EPILPSI
Oleh
Dr. Merry Cardina
Pembimbing :
Dr. Freddy Hasudungan Aritonang, M.Sc, Sp.S
Nama : An. M
Usia : 14 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
1.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Status Internus
Rambut : rambut hitam tidak mudah dicabut
Kulit dan kuku : tidak ditemukan kelainan
KGB : tidak ditemukan pembesaran
Keadaan regional
Kepala : tidak ditemukan kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Leher : tidak ada pembesaan KBG
Paru : vesikuler +/+, ronkhi(-), wheezing(-)
Jantung : S1 S2 reguler
Abdomen : tak tampak membuncit , timpani, bising usus (+) Normal
Genitalia : tidak diperiksa
Status Neurologis
1.Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M6 V5)
2.Tanda Rangsangan selaput otak
Kaku kuduk :- Kernig :-
Brudzunsky I :- Brudzunsky II:-
Laseque :-
3.Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Muntah proyektil :-
Sakit kepala progresif :-
4.Nervus Kranialis :
Nervus I : penciuman baik
Nervus II : visus 6/6 ODS,pupil isokhor, reflek cahaya +/+
Nervus III,IV,VI : bola mata dalam posisi ortho, ptosis (-),gerakan bola
mata bebas ke segala arah,
Nervus V : buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+),
menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan (+), refleks
kornea(+)
Nervus VII : raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata +/+,
mengerutkan dahi (+),plica nasolabialis ki=ka
Nervus VIII : fungsi pendengaran baik, Nistagmus (-)
Nervus IX&X :Refleks muntah (+), arkus faring simetris,uvula
ditengah
Nervus XI :dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kanan
Nervus XII :deviasi lidah(-),tremor(-),atrofi papil lidah(-),fasikulasi
(-)
4.Koordinasi :
Cara berjalan : dalam batas normal
Romberg test :-
Rebound phenomen: -
Tes tumit lutut :-
Tes supinasi pronasi:-
Disartria :-
5.Motorik : ekstermitas superior dan inferior
Dekstra Sinistra
Pergerakan : aktif aktif
Kekuatan : 555 554
555 555
Tonus : eutonus eutonus
8.Reflek fisiologis
Biseps :++/++
Triseps :++/++
Reflek APR : ++/++
ReflekKPR :++/++
9.Reflek Patologis
Babinski :-/- Gordon :-/-
Chaddock:-/- schaffer:-/-
Oppeinheim:-/- hoffmen trommer -/-
10.Fungsi luhur : reaksi emosi baik, fungsi bicara:bicara lancar
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.5 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : epilepsi
1.6 TATALAKSANA
Fenitoin 2x150mg
Asam folat 2x5mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau
bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. 1
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 1
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak
dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap
munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan,
stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari
populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola
bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut. 2
2.3 ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik
dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya
trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan
testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa
setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan
progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar
hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi. Epilepsi mungkin disebabkan
oleh 1:
Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.
Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain.
Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau
infeksi.
Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsi idiopatik, sedangkan pada anak
umur 5-6 tahun disebabkan karena febris.
Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala maupun
tumor.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut 3 :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alkohol,
atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke
otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.
Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a. Kurang tidur
b. Stress emosional
c. Infeksi
d. Obat-obat tertentu
e. Alkohol
f. Perubahan hormonal
g. Terlalu lelah
h. Fotosensitif
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Etiologi 3
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran),
gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU),
defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis,
anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Klasifikasi Umum 3
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981
dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi) 4:
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap).
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 3,4
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik
Epilepsi benigna dengan gelombag paku di daerah sentral temporal
(chilhood epilepsy with centrotemporal spikes).
Epilepsi benigna dengan gelombang paroksimal pada daerah oksipital.
Epilepsi primer pada saat membaca (primary reading epilepsy).
b. Simptomatik
Epilepsi parsial kontinua yang kronik progesif pada anak anak
(Kojenikows Syndrome)
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca).
Epilepsi lobus temporalis
Epilepsi lobus frontalis
Epilepsi lobus parietalis
Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitassi dengan aktivasi yang spesifik.
b. Kriptogenik atau simptomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
Sindroma West (spasmus infantil)
Sindroma Lennox Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi lena mioklonik
c. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati infantil dini dengan burst supressi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas.
Sindrom spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur dalam
Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau Kleffner)
Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
Kejang Demam
Bangkitan Kejang/ Status Epileptikus Hanya Sekali (Isolated)
Bangkitan Hanya Pada Kejadian Metabolik Akut, Atau Toksis,
Alkohol, Obat- Obatan, Eklamsia, Hiperglikemi Non Ketotik.
