HOMOGENITAS PEREMPUAN :
JEBAKAN MULTIKULTURALISME
Studi atas Ketidak-tampakan Perempuan dalam
Dialog Antarumat Beragama di Indonesia
Lies Marcoes-Natsir
Pendahuluan
Setidaknya ada tiga jebakan yang dengan segera muncul ke-
tika bicara multikulturalisme dilihat dalam perspektif feminis. Per-
tama, multikulturalisme diasumsikan berangkat dari pengakuan
kesetaraan atas semua entitas kultur yang multi dalam masyarakat.
Pandangan ini mengabaikan relasi kuasa yang muncul 'secara alami'
yang kemudian mendominasi pelbagai kultur yang ada. Dan relasi
kuasa ini akan semakin timpang tatkala salah satu budaya itu
diadopsi oleh negara dan kemudian digunakan sebagai budaya
kekuasaan. Salah satu contoh yang paling garnblang dalam konteks
Orde Baru adalah budaya Jawa. Konsep Jawa tentang perempuan
merupakan buah sempurna dari perpaduan berbagai unsur. Budaya
Jawa kelas menengah, berkawin dengan konsep kolonial tentang
peran perempuan yang menyerap tradisi Kristiani dan budaya Eropa
abad pertengahan (Victorian)plus mengabil kerak Islam sufistik yang
masuk ke Indonesia akhir abad ke 7 sampai 14. Maka sempurnalah
perpaduan ini dan kemudian melahirkan konsep serta nilai tentang
perempuan Jawa yang pasrah, nrimo, surgo nunut neroko katut
dan seterusnya. Malangnya karena konsep ini diserap kelas mene-
ngah Jawa terdidik maka secara dominatif konsep perempuan
budaya Jawa ini kemudian masuk ke dalam seluruh sistem budaya
RANAHDO~ESIIK
:...
PEREHPUAN
DAN HOHOGEN~TAS
itu sangat boleh jadi disebabkan oleh tiga hal: usaha perempuan
dalam menciptakan perdamaian ini umumnya dianggap sebagai
kegiatan kemanusiaan yang apolitis; kegiatan itu diselenggarakan
secara informal, karenanya kegiatan mereka didefinisikan sebagai
kegiatan domestik; dan kegiatan itu diselenggarakan oleh kaum
perempuan tanpa sama sekali campur tangan dari negara. Semen-
tara kegiatan pendokumentasian sejarah tentang upaya damai itu
pada umumnya lebih terfokus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
formal dan menyangkut wilayah publik serta berhubungan dengan
peran negara atau dimana campur tangan negara cukup ~ignifikan.~
Catatan Akhir
Setelah kerusuhan Mei 1998, media massa dengan sangat aktif melakukan
wawancara dengan pakar ilmu sosial, politik dan ekonomi. Pada intinya mereka
memprediksikanbahwa Indonesia masa depan akan berhadapan dengan kemungkinan
munculnya berbagai kerusuhan yang disebabkan oleh melemahnya peran negara
dan kegamangan sipil untuk melakukan reformasi total setelah terlepas dari
penindasan. Lihat lebih jauh Donald K. Emmerson (ed) dalam Indonesia Beyond
Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Ransisi (Jakarta, Gramedia dan The Asia
Foundation,2001).
Sampai tahun 80-an kelompok Islam sangat merasakan represi ini. Stigma
bahwa umat Islam senantiasa punya irnpianuntuk mendirikan negara Islam didasarkan
pada berbagai peristiwa pemberontakan yang menggunakan bendera agama seperti
pemberontakan DIlTII. Dalam skala kecil "pemberontakan" dengan menggunakan
bendera agama juga tejadi dalam periode 70-80-an,misalnya dikenal dengan peristiwa
Tanjung Priok yang menewaskan Amir B~ky(1984),peristiwa Warsidi Lampung (1993),
Haur Koneng Jawa Bara (1995).Banyak yang percaya bahwa peristiwa-peristiwa
terakhir itu merupakan rekayasa intelejen belaka untuk membenarkan represi terhadap
kelompok Islam. Namun sebaliknyasetelah tahun 90-an kelompok Islam justru dianggap
memperoleh keistimewaan terutama setelah Soeharto lebih menegaskan
keterbukaannya terhadap kelompok Islam.
Salah satu contoh, Forum Indonesia Damai yang lahir satu hari setelah
peledakan gereja Kathedral menjelang perayaan Idul Fitri 2000. Beberapa tokoh yang
terlibat dalam forum ini adalah Saparinah Sadli (Komisi Nasional HAM), Goenawan
Mohammad (jurnalis),Mayling Oey-Gardiner ( tokoh LSM),Hidayat Nur Wahid (partai
Keadilan),Mari Muhammad, Imam B. Prasojo dll.
Lihat misalnya buku Meretas Horison Dialog: Catatan dari Empat Daerah
(Madia, ISM, The Asia Foundation, 2000).
Badan Esekutif Mahasiswa (BEM), Forum Kota (Forkot), dan sejenisnya
seringkali disebut sebagi contoh oleh para pakar ketika menjelaskan tentang peranan
gerakan mahasiswa dalam menumbangkan Orde Baru, namun sangat jarang mereka
menyebutkan kegiatan yang dilakukan kalangan perempuan dalam kategori yang
sama dengan apa yang dilakukan kelompok mahasiswa itu. Misalnya seperti rally
tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok dan p e n m a n harga yang dilakukan kelompok
kaum perempuan yang menamakan diri sebagai Suara Ibu Peduli (SIP)yang dimotori
Karlina Leksono Supeli. SIP biasanya disebut tatkala dikaitkan dengan kegiatan charity
berupa penyediaan susu murah dan nasi bungkus untuk mahasiswa yang sedang
demonstrasi. Beberapa penulis dari kalangan perempuan beberapa kali mencoba
memberi makna secara teoretis tentang peran politik kaum perempuan dibalik
penyediaan nasi bungkus bagi para demonstran itu; antara lain misalnya Gadis Arivia
( Jurnal Perempuan, 1999),Melani Budianta (akan terbit), Maria Hatiningsih (Swara-
Kompas). Lebih lanjut lihat Melani Budianta dalam buku ChallengingAuthoriatiaruarusm
in Southeast Asia: CornparingIndonesia and Malaysia, will be published by Routledge.
