Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang

diakibatkan oleh peningkatan obesitas (Wijaya, 2004). Perdebatan tentang definisi

ini terjadi seiring dengan hasil penelitian yang terus berkembang, namun seluruh

kelompok studi tersebut setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan

hipertensi merupakan komponen utama SM. Meskipun SM memiliki berbagai

definisi yang berbeda, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenali

sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam

beberapa komplikasi1,2

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995 memperlihatkan

bahwa prevalensi Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah sebesar 1,8% dan

hipertensi sebesar 8,2%. Di tahun 2001, prevalensi PJK meningkat menjadi 4,3% dan

hipertensi bertambah menjadi 28% (Depkes, 2003; Khan et al., 2005). Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi

penyakit jantung 7,2%, hipertensi 31,7%, sedangkan Diabetes Mellitus (DM) 5,7%,

sedenterial 48,2%, obesitas 19,1% dan obes sentral 18,8%. Menurut tipe daerah

tampak lebih tinggi di daerah perkotaan (23,6%) dibandingkan daerah perdesaan

(15,7%). Prevalensi SM dapat dipastikan cenderung meningkat oleh karena

meningkatnya obesitas maupun obes sentral5,8


1
Penyakit kardiovaskuler (PKV) merupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas di negara-negara maju. Sebanyak 40% dari kasus kematian disebabkan

oleh penyakit ini dan penjelasan yang paling memungkinkan untuk menerangkan

munculnya epidemik baru (PKV) adalah adanya kondisi yang disebut sebagai SM3

Data epidemiologi menyebutkan prevalensi SM dunia adalah 20-25%. Hasil

penelitian Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada responden berusia

26-82 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita SM (Ford ES, 2004).

Sedangkan penelitian di Perancis menemukan prevalensi SM sebesar 23% pada pria

dan 21% pada wanita . Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI)

menunjukkan prevalensi SM sebesar 13,13% 5

SM terkait dengan prevalensi penyakit degeneratif, oleh karena itu maka

faktor sosial ekonomi (sosek) adalah hal yang perlu untuk diperhatikan. Faktor

tersebut berkaitan dengan Hipotesis Barker. Hipotesis ini menyebutkan bahwa anak

yang kekurangan gizi saat lahir atau semasa bayi mempunyai risiko yang tinggi untuk

menderita PJK atau Non-insulin Dependen Diabetes Mellitus pada saat dewasa 4

Selama ini faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab sindroma SM

terkait dengan obesitas, antara lain, pola makan, kurang olahraga, kelainan

metabolisme, mekanisme neuroendokrin, psikologi, obat-obatan, faktor sosial

ekonomi dan gaya hidup serta faktor genetika10.

Sosek menjadi faktor risiko yang berperanan penting pada perkembangan

kejadian obesitas sebagai prediktor utama kejadian SM. Penelitian Sobal dan

2
Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan antara sosial economic status

(SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di negara maju kelompok

wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi. 8

Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih

sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya

kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi (Inou,

2000).

Studi cross sectional pada sebagian besar perkotaan di Brazil menunjukkan

prevalensi SM yang tinggi (25,4%), yang meningkat pada masyarakat dengan usia

lebih tua (khususnya wanita) dan SES rendah. Meskipun prevalensi SM hampir sama

pada kedua jenis kelamin, tetapi frekuensi komponen yang menentukan SM sangat

bervariasi di antara mereka. Secara spesifik, interaksi yang signifikan antara jenis

kelamin dan SES telah ditemukan. Hal tersebut menjelaskan tentang interaksi yang

kompleks antara faktor risiko kependudukan dan biologis (Marquezine, 2007).

Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya

hidup (aktifitas rendah, pola makan tinggi energi dan rendah serat). Pola makan

sebagai penyebab utama obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai

aktifitas kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat

dan bergizi. Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang

terpapar dengan kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi

3
zat gizi sebagaimana yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant

sangat miskin serat. Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan,

mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar (Hadju, 2003). Diet tinggi serat

telah mendapat perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir disebabkan karena

hubungannya dengan peningkatan insiden beberapa gangguan metabolik seperti

hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit jantung dan kanker usus. Biasanya intake

energi setiap hari mengandung 30% lemak, akan tetapi tidak boleh lebih dari 10%

dari kalori ini bersumber dari lemak jenuh (hewani). Energi selebihnya seharusnya

didapatkan dari lemak polyunsaturated atau monounsaturated (Adam, 2006).

Hasil Riskesdas tahun 2007 di Indonesia menunjukkan berdasarkan kriteria

WHO prevalensi masyarakat yang kurang mengonsumsi buah sayur sebesar (93,6%)

dan konsumsi buah sayur proporsinya semakin rendah dengan semakin rendahnya

sosial ekonomi.

Data Susenas 2004 menunjukkan penduduk umur 15 tahun ke atas 85%

kurang beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik.

Penduduk wanita yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk

laki-laki. Sedangkan penduduk di perkotaan yang kurang beraktifitas fisik adalah

sebanyak 83%, lebih tinggi daripada penduduk di pedesaan (BPS, 2005). Hasil

Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi kurang aktifitas fisik sebesar 48,2%

dan terdapat kecenderungan prevalensi kurang aktifitas fisik semakin tinggi dengan

meningkatnya status ekonomi.

