Anda di halaman 1dari 8

RUMAH TINGGAL BALI AGA

Arsitektur Minimalis dan Fungsionalis


1) 2)
Ni Made Yudantini , Kadek Wisnawa
1)
Dosen di PS Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana; PhD Student at
School Architecture and Built Environment, Deakin University,Australia
xxb@deakin.edu.au, nmyudantini71@yahoo.com
2)
Mahasiswa Magister di Prodi Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa
Kota, Program Magister Teknik Arsitektur, Universitas Udayana
vaishnavawaishnawa@yahoo.com

ABSTRACT
Nusantara (Indonesia Archipelago) Architecture is a significant heritage which has been
inherited to descendant. Nusantara Architecture is rooted from the existence of culture that
spread over the Indonesia archipelago. The culture in each regions is related to their
traditional customs and religions that binding the culture and physic as well as socio-culture of
its society. It cannot be denied that the traditional architecture is closed to realm and tactful
definitely to interact to the environment. Likewise the Balinese traditional architecture is a
substantial treasure which has been inherited and maintained currently. Culture and tradition
are adhered in the Tri Hita Karana philosophy, which shows how Balinese balance to their
God, nature and fellow creature. The concept implies in the architecture of housing as product
of culture. The housing pattern of the Bali Aga villages in Bali Province which has hut forms
with linear or compound pattern, it lies naturally from headwater of the mountain to
downstream of the sea. The existence of Bali Aga housing stills abide and maintain that
defined as reflection of minimalist and functional architecture. Example for this is some
observations in the indigenous villages i.e Buahan Village, Pinggan Village, Sukawana
Village etc. Those housing pattern shows the minimalist concept for living facility and its
functions. The discourse of traditional architecture aims to preserve Nusantara architecture
which is facing nowadays as a dilemma to be abandoned.
Key words: housing, the Bali Aga, the Tri Hita Karana Concept, minimalist and functionalist

ABSTRAK
Arsitektur nusantara adalah warisan nenek moyang yang turun temurun tetap dilestarikan
oleh generasinya. Arsitektur nusantara berakar pada keberadaan budaya yang tersebar di
seluruh nusantara. Budaya masing-masing daerah terkait juga dengan adat istiadat serta
religi yang kuat mengikat kebudayaan tersebut sampai pada wujud fisik dan sosial budaya
masyarakatnya. Sudah tidak dipungkiri lagi arsitektur lokal merupakan arsitektur yang sangat
dekat dengan alam dan bijaksana dalam bercengkerama dengan lingkungan. Demikian juga
halnya dengan arsitektur tradisional Bali merupakan harta kekayaan yang telah diwarisi dan
tetap dipertahankan sampai saat ini. Akar budaya dan tradisi yang melekat dalam rangkaian
philosophi yang kita kenal yaitu Tri Hita Karana, bagaimana masyarakat hidup seimbang
kepada Tuhannya, alam dan sesamanya. Rumah tinggal yang merupakan salah satu
karakteristik hasil kebudayaan merupakan cerminan dari konsep Tri Hita Karana. Rumah
tinggal di desa-desa Bali Aga di Bali dengan unit-unit yang kecil, terpolakan secara alamiah
dan berhulu-hilirkankan gunung-laut baik itu secara linear maupun tersebar (compound).

Ni Made Yudantini), Kadek Wisnawa2),-Rumah Tinggal Bali Aga; Arsitektur Minimalis dan Fungsionalis
Keberadaan rumah tinggal desa-desa Bali Aga yang masih ada sampai saat ini
dipertahankan merupakan cerminan arsitektur minimalis dan fungsional. Beberapa desa
tradisional dalam observasi seperti Desa Buahan, Desa Pinggan, Desa Sukawana dan
beberapa desa Bali Aga lainnya merupakan contoh untuk mengungkapkan konsep minimalis
dan fungsinya dalam rumah tinggal. Pengungkapan arsitektur tradisional bertujuan untuk
pelestarian arsitektur nusantara yang saat ini menjadi dilema untuk ditinggalkan.
Kata Kunci: Rumah tinggal, Bali Aga, Tri Hita Karana konsep, Minimalis dan Fungsionalis

PENDAHULUAN

Arsitektur nusantara merupakan kumpulan dari arsitektur daerah dengan ciri khas
arsitekturnya masing-masing. Untuk dapat merasakan dan melihat karya arsitektur
nusantara, dapat dibangkitkan melalui perasaan dan suasana ke-nusantaraan dan
memiliki corak kedaerahan yang bukan tempelan atau dekorasi semata. Ditegaskan
juga bahwa arsitektur sebagai multifungsionalitas dimana arsitektur memiliki
kemampuan untuk menjalankan dan melaksanakan berbagai fungsinya (Priyotomo,
2012). Broadbent (1980) mengatakan bahwa untuk mengetahui fungsi arsitektur
perlu ditelusuri hubungan antara arsitek dengan penikmatnya, dan ada enam fungsi
yang dimiliki oleh sebuah bangunan yaitu (1) environmental filter, bangunan dapat
mengontrol iklim untuk ruangan menyenangkan, nyaman dan sesuai dengan
kegiatan yang dilaksanakan; (2) container of activities, bangunan sebagai wadah
untuk kegiatan-kegiatan; (3) capital investment, bangunan dapat memberikan nilai
lebih pada tapak; (4) symbolic function, bangunan dapat memberikan nilai-nilai
simbolik baik keagamaan atau kebudayaan; (5) behaviour modifier, bangunan dapat
mengubah perilaku dan kebiasaan sesuai dengan suasana ruang; dan (6) aesthetic
function, bangunan memiliki tampilan keindahan.

Berbicara masalah fungsi arsitektur, fungsi hunian sebuah rumah tinggal merupakan
kebutuhan penting bagi hidup manusia untuk melindungi diri dari keamanan, cuaca,
serta untuk tempat melaksanakan aktivitas sehari-hari. Akhir-akhir ini telah menjadi
trend untuk membangun rumah tinggal dengan style minimalis. Ada beberapa
pertimbangan untuk memilih style minimalis tersebut, diantaranya karena faktor
prestise, faktor ekonomi dan faktor teknologi. Faktor prestise termasuk di dalam
mengikuti trend yang sedang berkembang saat ini, agar terlihat rumah lebih menarik
dan terkini. Secara ekonomi, style minimalis menjawab segala keterbatasan di
bidang finansial seperti mahalnya harga lahan sehingga cukup membangun dengan
lahan yang sempit sekalipun, serta mengingat mahalnya hampir semua material-
material untuk pembangunan. Untuk itu gaya minimalis menjawab tantangan
tersebut. Perkembangan teknologi juga memacu dan mempermudah mewujudkan
gaya minimalis. Gaya minimalis juga sangat terkait dengan pola hidup masyarakat
perkotaan yang saat ini cenderung lebih mementingkan fungsi, sederhana (simple)
dan praktis. Gaya minimalis menghadirkan arsitektur yang bersifat alami dan
esensial. Sejatinya, sejak dahulu konsep ini telah diterapkan oleh nenek moyang
kita. Dapat kita tinjau dengan lebih mendalam hampir sebagian besar rumah-rumah
tradisional menerapkan unsur-unsur minimalis tersebut. Rumah dengan petak
segiempang kecil tersusun memanjang dalam satu unit pekarangan yang terdiri dari
beberapa kepala keluarga. Pola seperti ini memiliki pola linier dan kebanyakan
berada di daerah pedalaman, pegunungan, dan pesisir danau di desa-desa Bali
Aga. Dalam satu rumah tinggal terdiri dari beberapa fungsi untuk mendukung
aktivitas hunian tersebut, seperti tempat tidur, kegiatan memasak, dan kegiatan
upacara.

