Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

?
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana aplikasi terapeutik ibuprofen?

2. Bagaimana pembuatan garam ibuprofen dan aplikasinya dalam sediaan

tablet?

3. Bagaimana?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pelbagai aplikasi terapeutik ibuprofen.

2. Mengetahui pembuatan garam ibuprofen dan aplikasinya dalam sediaan

tablet.

3.

1.4 Manfaat

1. Bagi pembaca,

?
2

2. Bagi masyarakat,

3. Bagi penulis,

?
3

BAB II

FARMASI - FARMAKOLOGI

2.1 Sifat Fisikokimia dan Rumus Kimia Iboprofen

Rumus Molekul :

Berat Molekul :

Nama Kimia :

Pemeriaan :

Kelarutan :

Penyimpanan :

2.2 Farmakologi Umum Ibuprofen (Golongan, mekanisme kerja, dan sediaan

yang tersedia)

2.3 Farmakodinamik (khasiat, kegunaan terapi, dan kontra indikasi)

2.4 Farmakokinetik (Pola ADME, waktu paruh, ikatan protein,

bioavailabilitas)

2.5 Toksisitas (efek samping, toksisitas, dan penanggulangan toksisitas)


4

2.6 Contoh Penulisan Resep

Contoh 1:

Contoh 2:

Contoh 3:
5

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pelbagai Aplikasi Terapeutik Ibuprofen

Bushra R dan Aslam N (2010) menyatakan bahwa,dosis rendah

ibuprofen memiliki tingkat efektivitas layaknya aspirin dan paracetamol.

Ibuprofen banyak digunakan sebagai analgesik, anti-inflamasi dan anti-

piretik. Berikut adalah pelbagai aplikasi terapeutik ibuprofen:

a. Patent Ductus Arterosus (PDA)

PDA merupakan komplikasi yang sering terjadi pada bayi

prematur. Sejauh ini, indomethacin secara intravena adalah terapi yang

menjadi patokan untuk kasus ini. Akan tetapi, karena efek samping

indomethacin, PG inhibitor lain seperti ibuprofen telah di teliti dan

hasilnya menunjukkan bahwa ibuprofen sama efektifnya dengan

indomethacin. (Bushra R & Aslam N, 2010)

b. Rheumatoid dan Osteo-Arthritis (RA and OA)

Ibuprofen banyak digunakan sebagai terapi pelbagai gangguan

inflamasi, muskuloskeletal dan rematik, karena sangat efektif dan

memiliki toksisitas rendah. Pemberian Ibuprofen 2400 mg per hari

menghasilkan pemulihan yang cepat pada arthritis gout dalam waktu 72

jam. Dalam dosis sekitar 2.400 mg sehari, setara dengan 4g aspirin dalam

hal efek anti-inflamasi. Dosis yang lebih tinggi sebanyak 1200-1600 mg


6

per hari telah dibandingkan dengan sejumlah NSAID, hasilnya sangat

efektif dan ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Osteoarthritis adalah

penyakit yang sangat umum dengan pengobatan NSAID, terutama

ibuprofen. Untuk mengendalikan gejala-gejala sendi, diklofenak,

ibuprofen, naproxen dan tolmetin sama-sama efektif . Sekitar 1 % dari

pasien rheumatoid arthritis (RA) yang menerima NSAID rentan untuk

mengembangkan GI utama berdarah. Dengan ibuprofen, toksisitas

lambung telah diamati pada 10-32 % pasien. (Bushra R dan Aslam N,

2010)

c. Cystic fibrosis (CF)

Dosis tinggi terapi ibuprofen menunjukkan hasil yang efektif

dalam mengurangi inflamasi, mungkin dengan cara mengurangi influks

sel polymorphonuclear ke paru-paru. Resiko berkembangnya efek

samping penggunaan dosis tinggi ibuprofen pada saluran cerna memiliki

hasil rendah pada pasien dengan CF. (Bushra R dan Aslam N, 2010)

d. Hipotensi Ortostatik

Ibuprofen sangatlah berguna untuk terapi hipotensi ortostatik parah

dan dapat juga di terapi menggunakan NSAIDs lain. Efek beracun tidak

ditemukan pada dosis kurang dari 100 mg/kg, akan tetapi efek sampingnya

berat dan bahkan mengancam nyawa pada dosis 400 mg/kg.

