Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Tn. Jono umur 45 tahun, bekerja sebagai tenaga ahli Teknik Informatika
datang ke IGD dengan keluhan sakit perut sejak 3 jam yang lalu. Rasa sakit ini
sebenarnya sudah dirasakan sejak 4 bulan yang lalu, yang makin sering dan makin
berat. Sakit terasa di kanan atas perut. Rasa sakit ini tidak menjalar. Sakit terasa
lebih berat pada malam hari dan bila bergerak. Rasa ini lebih dirasakan seperti
rasa berat dibandingkan dengan rasa nyeri. Nafsu makan berkurang, sering ada
rasa mual, tapi tidak sampai muntah. Gejala lain yang dirasa adalah diare sejak 2
bulan yang lalu dengan volume tinja yang tidak terlalu banyak. Warna tinja
coklat, sering berkaitan dengan asupan makanan. Kencing berwarna seperti teh
botol. Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit hati. Pasien sering
memakan obat pereda sakit puyer bintang tujuh. Akhir-akhir ini berat badan
dirasakan menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, kulit terlihat
agak kuning, mata ikterus. Tidak ada kelainan pada paru dan jantung. Pada
pemeriksaan abdomen terlihat bagian kanan atas agak membengkak. Teraba masa
di kanan atas perut yang agak menonjol, yang ikut bergerak dengan pernafasan
disertai nyeri tekan. Ditemukan pula shifting dullness. Tidak ditemukan kelainan
lain pada pemeriksaan fisik.

1.2 Klarifikasi dan Definisi


-

1.3 Kata Kunci


1. Tn, Jono 45 tahun
2. Sakit pada perut kanan atas
3. Icterus
4. Sakit lebih berat pada malam hari
5. Nafsu makan berkurang
6. Sering mual
7. Ditemukan shifting dullness
8. Warna tinja coklat
9. Urin coklat
10. Diare kronik
11. Konsumsi puyer bintang 7
12. Disebelah kanan atas terdapat masa
13. Hepatosplenomegaly
14. Massa agak menonjol dan bergerak

1.4 Rumusan Masalah


Pria, 45 tahun mengalami mual dan nyeri abdominal disertai demam, ikterik
pada kulit dan sklera serta adanya teraba massa dibagian abdomen kuadran
atas.
1.5 Analisis Masalah

Pria, 45 tahun

Keluhan: Pemfis:
- Nyeri di - Shifting
bagian dullness
abdomen - Massa di
kanan atas kuadran kanan
- mual atas
- Ikterus pada
kulit dan sklera

Riwayat
penggunaan puyer
DD: gangguan fungsi hati
bintang 7

hepatotoxic

Hepatitis

Pem.lab
ALT?
Komplikasi
SGOT?
Anti HBsAg? - Sirosis hati
Anti HCV - keganasan

Tatalaksana

Prognosis
1.6 Hipotesis
Tuan jono, 45 tahun mengalami hepatotoksisitas yang disebabkan kebiasaan
mengkonsumsi puyer bintang 7.

1.7 Pertanyaan diskusi


1. Anatomi hati
2. Anatomi kandung empedu
3. Anatomi lien
4. Fisiologi hati
5. Fisiologi kandung empedu
6. Fisiologi lien
7. Metabolisme hati
8. Metabolisme kandung empedu
9. Metabolism lien
10. Hepatitis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Epidemiologi
e. Patofisiologi
f. Manifestasi klinis
g. Faktor resiko
h. Diagnosis
i. Tatalaksana
j. Prognosis
11. Sirosis hati
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Epidemiologi
e. Patofisiologi
f. Manifestasi klinis
g. Faktor resiko
h. Diagnosis
i. Tatalaksana
j. Prognosis
12. Ikterus
13. Asites
a. Kriteria
b. Patofisiologi
c. Tatalaksana
d. Pada kondisi apa asites dapat terjadi
14. Puyer bintang 7
a. Farmakokinaetik
b. Farmakodinamik
c. Efek samping
d. Indikasi dan kontraindikasi
e. Kandungan
15. Apa saja pemeriksaan tes fungsi hati?
16. Bagaimana cara pemeriksaan shifting dullness?
17. Berapa kadar bilirubin normal dalam plasma?
18. Apa yang menyebabkan warna feses dan urin menjadi coklat?
19. Bagaimana hubungan diare dengan kasus?
20. Pada kondisi apa timbul splenomegali?
21. Pada kondisi apa timbul hepatomegali?
22. Kriteria pemeriksaan splenomegali
23. Kriteria pemeriksaan hepatomegali
24. Mengapa sakit terasa berat pada malam hari?
25. Mengapa nafsu makan berkurang disertai mual?
26. Apakah ada hubungan pekerjaan dengan keluhan?
27. Edukasi pada kasus
BAB II
PEMABAHASAN

2.1 Anatomi Hati


Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga
abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena kaya akan persediaan
darah. (Sloane, 2004) Beratnya 1200-1800 gram, dengan permukaan atas terletak
bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-
organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas
bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati
berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta
hepatis (Amirudin, 2009)
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, diinferior oleh fissura yang dinamakan dengan ligamentum
teres dan diposterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum venosum. Lobus kanan
hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan mempunyai 3 bagian utama yaitu:
lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates. Diantara kedua lobus terdapat
porta hepatis, jalur masuk dan keluar pembuluh darah, saraf dan duktus. Hepar
dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus
peritoneum pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya. (Sloane, 2004)
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu: vena porta hepatika yang berasal
dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida,
vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika, cabang dari arteri
koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah tersebut masuk hati melalui porta
hepatis yang kemudian dalam porta tersebut vena porta dan arteri hepatika bercabang
menjadi dua yakni ke lobus kiri dan ke lobus kanan. Darah dari cabang-cabang arteri
hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang
melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat diantara barisan sel-sel hepar ke
vena sentral. Vena sentral dari semua lobulus hati menyatu untuk membentuk vena
hepatika (Sherwood, 2001)
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian
perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu
yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati
(Amirudin, 2009). Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis
T7-T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus vagus dexter dan sinister serta
phrenicus dexter (Sherlock, 2011)