4
Faktor psikologi dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya

emosional yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut menyebabkan individu

cenderung untuk melakukan pelarian diri (self mechanism defence). Bentuk pelarian

diri bisa berupa mengonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol

tinggi dalam jumlah yang berlebihan (Dariyo, 2004).

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi sindroma metabolik

Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang

berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik.

5
Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan

tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan

proinflamasi (Semiardji, 2004).

Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan

darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.

Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka

orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO,

1999). Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh

kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi

merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM memiliki definisi yang

berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala

gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi

(Grundy, 2004).

Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama

yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan

hiperglikemia. Yang kemudian sindrom metabolik pertama kali dijelaskan oleh Jean

Vague pada tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan

abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald

Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan

manifestasi klinis, yang sekarang disebut sindrom metabolik dan dihubungkan

dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan

6
hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida, dan kolesterol

HDL yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya

pada tahun 1998 the World Health Organization mengajukan nama metabolic

sindrom yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas metabolik

(pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktor-faktor

dibawah (Isomaa et al, 2001):

1) Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmHg

2) Trigliserida 150 mg/dL

3) HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan

4) Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita

5) Mikroalbuminuria

Namun kebanyakan menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh World

Hearth Organization (WHO) and the National Cholesterol Education Program Adult

Treatment Panel III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap bahwa sindrom

metabolik merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan

kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL). Dislipidemia aterogenik

(protrombotik state), Resistensi insulin, hipertensi, obesitas abdominal dan

peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai karakteristik yang menyolok dari

sindrom metabolik (Pitsavos, 2006).

B. Kriteria sindroma metabolik

7
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World

Health Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation

(IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan

penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama

WHO menyampaikan definisi SM dengan komponen - komponennya antara lain : (1)

gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4)

dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau kolesterol high density

lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk pria; < 39 mg/dL untuk wanita; (5) obesitas

sentral (laki-laki : waistto-hip ratio > 0,90; wanita: waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau

indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin

Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g). SM dapat

terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir

terdapat pada individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999 menekankan pada adanya

toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau resitensi insulin yang

disertai sedikitnya 2 faktor risiko lain yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral

dan mikroalbuminaria (Marti, 1998; Adriansjah dan Adam, 2006).

Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP

III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:

lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum

trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL

untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110

8
mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas sentral menjadi

indikator utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis

terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas

sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk wanita

Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L)

atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL

(1,03 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang

dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik >

130 mmHg atau diastolik > 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4)

Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat

ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru

tersebut (IDF, 2005).

Kriteria diagnosis NCEP- ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah

untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah

mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah dalam penerapan

kriteria diagnosis NCEP-ATP III adalah adanya perbedaan nilai normal lingkar

pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO

mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia 90 cm pada pria dan wanita 80

cm sebagai batasan obesitas sentral.

9
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international,

sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 1

berikut menggambaran perbedaan ketiga definisi tersebut.

Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health


Organization), NCEP-ATP III dan IDF

Criteria diagnosis
Kriteria diagnosis WHO:
Komponen ATP III : 3 komponen IDF
Resistensi insulin plus :
di bawah ini
Obesitas abdominal/ Waist to hip ratio : Lingkar perut : Lingkar perut :
sentral Laki-laki : > 0,9 Laki-laki: 102 cm Laki-laki: 90 cm
Wanita : > 0,85 atau Wanita : >88 cm Wanita : 80 cm
IMB >30 Kg/m
Hiper- 150 mg/dl ( 1,7 mmol/L) 150 mg/dl (1,7 150 mg/dl
trigliseridemia mmol/L)
Hipertensi TD 140/90 mmHg atau TD 130/85 mmHg TD sistolik 130 mmHg
riwayat terapi anti hipertensif atau riwayat terapi anti TD diastolik 85 mmHg
hipertensif
Kadar glukosa Toleransi glukosa terganggu, 110 mg/dl GDP 100mg/dl
darah tinggi glukosa puasa
terganggu,resistensi insulin
atau DM
Mikro-albuminuri Rasio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
eksresi albumin 20
mcg/menit

C. Etiologi dan patofisiologi sindroma metabolik

1. Etiologi.

10
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu

hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah

resistensi insulin (Shahab, 2007).

Menurut pendapat Tenebaum (2003) penyebab sindrom metabolik adalah

a. Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi

resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler

(Mis.komplikasi jantung)

b. Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,

sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi

mikrovaskuler (Mis: nephropathy diabetica) (Anggraeni, 2007).

Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah

resistensi insulin (RI). RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat

ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan

antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang

menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan

pembentukan atheroma. Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang

mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu

yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress

kronik) mengalami obes sentral, RI dan dislipidemia. Para peneliti juga

mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal

11
yang terjadi akibat stress akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara

gangguan psikososial dan infark miokard.

Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya

akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral

(Tjokroprawiro, 2006). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak

visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak

tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin

proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-

produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma

bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes,

penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya

et al., 2004).

2. Patofisiologi.

Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme

yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan

meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen

Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya

ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi

oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam

sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres

oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal

12
patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis (Furukawa, et al,

2004).

Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit

antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2,

biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia.

Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi

endotel-angiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah

hiperglikemia yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu;

peningkatan jalur poliol, peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan

protein glikosilat (Majalah Farmacia, 2007).

Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa

di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel- pankreas.

Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga

berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis

(Ceriello, 2004). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak

pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan

peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase

(NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006)

13
ROS
Obesity
Oxidative Stress
in WAT
NADPH Oxidase

Antioxidative
Dysregulation of
Enzymes adipocytokines

ROS

Pal-1, TNF-, MCP-1

Oxidative Stress to Adiponectin


remote tissues

Insulin Resistace Diabetes Atherosclerosis


METABOLIC SINDROME

Gambar 1. Peningkatan produksi reactive oxidative stress (ROS) pada lemak yang
terakumulasi dan menyebabkan keadaan sindroma metabolik
(Furukawa, 2004).

Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres

oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi

sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada sel

adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa dkk

(2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan stres

oksidatif secara sistemik.

14
Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling

banyak diterima adalah resistensi insulin. Gambar 2 menunjukkan etiologi

patofisiologi dari resistensi insulin dan sindroma metabolik (Mahan, 2003).

Pengaruh lingkungan
Defisiensi zat-zat gizi
Pengaruh genetik Resistensi Insulin Intake kalori yang
berlebihan
Aktivitas fisik rendah

Hyperinsulinemia

Peningkatan Penurunan
Peningkatan Peningkatan Intoleransi Peningkatan Peningkatan
kolesterol kolesterol glukosa
Trygliserida asam urat lipogenesis tekanan darah
LDL HDL

Aterosklerosis Gout Diabetes Obesitas Hipertensi

Gambar 2. Etiologi patofisiologi resistensi insulin dan sindroma metabolik

D. Epidemiologi Sindroma Metabolik

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas di Negara-negara maju, 40 % dari kasus kematian disebabkan oleh

penyakit ini. The International diabetes Federation meyakini bahwa SM merupakan

pemicu munculnya tandem pandemik global antara DM tipe 2 dan penyakit

kardiovaskuler. Secara global insiden SM meningkat dengan cepat. Data

epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi SM Di dunia adalah 20-25 % (Fattah,

2006).

15
Prevalensi sindrom metabolik sangat bervariasi oleh karena beberapa hal

antara lain ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan

jenis kelamin. Walaupun demikian prevalensi SM cenderung meningkat oleh karena

meningkatnya prevalensi obesitas maupun obesitas sentral (Adriansyah & Adam,

2006).

Di Amerika, diperkirakan 61% (110 juta) orang dewasa mengalami

overweight dan obesitas (National Center for Health Statistics). Data dari survey

populasi nasional yang didemonstrasikan sejak tahun 1960 diperoleh bahwa

prevalensi overweight (BMI 25-29,9 kg/m2) meningkat sedikit yaitu dari 30,5%

menjadi 34%, dimana prevalensi obesitas (BMI 30 kg/m2) meningkat 2 kali yaitu

dari 12.8% menjadi 27%. Prevalensi obesitas meningkat secara progresif pada umur

20-50 tahun. Namun mengalami penurunan pada umur 60 tahun (National Center for

Health Statistics; Flegal et al,1998).

Studi epidemiologi di Cina terhadap 2776 orang dewasa yang berumur 20-94

tahun diperoleh prevalensi overweight dan obesitas adalah 29,5% dan 4,3% yang

sebagian besar adalah wanita. Lebih dari sepertiga responden memiliki kadar lipid

yang abnormal, TGT sebesar 10,8% dan 9,8% dari responden mengalami diabetes

tipe 2. Hipertensi 58,4%, dan sekitar 21% dan 29,3% memiliki kolesterol total dan

kadar trigliserida yang tinggi. Prevalensi SM ditemukan sebesar 10,2% (Jia et al,

2002).

16
Penelitian San Antonio Hearth (1979-1982) menemukan prevalensi sindrom

metabolik 15,8 % dari 1.125 orang Mexico-Amerika dan kulit putih yang berusia

antara 25-64 tahun yang sedikitnya ditemukan dengan dua faktor risiko dan 4,8 %

dengan tiga faktor risiko dengan menggunakan kriteria WHO. Hasil penelitian

Framingham Offspring Study menemukan prevalensi pada pria sebesar 29,4 % dari

1.144 pria dan 23,1% wanita berusia antara 26-82 tahun (Adriansjah dan Adam,

2006). Demikian juga penelitian terhadap urban Brazil ditemukan prevalensi SM

lebih tinggi pada pria muda dibanding wanita. Namun seiring dengan pertambahan

umur, prevalensinya meningkat pada wanita (Marquezine et al, 2008). Prevalensi

Sindrom metabolik berdasarkan NCEP pada survey NHANES III berdasarkan umur

dapat dilihat pada gambar 12 yang menunjukkan prevalensi SM dengan

menggunakan kriteria NCEP berdasarkan umur. Ini terlihat bahwa prevalensi SM di

United State yaitu sebesar 23-24%. Sedangkan berdasarkan ras/etnik prevalensinya

dapat dilihat pada gambar 13.

17
50%

40%

30%

20%

10%

0%
20-70+ 70

Gambar 12. Prevalensi sindrom metabolik: NHANES III berdasarkan umur


(Ford et al, 2002).

Gambar diatas diperoleh dari NHANES survey yang dikumpulkan dari tahun

1988-1992. Prevalensi SM tertinggi ditemukan pada Hispanic women. WHO juga

memperkirakan sindroma metabolik banyak ditemukan pada banyak kelompok

etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik, seperti India, Cina, Aborigin,

Polinesia dan Micronesia. Penelitian WHO Monica oleh Marques-Vidal, dkk. di

Perancis menemukan prevalensi pada pria (23%) dan terbanyak ditemukan pada

kelompok usia antara 55-64 tahun, yaitu pria 34% dan wanita 21%.

18
White Mexican American
40% African American other

30%

20%

10%

0%

Gambar 13. Prevalensi sindrom metabolik berdasarkan NCEP: NHANES III


berdasarkan jenis kelamin dan ras/etnis (Ford et al, 2002).

Di Asia prevalensi SM bervariasi di tiap Negara berturut-turut adalah 13,3%

di China, Taiwan (15, 1%), Palestina dan Oman Masing-masing 17%, Vietnam

(18,5%), Hongkong (22%), India (25,8%), Korea (28%), iran (30%) (IDF, 2006).

Hasil penelitian Park et al (2004) terhadap orang dewasa Korea Selatan diperoleh

bahwa prevalensi SM meningkat sesuai dengan perkembangan umur dimana pada

perempuan prevalensinya meningkat pada umur 50 tahun. Menopause merupakan

faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini. Pada tabel 4 dapat dilihat beberapa

prevalensi sindrom metabolik yang menggunakan kriteria WHO (WHO, 1999).


19
Tabel 4. Prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria WHO

Kelompok Prevalensi (%)


Negara
Umur (Th) Pria Wanita
India 20-75 36,4 46,5
Iran >20 24,0 42,0
Mexico 20-69 Total 26,6
Skotlandia 45-64 26,2 -
Turki >31 27,0 38,6
Australia >24 19,5 17,2
Maunitius >24 10,6 14,7
Perancis 30-64 10,0 7,0
Amerika Serikat 45-49 43,6 56,7
(Amerika asli)
Amerika Serikat
50-69 - 34,5
(Filipina Amerika)
Amerika serikat (Ford, >19 24,2 23,5
dkk)
Amerika Serikat (meigs, 30-79 26,9 21,4
dkk)
Amerika Serikat (Non- 30-79 24,7 21,3
hispanic)
Amerika serikat 30-79 29,0 32,8
(Meksiko-Amerika)

Sedangkan dengan menggunakan kriteria NCEP ATP III distribusinya dapat

dilihat pada tabel 5 berikut (Adriansjah dan Adam, 2006; Ford, 2002). Di Indonesia,

prevalensi SM terus meningkat seiring dengan perubahan pola dan taraf hidup. Data

dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi SM

sebesar 13,13% (Fattah, 2006). Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang

pria berusia antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan

ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia (menurut klasifikasi

20
usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu 90 cm untuk pria dan 80 cm untuk

wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9 %. Prevalensi lebih tinggi yaitu sebesar

62,0 %, ditemukan pada subyek dengan obesitas sentral. (Adriansjah dan Adam,

2006; Ford, 2002).

Tabel 5. Prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria NCEP ATP III

Kelompok Umur Prevalensi (%)


Negara
(Th) Pria Wanita
Australia >35 25,2 16,7
Inggris (Balkau, dkk) 40-65 >44,8 >33,9
Inggris (Balkau, dkk) 40-75 >12,6 >13,3
Perancis (Balkau, dkk) 30-65 >23,5 >9,6
Perancis (Marques-Vidal, dkk) 35-64 23,0 12,0
Belanda 20-60 >19,2 >7,6
Mauritius >24 20,9 17,6
Amerika serikat (Ford, dkk) 40-74 41,3 32,7
Amerika Serikat (meigs, dkk) 30-79 30,3 18,1
Amerika Serikat (Non-hispanic) 30-79 24,7 17,2
Amerika serikat (Meksiko- 30-79 32,0 28,3
Amerika)

Fenotip obesitas pada beberapa kelompok etnis di negara sedang

berkembang menunjukkan perbedaan daripada yang terlihat pada orang kaukasian

putih pada negara maju. Beberapa investigasi juga menunjukkan bahwa orang

Asia memiliki lemak tubuh yang lebih banyak utamanya di Asia Selatan

dibandingkan dengan orang kaukasian putih pada level BMI yang sama (Dudeja,

2001; Deurenberg, 2000; Yajnik, 2002).

21
Raji et al menunjukkan bahwa pada nilai BMI yang sama, migran Asian

Indians memiliki lemak abdominal total dan intraabdominal yang lebih besar

secara signifikan dibanding orang Kaukasian putih di United States. Asian

Indians memiliki glucose disposal rates lebih rendah selama the hyperinsulinemic

euglycemic clamp, higher procoagulant tendency, dan dyslipidemia dibanding

dengan Caucasian putih (Chandalia, 1999; Raji et al, 2001). Penting dicatat

bahwa Asian Indians memiliki kadar hepatic triglycerida yang lebih tinggi, yang

dihubungkan dengan kadar insulin yang tinggi dan adiponektin yang rendah

daripada Caucasian Putih.