Pemisahan ruang secara binary antara domestik dan publik dapat dikatakan
sebagai teori paling kuna dalam studi feminisme. Mary Wollstonecraft (1759-1797)
adalah salah seorang pemikir feminis yang menjelaskan bagaimana perempuan di
rumahkan atau didomestikan sebagai bagian dari pernisahan ruang kerja dalam awal
masa industri kapitalistik. Mary Wollstonecraft A Vindication of the Rights of Women
(1792),Baltimore 1975.
Terima kasih kepada Pak Karel Steenbrink atas bantuan informasinya. Dalam
kerusuhan anti Cina di lhngerang itu tercatat 653 orang keturunan Cina terbunuh,
termasuk diantaranya 136 perempuan dan 36 anak-anak. Lihat juga Yahya Widjaya,
Business, Family Religion: Public Theology in the Contect of the Chinese Indonesia
Business Community (Rankfurt:Peter Lang, 2002).
Robin L.Bush, "Pluralisme Agama", dalam Penilaian Demokratisasi di
Indonesia (Jakarta, Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu
[Intemasional IDEA], 2000), hal. 199.
Wawancara dengan Trisno Soetrisno, editor buku Meretas Horison dialog ( 29
Agustus 2002).
lo Karel Steenbrink, Kawan dalarn Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam
di Indonesia (1596-1942) (Bandung: Mizan, 1995),hal. 217.
" Steenbrink, 1995,212.
l2 Pembangunan gereja-gereja baru seringkali dianggap sebagi bukti adanya
proses Kristenisasi. Demikian sebaliknya dengan berkerasnya penolakan kelompok
Islam dengan aturan perkawinan campuran. IW sedikit kalangan organisasi ke-
agamaan Islam yang cukup rajin mengumpullcan data dan menyebarkan berita tentang
Kristenisasi. Demikian sebaliknya dengan upaya Islarnisasi sebagai konsekuensi dari
kuatnya posisi kelompok Islam dalam birokrasi. Timor Timur merupakan salah satu
wilayah yang dicurigai secara sengaja diserahkan negara untuk dijadikan daerah
penyebaran agama Katolik. Kalangan Muslim percaya bahwa sebelumnya warga
Timor Timur merupakan penganut agama asli.
l3 Perayaan seremonial keagamaan yang secara resmi dianggap sebagai
Kristen. Atas laporan itu ia mengaku sangat prihatin dan mengingatkan bahwa itu
bukan merupakan gagasan baik mengingat mayoritas penduduk di daerah itu adalah
Kristen dan cara-cara penggeseran jabatan publik secara tidak fair merupakan tinda-
kan menyulut api dalam sekam. (Dengansengaja saya menghilangkan identitas orang
dimaksud mengingat saya belum meminta izin untuk memasukkannya kedalam foot-
note ini, akan tetapi secara substantif saya dapat mempertanggung jawabkan akurasi
informasi ini karena saya sendiri menghadiri dan mendengar langsung ceramah ini).
l5 Karel Stenbrink, Kawan dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam
di Indonesia 1596- 1942 (Bandung: Mizan, 1995),hal. 212.
l6 Soal dialog dan kerukunan hidup beragama ini kemudian diatur secara
legalistik melalui, antara lain Keputusan Menteri Agama no 7011978 tentang Pedoman
Penyiaran Agama.
l7 Tim Madia, Catatan dari Empat Daerah, 2002 , pp 33. Di sana disebutkan
bahwa dalam dokumentasi Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama
Departemen Agama, konsep dialog, musyawarah, konsultasi dan sejenisnya
mengandung arti sama yaitu bertemu dan membicarakan persoalan-persoalan yang
bagi pemerintah dilihat sebagai persoalan.
l8 Pernyataan ini tentu saja tak bermaksud menggeneralisir semua kegiatan
dialog kerukunan yang pernah diselenggarakan Departemen Agama, sebab pada
awal tahun 70-an di bawah kepemimpinan Mukti Ali, departemen agama sebenarnya
pernah memiliki kegiatan dialog yang lumayan menyentuh persoalan teologi yang
lebih genuine. Salah satunya adalah dialog antarumat beragama untuk pemuda dan
mahasiswa. Kegiatan ini diikuti oleh 30 pemudalmahasiswa dari unsur Islam, Katolik
dan Protestan. Mereka menyelenggarakan diskusi dan kegiatan sosial bersama di
Ciawi Bogor yang kemudian secara informal membentuk wadah yang diberi nama
kelompok Ciawi.
l9 Mereka menerbitkan buku-buku yang merupakan hasil diskusi atau penelitian.
Salah satu bukunya adalah Perempuan Ditengah Arus Gelombang (Jogjakarta : Dian
InterKdei, 1995).
20 Melani Budianta mengangap bahwa salah satu hal terpenting dari peristiwa
itu adalah dibacakannya doa perempuan antariman yang saya susun. Pada hampir
setiap event dimana kaum perempuan berkumpul doa perempuan ini senantiasa
dibacakan. Melani Budianta, The Blessing nagedy: The Making of Women'sActivism
During theRevormasi Years (1998-1999),draft paper, hal. 15-16.