Bangkitan Dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga
diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis
yang baik dan akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar
penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu
sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman
elektroensefalografi (EEG). 4,5
2.5 PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. 5
Otak
neuron
GABA
sinaps
neurotransmiter
N. Eksidatif
Epileptogen
kejang
Substansia retikularis
kejang
penurunan kesadaran
2.7 DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan. 3,5
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti
dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesi (auto dan
aloanamnesis), meliputi:
Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3,5
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. 3,4
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
disbanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
2.8 TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berrespon terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat
antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal
(yang dapat ditoleransi). 3,4
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat
terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan faktor
penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk
serangan.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat
dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang
merugikan akibat obat antiepilepsi.
Tabel 1
A. Treat :
b. Malformasi arteriovenosa
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada
masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk
keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko
dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah,
sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin
diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai
risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang
akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti
demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang tunggal
dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti :
kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal, kejang karena
tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang
akibat penyebab non epileptik lainnya. 3,4
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien.
a) Tipe serangan
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Topiramat
Fenitoin Clobazam
Fenobarbital
b) karakteristik pasien
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah
yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol
dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). 3
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk
meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi
pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung
menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara
pemberian dosis awal :
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga
terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan. 4
Evaluasi ulang
Diagnosis epilepsi
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa
diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi? apakah
pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi
optimal?)
5. Penggantian Obat
a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih. 3
b. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang kedua
harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus
dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus
diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan,
dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau
dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi
dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru
politerapi dipertimbangkan. 3
c. Monoterapi
d. Politerapi
b. Mengobati serangan :
Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang
reversible.
Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui
dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)
Hentikan kejang
7. Ketaatan pasien
Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai
pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan : berapa
lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan dapat
dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan
penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis
(termasuk serangannya) dan prognosis epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila
OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence
yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik atau
mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang
lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya dapat
diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan
dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE
memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus
diberikan pengertian secukupnya. 3
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki laki, usia 14 tahun yang datang ke poli
syaraf RSUD Abdul Manap Jambi pada tanggal 7 Agustus 2017 dengan diagnosis klinis
epilepsi. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat kejang berulang sejak tahun 2014,
kejang umum seluruh tubuh, lama 5 menit, frekuensi kejang 1 kali dengan diawali kaku
seluruh tubuh 30 detik diikuti dengan kelonjotan 1 menit. Saat kejang pasien tidak sadar,
mata mendelik ke atas, lidah tergigit tanpa disertai mulut berbusa. Kejang
tidak didahului dengan demam tinggi. Pasien mengaku kejang muncul jika
pasien sedang banyak pikiran dan kelelahan. Dan dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran baik dan pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan.
Hal ini mendukung ke arah epilepsi, dimana
menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Epileptic
seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang
disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 1
Pada dasarnya, diagnosis semua jenis epilepsi ditegakkan melalui:
1. Anamnesis, ditujukan terutama untuk mencari penyebab yang mendasari. Beberapa hal
pada anamnesis yang perlu digali adalah: pola/bentuk bangkitan, durasi bangkitan, gejala
sebelum, selama, dan sesudah bangkitan, frekuensi bangkitan, faktor pencetus, penyakit
saat ini, usia saat bangkitan pertama, riwayat selama dalam kandungan sampai
perkembangan anak, riwayat terapi epilepsi, dan riwayat penyakit epilepsi dalam
keluarga.
2. Pemeriksaan fisik, sesuai dengan gejala klinis dan penyebabnya, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
3. Pemeriksaan tambahan yaitu EEG, brain imaging, laboratorium, dan EKG.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG.
Diagnosis epilepsy pada pasien ini dibuat berdasarkan hasil anamnesis yang
didapatkan adanya riwayat kejang yang berulang yakni ketika tahun 2014. Selain itu pasien
sudah mendapatkan riwayat OAE, dan kejang saat ini tidak muncul lagi selama 7 bulan
dikarenakan pasien meminum obat secara teratur. Untuk menunjang terapi,dan prognosis
pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang yakni EEG.
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah Fenintoin 2x150
mg (po), Asam Folat 2x5 mg (po).Edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarga sebagai
suatu bentuk penatalaksaanaan non farmakologis. Tujuan utama terapi pada epilepsi adalah
tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi
dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. diperlukan beberapa upaya untuk
mencapai tujuan tersebut, antara lain dengan menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka
kesakitan dan kematian.
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan obat anti epilespsi (OAE) pilihan
sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Obat diberikan mulai dosis rendah
dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan
setelah terbukti bangkitan tidak dapt diatasi dengan menggunakan dosis maksimal kedua
OAE pertama.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap
dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan, sedangkan pada dewasa diperlukan
waktu yang lebih lama yaitu 5 tahun.
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Topiramat
Fenitoin Clobazam
Fenobarbital
BAB IV
KESIMPULAN
Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.
Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat
menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh kondisi
tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada
epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung
pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30
menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan
medis pada kejang tonik klonik..
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang. Hampir
delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol
dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk
mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih
kombinasi dari obat anti kejang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf RSUD
Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.
3. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Epilepsi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985
5. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.