Anda di halaman 1dari 7

Oftalmoplegia

Batasan Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau lebih dari otot-otot yang
mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot
yang mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada jalur saraf yang mengendalikan
pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan saraf kranial ketiga (oculomotorius),
keempat (trochlear), dan keenam (abducens).

Patofisiologi
Ophthalmoplegia dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang mengendalikan
pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada jalur saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot
mata. Ophthalmoplegia internuklear merupakan gangguan pergerakan pandangan atau gaze horizontal
yaitu berupa kelemahan adduksi pada mata yang terkena dan nistagmus abduksi pada mata kontralateral.
Penyakit ini biasanya merupakan kelainan yang terdapat pada brainstem atau batang otak, terutama lesi
pada fasikulus longitudinalis medialis pada dorsomedial tegmentum batang otak yaitu pada pons
dan/atau midbrain. Fasikulus longitudinalis medialis adalah suatu traktus serat saraf penting yang berjalan
dari otak tengah bagian rostral ke korda spinalis. Traktus ini mengandung banyak jaras yang
menghubungkan nukleus-nukleus di dalam batang otak, terutama yang berperan dalam gerak
ekstraokular. Manifestasi paling sering dari kerusakan fasikulus lingitudinalis medialis adalah
oftalmoplegia internuklear, dengan gerakan-gerakan mata horizontal konjugat terganggu akibat
kegagalan koordinasi antara nucleus nervus abducens di pons dan nucleus nervus oculomotoris di otak
tengah. Lesi di batang otak terletak ipsilateral terhadap mata aduksi atau kontralateral terhadap arah
pandangan horizontal yang abnormal. Pada bentuk oftalmoplegia internuklear yang paling ringan,
kelainan klinis terbatas pada perlambatan gerakan sakadik saat mata aduksi. Pada bentuk yang paling
parah, kemampuan aduksi dalam pandangan horizontal hilang sama sekali, menimbulkan diploplia terus-
menrus dalam pandangan lateral. Konvergensi biasanya tidak terganggu pada oftalmoplegia internuklear,
kecuali bila lesinya terletak di otak tengah mekanisme konvergensi juga dapat terkena. Gambaran lain
oftalmoplegia internuklear adalah nistagmus pada mata yang aduksi sewaktu berusaha memandang
horizontal, yang sedikitnya merupakan bagian dari hasil kompensasi terhadap kegagalan aduksi mata yang
satunya. Pada oftalmoplegia internuklear bilateral, dapat juga terjadi nistagmus upbet sewaktu menatap
ke atas akibat kegagalan kontrol menahun tatapan ke arah atas, dan matanya mungkin divergen; hal ini
dikenal sebagai sindrom WEBINO (wall-eyed bilateral internuclear opthalmoplegia) (Vaughan & Asbury,
2012). Ophthalmoplegia internuklear mungkin disebabkan oleh sclerosis multipel (terutama dewasa
muda), infark batang otak (terutama pada pasien tua), tumor, malformasi arteriovena, ensefalopati
Wernicke, dan ensefalitis. Oftalmoplegia internuklear bilateral paling sering disebabkan oleh sclerosis
multipel. Kelumpuhan menatap horizontal bersama oftalmoplegia internuklear, akibat suatu lesi di
nucleus abdusens atau formation reticularis pontis paramedian yang meluas ke dalam fasikulus
longitudinalis medialis ipsilateral, mempengaruhi semua gerak mata horizontal di mata ipsilateral dan
aduksi di mata kontralateral. Hal ini dikenal sebagai sindrom satu setengah (one and a half syndrome),
atau eksotropia pontin paralitik. Kelumpuhan saraf motorik mata berakibat pada gangguan pergerakan
mata; kesejajaran mata-pada stadium akut, sedikitnya memiliki tingkat keparahan yang bervarasi dalam
berbagai posisi tatapan tergantung otot mana yang lumpuh; dan ptosis bila terdapat kelumpuhan otot
levator palpebra superioris. Ketidaksejajaran sumbu penglihatan berakibat diploplia, kecuali bila ada
supresi, yang lebih sering timbul pada anak-anak daripada orang dewasa. Dapat diserai pusing dan rasa
tidak seimbang, tetapi keluhanan ini menghilang dengan penutupan satu mata. Dapat timbul kelainan
posisi kepala. Pada kelumpuhan nervus keenam, kepala menoleh ke sisi yang lumpuh, dan pada
kelumpuhan nervus keempat, posisi kepala miring ke sisi kontralateral. Kelumpuhan suatu otot
ekstraokular dapat dirangsang dengan melakukan restriksi kerja otot pasangannya, misalnya keterbatasan
abduksi dapat terjadi akibat restriksi rektus medialis bukan akibat kelumpuhan rektus lateralis.
Pemeriksaan laju sakadik mungkin berguna, tetapi perlu diakukan uj duksi paksa (forced uction test).
Pemeriksaan laju sakadik juga dapat mengidentifikasi otot yang lumpuh, contohnya untuk membedakan
kelumpuhn otot obliqus superior dari rektus inferior. Etiologi dan lokasi gangguan pada kelumpuhan saraf
motorik mata sangat bervariasi. Lesi-lesi di nukleus mempunyai ciri-ciri yang spesifik untuk melakukan
lokalisasi. Lesi fasikulus di dalam batang otak menyerupai lesi daraf perifer, tetapi biasanya dapat
dibedakan dengan adanya tanda-tanda batang otak lainnya. Setiap kelumpuhan otot ekstraokular yang
terjadi setelah trauma kepala ringan (cedera subkonkusif) harus diperiksakan adanya tumor di dasar
tengkorak. Pada kelumpuhan akibat iskemia (ischemic/microvascular palsy), pemulihan umumnya terjadi
dalam 4 bulan. Kelumpuhan yang belum mulai pulih dalam 4 bulan-terutama yang melibatkan nervus
keenam harus dicari adanya penyebab lain, khususnya suatu lesi structural. Harus dilakukan pemeriksaan
segera bila terdapat petunjuk adanya disfungsi nervus kranialis multipel atau adanya kelumpuhan otot
ekstraokular pada seorang dewasa muda. Penilaian kelumpuhan saraf motorik mata apapun harus
melibatkan penilaian fungsi nervus kranialis kedua, kelima, dan ketujuh. Serat-serat motorik berasal dari
sekelompok inti di substansia gria sentralisnvetral terhadap aquaductus cerebri setinggi colliculus
superior. Nukleus kudalis sentral di garis tegah mempersarafi kedua oto levator palpebrae superior.
Subnukleus resktus superior yang berpasangan mempersarafi rektus superior kontralateral. Serat-serat
eferen segera berdekusasi dan berjalan melalui subnukleusrektus superior yang berlawanan. Subnukleus
untuk otot rektus medialis, rektus inferior, dan obliqus inferior juga mempersarafi otot-otot ipsilateral.
Fasikulus nervus oculomotorius berjalan melalui nukleus rubra dan sisi medial pedunculus cerebrum.
Saraf berjalan di sepanjang sisi sela tursika, di dinding luar sinus cavernonus, dan memlaui fisura orbitalis
superior masuk ke dalam orbita. Sesaat sebelum memasuki orbita, saraf tersebut terbagi dua menjadi
cabang superior palpabrae dan rektus superior, sedangkan cabang inferior memprsarafi otot-otot lain dan
sfingter. Parasimpatis berasal dari nukleus Edinger Westphal tepat rostral dari nukleus motorik nervus
ketiga dan berjalan melalui divisi inferior nervus ketiga ke ganglion ciliare. Dari sini nervus ciliaris brevis
meyebar ke otot sfingter iris dan ke otot siliaris. Lesi di nukleus nervus ketiga mempengaruhi otot rektus
medialis dan inferior serta obliqus inferior ipsilteral, kedua otot levator, dan kedua otot rektus superior.
