ABORTUS
BAB I
PENDAHULUAN
Abortus (keguguran) merupakan salah satu penyebab perdarahan yang terjadi pada
kehamilan trimester pertama dan kedua. Angka Kejadian Abortus sukar ditentukan karena
abortus provokatus banyak tidak dilaporkan, kecuali bila terjadi komplikasi.
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus provokatus.
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis dan disebabkan oleh
faktor-faktor alamiah. Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi akibat tindakan atau
disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.
Abortus dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan dapat menimbulkan syok,
perforasi, infeksi, dan kerusakan faal ginjal (renal failure) sehingga mengancam keselamatan
ibu. Kematian dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan secara cepat dan tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Sebagai batasan adalah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat badan
janin kurang dari 500 gram.
2. Epidemiologi
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak
dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur
kehamilannya, hanya sedikit memberikan tanda dan gejala sehingga biasanya ibu tidak
melapor atau berobat. Sementara itu dari kejadian yang diketahui,15-20% adalah abortus
spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5 % dari pasangan yang mencoba hamil akan
mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1 % dari pasangan mengalami 3 atau
lebih keguguran yang berurutan. Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar
studi menyatakan kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau
dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya dapat mendekati 50%. Hal ini dikarenakan
tingginya chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah
konsepsi. Sebagian besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya
sperma dan disfungsi oosit). Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali
secara berturut-turut. Kejadiannya berkisar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan
bahwa setelah satu kali abortus spontan, pasangan mempunyai resiko 15% untuk mengalami
kegagalan lagi, sedangkan bila pernah gagal 2 kali, resikonya akan meningkat 25%. Setelah 3
abortus berurutan adalah 30-45%.
3. Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya
lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik.
A. Mendelian
B. Multifactor
C. Robertsonian
D. Resipirokal
2. Kelainan kongenital uterus
a. Anomali duktus mulleri
b. Septum uterus
c. Uterus bikornis
d. Inkompetensi serviks uterus
e. Mioma uteri
f. Sindroma Asherman
3. Autoimun
a. Aloimun
b. Mediasi imunitas humoral
c. Mediasi imunitas seluler
4. Defek fase luteal
a. Faktor endokrin eksternal
b. Antibodi antitiroid hormon
c. Sintesis LH yang tinggi
5. Infeksi
6. Hematologik
7. Lingkungan
Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya.
Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi
setelah trimester pertama.
Penyebab Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit
50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagai-
manapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen
tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan
poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan
sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis,
misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus
karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi
ditemukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh 2
sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari
nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk
sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis.
Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16 dengan kejadian sekitar 30
% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak Semua kromosom trisomi berakhir
abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan penyebab 20 - 25 %
kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21)
bisa bertahan.
Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua
ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena zneuploidi
adalah 1 : 80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi
akan meningkat setelah usia 35 tahun.
Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploidi, tri-
ploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kel angsungan kehamilan. Tetraploidi
terjadi pada 8 % kejadian abortus akibat kelainan kromosom, di mana terjadinya kelainan
pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan.
Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi pada
sekitar 3 % kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur
kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria bisa
berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi peluang
kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi gen
yang bisa mengganggu proses impiantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk
kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy,
yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan
penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi
uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos,
homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell
anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada plasenta.
Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrino-genemi, defisiensi
faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, di
mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada
kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.
Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus
berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar
1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali
uterus pada 27 % pasien.
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, men-
dapatkan hasil hanya 18,8 % yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan
36,5 % mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus
karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 - 80 %), kemudian uterus bikornis
atau uterus didelfis atau unikomis (10 - 30 %). Mioma uteri bisa menyebabkan baik
infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30 % pada perempuan
usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran besar
atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan.
Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah
pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 - 80 %, bergantung pada berat
ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan his-terosalpingografi
(HSG) dan ultrasonografi.
Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya,
pada Systematic Lupus Erythematosm (SLE) dan Antipbospholipid Antibodies (aPA). aPA
merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE Kejadian abortus
spontan di antara pasien SLE sekitar 10 %, dibanding populasi umum. Bila digabung dengan
peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75 % pasien
dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin
dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang berikatan dengan sisi negatif
dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang
penting, yaitu Lupus Anttcoagutant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan
biologically false positive untuk syphilis (FP-STS), APS (antiphospholipid syndrome)
sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR
dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis
arteri vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea, dan hipertensi pulmonum.
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk
APS, yaitu meliputi:
- Trombosis vaskular
- Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan
dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi.
- Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi.
- Komplikasi kehamilan
- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan
anatomik, genetik, atau hormonal.
- Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi secara bonografi
normal.
- Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan
berhubungan dengan preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat.
- Kriteria laboratorium
- aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau
lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu
- aCL diukur dengan metode ELISA standar
- Antibodi fosfolipid/antikoagulan
- Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan CT)
- Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan
plasma platelet normal
- Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid
- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin
aPA ditemukan kurang dari 2 % pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20 %
pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33 % pada perempuan dengan SLE.
Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis
dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap -2 glikoprotein 1 yang lebih
spesifik.
Pemberian antikoagulan misalnya as p iri n, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil
yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai growth hormone
plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta.
Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap
prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregrasi tromoosit, penurunan c-reaktif
protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan
pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu.
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah,
prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan
pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin
dari 50 % jadi 80 % pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dan 2 kali tes
APLAs positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu
pengawasan terhadap risiko kehilangan massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.
Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain:
Bakteria
- Listeria monositogenes
- Klamidia trakomatis
- Ureaplasma urealitikum
- Mikoplasma hominis
- Bakterial vaginosis
Virus
- Sitomegaiovirus
- Rubela
- Herpes simpleks virus (HSV)
- Human immunodeficiency virus (HIV)
- Parvovirus
Parasit
- Toksoplasmosis gondii
- Plasmodium falsiparum
Spirokaeta
- Treponema pallidum
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko
abortus/EPL, di antaranya sebagai berikut:
Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga
janin sulit bertahan hidup.
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin.
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal
Mikoplasma bominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa
mengganggu proses impiantasi
Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes).
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus
selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus BI9, sitomegaiovirus, koksakie
virus B, varisela-zoster, kronik sitomegaiovirus CMV, HSV).
Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 - 10 % malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau
radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas
anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain
nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi
uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta
memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat
terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.
Faktor Hormonal
Ovulasi, impiantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem
pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem
hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama
kadar progresteron.
Diabetes mellitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih jelek
jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar
HbAlc tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janin meningkat
signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya
peluang 2-3 kali lipat mengalami abortus.
Kadar progesteron yang rendah
Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium
terhadap impiantasi embrio. Pada tahun 1929, Alien dan Corner mempublikasikan tentang
proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah
berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan
sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk
menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan
menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa
diselamatkan.
Defek fase luteal
Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron saat fase
luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23 - 60 % perempuan dengan abortus berulang.
Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini.
Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama
dengan 3 kali, didapatkan 17 % kejadian defek fase luteal. Dan, 50 % perempuan
dengan histologi defek fase luteal punya gambaran progesteron yang normal.
4. Patofisiologi
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio
akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi
akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan
mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat
yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan
secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau
di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan
pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun
plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis
servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan
perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke 14 22, Janin biasanya
sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-
kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi
uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu
banyak namun rasa nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan diatas jelas bahwa abortus ditandai
dengan adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam
5. Klasifikasi Abortus
1. Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada
umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada
keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya
uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urir masih positif. Untuk
menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengar melihat kadar hormon hCG
pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilai menggunakan urin tanpa pengenceran
dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masil positif keduanya maka prognosisnya adalah
baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negati maka prognosisnya dubia ad malam. Pengelolaan
penderita ini sangat bergantung pac informed consent yang diberikan. Bila ibu ini masih
menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus maksimal untuk mempertahankan
kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada
dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan
ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan
HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan di samping ada tidaknya
hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat
dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal Pada USG transabdominal jangan
lupa pasien harus tahan kencing terlebih dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang
baik agar rincian hasil USG dapat jelas.
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa diberi
spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron atau
derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik
kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan.
Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak
boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
2 Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan
ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam
proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya
bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan
USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak
janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya
terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan
plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan
hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi
disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu,
uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati,
kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan
kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya
perforasi pada dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian
uterotonika, dan antibiotika profilaksis.
3. Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan,
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai Pada
pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus. Pengelolaan
penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu
diberikan.
4. Abortus Inkompletus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus
di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam
kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi
jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang
menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus.
Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoraeik sebelum sisa jaringan
konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan
umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan
tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara
klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit
dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik yane bentuknya tidak beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil
konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera
dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti
Selanjurnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hati
sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan ialah
dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan
uterotonika parenteral ataupun per oral dan antibiotika.
5. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan
sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam
kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali merasakan
pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu
sampai 20 minggu penderita justeru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-
tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. kadangkala missed abortion
juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian menjadi sembuh, tetapi pertumbuhan
janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari
terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang
mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran
fetus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4
minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena
hipofibri-nogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan
kuretase.
Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara baik
karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi perdarahan
atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita perlu
diperhatikan karena penderita umumnya merasa gelisah setelah tahu kehamilannya tidak
tumbuh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus
memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan
keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu
untuk mengeluarkan janin atau mematang kan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat
dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10
unit dalam 500 cc dekstrose 5 % tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total
oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan
tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi
biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi
ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau
sintetisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak
disebutkan adalah dengan pemberian mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang
dapat diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil
konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase
dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan
missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding
uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipo-fibrinogenemia perlu disiapkan
transfusi darah segar atau fibrinogen. Pascatindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus
intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.
6. Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali,
tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop
melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0,41 % dari seluruh kehamilan.
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya dengan
reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross
reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi
abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau hepari-nisasi. Akan tetapi,
dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap sehingga
dapat diobati sesuai dengan penyebabnya.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan di
mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah
kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten)
tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini
sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan
usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter
kanalis servikalis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan
pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan didapati
selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter
ini melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk
periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus
dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat mtntrima beban dengan
berkembangnya umur kehamilan, Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12 14 minggu
dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari kanalis servikalis dengan
benang sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur kehamilan
aterm dan bayi siap dilahirkan.
6. Diagnosa Abortus
Menurut WHO (1994), setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua daripada tiga
rahim kosong dan tingkat serum hCG kuantitatif lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1.800
kadar hCG kuantitatif lebih besar dari 3.500 mIU per mL (3.500 IU per L). Rahim yang
ditemukan kosong pada pemeriksaan USG dapat mengindikasikan suatu abortus kompletus,
7. Komplikasi
8. Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo Sarwono. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : FK UI, 2011.
2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4.
Jakarta: PT Bina Pustaka; 2011.h.550-6
3. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta:
EGC, 2005.