Anda di halaman 1dari 29

GEOLOGI PULAU SUMATRA

1. Gambaran Umum Pulau Sumatera

Pulau Sumatra, berdasarkan luas merupakan pulau terbesar keenam di dunia. Pulau ini

membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, seolah membagi pulau

Sumatra atas dua bagian, Sumatra belahan bumi utara dan Sumatra belahan bumi

selatan. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas

permukaan laut, merupakan barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari

ujung utara ke arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan

pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas

dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut

China Selatan.

Di bagian utara pulau Sumatra berbatasan dengan Laut Andaman dan di bagian selatan

dengan Selat Sunda.Pulau Sumatra ditutupi oleh hutan tropik primer dan hutan tropik

sekunder yang lebat dengan tanah yang subur.Gungng berapi yang tertinggi di Sumatra

adalah Gunung Kerinci di Jambi, dan dengan gunung berapi lainnya yang cukup terkenal

yaitu Gunung Leuser di Nanggroe Aceh Darussalam dan Gunung Dempo di perbatasan Sumatra

Selatan dengan Bengkulu. Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena

dilintasi oleh patahan kerak bumi disepanjang Bukit Barisan, yang disebut Patahan Sumatra; dan

patahan kerak bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau

terbesar di Indonesia, Danau Tobaterdapat di pulau Sumatra.

2. Sejarah Terbentuknya Struktur Geologi Pulau Sumatera


Struktur geologi adalah segala unsure dari bentuk arsitektur kulit bumi / gambaran

geometri (bentuk dan hubungan) yang diakibatkan oleh gejala - gejala gaya endogen. Secara

umum terdapat unsur - unsur dari struktur geologi yaitu, Bidang perlapisan, Lipatan, Patahan dan

kekar atau joint.

Pada awal berkembangnya geologi, Pemikiran geologi dimulai oleh Leonardo da Vinci

(1452-1519).Pada awalnya perkembangan geologi didominasi pemikiran klasik (fixist), yang

menganggap pembentukan orogenesa dan geosinklin terjadi di tempat yang tetap. Mewakili

pemikiran ini misalnya Erich Haarmann (1930), yang menyatakan bahwa orogenesa terjadi

karena kulit bumi terangkat seperti tumor, dan melengser karena gaya berat. Selanjutnya

pendapat ini diterapkan oleh van Bemmelen (1933) di Indonesia sebagai Teori Undasi.

Pemikiran lain, mobilist dikemukakan Antonio Snider-Pellgrini (1658) yang mencermati

kesamaan bentuk pantai barat dan timur Atlantik, serta Alfred Lothar Wegener (1915) yang

mengemukakan konsep benua mengembara.Perubahan mendasar geologi global terjadi setelah

Perang Dunia II, ketika data geofisika lantai samudera menunjukkan bahwa jalur anomali

magnet mempunyai rasio yang tetap di mana-mana.Pada 250 juta tahun yang lalu benua

merupakan satu kesatuan benua induk, atau Pangea. Perputaran bumi mendorong benua untuk

bergerak ke arah kutub, sehingga benua terpecah-pecah sebagai kepingan benua kecil-kecil

seperti saat ini: 6 lempeng utama dengan 14 lempeng yang lebih kecil. Dengan demikian maka

seluruh permukaan bumi berada di dalam satu kesatuan proses geologis yang universal: Tektonik

Global.

Pengaruh Tektonik Regional pada Perkembangan Sesar Sumatera, Sejarah tektonik

Pulau Sumatera berhubungan erat dengan pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia
Tenggara, sekitar 45,6 Juta tahun lalu yang mengakibatkan perubahan sistematis dari perubahan

arah dan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya.

Proses tumbukan ini mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah

timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik. Selanjutnya sebagai

respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara

terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vectorini secara geometri akan mengalami

kenaikan ke arah barat laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua

lempeng tersebut.

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan

busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan

menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera

menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola. Bagian selatan

terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk,

geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang

tidak selaras dengan pola penunjaman.

