Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dzat penguasa yang telah memberikan nimat,
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat beraktivitas untuk menulis dan
menyelasaikan laporan buku yang berjudul Kewarganegaraan. Kami
berharap laporan buku ini dapat memenuhi materi dari kurikulum yang ada.
Laporan buku ini berisi tentang penjelasan mengenai kewarganegaraan
yang terdapat simpulan dan komentar dari penulis, dengan menggunakan
referensi dari buku TIM ICCE.
Kami menyadari bahwa laporan buku ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan laporan buku ini di masa yang akan
datang.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penulisan laporan buku ini, semoga Tuhan yang
maha Esa senantiasa meridhai segala usaha kita. Dan semoga laporan buku ini
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1. IDENTITAS
Bab 4 Kewarganegaraan
Buku : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani
Pengarang : A. Ubaidilah, Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, Dede Rosyada dan M.
Arskal Salim GP
Tahun Terbit : 2003
Penerbit : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia
Foundation & PRENADA MEDIA
Kota : Jakarta
ISBN : 979-3465-03-4 321.8
Cover Buku
BAB 2

KEWARGANEGARAAN

1. PENGERTIAN WARGA NEGARA

Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu


penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba
atau kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya
sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara,
Karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu
negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan
bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama
untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum.
Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggungjawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa
warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari
sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya
lebih baik ketimbang istilah kawula negara, Karena kawula negara betul-betul
berarti objek yang dalam Bahasa Inggris (object) berarti orang yang dimiliki
dan mengabdi kepada pemiliknya.
Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan
anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai
kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD
1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang
disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945
pasal 26 ini, dinyatakan bahwa oarang-orang bangsa lain, misalnya orang
peranakan Belanda, pernakan Cina, peran akan Arab dan lain-lain yang
bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan
bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa
warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan
perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-
peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus 1945 sudah menjadi warga
negara Republik Indonesia.

2. ASAS KEWARGANEGARAAN

Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga negara merupakan


anggota sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal
balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga negara dalam
suatu negara haruslah ditentukan berdasrkan ketentuan yang telah disepakati
dalam negara tersebut. ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk
menentukan status kewarganegaraan seseorang, setiap warga negara
mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menetukan asas
kewarganegaraan seseorang.
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, dikenal dengan 2 (dua)
pedoman, yaitu atas kewarganegaraan berdasarkan berdasarkan kelahiran dan
asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada 2 (dua)
asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran)
dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula
asas kesatuan hukum dan asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.

1) Dari Sisi Kelahiran

Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada


sisi kelahiran seseorang (sebagaimana disebut atas) dikenal dengan 2
(dua) asas kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua
istilh tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau
pedoman, Soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau
daerah dan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah.
Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang
berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis
adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas ius soli,
maka seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak
sebagai warganegara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis. Jika
sebuah negara menganut asas ius sanguinis, maka seseorang yang lahir
dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara,
Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status
kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini
hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan
bahwa karena sesorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis
dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi dengan
semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas
lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain
itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga berdasarkan realitas empirik
bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang
berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut
melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya (misalnya, di
tempat ibunya). Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak hanya
akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia
tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah,
maka asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki
status kewarganegaraan bapaknya.
2) Dari Sisi Perkawinan

Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran,


kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan
yang mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Asas Kesatuan Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri
ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang
meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami-isteri atau
keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang
bulat.
Untuk merealisasikan tercipnya kesatun dalam keluarga atau
suami-isteri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama.
Dengan adanya kesamaan pemhaman dan komitmen menjalankan
kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan
adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak
dapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan
keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa
suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status
kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami ataupun isteri
tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah
menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan
sendiri, sama halnya ketika mereka belum dikatakan menjadi suami
isteri.
Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum.
Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan suatu negara dengan
cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di
negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut
memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka ia
menceraikan isterinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum
semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan
derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.

3. UNSUR-UNSUR YANG MENENTUKAN KEWARGANEGARAAN


1) Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis)

Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya


menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan
dari orang tua yang berwarganegara Indonesia, ia dengan sendirinya juga
warga negara Indonesia.
Prinsip ini adalah prinsip asli yang telah berlaku sejak dahulu,
yang diantaranya tebukti dalam sistem kesukuan, dimana anak dari anggota
sesuatu suku dengan sendirinya dianggap sebagai anggota suku itu
sekarang prinsip ini berlaku di antaranya di Inggris, Amerika, Perancis,
Jepang, dan juga Indonesia.

2) Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)

Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan


kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah
hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia.
Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing
yang masih dalam ikatan dinas. Di samping dan bersama-sama dengan
prinsip ius sanguinis, prinsip ius solli ini belaku juga di Amerika, Inggris,
Perancis, dan juga Indonesia. Tetapi di Jepang, prinsip ius solis ini tidak
berlaku. Karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang
tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga negara
Jepang.
3) Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)

Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis ataupun


ius soli, orang dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan jalan
pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur
pewarganegaraan ini di berbagai negara sedikit banyak dapat berlainan,
menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi da situasi negara masing-
masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif.
Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi
untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara sesuatu
negara. Sedangkan dalam pewaganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau
diwarganerakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan
warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan
hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan
tersebut (Kartasapoetra. 1993: 216-7).

4. PROBLEM STATUS KEWARGANEGARAAN

Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah


negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan
seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara
dalam sebuah negara. Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah
negara, ada dantara mereka yang bukan warga negara (orang asing) di negara
tersebut. Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride dan multipatride.
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang idak mempunyai
status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan istilah yang
digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap
atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang
dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk
menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau
lebih status kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan
merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks
menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang
asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau
perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya
akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang
pendaftaran sebagai orang asing.
Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, daam realitas
empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat
mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara, kerana itulah tiap
negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan
orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di antara kedua
kewarganegaraannya.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan, sering
terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara.
Dalam hal ini, diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti
tentang perbatasan serta wilayah teritorial, sehingga penduduk di daerah itu
dapat meyakinkan dirinya termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara
dua negara tersebut.

5. KARAKTERISTIK WARGA NEGARA YANG DEMOKRAT

Untuk membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan


berkeadaban, maka setiap warga negara haruslah meiliki karakter atau jiwa
yang demokratis pula. Ada beberapa karakteristik bagi warga negara yang
disebut sebagai demokrat, yakni antara lain sebagai berikut :
1) Rasa Hormat Dan Tanggung Jawab

Sebagai warga negara yang demokratis, hendaknya memiliki


rasa hormat terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks
adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis,
suku, ras, keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebagai
warga negara yang demokrat, seseorang warga negara juga dituntut
untuk turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar
etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas
pluralitas tersebut.

2) Bersikap Kritis

Warga negara yang demokrat hendaknya selalu bersikap kritis,


baik terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik)
maupun terhadap kenyataan supra-empiris (agama, mitologi,
kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditujukan pada diri sendiri. Sikap
kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat
yang berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yng
bertanggung jawab terhadap apa yang dikritisi.

3) Membuka Diskusi Dan Dialog

Perbedan pendapat dan pandangan serta perilaku merupakan


realitas empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas warga negara,
apalagi di tengah komunitas masyarakat yang plural dan multi etnik.
Untuk meminimalisasi konflik yang ditimbulkan dari perbedaan
tersebut, maka membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog
merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan. Oleh karenanya, sikap
membuka diri untuk dialog dan diskusi merupakan salah satu ciri sikap
warga negara yang demokrat.
4) Bersikap Terbuka

Sikap terbuka merpakan bentuk penghargaan terhadap


kebebasan sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal
yang tidak bisa atau baru serta pada hal-hal yang mungkin asing. Sikap
terbuka yang didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan
keterbatasan diri akan melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan
tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan.

5) Rasional

Bagi warga negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk


mengambil keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yan
harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional
akan mengantarkan sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga
negara. Sementara, sikap dan keputusan yang diambil secara tidak
rasional akan membawa implikasi emosional dan cenderung egois.
Masalah-masalah yang terjadi di lingkungan warga negara, baik
persoalan politik, sosial, budaya dan sebagainya, sebaiknya dilakukan
dengan keputusan-keputusan yang rasional.

6) Adil

Sebagai warga negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik


yang patut diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan
cara-cara yang tidak adil dalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang
yang diperlakukan tidak adil. Dengan semangat keadilan, maka tujuan-
tujuan bersama bukanlah suatu yang diditekan tetapi ditawarkan
Mayoritas suara bukanlah diatur tetapi diperoleh.
7) Jujur

Memilki sikap dan sift yang jujur bagi warga negara merupakan
sesuatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya
keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara. Sikap
jujur bisa diterapkan di segala sektor, baik politik, sosial dan
sebagainya.
Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara
meupakan tujuan yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dari
masyarakat yang memilih para politisi. Ketidakjujuran politik adalah
seorang politisi mencari keuntungan bagi partainya, karena partai itu
penting bagi kedudukan.
Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut,
merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga
negara. Hal ini akan menampilkan sosok warga negara yang otonom,
yakni mampu mempengaruhi dan berpatisipasi dalam pengembalian
keputusan di tingkat lokal secara mandiri. Sebagai warga negara yang
otonom, ia mempunyai karakteristik lanjutan sebagai berikut :
1. memiliki kemandirian. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi atau
dimobilisasi, teguh pendirian, dan bersikap kritis pada segenap
keputusan publik.
2. memiliki tanggung jawab pribadi, politik dan ekonomi sebagai warga
negara, khususnya di lingkungan masyarakatnya yang terkecil seperti
RT, RW, Desa, dan setrusnya. Atau juga di lingkungan sekolah dan
perguruan tinggi.
3. menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai
berarti menghormati hak-hak asasi dan privasi pribadi orang per
orang tanpa membedakan ras, warna kulit, golongan ataupun warga
negara yang lain.
4. Berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran dan
sikap yang santun. Warga negara yang otonom secara efektif mampu
mempengaruhi dan berpartisipasi dalam proses-proses pengambilan
kebijakan pada level sosial yang paling kecil dan lokal, misalnya
dalam rapat kepanitiaan, pertemuan rukun warga, dan termasuk juga
mengawasi kinerja dan kebijakan parlemen dan pemerintah.
5. Mendorong berfungsinya demokrasi konstitusional yang sehat. Tidak
ada demokrasi tanpa aturan hukum dan konstitusi. Tanpa konstitusi,
demokrasi akan menjadi anarkhi. Karena itu, warga negara yang
demokartis harus melakukan empat hal untuk mewujudkan
demokrasi konstitusional, yaitu:
1. Menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of
law).
2. Ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif
(process of law making)
3. Mendukung pembuatan materi-materi hukum yang renponsif
(content of law)
4. Ikut menciptakan aparat penegak hokum yang jujur dan
bertanggung jawab (structure of law) (Khoiron, dkk. 1999:89-
97)

6. CARA DAN BUKTI MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN


INDONESIA

Pada umumnya ada 2 (dua) kelompok warga negara dalam suatu negara,
yakni warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui
stelsel pasif atau dikenal juga dengan warga negara by operation of law dan
warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel
aktif atau dikenal dengan by registration.
Dalam penjelasan umum Undang-undang No.62/1958 bahwa ada 7
(tujuh) cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu (1) karena
kelahiran, (2) karena pengangkatan, (3) karena dikabulkannya permohonan, (4)
karena pewarganegaraan, (5) karena perkawinan, (6) karena turut ayah dan atau
ibu serta (7) karena pernyataan.
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan
bukti-bukti sebagai berikut (berdasarkan Undang-undang No.62/1958):
1. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah dengan Akta
Kelahiran.
2. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah Kutipan
Pernyataan Sah Buku Catatan Pengangkatan Anak Asing dari peraturan
pemerintah No.67/1958, sesuai dengan Surat Edaran Menteri
Kehakiman No. JB.3/2/25, butir 6, tanggal 5 Januari 1959.
3. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah
Petikan Keputusan Presiden tentang permohonan tersebut (tanpa
pengucapan sumpah dan janji setia).
4. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pewarga-negaraan adalah Petikan
Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan tersebut yang diberikan
setelah pemohon mengangkat sumpah dan janji setia.
5. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.3/166/22,
tanggal 30 September 1958 tentang Memperoleh/Kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan.
7. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara


merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap
negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal
balik terhadap negaranya. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka adanya
hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan sesuatu yang
niscaya ada.
Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negaranya telah
diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya. Di
antara hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi
Manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD Perubahan
Kedua. Dalam pasal tersebut dimuat hak-hak asasi yang melekat dalam setiap
individu warga negara seperti hak kebebasan beragama dan beribadat sesuai
dengan kepercayaannya, bebas untuk berserikat dan berkumpul (pasal 28E),
hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
hak untuk bekerja serat mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, ha katas status kewarganegaraan (pasal 28F), dan hak-hak asasi
lainnya yang terutang dalam pasal tersebut. Sedangkan contoh kewajiban yang
melekat bagi setiap warga negara antara lain kewajiban membayar pajak
sebagai kontrak utama antara negara dengan warga, membela tanah air (pasal
27), membela pertahanan dan keamanan negara (pasal 29), menghormati hak
asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang teruntang dalam peraturan
(pasal 28J), dan berbagai kewajiban lainnya dalam undang-undang. Prinsip
utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga negara adalah terlibatnya
warga (langsung atau perwakilan) dalam setiap perumusan hak dan kewajiban
tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut
sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat sendiri.
BAB 3

SIMPULAN

1. Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu


penduduk yang menjadi unsur negara. AS Hikam pun mendefinisikan
bahwa warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah
anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.
Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan anggota negara.
Warga negara juga diartikan dalam warga negara UUD 1945 pasal 26 dan
pasal 1 UU No. 22/1958.
2. setiap warga negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk
menetukan asas kewarganegaraan seseorang. Dikenal dengan 2 (dua)
pedoman, yaitu atas kewarganegaraan berdasarkan berdasarkan kelahiran
dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan.
3. Untuk menentukan unsur-unsur kewarganegaraan terdapat 3 unsur, yakni
Unsur Darah Keturunan (Ius Sanguinis), Unsur Daerah Tempat Kelahiran
(Ius Soli) dan Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)
4. Terdapat beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang
dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah
negara. Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah negara, ada
diantara mereka yang bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut.
Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride dan multipatride.
5. Ada beberapa karakteristik bagi warga negara yang disebut sebagai
demokrat yakni, rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka
diskusi dan dialog, bersikap terbuka, rasional, adil dan jujur.
6. Pada penjelasan umum Undang-undang No.62/1958 bahwa ada 7 (tujuh)
cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu karena kelahiran,
karena pengangkatan, karena dikabulkannya permohonan, karena
pewarganegaraan, karena perkawinan, karena turut ayah dan atau ibu serta
karena pernyataan.
7. Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negaranya telah
diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya.
Di antara hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi
Manusia yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD
Perubahan Kedua.
BAB IV

KOMENTAR

1. Dalam penjelasan ini sudah cukup baik, sama halnya dengan buku-buku
yang lainnya berisi mengenai materi yang hamper sama. Namun dalam
segala hal sudah cukup mencakupi.
2. Dalam penjelasan materi ini sudah cukup mencakupi materi pada umumnya
yang terdapat pada buku atau referensi yng lainnya, namun ada beberapa
hal yang harus ditambahkan.
3. Dalam penjelasan materi ini puun sudah mencakupi, namun terdapat
pengertian yang kurang jelas dalam menjelasakan point-point yang ada.
4. Dalam penjelasan materi ini sudah cukup baik dan memenuhi materi yang
umum dibahas pada buku yang lainnya.
5. Dalam penjelasan materi yang dibahas pada buku ini sudah mencakupi apa
yang seharusnya/umum yang dijelaskan pada umumnya yang dijelaskan.
6. Dalam penjelasan pada materi ini sudah cukup baik, namun terdapat
beberapa hal yang harus sedikit diperbaiki.
7. Dalam penjelasan materi yang dijelaskan pada buku ini sudah cukup baik,
namun ada beberapa hal yang kurang jelas dalam penjelasan point-point
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai