerjakan pada pasien
belum ada data mengenai prevalensi NAFLD untuk menentukan derajat
NAFLD dan faktor-faktor yang fibrosis ringan sedang dan fibrosis
memengaruhinya pada populasi berat. Sampel yang didapat akan
diabetes melitus. Data derajat fibrosis dikelompokkan berdasarkan ada tidak
pada populasi ini juga masih belum nya NAFLD sebagai variabel terikat
tersedia. Tidak adanya data ini dan berdasarkan usia (<40 atau 40
menimbulkan kurangnya pengertian tahun), lama diabetes (<5 atau 5
tenaga medis tentang pentingnya tahun), indeks massa tubuh (<25,0 atau

Universitas Indonesia
68

25,0), lingkar pinggang (<90 atau 90 NAFLD, sebanyak 16 pasien tidak bisa
cm untuk pria dan 80 cm untuk wanita), menjalani pemeriksaan elastografi
kadar HbA1C (<7,0 atau 7,0), HDL (di transien.Sebagian besar subjek dalam
atas 40 untuk pria dan 50 untuk wanita penelitian ini berusia di atas 40 tahun,
tanpa terapi medikamentosa atau di dengan median 58 tahun. Proporsi
bawah 40 untuk pria dan 50 untuk pasien wanita dengan pria cukup
wanita dengan atau tanpa terapi berimbang. Sebagian besar pasien
medikamentosa), dan trigliserida (di memiliki lama diabetes melitus di atas 5
bawah 150 mg/dL tanpa terapi tahun, dengan median 96 bulan. Data
medikamentosa atau di atas 150 mg/dL IMT menunjukkan hasil yang cukup
dengan atau tanpa terapi seimbang antara proporsi pasien yang
medikamentosa) sebagai variabel bebas. obes dan tidak obes, dengan data
Uji Chi Square atau Fischers-Exact lingkar pinggang menunjukkan bahwa
digunakan untuk analisis bivariat dan proporsi pasien yang mengalami
regresi logsitik digunakan untuk analisis obesitas sentral tinggi (83,3%). Rerata
multivariat. lingkar pinggang pasien pada penelitian
ini juga cukup tinggi (94 cm).Sebagian
HASIL besar pasien juga memiliki kadar
Sebanyak 191 pasien kami ikut sertakan trigliserida yang tinggi (83,3%) dan
dalam studi ini. Sebanyak 5 pasien HDL yang rendah (84,4%) atau
memenuhi kriteria eksklusi sehingga menggunakan terapi medikamentosa
pada akhirnya sebanyak 186 pasien untuk menjaga kedua parameter ini.
diikutsertakan dalam pengolahan Hanya 34,4% pasien yang memiliki
data.Dari jumlah ini, 84 pasien (45,2%) kadar HbA1C di bawah 7,0% (rata-rata
pasien dalam studi kami terbukti 7,45%).Karakteristik dasar seluruh
mengalami NAFLD. Dari seluruh subjek penelitian dapat dilihat pada
pasien yang terbukti mengalami tabel 1.

Universitas Indonesia
69

Tabel 1. Karakteristik dasar Subjek Penelitian


Variabel Total
NAFLD
Ya 84 (45,2)
Tidak 102 (54,8)
Jenis Kelamin
Laki-laki (%) 82 (44,1)
Perempuan (%) 104 (55,9)
Usia, median dalam tahun (min-max) 58,5 (23-77)
<40 12 (6,5)
40 174 (93,5)
IMT, median dalam kg/m2 (min-max) 25,65 (17,97-40,00)
<25 82 (44,1)
25 104 (55,9)
Lingkar Pinggang, median dalam cm (min-max) 94 (68-125)
Normal 31 (16,7)
Meningkat 155 (83,3)
Pria 95,5 (68-125)
Normal 25 (30,5)
Meningkat 57 (69,5)
Wanita 93 (73-120)
Normal 6 (5,8)
Meningkat 98 (94,2)
Lama DM, median dalam bulan (min-max) 96 (1-360)
<5 tahun 72 (38,7)
5 tahun 114 (61,3)
HDL, median dalam mg/dL (min-max) 47 (8-91)
Normal 29 (15,6)
Rendah 157 (84,4)
Pria 44 (25-74)
Normal 16 (19,5)
Meningkat 66 (80,5)
Wanita 51 (8-91)
Normal 13 (12,5)
Meningkat 91 (87,5)
Trigliserida, median dalam mg/dL (min-max) 126 (38-1114)
Normal 31 (16,7)
Tinggi 155 (83,3)
HbA1C, median dalam % (min-max) 7,45 (4,9-13,2)
<7,0 64 (34,4)
7,0 122 (65,6)
Derajat Fibrosis (Pada Pasien NAFLD)
F0-F2 (Ringan) 51 (75,0)
F3-F4 (Berat) 17 (25,0)

Analisis univariat menunjukan antara usia, lama DM, kadar HDL, kadar
bahwa tidak terdapat hubungan bermakna trigliserida, dan kadar HbA1C pasien

Universitas Indonesia
70

yang menderita NAFLD dengan yang 5,017; p=0,018). Hasil lengkap uji
tidak menderita NAFLD. Hubungan yang univariat mengenai faktor-faktor yang
bermakna hanya ditemukan untuk berubungan dengan kejadian NAFLD
variabel IMT (PR=1,878; 95% CI= pada penelitian ini dapat dilihat pada
1,296-2,721; p<0,001) dan lingkar tabel 2.
pinggang (PR=2,368; 95% CI= 1,117-

Tabel 2. Analisis Univariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


NAFLD
Variabel Tidak NAFLD NAFLD PR 95% Confidence Interval Nilai p
Usia 1,647 0,514-5,280 0,395
<40 8 (7,8) 4 (4,8)
40 94 (92,2) 80 (95,2)
IMT 1,878 1,296-2,721 <0,001
<25 57 (55,9) 25 (29,8)
25 45 (44,1) 59 (70,2)
Lingkar Pinggang 2,368 1,117-5,017 0,018
Normal 23 (22,5) 8 (9,5)
Meningkat 79 (77,5) 76 (90,5)
Lama DM 0,737 0,513-1,058 0,097
<5 tahun 34 (33,3) 38 (45,2)
5 tahun 68 (66,7) 46 (54,8)
HDL 1,830 0,880-3,804 0,096
Normal 20 (19,6) 9 (80,4)
Rendah 82 (10,7) 75 (89,3)
Trigliserida 1,304 0,672-2,529 0,429
Normal 19 (18,6) 12 (14,3)
Tinggi 83 (81,4) 72 (85,7)
HbA1C 1,285 0,852-1,937 0,226
<7,0 39 (38,2) 25 (29,8)
7,0 63 (61,8) 59 (70,2)

Hasil yang didapat dari analisis pada pasien diabetes melitus dengan odd
multivariat menunjukkan bahwa IMT ratio (OR) 2,989 dan 95% confidence
merupakan satu-satunya faktor yang interval 1,625-5,499. Hasil regresi
berhubungan dengan kejadian NAFLD logistik ini dapat dilihat pada tabel 3.

Universitas Indonesia
71

Tabel 3. Regresi Logistik Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian NAFLD


Variabel Signifikansi (p) Odd Ratio (OR) 95%confidence interval
Variabel IMT 0,019 2,283 1,146-4,708
awal dalam Lingkar pinggang 0,396 1,536 0,571-4,130
analisis Lama DM 0,123 0,603 0,318-1,147
HDL 0,327 1,574 0,636-3,897
HbA1C 0,116 1,702 0,877-3,302
Hasil akhir IMT <0,001 2,989 1,625-5,499

Untuk menilai derajat fibrosis pada dievaluasi adalah 68 pasien. Dari


pasien DM dengan NAFLD, kami jumlah ini sebanyak 17 orang (25,0%)
melakukan elastografi transien pada berada pada kondisi fibrosis berat,
pasien-pasien yang diketahui sementara 51 orang (75,0%) mengalami
mengalami NAFLD pada penelitian fibrosis ringan atau tidak mengalami
kami. Sebanyak 16 pasien tidak bisa fibrosis sama sekali. Gambaran
menjalani pemeriksaan elastografi karakteristik pasien berdasarkan derajat
transien sehingga total pasien yang fibrosisnya ditampilkan pada tabel 4.