Kompleksitas tatanan geologi Sumatera, perubahan lingkungan tektonik dan

perkembangannya dalam ruang dan waktu memungkinkan sebagai penyebab keanekaragaman

arah pola vektor hubungannya dengan slip-ratedan segmentasi Sesar Sumatera. Hal tersebut

antara lain karena (1) perbedaan lingkungan tektonik akan menjadikan batuan memberikan

tanggapan yang beranekaragam pada reaktivasi struktur, serta (2) struktur geologi yang lebih tua

yang telah terbentuk akan mempengaruhi kemampuan deformasi batuan yang lebih muda.
3. Kondisi Geologi Pualu Sumatera

Secara garis besar, Pulau Sumatera terbagi menjadi beberapa geologi regional sumatera

yang dalam makalah ini akan dicoba untuk dibahas satu persatu setiap geologi regional itu.

Dalam pembahasan kali ini, akan dijelaskan mengenai Geologi Regional Sumbar,

Geologi Regional Sumteng dan Sumatera Selatan.

1. Kondisi Geologi Sumbar

Data geologi daerah Provinsi Sumatera Barat merupakan hasil kompilasi/perpaduan dari

beberapa peta geologi sekala 1 : 250.000 yang \ diterbitkan oleh Pusat Survey Geologi (Badan

Geologi), peta geologi tersebut antara lain adalah lembar Pulau Telu Muara Sikabaluan (0615 -

0614); lembar Lubuk Sikaping (0716); lembar Painan - Muara Siberut (0814 - 0714); lembar

Sikakap - Burisi (0713 0712); lembar Sungai Penuh (0813); lembar Padang (0715) dan lembar

Solok (0815)

Struktur yang berkembang di Provinsi Sumatera Barat adalah struktur perlipatan (antiklinorium)

dan struktur sesar dengan arah umum baratlaut tenggara, yang mengikuti struktur regional P.

Sumatera.Kondisi stratigrafi dari struktur geologi sumatera barat adalah sebagai berikut.

Kelompok Pra Tersier : kelompok ini mencakup masa Paleozoikum Mesozoikum,

dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok batuan melange, kelompok batuan

malihan; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan terobosan.

Kelompok batuan ultrabasa Pra Tersier disusun oleh batuan harzburgit, dunit,

serpentinit, gabro dan basalt.


Kelompok Melange Pra Tersier merupakan kelompok batuan campur aduk yang

disusun oleh batuhijau, graywake, tufa dan batugamping termetakan, rijang aneka warna.

Kelompok batuan malihan Pra Tersier disusun oleh batuan sekis, filit, kwarsit, batusabak,

batugamping termetakan.

Kelompok batuan sedimen Pra Tersier yang didominasi oleh batugamping hablur

sedangkan kelompok batuan terobosan Pra Tersier disusun oleh granit, diorit, granodiorit, porfiri

kuarsa, diabas dan basalt.

Kelompok transisi Pra Tersier Tersier Bawah yang merupakan kelompok batuan

terobosan yang terdiri dari batuan granodiorit dan granit.

Kelompok Tersier dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok batuan

melange; kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan

terobosan. Kelompok batuan ultrabasa Tersier disusun oleh batuan serpentinit, piroksenit dan

dunit.

Kelompok batuan melang Tersier yang merupakan batuan campur aduk disusun oleh

graywake, serpih, konglomerat, batupasir kwarsa, arkose, serpentinit, gabro, lava basalt dan

batusabak.

Kelompok batuan sedimen Tersier disusun oleh konglomerat, aglomerat, batulanau,

batupasir, batugamping, breksi dan napal.

Kelompok batuan gunungapi Tersier disusun oleh batuan gunungapi bersifat andesitik-

basaltik, lava basalt sedangkan kelompok batuan terobosan Tersier terdiri dari granit, granodiorit,

diorit, andesit porfiritik dan diabas.


Kelompok transisi Tersier Kwarter (Plio-Plistosen) dapat dipisahkan menjadi

kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan terobosan.

Kelompok batuan sedimen Plio-Plistosen disusun oleh konglomerat polimik, batupasir,

batulanau dan perselingan antara napal dan batupasir.

Kelompok batuan gunungapi Plio-Plistosen disusun oleh batuan gunungapi andesitik-

basaltik, tufa, breksi dan endapan lahar sedangkan kelompok batuan terobosan Plio-Plistosen

terdiri dari riolit afanitik, retas basalt dan andesit porfir.

Kelompok Kwarter dipisahkan menjadi kelompok batuan sedimen; batuan gunungapi

dan aluvium.

2. Kondisi Geologi Sumteng (Cekungan Sumatera Tengah)

Tektonik Regional, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier

penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra

tengah merupakan cekungan belakang busur.

Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat laut-Tenggara, dimana

pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng Hindia-Australia dibawah lempeng

Asia (gambar 1).Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan Barisan yang tersusun

oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh paparan Sunda.Batas

tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus memisahkan Cekungan

Sumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan.Adapun batas cekungan sebelah barat laut

yaitu Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan Sumatra utara
Gambar 1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini

Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian

bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan diapir-diapir magma

dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma dalam dan hipabisal.

Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur sesar.Secara

keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginyaheat flow di daerah cekungan

Sumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).

Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah

adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari

arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di

Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang curam

yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya flower

structure yang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur (gambar

3).Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimen

terjadi pada bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999).

Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama

dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur

Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). Walaupun
demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut

Tenggara.

Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah dipengaruhi

adanya morfologi High Low pre-Tersier. Pada gambar 4 dapat dilihat pengaruh struktur dan

morfologi High Low terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah

(kawasan Bengkalis Graben), termasuk penyebaran depocenter darigraben dan half graben.

Lineasi Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di

sepanjang cekungan Sumatra tengah.Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan

tektonik paling muda (tektonisme Plio-Pleistosen).Akan tetapi liniasi basement ini masih dapat

diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi dari cekungan

Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.

Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi

beberapa tahap, yaitu :

1. Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat

laut-Tenggara.

2. Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan

zaman Kapur.

3. Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen)

menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan

aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah

terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga


lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir

fase rifting.

4. Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang

mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif

tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari

arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur

laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah

Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh

fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi

transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi

regresif yang menghasilkan Formasi Petani.

5. Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif

dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan.

Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later

basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan

dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.

6. Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya

inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah

Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan

regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di

bawahnya.
Stratigrafi Regional , Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada

awal tersier (Paleogen), mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah

berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal tersier.

Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan metasedimen

berupagreywacke, kuarsit dan argilit.Batuan dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik. Pada

beberapa tempat, batuan metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam

Wibowo, 1995).

Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan ini dapat dikelompokkan sebagai

berikut :

Rift (Siklis Pematang),Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada fase

tektonik ekstensional (rift) ini dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang tersusun oleh

batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan batulanau aneka warna. Lemahnya refleksi

seismik dan amplitudo yang kuat pada data seismik memberikan indikasi fasies yang berasosiasi

dengan lingkungan lakustrin.

Pengendapan pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika darat dan lakustrin dariLower

Red Bed Formation dan Brown Shale Formation. Ke arah atas menuju fase late rifting,

sedimentasi berubah sepenuhnya menjadi lingkungan lakustrin dan diendapkan Formasi

Pematang sebagai Lacustrine Fill sediments.

1. Formasi Lower Red Bed

Tersusun oleh batulempung berwarna merah hijau, batulanau, batupasir kerikilan dan

sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan
pengendapan diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya muddy

matrix di dalam konglomerat dan breksi

2. Formasi Brown Shale

Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna yang coklat

tua sampai hitam.Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat

selingan batupasir, konglomerat dan paleosol.Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530 m di

bagian depocenter.

Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam dengan

kondisianoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasir

konglomerat diendapkan oleh proses fluvial channel fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini,

terdapat beberapa horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian pinggiran/batas

danau yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman inti batuan di

komplek Bukit Susah.

Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan cekungan yang cepat

sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan.

3. Formasi Coal Zone

Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown

Shale.Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit batupasir.

Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan

kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini

diendapkan di daerah dangkal pada bagian aktif graben menjauhi depocenter(gambar 6).
4. Formasi Lake Fill

Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih.Komposisi batuan terutama berupa

klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi penambahan kandungan litoklas kuarsa

dan kuarsit.Struktur sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan

lingkungan pengendapan fluvial-deltaic.

Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta pada

lingkungan danau.Selama pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan

penurunan cekungan yang mulai melambat (late rifting stage).Ketebalan formasi mencapai 600

m.

5. Formasi Fanglomerate

Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan aluvial.Tersusun

oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau sampai merah.Baik secara

vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi formasiLower Red Bed, Brown

Shale, Coal Zone dan Lake Fill.

Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman, dua formasi terakhir (Lake

Fill dan Fanglomerat) dianggap satu kesatuan yang equivalen dengan Formasi Pematang

berdasarkan sifat dan penyebarannya pada penampang seismik.