2.2 Anatomi kandung empedu


Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah hepar. Vesica biliaris mempunyai kemampuan menyimpan empedu
sebanyak 30-50 ml, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorpsi air. Vesica
biliaris terdiri atas fundus, corpus, dan collum. Fundus vesica biliaris berbentuk bulat
dan biasanya menonjol di bawah margo inferior hepar, penonjolan ini merupakan
tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung cartilago
costalis IX dextra. Corpus vesica biliaris terletak dan berhubungan dengan fascies
visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Colum vesica biliaris
melanjutkan diri sebagai ductus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum minus
dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus komunis untuk membentuk ductus
choledochus. Vesica biliaris berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu. vesica
biliaris mempunyai kemampuan untuk memekatkan empedu dan untuk membantu
proses ini, mukosa vesica biliaris mempuyai lipatan-lipatan permanen yang saling
berhubungan sehingga permukaan tampak seperti sarang tawon Sel-sel toraks yang
terletak pada permukaan mukosa mempunyai banyak vili. Empedu dialirkan ke
duodenum sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial vesica biliaris.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari tunica mucosa
duodenum. Lalu hormon masuk ke dalam darah dan menimbulkan kontraksi vesica
biliaris. Pada saat yang bersamaan otot polos yang terletak pada ujung distal ductus
choledochus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
pekat ke dalam duodenum. Garam-garam empedu di dalam cairan empedu penting
untuk mengemulsikan lemak di dalam usus serta membantu pencernaan dan absorbsi
lemak (Snell, 2006)
Vesica biliaris mendapat perdarahan dari arteri cystica, cabang arteri hepatica
dextra dan vena cystica yang mengalirkan darah langsung ke vena porta. Cairan limfa
mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat colum vesicae biliaris. Dari sini,
pembuluh limfa berjalan ke nodi hepatici dengan berjalan sepanjang perjalanan arteri
hepatica communis dan kemudian ke nodi coelici. Persarafan di vesica biliaris terdiri
atas saraf simpatis dan parasimpatis yang membentuk pleksus coeliacus (Snell, 2006)

2.3 Anatomi lien


Lien/ spleen/ limpa merupakan organ RES (Reticuloendothelial system) yg
terletak di cavum abdomen pd regio hipokondrium/ hipokondriaka sinistra. Lien
terletak sepanjang costa IX, X, dan XI sinistra dan ekstremitas inferiornya berjalan ke
depan sampai sejauh linea aksillaris media. Lien juga merupakan organ intra
peritoneal.

Lien memiliki 2 facies, facies diaphragmatica yg berbentuk konvex dan facies


visceralis yg berbentuk lbh datar. Facies diaphragmatica lien berhadapan dg
diaphragm dan costa IX- XI sinistra. Sedangkan facies visceralis nya memiliki 3
facies, yaitu facies renalis yg berhadapan dg ren sinistra, facies gastric yg berhadapan
dg gaster, dan facies colica yg berhadapan dg flexura coli sinistra. Ketiga facies tsb
bertemu pd hilus lienalis. Dimana hilus lienalis merupakan tmp keluar dan masuknya
dari vasa. N. lienalis. Pd hilus lienalis, juga merupakan tmp menggantung nya cauda
pancreas. Lien memiliki 2 margo, yaitu margo anterior dan margo posterior. Selain
itu, lien jg memiliki 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas superior, dan ekstremitas inferior
(Paulsen, 2013)

2.4 Fisiologi hati


Hati sangat kaya akan fungsi fisiologis. Fungsi yang paling penting dari hati untuk
sistem gastrointestinal adalah, pembentukan garam empedu. Awalnya, kolesterol yang
ada pada pembuluh darah hati akan diambil dan diubah menjadi asam empedu dengan
enzim 7alpha-cholesterol hydrolase dan disalurkan ke kantong empedu. Asam
empedu akan dikonjugasi hati menjadi garam empedu. Fungsi kedua hati adalah
ekskresi bilirubin. Bilirubin yang dihasilkan dari proses hemolysis dari sistem
retikuloendotelial akan dikonjugasi dengan glucuronide oleh hati agar dapat
diekskresikan lewat urin. Bilirubin glucuronide akan dikeluarkan bersama empedu
menuju usus dan bilirubin glucuronide di dekonjugasi dan di metabolisme oleh
bakteri menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat disalurkan kembali kehati atau
dapat dibuang melalui urin dan feses. Fungsi ketiga hati adalah, metabolisme
karbohidrat (gluconeogenesis, penyimpanan glukosa, glycogenolysis), protein
(sintesis asam amino non-esensial, sintesis protein plasma dan faktor pembekuan
darah, mengubah ammonia menjadi urea), dan lemak (mengoksidasi lemak,
memproduksi kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein). Fungsi keempat hati adalah
mendetoksifikasi zat-zat berbahaya untuk tubuh dan mencegah bakteri dari darah usus
untuk masuk ke sirkulasi sistemik dan memetabolisme obat. Hati juga berfungsi untuk
menyimpan cadangan vitamin dalam jangka panjang.

2.5 Fisiologi kandung empedu


Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut:
a. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati
di antara dua periode makan.
b. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan
kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga
membantu proses pencernaan lemak.
Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air,
elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik
terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan
empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel
kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organic.
Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan
dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan makanan
terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini
merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga
empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak.
Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan
bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan
serta dalam pencernaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan
mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan
kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan mereka ke
kandung empedu. Proses pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut
sebagai sirkulasi enterohepatik.
Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam
empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus.

2.6 Metabolisme hati


Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi
asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk
sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein
dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain
dari asam amino.
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin,
hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat
yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan
atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

2.7 Hepatitis
Definisi
Hepatitis merupakan isitilah umum untuk inflamasi yang terjadi di hati, dapat
bersifat infeksius (virus, bakteri, fungi, dan organisme parasit) dan non infeksius
(alkohol, obat-obatan, penyakit autoimun, dan penyakit metabolik). Hepatitis secara
umum paling sering disebabkan oleh HAV, HBV, dan HCV. Virus lain yang
diketahui menjadi penyebab hepatitis meliputi HDV dan HEV.
Epidemiologi
Menurut hasil riskesdes tahun 2013 bahwa jumlah orang yang didiagnosis
hepatitis difasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada
menunjukkan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari data 2007 dan 2013.
Menurut data WHO 2014, lebih dari 240 juta penduduk di dunia mengalami
infeksi HBV kronis dan lebih dari 780.000 orang pertahun meninggal akibat
komplikasi infeksi HBV akut maupun kronis. Indonesia sendiri termasuk Negara
endemis HBV dengan seroprevalensi HBsAg sebesar 9,4% (kisaran 2,5-36,1%) dan
pengidap karien 5-10% dari populasi umum.
Menurut data WHO tahun 2014 , lebih dari 185 juta penduduk dunia telah
terinfeksi HCV, dan 350.000 jiwa diantaranya meninggal setiap tahunnya. Di Asia
tenggara prevalensi Hepatitis C ialah 2,0% pada populasi dewasa. Berdasarkan
riskedas 2007 angka seroprevalensi anti-HCVpada laki-laki di Indonesia yaitu 1,7%
sementara pada perempuan ialah 2,4%.
Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005: 485) Secara umum hepatitis disebabkan oleh
virus. Beberapa virus yang telah ditemukan sebagai penyebabnya, berikut ini:
1. Virus hepatitis A (HAV)
2. Virus hepatitis B (HBV)
3. Virus hepatitis C (HCV)
4. Virus hepatitis D (HDV)
5. Virus hepatitis E (HEV)
6. Hepatitis F (HFV)
7. Hepatitis G (HGV)
Namun dari beberapa virus penyebab hepatitis, penyebab yang paling dikenal
adalah HAV (hepatitis A) dan HBV (hepatitis B). Kedua istilah tersebut lebih disukai
daripada istilah lama yaitu hepatitis infeksiosa dan hepatitis serum, sebab kedua
penyakit ini dapat ditularkan secara parental dan nonparental (Price dan Wilson,
2005: 243). Hepatitis pula dapat disebabkan oleh racun, yaitu suatu keadaan sebagai
bentuk respons terhadap reaksi obat, infeksi stafilokokus, penyakit sistematik dan
juga bersifat idiopatik (Sue hincliff, 2000: 205).
Klasifikasi
Terdapat berbagai hepatitis diantaranya sebagai berikut
1) Hepatitis A (HAV: hepatitis infeksi). HAV disebabkan kontaminasi fecal oral
yang umumnya melalui air dan makanan yang terkontaminasi. Agen pebawa
sangat menular sebelum kemunculan tanda dan gejala, khususnya penyakit
kuning.
2) Hepatitis B (HBV: seum hepatiis). HBV disebarkan melalui suntikan percutaneus
oleh percutaneous inculation yang disebabkan instrument atau jaru yang
terkontaminasi hepatitis B surface antigen (HBsAg) misalnya selama kontak
seksual, dan lintas-tranmisi virus antara bayi dan ibu yang terjadi dalam rahim,
pada kelahiran atau selama periode paska kelahiran.
3) Hepatitis C (HCV; non-A, non-B). HCV disebarkan secara parental khusunya
tranfusi darah yang terkontaminasi, para pecandu obat-obatan yang menggunakan
jarum terkontainasi, dan melalui kontak cairan tubuh isalnya kontak seksual.
Penyakit ini didiagnosis dengan keberadaan antibody HCV
4) Hepatits D(HDV: delta hepatitis). HDV disebarkan dengan cara sama seperti
HBV maupun seper infeksi pada pembawa HBV. Hepatitis ini didiagnosa dengan
mengidentifikasi antibody terhadap HDV dan menentukan keberadaan antibody
hepatitis D (HDAg)
5) Hepatitis E (HEV). HEV terjadi melalui tranmisi oral-fekal. Presentase klinisnya
sama dengan HAV. HEV didiagnosa dengan menentukan keberadaan antibody
terhadap HEV (anti-HEV)
6) Hepatitis yang disebabkan racun dan obat. Hepatitis ini dapat disebabkan berbagai
kadar obat-obatan beracun, alcohol, toksin industry, atau racun pabrik

Patofisiologi
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada
hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis
sel perenchyn hati.
Respon peradangan menyebabkan pembekakan dalam memblokir sistem
drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis
empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu
bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia,
dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan timbulnya sakit dengan
gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan
lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepatitis dengan sub akut
dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang
dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi
penyakit kronik hati atau kanker hati.
Manifestasi Klinis
Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu sejak
penularan terjadi, barulah kemudian penderita menunjukkan beberapa tanda dan
gejala terserang penyakit Hepatitis A, antara lain (Depkes RI, 2007)
a. Demam, demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti
demam yang lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll
b. Ikterus (mata/kulit berwarna kuning, tinja berwarna pucat dan urin berwarna
gelap)
c. Keletihan, mudah lelah, pusing
d. Nyeri perut, hilang selera makan, muntah-muntah
e. Dapat terjadi pembengkakan hati (hepatomegali), tetapi jarang menyebabkan
kerusakan permanen
f. Atau dapat pula tidak merasakan gejala sama sekali
Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium:
a) Stadium pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam,
kehilangan selera makan dan mual;
b) Stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik);
c) Stadium kesembuhan (konvalesensi).
Hepatitis B
a. Gejala hepatitis B akut: demam, sakit perut, mual, muntah dan kuning
(terutama pada area mata yang putih/sklera), hepatomegali.
b. Gejala hepatitis B kronik: cenderung tidak tampak tanda-tanda seperti pada
hepatitis B akut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih
beresiko.
Hepatitis C
a. Sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala,
walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya.
b. Beberapa gejala yang samar diantaranya adalah: lelah, hilang selera makan,
penurunan berat badan, nyeri otot dan sendi, sakit perut, urin menjadi gelap
dan kulit atau mata menjadi kuning yang disebut "jaundice" (jarang terjadi).
Hepatits D
a. Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang
ringan (ko-infeksi) atau amat progresif (super-infeksi).
b. Biasanya muncul secara tiba-tiba gejala seperti flu, demam, penyakit kuning,
urin berwarna hitam dan feses berwarna hitam kemerahan.
c. Pembengkakan pada hati.
2.8 Sirosis hati
Definisi
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada
nodul - nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut
yaitu suatu keadaan disorganisasi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat
nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan yang mengalami fibrosis. Secara lengkap
Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah
besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan
terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi (Price wilson, 2005)