Akan dijumpai ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi
ipsilateral Mulai dari fasikulus saraf di otak tengah hingga ke terminalnya di orbital, kelumpuhan nervus
ketiga menimbulkan disfungsi ipsilateral semata. Pola persisnya tergantung pada tingkat kelumpuhannya,
tetapi umumnya mata ipsilateral terarah keluar oleh otot rektus lateralis yang intak atau tidak lumpuh
dan sedikit kebawah oleh otot obliqus superior yang intak. Mata mungkin hanya dapat digerakkan ke
lateral. (Insiklotorsi akibat kerja otot obliqus superior yang intak dapat diamati dengan melihat pembuluh
darah halus di konjungtiva medialis sewaktu dilakukan depresi mata). Mungkin dijumpai dilatasi pupil,
hilangnya akomodasi, dan ptosis palpebra superior, yang sering kali cukup berat hingga menutupi pupil.
Pola kelainan pupil mungkin dipengaruhi oleh Sindrom Horner penyerta (kelumpuhan simpatis), yang
menimbulkan pupil tanpa reaksi dan relatif kecil atau regenerasi aberan (Vaughan & Asbury, 2013).
Iskemia, aneurisma, trauma kepala, dan tumor intrakranial adalah penyebab kelumpuhan nervus ketiga
tersering pada orang dewasa. Penyebab kelumpuhan iskemik (mikrovaskular) diantaranya adalah
diabetes melitus, hipertensi, dan vaskulitis sistemik. Aneurisma biasanya berasal dari taut arteri karotis
interna dan arteri komunikans posterior. Tumor intrakranial dapat menyebabkan kelumpuhan
okulomotorius akibat kerusakan langsung pada sarafnya atau akibat efek massa. Dilatasi pupil, awalnya
unilateral kemudian bilateral, merupakan suatu tanda penting adanya herniasi lobus temporalis medialis
melalui hiatus tentorium (herniasi tentorial) akibat pembesaran masa supratentorium yang cepat.
Kelumpuhan nervus ketiga perifer bilateral dapat terjadi sekunder akibat lesi interpeduncular lainnya,
seperti aneurisma arteria basilaris (Vaughan & Asbury, 2013). Panduan klinis yang berguna adalah respon
pupil yang tidak terganggu pada lesi iskemik, sementara lesi kompresif termasuk aneurisma akan
melibatkan pupil, awalnya berupa hilangnya reaksi dan kemudian juga dilatasi. Kurang dari 5%
kelumpuhan nervus ketiga akibat lesi vaskular berkaitan dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15%
yang mengalami kelumpuhan pupil parsial. Kelumpuhan nervus ketiga terisolasi yang nyeri dan disertai
keterlibatan pupil memerlukan penyelidikan darurat adanya aneurisma arteria komunikans posterior
ipsilateral. Pemeriksaan semacam ini juga diindikasikan pada kelumpuhan nervus ketiga terisolasi yang
nyeri dan tidak disertai keterlibatan pupil, dan pada pasien-pasien muda dengan kelumpuhan nervus
ketiga terisolasi tanpa nyeri yang disertai dengan keterlibatan pupil (Vaughan & Asbury, 2013). Paralisis
elevator monokular, ketidakmampuan mengangkat sebelah mata pada abduksi (rektus superior) maupun
aduksi (obliqus inferior) dapat terjadi akibat paresis divisi superior nervus ketiga (tumor, sinusistis pasca
virus), tetapi dapat juga suatu kelianan kongenital atau pada ophthalmopati tiroid, miositus orbita, fraktur
dasar orbita, miastenia gravis, atau stroke di otak tengah (Vaughan & Asbury, 2013). Kelumpuhan saraf
ketiga pada anak-anak dapat bersiafat kongenital atau mungkin disebabkan oleh migraine
ophthalmoplegi, meningitis, atau pasca virus. Kelumpuhan saraf trochelaris kongenital dapat terjadi,
tetapi tidak biasanya memiliki asal usul neurogenik, biasanya kelumpuhan ini berasal dari kelainan
perkembangan di orbita. Kelumpuhan trochlearis kongenital dapat terjadi pada anak-anak dengan postur
kepala yang abnormal atau pada anak-anak atau dewasa dengan tegangan mata atau diploplia akibat
menurunnya kemampuan untuk mengatasi deviasi okular vertikal (dekompensasi). Kelumpuhan
trochlearis didapat biasanya bersifat traumatik. Saraf ini rentan mengalami cedera pada tempat keluarnya
di permukaan dorsal batang otak. Kedua saraf dapat rusak akibat trauma berat sewaktu berdekusasi di
velum medularis anterior sehingga terjadi kelumpuhan otot obliqus superior bilateral. Kelumpuhan
trochlearis didapat bisa juga bersifat iskemik (mikrovaskular) atau sekunder akibat tindakan bedah di fossa
posterior (Vaughan & Asbury, 2013). Kelumpuhan otot obliqus superior menyebabkan deviasi mata ke
atas atau hipertropia yang meningkat sewaktu pasien melihat ke bawah dan ke sisi yang berlawanan.
Selain itu, pada kelumpuhan didapat, terjadi eksiklotropia dengan demikian salah satu bayangan diploplia
akan dimiringkan sesuai bayangan yang lain. Oleh karena itu, diplopia torsional mengisyaratkan
kelumpuhan yang didapat, demikian juga tidak adanya gejala-gejala torsional mengisyaratkan suatu
kelumpuhan kongenital. Memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan meningkatkan deviasi vertikal
mata. Kepala yang dimiringkan menjauhi sisi mata yang terkena dapat menghilangkan diplopia, dan pasien
sering melakukan pemiringan kepala yang demikian. Riwayat postur kepala yang abnormal pada masa
kanak-kanak, yang dapat dikonfirmasi dengan melihat foto-foto keluarga dan dengan kisaran fusi prisma
vertikal yang besar, merupakan petunjuk kuat bahwa kelumpuhan trochlear ini bersifat kongenital. Pada
kelumpuhan traumatik bilateral, biasanya terdapat postur kepala dengan dagu turun. Pembedahan
strabismus efektif pada kelumpuhan kongenital yang tidak terkompensasi dan tidak bisa dikoreksi dengan
prisma, dan untuk kelumpuhan didapat yang tidak teratasi (Vaughan & Asbury, 2013). Serabut-serabut
motorik nervus abducens berasal dari nukleus di dasar ventrikel keempat di bagian bawah pons dekat
genu interna nervus facialis. Setelah menembus pons, serabut-serabut tersebut keluar di sebelah anterior
dan berjalan melewati ujung pars petrosus osis temporalis kedalam sinus cavernosus. Saraf ini kemudian
masuk ke orbita bersama nervus ketiga dan keempat untuk mempersarafi otot rektus lateralis (Vaughan
& Asbury, 2013). Nukleus abducens mengandung neuron-neuron motorik yang menuju otot rektus
lateralis ipsilateral dan badan sel antar neuron yang mempersarafi neuron-neuron motorik otot rektus
medialis kontralateral. Nukelus ini merupakan titik pemancar akhir bagi semua gera mata horizontal
konjugat, dan lesi di dalam nukleus akan menimbulkan kelumpuhan menatap horizontal ipsilateral yang
mengenai semua jenis gerak mata yang termasuk gerak vestibular. Hal ini berbeda dengan lesi di formatio
reticularis pontis paramedian, yang gerak vestibularnya tidak terganggu (Vaughan & Asbury, 2013).
Kelumpuhan nervus abducens merupakan kelumpuhan otot ekstraokular tunggal yang paling sering
terjadi. Abduksi mata berkurang atau tidak ada, terdapat eksotropia pada posisi primer yang meningkat
sewaktu mata melakukan fiksasi jauh dan menatap kesisi yang terkena. Iskemia (arteriosklerosis, diabetes,
migraine, dan hipertensi) adalah penyebab yang sering dijumpai. Akan tetapi, peningkatan tekanan
intrakanial dengan kelumpuhan nervus abducens sebagai tanda lokalisasi semu, tumor intrakranial
khusunya yang di dasar tengkorak, trauma, meningitis, dimielinasi, fistula arterio venosa, dan pungsi
lumbalmerupakan penyebab-penyebab umum lainnya. Infeksi dapat menimbulkan kelumpuhan nervus
keenam akibat keterlibatan langsung, seperti pada infeksi telinga tengah , iskemia,atau meningitis.
Malformasi Arnold Chiari (pergeseran tonsil serebelum kongenital kebawah) dapat menimbulkan
kelumpuhan nervus keenam akibat traksi, tetapi dapat pula menimbulkan esotropia saat memandang
jauh tanpa disertai keterbatasan abduksi akibat disfungsi serebelum. Seorang anak dengan kelumpuhan
nervus keenam harus dievaluasi untuk mencari adanya peradangan atau tumor batang otak atau glioma
bila tidak ada trauma atau traumanya minimal. Sindrom Mobius (diplegia fasial kongenital) dapat disertai
dengan kelumpuhan nervus keenam atau kelumpuhan tatapan konjugat. Pseudo kelumpuhan nervus
keenam dapat terjadi pada sindrom duane, spasme refleks dekat, penyakit mata tiroid, miastenia, atau
strabismus jangka panjang dan pada penjepitan rektus medialis oleh suatu fraktur etmoid (Vaughan &
Asbury, 2013). Beberapa sindrom dapat mengenai saraf kranialis III, IV, dan VI secara bersamaan. Pada
Sindrom Fisura Orbitalis Superior semua saraf motorik dapat terkena. Sindrom ini biasanya disebabkan
oleh trauma pada fisura orbitalis superior atau tumor yang melewati fisura tersebut (Vaughan & Asbury,
2013). Sindrom Apeks Orbia merupakan sindrom yang serupa dengan sindrom fisura orbitalis superior
yang disertai tanda-tanda nervus optikus dan biasanya proptosi yang lebih berat. Sindrom ini disebabkan
oleh tumor, peradangan, atau trauma. Ophthalmoplegia total yang awitannya mendadak dapat
disebabkan oleh penyakit vaskular batang otak yang luas, ensefalopati Wernicke, sindro Fisher,
poliomielitis bulbaris, apopleksia hipofisis, aneurisma basilaris, meningits difteria botulisme, atau krisis
miastenia (Vaughan & Asbury, 2013). Penyebab ophthalmoplegia yang lain yaitu multipel sklerosis.
Enyakit ini merupakan demielinasi pada sistem saraf pusat yang sering kambuh dan remisi. Penyebabnya
tidak diketahui. Beberapa pasien dapat mengalami bentuk penyakit yang progresif kronik yang terjadi
setelah periode kambuh dan remisi atau progresif sekunder atau yang lebih jarang terjadi sejak awal
serangan (progresif primer). Yang khas pada penyakit ini adalah lesinya terjadi pada waktu yang berlainan
dan di lokasi-lokasi yang tidak berbatasan pada sistem saraf yakni lesi-lesi tersebar dalam ruang dan
waktu. Terdapat kecenderungan untuk melibatkan nervus optikus dan chiasma opticum, batang otak,
pedunculus serebellum, dan medulla spinalis. Walaupun tidak ada satu pun bagian sistem saraf pusat yang
bisa lolos dari penyakit ini. Sistem saraf perifer jarang terkena. Ophthalmoplegia eksternal biasanya
disebabkan oleh penyakit gangguan pada sistem neuromuscular. Gangguan tersebut dapat terjadi pada
neuropati perifer seperti sindrom Guillain-Barre dan sindrom Miller Fisher. Penyebab ophthalmoplegia
juga dapat terjadi pada penyakit yang menyebabkan gangguan pada neuromuscular junction seperti
toksin botulism, miastenia gravis, kongenital miastenia, dan sindrom Lambert-eaton. Selain itu,
ophthalmoplegia juga dapat terjadi pada miopati seperti gangguan pada mitokondria (Kearns-Sayre
syndrome, dan progressive external ophthalmoplegia) atau pada penyakit akibat hipertiroid (Graves
disease) (Fauci et all, 2008). Ophthalmoplegia eksternal progresif kronik merupakan penyakit yang agak