Sag

Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang diendapkan sedimen Neogen.Fase

sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi yang diwakili oleh Kelompok Sihapas dan

mencapai puncaknya pada Formasi Telisa.


(Siklis Sihapas transgresi awal)

Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari Formasi

Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri.Kelompok ini tersusun oleh

batuan klastika lingkungan fluvial-deltaic sampai laut dangkal.Pengendapan kelompok ini

berlangsung pada Miosen awal Miosen tengah.

1. Formasi Menggala

Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar berkisar dari gravel

hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir ini bergradasi menjadi batupasir sedang

hingga halus.Komposisi utama batuan berupa kuarsa yang dominan, dengan struktur

sedimen trough cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan litologi penyusunnya

diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel lingkungan braided stream.

Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari kelompok Pematang bagian atas

berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen pada matrik (Wain et al., 1995).Ketebalan

formasi ini mencapai 250 m, diperkirakan berumur awal Miosen bawah.

2. Formasi Bangko

Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan batupasir halus-

sedang.Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka.Dari fosil foraminifera planktonik

didapatkan umur N5 (Blow, 1963).Ketebalan maksimum formasi kurang lebih 100 m.

3. Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar dengan sedikit

interkalasi serpih, batubara dan batugamping.Berdasarkan ciri litologi dan fosilnya, formasi ini

diendapkan pada lingkungan air payau dan laut terbuka.Fosil pada serpih menunjukkan umur N6

N7.Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m.

4. Formasi Duri

Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan formasi

Bekasap.Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih.Ketebalan maksimum mencapai 300

m. Formasi ini berumur N6 N8.

(Formasi Telisa transgresi akhir)

Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi tersusun oleh

serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya.Di beberapa tempat

terdapat lensa-lensa batugamping pada bagian bawah formasi.Ke arah atas, litologi berubah

menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam.Diinterpretasikan lingkungan

pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik Bathyal atas.

Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang sama dengan

Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan dibawahnya adalah transisi fasies

litologi yang berbeda dalam posisi stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai

550 m, dari analisis fosil didapatkan umur N6 N11.

(Formasi Petani regresi)


Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit karbonatan dengan

beberapa lapisan batupasir dan batulanau.Secara vertikal, kandungan tuf dalam batuan semakin

meningkat.

Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan volkanisme kembali aktif

(awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga dihasilkan material volkanik yang

melimpah.Kondisi air laut global (eustasi) berfluktuasi secara signifikan dengan penurunan muka

air laut sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di beberapa tempat.

Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas Formasi

Telisa.Walaupun demikian, ke arah timur laut secara lokal formasi ini memiliki kontak tidak

selaras dengan formasi di bawahnya.Ketebalan maksimum formasi ini mencapai 1500 m,

diendapkan pada Miosen tengah Pliosen.

Inversi

Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor berupa puncak dari pengangkatan Bukit

Barisan yang menghasilkan ketidakselarasan regional pada Plio-Pleistosen.Aktivitas tektonik ini

mengakibatkan terjadinya inversi struktur sesar turun menjadi sesar naik. Pada fase tektonik

inversi ini diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan darat dan aluvium berupa

konglomerat, batupasir, gravel, lempung dan aluvium berumur Pleistosen Resen.

3. Kondisi Geologi Sumsel ( Cekungan Sumatera Selatan)


Wilayah Nusantara dikenal mempunyai 62 cekungan yang diisi oleh batuan sedimen

berumur Tersier.Sekitar 40 % dari seluruh cekungan berada di daratan (onshore).Ke 62 cekungan

tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan

Papua.Cekungan berumur Pratersier kebanyakan ditemukan di wilayah Indonesia Bagian Timur,

dan kebanyakan sulit ditarik batasnya dengan cekungan berumur Tersier, karena umumnya

ditindih (overlain) oleh cekungan berumur Tersier.

Hampir semua cekungan batuan sedimen di Indonesia sangat berpotensi mengandung

sumber daya migas, batubara dan serpih minyak (oil shale). Namun, batasan stratigrafi,

sedimentologi, tektonik & struktur maupun dinamika cekungan semua formasi pembawa potensi

sumber daya belum terakomodasi dan tergambar dalam bentuk atlas.

Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan

erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut

terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah

barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada

di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone konvergensi dalam

berbagai bentuk dan arah.Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi

keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik

lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.

Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi

oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier.Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir


Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan Barisan

sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang masih

tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga

dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian "Sunda Landmass", yang sekarang berupa

Paparan Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu

yang pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal

dan yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi struktur

geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera

Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zone Sesar Semangko, zone perlipatan

yang berarah baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan

serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami peremajaa.

Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat

laut tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan

Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan

tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di

sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera

Tengah.
Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)

Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera

Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat

adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng

Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah
barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan

Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara

dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier

(Eosen Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman

menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia.

Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode

orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu

orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir Tersier Awal dan Orogenesa Plio

Plistosen.

Episode pertama, endapan endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat

dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk

pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997),

fase ini membentuk sesar berarah barat laut tenggara yang berupa sesar sesar geser.

Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak gerak

tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara selatan.Dikombinasikan

dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan batuan Pra Tersier, gerak gerak

tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra Talang Akar.

Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio Plistosen yang menyebabkan pola

pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan

sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang.Pada periode tektonik ini juga terjadi

pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan.Pergerakan horisontal yang terjadi mulai

Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah

sehingga sesar sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir

sejajar dengan sesar Semangko.Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada

Plio Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut tenggara tetapi sesar yang

terbentuk berarah timur laut barat daya dan barat laut tenggara.Jenis sesar yang terdapat pada

cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.

Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut tenggara

sebagai hasil orogenesa Plio Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat

dibedakan atas pola tua yang berarah utara selatan dan barat laut tenggara serta pola muda

yang berarah barat laut tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .

Stratigrafi Regional, Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra

Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang

terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia. Secara Geografis Sub

Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh di sebelah utara, Tinggian Lampung di

bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat.

Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar

sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir silkusnya.

Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat

pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara

tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar

merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit)
yang mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana

pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore

reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja)pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi

maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di

atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.

Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh

pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir pada lingkungan

pantai dan delta.Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada

Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi

laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin yang dicirikan oleh perselingan antara

batupasir dan batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe

pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir

tufaan, pumice dan konglemerat.

1. Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan

Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan

karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di

Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat

berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan

Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian

(Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami

pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat

pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain kontak
tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat.Menurut

Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi

batuan filit.

2. Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan

dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat,

tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa. Secara

lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari formasi lahat.

TOC 1.7 8.5 wt% Excellent potential

HI 130-290 mg

Derajat kematangan 0.64 1.4 %Ro.

Kerogen Tipe I dan II, III

Mature T-max 436-441 0C

Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :

Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava. Ketebalan

anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.

Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri

dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa.
Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota

Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip

lahar.

Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.

3. Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri

dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut

dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur

Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi

Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara.

Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan

Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m 850 m. Secara lebih rinci berikut adalah

data mengenai petroleum system dari formasi Talang Akar.

TOC 1.5 8 wt% Good - Excellent

HI 150-310 mg

Derajat kematangan 0.54 1.3 %Ro.

Kerogen Tipe I dan II,III

Gradien geothermal 490 C/km

Mature T-max 436-4500C

4. Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang

Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping,
batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan

dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan

litoral-neritik dan berumur Miosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai

petroleum system dari formasi Batu Raja.

TOC 0.5 1.5 wt% Fair - Good

Kerogen Tipe I, II, III

Mature T-max 436-4500C

Kerogen Tipe I, II, III

Mature T-max 436-4500C

5. Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi

Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan

Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan

batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan

antara batupasir dan serpih.Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m -

2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen

Awal-Miosen Tengah. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system

dari formasi Gumai.

TOC 0.5-11.5 wt% fair - excellent

Kerogen Tipe III

Early mature T-max 400-4300C


6. Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas

Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari

batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam

kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung

tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air

Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir.

Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Secara lebih rinci berikut adalah

data mengenai petroleum system dari Air Benakat.

TOC 0.5 1.7 wt% Fair Good

Imature T-max < 4300C

0.29-0.30 %Ro

7. Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase

regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada

lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500

1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada

formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat

oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang

terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen

Akhir Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system

dari Air Benakat.


TOC 0.5-52.7 wt% Fair - Excellent

Imature T-max < 4300C

0.29-0.30 %Ro

8. Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara

Enim dengan ketebalan 850 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra

riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir,

konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-

abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang

terkersikkan. Fasies pengendapannya adalah fluvial danalluvial fan. Formasi Kasai

berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.

9. Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak

terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras

di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat

berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik berwarna

gelap. Satuan ini berumur resen.


Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur adalah sebagai
berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang landai, sesar Mentawai dan zona
sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau Sumatera, yang sering sekali menimbulkan gempa
tektonik, memanjang membentang sampai ke Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau
Jawa.Subsuksi ini mendesak lempeng Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah barat laut di
Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan pergerakan yang
bervariasi
.Puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu saling menekan.Namun lempeng Indo-
Australia dari selatan bergerak lebih aktif.Pergerakannya yang hanya beberapa millimeter hingga
beberapa sentimeter per tahun ini memang tidak terasa oleh manusia. Karena dorongan lempeng
Indo-Australia terhadap bagian utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan
yang di bagian selatannya kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di daerah barat
Sumatera yang miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan lempeng di
selatan Jawa.
B. Kerangka Tektonik Pulau Sumatra
Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi
antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng Eurasia/Sundaland.
Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral
menganan dari Sistem Sesar Sumatra.
Gambar Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber dkk, 2005).

Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen
diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam.
Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW dimulai pada Eosen-
Oligosen.Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar
Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra
menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan
belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra
Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar Diatas).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di Akhir
Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005).Sekarang Lempeng
Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20E dengan rata-rata
pergerakannya 6 7 cm/tahun.Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan
langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-
plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang
memisahkan dari lereng trench.

2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik


punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-
arc Sumatra.

3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan


Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah
Bukit Barisan.

4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama
pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.

5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc danback-arc
basin.
Struktur Utama Cekungan Sumatra Selatan
Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang busur
karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya.Cekungan ini berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari
Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah
seluas 330 x 510 km2, bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di
sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur maupun evolusi
cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur utama yaitu, berarah
timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah baratlaut-tenggara atau disebut Pola
Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur
geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di
Pulau Sumatra.Struktur geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas
teramati di Sub-Cekungan Jambi.Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah ini
berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan.Struktur lipatan
yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal
tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench
fault).Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono dan
Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa perlipatan yang berasosiasi
dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah
utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan.Pola Sunda yang pada
awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan
kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.
Gambar Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan.Orientasi Timurlaut-baratdaya
atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur Inversi Menunjukkan Umur
Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).
C. Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra
Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan
sesar geser dekstral WNW ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan
Lampung, Musi Lineament dan N S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit
berumur Jurasik Kapur.
Gambar Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk,
1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal dan
sesar tumbuh berarah N S dan WNW ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas
batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu
Formasi Lahat.
Gambar Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model (Pulonggono
dkk, 1992).
Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Yaitu
terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat,
dan Formasi Muara Enim.
Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi
Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah
yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan
berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di
Cekungan Sumatra Selatan.Selain itu terjadi aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model(Pulonggono dkk,
1992).
Sistem Subduksi Sumatra
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman
Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana aktivitas
tersebut terus berlanjut hingga kini.Hal ini disebabkan oleh pembentukan letak samudera di Laut
Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi
pada sudut yang kurang tajam.Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks
subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada
zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut Andaman.Sebagai
akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE menghasilkan patahan berarah utara-
selatan.Sejak Pliosen sampai kini, akibat kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW
yang menghasilkan sesar berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch
islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga
P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta
sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk
Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga
Burma.Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun
dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus terhadap arah
pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia.Lempeng Eurasia bergerak relatif ke
arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena
tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal
dengan nama Sesar Semangko.
Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan kedua
lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan rangkaian busur
pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P.
Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik
di tengahnya, serta sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau Sumatera mulai
dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman
hingga Burma.Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per
tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren. Khusus
untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul
Imarah dan Darussalam.Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan
tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan.Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan
tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh adanya
aktivita s kegempaan dan kegunungapian yang tinggi.Banda Aceh sendiri merupakan suatu
dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah graben.Dataran yang terbentuk
tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera.Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan
bagian timur relatif turun.Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang
sempit dan kadang-kadang terjal.Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang
dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi
dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi
luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,
yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng
disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang
terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter
/ tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan
tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses
konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu
kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993
dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori indentasi pada akhirnya
mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka
dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan
menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera
menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000).
Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu
dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.

Anda mungkin juga menyukai