26 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5


Untuk menkaji rumah tinggal Bali Aga sebagai arsitektur minimalis dan fungsionalis,
maka pembahasan dalam tulisan ini menampilkan tiga case study rumah tinggal
tradisional Bali Aga diantaranya Desa Buahan, Desa Pinggan dan Desa Sukawana,
dimana tiga desa tersebut berada dalam satu kecamatan yaitu Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli. Ketiga case study ini adalah berdasarkan
pengamatan lapangan, interview dengan kepala desa dan warga desa, dokumentasi
lapangan, serta berdasarkan kajian-kajian literature yang berkaitan dengan desa-
desa Bali Aga.

DISKUSI TENTANG DESA-DESA TRADISIONAL DI BALI

Beberapa penelitian tentang desa-desa tradisional di Bali telah dilakukan sejak


kemunculan seorang dokter muda, Gregor Krause tahun 1912. di daerah Bangli
(Krause, 1988). Kehadiran Gregor Krause dikatakan sebagai awal mula munculnya
pariwisata di Bali dimana sejak saat itu berdatangan tourist dari Eropa dan Amerika
pada tahun 1920-an dan 1930-an (Asmorobangun, 2012). Michael Covarrubias
(1974) yang juga merasa tertarik dengan photografi dari Gregor Krause, kemudian
mendarat di Buleleng untuk melihat Bali yang unik secara langsung. Penelitian
Margaret Mead dan Gregory Bateson (1936-1939) di Desa Bayung Gede di bidang
antropologi, dibukukan oleh Gerald Sullivan (1999) Peneliti dari Bali juga telah
melakukan penelitian di desa Bayung Gede yaitu Prof. dr. L.K Suryani (1989-1996)
meneliti pada aspek phisikologis, untuk membantah pendapat Mead dan Bateson
yang mengatakan bahwa orang Bali memiliki sifat schizoid yaitu penakut terhadap
derajat orang yang lebih tinggi (Dwijendra, 2009). Thomas Reuter (2002)
penelitiannya di daerah Kintamani mengupas tentang banua atau wilayah
keagamaan, yang sering disebut gebog banua, atau gebod domas dan juga tentang
system ulu apad sebagai salah satu ciri kepemimpinan yang ada di desa-desa kuna.
Sebagai salah satu kekayaan di bidang arsitektur tradisional Bali, maka pemerintah
daerah Propinsi Bali melakukan inventarisasi desa-desa kuno di Bali pada tahun
1988-1989 mencakup sekitar 37 desa-desa Bali Aga sedangkan Carole Muller
(2011) telah mendokumentasikan sekitar 30 desa-desa Bali Aga.

POLA RUMAH TINGGAL DI DESA-DESA BALI AGA

Pola rumah tinggal orang Bali dapat dibedakan berdasarkan letak atau posisi suatu
daerah dimana berada. Secara geografis, rumah tradisional Bali terletak di daerah
pegunungan dan daratan. Khususnya rumah-rumah tradisional Bali Aga lebih
banyak terdapat di daerah pegunungan atau berada di bagian Bali Utara dan Timur
Sedangkan rumah-rumah tradisional Bali Selatan cenderung berada di daerah
datar, dan hal ini juga terkait dengan pengaruh dinasti Majapahit. Pola rumah tinggal
desa-desa tradisional lebih dominan cenderung mengarah pada pola linear meski
ada beberapa desa yang memiliki pola menyebar seperti yang terdapat di daerah
dataran. Rumah seperti di Desa Tenganan, Kabupatren Karangasem, dan Desa
Penglipuran, Kabupaten Bangli, memiliki pola rumah yang memusat ke tengah atau
compound dengan pola natah, namun pola natah ini tidak terdapat pada rumah-
rumah di desa-desa Bali Aga yang terletak di pegunungan. Hal ini juga diungkap
oleh Runa (2004) dalam penelitiannya tentang spatial pattern dari desa-desa
tradisional. Demikian juga Dwijendra (2009) menegaskan bahwa pola rumah tinggal
di desa-desa tradisional adalah pola linear dengan kekhususan pada tiang yang
berjumlah 12 yang disebut sakaroras atau tampul roras. Sementara orientasi rumah
tidak hanya berorientasi pada arah gunung-laut, namun juga tinggi rendah tanah,
dan juga berorientasi pada jalan utama.

Ni Made Yudantini), Kadek Wisnawa2),-Rumah Tinggal Bali Aga; Arsitektur Minimalis dan Fungsionalis
Desa Buahan Desa Pesisir Danau Batur

Desa Buahan, Kecamatan Kintamani memiliki luas wilayah 1,423 hektar merupakan
salah satu desa Bali Aga yang terletak di pinggir Danau Batur dengan topografi
permukiman bertransis meninggi ke arah bukit. Desa Buahan memiliki 4 dusun
dengan 234 kepala keluarga dan matapencaharian masyarakat sebanyak 98%
adalah petani bawang, kopi, jeruk, cabe, holtikultur, dan petani nelayan dengan
budidaya ikan nila hitam. Seperti desa Bali Aga lainnya, Desa Buahan menerapkan
system Ulu Apad. Selain pura Tri Kahyangan yaitu Pura Puseh, Pura Dalem dan
Bale Agung, di Desa Buahan juga terdapat 16 pura lainnya. Upacara ngaben di
Desa Buahan adalah dengan sistem biye tanam atau penguburan, di Desa Buahan
juga melaksanakan ngaben massal.

Foto 1: Suasana Desa Foto 2: Pola linear Foto 3: Rumah tradisional di


Buahan, linear axis pekarangan terlihat jelas Desa Buahan
Source: observasi lapangan, Source: Observasi Sumber: Observasi lapangan,
2012 lapangan, 2012 2012

Gambar 1: Denah rumah tradisional di Desa Buahan Foto 4: ketungan sebagai pijakan
Sumber: Observasi lapangan, 2012 kaki dalam interior rumah tradisional
Digambar oleh: Wisnawa, 2013 Desa Buahan
Sumber: Observasi lapangan, 2012
Rumah tinggal tradisional di Desa Buahan adalah type sakaroras, terpolakan secara
linear dalam satu unit pekarangan. Sakaroras terdiri dari lobang dangin yang
merupakan tempat sembahyang, lobang dauh adalah ruangan sebagai tempat tidur
orang tua, dan lobang delod adalah ruangan tidur anak-anak. Selanjutnya terdapat
patokan berada diantara lobang dangin dan lobang dauh, di depan patokan terdapat
ketungan yang berfungsi sebagai tangga, paon sebagai dapur atau punapi,
peluangan (bersentuhan dengan tanah) berada di tengah-tengah ruangan sebagai
orientasi dari semua ruangan. Di bagian depan terdapat amben merupakan ruangan
teras dan terdapat lincak atau teras kecil untuk meletakkan barang-barang pertanian
seperti tengale. Penghuni beraktivitas kesehariannya dalam satu atap baik itu
memasak, beristirahat, maupun sembahyang.

28 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5


Desa Pinggan, Desa di Kaki Gunung Batur

Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani terletak di kaki Gunung Batur. Desa Pinggan
terdiri dari 450 kepala keluarga dan semuanya beragama Hindu. Masyarakat
sebagian besar sebagai petani jeruk dan hortikultura lainnya. Di Desa Pinggan
terdapat pura Hindu tertua bekas pusat kerajaan Puri Dalem Balingkang yaitu Pura
Dalem Balingkang. Desa Pinggan seperti desa lainnya memiliki pola desa linear
dengan Pura Desa dan Pura Puseh terletak di bagian utama. Pola permukiman
penduduk juga tertata secara linear dalan unit-unit pekarangan. Sementara untuk
kuburan sebagai tempat dilaksanakannya penguburan dan upacara ngaben dengan
sistem biye tanam. Pola rumah tinggal di Desa Pinggan adalah linear, dimana dalam
satu unit pekarangan terdiri dari beberapa kepala keluarga (6-8 KK), dimana
masing-masing lajur rumah tinggal dibedakan dengan gundukan dari tanah
(Dwijendra, 2009) ataupun memanfaatkan transis/ketinggian tanah yang kemudian
dipertegas dengan bambu atau kayu melintang sebagai pembatas kepemilikan
rumah tinggal. Dalam satu kepala keluarga terdiri dari sanggah penegtegan yang
terbuat dari kayu dapdap (terdiri dari pelinggih rong dua dan rong tiga), bangunan
sakaroras, bale meten, pelinggih tugu karang yang terletak di tengah halaman, dan
bangunan penunjang (kamar mandi dan kandang ayam/babi).

Bangunan tradisional sakaroras terdiri dari ruangan Gedung Keren untuk


melaksanakan persembahyangan untuk penghayatan terhadap leluhur, Bale Dangin
sebagai tempat tidur, ruangan untuk tempat melahirkan atau untuk tempat tidur
anak, paon, serta teras depan. Beberapa sakaroras pada bagian teras atau ampik
ditambahkan tiang/saka sehingga bangunan memiliki saka sejumlah 16 dimana
fungsi ampik ini juga untuk menunjang kegiatan penghuni seperti sebagai ruang
persiapan untuk memasak atau persiapan untuk membuat sesajen, serta untuk
meletakkan barang-barang penunjang lainnya. Dwijendra (2009) menyatakan
bahwa fungsi bale meten adalah awalnya merupakan massa tambahan, dimana
dahulu bale meten ini berfungsi sebagai tempat upacara keagamaan dan pada
bagian bawah bale digunakan sebagai penyimpanan kayu bakar, kemudian
bangunan ini beralih fungsi sebagai bale meten dan sebagai tempat menerima
tamu.

Gambar 2: Pola linear unit rumah


tinggal di Desa Pinggan Gambar 3: Denah bangunan sakaroras
Sumber: Observasi lapangan, 2012 Sumber: Observasi lapangan, 2012
Digambar oleh: Yudantini, 2012 Digambar oleh: Wisnawa, 2013

Ni Made Yudantini), Kadek Wisnawa2),-Rumah Tinggal Bali Aga; Arsitektur Minimalis dan Fungsionalis
Foto 5: Pola Rumah tradisional di Desa Gambar 4: Tampak sakaroras di Desa Pinggan
Pinggan tahun 1980-an Sumber: Observasi lapangan, 2012
Sumber: Muller, 2011 Digambar oleh: Wisnawa, 2013
Desa Sukawana Desa Pegunungan

Desa Sukawana memiliki luas 3,361 hektar terletak di perbukitan dengan transis
permukiman cukup miring atau terjal. Jumlah penduduk kurang lebih berjumlah 900
kepala keluarga dengan mata pencaharian sebagian besar adalah petani, dan
peternak. Sistem pemerintahan dengan system Ulu Apad yang berjumlah 23 orang
(keraman tiga likur). Desa Sukawana terdiri dari 9 banjar adat dengan penduduk
beragama Hindu. Sebagai salah satu desa bintang danu, Desa Sukawana termasuk
dalam sistem gebog domas dengan Pura Puncak Penulisan sebagai pusatnya.
Sebagai salah satu desa Bali Aga, sistem ngaben juga dengan penguburan atau
biye tanam sementara yang dibakar adalah simbol (sawa preteka). Pola
permukiman tradisional di Desa Sukawana memiliki pola linear dimana dalam satu
unit pekarangan terdapat beberapa rumah yang berjajar, terdiri dari minimal 6
kepala keluarga dan penghuninya tidak merupakan satu famili/keluarga. Secara
ringkas satu bangunan sakaroras terdiri dari kamar suci (penghayatan terhadap
Betara Guru), kamar tidur, dapur, dan merajan sebagai kemulan pekurenan bagi
setiap yang menikah wajib menyungsung Betara Kemulan (rong tiga) merupakan
pelinggih terbuat dari kayu sakti atau kayu dapdap.

Gambar 4: Pola linear pada unit pekarangan Foto 6 & 7 : Desa Sukawana dengan
di Desa Sukawana topografi perbukitan dan suasana
Sumber: Observasi lapangan, 2012 pekarangan di Desa Sukawana
Digambar oleh: Wisnawa, 2013 Sumber: Observasi lapangan, 2012
Rumah tradisional Desa Sukawana digambarkan oleh Reuter (2002) berbentuk
persegipanjang dengan tiang 12 (sakaroras), 8 atau 6 memiliki atap curam, dinding

30 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5


bambu (bedeg) dengan satu pintu masuk yang menghadap ke arah halaman
tengah/natah. Lantai berupa tanah kecuali bagian ruang penerimaan atau geladag
terkadang dilapisi kayu atau papan. Pembagian ruangan dalam bangunan terdiri
dari trojogan (dari kata ojog yang berarti menuju) yang berfungsi untuk menerima
tamu dan juga sebagai tempat tidur anak, Lubangan Gede untuk tempat untuk laki-
laki seperti sebagai tempat tidur, dan tempat makan, Lubangan beten merupakan
bagian dari dapur/paon untuk menyimpan makanan. Slatan Kaja adalah ruangan
untuk tempat melahirkan dan untuk menyimpan barang-barang pustaka, di ruangan
ini juga ditempatkan pelangkiran penghayatan terhadap leluhur yaitu Betara Guru.
Slatan Kelod merupakan tempat penyimpanan perhiasan atau barang berharga
lainnya.

Gambar 5: Pola ruang rumah tinggal tradisional Gambar 6: Tampak depan rumah
tradisional di Desa Sukawana
di Desa Sukawana
Sumber: Observasi lapangan, 2012
Sumber: Reuter, 2002 Digambar oleh: Wisnawa, 2013
Digambar ulang oleh: Wisnawa, 2013

MINIMALIS DAN FUNGSIONAL DARI RUMAH TINGGAL BALI AGA


Dari ulasan ke tiga pola rumah tinggal yang ada di Desa Buahan, Desa Pinggan dan
Desa Sukawana, terlihat memiliki persamaan yang mendasar dalam struktur
pembagian ruang yang minimalis dan fungsional. Rumah tinggal tradisional di desa-
desa Bali Aga memiliki pola linier dimana dalam satu unit pekarangan terdiri
beberapa massa bangunan berjajar dan dihuni oleh beberapa kepala keluarga (6-8
kepala keluarga). Hal yang paling mendasar dari karakteristik rumah tinggal
tradisional Bali Aga adalah rumah sakaroras (tiang 12) dengan beberapa fungsi
diwadahi dalam satu atap rumah. Terlihat disini hampir semua aktivitas keseharian
dilakukan dalam satu bangunan dan dapat dikatakan faktor fungsional diwadahi
dalam bangunan tradisional sakaroras dalam hal ini sebagai container of activities
(Broadbent, 2008). Semua ruangan memiliki dimensi yang effisiensi sesuai dengan
dimensi pergerakan cerminan sederhana atau minimalis sesuai kebutuhan aktivitas.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Ludwig Mies van der Rohe bahwa minimalis dalam
arsitektur diadopsi dari Less is more untuk menggambarkan ekspresi
kesederhanaan dengan memasukkan setiap elemen dan detail untuk mendapatkan
multiple visual and functional purposes (http://minimalism.askdefine.com/)
sehingga sebuah obyek atau ruangan dapat memiliki beberapa fungsi. Rumah
tradisional Bali Aga merupakan cerminan bagaimana sikap orang Bali asli menjalani
kehidupan yang selaras baik terhadap sesama, terhadap Tuhan, serta lingkungan
sebagai cerminan konsep Tri Hita Karana. Dilihat dari pola satu unit permukiman,
masing-masing rumah atau bangunan tanpa pembatas pagar, cerminan keamanaan
antar kepala keluarga yang telah berlangsung sejak lama. Sebagai hubungannya
kepada Tuhan, terdapat tempat/ruang suci sebagai penghayatan kepada leluhur.

Ni Made Yudantini), Kadek Wisnawa2),-Rumah Tinggal Bali Aga; Arsitektur Minimalis dan Fungsionalis
Masyarakat juga tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan tetap menjaga pola
rumah, dan kebersihan lingkungan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Rumah tinggal tradisional adalah unik merupakan kreativitas masyarakat yang
menempati. Pola, bentuk, dimensi, bahan yang digunakan, serta kepercayaan yang
terkandung di dalamnya menjadi ciri khas kebudayaan daerah khususnya Bali Aga.
Hal ini tentunya tidak terdapat di daerah lain, dan daerah lainpun akan memiliki
karakter daerahnya masing-masing. Tentunya akan menjadi kebanggaan apabila
kekayaan asli daerah tetap dapat dilestarikan. Dalam hal ini bukan menjadikan
mereka museum, namun tetap mempertahankan karakter asli dari daerahnya serta
kebudayaan yang dimiliki. Meskipun adanya pengaruh yang mengalir dengan
berkembangnya kemajuan teknologi dan globalisasi modern terhadap eksistensi
dan keberadaan rumah tradisional khususnya Bali Aga, maka ini menjadi sebuah
kewjiban kita semua untuk memelihara dan mempertahakan arsitektur daerah.
Untuk itu sebagai putra daerah wajib menjawab tantangan yang ada tersebut untuk
tetap dapat melestarikan kekayaan arsitektur tradisional yang kita miliki dengan
menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengingat kembali bahwa
kekayaan arsitektur daerah adalah cabang-cabang dari Arsitektur Nusantara.

REFERENSI
Anonim, Konsep Arsitektur Rumah Minimalis [online]
(http://www.akagenshare.com/2013/06/konsep-arsitektur-rumah-minimalis.html,
diunggah 9 Agustus 2013, 1:44 PM.
Asmorobangun, Supardi, 2012, Bali 1912, One Hundred Years Later and the
Revitalization of Bangli Tourism. Bangli Regency Tourism & Creative Economy
Office and the Tourisn Institute, STP Nusa Dua Bali.
Broadbent, G., Bunt, R. & C. Jencks, 1980, Signs, Symbols and Architecture, John
Wiley & Sons Inc., London.
Covarrubias, Miguel, 1974, Island of Bali (pp xvii-xxv). Kuala Lumpur, Oxford
University Press/Indira, Jakarta-Singapore-Melbourne.
Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Bali, Inventarisasi Desa-Desa Tradisional Bali,
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Bali,
Proyek Perencanaan Konservasi Lingkungan Desa (1988/1989).
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2009, Arsitektur & Kebudayaan Bali Kuno;
Berdasarkan kajian Desa-Desa Traditsional di Bali, Udayana University Press
kerjasama dengan CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar.
Krause, Gregor, 1988, Bali 1912, January Books Ltd, New Zealand, pp. 29-35.
Muller, Carole, 2011, Bali Aga Villages; field work in the 1980s, Walsh Bay Press.
Prijotomo, Josef, 2012, Guna dan Fungsi pada Arsitektur Bale Banjar Adat di
Denpasar, Bali, dalam Prosising Temu Ilmiah IPLBI 2012.
Reuter, Thomas A., 2002, Custodians of The Sacred Mountains; Culture and
Society in the Highlands of Bali, University of Hawaii Press, Honolulu.
Reuter, Thomas, 2002, The House of Our Ancestors; Precedence and dualism in
highland Balinese society, KITLV Press, Leiden.
Runa, I Wayan, 2004, Sistem Spasial Desa Pegunungan Di Bali Dalam Perspektif
Sosial Budaya (PhD disertasi), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sullivan, Gerald, 1999, Margaret Mead, Gregory Bateson, and Highland Bali;
Fieldwork Photographs of Bayung Gede, 1936-1939, The University of Chicago
Press, Chicago and London, pp. 1-40.

32 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5

Anda mungkin juga menyukai