Epidemiologi
Penyakit hati kronis dan sirosis hati mengakibatkan sekitar 35.000 kematian
setiap tahun di Amerika Serikat dan bertanggung jawab atas 1,2% dari semua
kematian. Berdasarkan National Vital Statistics Reports, CDC, angka kematian akibat
sirosis hati (CSDR) di Amerika Serikat pada tahun 2005 yaitu 9,3 per 100.000
penduduk, tahun 2006 yaitu 9,2 per 100.000 penduduk. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dalam jangka panjang merupakan satu-satunya penyebab penyakit hati
yang paling penting di Amerika Serikat dan beberapa Negara Barat. Sirosis alkoholik
merupakan bentuk sirosis yang paling lazim di Amerika Utara dan Eropa, dan
frekuensinya juga meningkat dengan cepat. Sementara infeksi Hepatitis Virus B
(HBV) merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis hati, dan
kanker hati di seluruh dunia. Perkiraan jumlah karier di Amerika Serikat adalah
sekitar 800.000 hingga 1 juta orang. Sekitar 25% dari karier ini berkembang menjadi
hepatitis kronik aktif, yang seringkali berlanjut menjadi sirosis. Diperkirakan 25-40%
penderita HBV akut sangat berisiko mengalami sirosis dan karsinoma hepatoseluler.
Hepatitis kronis terjadi pada sekitar 80% dari semua orang yang terinfeksi HCV, dan
sekitar 70% berkembang menjadi sirosis hati (Gunter, 2005)
Peningkatan kejadian sirosis hati sebagian disebabkan oleh insidensi hepatitis
virus yang meningkat terutama hepatitis B dan C serta asupan alkohol yang tinggi,
meskipun di Indonesia pasien sirosis hati yang disebabkan alkohol jumlahnya sangat
sedikit. Angka-angka yang berasal dari rumah sakit di kota besar di Indonesia
memperlihatkan bahwa penderita pria lebih banyak daripada wanita dengan
perbandingan antara 1,5 sampai 2 : 1. Secara umum diperkirakan angka insiden 12
penyakit sirosis hati di rumah sakit di seluruh Indonesia setiap tahun berkisar antara
0,6-14,5%. Berdasarkan data Depkes RI (2005) di Indonesia pada tahun 2004 terdapat
9.441 penderita sirosis hati dengan proporsi 0,4% dan merupakan penyebab kematian
ke-21 dari 50 penyebab kematian dengan jumlah kematian 1.336 orang (PMR 1,2%)
(Departemen Kesehatan, 2013)
Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya sirosis hati antara lain:
1. Penyalahgunaan alkohol kronis: Sedikitnya dua minuman per hari untuk
wanita atau empat gelas per hari untuk pria, yang telah dikonsumsi lebih dari 10
tahun, dapat menyebabkan sirosis. Penyakit hati alkoholik menyebabkan 12.000
kematian per tahun di Amerika Serikat.
2. Hubungan seksual yang tidak aman: Hepatitis B dan C infeksi mudah
menular melalui hubungan seksual tanpa pelindung.
3. Penggunaan obat intravena: Transmisi Hepatitis B dan C juga umum
melalui penggunaan narkoba dengan suntikan.
4. Penyakit hati kronis karena keturunan atau didapat setelah lahir:
Hemokromatosis, penyakit Wilson, dan hepatitis autoimun merupakan faktor risiko
kuat untuk sirosis.
Patofisiologi
Patofisiologi Sirosis hepatis dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sirosis laennec,
sirosis pascanekrotik, dan sirosis biliaris. Sirosis Laennec disebabkan oleh konsumsi
alkohol kronis, alkohol menyebabkan akumulasi lemak dalam sel hati dan efek toksik
langsung terhadap hati yang akan menekan aktivasi dehidrogenase dan menghasilkan
asetaldehid yang akan merangsang fibrosis hepatis dan terbentuknya jaringan ikat
yang tebal dan nodul yang beregenerasi. Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh virus
hepatitis B, C, infeksi dan intoksitifikasi zat kimia, pada sirosis ini hati mengkerut,
berbentuk tidak teratur, terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh jaringan
parut dan diselingi oleh jaringan hati. Sirosis biliaris disebabkan oleh statis cairan
empedu pada duktus intrahepatikum, autoimun dan obstruksi duktus empedu di ulu
hati. Dari ketiga macam sirosis tersebut mengakibatkan distorsi arsitektur sel hati dan
kegagalan fungsi hati. Distorsi arsitektur hati mengakibatkan obstruksi aliran darah
portal ke dalam hepar karena darah sukar masuk ke dalam sel hati. Sehingga 15
Universitas Indonesia meningkatkan aliran darah balik vena portal dan tahanan pada
aliran darah portal yang akan menimbulkan hipertensi portal dan terbentuk pembuluh
darah kolateral portal (esofagus, lambung, rektum, umbilikus). Hipertensi portal
meningkatkan tekanan hidrostatik di sirkulasi portal yang akan mengakibatkan cairan
berpindah dari sirkulasi portal ke ruang peritoneum (asites). Penurunan volume darah
ke hati menurunkan inaktivasi aldosteron dan ADH sehingga aldosteron dan ADH
meningkat di dalam serum yang akan meningkatkan retensi natrium dan air, dapat
menyebabkan edema. Kerusakan fungsi hati; terjadi penurunan metabolisme bilirubin
(hiperbilirubin) menimbulkan ikterus dan jaundice. Terganggunya fungsi metabolik,
penurunan metabolisme glukosa meingkatkan glukosa dalam darah (hiperglikemia),
penurunan metabolisme lemak pemecahan lemak menjadi energi tidak ada sehingga
terjadi keletihan, penurunan sintesis albumin menurunkan tekanan osmotik (timbul
edema/asites), penurunan sintesis plasma protein terganggunya faktor pembekuan
darah meningkatkan resiko perdarahan, penurunan konversi ammonia sehingga ureum
dalam darah menigkat yang akan mengakibatkan ensefalopati hepatikum.
Terganggunya metabolik steroid yang akan menimbulkan eritema palmar, atrofi testis,
ginekomastia. Penurunan produksi empedu sehingga lemak tidak dapat diemulsikan
dan tidak dapat diserap usus halus yang akan meingkatkan peristaltik. Defisiensi
vitamin menurunkan sintesis vitamin A, B, B12 dalam hati yang akan menurunkan
produksi sel darah merah (Price Wilson, 2005)
Manifestasi klinis
Gejala
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Bila sirosis hati sudah lanjut, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan deman tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan
air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma
(Kumar, 2007)
Tanda Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia
sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver
sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin.17 Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan
penyakit.
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (asites).
c. hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dank e bawah. Hati
membesar 2-3 cm dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila
ditekan.
d. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang menetap di
atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningktan resistensi terhadap
aliran darah melalui vena.
Diagnosis
1. Temuan klinis (D'Amico, A, L, & R, 1986)
a. Spider angioma-spiderangiomata: lesi vascular yang dikelilingi
beberapa vena-vena kecil. Tanda ini seringditemukan di bahu, muka,
dan lengan atas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi
berat bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya
ukurannya kecil.
b. Eritema Palmaris: warna merah saga pada thenar dan hipothenar
telapak tangan. Berkaitan dengan perubahan metabolisme hormone
estrogen. Tanda ini tidak spesifik pada sirosis.
c. Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal
dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanisme belum diketahui
tapi diperkirakan akibat hipoalbuminemia.
d. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier
e. Kontraktur dupuytern akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tapi tidak secara
spesifik berkaitan dengan sirosis
f. Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan
androstedion.
g. Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile.
Menonjol pada sirosis alkoholik dan hemokromatosis.
h. Hepatomegali pada awal sirosis, bila hepar sudah mengkerut maka
prognosisnya buruk
i. Splenomegali
j. Asites
k. Fetor hepatikum
l. Ikterus
m. Asterixis-bilateral

2. Tanda-tanda lain yang menyertai (Erwin, 2011)


a. Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar
b. Bau pada vesika velea akibat hemolisis
c. Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini
akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.

3. Gambaran Lab (Erwin, 2011)


a. AST naik, ALT naik, AST>ALT
b. ALP naik kurang dari 2-3 kali harga batas normal atas
c. GGT tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik
d. Bilirubin bisa normal pd sirosis hati kompensata tapi bisa meningkat
pada sirosis lanjut
e. Albumin menurun sesuai dengan perburukan sirosisnya
f. Globulin meningkat sesuai sirosis
g. Waktu protrombin memanjang. Mencerminkan tingkatan disfungsi
sintesis hati
h. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites.
Dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas
i. Kelainan hematologi anemia
j. Pemeriksaan marker serologi petanda virus seperti HBsAg/HBsAb,
HBeAg/HbeAb, HBv DNA penting untuk menentukan etiologi sirosis
hepatis.

Tatalaksana
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan
diet yang mengandung protein 1 g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi
progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi,
diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa
menghambat kolagenik (Makmun, 2007)
Prognosis
Prognosis untuk pasien sirosis tergantung pada komplikasi masing-masing.
Yang mendasari proses morfologi, seperti nekrosis, fibrosis dan regenerasi, gabungan
untuk derajat yang sangat berbeda dalam pasien sirosis tunggal. Ada juga perbedaan-
perbedaan individu dalam tanggapan hemodinamik dan efek yang sesuai pada ginjal,
paru-paru dan hati, dll. Oleh karena itu sangat sulit memberikan prognosis yang
akurat dalam setiap kasus. Selain itu, seperti prognosis hanya mencakup jangka waktu
tertentu yang relatif singkat (beberapa bulan sampai satu tahun) (Kuntz, 2008).
Berbagai indeks telah dikembangkan menggunakan parameter sebaik mungkin
untuk menghitung probabilitas kematian atau kelangsungan hidup dalam setiap kasus.
Klasifikasi sirosis menurut kriteria yang dibuat oleh Child dan Turcotte (1964) dan
modifikasi oleh Pugh (1973) telah diterima secara luas. Prognosis dari sirosis yang
disebabkan oleh racun (alkohol atau obat-obatan, bahan kimia, dll) adalah jauh lebih
baik dengan menghilangkan kausal atau penyebab (Kuntz, 2008).

2.9 Ikterus
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi
dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme
untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak
larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini
beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)(Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke
sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan
oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi
sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari
usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati.
Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali
dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat
ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin(Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul
ikterus bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di
dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice(Murray et al,2009).
Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu ikterus fisiologis dan patologis (Mansjoer, 2002).
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
Timbul pada hari kedua-ketiga.
Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada
neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari.
Kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dL.
Gejala ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan.
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.

b. Ikterus patologis Ikterus patologis memiliki karakteristik seperti berikut:


Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12mg/dL pada neonatus cukup
bulan dan 10mg/dL pada neonates lahir kurang bulan/premature.
Ikterus dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dL per hari.
Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau
keadaan patologis lain yang telah diketahui.
Kadar bilirubin direk melebihi 1mg/dL.
Komplikasi
Komplikasi dari icterus yang parah adalah kernicterus yang dapat menyebabkan
kerusakan sistem saraf pusat.

2.10 Asites
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites
dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga
peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar yakni transudasi dan eksudasi.
Sirosis yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah
satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui
mekanisme transudasi.

SIROSIS HATI

HIPERTENSI PORTA

VASODILATASI ARTERIOLAE
SPLANGNIKUS

Tekanan Intrakapiler dan Volume efektif darah


koefisien filtrasi meningkat arteri menurun

Pembentukkan cairan limfe lebih Aktivitas ADH, sistem


besar daripada aliran balik simpatis, RAAS
Terbentuk asites Retensi air dan garam

Apapun peristiwa pencetusnya, sejumlah faktor ikut berperan menyebabkan


penimbunan cairan dalam rongga abdomen :
1. Hipertensi Portal
Dalam keadaan normal, rangsangan fisiologis waktu makan maupun latihan
(exercise), dapat mempengaruhi aliran darah splanknik, juga aliran darah portal.
Dalam mekanisme homeostatik ini, faktor-faktor neurohormonal dapat
menyeimbangkan setiap perubahan aliran darah portal, untuk mempertahankan
tekanan portal yang normal (di bawah 8 mmHg), dengan cara mempengaruhi
tahanan pembuluh portal (portal vascular resistance).
Hipertensi portal timbul bila mekanisme kompensasi ini tidak serasi lagi akibat
meningkatnya patologis, baik aliran darah darah portal ke hati (forward hypothesis)
maupun tahanannya (backward hypothesis). Akibatnya timbul kolateral porto-
sistemik secara spontan, sebagai usaha untuk menurunkan tekanan sistem portal
maupun vena portalnya. Namun meskipun pintasan porta-sistemik timbul secara
spontan, tekanan portal tetap bertahan tinggi, akibat terjadinya keadaan hiperdinamik
sirkumlasi splanknik maupun sistemik, yang menyebabkan makin meningkatnya
aliran darah vena porta. Timbulnya keadaan sirkulasi yang hiperdinamik ini
dipengaruhi oleh meningkatnya kadar vasodilator endogen dalam darah (circulating
endogenous vasodilator) dan menurunnya kepekaan terhadap vasokonstriktor.
2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik plasma juga memudahkan
ekstravasasi cairan dari plasma menuju rongga peritoneum, sehingga asites jarang
terjadi pada pasien sirosis kecuali bila terdapat hipertensi portal maupun
hipoalbuminemia.
3. Peningkatan aktivitas simpatetik
Pada pasien sirosis dengan asites ditemukan peningkatan impuls simpatetik
sentral tetapi hal ini tidak terjadi pada pasien yang hanya menderita sirosis.
Peningkatan impuls simpatetik menyebabkan natreuresis berkurang melalui
pengaktifan sistem renin-angiotensin dan hilangnya kepekaan atrium terhadap
peptida natriuretik.
4. Sistem limfatik hepar
Cairan limfe hati merembes bebas dari permukaan hati yang sirotik akibat
distorsi dan sumbatan sinusoid-sinusoid dan saluran limfe hati dan ikut membentuk
asites.
5. Faktor ginjal
Faktor ginjal juga berperan penting mempercepat asites. Pasien asites tidak
dapat mengekskresikan beban air dengan cara normal. Pasien tersebut mengalami
peningkatan reabsorbsi natrium ginjal baik melalui tubulus proksimal dan distal,
yang terakhir terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas renin plasma dan
hiperaldosteronisme.
Intensivitas terhadap peptida natriuretik atrium, yang konsentrasinya sering
meningkat pada pasien sirosis dengan asites mungkin merupakan faktor penunjang
pada banyak pasien ketidakpekaan ini telah dibuktikan terjadi pada pasien yang
mengalami gangguan ekskresi natrium yang berat, yang biasanya juga
memperlihatkan tekanan arteri yang rendah dan aktivitas berlebihan renin-
aldosteron. Vasokonstriksi ginjal, mungkin akibat peningkatan kadar katekolamin
atau prostaglandin serum, juga berperan menimbulkan retensi natrium.
Kelainan primer dari retensi cairan yaitu hipertensi porta, dimana kadar nitrik
oksida meningkat. Nitrik oksida yaitu faktor vasodilator endogen potensial yang ikut
serta dalam terjadinya vasodilatasi arterial pada sirosis. Kadar nitrit oksida yang
meningkat ini menyebabkan retensi natrium dan terjadi peningkatan volume plasma
dan terjadi asites. Terjadi peningkatan aktifitas simpatis, renin dan angiotensin.
Akhirnya akan terjadi retensi natrium dalam ginjal kembali.
Apabila vasodilatasi adalah penyebab pembentukan asites dan disfungsi ginjal
pada sirosis, maka koreksi abnormalitas ini akan berkaitan dengan perbaikan atau
normalisasi fungsi ginjal dan hilangnya asites.
Tatalaksana
Dalam menatalaksana asites transudat (akibat hipertensi porta) terdapat
beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:
a. Tirah baring untuk memperbaiki efektifitas diuretika. Tirah baring akan
menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun.
b. Pada tirah baring, pasien tidur telentang dengan kaki sedikit diangkat selama
beberapa jam setelah minum diuretika.
c. Diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu diuresis.
d. Pemberian diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya
spironolakton. Dengan pemberian diuretika diharapkan berat badan dapat turun 400-
800 gr/hari.
e. Terapi parasentesis, yaitu mengeluarkan cairan asites secara mekanis. Untuk
setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi
albumin sebanyak 6-8 gram.
f. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari terjadinya asites seperti
penyakit hati

2.11 Puyer bintang 7


Komposisi
Obat puyer bintang toedjoe merupakan obat analgesik (bersifat meredakan
nyeri). Komposisi bahan yang terdapat pada obat ini adalah Acidum
Acetylsalicylicum 50 mg, Acetaminophenum 275 mg, Coffeinum 50 mg di dalam tiap
1 gram obat. Bahan-bahan tersebut dicampur menjadi satu dalam bentuk serbuk
(puyer) (Wilmana & Gan, 2007)
Farmakokinetik
1. Asetaminofen / Parasetamol
Parasetamol yang diberikan dengan oral diserap dengan baik di usus halus dan
mengalami keadaan konsentrasi plasma puncak pada 30-60 menit pasca absorpsi dan
waktu paruh plasma adalah 2 jam. Berbeda dengan Obat Anti-Inflamasi non Steroid
lain, ikatan obat ini dengan protein plasma lebih kecil. Obat ini dimetabolisme oleh
hepar melalui proses konjugasi dengan asam glukoronat, asam sulfat atau sistein dan
metabolit inaktif akan diekskresi melalui ginjal. Dalam keadaan overdosis
parasetamol, parasetamol akan mengalami N-hidroksilasi yang diperantarai CYP
menjadi bentuk NAPQI yang merupakan bentuk intermediet yang sangat reaktif
(Laurence, 2012)
2. Aspirin / Acetosal / Asam salisilat
Konsumsi salisilat secara oral diabsorpsl dengan cepat, terutama dan usus halus
bagian afas. Konsentrasi yang cukup besar ditemukan dalam plasma dalam waktu
kurang dari 30 menit; sesudah dosis tunggal, konsentrasi puncak dicapai dalam 1 jam
kemudian menurun secara bertahap. setelah diabsorpsi salisilat didistribusikan ke
seluruh jaringan tubuh dan cairan transeluler, terutama melalui proses pasif
bergantung-pH. Salisilat ditranspor secara aktif oleh suatu slstem berkapasitas rendah
yang dapat terjenuhkan keluar dari cairan serebrosplnal (CSF) melewati pleksus
koroid. Obat ini dapat melewati sawar plasenta (Laurence, 2012)
Adanya makanan dapat memperlambat absorpsi salisilat, Absorpsi salisilat
melalui rektal biasanya lebih lambat daripada absorpsi melalui oral, dan berlangsung
tidak lengkap dan tidak konsisten. Asam salisilat diabsorpsi secara cepat dari kulit
utuh, terutama bila digunakan dalam obat gosok berminyak atau salep, dan keracunan
sistemik dapat terjadi bila dipakai pada area kulit yang luas (Laurence, 2012)
Volume distribusi untuk dosis lazim aspirin rata-rata 170 ml/kg berat badan;
pada dosls terapeutik yang tinggi, volume ini meningkat sampai 500 ml/kg karena
kejenuhan tempat ikatan protein plasma. Aspirin dapat dideteksi dalam plasma hanya
untuk waktu singkat sebagai hasil hidrolisis dalam plasma, hati, dan eritrosit. Sekitar
80-90% salisilat dalam plasma terikat dengan protein, terutama albumin, pada
konsentrasi yang mendekati secara klinis; proporsi total yang terikat menurun seiring
dengan meningkatnya konsentrasi plasma. Hipoalbuminemia, seperti yang dapat
teriadi pada artritis reumatoid, berhubungan dengan kadar salisilat bebas yang lebih
tinggi dalam plasma secara proporsional. Salisilat berkompetensi dengan bermacam
senyawa untuk terikat dengan protein plasma; senyawa tersebut meliputi tiroksin,
triiodotironin, penisilin, fenitoin, sulfinpirazon, bilirubin, asam urat, dan NSAID lain
seperti naproksen (Laurence, 2012)
Biotransformasi salisilat terjadi di beberapa jaringan, tetapi terutama di hati.
Tiga metabolit utama yang dihasilkan adalah asam salisilurat (konjugat glisin), eter
atau glukoronida fenolat, dan ester atau asil glukoronida.Waktu paruh plasma aspirin
adalah sekitar 20 menit dan untuk salisilat 2-3 jam pada dosls antiplatelet, meningkat
sampai 12 jam pada dosis lazim antiinflamasi. Waktu paruh salisilat dapat mencapai
15-30 jam pada dosis terapeutik yang tinggi atau jika teriadi intoksikasi (Laurence,
2012)
3. Kafein
Kafein adalah derivat xantin bersama dengan teofilin dan teobromin. Ketiganya
adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan. Kafein terdapat dalam kopi yang
didapat dari biji Coffee, teh dari daun Thea sinensis mengandung kafein dan teofilin,
cocao yang didapat dari biji Theobroma cacao mengandung kafein dan
teobromin.Kafein berefek stimulasi (Louisa & Dewoto, 2007)
Metilxantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral.
Sediaan cair atau tablet akan diabsorpsi secara lengkap. Dalam keadaan perut kosong,
sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar
puncak plasma dalam waktu 2 jam, sedangkan kafein dalam waktu 1 jam. Jika ada
makanan akan memperlambat penyerapan obat ini. Pada ibu yang mengandung
metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu
ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin adalah antara 400-600 ml/kg dan pada bayi
prematur nilai ini lebih tinggi. Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolisme
dalam hati. Sebagian besar diekskresi bersam urin dalam bentuk asam metilurat atau
metilxantin. Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan ditemukan di urin dalam
bentuk utuh. Waktu paruh plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan menjadi 2 kali
lipat pada wanita hamil tua atau wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka
panjang. Pada bayi prematur kecepatan eliminasi teofilin dan kafein sangat menurun,
waktu paruh kafein rata-rata 50 jam, sedangkan teofilin antara 20-36 jam (Louisa &
Dewoto, 2007)
Farmakodinamik
1. Asetaminofen / Parasetamol
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek
antiinflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai
antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada asetaminofen,
demikian juga pada gangguan pernapasan dan keseimbangan asama basa (Wilmana &
Gan, 2007)
2. Aspirin / Acetosal / Asam salisilat
Efek yang paling sering terjadi adalah induksi ulkus peptikum yang kadang-
kadang disertai anemia akibat perdarahan saluran cerna. Dua mekanisme terjadinya
iritasi lambung adalah iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali
asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan; iritasi atau
perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan
PGI1. Kedua prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi
menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus yang bersifat
sitoprotektif. Dan pada dosis yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan pada lambung
dan peradangan pada lambung (Wilmana & Gan, 2007)
Efek samping juga dapat ditemukan pada hati dan ginjal. Toksik salisilat ini
lebih berkaitan dengan dosis bukan akibat reaksi imun. Gejala yang sering terlihat
hanya kenaikan SGOT dan SGPT, beberapa dapat mengalami hepatomegali,
anoreksia, mual dan ikterus. Bila terjadi ikterus pemberian aspirin harus dihentikan
karena dapat terjadi nekrosis hati yang fatal. Oleh sebab itu aspirin tidak dianjurkan
diberikan pada pasien penyakit hati kronik. Salisilat juga dapat menurunkan fungsi
ginjal pada orang dengan hipovolemia dan gagal jantung (Wilmana & Gan, 2007)
3. Kafein
Obat golongan ini memiliki efek sebagai relaksan otot polos, terutama otot
polos bronkus, merangsang SSP, otot jantung dan meningkatkan diuresis. Kerja obat
ini terhadap tubuh juga melibatkan banyak sistem. Pada SSP, kafein merangsang
medula oblongata yang merupakan pusat napas. Kafein dan teofilin dapat
menimbulkan mual dan muntah melalui efek sentral maupun perifer. Muntah akibat
teofilin terjadi bila kadarnya dalam plasma melebihi 15 g/ml (Louisa & Dewoto,
2007)
Kadar yang tinggi kafein dan teofilin juga merangsang sistem kardiovaskuler
dan akibatnya denyut jantung menjadi cepat atau bahkan pada beberapa kasus
menyebabkan aritmia pada jantung. Pada sistem pencernaan kafein menstimulasi
sekresi asam lambung dan enzim pencernaan. Pada ginjal metilxantin, khususnya
teofilin tidak memiliki efek diuretik yang kuat. Efeknya dapat berasal dari
peningkatan filtrasi oleh glomerulus dan reabsorpsi natrium yang rendah pada tubulus
ginjal. Pada otot polos, sangat berguna bagi penderita asma, dan dapat sebagai
bronkodilator. Sedangkan pada otot rangka berkaitan dengan kerja otot polos. Kafein
dan teofilin dapat memperbaiki ventilasi dan mengurangi sesak napas sehingga
oksigen dapat ditransfer ke otot (Louisa & Dewoto, 2007)
Indikasi
Efek analgesik Parasetamol serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-
inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol tidak digunakan sebagai
antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG)
yang lemah (Mardjono & Sidharta, 2008)
Kontraindikasi
1. Penderita gangguan fungsi hati yang berat.
2. Penderita hipersensitif dan trombositopenia.
3. Penderitta yang sedang diterapi dengan antikoagulan seperti warfarin.
4. Penderita alergi (asma), tukak lambung (maag), pernah atau sering
mengalami pendarahan dibawah kulit.

2.12 Pemeriksaan tes fungsi hati


Pemeriksaan terhadap fungsi hati secara umum meliputi Alanine
aminotransferase (ALT), Aspartarte aminotransferase (AST), Alkaline phosphatase
(ALP), Gamma glutamyl transferase (GGT atau Gamma GT), Bilirubin, Albumin,
pemeriksaan massa prothrombin (PT) dan International Normalised Ratio (INR).
Masing-masing pemeriksaan tersebut menjadi petunjuk untuk mengetahui apakah ada
masalah pada fungsi hati atau tidak. Hasil yang ingin diketahui dari pemeriksaan yang
telah disebutkan sebelumnya adalah: (Adji, 2009)
a) Alanine aminotransferase (ALT) dan Aspartarte aminotransferase (AST)
Pemeriksaan Alanine aminotransferase (ALT) dan Aspartarte aminotransferase
(AST) bertujuan untuk mengetahui inflamasi yang terjadi dalam tubuh. Angka yang
tinggi biasanya menjadi indikasi adanya gangguan hati. Pada penderita hepatitis, nilai
ALT 20-50 kali lebih tinggi dibanding pada orang yang normal. Nilai AST yang
tinggi menunjukkan adanya gangguan otot pada salah satu bagian tubuh.
b) Alkaline phosphatase (ALP)
Pemeriksaan Alkaline phosphatase (ALP), bertujuan untuk mengetahui apakah
ada sumbatan pada saluran empedu.
c) Gamma glutamyl transferase (GGT atau Gamma GT)
Pemeriksaan Gamma glutamyl transferase (GGT atau Gamma GT), bertujuan
sebagai indikator untuk para pengguna alkohol. Pemeriksaan GGT ini biasa dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan ALP untuk meyakinkan bahwa kenaikan angka pada
ALP disebabkan karena adanya masalah pada hati, bukan karena faktor lain.
d) Bilirubin
Pemeriksaan Bilirubin, bertujuan untuk mengetahui kadar "penyakit kuning"
karena gangguan pada hati. Angka yang tinggi menggambarkan bahwa pasien
mengalami gangguan tersebut yang biasa ditandai dengan mata dan kulit yang
menjadi kuning.
e) Albumin
Pemeriksaan Albumin, bertujuan untuk mengetahui penurunan kadar albumin
yang biasa terjadi pada penyakit hati kronik. Tetapi, penurunan albumin juga bisa
disebabkan karena kekurangan protein.
f) Massa Prothrombin (PT) dan International Normalised Ratio (INR)
Pemeriksaan Massa Prothrombin (PT) dan International Normalised Ratio
(INR), bertujuan sebagai indikasi apakah penyakit hati semakin buruk atau tidak.
Peningkatan angka menunjukkan penyakit kronik menjadi semakin buruk.
Jika ada kecurigaan penderita mengalami kanker hati, maka perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya, pemeriksaan kadar protein dalam darah yang
disebut Alpha fetoprotein (AFP). Kenaikan nilai AFP menunjukkan tingkat
parahnya kanker hati yang diderita, sedangkan penurunan nilai AFP menujukkan
menjinaknya kanker karena pengobatan yang berhasil. Pemeriksaan ini sangat penting
pada penderita kanker untuk memantau efektivitas pengobatan yang sedang
dilakukan. Pada penderita kanker bilier, pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah CA
19-9 dan CEA. (Adji, 2009)
2.13 Pemeriksaan shifting dullness
Shifting dullness mendeskripsikan suara pekak yang berpindah-pindah pada saat
perkusi akibat adanya cairan bebas di dalam rongga abdomen dengan tata cara
berikut: (Simadibrata, 2009)
a. Pasien diminta berbaring dan membuka baju
b. Lakukan perkusi dari umbilikus ke sisi lateral
c. Apabila terdapat perubahan suara dari timpani ke redup, tandai tempat
terjadinya perubahan suara tersebut
d. Minta pasing miring ke arah kontralateral dari arah perkusi, tunggu 30 - 60
detik
e. Lakukan perkusi kembali pada daerah yang ditandai tadi sampai terjadi
perubahan bunyi dari redup ke timpani.

2.14 Kadar bilirubin normal dalam plasma


Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Bilirubin serum normal
adalah 0.3 1.0 mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin
>2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl
(Clohrety, 2008)

2.15 Kondisi apa timbul hepatomegali


Hepatomegali Pembesaran Hati adalah pembesaran organ hati yang disebabkan
oleh berbagai jenis penyebab seperti infeksi virus hepatitis, demam tifoid, amoeba,
penimbunan lemak (fatty liver), penyakit keganasan seperti leukemia, kanker hati
(hepatoma) dan penyebaran dari keganasan (metastasis) (Bunner, 2014)

2.16 Apakah ada hubungan pekerjaan dengan keluhan


Bisa saja terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kasus tersebut. Kesibukan
kerja dapat mengakibatkan stress dan pola makan tidak teratur sehingga dapat
mengganggu fungsi saluran pencernaan.
BAB III
KESIMPULAN

Tuan Jono 45 tahun menderita sirosis hati et causa drug induced.


Daftar Pustaka

Adji, D. (2009). Perubahan Fungsi Hepar dan Ekspresi C-Reactive Protein Pasca
Operasi Laparotomi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.

Amirudin, R. (2009). Fisiologi dan Biokimia Hati. In A. W. Sudoyo, B.


Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(pp. 627-633). Jakarta: Interna Publishing.

Arief Mansjoer, dkk. 2002. Askariasis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jilid
1, Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Halaman : 416 418.
Brunner & Suddarth. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal


Hyperbilirubinemia in Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort
Williams and Wilkins,

D'Amico, A, o., L, P., & R, M. (1986). Survival and Prognostik Indicators in


Compensated and Decompensated Cirrhosis. Digestive Dis Science , 31:468-75.

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Ditjen


Binfar & Alkes, Jakarta, 2007

Departemen Kesehatan. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:


Kementerian Kesehatan.

Erwin, B. (2011). Diagnostic and Therapy of Acites in Liver Cirrhosis. World J


Gastroenterol , 1237-48.

Gunter, J. A. (2005). Cirrhosis. USA: Emedicine Medscape.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC.

Hinchliff, Sue. (1996). Kamus Keperawatan. Edisi; 17. EGC : Jakarta.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7 nd ed , Vol. 1. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.

Kuntz B. and Kuntz H. D. 2008. Hepatology Texbook and Atlas. 3nd Ed. Sping
medizin verlag Heidelberg. Germany. 16-77

Laurence, L. B. (2012). Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
Louisa, M., & Dewoto, H. R. (2007). Perangsang Susunan Saraf Pusat. In S. G.
Gunawan, R. Setiabudy, Nafrialdi, & Elisabeth, Farmakologi dan Terapi (p. 252).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Makmun D. Ilmu Penyakit Dalam: Sirosis Hati. Edisi 4. Jilid 1. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen IPD, FKUI; 2007.

Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009

Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia . Penerjemah :


Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.

Perhimpunan Peneliti Hati Indoesia (PPHI). Konsesus nasional penatalaksanaan


hepatitis B di Indonesia. Jakarta: PPHI;2012

Perhimpunan Peneliti Hati Indoesia (PPHI). Konsesus nasional penatalaksanaan


hepatitis C di Indonesia. Jakarta: PPHI;2014

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Pericleous M, Sarnowski A, Moore A, Fijten R, Zaman M. The clinical


management of abdominal ascites, spontaneous bacterial peritonitis and
hepatorenal syndrome: a review of current guidelines and recommendations. Eur J
Gastroenterol Hepatol. 2015

Ronald A.Sacher, Richard A. MC Pherson 2004. Tinjauan klinis hasil


pemeriksaan laboratorium

Sherlock, S. (2011). Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya
Medika.

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.
Simadibrata M. Pemeriksaan abdomen, urogenital dan anorektal. In Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009

Sloane, E. (2004). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokeran EGC.

Snell, R. S. (2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wilmana, P. F., & Gan, S. (2007). Analgesik-antipiretik, Analgesik Antiinflamasi


Nonsteroid, dan Obat Ganguan Sendi Lainnya. In S. G. Gunawan, R. Setiabudy,
Nafrialdi, & Elysabeth, Farmakologi dan Terapi (p. 230). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

World Health Organization (WHO). Guidelines for the screening, care and
treatment of persons with hepatitis C infection. Perancis:WHO;2014

Anda mungkin juga menyukai