jarang dan ditandai oleh ketidakmampuan menggerakkan mata yang progresif lambat dan sering
berkaitan dengan ptosis dini yang parah tetapi reaksi pupilnya normal. Kelainan ini dapat muncul di semua
usia dan berkembang selama periode 5-51 tahun menjadi ophthalmoplegia eksternal total. Penyakit ini
merupakan suatu bentuk miopati mitokondria dan mungkin berhubungan dengan manifestasi penyakit
mitokondria lain, seperti degenerasi pigmentasi retina, tuli, kelainan serebelum vestibular, kejang, defek
hantaran jantung, dan neuropati sensori motorik perifer. Pada keadaan ini dapat digunakan istilah
Ophthalmoplegia plus. Awitan ophthalmoplegia eksternal progresif kronik, blok jantung, dan retinitis
pigmentosa sebelum berusia 15 tahun dikenal sebagai sindrom Kearns Sayre. Ophthalmoplegia ekstrenal
progresif kronik berhubungan dengan delesi DNA mitokondria, yang lebih sering dan lebih luas pada
kasus-kasus dengan manifestasi non okular (Vaughan & Asbury, 2013). Penyebab dari ophthalmoplegia
yang lain adalah miastenia gravis yang ditandai oleh kelemahan abnormal otot-otot serat lintang setelah
kontraksi berulang dan membaik setelah beristirahat. Pada penemuan petama kali sering ditemukan
sebagai kelemahan otot-otot ekstraokuler. Ptosis unilateral karena kelelahan otot sering merupakan
tanda awal yang diikuti oleh keterlibatan otot-otot ekstraokular bilateral sehingga gejala awalnya sering
berupa diplopia. Pada kasus yang tidak diobati, dapat segara timbul kelemahan umum lengan dan tungkai,
kesulitan menelan, kelemahan otot-otot rahang, dan kesulitan bernapas. Kelemahan ini memperlihatkan
variasi diurnal dan sering memburuk seiring dengan berlalunya hari tetapi dapat membaik setelah tidur
siang. Pada penyakit ini tidak didapatkan gangguan sensorik (Vaughan & Asbury, 2013). Penyakit ini
berasal dari taut neuromuskular khususnya di daerah pasca sinaps, terutama akibat antibodi terhadap
daerah pasca dan pra sinaps. Adanya antibodi reseptor anti asetil kolin bersifat diagnostik. Antibodi ini
terdapat pada 80-90% pasien miastenia sistemik dan 40-60% dengan miastenia okular murni.
Kolinesterasi merusak asetil kolin di taut neuromuskular, dan obat-obat penghambat kolinesterase dapat
memperbaiki keadaan dengan meningkatkan jumlah asetilkolin yang tersedia untuk tempat pasca sinaps
yang rusak. Adanya riwayat perbaikan ptosis setelah beristirahat atau pemberian es dapat membantu
diagnosis. Miastenia biasanya merupakan penyakit kronik dengan kecenderungan remisi dan kambuh.
Prognosis tergantung pada luas penyakit, respon terhadap pengobatan, dan timektomi, serta
penatalaksanaan yang tepat selama eksaserbasi berat (Vaughan & Asbury, 2013). Kearns-Sayre Sindrome
(KSS) merupakan gangguan pada sistem multi organ yang terjadi secara luas dan memiliki trias pada
penemuan klinisnya. Trias tersebut adalah onset terjadinya sebelum usia 20 tahun, merupakan
ophthalmoplegia ekternal progresif kronik, dan retinopati pigmentosa. Selain itu terdapat beberapa gejala
seperti blok jantung komplit, kadar protein cairan serebospinal lebih dari 1 gr/liter atau terjadi serebelar
ataksia. KSS merupakan penyakit yang bersifat sporadis, yang ditandai dengan miopathy mitokondria.
Berbagai derajat ptosis dan kelemahan otot ekstraokuler dapat ditemukan, biasanya tanpa disertai
diplopia. Penyakit ini harus dibedakan dengan miastenia gravis, yaitu pada penyakit ini tidak didapatkan
pola remisi dan kambuh secara berulang. Penyakit ini disebabkan oleh delesi pada mtDNA yang diduga
terjadi secara spontan pada ovum atau zigot. Delesi yang sering terjadi (sekitar 1/3 pasien), terjadi pada
mtDNA 4977 bp.
Gejala Klinis
Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga pasien mengeluh penglihatan ganda
(diplopia). Selain itu juga terdapat keluhan berupa mata buram. Beberapa penderita juga mengeluh
kesulitan menggerakkan bola matanya ke arah tertentu atau terdapat kelumpuhan pada palpebra
superior. Gejala lainnya dapat berupa kesulitan menelan dan kelemahan pada otot-otot tubuh secara
general. Pada sklerosis multipel neuritis optik mungkin merupakan manifestasi yang pertama. Dapat
timbul serangan berulang, dan mata sebelahnya biasanya juga terkena. Secara keseluruhan insiden
neuritis optik pada sklerosis multipel adalah 90% dan adanya keterlibatan nervus optikus yang
simptomatik atau sub klinis merupakan petunjuk diagnostik yang penting. Diplopia adalah gejala awal
yang umum ditemukan, paling sering terjadi akibat ophthalmoplegia internuklear yang sering mengenai
kedua mata. Penyebab yang kurang umum, yaitu lesi pada nervus kranialis ketiga atau keenam dalam
batang otak. Nistagmus adalah tanda awal yang umum terjadi, dan tidak seperti kebanyakan manifestasi
penyakit ini (yang cenderung mengalami remisi) nistagmus sering menetap. Sklerosis multipel
menimbulkan peradangan intraokular, terutama pembentukan selubung (sheating) vena retina perifer,
yang dapat diperjelas dengan angiografi fluoresein. Selain ganggun pada mata, mungkin ditemukan
kelemahan motorik disertai tanda-tanda piramidal, ataksia, inkoordinasi tungkai dengan tremor intensif,
disartria, gangguan berkemih dan atau buang air besar dan gangguan sensorik khususnya parastesia.
Miastenia gravis sering ditemukan pertama kali sebagai kelemahan otot-otot ekstraokuler. Ptosis
unilateral karena kelelahan otot sering merupakan tanda awal yang diikuti oleh keterlibatan otot-otot
ekstraokular bilateral sehingga gejala awalnya sering berupa diplopia. Pada kasus yang tidak diobati, dapat
segara timbul kelemahan umum lengan dan tungkai, kesulitan menelan, kelemahan otot-otot rahang, dan
kesulitan bernapas. Kelemahan ini memperlihatkan variasi diurnal dan sering memburuk seiring dengan
berlalunya hari tetapi dapat membaik setelah tidur siang. Pada penyakit ini tidak didapatkan gangguan
sensorik Gejala dari KSS adalalah terjadinya ptosis, pergerakan bola mata yang terbatas, kehilangan
kemampuan pendengaran terutama pada suara frekuensi tinggi, kelemahan ringan pada otot-otot tangan
dan kaki, kesulitan ringan pada proses menelan (disfagia), retinopati pigmentosa, neuropati perifer seperti
mati rasa, ataksia, dan gangguan pada irama jantung.
Diagnosis
Diagnosis multipel skelrosis didasarkan pada adanya kelainan pada substansi alba pada sistem saraf
sentral yang bersifat diseminata (Schumacher criteria), yang didukung dengan hasil pemeriksaan MRI dan
adanya keabnormalan pada cairan serebrospinalis (kriteria posner). Penemuan Oligoclonal bands pada
cairan serebrospinal menandakan adanya produksi imunoglobuin intratekal merupakan karakteristik dari
multipel sclerosis, namun penemuan ini bukan merupakan diagnosis pasti. Dapat juga ditemukan
limfositosis pada cairan serebrospinal atau peningkatan ringan dari protein serebrospinal pada saat fase
akut. Pada multipel sclerosis juga didapatkan adanya neuritis optik hampir pada 60% penderita. Defek
lapisan serat saraf retina yang sesuai untuk neuritis optik sub klinis dapat terdeteksi pada 68% pasien
sklerosis multipel. VER mungkin dapat mengkonfirmasi terkena atau tidaknya jaras penglihatan. Hasil VER
tidak normal pada 80% kasus sklerosis multipel yang jelas, 43% kasus probable, dan 22& kasus dugaan
sklerosis multipel. Diagnosis dari miastenia gravis yaitu dengan menemukan antibodi reseptor anti-
asetilkolin. Pasien dengan antibodi positif harus menjalani pemeriksaan CT scan atau MRI dada untuk
mendeteksi adanya pembesaran timus. Timoma terjadi pada 15% pasien. Sebagian besar pasien dengan
miastenia gravis generalisata tanpa antibodi reseptor asetilkolin memiliki antibodi terhadap reseptor
tirosin kinase yang spesifik. Pasien-pasien ini biasanya perempuan, dengan otot-otot bulbar dan kranial
paling banyak terkena, sering terjadi krisis respiratorik, dan respon terhadap terapi yang lebih buruk.
Endrofonium intravena atau neostigmin intramuskular dapat digunakan untuk diagnosis. Pada uji
endrofonium (tensilon), atropin intravena disarankan untuk diberikan sebagai praterapi. Endrofonium, 2
mg diberikan secara intravena dalam 15 detik. Bila tidak timbul respon dalam 30 detik, diberikan
tambahan 5-7 mg. Uji ini paling bermakna bila ptosisnya mencolok. Perbaikan fungsi otot yang bermakna
menunjukkan suatu respon positif dan memastikan diagnosis miastenia gravis (Vaughan & Asbury, 2013).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ophthalmoplegia, terapi didasarkan atas penyebabnya. Pada multipel sklerosis,
pengobatan dapat diberikan metil prednisolone intravena untuk kekambuhan yang bersifat akut, namun
pemberian obat ini tidak mempengaruhi disabilitas yang ditimbulkan oleh penyakit maupun frekuensi
kekambuhan penyakit. Selain itu, dapat juga diberikan interferon dan glatiramer asetat (kopolimer 1)
untuk mengurangi tingkat keparahan dan tingkat kekambuhan penyakit dan memperlambat progresivitas
gambaran abnormal pada MRI. Pengobatan lain yang dapat diberikan yaitu berup sitostatik, namun
efektifitas dari obat golongan ini masih dalam proses penelitian. Pasien miastenia gravis dapat diobati
dengan piridostigmin, steroid sistemik, imunosupresan lain seperti aszatioprin, imunoglobulin, dan
plasmafaresis, bergantung pada keparahan penyakitnya. Pada eksaserbasi yang berat, mungkin
diperlukan pernapasan buatan. Timektomi mungkin diindikasikan pada pasien dengan timoma.
Daftar Pustaka

Budiono et all. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.
Fauci et all. 2008. Harrisons Principle of Internal Medicine 17 th Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc. Guyton and Hall. 2008.
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edsi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hung et all. 2014. Painful Ophthalmoplegia with Normal Cranial Imaging.
BMC Neurology 2014 vol. 14 (7) 1-7.
Ilyas, S., Yulianti, S. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Marchite et all. 2008. Miller Fisher Syndrome, Internal and External Ophthalmoplegia After Flu
Vaccination.
Arch Soc Esp Oftalmol vol. 2008 (83): 433-436. Hamilton Health Science. 2014. Chronic Progressive
External Ophthalmoplegia (CPEO); Keran-Syre Syndrome (KSS).
Mc Master Childrens Hospital. Putz, R., Pabst, R. 2006. Sobotta Atlas of Human Anatomy Volume 1. Ed.
14th. Munchen: Elsevier Urban & Fischer. Reynolds et all. 2004.
Bilateral Internuclear Ophthalmoplegia as a Presenting Sign of Multiple Sclerosis: An Interdisciplinary
Approach to Diagnosis and Management.
The Internet Journal of Allied Health Science and Practice vol. 2 (3): 1-6. Snell, Richard S. et all. 2006.
Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Voughan & Asbury.
2013.
Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai