Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu
Kayu merupakan hasil hutan dari sumber kekayaan alam, merupakan bahan
mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai dengan kemajuan
teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus, yang tidak dapat ditiru oleh
bahan-bahan lain. Pengetian kayu disini ialah sesuatu bahan, yang diperoleh dari
hasil pemungutan pohon-pohon di hutan, yang merupakan bagian dari pohon
tersebut, setelah diperhitungkan bagian-bagian mana yang lebih banyak dapat
dimanfaatkan untuk sesuatu tujuan penggunaan. Baik berbentuk kayu pertukangan,
kayu industri maupun kayu bakar. Kayu adalah bahan yang kita dapatkan dari
tumbuhtumbuhan (pohon-pohonan/trees) dan termasuk vegetasi alam. Kayu adalah
bahan yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan (pohonpohonan/trees) dan
termasuk vegetasi alam. Kayu mempunyai 4 unsur esensial bagi manusia antara
lain:

1. Selulosa, unsur ini merupakan komponen terbesar pada kayu, meliputi 70 % berat
kayu.

2. Lignin, merupakan komponen pembentuk kayu yang meliputi 18% - 28% dari
berat kayu. Komponentersebut berfungsi sebagai pengikat satuan srtukturil kayu
dan memberikan sifat keteguhan kepada kayu.

3. Bahan-bahan ekstrasi, komponen ini yang memberikan sifat pada kayu, seperti
: bau, warna, rasa, dan keawetan. Selain itu, karena adanya bahan ekstrasi ini,
maka kayu bisa didapatkan hasil yang lain misalnya: tannin, zat warna, minyak,
getah, lemah, malam, dan lain sebagainya.

4. Mineral pembentuk abu, komponen ini tertinggal setelah lignin dan selulosa
terbakar habis. Banyaknya komponen ini 0.2% - 1% dari berat kayu.

5
2.1.2 Sifat Kayu
Kayu memiliki beberapa sifat yang tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan
lain. Pemilihan dan penggunaan kayu untuk suatu tujuan pemakaian,
memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat kayu. Sifat-sifat ini penting
sekali dalam industri pengolahan kayu sebab dari pengetahuan sifat tersebut
tidak saja dapat dipilih jenis kayu yang tepat serta macam penggunaan yang
memungkinkan, akan tetapi juga dapat dipilih kemungkinan penggantian
oleh jenis kayu lainnya apabila jenis yang bersangkutan sulit didapat secara
kontinyu atau terlalu mahal.
Kayu berasal dari berbagai jenis pohon yang memiliki sifat-sifat yang
berbeda-beda. Bahkan dalam satu pohon, kayu mempunyai sifat yang
berbeda-beda. Dari sekian banyak sifat-sifat kayu yang berbeda satu sama
lain, ada beberapa sifat yang umum terdapat pada semua jenis kayu yaitu :
1. Kayu tersusun dari sel-sel yang memiliki tipe bermacam-macam dan
susunan dinding selnya terdiri dari senyawa kimia berupa selulosa dan hemi
selulosa (karbohidrat) serta lignin (non karbohidrat).
2. Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat-sifat
yang berlainan jika diuji menurut tiga arah utamanya (longitudinal, radial
dan tangensial).
3. Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, yaitu dapat
menyerap atau melepaskan kadar air (kelembaban) sebagai akibat
perubahan kelembaban dan suhu udara disekelilingnya.
4. Kayu dapat diserang oleh hama dan penyakit dan dapat terbakar
terutama dalam keadaan kering.

2.1.3 Sifat Fisik Kayu


1. .kerapatan dan berat jenis.
Menurut Brown et al. (1952), berat jenis kayu adalah perbandingan
antara kerapatan kayu tersebut terhadap benda standart. Kerapatan adalah
perbandingan antara massa atau berat benda terhadap volumenya. Air pada

6
temperatur 40 C atau 32,5 0F mempunyai kerapatan sebesar 1 g/cm3. oleh
karna itu air pada temperatur tersebut dijadikan sebagai kerapatan standar.
Berat kayu meliputi berat zat kayu sendiri, berat zat ekstraktif dan
berat air yang dikandungnya. Jumlah zat kayu dan zat ekstraktif biasanya
konstan, sedangkan jumlah air berubah-ubah. Oleh karna itu berat jenis dari
sepotong kayu bervariasi tergantung dari kadar air yang dikandungnya.
Untuk mendapat keseragaman, maka pada umumnya dalam penentuan berat
jenis kayu, berat ditentukan dalam keadaan kering tanur. Dalam keadaan
kering tanur, volumekayu akan mencapai minimum sedangakan air yang
dikandungnya sangat kecil, kurang lebih 1% dari berat kayu (Brown et al.
1952).

Brown et al. (1952) menyatakan bahwa berat jenis kayu bervariasi diantara
berbagai jenis pohon dan diantara pohon dari satu jenis yang sama. Variasi
ini juga terjadi pada posisi yang berbeda dari satu pohon. Adanya variasi
jenis kayu tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah zat penyusun
dinding sel dan kandungan zat ekstraktif per unit volume.

2. Kadar Air
Brown et al. (1952) menyatakan kadar air kayu adalah banyaknya
air yang terdapat dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat
kering tanurnya. Dengan demikian standar kekeringan kayu adalah pada
saat kering tanur. Air dalam kayu tediri dari air bebas dan air terikat dimana
keduaanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Dalam satu
pohon kadar air segar bervariasi tergantung tempat tumbuh dan umur pohon
(Haygreen dan Bowyer, 1993).
Kollmann dan Cote (1968) menyatakan bahwa biasanya kayu akan
bertambah kuat apabila terjadi penurunan kadar air, terutama bila terjadi
dibawah titik jenuh serat. Wangaard (1950) menyatakan bahwa kekuatan
kayu sebagai balok (lenturan) dan sebagai kolom (tekan sejajar serat) akan
bertambah besar bila kondisi kayu tersebut bertambah kering, kecuali
keuletannya.

7
3. Warna
Kayu yang beraneka warna macamnya disebabkan oleh zat pengisi
warna dalam kayu yang berbeda-beda.
4. Tekstur
Tekstur adalah ukuran relatif sel-sel kayu. Berdasarkan teksturnya,
kayu digolongkan kedalam kayu bertekstur halus (contoh: giam, kulim dll),
kayu bertekstur sedang (contoh: jati, sonokeling dll) dan kayu bertekstur
kasar (contoh: kempas, meranti dll).
5. Arah Serat
Arah serat adalah arah umum sel-sel kayu terhadap sumbu batang
pohon. Arah serat dapat dibedakan menjadi serat lurus, serat berpadu, serat
berombak, serta terpilin dan serat diagonal (serat miring).
6. Kesan Raba
Kesan raba adalah kesan yang diperoleh pada saat meraba
permukaan kayu (kasar, halus, licin, dingin, berminyak dll). Kesan raba
tiap jenis kayu berbeda-beda tergantung dari tekstur kayu, kadar air, kadar
zat ekstraktif dalam kayu.

7. Bau dan Rasa

Bau dan rasa kayu mudah hilang bila kayu lama tersimpan di udara
terbuka. Beberapa jenis kayu mempunyai bau yang merangsang dan untuk
menyatakan bau kayu tersebut, sering digunakan bau sesuatu benda yang
umum dikenal misalnya bau bawang (kulim), bau zat penyamak (jati), bau
kamper (kapur) dsb.

8. Nilai Dekoratif

Gambar kayu tergantung dari pola penyebaran warna, arah serat, tekstur,
dan pemunculan riap-riap tumbuh dalam pola-pola tertentu. Pola gambar
ini yang membuat sesuatu jenis kayu mempunyai nilai dekoratif.

9. Higroskopis

8
Kayu mempunyai sifat dapat menyerap atau melepaskan air. Makin lembab
udara disekitarnya makin tinggi pula kelembaban kayu sampai tercapai
keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam kondisi kelembaban kayu
sama dengan kelembaban udara disekelilingnya disebut kandungan air
keseimbangan (EMC = Equilibrium Moisture Content).

10. Sifat Kayu terhadap Suara, yang terdiri dari :

a. Sifat akustik, yaitu kemampuan untuk meneruskan suara berkaitan


erat dengan elastisitas kayu.

b. Sifat resonansi, yaitu turut bergetarnya kayu akibat adanya


gelombang suara. Kualitas nada yang dikeluarkan kayu sangat baik,
sehingga kayu banyak dipakai untuk bahan pembuatan alat musik
(kulintang, gitar, biola dll).

2.1.4 Sifat Mekanis kayu


1. Modulus Elastisitas
Menurut haygreen dan Bowyer (1993) kekuatan lentur atau Modulus
of Elasticity (MOE) adalah suatu nilai yang konstan dan merupakan
perbandingan antara tegangan dan regangan dibawah batas proporsi.
Tegangan didefinisikan sebagai distribusi gaya per unit luas,
sedangkan renggangan adalah perubahan panjang per unit panjang
bahan. Modulus elastisitas (MOE) berkaitan dengan regangan,
defleksi dan perubahan bentuk yang terjadi. Besarnya defleksi
dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjang dan ukuran
balok serta MOE kayu itu sendiri. Makin tinggi MOE akan semakin
kurang defleksi balok atau gelagar dengan ukuran tertentu pada
beban tertentu dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk
(Haygreen dan Bowyer, 1993)
2. Kekuatan Lentur Patah
Menurut kollman dan Cote (1968) kekuatan lentur patah atau
Modulus of Rupture (MOE) merupakan sifat mekanis kayu yang

9
berhubungan dengan kekuatan kayu yaitu ukuran kemampuan kayu
untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya dan
cenderugn merubah bentuk dan ukuran kayu tersebut.
Modulus of Rupture (MOR) dihitung dari beban maksimum (beban
pada saat patah) dalam uji keteguhan lentur dengan menggunakan
pengujian yang sama untruk MOE (Haygreen dan Bowyer, 1993).
3. Keteguhan Lentur Statis (Static Bending strength)
Menurut Dumanauw (2001), keteguhan lentur atau lentur adalah
kekuatan kayu untuk menahan gaya-gaya yang berusaha
melengkungkan kayu. Pada balok sederhana yang dikenai beban
maka bagian bawah akan mengalami bagian tarik dan bagian atas
mengalami tegangan tekan maksimal. Tegangan ini secara perlahan-
perlahan menurun kebagian tengah dan menjadi nol pada sumbu
netral. Kekuatan lentur kayu biasanya dinyatakan dengan modulus
patah. Dan pengujian keteguhan lentur diperoleh nilai keteguhan
kayu pada batas proporsi dan keteguhan kayu maksimum. Di bawah
batas proporsi terdapat hubungan garis lurus antara besarnya
tegangan dan regangan, dimana nilai perbandingan antara regangan
dan tegangan ini disebut modulus elastisitas (MOE). Keteguhan
lengkung maksimum (MOR) dihitung dari beban maksimum (beban
pada saat patah) dalam uji keteguhan lengkung dengan
menggunakan pengujian yang sama untuk menentukan MOE
(Haygreen dan Bowyer,2003).
4. Keteguhan Tekan (Compression stregth)
Keteguhan tekan suatu jenis kayu adalah kekuatan kayu untuk
menahan muatan jika kayu itu dipergunakan untuk tujuan tertentu.
Dalam hal ini dibadakan dua macam tekan, yaitu tekan tegak lurus
arah serat dan yekan sejajar arah serat. Keteguhan tekan tegak lurus
serat menentukan ketahanankayu terhadap beban. Ketegukan ini
mempunyai hubungan juga dengan kekerasan kayu dan keteguhan

10
geser. Keteguhan tekan tegak lurus arah serat pada semua kayu lebih
kecil dibandingkan keteguhan sejajar arah serat. (Dumanauw,2001)
5. Keteguhan Geser
Menurut Dumanauw (2001), keteguhan geser adalah ukuran
kekuatan kayu dalam hal kemampuannya menahan gaya-gaya yang
membuat suatu bagian kayu tersebut bergeser kebagian lain di
dekatnya. Dalam hubungan ini dibedakan tiga macam keteguhan
yaitu, keteguhan geser sejajar arah serat, keteguhan geser tegak lurus
serat, dan keteguhan geser miring. Keteguhan geser tegak lurus arah
serat jauh lebih besar dari pada keteguhan geser sejajar arah serat.
6. Keteguhan Tarik (Tension Strength)
Kekuatan atau Keteguhan tarik suatu jenis kayu ialah untuk
menahan gaya-gaya yang berusaha menarik kayu itu.Kekuatan tarik
tegak lurus arah serat lebih kecil dari pada kekuatan tarik sejajar arah
serat. Keteguhan tarik ini mempunyai hubungan dengan ketahanan
kayu terhadap pembelahan (Dumanauw,2001)
7. Keteguhaan Belah
Keteguhan belah adalah kemampuan kayu untuk menahan gaya-
gaya yang berusaha membelah kayu. Sifat keteguhan belah yang
rendah sangat baik dalam pembuataan sirap dan kayu bakar.
Sebaliknya keteguhan belah yang tinggi sangat baik untuk
pembuatan ukiran-ukiran (patung). Pada umumnya kayu mudah
dibelah sepanjang jari-jari (arah radial daripada arah tangensial.
8. Keteguhan Pukul
Keteguhan pukul adalah kekuatan kayu menahan gaya yang
mengenainya secara mendadak, misalnya pukulan
(Dumanauw,2001). Menurut Mardikanto (1979), sifat kekuatan
kayu dapat dikatakan kekuatan pukul karena beban yang diberikan
berupa beban pukul, dalam arti sehari-hari kayu ulet adalah kayu
yang sukar pecah, atau masih tetap tahan meski dibebani sampai

11
beban maksimum, atau kayu masih melekat satu dengan yang
lainnya meski sudah mengalami kerusakan akibat pembebanan.
9. Kekerasaan (Hardnesss)
Kekerasan merupakan ukuran kekerasan kayu untuk menahan
kikisan pada permukaannya, sifat kekerasan ini dipengaruhi oleh
kerapatan kayu, keuletan kayu,ukuran serat, daya ikat antar serat
Nilai yang di dapaat dari hasil pengujian merupakanuji pembanding,
yaitu besar gaya yang dibutuhkaan untuk memasukan bola baaja
berdiameter 0.444 inchi pada kedalamaan 0.22 inchi.

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Sifat Mekanis Kayu Menurut Tsoumiis


(1991) sifat mekanis kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama kadar air,
kerapatan, struktur, temperatur, lama pembebanan dan cacat. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa kayu-kayu yang berat sekali juga kuat sekali, dan bahkan
kekuatan, kekerasan, dan sifat mekanik lainnya adalah berbanding lurus dengan
berat jenisnya (PKKI 1961).

2.1.5 Serbuk Gergaji Kayu Meranti

Limbah penggergajian yang dihasilkan di Indonesia sebanyak 6 juta ton per


tahun (www.bi.go.id). Limbah ini akan menimbulkan masalah karena pada
kenyataannya di lapangan masih ada yang ditumpuk, sebagian dibuang ke aliran
sungai (pencemaran air), atau dibakar secara langsung. Sehingga perlu dilakukan
penanganan maksimal terhadap limbah serbuk gergajian ini agar tidak merusak
lingkungan.

Walaupun, limbah serbuk gergajian dapat dimanfaatkan sebagai bahan


bakar tungku. Namun efesiensi proses masih cukup kecil dan kadang kala dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan. Serbuk gergajian dihasilkan sebanyak 20
30 % dari aktivitas penggergajian (Nugroho, 1996, dalam Lastri Bakkara). Bila
produksi total kayu gergajianan Indonesia mencapai 2,6 juta m3 pertahun, maka
dihasilkan limbah penggergajian sebanyak 0,78 juta m3 pertahunnya. Sebagai
contoh, beberapa industri kecil kotak buah di sekitar sungai Keramasan di

12
Palembang menyumbang hampir 1 ton limbah per tahunnya ( Lastri Bakkara,
2007).

2.1.6 Komposisi Kimia Kayu Meranti

Jenis-jenis Pohon Meranti (Shorea) dan Klasifikasinya Meranti termasuk


keluarga dipterocarpaceae . Secara harfiah, dipterocarpaceae berasal dari kata latin,
yaitu di = dua, carpa=carpus=sayap, yang berarti buah bersayap dua. Jenis
dipterocarpus (jenis-jenis Kruing), Cotylelobium dan Anisoptera (jenis-jenis
mersawa) umumnya bersayap dua, sedangkan Hopea (jenis-jenis merawan),
Parashorea dan Shorea (jenis-jenis meranti, bangkirai dan balau) memiliki sayap
bervariasi antara 2-5, namun Vatica (jenis-jenis resak) memiliki sayap yang sangat
pendek bahkan tanpa sayap. Pohon meranti memiliki bentuk batang bulat silindris,
dengan tinggi total mencapai 40-50 m. Kulit kayu rata atau beralur dalam atau
dangkal, berwarna keabu-abuan sampai coklat. Pada umumnya berbanir tinggi
sampai 6-7 m. Nama kayu perdagangan meranti ditentukan dari warna kayu
gubalnya, seperti meranti Putih, meranti Kuning dan meranti merah. klasifikasi dan
penyebaran meranti Pohon Meranti (Shorea) . Spesies Shorea leprosula Miq.

Tabel 2. Komposisi Kimia Kayu Meranti

Komponen Kimia Kadar (%)

Lignin 51,45

Selulosa 31,62

Pentosan 24,12

Abu 0,86

Silika 0,86

Sumber; Indonesianforest (2008)

13
Rataan riap diameter Shorea leprosula (meranti batu) adalah 1,37 cm/tahun,
sehingga kayu meranti dapat dipanen pada umur 30 tahun setelah ditanam. Jika riap
diameter meranti mencapai 1,8-2,0 cm/tahun, maka kayu dapat dipanen pada umur
25 tahun, ( Martawijjaya. A,I Kartasujana, 1977 )

Meranti pada umumnya berbunga dan berbuah 4-7 tahun sekali yang disebut
dengan musim berbuah masal. Di Arboretum Bogor ada jenis Dipterokarpa lain
yang berbuah tiap tahun yaitu Hopea odorata (merawan) dan Anisopteramarginata
Musim buah masak meranti bervarisi tergantung jenis dan lokasinya. Di Hutan
Penelitian Haur Bentes, Jasinga, jenis S. leprosula, S. pinanga, S. stenoptera, S.
mecistopteryx buah masak pada bulan Desember-Maret, sementara Hopea
mengerawan, Hopea sangal, H. odorata buah masak pada bulan Juli-September.
Di Sumatra, S. parvifolia dijumpai berbuah pada bulan Desember Januari,
Shorea acuminata berbuah pada bulan Oktober-Desember. Meranti tergolong kayu
keras berbobot ringan sampai berat-sedang. Berat jenisnya berkisar antara 0,3
0,86 pada kandungan air 15%. Kayu terasnya berwarna merah muda pucat, merah
muda kecoklatan, hingga merah tua atau bahkan merah tua kecoklatan. Berdasarkan
bijinya, kayu ini dibedakan lebih lanjut atas meranti merah muda yang lebih ringan
dan meranti merah tua yang lebih berat.
Namun terdapat tumpang tindih di antara kedua kelompok ini, sementara jenis-
jenis Shorea tertentu kadang-kadang menghasilkan kedua macam kayu itu. Meranti
termasuk marga shorea, famili Dipterocarpaceae. Jumlah spesiesnya mencapai 130
jenis dan sebagian besar tumbuh secara alami di hutan Kalimantan dan Sumatera.
Dalam perdagangan dikenal jenis meranti kuning, meranti merah dan meranti putih.
Meranti kuning Spesies yang termasuk meranti kuning adalah Shorea
acuminatissima, S. faguetiana, S. gibbosa, S. hopeifolia dan S. multiflora.
Daerah penyebaran di Indonesia meliputi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon 20-
60 m dengan diameter 150 cm dan batang bebas cabang 10-45 m. Bentuk batang
silindris lurus dan berbanir 3-6.5 m dari permukaan tanah. Meranti kuning tumbuh

14
pada tanah latosol, podzolik merah kuning dan podzolik kuning. Dapat tumbuh
sampai ketinggian 850 m pada curah hujan A dan B. Pohon ini mulai berbuah pada
umur 6-9 tahun dan belum tentu berbuah setiap tahun karena sangat dipengaruhi
oleh musim.
Musim berbuahnya pada bulan Oktober-April. Meranti merah Ada 22 jenis
spesies yang termasuk meranti merah antara lain Shorea acuminata, S. joharensis,
S. lepidota, dan S. leprosula. Pohon ini banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan
dan Maluku. Tinggi pohon mencapai 50 m diameter 100 cm dan batang bebas
cabang 30 m. Pohon berbanir 2.5m dari permukaan tanah, kulit luar berwarna
kelabu atau cokelat dengan tebal sekitar 5 mm. Meranti merah tidak memerlukan
tempat tumbuh yang khusus, hidup baik pada berbagai jenis tanah kecuali tanah liat
yang berat.
Tumbuh terpencar , bercampur dengan jenis yang lain pada ketinggian 0-800
m dpl. dengan tipe iklim A D. Musim berbunga dan berbuah terjadi sepanjang
tahun. Buah masak antara bulan Mei-Desember. Meranti putih Ada 6 spesies yang
termasuk meranti putih yaitu : Shorea assamica, S. bracteolata, S. javanica, S.
lamellata, S. ochracea, S. retionades dan S. virescens. Daerah penyebarannya
meliputi seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Bentuk batang
lurus, silindris dan berbanir setinggi 3.5 m dari permukaan tanah. Tinggi pohon
dapat mencapai 12-55 m dengan diameter 180 cm dan batang bebas cabang 8-37
m. Meranti putih tumbuh pada ketinggian 0-700 m dpl. dengan tipe curah hujan A
dan B.
Tumbuh pada tanah kering, tanah yang kadang-kadang atau selalu tergenang,
tanah liat, tanah berbatu-batu, dan tanah berpasir dengan topografi datar sampai
miring. Musim berbunga dan berbuah sangat dipengaruhi iklim. Pembungaan
biasanya terjadi setelah melewati dekade iklim yang kering dan panas. Buah masak
pada bulan Oktober-April. Meranti merupakan salah satu kayu komersial terpenting
di Asia Tenggara. Kayu ini juga yang paling umum dipakai untuk berbagai
keperluan di kawasan Malaysia. Kayu ini lazim dipakai sebagai kayu konstruksi,
panil kayu untuk dinding, loteng, sekat ruangan, bahan mebel dan perabot
rumahtangga, mainan, peti mati dan lain-lain. Kayu meranti merah-tua yang lebih

15
berat biasa digunakan untuk konstruksi sedang sampai berat, balok, kasau, kusen
pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, serta untuk membuat
perahu. Kayu meranti gampang di olah menjadi produk pertukangan berupa kusen
pintu jendela dll,kayu meranti sebagai kayu yang dapat dikerjakan sangat mudah
dan halus serat texturnya.
Sebagian kayu meranti yang sudah diperdagangkan tidak sesuai dengan standar
baku ukurannya, biasanya kami sering mendapatkan ukuran panjang (misal 4 m)
tak ada sessuai dengan ukurannya, sehingga menyulitkan bagi pertukangan untuk
mengatur kayu dalm pembuatan seperti kusen, pintu dan jendela.Harga kayu
meranti yang tak begitu mahal menjadikan pilihan bagi bahan pembuatan matrial
kusen, pintu, jendela. Meranti merah baik pula untuk membuat kayu olahan seperti
papan partikel, harbor, dan venir untuk kayu lapis. Selain itu, kayu ini cocok untuk
dijadikan bubur kayu, bahan pembuatan kertas ( Martawijjaya. A,I Kartasujana,
1977 ).

2.2 Komposisi lignoselulosa


Jadi secara kimia, bahan lignoselulosa mempunyai beberapa komponen utama
tiga macam polimer yang berbeda, yang dikenal dengan lignin, hemiselulosa, dan
selulosa yang saling berikatan membentuk satu kesatuan yang utuh (Sjostrom,1998;
Perez et al., 2002).

2.2.1 Selulosa
Selulosa adalah komponen utama penyusun kayu, kira-kira 40-50% kayu
kering. Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit -D-
glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan-ikatan -(1,4)-glikosida
yang ditunjukan oleh gambar 2.1.

16
Gambar 2.1. Struktur Selulosa (Ibrahim,1998)

Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai


kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan intermolekul.
Sebagai struktur yang berserat dan ikatan-ikatan hidrogen yang kuat, selulosa
mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut.
Selulosa tidak berwarna, tidak mempunyai rasa dan bau, tidak larut dalam air
atau larutan basa, relatif stabil terhadap panas, tidak meleleh jika dipanaskan, mulai
terurai (dekomposisi) pada temperatur 260-270C, tahan terhadap hidrolisis, dan
stabil terhadap oksidasi. Tetapi selulosa akan larut dalam larutan asam mineral
dengan konsentrasi tinggi (akibat hidrolisis), dan jika hidrolisisnya belum
berlangsung terlalu jauh maka selulosa dapat diendapkan kembali membentuk
fragmen-fragmen padatan polimer dengan berat molekul yang lebih kecil melalui
pengenceran larutan dalam asam kuat tersebut dan air. Selulosa baru mengalami
hidrolisis dalam asam mineral encer pada temperatur yang tinggi (>100C) (Brown,
2003).

2.2.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang dibentuk
melalui jalan biosintesis yang berbeda dari selulosa. Hemiselulosa relatif mudah
dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen monomer hemiselulosa
terdiri dari D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa, dan
sejumlah kecil L-ramnosa di samping menjadi asam D-glukuronat, asam 4-O-metil-

17
D-glukuronat, dan asam D-galakturonat. Kebanyakan hemiselulosa mempunyai
derajat polimerisasi hanya 200 (Palonen,2004;Sjostrom,1998).
Hemiselulosa mempunyai rantai polimer yang pendek dan tak berbentuk, oleh
karena itu sebagian besar dapat larut dalam air. Rantai utama dari hemiselulosa
dapat berupa homopolimer (umumnya terdiri dari satu jenis gula yang berulang)
atau juga berupa heteropolimer (campurannya beberapa jenis gula) (Ibrahim, 1998).
Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen
monomernya. Hemiselulosa dapat diisolasi dengan cara ekstraksi menggunakan
dimetilsulfoksida dan alkali (KOH dan NaOH). Namun ekstraksi alkali mempunyai
kerugian yaitu deasetilasi hemiselulosa yang hampir sempurna (Sjostrom,1998).
Struktur unit penyusun hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Struktur Unit-unit Penyusun Hemiselulosa (Ibrahim, 1998)

Xilosa adalah gula yang diisolasi dari kayu dengan proses hidrolisa asam atau
enzim. Xilosa atau gula kayu adalah suatu gula pentosa, monosakarida dengan lima
atom karbon dan memiliki gugus aldehida. Gula ini diperoleh dengan menguraikan
jerami atau serat nabati lainnya dengan cara memasaknya dengan asam sulfat.
Xilosa diklasifikasikan sebagai monosakarida tipe aldopentosa yang memiliki lima
atom carbon dan satu gugus aldehid. Xilosa dapat dimanfaatkan sebagai media

18
fermentasi dalam produksi ethanol. Selain itu xilosa juga dapat dikonversi menjadi
hidrogen, xilitol dan lain lain.

2.2.3 Lignin
Lignin merupakan komponen kimia dan morfologi yang karakteristik dari
jaringan tumbuhan tinggi, seperti pteridovita dan spermatofita (gymnosperm dan
angiosperm), dimana lignin terdapat dalam jaringan vaskuler yang khusus untuk
pengangkutan cairan dan memberikan kekuatan mekanik sedemikian rupa sehingga
tumbuhan yang besar seperti pohon yang tingginya lebih dari 100 m tetap dapat
berdiri kokoh (Dietrich Fengel, 1984). Struktur molekul lignin sangat berbeda bila
dibandingkan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas
unit-unit fenilpropana: unti guaiacyl (G) dari prekusor trans-koniferil alkohol, unit
syringyl (S) dari prekusor trans- sinapil alkohol, dan p-hidroksipenil (H) dari
prekusor trans-p-koumaril alkohol (Palonen, 2004), seperti pada gambar 2.3. Unit-
unit fenilpropana ini kemudian berikatan dengan struktur-struktur minor sehingga
membentuk suatu jaringan polimer yang dikenal dengan nama lignin.

Gambar 2.3. Unit-unit Penyusun Lignin (Ibrahim,1998)


Lignin adalah polimer berkadar aromatik-fenolik yang tinggi, berwarna
kecoklatan dan relatif lebih mudah teroksidasi. Lignin memiliki berat molekul yang
bervariasi antara 100 sampai dengan 20.000, tergantung pada sumber biomassanya.

19
Lignin relatif stabil terhadap aksi kebanyakan larutan asam mineral, tetapi larut
dalam larutan basa panas dan larutan ion (HSO3-) panas. Lignin mempunyai titik
pelunakan dan titik leleh yang rendah, lignin kayu berdaun jarum (pohon spruce)
melunak pada 80-90C (basah) dan 120C (kering) dan meleleh pada 140-150C.

2.3 Enzim yang bereaksi pada Lignoselulosa


2.3.1 Selulase
Selulase dapat diproduksi oleh fungi, bakteri, dan ruminansia.Produksi enzim
secara komersial biasanya menggunakan fungi atau bakteri. Fungi yang bisa
menghasilkan selulase antara lain genus Tricoderma, Aspergillus, dan
PenicilliumSedangkan bakteri yang bisa menghasilkan selulase adalah
Pseudomonas, Cellulomonas, Bacillus, Micrococcus, Cellovibrio, dan
Sporosphytophaga. (Saadahdkk.,2007).
2.3.2 Tricodherma viridae
Trichoderma viridae merupakan kelompok fungi tanah sebagai penghasil
selulase yang paling efisien (Davidek et al., 1990). Aplikasi selulase sangat terpakai
di dunia industri, dimana enzim ini dapat mengkonversi materi biomassa suatu
tumbuhan seperti selulosa menjadi bioproduk yang berguna seperti gula (glukosa)
dan bioetanol.(Rapp et al. 1981; Srivastava et al. 1984; Schmid et al. 1987; Kwon
et al. 1992; Saha et al. 1995). Keuntungan fungi tersebut sebagai sumber selulase
adalah menghasilkan selulase lengkap dengan semua komponen-komponen yang
dibutuhkan untuk hidrolisis total selulosa kristal dan protein selulosa yang
dihasilkan cukup tinggi.
Trichoderma viride banyak digunakan dalam penelitian karena memiliki
beberapa keuntungan, dinataranya adalah: 1. Selulase yang diperoleh mengandung
semua komponen-komponen yang diperlukan untuk proses hidrolisis seluruh kristal
selulosa. 2. Protein selulase dihasilkan dalam kualitas sangat tinggi. Dijelaskan oleh
Gilbert dan Tsao (1983), selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride
mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan -1,4-glukan-
selobiohidrolase (C1), sementara -1,4-glukan-selobiohidrolase (Cx) terdapat
dalam jumlah kecil. Selulase yang diproduksi mengandung asam-asam amino

20
tertentu, yaitu : 1. Golongan asam amino yang bersifat asam : aspartat dan glutamat.
2. Golongan asam amino polar : serin, treonin, dan glisin. 3. Sebagian kecil asam
amino dasar. 4. Sebagian kecil golongan asam amino sulfur. Semua enzim ini
bersifat hidrolitik dan bekerja baik secara berturut-turut atau bersamaan.
Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa tingkat
tinggi yang mampu memecah selulosa kristal. Sedangkan endoglukanase bekerja
pada selulosa amorf (Coughalan, 1989). Selanjutnya dijelaskan selobiohidrolase
memecah selulosa melalui pemotongan ikatan hidrogen yang menyebabkan rantai-
rantai glukosa mudah untuk dihidrolisis lebih lanjut. Hidrolisa selanjutnya
berlangsung sehingga diperoleh selobiosa dan akhirnya glukosa dilakukan oleh
enzim glukonase dan glukosidase. Keunggulan keunggulan inilah yang
menyebabkan Trichoderma viride dapat dimanfaatkan dalam usaha untuk
meningkatkan efesiensi pembuatan bioetanol.

2.3.3 Saccharomyces cerevisiae


Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar
dan mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi. Selain Saccharomyces
cerevisiae, Zymomonas mobilis juga sangat potensial, namun bakteri ini perlu
dikembangkan lebih lanjut, karena toleransinya yang rendah terhadap garam dalam
media dan membutuhkan media yang steril, sehingga menyulitkan untuk aplikasi
skala industri (Iida, dkk., 1993; Saroso, 1998; Hepworth, 2005). Oleh karena itu
Ragi (Saccharomyces cerevisiae) adalah mikroorganisme penghasil etanol yang
paling dikenal saat ini. Efisiensi fermentasi dapat ditingkatkan dengan cara
mengamobilisasi sel mikroorganisme yang digunakan. Amobilisasi sel bertujuan
untuk membuat sel menjadi tidak bergerak atau berkurang ruang geraknya sehingga
sel menjadi terhambat pertumbuhannya dan subtrat yang diberikan hanya
digunakan untuk menghasilkan produk.

21
2.4 Bioetanol
Bioetanol adalah istilah yang digunakan untuk etanol yang dihasilkan dari
proses fermentasi gula reduksi dengan bahan baku hayati, untuk membedakannya
dengan etanol yang dihasilkan dengan cara sintesis. Bioetanol memiliki sejumlah
keunggulan dibandingkan bahan bakar fosil. Salah satunya bioetanol termasuk
bahan bakar ramah lingkungan karena gas CO2 yang dihasilkan dari
pembakarannya jauh lebih kecil dibandingkan CO2 yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil. Keunggulan lain dari bioetanol adalah bersifat
terbarukan, artinya dapat dihasilkan dari bahan baku atau sumber yang dapat
dibudidayakan. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bioetanol relatif
lebih murah, contohnya biomassa lignoselulosa tandan kosong kelapa sawit yang
merupakan limbah dalam memproduksi Crude Palm Oil (CPO).
Bioetanol adalah sumber energy alternatif yang dapat dikembangkan di
Indonesia. Saat ini, Brasil merupakan negara yang penghasil bioethanol terbesar di
dunia. Di urutan kedua, ada Amerika Serikat yang merupakan negara penghasil
bioethanol terbesar kedua didunia. Perbedaan antara Brasil dan Amerika ada pada
penggunaan bahan baku, dimana Brasil menggunakan bahan baku dari tebu
sedangakan Amerika menggunakan bahan baku jagung. Dari kedua negara tersebut
kita dapat melihat bahwa keduanya menggunakan bahan baku dari bahan pangan
yang mana dapat mengganggu stabilitas kebutuhan pangan.
Etanol merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon, hydrogen, dan
oksigen. Etanol memiliki gugus hidroksil pada ikatannya. Gugus hidroksil dapat
berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih sulit
menguap dibandingkan senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang
sama.Karena etanol memiliki gugus hidroksil, maka etanol termasuk golongan
alcohol. Alkohol adalah senyawa hidrokarbon berupa gugus hydroksil (-OH)
dengan 2 atom karbon (C). Spesies alkohol yang banyak digunakan adalah CH3OH
yang disebut metil alkohol (metanol), C2H5OH yang diberi nama etil alkohol
(etanol), dan C3H7OH yang disebut isopropil alkohol (IPA) atau propanol-2.
Dalam dunia perdagangan yang disebut alkohol adalah etanol atau etil alkohol
dengan rumus kimia C2H5OH.

22
Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau
CH3CH2OH dengan titik didihnya 78,4 C. Etanol memiliki sifat tidak berwarna,
volatil dan dapat bercampur dengan air. Selain itu memiliki sifat yang mudah
menguap dengan aroma yang khas dan mudah terbakar. Etanol terbakar tanpa asap
dengan api berwarna biru yang kadang-kadang tidak dapat terlihat pada cahaya Ada
2 jenis etanol, etanol sintetik sering disebut metanol atau metil alkohol atau alkohol
kayu, terbuat dari etilen, salah satu derivat minyak bumi atau batu bara. Bahan ini
diperoleh dari sintesis kimia yang disebut hidrasi, sedangkan bioetanol direkayasa
dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi).
Mengingat pemanfaatan bioetanol/ etanol beraneka ragam, sehingga grade
etanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk
etanol yang mempunyai grade 90-96,5% dapat digunakan pada industri, sedangkan
etanol yang mempunyai grade 96-99,5% dapat digunakan sebagai campuran untuk
miras dan bahan dasar industri farmasi. Besarnya grade etanol yang dimanfaatkan
sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan sebesar 99,5- 100%. Perbedaan
besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi
gula (glukosa) larut air.

Tabel I.1 Sifat Fisika Etanol :


Berat molekul 40,069 g/mol
Density 0,7893 g/ml
Titik didih 78,4 C
Titik leleh -114,14 C
Kapasitas panas 112,3 J/mol.K
(Sumber: CRC Handbook of Chemistry and Physical)

Sifat Kimia Etanol


Oksidasi Etanol
Pengoksidadian etanol dapat membentuk asam asetat.
CH3CH2OH CH3COOH
Etanol Asam Asetat

23
Pembentukan Ester
Jika etanol direaksikan dengan asam asetat dapat membentuk etil asetat yang
merupakan senyawa ester.
CH3COOH + CH3CH2OH CH3COOCH2CH3 + H2O
Asam Asetat Etanol Etil Asetat Air
Halogenasi
CH3CH2OH + HCl CH3CH2Cl + H2O
Etanol Asam Klorida Etil Klorida Air
Eliminasi Etanol
Eliminasi etanol menggunakan asam sulfat pada suhu 180oC dapat
membentuk etena dan air.
CH3CH2OH CH2CH2 + H2O
Etanol Etena Air
Pembakaran Etanol
Pembakaran etanol menghasilkan karbon dioksida dan air.
CH3CH2OH + 3 O2 2 CO2 + 3 H2O + energi
Etanol Oksigen Karbon dioksida Air

2.5 Produksi Bioethanol


Penelitian produksi ethanol berbahan baku biomassa lignoselulosa,
lebih dikenal dengan sebutan Bioethanol atau ethanol generasi ke dua,
sangat intensif dilakukan dalam dua dekade terakhir (Yang & Wayman,
2007) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005) (Sanchez & Cardona, 2007).
Produksi ethanol dari lignoselulosa sudah dimulai sejak lama, (Moore,
1919) telah mematenkan teknologi untuk memproduksi ethyl alcohol
(ethanol) dari kayu.
Produksi ethanol dari biomassa lignoselulosa dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar, yaitu: platform biokimia (biochemical
platform) atau gula (sugar platform) dan platform thermokimia

24
(thermochemical platform) (United State Departemen of Energy, 2008).
Platform biokimia meliputi proses hidrolisis selulosa dan hemiselulosa
menjadi monomer gula penyususnnya, fermentasi gula menjadi ethanol,
destilasi dan dehidrasi untuk menghasilkan ethanol fuel grade. Platform
thermokimia secara umum meliputi dua tahapan utama, yaitu: gasifikasi dan
dilanjutkan dengan konversi gas yang dihasilkan menjadi ethanol.
Platform biokimia dapat dibagi menjadi beberapa kelompok
berdasarkan tahapan hidrolisis yang dilakukan, yaitu: hidrolisis asam encer
(dilute-acid hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid
hydrolysis), dan hidrolisis enzimatik (enzymatic hydrolysis). Terdapat
beberapa variasi teknik dalam hidrolisis enzimatik yang digabungkan
dengan tahapan fermentasi, seperti: Separate (atau Sequential) Hydrolysis
and Fermentation (SHF), Simultaneous Saccharification and Fermentation
(SSF), Simultaneous Saccharification and Co-Fermentation (SSCF), dan
Consolidated BioProcessing (CBP) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005)
(Lynd, Van, Mcbride, & Laser, 2005).
Secara sederhana proses koversi biomassa lignoselulosa dapat
digambarkan seperti pada Gambar 1 (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,
2005). Beberapa tahapan utama yang akan dijelaskan di bawah meliputi:
pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan purifikasi. Dalam setiap tahapan
terdapat beberapa variasi, pilihan-pilihan teknologi, dan status penelitian
terkini.

Gambar 1. Proses umum yang disederhanakan produksi ethanol dari biomassa lignoselulosa
(dimodifikasi dari (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005))

25
2.5.1 Pretreatment
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan
hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan teknologi
biokonversi dalam skala komersial (Mosier, et al., 2005). Pretreatmen
merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan berpengaruh besar
terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh pretreatment yang baik
dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis
(Wyman, Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee, Coordinated
development of leading biomass pretreatment technologies, 2005) (Wyman,
Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee, Comparative sugar recovery
data from laboratory scale application of leading pretreatment technologies
to corn stover, 2005). Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang
diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%,
sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil
teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Tujuan dari pretreatment
adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih
mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi
monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis ditunjukkan pada
Gambar 2.

Gambar 2. Gambar skema tujuan pretreatment biomassa lignoselulosa (Mosier, et al.,


2005).
Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah
dipelajari melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun & Cheng,

26
2002) pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:1)
meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada
proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik; 2) menghindari degradasi
atau kehilangan karbohidrat; 3) menghindari pembentukan produk samping
yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, 4) biaya yang
dibutuhkan ekonomis. Ringkasan berbagai teknik pretreatment yang
dikembangkan ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini. Teknik pretreatment
yang telah dikembangkan lebih banyak dilakukan secara mekanik atau
fisiko-kimia. Pretreatment secara biologi sedikit dilaporkan. Pretreatment
secara biologi akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian 4 tulisan ini.
Berbagai metode pretreatment telah diulas secara mendalam oleh (Mosier,
et al., 2005) (Taherzadeh & Karimi, 2008) (Hendriks & Zeeman, 2009) (Hu,
Heitmann, & Rojas, 2008).

Pretreatment Proses Perubahan pada biomassa

Milling:

ball milling
two-rol milling
hammer milling
colloid milling
mengurangi
vibrotory ball
ukuran partikel
milling
meningkatkan
Irradiation:
luas permukaan
yang kontak
gamma-ray dengan
enzim
electron beam mengurangikrist
alisasi
Pretreatment fisik
microwave selulosa

27
Lainnya:

hydrothermal
uap bertekanan
tinggi
expansi
extrusi
pirolisis
air panas

Explosion:

eksplosi uap
panas
ammonia
fiberexplotion
(AFEX)
eksplosi CO2
meningkatkan
eksplosi SO2
area pemukaan
Alkali:
yang mudah
diakses
sodium delignifikasi
hidroksida sebagian atau
hampir
ammonia keseluruhan
ammoniumsulfat menurunkan
ammonia recycle kristalisasi
percolation selulosa
(ARP) menurunkan
kapur (lime) Derajat
Asam: polimerisasi
hidrolisis
Pretreatmen
asam sulfat hemiselulosa
kimia dan
asam fosfat sebagian atau
fisik-kimia
asamhidroklorat keseluruhan

28
asam parasetat
Gas:

Clorin dioksida
Nitrogen dioksida
Sulfur dioksida
Agen Oksidasi:

Hidrogen
peroksida
oksidasi basah
Ozone
Pelarut untuk ekstraksi lignin:

ekstrasi ethanol-
air
ekstrasi benzene-
air
ekstraksi etilen
glikol
ekstraksi butanol-
air
agen pemekar
(swelling)

delignifikasi

penurunan derajat
polerisasi selulosa
Fungi Pelapuk
Biologi penurunan derajat
Putih
kristalisasi selulosa
Aktinomicetes

2.5.2 Proses Hidrolisis


Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa
lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula
penyusunnya. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan

29
hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa
(C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik.

2.5.2.1 Hidrolisis Asam


Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan
dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan
menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa
asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat
(H2SO4), asam perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling
banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat
dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer
(Taherzadeh & Karimi, 2007).
Hidrolisis asam pekat merupakan teknik yang sudah dikembangkan
cukup lama. Braconnot di tahun 1819 pertama menemukan bahwa selulosa bisa
dikonversi menjadi gula yang dapat difermentasi dengan menggunakan asam
pekat (Sherrad and Kressman 1945 in (Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis
asam pekat menghasilkan gula yang tinggi (90% dari hasil teoritik)
dibandingkan dengan hidrolisis asam encer, dan dengan demikian akan
menghasilkan ethanol yang lebih tinggi (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005).
Hidrolisis asam encer dapat dilakukan pada suhu rendah. Namun demikian,
konsentrasi asam yang digunakan sangat tinggi (30 70%).
Proses ini juga sangat korosif karena adanya pengenceran dan
pemanasan asam. Proses ini membutuhkan peralatan yang metal yang mahal
atau dibuat secara khusus. Rekaveri asam juga membutuhkan energi yang besar.
Di sisi lain, jika menggunakan asam sulfat, dibutuhkan proses netralisasi yang
menghasilkan limbah gypsum/kapur yang sangat banyak. Dampak lingkungan
yang kurang baik dari proses ini membatasi penggunaan asam perklorat dalam
proses ini. Hidrolisis asam pekat juga membutuhkan biaya investasi dan
pemeliharaan yang tinggi, hal ini mengurangi ketertarikan untuk komersialisasi
proses ini (Taherzadeh & Karimi, 2007).

30
Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap
(two stage acid hydrolysis) dan merupakan metode hidrolisis yang banyak
dikembangkan dan diteliti saat ini. Hidrolisis asam encer pertama kali
dipatenkan oleh H.K. Moore pada tahun 1919. Potongan (chip) kayu
dimasukkan ke dalam tangki kemudian diberi uap panas pada suhu 300oF selama
satu jam. Selanjutnya dihidrolisis dengan menggunakan asam fosfat. Hidrolisis
dilakukan dalam dua tahap.
Hidrolisat yang dihasilkan kemudian difermentasi untuk
menghasilkan ethanol. Hidrolisis selulosa dengan menggunakan asam telah
dikomersialkan pertama kali pada tahun 1898 (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,
2005). Tahap pertama dilakukan dalam kondisi yang lebih lunak dan akan
menghidrolisis hemiselulosa (misal 0.7% asam sulfat, 190oC). Tahap kedua
dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dengan konsentrasi asam yang
lebih rendah untuk menghidrolisis selulosa (215oC, 0.4% asam sulfat)
(Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005).

Kelemahan dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula hasil di


dalam reaksi hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan.
Degradasi gula dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen
gula, tetapi produk samping juga dapat menghambat pembentukan ethanol pada
tahap fermentasi selanjutnya (Gambar 3). Beberapa senyawa inhibitor yang
dapat terbentuk selama proses hidrolisis asam encer adalah furfural, 5-
hydroxymethylfurfural (HMF), asam levulinik (levulinic acid), asam asetat
(acetic acid), asam format (formic acid), asam uronat (uronic acid), asam 4-
hydroxybenzoic, asam vanilik (vanilic acid), vanillin, phenol, cinnamaldehyde,
formaldehida (formaldehyde), dan beberapa senyawa lain (Taherzadeh &
Karimi, 2007).

2.5.2.2 Hidrolisis Enzim


Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi
proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil

31
yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relative rendah karena tidak ada
bahan yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007) (Hamelinck, Hooijdonk, &
Faaij, 2005). Beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatis antara lain adalah
membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim dihambat oleh produk.
Di sisi lain harga enzim saat ini lebih mahal daripada asam sulfat, namun
demikian pengembangan terus dilakukan untuk menurunkan biaya dan
meningkatkan efisiensi hidrolisis maupun fermentasi (Sanchez & Cardona,
2007).
Struktur lignoselulosa membentuk penghambat alami terhadap
degradasi oleh mikroba maupun oleh enzim. Penurunan kecepatan reaksi
ditemukan pada hidrolisis enzimatis selulosa murni. Beberapa penyebab dari
penurunan kecepatan reaksi ini antara lain adalah: penghambatan balik oleh
produk, deplesi oleh bagian yang mudah terdegradasi (kemungkinan deplesi oleh
bagian amorphous selulosa), inaktivasi enzim, dan ikatan atau penjerapan tidak
produktif selulase di dalam pori-pori selulosa. Secara umum penghambatan
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama terkait dengan
struktur lignoselulosa, dan kedua terkait dengan mekanisme dan interaksi enzim
(Palonen, 2004) (Zhu, ODwyer, Chang, Granda, & Holtzapple, 2008).
Beberapa karakteristik fisik structural lignoselulosa yang
menghambat hidrolisis enzimatis antara lain: kristalinitas (crystalinity), derajat
polimerasi, susunan struktur selulosa (I, II, III, V, atau X), ukuran dan distribusi
pori-pori, luas permukaan kontak, derajat pemekaran (swelling), dan komposisi
structural (kandungan dan distribusi lignin) (Palonen, 2004). Peningkatan dan
penurunan hasil hidrolisis diketahui berkaitan dengan peningkatan kristalinitas
dari berbagai substrat lignoselulosa yang berbeda (Sasaki et al., 1979). Studi
terbaru oleh (Zhu, ODwyer, Chang, Granda, & Holtzapple, 2008) menemukan
bahwa kristalinitas dan kandungan lignin paling berpengaruh terhadap
kemudahan lignin dihirolisis. Namun diketahui pula bahwa jika kristalinitas
rendah, kandungan lignin tidak terlalu berpengaruh.
Kemudahan diakses (accessibility) substrat lignoselulosa
memainkan peranan penting pada peningkatan hidrolisis enzimatik. Selulosa

32
memiliki permukaan eksternal (bentuk dan ukuran partikel) dan internal
(struktur kapiler serat). Pada selulosa yang tidak diperlakukan, hanya sebagian
kecil dari pori-pori yang dapat diserang oleh selulase. Grethelin (1985)
menunjukkan bahwa penghilangan hemiselulosa menghasilkan peningkatan
volume pori-pori yang dapat diakses dan area permukaan spesifik. Ukuran pori-
pori juga diketahui berkaitan dengan derajat pemekaran (degree of swelling)
(Stone and Scalla, 1969 di dalam (Palonen, 2004)). Beberapa studi juga
menemukan bahwa pengeringan bahan lignoselulosa berakibat dari hilangnya
kapilaritas dinding sel dan berkurangnya ukuran pori-pori menurunkan
efektivitas hidrolisis enzimatis (Esteghlalian et al., 2001).
Beberapa literature menyebutkan bahwa kandungan dan distribusi
lignin berpengaruh pada hidrolisis enzimatis. Konversi enzimatik yang tinggi
dari selulosa ditemukan pada kayu lunak (Douglas fir) yang telah didelignifikasi,
seperti kraft pulp (kandungan lignin 4%) atau mekanikal pulp (kandungan lignin
8%) (Mooney et al., 1998). Delignifikasi kayu Douglas fir (telah diperlakukan
dengan uap panas (steam-explosion)) dengan peroksida alkali panas dapat
meningkatkan hasil hidrolisis di mana kandungan lignin tinggal 8.2%). Selain
itu rekoveri enzim setelah hidrolisis enzimatis juga meningkat (Lu et al., 2002).
Di sisi lain, penghilangan sebagian lignin (kandungan akhir lignin
32-36%) dari kayu lunak (telah diperlakukan dengan uap panas) dengan
perlakuan NaOH menurunkan hasil hidrolisis (Wong et al., 1988; Schell et al.,
1998). Hasil yang sama juga diperoleh dari penghilangan lignin dengan proses
delignifikasi oksigen menggunakan NaOH dimana kecepatan dan hasil hidrolisis
menurun. Namun pada kasus kraft pulp dari kayu lunak, peningkatan hasil
hidrolisis berkorelasi dengan peningkatan derajat delignifikasi (Draude et al.,
2001). Dengan demikian, penghilangan lignin sebagian terlihat membuat kayu
(yang telah diperlakukan dengan uap) menjadi lebih sulit untuk dihidrolisis.
Salah satu penjelasan dari fonomena adalah terjadi redeposisi dari lignin yang
tidak terekstrak ke pori-pori dan permukaan selulosa (Wong et al., 1998).

33
2.6 Fermentasi
Beberapa spesies mikroba dari kelompok yeast/khamir, bakteri dan
fungi dapat memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi
bebas oksigen (Lynd, 1996). Mikroba melakukan fermentasi tersebut untuk
mendapatkan energi dan untuk tumbuh. Berdasarkan reaksi kimia
fermentasi, hasil maksimum teoritis dari setiap kg gula adalah 0.51 kg
ethanol dan 0.49 kg CO2:

3C5H10O5 > 5C2H5OH + 5CO2 (1)


C6H12O6 > 2C2H5OH + 2CO2 (2)

Metode fermentasi untuk gula C6 telah diketahui dengan baik sejak 6000
tahun yang lalu, ketika orang-orang Sumeria, Babylonia, dan Mesir mulai
membuat bir dari nira. Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam
proses fermentasi adalah ragi roti (Saccharomyces cereviseae) dan
Zymomonas mobilis. Saccharomyces cereviseae memiliki banyak
keunggulan antara lain adalah mampu memproduksi ethanol dari gula C6
(heksosa), toleran terhadap konsentrasi ethanol yang tinggi dan toleran
terhadap senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa
lignoselulosa (Olsson and Hahn-Hgerdal 1993; Hahn-Hgerdal et al.
2001). Namun demikian, strain liar dari S. cerevieae tidak dapat
memfermentasi gula C5 (pentose) seperti: xylosa, arabinosa,
celloligosaccharides, menjadi salah satu kendala pemanfaatannya. Beberapa
yeast diketahui dapat memfermentasi xylosa seperti: Pichia stipitis
(Verduyn et al. 1985) (Delgenes, Moletta, & Navarro, 1996), Candida
shehatae (Ho et al. 1990) (Sreenath & Jeffries, 2000), dan Candida
parapsilosis (Lee et al. 2003), Kluyveromyces marxianus (Margaritis &
Bajpai, 1982),dapat memetabolisme xylosa melalui kerja xylose reductase
(XR) untuk merubah xylosa menjadi xylitol, dan xylitol dehydrogenase
(XDH) untuk merubah xylitol menjadi xylulose. Beberapa bakteri seperti :
Klebsiella planticola (Rossi, et al., 1995), Thermoanaerobacter mathranii
(Ahring, Licht, Schmidt, Sommer, & Thomsen, 1999), dilaporkan dapat

34
memfermentasi xylosa dan glukosa menjadi ethanol. Beberapa upaya
rekayasa genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cereviseae yang
dapat memfermentasi xylosa dan glukosa (Meinander, Boels, & Hahn-
Haigerdal, 1999) (Helle, Murray, Lam, Cameron, & B., 2004) (Davis, Jeon,
Svenson, Rogers, Pearce, & Peiris, 2005) (Govindaswamy & Vane, 2007).
Beberapa fungi juga dilaporkan dapat memfermentasi xylosa menjadi
ethanol, yaitu: Mucor indicus dan Rhizopus orizae (Millati, Edebo, &
Mohammad J.Taherzadeh, Performance of Rhizopus, Rhizomucor, and
Mucor in ethanol production from glucose, xylose, and wood hydrolyzates,
2005).

35

Anda mungkin juga menyukai