Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

DRY EYE SYNDROME

Pembimbing:
dr. Irma A. Pasaribu, SpM.

Penyusun:
Bhismar Imansyah Wiraatmaja (NIM 2008.04.0.0008)

Ginanda Nabilla Hardiyanti (NIM 2009.04.0.0125)

ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN
SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DRY EYE SYNDROME

Referat dengan judul Dry Eye Syndrome telah dikerjakan dan


diselesaikan sebagai salah satu tugas dalam menempuh kegiatan
kepaniteraan Dokter Muda Universitas Hang Tuah di bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSAL dr. Ramelan Surabaya.

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Irma A. Pasaribu, SpM

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan berkat
dan rahmat NYA kami dapat menyelesaikan penulisan referat dengan
judul Dry Eye Syndrome. Penyusunan referat ini adalah untuk memenuhi
tugas dalam rangkaian proses program studi pendidikan dokter di bagian
Ilmu Kesehatan Mata di RSAL dr. Ramelan Surabaya.
Ucapan terimakasih kami persembahkan kepada pihak RSAL dr.
Ramelan Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada kami
untuk mempelajari ilmu kesehatan mata secara lebih mendalam, serta dr.
Irma A. Pasaribu, SpM, selaku dokter pembimbing yang tak henti memberi
motivasi dan kritik saran membangun sehingga dapat terselesaikannya
tugas referat ini.
Kami sadar sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna dan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penyusun
dengan senang hati menerima kritik dan saran guna melengkapi referat ini
sehingga bisa menjadi lebih baik dan berguna untuk kita semua di masa
mendatang.

Surabaya, Juni 2015

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................ii

KATA PENGANTAR.....................................................................................iii

DAFTAR ISI.................................................................................................iv

DAFTAR TABEL...........................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vii

BAB I 8

ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI...........................................................8

1. 1 Anatomi.................................................................................................8

1.1.1 Palpebra..........................................................................................
1.1.2 Konjungtiva.....................................................................................
1.1.3 Kornea............................................................................................
1.1.4 Aparatus Lakrimalis......................................................................
1.2 Histologi................................................................................................11

1.2.1 Palpebra........................................................................................
1.2.2 Konjungtiva...................................................................................
1.2.3 Kornea..........................................................................................
1.2.4 Aparatus Lakrimalis......................................................................
1.3 Fisiologi................................................................................................14

1.3.1 Fisiologi air mata...........................................................................


1.3.2 Mekanisme pengeluaran air mata...............................................
1.3.3 Fisiologi Berkedip.........................................................................
BAB II 18

DRY EYE SYNDROME..............................................................................18

2.1 Definisi..................................................................................................18

2.2 Etiologi..................................................................................................18

2.3 Faktor Resiko.......................................................................................19

2.4 Tanda dan Gejala.................................................................................19

iv
2.5 Patogenesis.........................................................................................20

2.6 Klasifikasi.............................................................................................20

2.7 Tes Pemeriksaan..................................................................................21

2.8 Diagnosa..............................................................................................35

2.9 Treatment.............................................................................................36

BAB III 38

KESIMPULAN............................................................................................38

BAB IV 39

PENUTUP..................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................40

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bagan Faktor Resiko....19


Table 2.2 Tabel Derajat Keparahan.20
Tabel 2.3 Tabel Diagnosi...........................................................................35
Tabel 2.4 Tabel Terapi ..36

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Palpebra...................................................................................8


Gambar 1.2 Konjungtiva .....9
Gambar 1.3 Penampang Bola Mata..9
Gambar 1.4 Aparatus Lakirmalis..10
Gambar 1.5 Histologi Palpebra.12
Gambar 1.6 Histologi Konjungtiva12
Gambar 1.7 Histologi Kornea...13
Gambar 1.8 Histologo Aparatus Lakrimalis14
Gambar 1.9 Lapisan tear film...15
Gambar 1.10 Sistem Lakrimalis...16
Gambar 2.1 Bagan Etiologi...18

vii
BAB I
ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI

1. 1 Anatomi
1.1.1 Palpebra
Ketika menutup, palpebra menutupi bagian anterior bola
mata agar mata terlindungi dari cedera dan sinar yang berlebihan.
Selain itu juga berfungsi untuk melembabkan kornea dengan
menyebarkan cairan lakrimalis. Palpebra terdiri atas palpebra
superior dan inferior yang diperkuat oleh jaringan ikat dan
didalamnya terdapat kelenjar tarsal yang mensekresi lipid untuk
melumasi palpebra dan mencegah palpebra superior dan inferior
saling menempel ketika menutup. Lipid tersebut juga berfungsi
sebagai barier terhadap cairan air mata agar tidak keluar dari mata,
namun jika produksi air mata berlebihan maka air mata akan jatuh
membasahi pipi. Bagian dalam palpebra dilapisi oleh konjungtiva
palpebra dibagian dalamnya dan tersambung dengan konjungtiva
bulbi yang melapisi sklera (Keith L. Moore, 2007).

Gambar 1.1 Palpebra


(Grays Anatomy for Student,
Richard L. Drake, 2007)

1.1.2 Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa lembut yang melapisi
bagian dalam palpebra hingga bagian anterior sklera. Konjungtiva yang

8
melapisi palpebra lebih tebal dan kaya pembuluh darah, namun
konjungtiva yang melapisi sklera lebih tipis. Garis refleksi dari palpebra ke
sklera disebut dengan fornix konjungtiva, dimana bagian fornix superior
menerima pembukaan kelenjar lakrimalis (Harold Ellis, 2006).

Gambar 1.2 Konjungtiva


(Grays Anatomy for Student, Richard L. Drake, 2007)

1.1.3 Kornea
Kornea adalah daerah sirkuler pada bagian anterior dari lapisan
fibrous luar bola mata. Kornea dapat membesar untuk merefraksi cahaya
yang masuk ke mata. Kornea transparan, sensitif terhadap sentuhan,
diinervasi oleh nervus ophtalmikus (CN V1), dan avaskular. Kornea
mendapatkan nutrisi dari kapiler perifer, humor akuos, dan kelenjar
lakrimalis. Kornea juga mengabsorbsi oksigen langsung dari udara (Keith
L. Moore, 2006).

Gambar 1.3 Penampang Bola Mata


(Grays Anatomy for Student, Richard L. Drake, 2007)

9
1.1.4 Aparatus Lakrimalis
Aparatus lakrimalis bertugas dalam produksi, perpindahan,
dan pengaliran cairan lakrimalis di permukaan bola mata (Richard
L. Drake, 2007). Aparatus lakrimalis terdiri dari:

Gambar 1.4 Aparatus Lakirmalis


(Essential Clinical Anatomy Edisi 3, Keith L Moore, 2007)

1. Kelenjar lakrimalis
Berfungsi mensekresi cairan lakrimalis yaitu cairan
fisiologis yang mengandung enzim lisozim yang bersifat
bakteriosidal. Cairan ini melembabkan permukaan
konjungtiva, kornea, dan menyediakan nutrisi dan oksigen
bagi kornea. Jika produksinya berlebihan disebut air mata
(Keith L. Moore, 2007).
Kelenjar lakrimalis berbentuk seperti kacang almond
dan memiliki panjang 2 cm yang terbentang di fosa kelenjar
lakrimalis bagian superolateral orbita. Kelenjar lakrimalis
dibagi menjadi bagian superior (orbital) dan inferior
(palpebral) oleh tendon muskulus levator palpebra superior
(Keith L. Moore, 2007).
2. Duktus lakrimalis
Bertugas sebagai penyalur cairan lakrimalis dari
kelenjar lakrimalis ke kantong konjungtiva (Keith L. Moore,
2007).
3. Kanalikuli lakrimalis
Mulai dari punctum lakrimalis pada papila lakrimalis
dekat sudut medial mata dan mengalirkan cairan lakrimalis

10
dari lakus lakrimalis (tempat air mata dikumpulkan) ke
kantong lakrimalis (Keith L. Moore, 2007).
4. Duktus nasolakrimalis
Berfungsi membawa cairan lakrimalis ke meatus
nasalis inferior (Keith L. Moore, 2007).

1.2 Histologi
1.2.1 Palpebra

Palpebra merupakan lipatan jaringan yang senantiasa


bergerak untuk menjaga bola mata. Kulit yang melapisi palpebra
bersifat longgar dan elastis, memungkinkan untuk membengkak
secara ekstrim, dan kemudian kembali ke bentuk dan ukuran
normal (Luiz Carlos Junquera, 2005).
Ada 3 tipe kelenjar yang berada di palpebra yaitu kelenjar
meibomian, kelenjar moll, dan kelenjar zeis. Kelenjar meibomian
adalah kelanjar sebasea panjang yang terletak di tarsal plate dan
tidak berhubungan dengan folikel rambut. Kelenjar meibomian
memproduksi substansi sebasea yang membentuk lapisan minyak
pada permukaan film air mata yang membantu mencegah
evaporasi dari lapisan air mata. Kelenjar zeis adalah modifikasi
kelenjar sebasea yang lebih kecil dan berhubungan dengan folikel
bulu mata. Kelenjar keringat moll adalah tubulus sinus yang tidak
bercabang yang mensekresi keringat melalui folikel bulu mata (Luiz
Carlos Junquera, 2005).

11
Gambar 1.5 Histologi Palpebra
(Basic Histologi Text and Atlas edisi 11, 2005)

1.2.2 Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa transparan tipis yang


membungkus bagian anterior mata hingga kornea dan bagian
permukaan dalam palpebra. Konjungtiva terdiri dari epitel berlapis
silindris dengan sejumlah sel goblet dan pada lamina propianya
terdiri dari jaringan ikat longgar (Luiz Carlos Junquera, 2005).

Gambar 1.6
Histologi Konjungtiva
(Wheaters Functional
Histology a Text and Colour
Atlas Fifth Edition, Barbara
Young 2007)

12
1.2.3 Kornea
Kornea merupakan bagian tebal yang transparan yang menutup begian
anterior bola mata. Kornea merupakan struktur yang avaskular yang terdiri dari
5 lapisan. Bagian permukaan luarnya dilapisi oleh epitel berlapis pipih tak
bertanduk, epitel berada di lamina basalis yang di sokong oleh lapisan stroma
kornea yang disebut dengan Membran Bowman. Bagian penting dari kornea
yaitu substansia propia atau stroma yang terdiri dari bentukan jaringan kolagen
regular yang membentuk lamela tipis. Bagian paling dalam dari kornea yaitu sel
endotel yang pipih yang disokong oleh membran tebal yang disebut membran
descemet. Endotelium kornea secara aktif memompa cairan dari substansia
propia, mencegah cairan berlebihan yang menyebabkan kornea menjadi
buram. Kornea kaya akan inervasi oleh free nerve ending yang menyebabkan
kornea sangat sensitif terhadap nyeri.

Gambar 1.7 Histologi Kornea


(Wheaters Functional Histology a Text and Colour Atlas Fifth Edition, Barbara Young
2007)

1.2.4 Aparatus Lakrimalis

Kelenjar lakrimalis responsibel terhadap sekresi air mata yaitu


cairan yang mengandung enzim lisozim antibakteri dan elektrolit yang
mirip dengan konsentrasi plasma. Secara histologi, kelenjar lakrimalis
strukturnya mirip dengan kelenjar ludah yaitu berbentuk lobuler dan
campuran bentukan tubulo-asinar dari unit sekretori. Sel sekretori
memiliki tipe yang serupa dengan sel serous yang terletak di basal

13
nukleus dan tercat kuat dengan sitoplasma granular. Setiap kelenjar
mengalirkan air mata melalui duktuks ke fornix superior. Air mata
mengalir dari permukaan anterior bola mata ke cavitas nasalis melalui
duktus nasolakrimalis (Barbara Young, 2007)

Gambar 1.8 Histologo Aparatus Lakrimalis


(Basic Histologi Text and Atlas edisi 11, 2005)

1.3 Fisiologi
1.3.1 Fisiologi air mata

Film air mata preokular (preocular tear film / PTOF) memiliki 3 lapisan
yang terdiri dari lipid, aqueous, dan mukus. Kelenjar meibomian pilosebasea
pada palpebra memproduksi sebagian besar lapisan lipid. Kelenjar zeis dan
moll pada tepi palpebra yang berhubungan dengan bulu mata juga
berkontribusi pada lapisan ini. Lapisan ini ini berfungsi dalam stabilisasi lapisan
dan memperlambat evaporasi (Clifford A. Scott, 2011).

Lapisan lipid
Memiliki ketebalan <0,1m. Lipid meibomian bersifat lilin dan kolesterol
ester. Berat molekul tinggi dan kurang polar yang penting untuk formasi,
stabilisasi, dan proteksi PTOF. Perubahan polaritas pada penyakit
seperti blepharitis dapat menyebabkan gangguan permukaan bola mata
dan menunjukkan gejala mata kering (Clifford A. Scott, 2011).

Lapisan aquos

14
90% dari PTOF adalah lapisan aquos. Sebagian besar yang
berkontribusi membentuk lapisan ini adalah kelenjar lakrimalis aksesori
yaitu Krause dan Wolfring. Lapisan aquos mengandung lisozim dan
protein meliputi laktoferrin yang menghambat aktivitas antibakterial.
Analisis laboratorium menunjukkan fungsinya dalam evaluasi diagnostik
lapisan aquos (Clifford A. Scott, 2011).
Lapisan mukus
Merupakan lapisan terdalam dari PTOF. Lapisan mukus diproduksi oleh
sel goblet konjungtiva, mukus melumasi palpebra dan menyerap bagian
diantara lapisan aquos dan epitel kornea yang bersifat hidrofobik serta
mengumpulkan debris-debris selular dari permukaan okular (Clifford A.
Scott, 2011).

Gambar 1.9 Lapisan tear film


American Optometric Association, 2011
1.3.2 Mekanisme pengeluaran air mata
Produksi cairan lakrimalis di stimulasi oleh impuls parasimpatik
nervus fasialis. Cairan lakrimalis mengalir ke arah inferior mengikuti
pengaruh gravitasi. Ketika kornea mengering, kelopak mata akan
menutup sehingga mendorong film cairan ke arah tengah dan melintasi
kornea. Selama perjalanannya, cairan ini akan membawa material asing
seperti debu kemudian di dorong ke arah sudut medial mata dan
dikumpulkan di danau lakrimalis lalu di alirkan menuju puntum lakrimalis
dan kanalikuli lakrimalis menuju kantong lakrimalis. Dari kantong ini,
cairan lakrimalis akan dialirkan menuju meatus nasalis inferior melalu
duktus nasolakrimalis. Cairan lakrimalis berfungsi dalam membersihkan

15
partikel dan bahan iritan serta menyediakan nutrisi dan oksigen untuk
kornea (Keith L. Moore, 2007).

Gambar 1.10 Sistem Lakrimalis


(Clinical Anatomy Harold Ellis Edisi 11, 2006)

1.3.3 Fisiologi Berkedip


Rangsangan berkedip di bagi mejadi tiga kategori, yaitu (Janine A Smith,
2007):
Berkedip involunter yaitu berkedip secara spontan, tanpa stimulus
dengan generator kedipan di otak yang belum diketaui secara jelas.
Berkedip volunter yaitu secara sadar membuka dan menutup kelompak
mata.
Refleks berkedip adalah berkedip yang dirangsang bila ada stimulus
eksternal melalui nervus trigeminus dan nervus fasialis.

Berkedip melibatkan dua otot yaitu muskulus levator palpebra


superior dan muskulus orbikularis okuli. Aktivitas berkedip melibatkan
nukleus kaudatus dan girus presentralis media, dan inhibisi berkedip
melibatkan korteks frontal (Janine A Smith, 2007).
Mengedip berperan dalam produksi, distribusi dan drainase air
mata. Setiap berkedip, palpebra menutup miring resleting dan
menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih
memenuhi sakus konjungtiva kemudian bergerak ke medial untuk
memasuki sistem eksresi. Sewaktu palpebra mulai membuka, aparatus

16
ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya.
Kontraksi muskulus orbikularis okuli untuk menutup sempurna palpebra
akan menimbulkan tekanan menekan dan mendorong seluruh air mata
melewati kanalikuli, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan meatus
inferior. Tear film dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik dan
untuk rupturnya tear film membutuhkan waktu sekitar 3-5 menit (Janine A
Smith, 2007).

17
BAB II
DRY EYE SYNDROME

2.1 Definisi
Dry eye adalah suatu kondisi dimana terdapat insufisiensi air mata untuk
melumasi dan memelihara mata (Clifford A. Scott, 2011). Dry eye syndrome
juga dikenal sebagai keratoconjugctivitis sicca (KCS) atau keratitis sicca adalah
penyakit multifaktor dari air mata dan permukaan bola mata yang menyebabkan
ketidaknyamanan, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan lapisan air mata
yang berpotensi merusak permukaan bola mata (C Stephen Foster, 2014).
2.2 Etiologi
Penyebab mata kering diklasifikasikan menjadi kelompok defisiensi
aqueous dan kelompok evaporasi. Pemeriksaan menggunakan tes schirmer di
indikasikan untuk defisiensi aqueous dan pemeriksaan tear break up test di
indikasikan untuk kelompok evaporasi. Penyebab mata kering harus diketahui
melalui riwayat pasien, pemeriksaan, dan evaluasi permukaan bola mata agar
dapat diberikan terapi yang sesuai target (Amit Patel, 2012).

bagan 2.1 Bagan Etiologi


(Investigation and Management Dry Eyes, Academy For Eye CareExcllence 2014)

18
2.3 Faktor Resiko

tabel 2.1 Bagan Faktor Resiko

(Dry Eye Syndrome in American Academy of Ophthalmologi, 2013)

2.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala tergantung dari keparahan sindroma mata kering atau
keratitis sicca, sebagian besar penderita mengeluhkan keadaan sebagai berikut
(C Stephen Foster, 2014) :
sensasi benda asing, mata kering, dan berpasir
hyperemia
mucoid discharge
iritasi mata
pengeluaran air mata yang berlebihan
photophobia
penglihatan kabur

Keluhan tersebut sering memberat pada lingkungan berasap atau


lingkungan kering, ruangan panas, dan aktifitas lama di depan komputer atau
membaca lama (C Stephen Foster, 2014).

19
2.5 Patogenesis
Permukaan bola mata dan kelenjar lakrimalis merupakan unit yang
terintegrasi. Penyakit atau disfungsi dari unit fungsional dapat menyebabkan
ketidakstabilan dan kekurangan film air mata yang mengakibatkan gejala iritasi
bola mata dan memungkinkan kerusakan epitel permukaan bola mata.
Disfungsi dari unit ini dapat disebabkan oleh faktor usia, penurunan faktor
suportif (seperti hormon androgen), penyakit inflamasi sistemik (seperti Sindrom
Sjogren atau rheumatoid arthritis), gangguan pada permukaan bola mata
(seperti kerratitis herpes simplek) atau pembedahan yang mengenai nervus
trigeminus, dan penyakit sistemik atau pengobatan yang mengganggu nervus
kolinergik yang menstimulasi sekresi air mata (Amit Patel, 2012).

2.6 Klasifikasi

Table 2.2 Tabel Derajat Keparahan


(Investigation and Management Dry Eyes, Academy For Eye CareExcellence 2014)

20
2.7 Tes Pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi sistem lakrimalis dan kelopak mata, antara lain
(Sidarta Ilyas, 2015):
1. Tes Schirmer
Tes Schimer 1
Dasar
Uji ini merupakan hasil kuantitatif dengan teknik yang sederhana.
Pemeriksaan ini merupakan hasil kasar produksi total air mata.
Tujuan
Tes ini merupakan pemeriksaan fungsi sekresi sistem lakrimlais.
Uji ini untuk menentukan apakah produksi air mata cukup untuk
membasahi mata. Pemeriksaan ini mengukur sekresi basal dan
refleks ekskresi sistem lakrimalis. Refleks sekresi terutama
berasal dari Worlfring dan Krausa.
Nilai normal
o schirmer 1 tes : 10-30 mm filter basah
o basal sekresi tes : >8 mm filter basah
o schirmer 2 tes : >15 mm filter basah
Nilai kritis
o schirmer 1 tes
<10 mm filter basah dianggap abnormal
<5 mm selamanya disertai sindrom Sjogren
nilai abnormal ini mengukur kedua refleks atau
sekresi basal
o basal sekresi tes : <8 mm dicurigai gangguan sekresi
basal
o schirmer 2 tes : <15 mm dicurigai kekurangan sekresi
refleks air mata

Alat
Kertas filter Whatman 41 (panjang 35mm dan lebar 5 mm) yang
dilipat 5mm dari ujungnya
Teknik
o Pasien diperiksa dalam kamar dengan penerangan redup
atau tidak terlalu terang
o diperiksa tanpa atau dengan lokal anestesi

21
o pemeriksaan dilakukan pada kedua mata bersamaan
o lipatan kertas filter diletakkan pada 1/3 lateral forniks
inferior, dengan bagian lekukan kertas 5 mm diletakkan di
forniks inferior.
o pasien diminta memfiksasikan matanya pada titik di atas
bidang horizontal selama 5 menit.
o mata diminta tidak berkedip terlalu banyak
o kertas filter diangkat
o dilihat bagian filter yang basah sesudah 5 menit dan di ukur
dari bagian filter yang dilipat
Nilai
o apabila filter basah 10-30 mm maka sekresi lakrimal normal
atau ada pseudoepifora
o nilai normla adalah 10 mm-25 mm
o apabila basah lebih dari 30 mm hal ini tidak ada arti, pasien
ini pseudoepifora, hipersekresi atau normal
o pada orang tua normal bagian filter basah dapat kurang
dari 15 mm.
o apabila kurang daripada 5 mm menunjukkan sekresi basal
kurang

Tes Schirmer 2
Tujuan
Tes ini untuk menilai refleks sekresi kelenjar lakrimalis.

Dasar
Rangsangan refleks sekresi kelenjar air mata dapat diberikan
dengan merangsang saraf trigeminus, kecuali bila terdapat
kegagalan total refleks trigeminus. Rangsangan pada mukosa
hidung akan mengakibatkan refleks sekresi sistem lakrimalis.
Alat
o Anestetik lokal
o kertas filter
Teknik
o satu mata diberi anestetik lokal
o diletakkan kertas filter di forniks inferior mata yang sudah
diberi anestetik lokal

22
o pada mukosa hidung sisi mata yang tidak diberi anestetik
dirangsang dengan kapas kering selama 2 menit atau
dengan amonia 10%
o ditunggu 2-5 menit
o dilihat bagian filter yang basah
Nilai
Bila tidak terdapat bertambahnya pembasahan kertas filter berarti
kegagalan total refleks sekresi, bila bertambah berarti refleks
sekresi normal. Pada keadaan normal kertas filter menjadi basah
15 mm sesudah 15 menit.
2. Uji sekresi basal
Tujuan
Tes ini untuk memeriksa kemampuan sekresi kelenjar basal (kelenjar
Wolfring dan Krause) dengan menghilangkan faktor reflex sekresi air
mata dari kelenjar lakrimal

Dasar
Dengan memberikan anestesi pada mata maka akan keluar sekresi
air mata yang tidak diakibatkan rangsangan sehingga timbul reflex
sekresi.
Alat
o Anestesik local.
o Kertas filter Whatman (panjang 35 mm dan lebar 5 mm)
Teknik
o Sebaiknya pemeriksaan dilakukan di kamar gelap atau tanpa
sinar yang merangsang
o 1-2 tetes anestesik local diberikan pada kedua mata.
o Sesudah menunggu 1-2 menit kerja anestetik, forniks inferior
mata tersebut dikeringkan dengan kapas.
o Kemudian kapas dengan kokain 5% dan adrenalin klorida
diusapkan pada konjungtiva untuk mendapatkan anestesi yang
lebih dalam.
o Ditunggu sampai hiperemi konjungtiva menghilang.
o Ditaruh filter selama 5 menit, kemudian diukur bagian yang
basah daripada filter.

23
Nilai
Bila sesudah 5 menit filter yang basah kurang daripada 10 mm berarti
hiposekresi terjadi akibat gangguan sekresi basal.
3. Uji phenol red thread
Tujuan
Pemeriksaan kuantitas air mata. Uji phenol red thread (Uji serat
benag merah) merupakan uji yang kurang invasive,
Dasar
Fenol merah sangat rentan pH yang akan berubah dari warna kuning
menjadi merah bila dibasahi air mata.
Alat
Serat (benang) katun yang diwarnai dengan fenol merah.
Teknik
Bagian yang melipat pada ujung benang yang panjangnya 70 mm
ditaruh pada forniks inferior. Setelah 15 detik dilihat perubahan warna
menjadi warna merah dari benang yang menunjukkan panjang
benang yang dibasahi air mata.
Nilai
Normal bagian yang basah ini antara 9-20 mm. Mata kering akan
mempunyai nilai basah yang kurang dari 9 mm. Berbagai uji lainnya
akan mempersulit penilaian. Uji ini sukar dipercaya pada dry eye
yang ringan. Uji ini terutama untuk membedakan keadaan normal dan
dry eye yang berat. Pemeriksaan ini tidak mungkin membedakan
sekresi basal dengan pemeriksaan refleks sekresi air mata.
Diagnosis bandingnya sangat lebar dan etiologi sukar untuk
ditentukan dengan gambaran klinik
Teknik pemeriksaan.
o Pasien diminta membuka matanya selama 15 detik.
o Benang merah phenol diletakkan pada forniks inferior.
o Berturut-turut sebanyak 3 kali dilakukan dan dibaca hasil rata-
rata dalam mm basahnya benang.
4. Uji laboratorium air mata
Beberapa pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui mata
kering seperti : osmolaritas, jumlah laktoferin dan impresi sitologi epitel
konjungtiva.
A. Pemeriksaan Osmolaritas Air Mata

24
Pemeriksaan kualitas tear film
Air mata mempunyai osmolaritas 302 + 6,3 mOsm/L pada individu
normal, pada KCS osmolaritas mata meningkat Antara 330 dan 340
mOsm/L karena penurunan aliran dan peningkatan evaporasi dari air
mata. Osmolaritas air mata mempunyai sensitivitas 90% dan spesifitas
95%, saying besarnya biaya dan terbatasnya mikroosmolmeter untuk
mengukur air mata mempunyai kegunaan klinis yang terbatas.
Tear Osmolarity
Merupakan pemeriksaan global mata sindrom mata kering.
Teknik :
o Chip mikroskop diletakkan pada tempatnya.
o Diletakan kelopak bawah dengan micrometer.
o Ditunggu sehingga kapiler ini memperlihatkan beberapa nL.
o Letakkan kapiler ditempatnya.
o Osmolaritasnya dapat dibaca

B. Pemeriksaan Lisozim Air Mata


Pemeriksaan kualitas (stabilitas) tear film
Metode ini memakai kertas filter berbentuk cakram ukuran 6,0 mm diletakan
didalam sakus konjungtiva untuk menyerap air mata. Konsentrasi lisozim
biasanya berkurang pada sjorgren syndrome.
C. Laktoferin Tear Test
Pemeriksaan kualitas (stabilitas) tear film
Sample air mata diamnil dengan lempung kertas filter. Pada pasien normal
didapatkan kosentrasi 1.42 g/L. terdapat hubungan erat Antara laktoferin rata-
rata dan assay lisozim. Nilai normal laktoferin terendah adalah 0.78 g/L. LTT
merupakan spesifitas sangat tinggi, sensitivitas baik bila dilakukan bersamaan
dengan test air mata kualitatif. Dan korelasi baik dengan tes imunologik dan
biopsy untuk syogren sindrom.
D. Uji Ferning (Occular Ferning Test)
Pemeriksaan kualitas tear film
Air mata yang terdapat di forniks dikumpulkan dengan spatula atau
mikropipet tanpa anastesi topical. Sampel air mata diletakkan diatas gelas
objek, ditutup dan dibiarkan kering(5-10 menit) pada suhu kamar.

25
Kelembabanyang tinggi dapat merubah dan merusak gambaran Ferning cairan
air mata. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan Ferning diperlukan kondisi
yang tetap dengan pH yang tidak lebih dari 50% dengan suhu 20 dan 26
derajat. Yang akan meberikan gambaran tanpa jarak ruang. Uji ini merupakan
uji kualitas defisiensi mucin. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai mata
kering. Pada pemeriksaan terlihat fenomena ferning merupakan berupa
pertumbuhan dendrite pada air mata yang dikeringkan. Dilakukan dengan
mengambil biasan konjungtiva.
Portneuf Medical Center
E. Uji Ferning (TFT)
Untuk membuat diagnosis kualitas air mata (konsentrasi elektrolit), KCS,
hiperosmolaritas
Cara
o Tear ferning test (penambahan koleksi batang-rod)
o Penampungan dengan batang kaca

Teknik
o Pasien duduk dengan meletakan kepala dengan santai dengan
penyinaran redup.
o 1 mikroliter air mata dipungut dengan mikropipet dari meniscus
bawah.
o Air mata ditetes pada mikroslide dan dibiarkan menguap pada
suhu 20 + / - 2 derajat selama 10 menit.
o Kemudian dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran 100-
400x, lihat dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40-
100 kali. Secara mikroskopik tampak gambaran arborisasi seperti
pohon pakis ada mata normal.
o Pola kristalisasi ferning diklasifikasi tipe 1 : seragan, tipe 2 :
banyak dengan ukuran lebih kecil, tipe 3 : terdapat sedikit ferning
tidak lengkap, dan tipe 4 : tidak terdapat ferning.

Alat
o Mikroskop.

26
o Gelas kapiler,
o Penerangan cukup mikroskop.

Nilai
Nilai normal dan terdapat pada 82.7% populasi, rendahnya viskositas
mukos, kemampuan distribusi secara merata pada permukaan bola
mata, bila terdapat pola :
Daun pakis yang seragam satu pakis besar dengan cabang
yang rapat.
Cabang yang lebih pendek, ruang kosong, viskositas tinggi,
disebabkan berhubungan dengan pH, keseimbangan elektrolit
dan dehidrasi akibat penguapan lapisan air diatasnya,
memberikan gambaran : Daun pakis terlihat sebagian,
ruangan besar kosong atau gumpalan mucin yang tidak
berbentuk.
Tidak terdapat bentuk daun pakis disebabkan kontaminasi
atau mukosa degenerasi bercampur dengan sel.

F. Impresi SItologi Konjungtiva


Pemeriksaan untuk sel goblet konjungtiva
Pada orang normal sel goblet banyak dikwadran infra-nasal.
Hilangnya sel goblet ditemukan pada penderita keratokonjungtivitis
sikka, trakoma, sikatriks ocular pada Steven Johnson Syndrome dan
avitaminosis A.
5. Uji warna primer
Tujuan

Untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi system lakrimal.


Dasar

Air mata masuk dalam hidung melalui system ekskresi lakrimal.


Normal fluorescein pada konjungtiva forniks sampai di hidung dalam
waktu 2 menit.
Alat

27
o Sumber cahaya untuk dapat melihat kedalam hidung.
o Speculum hidung.
o Zat warna fluoresin 2%.
o Anestetik local pantokain 1%.
Teknik
o Pasien duduk dengan kepala bersandar sehingga pemeriksa
dapat melihat dasar hidung.
o 1-2 tetes fluoresin diteteskan pada konjungtiva.
o Kawat dengan kapas dimasukkan pada meatus inferior hidung
(kapas sebelumnya sudah ditetes pantokain dengan adrenalin
klorida) (1:1000) sampai sejauh mungkin pada meatus inferior.
o Ditunggu 3 menit.
o Kemudian kapas dikeluarkan dari rongga hidung.

Nilai
o Bila sesudah 3 menit kapas yang dikeluarkan berwarna hijau
disebut tes ini positif.
o Tes yang positif berarti tidak adanya penyumbatan duktus lakrimal
dan bila dijumpai epifora berarti terdapatnya hipersekresi kelenjar
air mata.
o Tes disebut negative bila tidak terdapat warna hijau sesudah 3
menit pada kapas, yang berarti terdapat penyumbatan yang
mengakibatkan epifora.

6. Uji warna sekunder


Tujuan
Tes untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi system lakrimal.
Dasar
Bila terdapat fungsi yang normal pada system ekskresi air mata maka
zat warna yang diberikan pada air mata akan telihat juga mengalir ke
dalam hidung hal ini mungkin akibat penyumbatan system eksresi
lakrimal sebagian. Pada keadaan ini bila dilakukan pemompaan
dengan garam fisiologik melalui system eksresi lakrimal maka zat
warna akan terlihat di hidung (dye tes sekunder)
Alat
28
o Zat warna fluoresin 2%.
o Sepotong kapas
o Jam tangan (pengukur waktu).
Teknik
o Sepotong kapas kecil diletakkan pada turbinate inferior rongga
hidung.
o Fluoresin diteteskan pada konjungtiva.
o Setelah 2 menit kapas dikeluarkan dari rongga hidung.
o Dilihat apakah terdapat warna hijau pada kapas.
o Bila terdapat zat warna hijau pada kapas setelah 5 menit maka
dilakukan irigasi melalui sakus lakrimal (Jones II) sesudah pada
hidung diletakkan kapas.
o Kapas kemudian dilihat
Nilai
o Bila fungsi system ekskresi lakrimal normal maka akan terlihat zat
warna hijau pada kapas setelah 2 menit (Jones I positif), bila
waktu lebih lama daripada 2 menit berate fungsi system ekskresi
lakrimal kurang.
o Tidak terdapatnya warna hijau pada kapas sesudah irigasi berarti
fungsi ekskresi lakrimal sama sekali tidak ada.

7. Uji fluoresensi pada fungsi sistem lakrimalis


Tujuan
Tes untuk melihat fungsi saluran eksresi sistem lakrimal.
Dasar
Air mata masuk hidung melalui system ekskresi lakrimal. Air mata
dengan fluorescein akan masuk ke dalam system lakrimal dan terlihat
di hidung dengan warna hijau.
Alat
Zat warna fluoresin 2%.
Teknik
o Fluoresin diteteskan pada satu mata.
o Pasien diminta berkedip keras beberapa kali.
o Akhir menit ke-6 diminta beringus (bersin) dan menyekanya
dengan kertas tissue. Pasien dapat juga menelan ludah.
o Dilihat adanya zat warna menempel pada kertas tissue, dari
hidung atau dari mulut.
Nilai

29
Bila terlihat zat warna fluoresin pada kertas tissue berarti system
ekskresi lakrimal baik.
8. Uji kanalikuli
Tujuan
Pemeriksaan ini untuk melihat fungsi kanalikuli lakrimal atas dan
bawah.
Dasar
Gangguan penyalur ekskresi dapat dilihat dari susunan anatomik dan
fisiologik.
Alat
o Anastesi local.
o Semprit dengan garam fisiologik.
Teknik
o Lokal anestetik diteteskan pada mata.
o Garam fisiologik dengan semprit dipompa melalui kanalikuli
lakrimal bawah.
o Dilihat keluarnya garam fisiologik dari puncgum atas.
Nilai
o Bila terlihat air keluar dari pungtum lakrimal atas berarti fungsi
kanalikuli atas baik, dan terdapatnya penyumbatan pada bagian
lebih jauh daripada pungtum atau di daerah sakus (duktus
nasolakrimal).
o Bila air tidak keluar dari pungtum atas berarti fungsi pungtum
lakrimal atas terganggu atau terdapat fungsi saluran sesudah
sakus yang baik.
9. Uji anel
Tujuan
Tes untuk menentukan fungsi ekskresi system lakrimal. Uji Anel
adalah suatu uji untuk melakukan pemeriksaan fungsi pengeluaran
air mata ke dalam rongga hidung.
Dasar
Air mata masuk kedalam hidung melalui system ekskresi lakrimal.
Alat
o Lokal anestesi tetes mata (pantokain/tetrakain)
o Semprit 2 cc dengan jarum anel.
o Garam fisiologik.
o Dilatator.
Teknik
o Pasien duduk atau tidur.
30
o Mata ditetes anestetik lokal.
o Ditunggu sampai rasa pedas hilang.
o Pungtum diperlebar dengan dilatator.
o Jarum anel yang berada pada semprit dimasukkan horizontal
melalui kanalikuli lakrimal sampai masuk sakus lakrimal.
o Garam fisiologik dimasukkan ke dalam sakus.
o Pasien ditanya apakah merasa sesuatu (pahit atau asin) pada
tenggorokan dan apakah terlihat reaksi menelan setelah
semprotan garam fisiologik.
Nilai
o Bila terlihat adanya reaksi menelan berarti garam fisiologik masuk
tenggorok menunjukkan fungsi system ekskresi lakrimal normal.
o Bila tidak ada reflex menelan dan terlihat garam fisiologik keluar
melalui pungtum lakrimal atas berarti fungsi apparatus lakrimal
tidak ada atau duktus nasolacrimal tertutup.
10. Dakriosistografi
Tujuan
Tes untuk melihat struktur sistem ekskresi lakrimal yang patologik
dengan kontras dengan pemeriksaan radiologis.
Dasar
Zat warna kontras dapat dimasukkan ke dalam system lakrimal yang
terbuka dan dilihat dengan fotografi.
Alat
o Anestetik local tetes mata.
o Kontras media (minyak) pantopaque.
o Semprit berisi garam fisiologik jarum anel.
Teknik
o Isi sakus lakrimal dikosongkan dengan memberikan tekanan pada
sakus.
o Mata ditetes obat anestesi topikal.
o Dilakukan dilatasi pungtum dengan dilatator.
o Isi sakus dibersihkan dengan irigasi garam fisiologik.
o Sebaiknya bila memasukkan kontras pada kanalikuli bawah maka
pungtum lakrimal atas ditutup dengan dilatator.
o Bila terdapat kelebihan kontras yang terdapat pada kantus atau
forniks dibersihkan.

31
o Keadaan yang sama dilakukan pada apparatus lakrimal
sebelahnya (untuk perbandingan bila normal atau untuk melihat
keadaan yang sama).
o Dalam beberapa menit (segera) dibuat foto posteroanterior
(Caldwell atau water) dan oblik (untuk melihat satu kanal optik)
(foto lateral kurang berarti)
Nilai
o Pada keadaan normal, sakus lakrimal terlihat terdapat dalam
orbita, duktus nasolacrimal dalam tulang kanal nasolacrimal yang
masuk pada turbinate nasi inferior.
o Dalam keadaan abnormal dapat terlihat penyumbatan,
diverticulum, fistul ke dalam sinus, adanya dakriolit dan bentuk
septum nasi abnormal.

11. Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva


Rose bengal merupakan zat warna yang bila diberikan pada
permukaan mata akan diambil oleh sel epitel yang mati. Pewarnaan
positif konjungtiva oleh rose bengal akan selalu terlihat pada diagnosa
mata kering. Uji ini lebih sensitif daripada fluoresein, warna rose bengal
akan mewarnai sel-sel epitel kornea yang tidak vital juga sel-sel pada
konjungtiva.
Penilaian: 0-4+, bila 3+ - 4+ berarti pewarnaan lebih banyak,
secara klinis menyatakan hiposekresi lakrimalis.

12. Tear film break up time


Merupakan pemeriksaan kualitas stabilitas tear film.
Alat:
o lampu celah (slit lamp)
o fluoresein
o sinar dengan filter koblat biru
o stopwatch

Dasar

32
o Bila tear film break up time kurang dibanding kecepatan
berkedipnya mata, mata tidak terlindung dan akan
mengakibatkan terlihatnya gejala mata kering pada mata
o Berkedip akan meratakan film air mata pada permukaan
mata. Bila mata dibuka lama tanpa mengedip maka film air
mata mulai pecah atau terbuka
o Pada keadaan ini mata akan merasa pedas dan mata
dipaksa berkedip
o Pada mata kering air mata tidak stabil sehingga mudah
pecah dalam waktu yang lebih pendek. Dapat dikatakan
bila break up time pendek mungkin sekali menderita mata
kering
o Bercak kering merupakan bagian dari penguapan normal
dan penyebaran air mata. Pada mata normal bercak kering
terbentuk antara kedipan kira-kira 12 detik.
o Waktu antara berkedip lengkap sampai timbulnya bercak
kering sesudah mata di buka minimal terjadi sesudah 15-20
detik, tidak perna kurang dari 10 detik.

2.8 Diagnosa

tabel 2.3 Tabel Diagnosi


( Investigation and Management Dry Eyes, Academy For Eye CareExcellence 2014)

33
2.9 Treatment
Terapi dry eye syndrome bergantung dari keparahannya (Amit Patel,
2012):

tabel 2.4 Tabel Terapi


(Investigation and Management Dry Eyes, Academy For Eye CareExcellence 2014)
1. Higienitas palpebra untuk menstabilkan film air mata dengan
mengkompres menggunakan air hangat selama 2 menit, 2-4 kali
sehari. Kemudian bersihkan dengan sampo bayi dengan
mengggunakan ujung jari tangan setiap setelah mengkompres
(Amit Patel, 2012).
2. Penggantian dan stimulasi air mata. Cairan hipotonik
direkomendasikan dan sangat membantu untuk kasus yang
ringan (Amit Patel, 2012).
3. Kondisi yang menyertai
Campuran antara lubrikasi normal dan fungsi pembersihan dari air
mata maupun yang berhubungan dengan penurunan lisozim
beresiko timbulnya infeksi grade rendah kronis. Infeksi yang
mengenai tepi palpebra dapat memperburuk kondisi defisiensi air
mata yang sudah ada, dan blepharitis anterior ataupun superior
harus diterapi dengan higienitas palpebra yang adekuat,
antiinflamasi, dan/atau antibiotik (Amit Patel, 2012).
4. Oklusi puncta

34
Dilakukan jika diakibatkan evaporasi air mata yang berlebihan
(Amit Patel, 2012).
5. Therapeutic contact lens therapy (TSCL)
Hydrophilic bandage lenses biasanya disediakan untuk
menampung air mata jika digunakan dengan kombinasi air mata
artifisial yang banyak. Lensa terbaru yaitu gas-permeable scleral
contact lenses sangat efektif (Amit Patel, 2012).
6. Lateral tarsorrhaphy
Dapat menurunkan evaporasi air mata (Amit Patel, 2012).
7. Metode lain
Kamar lembab dapat dicapai dengan sebuah plastik pelindung
mata dapat membantu pada beberapa kasus. Kaca mata dengan
sisi samping yang terlindung juga memberikan efek yang sama.
Membran amnion dan cadaveric epithelial stem cell
transplantation dapat digunakan untuk sejumlah pasien dengan
kerusakan permukaan bola mata yang parah seperti: mata kering
berat, bahan bakar kimia, dan ulser neurotropik. Terapi jangka
panjang dengan androgen topikal untuk menstabilkan sekresi
minyak dari kelenjar meibomian dan tpikal cyclosporin untuk
menekan cytolitic T lymphocytes dan agen destruktif inflamasi
lainnya (Amit Patel, 2012).

BAB III
KESIMPULAN

Dry eye adalah suatu kondisi dimana terdapat insufisiensi air mata untuk
melumasi dan memelihara mata. Juga dikenal sebagai keratoconjugctivitis

35
sicca (KCS) atau keratitis sicca adalah penyakit multifaktor dari air mata dan
permukaan bola mata yang menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan
penglihatan, dan ketidakstabilan lapisan air mata yang berpotensi merusak
permukaan bola mata. Mata kering merupakan salah satu kasus yang paling
sering menyebabkan iritasi mata. Mata kering memiliki penyebab multifaktor
antara lain idiopatik, insufisiensi cairan lakrimalis dan lapisan lipid meibomian,
gangguan reflex air mata, hingga sindroma penyakit.
Gejala yang muncul antara lain sensasi benda asing, mata kering, dan
berpasir, hyperemia, mucoid discharge, iritasi mata, pengeluaran air mata yang
berlebihan, photophobia, penglihatan kabur. Penegakan diagnosa mata kering
didapatkan dari pemeriksaan tes schimer, test zat warna rose bengal
konjungiva, dan tear film break up time.
Pengobatan tergantung penyebabnya dan keparahan penyakit.
Pemberian air mata buatan bila komponen airnya kurang, pemberian lensa
kontak apabila komponen mukus yang berkurang, atau penutupan pungtum
lakrimalis bila terjadi penguapan yang berlebihan.

BAB IV
PENUTUP

36
Dengan demikian telah dibuat referat dengan judul Dry Eye Syndrome.
Kami menyadari referat ini masih memerlukan masukan kritik dan saran dari
dosen pembimbing dan pembaca.
Kami berharap referat Dry Eye Syndrome ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

37
Barbara, Young, Lowe, James S., Steven, Alan, Heath, Jhon W., 2007.
Wheaters Functional Histology A Text and Colour Atlas, Fifth edition.
Philadelphia : Saunders Elseiver.
Coleman, Anne L. 2013. Dry Eye Syndrome. American Academy of
Ophthalmology.
Drake, Richard L., Wayne Vogl, Adam V. M. Mitchel. 2007. Grays Anatomy For
Student. Philadelphia : Saunders Elseiver.
Ellis, Harold, 2006. Clinical Anatomy : Applied Anatomy for Students and
Doctors, Eleven Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Foster , C Stephen. 2014. Dry Eye and Tearing Treatment. West Michigan Eye
and Laser.
Ilyas, Sidarta. 2015. Dasar Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Junqueira, Luiz Carlos and Carneiro Jose, 2005. Basic Histology Text and Atlas,
11rd edition. USA : McGraw-Hill.
Moore, Keith L., Arthur F., 2006. Clinically Oriented Anatomy, 5 th Edition.
Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins.
Moore, Keith L., Arthur F., 2007. Essential Clinical Anatomy, 3 rd Edition.
Philadelphia : Lippincott Wiliams & Wilkins.
Patel, Amit, Shunil Sah. 2012. Investigation and Management Dry Eye.
Association of Optometrist Ireland.
Scott, Clifford A., Louis J. Catania, K. Michael Larkin, Ron Melton, Leo P.
Semes, and Joseph P. Shovlin. 2011. Optometric Clinical Practice Guidline:
Care of The Patient with Occular Surface Disorder. American Optometric
Association.
Smith, Janine A. 2007. The Occular Surface and Tear Film. University of
Rochester Eye Institute Research Update.

38

Anda mungkin juga menyukai