Bagaimanapun juga, tingginya dosis tidak menunjukkan bahwa perjalanan

klinis cenderung mematikan. (Bushra R dan Aslam N, 2010)


7

e. Sakit Gigi

Ibuprofen adalah salah satu NSAID yang paling efektif dan banyak

digunakan dalam pengobatan sakit gigi . Praktisi gigi telah mengandalkan

ibuprofen dan NSAID lainnya untuk mengatasi rasa sakit orofacial akut

dan kronis. Dosis dengan 400 mg ibuprofen memberikan efek analgesik

untuk mengendalikan nyeri pasca operasi setelah operasi gigi molar

ketiga. Sebuah persiapan sediaan gel cair ibuprofen 400 mg memberikan

bantuan lebih cepat dan secara keseluruhan unggul dalam upaya

penanganan sakit gigi pasca bedah. (Bushra R dan Aslam N, 2010)

f. Dismenorea, demam dan sakit kepala

Ibuprofen non-resep berguna untuk mengelola sakit ringan dan

nyeri, mengurangi demam dan mengurangi gejala dismenore. Dismenore

adalah masalah menstruasi yang paling umum dikeluhkan. Ibuprofen

lebih unggul dari plasebo untuk menghilangkan rasa sakit dan penekan

cairan menstruasi PGF2 alpha. Inhibitor Cycloxygenase mengurangi

jumlah pelepasan menstruasi prostanoids bersamaan dengan

berkurangnya hiper kontraktilitas rahim. Over-the-counter (OTC)

persiapan ibuprofen terutama digunakan untuk indikasi akut, seperti

demam atau sakit kepala, terutama tension type headache. (Bushra R dan

Aslam N, 2010)

Telah dilaporkan bahwa penggunaan gabungan parasetamol dan

ibuprofen mengurangi demam sangat cepat. Demam hampir selalu

menyertai malaria falciparum tanpa komplikasi. Dalam sebuah studi acak


8

double-'blind ', dosis tunggal ibuprofen dibandingkan dengan parasetamol

untuk pengobatan demam > 38,5C karena malaria falciparum tanpa

komplikasi. Ibuprofen secara signifikan lebih efektif daripada parasetamol

dalam menurunkan suhu pada 4-5 jam pertama setelah pemberian dosis

dan dengan demikian harus dianggap sebagai agen antipiretik dalam

pengelolaan infeksi tanpa komplikasi falciparum, menyediakan tidak ada

kontraindikasi untuk penggunaannya. Evers et al. (2006) dalam Bushra R

dan Aslam N (2010), melakukan penelitian double blind untuk

menyelidiki kemanjuran zolmitriptan dan ibuprofen dalam pengobatan

migrain pada anak-anak dan remaja. Tarif nyeri setelah dua jam adalah

28% untuk plasebo, 62% untuk zolmitriptan dan 69% untuk ibuprofen.

g. Profilaksis Penyakit Alzheimers

Administrasi NSAID, terutama ibuprofen yang nyata mengurangi

neurodegeneration. Dalam beberapa penelitian , ibuprofen menunjukkan

hasil yang lebih unggul dibandingkan dengan plasebo dalam profilaksis

penyakit Alzheimer, bila diberikan dalam dosis rendah lebih lama . Studi

lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil sebelum ibuprofen

dapat direkomendasikan untuk indikasi ini. (Bushra R dan Aslam N,

2010)

h. Parkinsons Disease (PD)

Peradangan dan stres oksidatif telah terlibat sebagai mekanisme

patogen pada PD. Bukti epidemiologi menunjukkan bahwa penggunaan

rutin NSAID, terutama non aspirin COX inhibitor seperti ibuprofen lebih
9

rendah menimbulkan risiko PD. Ini disebabkan apoptosis secara

signifikan pada tahap awal dan akhir , menunjukkan bahwa agen ini anti -

inflamasi dapat menghambat proliferasi mikroba. (Bushra R dan Aslam

N, 2010)

i. Kanker Payudara

Harris et al. pada tahun (1999) dalam Bushra R dan Aslam N,

(2010) melakukan penelitian untuk pemanfaatan NSAID pada kanker

payudara. Tingkat kanker payudara menurun sekitar 50 % dengan asupan

ibuprofen reguler dan 40 % dengan asupan aspirin biasa. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa NSAID tertentu mungkin dapat menjadi agen

pencegahan kemoterapi efektif melawan kanker payudara. (Bushra R dan

Aslam N, 2010)

3.2 Pembuatan Garam Ibuprofen dan aplikasinya dalam sediaan tablet

Ibuprofen adalah obat anti inflamasi yang banyak digunakan dengan

dosis lazim yang besar (200-800 mg), baik dalam bentuk kapsul maupun

dalam bentuk tablet. Menurut Biopharmaceutics Classification System (BCS),

ibuprofen termasuk obat golongan II yaitu obat yang memiliki kelarutan

rendah dan permeabilitas tinggi. (Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal

M, 2009). Selain itu ibuprofen memiliki titik leleh yang rendah (75-77 C)

dan sifat alir yang buruk. Hal ini juga menjadi masalah dalam formulasinya

(Lund, 1994 dalam Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal M, 2009).

Menurut Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal M (dalam Dong,

2005),Berdasarkan masalah-masalah yang ada pada ibuprofen, maka


10

pembentukan garam dari ibuprofen dapat menjadi salah satu solusi dari

problem yang ada, tanpa merubah sifat farmakologinya, karena pembentukan

garam tidak mengubah struktur kimia dari senyawa. Garam ibuprofen dapat

meningkatkan disolusi obat dengan meningkatkan kemampuan untuk

terbasahi dan meningkatkan kelarutan dalam air; serta dapat meningkatkan

titik leleh dari ibuprofen sehingga masalah pada saat pengeringan dan

pencetakan tablet dalam formulasi dapat teratasi.

Sumber: (Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal M, 2009)

Gambar 1. Profil pelepasan obat dalam larutan dapar fosfat 0,2 M pH 7,2: (a) tablet
ibuprofen; (b) tablet natrium ibuprofen.

Uji disolusi

Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa tablet natrium ibuprofen hasil

sintesis memiliki persen pelepasan obat yang lebih tinggi dari pada tablet

ibuprofen, terutama pada menit-menit awal. Pada 10 menit pertama sekitar 72


11

% obat terlepas pada tablet natrium ibuprofen hasil sintesis, sedangkan pada

tablet ibuprofen hanya berkisar 32 %. Pada menit ke-60, tidak terlalu berbeda

antara persen obat yang dilepaskan pada tablet natrium ibuprofen hasil

sintesis maupun tablet ibuprofen, yaitu berkisar 90-100 %. Menurut

persyaratan Farmakope Indonesia IV, dalam waktu 30 menit, tidak kurang

dari 70 % ibuprofen harus dapat dilepaskan dari tablet ibuprofen, sehingga

tablet ibuprofen yang dibuat dapat dinyatakan telah memenuhi persyaratan uji

disolusi menurut Farmakope Indonesia IV; sedangkan pada tablet natrium

ibuprofen hasil sintesis, obat yang dilepaskan sudah lebih dari 70 % dalam

waktu 10 menit. Lebih cepatnya obat lepas pada menit-menit awal tablet

natrium ibuprofen hasil sintesis, dapat memberikan mula kerja obat yang

lebih cepat dibandingkan dengan tablet ibuprofen. Profil pelepasan obat pada

tablet ibuprofen dan natrium ibuprofen hasil sintesis dapat dilihat pada

Gambar diatas. (Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal M, 2009)

Jika dikaitkan dari hasil uji waktu hancur, tablet natrium ibuprofen

hasil sintesis memiliki waktu hancur yang lebih lama dari pada tablet

ibuprofen dalam larutan dapar fosfat 0,2 M pH 7,2, tetapi persen obat yang

dilepaskan lebih besar dari tablet ibuprofen, hal ini sesuai dengan

penampakan visual pada uji waktu hancur, tablet natrium ibuprofen hasil

sintesis hancur dengan membentuk hancuran yang mikrogranuler, sedangkan

tablet ibuprofen hancur dalam ukuran yang lebih besar atau makrogranuler.

(Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal M, 2009)


12

Granul natrium ibuprofen hasil sintesis memiliki sifat alir yang lebih

baik dan berat jenis yang lebih besar dari pada granul ibuprofen, sehingga

dapat mengurangi masalah dalam pencetakan tablet.

Bentuk garam natrium ibuprofen dalam sediaan tablet, pada menit-

menit awal menunjukkan pelepasan obat yang lebih tinggi dari pada

ibuprofen sehingga dapat memberikan mula kerja obat yang lebih cepat.

Natrium ibuprofen dapat dipertimbangkan sebagai solusi dari masalah

formulasi dan disolusi dari ibuprofen.

3.3 ?
13

BAB IV

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dalam makalah ini antara lain:

(SESUAI YANG ADA DI PEMBAHASAN)

1.

2.

3.

4.
14

DAFTAR PUSTAKA

Bushra R dan Aslam N. (2010). An Overview of Clinical Pharmacology of


Ibuprofen. Oman Medical Journal, Volume 25, Issue 3, July 2010, 155-
157

Hadisoewignyo L, Fudholi A dan Muchalal M. (2009). Pembuatan Garam


Ibuprofen dan Aplikasinya dalam Sediaan Tablet. Majalah Farmasi
Indonesia, 20(3):142,149

Anda mungkin juga menyukai