Tabel 4. Profil Karakteristik Pasien NAFLD Berdasarkan Derajat Fibrosis


Variabel F0-F2 (ringan sedang) F3-F4 (berat)
Jenis Kelamin
Pria, n (%) 18 (35,5) 8 (47,1)
Wanita, n (%) 33 (64,7) 9 (52,9)
Usia, mean dalam tahun (SD) 55,88 (9,93) 57,29 (8,93)
<40, n (%) 4 (7,8) 0 (0)
40, n (%) 47 (92,2) 17 (100)
IMT, mean dalam kg/m2 (SD) 28,60 (4,35) 27,75 (4,42)
<25, n (%) 13 (25,5) 5 (29,4)
25, n (%) 38 (74,5) 12 (70,6)
Lingkar Pinggang, mean dalam cm (SD) 98,96 (9,80) 98,06 (10,02)
Normal, n (%) 3 (5,9) 3 (17,6)
Meningkat, n (%) 48 (94,1) 14 (82,4)
Lama DM, median dalam tahun (min-max) 72 (1-240) 108 (12-240)
<5 tahun, n (%) 25 (49,0) 6 (35,3)
5 tahun, n (%) 26 (51,0) 11 (64,7)
HDL, mean dalam mg/dL (SD) 46,53 (8,71) 47,13 (15,84)
Normal, n (%) 4 (7,8) 2 (11,8)
Rendah, n (%) 47 (92,2) 15 (88,2)
Trigliserida, median dalam mg/dL (min-max) 153 (75-692) 147 (93-377)
Normal, n (%) 6 (11,8) 3 (17,6)
Tinggi, n (%) 45 (88,2) 14 (82,4)
HbA1C, median dalam % (min-max) 7,8 (5,2-13,2) 7,5 (5,6-12,2)
<7,0, n (%) 18 (35,3) 2 (11,8)
7,0, n (%) 33 (64,7) 15 (88,2)

Universitas Indonesia
72

DISKUSI Asia.12 Namun studi lain oleh


Studi kali ini mendapatkan angka Almobarak pada pasien diabetes
prevalensi NAFLD pada populasi melitus menunjukkan bahwa usia tidak
diabetes melitus tipe 2 setinggi 45,2%, memiliki hubungan dengan kejadian
lebih tinggi daripada hasil studi dari NAFLD.13 Hasil yang serupa juga
Hasan et al yang dikerjakan pada ditemukan pada penelitian kami, usia
populasi umum di Indonesia (30%), tidak berhubungan dengan kejadian
namun lebih rendah dari yang didapat NAFLD (p=0,335).Baik pada populasi
oleh Lesmana et al (51%) yang juga NAFLD maupun bukan NAFLD,
dikerjakan pada populasi umum sebagian besar pasien penelitian kami
Indonesia.38 Hasil yang kami dapat memiliki lama DM di atas 5 tahun,
sesuai dengan hasil studi lain pada namun tidak terdapat perbedaan
populasi pasien diabetes melitus tipe 2. bermakna antara kedua kelompok ini.
Data dari populasi Barat menujukkan Hal ini menandakan proses NAFLD
bahwa prevalensi NAFLD pada pasien tidak berkaitan dengan lama diagnosis
diabetes melitus bisa mencapai 69%.1 DM. Literatur yang ada menunjukkan
Semenatara data dari Malaysia dan bahwa proses NAFLD kemungkinan
Nigeria memberikan angka masing- sudah terjadi sejak lama sebelum DM
masing 49,2% dan 16,7%.9,10 Perbedaan terdiagnosis.14
latar belakang subjek penelitian diduga Sebagian besar pasien dalam
memengaruhi perbedaan hasil kami studi kami, baik yang mengalami
dengan studi lainnya. NAFLD diketahui NAFLD maupun tidak, mengalami
berhubungan dengan gaya hidup kurang obesitas sentral. Namun tingkat
aktivitas fisik yang terutama ditemukan kejadian obesitas sentral ini lebih tinggi
pada negara-negara maju.11 pada populasi NAFLD (p=0,018).
Studi pada populasi umum oleh Namun pada analisis multivariat, justru
Lesmana et al menunjukkan bahwa usia obesitas yang diukur dengan parameter
merupakan salah satu prediktor IMT lebih banyak ditemukan pada
NAFLD.8 Telaah lain oleh Seto et al populasi NAFLD daripada non-NAFLD
juga menyatakan bahwa usia adalah (70,2% vs 44,1%, OR 2,989; 95% CI
salah satu faktor yang meningkatkan 1,625-5,499; p<0,001). Studi oleh
risiko NAFLD pada populasi umum di Trovato et al yang melibatkan 532

Universitas Indonesia
73

pasien NAFLD dan 667 pasien kontrol juga menemukan bahwa tidak terdapat
berhasil menunjukan adanya hubungan hubungan antara kadar trigliserida
IMT yang tinggi dengan kejadian dengan NAFLD.10 Studi lain yang
NAFLD.15 Sementara penelitian oleh dikerjakan pada populasi Kaukasia
Wang et al berhasil menunjukkan dengan diabetes melitus menemukan
bahwa prevalensi NAFLD meningkat bahwa lingkar pinggang yang tinggi
pada kelompok IMT yang lebih dan HDL yang rendah merupakan
tinggi.16 prediktor NAFLD pada pasien diabetes
Seperti halnya obesitas sentral, melitus. Namun studi ini juga
sebagian besar pasien pada penelitian menemukan bahwa HbA1C dan
ini memiliki parameter sindrom trigliserida tidak berhubungan dengan
metabolik yang lain, terlepas dari ada kejadian NAFLD.17 Hasil yang masih
tidaknya NAFLD. Tidak ditemukan bertentangan ini menunjukan bahwa
perbedaan antara parameter HDL, masih banyak faktor yang belum
trigliserida, maupun HbA1C antara diketahui yang mendasari kejadian
kedua kelompok pada studi kami. NAFLD pada pasien dengan diabetes
Sebuah studi yang serupa pernah melitus.
dikerjakan pada tahun 2008 oleh Leite Hasil yang didapat pada
et al. Sejalan dengan hasil yang kami penelitian kami yang menunjukkan
dapat, studi ini menujukkan bahwa baik bahwa tidak terdapat hubungan antara
kendali gula darah dan HDL tidak parameter sindrom metabolik yang
berhubungan dengan peningkatan risiko umum dengan kejadian NAFLD pada
NAFLD pada pasien diabetes melitus. pasien diabetes melitus tentu
Indikator NAFLD yang paling kuat bertentangan dengan banyakliteratur.8,
18
pada studi ini adalah IMT (OR= 7,1; Meskipun begitu, semua studi
95% CI= 3,0-17,0).7 Temuan ini sesuai sebelumnya lebih banyak melihat
dengan studi kami.Berbeda dengan hubungan itu pada populasi umum,
hasil kami, data lain pada populasi bukan pada pasien dengan diabetes
diabetes melitus Nigeria menunjukan melitus. Apabila kita menilai secara
adanya hubungan NAFLD pada DM deskriptif saja, hasil yang didapat pada
dengan obesitas sentral dan HDL yang penelitian ini sebetulnya sejalan dengan
rendah. Meskpun begitu peneliti ini apa yang dipaparkan studi-studi

Universitas Indonesia
74

sebelumnya, yaitu tingginya kejadian setinggi proporsi yang mengalami


sindrom metabolikpada pasien-pasien peningkatan lingkar pinggang.
NAFLD. Apabila dibandingkan dengan Studi kami menemukan adanya
populasi normal, angka-angka ini tentu kejadian fibrosis berat pada 25,0%
akan memberikan perbedaan yang pasien dengan NAFLD. Angka ini lebih
signifikan. Namun dalam studi ini kami tinggi daripada hasil dari Sudan yang
menemukan bahwa tingginya angka menunjukan bahwa fibrosis berat hanya
kejadian sindrom metabolik ini juga ditemukan pada 14,3% populasi
bisa ditemukan pada pasien diabetes diabetes melitus dengan NAFLD.13
melitus yang tidak mengalami NAFLD. Studi yang menilai derajat fibrosis pada
Hal ini kemungkinan menyebabkan pasien NAFLD masih jarang
perbedaan yang signifikan pada dikerjakan. Studi yang ada pun
parameter IMT dan tidak signifikan seringkali hanya dikerjakan pada
pada parameter lingkar pinggang. populasi umum, sehingga hasil studi
Mekanisme yang menyebabkan kami merupakan salah satu data awal
gangguan parameter metabolik pada penilaian derajat fibrosis pada
populasi umum yang menderita kelompok pasien dengan diabetes
NAFLD sudah teraktivasi oleh diabetes melitus tipe 2.
melitus sehingga keberadaan NAFLD Studi dari Kwok et al
tidak menunjukkan ciri yang berbeda menemukan tingkat peningkatan
pada populasi diabetes melitus ini. kekerasan hati sebanyak 20,6% pada
Telaah literatur terbaru juga pasien DM dengan NAFLD. Angka ini
menyatakan bahwa belum ada lebih kecil daripada temuan pada studi
penelitian yang bisa menjelaskan kami. Namun pada studi ini, elastografi
hubungan sebab akibat sindrom transien dikerjakan pada semua
metabolik dengan NAFLD.19 Proporsi populasi DM, dengan hanya 72,8%
pasien yang mengalami obesitas sentral yang mengalami NAFLD. Populasi
pada studi kami cukup tinggi (83,3%), pasien dengan fibrosis berat pada studi
bahkan pada populasi bukan NAFLD, Kwok memiliki karakteristik yang
sementara proporsi pasien yang serupa dengan studi kami dalam
mengalami peningkatan IMT tidak parameter usia, lama DM, IMT, lingkar
pinggang, HDL, dan HbA1C.

Universitas Indonesia
75

Perbedaan karakteristik dengan menunjukan hubungan dengan kejadian


populasi kami hanya ditemukan pada NAFLD pada pasien diabetes melitus
komponen trigliserida. Kwok juga tipe 2. Faktor usia, lingkar pinggang,
menyatakan bahwa peningkatan lama DM, kadar HDL, trigliserida, dan
kekerasan hati pada populasi diabetes HbA1C tidak menunjukan hubungan
melitus tipe 2 dewasa dipengaruhi oleh yang bermakna.
lama diabetes melitus yang lebih lama,
IMT yang lebih tinggi, peningkatan REFERENSI
ALT, peningkatan rasio albumin: 1. Chalasani N, Younossi Z, Lavine
JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K,
kreatinin urin sewaktu, dan HDL yang
et al. The diagnosis and
rendah.20 Studi-studi dari luar management of non-alcoholic fatty
liver disease: practice Guideline by
umumnya belum bisa mencapai
the American Association for the
kesepakatan mengenai parameter Study of Liver Diseases, American
College of Gastroenterology, and
metabolik mana saja yang dapat
the American Gastroenterological
digunakan untuk memrediksi tingkat Association. Hepatology. 2012
Jun;55(6):2005-23.
keparahan fibrosis pada pasien diabetes
2. Abd El-Kader SM, El-Den
melitus dengan NAFLD. Hal ini juga Ashmawy EM. Non-alcoholic fatty
liver disease: The diagnosis and
didukung telaah literatur yang memang
management. World J Hepatol.
belum menemukan hubungan sebab 2015 Apr 28;7(6):846-58.
3. Hasan I, Gani RA, R M.
akibat antara fibrosis dan sindrom
Prevalence and risk factors for
metabolik.21 nonalcoholic fatty liver in
Indonesia. (Abstract) J
Gastroenterol Hepatol.
KESIMPULAN 2002;17(suppl):A30.
4. Ekstedt M, Hagstrom H, Nasr P,
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
Fredrikson M, Stal P, Kechagias S,
bahwa prevalensi NAFLD pada pasien et al. Fibrosis stage is the strongest
predictor for disease-specific
diabetes melitus tipe 2 dewasa yang
mortality in NAFLD after up to 33
berobat ke Rumah Sakit Cipto years of follow-up. Hepatology.
2015 May;61(5):1547-54.
Mangunkusumo Jakarta adalah 45,2%,
5. Wong GL. Transient elastography:
dengan fibrosis berat ditemukan pada Kill two birds with one stone?
World J Hepatol. 2013 May
25,0% dari jumlah ini. Indeks Massa
27;5(5):264-74.
Tubuh merupakan satu-satunya 6. Stefan N, Haring HU. The
metabolically benign and
komponen dalam studi ini yang

Universitas Indonesia
76

malignant fatty liver. Diabetes. disease in Sudanese individuals


2011 Aug;60(8):2011-7. with type 2 diabetes: Is metabolic
7. Leite NC, Salles GF, Araujo AL, syndrome the culprit? Arab J
Villela-Nogueira CA, Cardoso CR. Gastroenterol. 2015 Jun;16(2):54-
Prevalence and associated factors 8.
of non-alcoholic fatty liver disease 14. Wang RT, Koretz RL, Yee HF, Jr.
in patients with type-2 diabetes Is weight reduction an effective
mellitus. Liver Int. 2009 therapy for nonalcoholic fatty
Jan;29(1):113-9. liver? A systematic review. Am J
8. Lesmana CR, Pakasi LS, Inggriani Med. 2003 Nov;115(7):554-9.
S, Aidawati ML, Lesmana LA. 15. Trovato FM, Martines GF,
Development of non-alcoholic Brischetto D, Trovato G, Catalano
fatty liver disease scoring system D. Neglected features of lifestyle:
among adult medical check-up Their relevance in non-alcoholic
patients: a large cross-sectional and fatty liver disease. World J
prospective validation study. Hepatol. 2016 Nov 28;8(33):1459-
Diabetes Metab Syndr Obes. 65.
2015;8:213-8. 16. Wang L, Guo J, Lu J. Risk factor
9. Chan WK, Tan AT, Vethakkan SR, compositions of nonalcoholic fatty
Tah PC, Vijayananthan A, Goh liver disease change with body
KL. Low physical activity and mass index in males and females.
energy dense Malaysian foods are Oncotarget. 2016 Jun
associated with non-alcoholic fatty 14;7(24):35632-42.
liver disease in centrally obese but 17. Trojak A, Walus-Miarka M,
not in non-centrally obese patients Wozniakiewicz E, Malecki MT,
with diabetes mellitus. Asia Pac J Idzior-Walus B. Nonalcoholic fatty
Clin Nutr. 2015;24(2):289-98. liver disease is associated with low
10. Olusanya TO, Lesi OA, HDL cholesterol and coronary
Adeyomoye AA, Fasanmade OA. angioplasty in patients with type 2
Non alcoholic fatty liver disease in diabetes. Med Sci Monit. 2013 Dec
a Nigerian population with type II 16;19:1167-72.
diabetes mellitus. Pan Afr Med J. 18. Amirkalali B, Poustchi H, Keyvani
2016;24:20. H, Khansari MR, Ajdarkosh H,
11. Ashtari S, Pourhoseingholi MA, Maadi M, et al. Prevalence of Non-
Zali MR. Non-alcohol fatty liver Alcoholic Fatty Liver Disease and
disease in Asia: Prevention and Its Predictors in North of Iran. Iran
planning. World J Hepatol. 2015 J Public Health. 2014
Jul 8;7(13):1788-96. Sep;43(9):1275-83.
12. Seto WK, Yuen MF. Nonalcoholic 19. Lonardo A, Ballestri S, Marchesini
fatty liver disease in Asia: G, Angulo P, Loria P.
emerging perspectives. J Nonalcoholic fatty liver disease: a
Gastroenterol. 2017 Feb;52(2):164- precursor of the metabolic
74. syndrome. Dig Liver Dis. 2015
13. Almobarak AO, Barakat S, Mar;47(3):181-90.
Suliman EA, Elmadhoun WM, 20. Kwok R, Choi KC, Wong GL,
Mohamed NA, Abobaker IO, et al. Zhang Y, Chan HL, Luk AO, et al.
Prevalence of and predictive Screening diabetic patients for
factors for nonalcoholic fatty liver non-alcoholic fatty liver disease

Universitas Indonesia
77

with controlled attenuation


parameter and liver stiffness
measurements: a prospective
cohort study. Gut. 2016
Aug;65(8):1359-68.
21. Mikolasevic I, Orlic L, Franjic N,
Hauser G, Stimac D, Milic S.
Transient elastography
(FibroScan((R))) with controlled
attenuation parameter in the
assessment of liver steatosis and
fibrosis in patients with
nonalcoholic fatty liver disease -
Where do we stand? World J
Gastroenterol. 2016 Aug
28;22(32):7236-51

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai