Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI ILMIAH

EPILPSI

Oleh
Dr. Merry Cardina

Pembimbing :
Dr. Freddy Hasudungan Aritonang, M.Sc, Sp.S

RSUD H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI


BAGIAN ILMU SARAF
TAHUN 2017
BAB I
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. M

Jenis Kelamin : Laki - laki

Usia : 14 tahun

Agama : Islam

Alamat : Jl. Transito RT 08

Pekerjaan : Pelajar

Ruangan : Poli Syaraf

1.2 ANAMNESIS

Pasien datang ke poli saraf pada tanggal 07 Agustus 2017.

a. Keluhan Utama

Kontrol ulang dan tidak ada keluhan

b.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengaku sekarang tidak pernah kejang lagi selama 7


bulan.

Deman tidak ada

Mual muntah tidak ada

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien kejang berulang sejak tahun 2014, kejang umum seluruh tubuh, lama 5 menit,
frekuensi kejang 1 kali dengan diawali kaku seluruh tubuh 30 detik diikuti dengan
kelonjotan 1 menit. Saat kejang pasien tidak sadar, mata mendelik ke atas, lidah
tergigit tanpa disertai mulut berbusa. Kejang tidak didahului dengan
demam tinggi. Pasien mengaku kejang muncul jika pasien sedang
banyak pikiran dan kelelahan.
Saat dan sesudah kejang pasien tidak sadar.setelah kejang pasien terlihat bingung dan
kelelahan
Riwayat kejang pertama kali saat pasien bayi ,saat itu karena panas tinggi, pasien tidak
dirawat.
Riwayat trauma kepala tidak ada
Riwayat kelainan jantung bawaan dan di operasi di RS Harapan Kita Jakarta pada
tahun 2002 dengan diagnosis post operasi TOF ligasi PDA
Riwayat operasi dengan hipospadia pada tahun 2014 di RS Harapan Kita Jakarta

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien yaitu kakek pasien pernah menderita kejang


epilepsi. Riwayat hipertensi, kencing manis, penyakit jantung,
stroke, dan alergi disangkal.

e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan

pasien seorang siswa sekolah menengah pertama (SMP)

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Napas : 20x/menit
Suhu : 36,6oC
Status gizi : sedang

Status Internus
Rambut : rambut hitam tidak mudah dicabut
Kulit dan kuku : tidak ditemukan kelainan
KGB : tidak ditemukan pembesaran
Keadaan regional
Kepala : tidak ditemukan kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Leher : tidak ada pembesaan KBG
Paru : vesikuler +/+, ronkhi(-), wheezing(-)
Jantung : S1 S2 reguler
Abdomen : tak tampak membuncit , timpani, bising usus (+) Normal
Genitalia : tidak diperiksa
Status Neurologis
1.Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M6 V5)
2.Tanda Rangsangan selaput otak
Kaku kuduk :- Kernig :-
Brudzunsky I :- Brudzunsky II:-
Laseque :-
3.Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Muntah proyektil :-
Sakit kepala progresif :-

4.Nervus Kranialis :
Nervus I : penciuman baik
Nervus II : visus 6/6 ODS,pupil isokhor, reflek cahaya +/+
Nervus III,IV,VI : bola mata dalam posisi ortho, ptosis (-),gerakan bola
mata bebas ke segala arah,
Nervus V : buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+),
menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan (+), refleks
kornea(+)
Nervus VII : raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata +/+,
mengerutkan dahi (+),plica nasolabialis ki=ka
Nervus VIII : fungsi pendengaran baik, Nistagmus (-)
Nervus IX&X :Refleks muntah (+), arkus faring simetris,uvula
ditengah
Nervus XI :dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kanan
Nervus XII :deviasi lidah(-),tremor(-),atrofi papil lidah(-),fasikulasi
(-)

4.Koordinasi :
Cara berjalan : dalam batas normal
Romberg test :-
Rebound phenomen: -
Tes tumit lutut :-
Tes supinasi pronasi:-
Disartria :-
5.Motorik : ekstermitas superior dan inferior
Dekstra Sinistra
Pergerakan : aktif aktif
Kekuatan : 555 554
555 555
Tonus : eutonus eutonus

6.Sensorik :Sensibilitas halus dan kasar baik kiri dan kanan


7.Fungsi otonom
Miksi : neurogenik bladder (-)
Defekasi : baik
Sekresi keringa t:baik

8.Reflek fisiologis
Biseps :++/++
Triseps :++/++
Reflek APR : ++/++
ReflekKPR :++/++
9.Reflek Patologis
Babinski :-/- Gordon :-/-
Chaddock:-/- schaffer:-/-
Oppeinheim:-/- hoffmen trommer -/-
10.Fungsi luhur : reaksi emosi baik, fungsi bicara:bicara lancar
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.5 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : epilepsi
1.6 TATALAKSANA
Fenitoin 2x150mg
Asam folat 2x5mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Sedangkan serangan atau
bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi. 1
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 1
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak
dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap
munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan,
stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari
populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola
bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut. 2
2.3 ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik
dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya
trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan
testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa
setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan
progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar
hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi. Epilepsi mungkin disebabkan
oleh 1:
Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.
Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain.
Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau
infeksi.
Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsi idiopatik, sedangkan pada anak
umur 5-6 tahun disebabkan karena febris.
Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala maupun
tumor.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut 3 :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alkohol,
atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke
otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.
Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a. Kurang tidur
b. Stress emosional
c. Infeksi
d. Obat-obat tertentu
e. Alkohol
f. Perubahan hormonal
g. Terlalu lelah
h. Fotosensitif

2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Etiologi 3
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran),
gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU),
defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis,
anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Klasifikasi Umum 3
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981
dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi) 4:
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap).
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 3,4
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik
Epilepsi benigna dengan gelombag paku di daerah sentral temporal
(chilhood epilepsy with centrotemporal spikes).
Epilepsi benigna dengan gelombang paroksimal pada daerah oksipital.
Epilepsi primer pada saat membaca (primary reading epilepsy).
b. Simptomatik
Epilepsi parsial kontinua yang kronik progesif pada anak anak
(Kojenikows Syndrome)
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca).
Epilepsi lobus temporalis
Epilepsi lobus frontalis
Epilepsi lobus parietalis
Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitassi dengan aktivasi yang spesifik.
b. Kriptogenik atau simptomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
Sindroma West (spasmus infantil)
Sindroma Lennox Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi lena mioklonik
c. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati infantil dini dengan burst supressi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas.
Sindrom spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur dalam
Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau Kleffner)
Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
Kejang Demam
Bangkitan Kejang/ Status Epileptikus Hanya Sekali (Isolated)
Bangkitan Hanya Pada Kejadian Metabolik Akut, Atau Toksis,
Alkohol, Obat- Obatan, Eklamsia, Hiperglikemi Non Ketotik.
Bangkitan Dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga
diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis
yang baik dan akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar
penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu
sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman
elektroensefalografi (EEG). 4,5

2.5 PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. 5
Otak

neuron

GABA

Menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik syaraf

sinaps

neurotransmiter

Pusat Listrik Syaraf

N. Eksidatif
Epileptogen

Depolarisasi belahan hemisfer

kejang

tanpa hilang kesadaran

Substansia retikularis

kejang

penurunan kesadaran

2.6 MANIFESTASI KLINIK


A. Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-
tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-
kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi
sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan
tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. 5
Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat
hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong
keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik
ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. 5
2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran
yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali
masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola
mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula.
Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit
mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak
akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3
per detik.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi
lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya
sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan
ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. 5
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus
otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan
dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal,
mioklonus dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias
Lennox-Gastaut. 1,3
d. Spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West.
Timbul pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang
pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang
luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau
tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

B. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).


a) Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu
atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari
tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi
klinik ini disebut Jacksonian marche .4
b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada
bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks
motorik sehingga terjadi kejang-kejang. 3
c) Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan
psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut 3:
1. Kesadaran hilang sejenak.
2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara
sadar dan mimpi(twilight state).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam.
Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau
perasaan aneh

2.7 DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan. 3,5
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti
dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesi (auto dan
aloanamnesis), meliputi:
Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekwensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3,5
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. 3,4
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
disbanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang
kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. 5
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3

2.8 TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berrespon terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat
antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal
(yang dapat ditoleransi). 3,4
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat
terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan faktor
penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk
serangan.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :

1. Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat
dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang
merugikan akibat obat antiepilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi

Setelah kejang pertama

Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut


Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang
selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.

Tabel 1

A. Treat :

1. Jika didapatkan lesi struktural :

a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik

b. Malformasi arteriovenosa

c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika

2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :


a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)

b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada
masa kanak-kanak)

d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat

e. Todds postical paresis

f. Status epileptikus

B. Possibly :

Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk
keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko
dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah,
sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin
diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai
risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.

C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :

a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik

d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)

e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang
akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti
demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang tunggal
dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti :
kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal, kejang karena
tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang
akibat penyebab non epileptik lainnya. 3,4

3. Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien.

a) Tipe serangan

Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan First-line Second-line/add on Third line/ add on

Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin


kompleks dengan atau
tanpa general sekunder Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin

Fenobarbital Zonisamid Felbamat

Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin

Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat

Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam

Fenitoin Zonisamid

Fenobarbital Pirimidon

Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin

Levetiracetam Clobazam

Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital

Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam


atipikal)
Lamotrigin Zonisamid

Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat

Topiramat

Tonik Asam valproat Clonazepam

Fenitoin Clobazam

Fenobarbital

Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam


juvenil
Etosuksimid

Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam


juveni
Fenobarbital Etosuksimid

b) karakteristik pasien

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus


dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat
antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi
atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat
dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang
masih dalam usia subur. 2,3

4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu

Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah
yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol
dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). 3
Dosis awal :

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk
meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi
pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung
menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara
pemberian dosis awal :

1. Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik

Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan


dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin,
pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada
penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek
samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai
dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu
tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi
selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat
ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali
dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. 4,5

2. Pemberian obat mulai dari dosis terapetik

Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga
terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan. 4

Evaluasi ulang

Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat


antiepilepsi dengan obat lain, faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

Diagnosis epilepsi

Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi

Adanya lesi aktif

Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa
diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi? apakah
pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi
optimal?)

Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang


paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).

Table 3. Dosis obat antiepilepsi untuk dewasa


Obat Dosis Dosis Dosis Frekuensi Efek samping
awal yang maintenance pemberian
(mg/hari) paling (mg/hari) (kali/hari)
umum
(mg/hari)

Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi


gusi, distres lambung,
vertigo, hiperglikemia,
anemia makrositik

Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang,


distress lambung, sedasi,
penglihatan kabur,
konstipasi, ruam kulit

Okskarbazepin 150-600 900- 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi,


1800 diplopia, hiponatremia,
ruam kulit

Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam,


sindrom steven-johnson,
nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur

Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia,


kelelahan, anoreksia,
pusing, batu ginjal,
leukopenia

Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB ,


konstipasi, diare,
gangguan tidur

Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB , anoreksia,


nyeri kepala, insomnia,
hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB
, konstipasi, mulut
kering, sedasi, anoreksia

Clobazam 10 20 10-40 1-2

Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk,


kebingungan, nyeri
kepala, vertigo, sinkop

Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung

Pirimidon 125 500 250-1500 1-2

Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing,


sedasi, langkah
terhuyung, nyeri kepala,
eksaserbasi kejang
generalisata

Vigabatrin 500- 3000 2000-4000 1-2


1000

Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,mulut


kering, penglihatan
kabur, mialgia,
penambahan berat,
kelelahan

Pregabalin 150 300 150-600 2-3

Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik

Levetiracetam 1000 2000- 1000-4000 2


3000
Mekanisme kerja OAE

5. Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih. 3

b. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang kedua
harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus
dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus
diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan,
dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau
dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi
dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru
politerapi dipertimbangkan. 3

c. Monoterapi

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi.


Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan evaluasi
hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, (3) efek samping
minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar
dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun
jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat
tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar
75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya
mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan
dan memerlukan kombinasi obat. 3

d. Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt


(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan
sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan
vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-
pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan
tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih
dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 70%. Satu
pasien frekuensi bangkitannya bertambah, sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan
mioklonik. Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam
farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of
action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek
sampingnya aditif. 3

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya:


valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan
dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih
selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif
terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping,
interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi
optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: mempunyai mekanisme aksi berbeda;
(1) efek samping relatif ringan;
(2) indeks terapi lebar, dan
(3) interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek samping
obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali.
6. Pemantauan terapi
a. Manajemen umum epilepsi :

Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang


tepat

Menentukan dan mengobati penyebab

b. Mengobati serangan :

c. Menilai perlunya terapi obat :

Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang
reversible.
Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui
dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)

Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah


banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan
risiko tinggi.

Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai

Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alkohol, kurang tidur,


stress emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)

Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan


implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati
dengan obat antiepilepsi.

d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :

Hentikan kejang

Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien

Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada

7. Ketaatan pasien

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat


menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12
bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum
obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit
Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal
berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum
obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu
waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak
dianjurkan. 5

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani


pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada
penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh
faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya
pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi. 3,4

Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai
pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan : berapa
lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan dapat
dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan
penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis
(termasuk serangannya) dan prognosis epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila
OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence
yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik atau
mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang
lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya dapat
diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan
dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE
memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus
diberikan pengertian secukupnya. 3
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki laki, usia 14 tahun yang datang ke poli
syaraf RSUD Abdul Manap Jambi pada tanggal 7 Agustus 2017 dengan diagnosis klinis
epilepsi. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat kejang berulang sejak tahun 2014,
kejang umum seluruh tubuh, lama 5 menit, frekuensi kejang 1 kali dengan diawali kaku
seluruh tubuh 30 detik diikuti dengan kelonjotan 1 menit. Saat kejang pasien tidak sadar,
mata mendelik ke atas, lidah tergigit tanpa disertai mulut berbusa. Kejang
tidak didahului dengan demam tinggi. Pasien mengaku kejang muncul jika
pasien sedang banyak pikiran dan kelelahan. Dan dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran baik dan pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan.
Hal ini mendukung ke arah epilepsi, dimana
menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Epileptic
seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang
disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 1
Pada dasarnya, diagnosis semua jenis epilepsi ditegakkan melalui:
1. Anamnesis, ditujukan terutama untuk mencari penyebab yang mendasari. Beberapa hal
pada anamnesis yang perlu digali adalah: pola/bentuk bangkitan, durasi bangkitan, gejala
sebelum, selama, dan sesudah bangkitan, frekuensi bangkitan, faktor pencetus, penyakit
saat ini, usia saat bangkitan pertama, riwayat selama dalam kandungan sampai
perkembangan anak, riwayat terapi epilepsi, dan riwayat penyakit epilepsi dalam
keluarga.
2. Pemeriksaan fisik, sesuai dengan gejala klinis dan penyebabnya, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
3. Pemeriksaan tambahan yaitu EEG, brain imaging, laboratorium, dan EKG.

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu


a. Langkah pertama, memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi.
b. Langkah kedua, apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukan bangkitan yang
ada termasuk jenis bangkitan yang mana.
c. Langkah ketiga, tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan,
atau epilepsi apa yang di derita oleh pasien.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG.
Diagnosis epilepsy pada pasien ini dibuat berdasarkan hasil anamnesis yang
didapatkan adanya riwayat kejang yang berulang yakni ketika tahun 2014. Selain itu pasien
sudah mendapatkan riwayat OAE, dan kejang saat ini tidak muncul lagi selama 7 bulan
dikarenakan pasien meminum obat secara teratur. Untuk menunjang terapi,dan prognosis
pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang yakni EEG.

Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah Fenintoin 2x150
mg (po), Asam Folat 2x5 mg (po).Edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarga sebagai
suatu bentuk penatalaksaanaan non farmakologis. Tujuan utama terapi pada epilepsi adalah
tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi
dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. diperlukan beberapa upaya untuk
mencapai tujuan tersebut, antara lain dengan menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka
kesakitan dan kematian.
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan obat anti epilespsi (OAE) pilihan
sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Obat diberikan mulai dosis rendah
dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan
setelah terbukti bangkitan tidak dapt diatasi dengan menggunakan dosis maksimal kedua
OAE pertama.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap
dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan, sedangkan pada dewasa diperlukan
waktu yang lebih lama yaitu 5 tahun.

Tipe serangan First-line Second-line/add on Third line/ add on

Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin


kompleks dengan atau
tanpa general sekunder Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin

Fenobarbital Zonisamid Felbamat

Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat

Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam

Fenitoin Zonisamid

Fenobarbital Pirimidon

Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin

Levetiracetam Clobazam

Zonisamid Clonazepam

Fenobarbital

Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam


atipikal)
Lamotrigin Zonisamid

Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat

Topiramat

Tonik Asam valproat Clonazepam

Fenitoin Clobazam

Fenobarbital

Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam


juvenil
Etosuksimid

Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam


juveni
Fenobarbital Etosuksimid
Terapi pasien ini adalah Fenitoin 2x150mg. Fenitoin merupakan salah satu pilihan
terapi pada pasien dengan tipe kejang general tonik klonik. Selain fenitoin regiment terapi
pada pasien kejang tipe general tonik klonik adalah asam valproat dan carbamazepine.
Dosis harian fenitoin adalah 3-4mg/kgBb/hari untuk dewasa dengan pemberian 2 atau
3 kali pemberian dengan dosis terbagi, selanjutnya dosis di sesuaikan perorangan maksimum
300-400 mg perhari. Dosis terapi oral fenitoin pada anak anak 4-8 mg/KgBB/hari, deengan
dosis awal diberikan 5 mg/KgBB/hari, dengan dosis pemeliharaan 5 15 mg/KgBB/hari,
dengan frekuensi pemberian 1- 2 kali/ hari. Anak anak di atas usia 6 tahun dapat di berikn
dosis dewasa (300 mg/hari).
Fenitoin dapat menyebabkan reduksi kadar asam folat, dan menyebabkan pasien
menderita anemia megaloblastik. Asam folat tersedia dalam makanan dengan bentuk
poliglutamat, yang kemudian di ubah menjadi monoblukamat oleh konjugt intestinum.
Fenitoin berksi sebagai penghambat enzim ini, karenanya dapat menyebabkan defisiensi
folat. Sehingga pada pasien ini juga diberi tambahan Asam Folat 2x5mg.
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognos is
epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-
obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan
epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau
absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai
pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis yang umumnya jelek.

BAB IV

KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.
Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat
menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.

Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh kondisi
tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada
epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung
pada banyaknya area otak yang terpengaruh.

Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30
menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan
medis pada kejang tonik klonik..

Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang. Hampir
delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol
dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk
mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih
kombinasi dari obat anti kejang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf RSUD
Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.
3. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Epilepsi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985
5. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.

Anda mungkin juga menyukai