Selain itu kebanyakan negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin

dan Afrika Northern dan Timur Tengah umumnya terjadi perubahan diet

termasuk peningkatan konsumsi lemak, utamanya lemak dari hewani dan gula

serta intake sereal dan serat yang rendah. Hal yang penting bahwa kebanyakan

orang-orang yang SES rendah dan tinggal di negara sedang berkembang pada

awalnya kurus. Namun ketika bermigrasi dari rural area ke kota metropolitan,

mereka dengan cepat memperoleh faktor risiko dihubungkan dengan urbanisasi

meskipun sisa pada SES yang sama pada habitat sebelumnya. Khususnya mereka

mulai merokok, mengkonsumai alkohol dan pola konsumsi yang tidak seimbang

serta memiliki sedentary job (Misra et al, 2001; Misra and Khurana, 2008).

Survey WHO (2002-2003) terhadap 212,021 orang dewasa dari 51 negara,

kebanyakan negara sedang berkembang yaitu sekitar 155 laki-laki dan 20%

22
perempuan berisiko mengalami penyakit kronis akibat kurang beraktivitas

(Guthold et al, 2008). Prevalensi aktivitas fisik lebih sedikit dibanding jumlah

yang direkomendasikan, tinggi pada negara sedang berkembang yaitu dengan

range 17 hingga 91% (Misra and Khurana, 2008).

B. FAKTOR RISIKO SINDROMA METABOLIK

Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan yang

dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor

risiko SM, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan

aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stres.

1. Gaya hidup

Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama SM tak lepas

dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola konsumsi yang tidak

seimbang, Studi yang dilakukan oleh Research Triangle institute International,

dan dibiayai oleh CDC's Division of Nutrition and Physical Activity

menggunakan latar belakang data dari survei nasional di Amerika yang dilakukan

1980 dan 1990 ternyata menunjukkan hubungan prevalensi obesitas/berat badan

lebih dan jumlah jam yang dipakai anak-anak untuk nonton TV (Arief, 2008).

Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai

penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Menu yang tersaji

cenderung banyak mengandung garam, lemak dan kolesterol. Konsumsi lemak

Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun

23
1990)(Badan pusat statistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh

penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur dan buah.

Lebih banyak penduduk kurang beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak

beraktivitas (9,1%) (Susenas 2004).

Hasil penelitian Esmaillzadeh (2006) di Tehran Iran diperoleh bahwa

konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian

sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan

rendahnya kadar kolesterol HDL. Studi cross sectional lain pada dewasa muda

menunjukkan bahwa seseorang dengan sindrom metabolik secara signifikan

memiliki konsumsi sayur dan buah yang rendah dibanding yang tidak memiliki

risiko metabolik.

Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan dengan

penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti hipertensi, diabetes,

obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker kolon (Pitsavos, 2006). Konsumsi

gula dengan pemanis yang rendah energi atau karbohidrat kompleks

direkomendasikan dalam mengurangi intake energi dan menurunkan berat badan

(Vermunt et al, 2003).

Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat larut

mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan

bersama tinja . dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut (tidak dicerna,

namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak asam empedu dan

24
lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Dalam hal ini serat membantu mengurangi

kadar kolesterol dalam darah. Serat larut air menurunkan kadar kolesterol darah

hingga 5% atau lebih. Serat larut yang terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-

bijian (gandum), dan kacang-kacangan. Pektin (serat larut air dari buah) dapat

menurunkan kadar kolesterol LDL (suyono, 2001).

Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan buah

terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi

risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium,

magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah dihubungkan

dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah

menurunkan risiko penyakit jantung melalui penurunan konsentrasi CRP yang

merupakan marker inflamasi. Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa

konsumsi dari DASH (Dietary Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain

diet kaya sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian

sindrom metabolik (Ezmaillzadeh et al, 2006). Esposito et al menunjukkan

bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur, menurunkan marker

inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi 5 porsi sayur dan buah sehari

direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit kronis (Esmaillzadeh et al,

2006 ;Esposito et al, 2004).

Sayur dan buah adalah sumber dari berbagai nutrient seperti vitamin,

mineral, serat dan berbagai jenis biological active. Biological active Ini dikenal

25
dengan fitokimia yang termasuk sebagai antioksidan, menurunkan agregasi

platelet dan metabolisme kolesterol serta menurunkan tekanan darah (Lipoeto,

2002).

Suatu studi epidemiologi mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik

dan prevalensi sindrom metabolik yaitu ATTICA Study. Hasilnya menunjukkan

bahwa aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga sedang (mengeluarkan < 7

kcal/min ) dihubungkan dengan prevalensi SM pada 3042 laki-laki dan wanita

dari populasi umumnya. The Center for Diseases Control and Prevention and

America College of Sport Medicine merekomendasikan aktivitas fisik dengan

intensitas sedang sedikitnya 30 menit. Kadar aktivitas ini dapat ditoleransi oleh

dewasa muda maupun yang tua (Pitsavos, 2006).

Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap

tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada level

moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien dengan

hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga memberikan efek

yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket Hearth Study grup

melaporkan bahwa aktivitas fisik berhubungan signifikan dengan peningkatan

kadar HDL kolesterol (Pitsavos,2006).

Dalam hubungannya dengan tekanan darah, penelitian yang dilakukan

oleh Paffenbarger di Amerika Serikat terhadap kelompok mahasiswa

menemukan bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah pada mereka

26
yang melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam per minggu daripada mereka

yang kurang aktif (Hayens et al.,2003).

Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya penyakit

kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study

menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari

mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk

perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok (Soeharto, 2004).

Berdasarkan penelitian kohort Dede Kusmana selama 13 tahun di Jakarta,

prevalensi perokok pada tahun 1988 pada pria Indonesia cukup tinggi yaitu 65,6

% dan 8,9 % pada wanita, disamping yang sudah dikeluarkan sebesar 15.3 % dan

0.7 % secara berturut-turut. Kebiasaan merokok dimulai pada usia 8 tahun dan

yang paling tertua 50 tahun. Jumlah rokok yang dikonsumsi mulai dari 1-9

batang sampai lebih dari 36 batang perhari. Rokok kretek merupakan pilihan

pertama dibandingkan dengan jenis rokok lainnya. Risiko kejadian penyakit

kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang yang merokok

dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih besar pada

orang yang merokok kretek (Kusmana, 2007).

Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap,

bukan lamanya waktu seseorang telah merokok (Soeharto, 2004). Orang yang

merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua

faktor utama risiko (hipertensi dan hiperkolesterol) (Anwar, 2004).

27
Hasil penelitian Neunteufl et al (2002) menunjukkan bahwa nikotin

meyebabkan disfungsi endotel akut pada perokok jangka panjang. 1 mg nikotin

menyebabkan disfungsi endotel di arteri brachial pada perokok kronis. Merokok

sigaret menyebabkan konstriksi immediate arteri koroner epicardial dan

peningkatan resistensi vessel tone di arteri koroner meskipun kebutuhan oksigen

miokardial meningkat. Mekanisme merokok menyebabkan disfungsi endotel

terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang baik dari rokok yang

mengandung banyak radikal bebas seperti radikal superoxide anion dan hidroksil

yang menurunkan NO (nitrit oksida) yang dilepaskan dari endotelium. Nikotin

menyebabkan disfungsi endotel dengan peningkatan oksidatif stress.

Studi eksperimental yang baru juga menunjukkan bahwa merokok dapat

merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat maupun pada

pasien Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Targher, 1999).

Weight gain umumnya terjadi pada orang yang berhenti merokok dan

paling tidak sebagian dimediasi oleh nikotin. Weight gain dari 1-2 kg pada

beberapa minggu pertama biasanya diikuti dengan penambahan 2-3 kg weight

gain dalam 4-6 bulan. Rata-rata weight gain yakni 4-5 kg, namun bisa saja lebih

besar dari itu.

Hubungan antara merokok dan obesitas belum sepenuhnya dipahami. Di

satu sisi nikotin meningkatkan energi expenditure (EE) dan mengurangi nafsu

makan, yang dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung mengalami

28
penurunan berat badan dibanding yang tidak merokok dan mengapa berhenti

merokok sering diikuti dengan kenaikan berat badan. Kepercayan populer

diantara perokok dan bukan perokok bahwa merokok merupakan salah satu cara

untuk mengontrol berat badan. Di sisi lain, penelitian mengindikasikan bahwa

perokok berat (merokok dalam jumlah yang lebih banyak) memiliki berat badan

yang lebih tinggi dibanding perokok ringan, dan terdapat pengelompokan

merokok, obesitas dan status ekonomi rendah, hanya pada negara maju. Akhirnya

terdapat peningkatan bukti bahwa merokok berefek tehadap distribusi lemak

tubuh yang berhubungan dengan obesitas sentral dan resistensi insulin (Chiolero,

2008).

Merokok berefek terhadap berat badan dapat menyebabkan kurangnya

berat badan akibat meningkatnya metabolic rate, penurunan efisiensi metabolik

atau penurunan absorpsi kalori (mengurangi nafsu makan), yang semuanya

berhubungan dengan penggunaan tembakau. Efek metabolik merokok dapat

menjelaskan rendahnya berat badan yang ditemukan pada perokok. Merokok satu

batang menyebabkan 3% peningkatan EE dalam waktu 30 menit (Dallosso,

1984), merokok 4 batang rokok yang mengandung 0,8mg nikotin meningkatkan

EE 3,3% dalam 3 jam. Pada perokok reguler yang metabolismenya diperoleh dari

metabolic ward, merokok 24 batang dalam sehari meningkatkan total EE dari

2230 sampai 2445 Kcal/hari dan stimulasi aktivitas sistem nervous simpatetic

terlibat. Efek merokok terhadap EE pada obesitas masih lemah. Ini juga

29
tergantung pada aktivitas fisik dan olahraga. Pada perokok berisiko tinggi

mengalami hipertiroidisme dibanding bukan perokok sehingga dapat

meningkatkan metabolic rate (Asvold et al, 2007)

Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolic rate sehingga dapat

membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk kurang

beraktivitas dibanding yang tidak merokok. (Klesges et al, 1990 dalam Chiolero,

2008).

Gambar 20. Hubungan antara merokok, resistensi insulin dan akumulasi lemak
viseral dengan sindrom metabolik dan resistensi insulin.
Hubungan antara merokok dan akumulasi lemak viseral dapat
dijelaskan oleh masuknya aktivitas fisik yang rendah dan
makanan tidak sehat yang sering ditemuai pada perokok sebagai
pengganggu.

2. Genetik

Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini dihubungkan dengan

fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan kromosom telah
30
dihubungkan dengan fenotip obesitas. Penelitian tentang gen ini telah

mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs) manusia dan 168 QTLs dari

hewan percobaan untuk obesitas.

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas menunjukkan

bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas. Gen the

beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang paling banyak di uji dan telah

menunjukkan hubungan dengan terjadinya obesitas. Gen-gen lain yang juga telah

diteliti dalam lima model penelitian berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas

adalah gen LEPR, gen ADBR2, gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen

LDLR, TNFRSFI B, POMC, APOB,APOD dsb (Bray, 2006).

Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 70%. Pada beberapa orang

faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain faktor

lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan obesitas tidak

timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi berbagai gen obesitas

(Garrow, 1988). Hasil penelitian Mayers menunjukkan bahwa kemungkinan seorang

anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika

kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas (Siregar,

2006).

3. Sosial ekonomi

Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang dengan

sosial ekonomi rendah (Jordan et al, 2008). Di negara-negara maju seperti Amerika

31
dan Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi

rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi

tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan

antara sosial economic status (SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan

bahwa, di negara maju kelompok wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi

obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi

(Crawford et al, 2005).

Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih

sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya

kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi.

Prevalensi Obesitas di Afrika Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat

dan Mesir, 70% wanita da 48% pria mengalami overweight dan obesitas. Penelitian

efek obesitas terhadap penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di

Afrika Utara dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih

berpendidikan dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air

daripada di Senegal dengan GDP perkapita di Afrika Utara lebih besar 6,6 kali

dibandingkan di Senegal. Rata-rata BMI di Afrika Utara adalah 27,3 dan di Senegal

22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal

hanya 6,5% (Misra, 2001).

Fernald (2007), dalam penelitiannya menyatakan terdapat hubungan antara

BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan di negara sedang

32
berkembang. Untuk negara maju, tingginya obesitas berhubungan secara terbalik

dengan status sosio-ekonomi, terutama untuk wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau

anak. Namun bagi negara sedang berkembang tidak demikian terdapat hubungan

positif antara status sosio-ekonomi dengan obesitas bagi kedua gender.

Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah

penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia,

masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun

1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi

tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola

aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan

obesitas (Almatsier, 2004).

Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui

bahwa masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan harapan

dapat mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya mereka bermukim di

daerah kumuh dan bekerja serabutan (Misra, 2001). Hal ini menyebabkan perubahan

pada pola makan, terpaparnya stress, dan menurunnya akivitas fisik, meningkatnya

kegiatan merokok dan konsumsi alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor

resiko terjadinya obesitas. Bagaimanapun juga, di negara-negara berkembang,

kelangkaan dan kekurangan pangan masih menjadi masalah, namun kecenderungan

akan kejadian penyakit tidak menular pada masyarakat miskin perlu menjadi

perhatian. Pada penelitian Sawaya di Brazil melaporkan kejadian obesitas sebesar

33
6,4% pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan dari 2411 subyek yang

bermukim di kota-kota pondok. Terdapat 30% prevalensi kurang gizi, dan 78-90%

anak stunting, namun secara bersamaan diketahui bahwa prevalensi overweight dan

obesitas cukup tinggi yakni masing-masing 16,7% dan 14,1% (Florencio, et al, 2003).

Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES rendah

adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih modern yang tinggi

akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi petani dengan

tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang kaki lima dengn

aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas

hypothalamus pituitary adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh,

serta faktor genetik (Crawford, 2005).

Prevalensi Obesitas cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat

sosial ekonomi rendah baik di Amerika Serikat dan di negara lainya. Hubungan

terbalik antara sosioeconomics status (SES) dan kejadian overweight pada orang

dewasa dan anak-anak, dicontohkan pada Studi Minnesota heart. Orang-orang

dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat badan mereka,

termasuk dengan exercise dan cenderung makan makanan rendah lemak. Pada studi

National Heart, lung and blood institute growth and health menunjukkan bahwa SES

dan overweight diasosiasikan dengan suku kaukasian anak usia 9-dan 10 tahun serta

ibunya, tetapi tidak pada anak Amerika dan Afrika. Wanita Afrika Amerika dari

34
segala usia lebih banyak mengalami obesitas dibandingkan wanita suku kaukasian

(Crawford, 2005).

Sebuah studi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan hipertensi

pada wanita di Kabupaten Sukoharjo (Rebecca, 2008) diperoleh berdasarkan hasil

analisis, dapat disimpulkan antara lain bahwa tingkat pendidikan berhubungan

signifikan dengan hipertensi pada wanita di Kabupaten Sukoharjo. Wanita

berpendidikan SMP/SMU mempunyai risiko seperlima lebih kecil untuk mengalami

hipertensi dibandingkan dengan yang berpendidikan SD/Tidak Sekolah (OR = 0,21;

CI 95 % = 0,45 0,99). Wanita berpendidikan PT mempunyai risiko sepersepuluh

kali lebih kecil untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang

berpendidikan SD/tidak sekolah (OR = 0,10; CI 95 % = 0,02 0,59) (Rebecca, 2008).

Hasil penelitian juga menemukan bahwa pendidikan rendah (<12 tahun)

berhubungan dengan SM pada wanita, (OR 1,77; 95 % Cl, 1,39-2,24) dan kurang

pada laki-laki dibanding pendidikan tinggi (>12 tahun). (Louks et al, 2006), hal yang

sama juga ditemukan pada penelitian Santos (2008) yang menemukan bahwa sindrom

metabolik secara signifikan lebih sering pada wanita (24,9 vs 17,4 p<0,001). Peluang

wanita meningkat siring dengan penambahan usia, kelas sosial yang kurang baik yang

digambarkan dengan pekerjaan dan penurunan tingkat pendidikan.

Hubungan antara SES dan faktor risiko CVD sangat kuat dan konsisten

terhadap pendidikan, menunjukkan risiko tinggi diabetes dan obesitas yang

dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Studi Jatson et al melaporkan

35
hasil yang sama, menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berbanding terbalik

dengan tingkat pendidikan (Stelmach et al, 2004).

Jenis pekerjaan dihubungkan dengan kejadian obesitas. Hasil penelitian

Arambepola (2006) menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih banyak pada

laki-laki yang memiliki pekerjaan sedentarian (profesional, manager, tata usaha) dan

hanya 6% pada mereka yang memiliki pekerjaan aktif yang tinggi (petani, nelayan,

tukang kayu).

36
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki

tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa

hiperglikemik. Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM

adalah NCEP-ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria

yang disepakati, antara lain: lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88

cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida > 150 mg/dL), kadar

HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita; tekanan

darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL.

2. Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu

hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik

adalah resistensi insulin Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi,

namun hipotesis yang paling banyak diterima adalah resistensi insulin.

Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme

yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan

meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive

Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa.

Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan


37
keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim

antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres

oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan

adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan

aterosklerosis.

3. Prevalensi SM Di dunia adalah 20-25 %. Prevalensi sindrom metabolik

sangat bervariasi oleh karena beberapa hal antara lain ketidakseragaman

kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan jenis kelamin.

Walaupun demikian prevalensi SM cenderung meningkat oleh karena

meningkatnya prevalensi obesitas maupun obesitas sentral. penelitian

terhadap urban Brazil ditemukan prevalensi SM lebih tinggi pada pria

muda dibanding wanita. Namun seiring dengan pertambahan umur,

prevalensinya meningkat pada wanita.

Faktor resiko SM meliputi gaya hidup (pola makan, merokok, aktivitas

fisik), genetic, social ekonomi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Adrianjah, H dan Adam, J., 2006. Sindroma Metabolik:Pengertian, Epidemiologi,


dan Criteria Diagnosis. 2006.

2. Almatsier, S., 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

3. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic Sindrome: from
Bench to Bedside. Springer Science.

4. Ceriello A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism Underlying


Insulin Resistance, Diabetes and CVD?, Arterioscler Thromb Vac Bio 2004 ; 24 :
816-823.l

5. Gu D, Reynolds K, Wu X, Chen J, Duan X, Reynolds RF, Whelton PK, He J,


2005. Prevalence of The Metabolic Syndrome and Overweight Among Adults in
China. Lancet 365:13981405

6. Hadju, V., 2003. Bahan Bacaan Mata Kuliah Dietetik Masyarakat. Makassar.
Jurusan Gizi FKM Unhas.

7. Hayens, B., et al, 2003. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta:


Ladangpustaka & Intimedia.

8. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic


Syndrome.(online) (www.idf.org, diakses 02 April, 2016)

9. Inoue, S. Zimmet P. Caterson I. 2000. The Asia Pasific Perspective: Redefining


Obesity and Its Treatment. Health Communication. Australia.

10. Isomaa B et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the
metabolic syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.

11. Jia, WP. KS Xiang, L. Chen, JX Lu, YM. Wu. Epidemiological Study on Obesity
and Its Comorbidities in Urban Chinese Older than 20 Years of Age in Shanghai
China. Obesity Reviews, 2002 ; 3:157165

12. Khan R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolic Syndrome: Time for a
Critical Appraisal: Join Statement from the American Diabetes Association and
39
the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2005; 28:
2289-2304

13. Kim, B.J et al. Association of Smoking status, Weight Changes, and incident
Metabolic syndrome in Men : A 3-Year Follow-Up Study. Diabetes care, 2007
(32:7)

14. Lipoeto, N., 2002. Consumption of Minangkabau Traditional Food and


Cardiovascular Disease in west sumatra, indonesia. Monash university..

15. NHLBI. 1998. Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and


Treatment of Overweight and Obesity in Adults: The Evidence Report. (Online),
(www.nhlbi.nih.gov/guidelines/obesity/ob_gdlns.htm, diakses Maret 2016)

16. Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi
Endotel pada Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. Prodia Diagnostics
Educational Services. No. 2.
17. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran. (online), (http:/ alwia.com, diakses 24 Januari 2009)

18. Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and


Metabolic Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-
166.
19. Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review. Obesity
Reviews (2003) 4, 9199
20. WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.

21. Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum.
4:1-16

40

Anda mungkin juga menyukai